UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 18 TAHUN 2013
TENTANG
PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa hutan, sebagai karunia dan anugerah Tuhan
Yang Maha Esa yang diamanatkan kepada bangsa
Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh
negara dan memberikan manfaat bagi umat manusia
yang wajib disyukuri, dikelola, dan dimanfaatkan secara
optimal serta dijaga kelestariannya untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana
dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan
harus dilaksanakan secara tepat dan berkelanjutan
dengan mempertimbangkan fungsi ekologis, sosial, dan
ekonomis serta untuk menjaga keberlanjutan bagi
kehidupan sekarang dan kehidupan generasi yang akan
datang;
c. bahwa telah terjadi perusakan hutan yang disebabkan
oleh pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan
hutan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
d. bahwa perusakan hutan, terutama berupa pembalakan
liar, penambangan tanpa izin, dan perkebunan tanpa
izin telah menimbulkan kerugian negara, kerusakan
kehidupan sosial budaya dan lingkungan hidup, serta
meningkatkan pemanasan global yang telah menjadi isu
nasional, regional, dan internasional;
e. bahwa perusakan hutan sudah menjadi kejahatan yang
berdampak luar biasa, terorganisasi, dan lintas negara
yang dilakukan dengan modus operandi yang canggih,
telah mengancam kelangsungan kehidupan masyarakat
sehingga dalam rangka pencegahan dan pemberantasan
perusakan hutan yang efektif dan pemberian efek jera
diperlukan landasan hukum yang kuat dan yang mampu
menjamin efektivitas penegakan hukum;
f. bahwa . . .
- 2 -f. bahwa peraturan perundang-undangan yang ada sampai
saat ini tidak memadai dan belum mampu menangani
pemberantasan secara efektif terhadap perusakan hutan
yang terorganisasi; dan
g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
huruf e, dan huruf f perlu membentuk Undang-Undang
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan.
Mengingat : 1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 33 ayat
(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945; dan
2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412).
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENCEGAHAN DAN
PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Hutan . . .
- 3 -1. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa
hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang
didominasi pepohonan dalam komunitas alam
lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan antara yang
satu dan yang lainnya.
2. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan
oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya
sebagai hutan tetap.
3. Perusakan hutan adalah proses, cara, atau perbuatan
merusak hutan melalui kegiatan pembalakan liar,
penggunaan kawasan hutan tanpa izin atau penggunaan
izin yang bertentangan dengan maksud dan tujuan
pemberian izin di dalam kawasan hutan yang telah
ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang sedang
diproses penetapannya oleh Pemerintah.
4. Pembalakan liar adalah semua kegiatan pemanfaatan
hasil hutan kayu secara tidak sah yang terorganisasi.
5. Penggunaan kawasan hutan secara tidak sah adalah
kegiatan terorganisasi yang dilakukan di dalam kawasan
hutan untuk perkebunan dan/atau pertambangan tanpa
izin Menteri.
6. Terorganisasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh suatu
kelompok yang terstruktur, yang terdiri atas 2 (dua)
orang atau lebih, dan yang bertindak secara bersamasama pada waktu tertentu dengan tujuan melakukan
perusakan hutan, tidak termasuk kelompok masyarakat
yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan yang
melakukan perladangan tradisional dan/atau melakukan
penebangan kayu untuk keperluan sendiri dan tidak
untuk tujuan komersial.
7. Pencegahan perusakan hutan adalah segala upaya yang
dilakukan untuk menghilangkan kesempatan terjadinya
perusakan hutan.
8. Pemberantasan perusakan hutan adalah segala upaya
yang dilakukan untuk menindak secara hukum terhadap
pelaku perusakan hutan baik langsung, tidak langsung,
maupun yang terkait lainnya.
9. Pemanfaatan hutan adalah kegiatan untuk
memanfaatkan kawasan hutan, jasa lingkungan, hasil
hutan kayu dan bukan kayu, serta memungut hasil
hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil
untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga
kelestariannya.
10. Pemanfaatan . . .
- 4 -10. Pemanfaatan hasil hutan kayu adalah kegiatan untuk
memanfaatkan dan mengusahakan hasil hutan berupa
kayu melalui kegiatan penebangan, permudaan,
pengangkutan, pengolahan dan pemasaran dengan tidak
merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi
pokoknya.
11. Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu adalah izin usaha
yang diberikan oleh Menteri untuk memanfaatkan hasil
hutan berupa kayu pada hutan produksi melalui
kegiatan pemanenan atau penebangan, pengayaan,
pemeliharaan, dan pemasaran.
12. Surat keterangan sahnya hasil hutan adalah dokumendokumen yang merupakan bukti legalitas hasil hutan
pada setiap segmen kegiatan dalam penatausahaan hasil
hutan.
13. Hasil hutan kayu adalah hasil hutan berupa kayu bulat,
kayu bulat kecil, kayu olahan, atau kayu pacakan yang
berasal dari kawasan hutan.
14. Pohon adalah tumbuhan yang batangnya berkayu dan
dapat mencapai ukuran diameter 10 (sepuluh) sentimeter
atau lebih yang diukur pada ketinggian 1,50 (satu koma
lima puluh) meter di atas permukaan tanah.
15. Polisi Kehutanan adalah pejabat tertentu dalam lingkup
instansi kehutanan pusat dan/atau daerah yang sesuai
dengan sifat pekerjaannya menyelenggarakan dan/atau
melaksanakan usaha pelindungan hutan yang oleh kuasa
undang-undang diberikan wewenang kepolisian khusus
di bidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya yang berada dalam satu
kesatuan komando.
16. Pejabat adalah orang yang diperintahkan atau orang yang
karena jabatannya memiliki kewenangan dengan suatu
tugas dan tanggung jawab tertentu.
17. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil, yang selanjutnya
disingkat PPNS adalah pejabat pegawai negeri sipil
tertentu dalam lingkup instansi kehutanan pusat dan
daerah yang oleh undang-undang diberi wewenang
khusus dalam penyidikan di bidang kehutanan dan
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
18. Sanksi . . .
- 5 -18. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan
guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang
didengar, dilihat, dan dialami sendiri.
19. Pelapor adalah orang yang memberitahukan adanya
dugaan, sedang, atau telah terjadinya perusakan hutan
kepada pejabat yang berwenang.
20. Informan adalah orang yang menginformasikan secara
rahasia adanya dugaan, sedang, atau telah terjadinya
perusakan hutan kepada pejabat yang berwenang.
21. Setiap orang adalah orang perseorangan dan/atau
korporasi yang melakukan perbuatan perusakan hutan
secara terorganisasi di wilayah hukum Indonesia
dan/atau berakibat hukum di wilayah hukum Indonesia.
22. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan
yang teroganisasi, baik berupa badan hukum maupun
bukan badan hukum.
23. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan Pemerintahan Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
24. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati atau
walikota dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
25. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kehutanan.
BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP
Pasal 2
Pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan
berasaskan:
a. keadilan dan kepastian hukum;
b. keberlanjutan;
c. tanggung jawab negara;
d. partisipasi masyarakat;
e. tanggung . . .
- 6 -e. tanggung gugat;
f. prioritas; dan
g. keterpaduan dan koordinasi.
Pasal 3
Pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan bertujuan:
a. menjamin kepastian hukum dan memberikan efek jera
bagi pelaku perusakan hutan;
b. menjamin keberadaan hutan secara berkelanjutan
dengan tetap menjaga kelestarian dan tidak merusak
lingkungan serta ekosistem sekitarnya;
c. mengoptimalkan pengelolaan dan pemanfaatan hasil
hutan dengan memperhatikan keseimbangan fungsi
hutan guna terwujudnya masyarakat sejahtera; dan
d. meningkatnya kemampuan dan koordinasi aparat
penegak hukum dan pihak-pihak terkait dalam
menangani pencegahan dan pemberantasan perusakan
hutan.
Pasal 4
Ruang lingkup pencegahan dan pemberantasan perusakan
hutan meliputi:
a. pencegahan perusakan hutan;
b. pemberantasan perusakan hutan;
c. kelembagaan;
d. peran serta masyarakat;
e. kerja sama internasional;
f. pelindungan saksi, pelapor, dan informan;
g. pembiayaan; dan
h. sanksi.
BAB III
PENCEGAHAN PERUSAKAN HUTAN
Pasal 5
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah berkewajiban
melakukan pencegahan perusakan hutan.
Pasal 6 . . .
- 7 -Pasal 6
(1) Dalam rangka pencegahan perusakan hutan, Pemerintah
membuat kebijakan berupa:
a. koordinasi lintas sektor dalam pencegahan dan
pemberantasan perusakan hutan;
b. pemenuhan kebutuhan sumber daya aparatur
pengamanan hutan;
c. insentif bagi para pihak yang berjasa dalam menjaga
kelestarian hutan;
d. peta penunjukan kawasan hutan dan/atau koordinat
geografis sebagai dasar yuridis batas kawasan hutan;
dan
e. pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana
pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya menetapkan sumber kayu alternatif
dengan mendorong pengembangan hutan tanaman yang
produktif dan teknologi pengolahan.
(3) Selain membuat kebijakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), upaya pencegahan perusakan hutan dilakukan
melalui penghilangan kesempatan dengan meningkatkan
peran serta masyarakat.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan sumber kayu
alternatif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dalam Peraturan Menteri.
Pasal 7
Pencegahan perusakan hutan dilakukan oleh masyarakat,
badan hukum, dan/atau korporasi yang memperoleh izin
pemanfaatan hutan.
BAB IV
PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 8
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban
melakukan pemberantasan perusakan hutan.
(2) Pemberantasan . . .
- 8 -(2) Pemberantasan perusakan hutan dilakukan dengan cara
menindak secara hukum pelaku perusakan hutan, baik
langsung, tidak langsung, maupun yang terkait lainnya.
(3) Tindakan secara hukum sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) meliputi penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
Pasal 9
Penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana perusakan
hutan dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang
berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Pasal 10
Perkara perusakan hutan harus didahulukan dari perkara
lain untuk diajukan ke sidang pengadilan guna
penyelesaian secepatnya.
Bagian Kedua
Ketentuan Perbuatan Perusakan Hutan
Pasal 11
(1) Perbuatan perusakan hutan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang ini meliputi kegiatan
pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan
secara tidak sah yang dilakukan secara terorganisasi.
(2) Perbuatan perusakan hutan secara terorganisasi
merupakan kegiatan yang dilakukan oleh suatu
kelompok yang terstruktur, yang terdiri atas 2 (dua)
orang atau lebih, dan yang bertindak secara bersamasama pada waktu tertentu dengan tujuan melakukan
perusakan hutan.
(3) Kelompok terstruktur sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) tidak termasuk kelompok masyarakat yang
bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan
hutan yang melakukan perladangan tradisional
dan/atau melakukan penebangan kayu di luar kawasan
hutan konservasi dan hutan lindung untuk keperluan
sendiri dan tidak untuk tujuan komersial.
(4) Masyarakat . . .
- 9 -(4) Masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau
di sekitar kawasan hutan yang melakukan penebangan
kayu di luar kawasan hutan konservasi dan hutan
lindung untuk keperluan sendiri dan tidak untuk
tujuan komersial harus mendapat izin dari pejabat yang
berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(5) Ketentuan mengenai penebangan kayu di luar kawasan
hutan konservasi dan hutan lindung untuk keperluan
sendiri dan tidak untuk tujuan komersial diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 12
Setiap orang dilarang:
a. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan
yang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan hutan;
b. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan
tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang;
c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan
secara tidak sah;
d. memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut,
menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di
kawasan hutan tanpa izin;
e. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan
kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat
keterangan sahnya hasil hutan;
f. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk
menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam
kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;
g. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya
yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk
mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa
izin pejabat yang berwenang;
h. memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal
dari hasil pembalakan liar;
i. mengedarkan . . .
- 10 -i. mengedarkan kayu hasil pembalakan liar melalui darat,
perairan, atau udara;
j. menyelundupkan kayu yang berasal dari atau masuk ke
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui
sungai, darat, laut, atau udara;
k. menerima, membeli, menjual, menerima tukar,
menerima titipan, dan/atau memiliki hasil hutan yang
diketahui berasal dari pembalakan liar;
l. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil hutan
kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil
atau dipungut secara tidak sah; dan/atau
m. menerima, menjual, menerima tukar, menerima titipan,
menyimpan, dan/atau memiliki hasil hutan kayu yang
berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut
secara tidak sah.
Pasal 13
(1) Penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak
sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c
merupakan penebangan pohon yang dilakukan dalam
kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai
dengan:
a. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau;
b. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri
kanan sungai di daerah rawa;
c. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai;
d. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak
sungai;
e. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang;
dan/atau
f. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi
dan pasang terendah dari tepi pantai.
(2) Penebangan pohon yang dilakukan dalam kawasan
hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dikecualikan untuk kegiatan yang mempunyai tujuan
strategis yang tidak dapat dihindari dengan mendapat
izin khusus dari Menteri.
Pasal 14 . . .
- 11 -Pasal 14
Setiap orang dilarang:
a. memalsukan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu;
dan/atau
b. menggunakan surat keterangan sahnya hasil hutan
kayu yang palsu.
Pasal 15
Setiap orang dilarang melakukan penyalahgunaan dokumen
angkutan hasil hutan kayu yang diterbitkan oleh pejabat
yang berwenang.
Pasal 16
Setiap orang yang melakukan pengangkutan kayu hasil
hutan wajib memiliki dokumen yang merupakan surat
keterangan sahnya hasil hutan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 17
(1) Setiap orang dilarang:
a. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lain
yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk
melakukan kegiatan penambangan dan/atau
mengangkut hasil tambang di dalam kawasan hutan
tanpa izin Menteri;
b. melakukan kegiatan penambangan di dalam
kawasan hutan tanpa izin Menteri;
c. mengangkut dan/atau menerima titipan hasil
tambang yang berasal dari kegiatan penambangan di
dalam kawasan hutan tanpa izin;
d. menjual, menguasai, memiliki, dan/atau
menyimpan hasil tambang yang berasal dari
kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan
tanpa izin; dan/atau
e. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil
tambang dari kegiatan penambangan di dalam
kawasan hutan tanpa izin.
(2) Setiap . . .
- 12 -(2) Setiap orang dilarang:
a. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya
yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk
melakukan kegiatan perkebunan dan/atau
mengangkut hasil kebun di dalam kawasan hutan
tanpa izin Menteri;
b. melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin Menteri
di dalam kawasan hutan;
c. mengangkut dan/atau menerima titipan hasil
perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan
di dalam kawasan hutan tanpa izin;
d. menjual, menguasai, memiliki, dan/atau
menyimpan hasil perkebunan yang berasal dari
kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa
izin; dan/atau
e. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil
kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan
perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin.
Pasal 18
(1) Selain dikenai sanksi pidana, pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
huruf a, huruf b, huruf c, Pasal 17 ayat (1) huruf b,
huruf c, huruf e, dan Pasal 17 ayat (2) huruf b,
huruf c, dan huruf e yang dilakukan oleh badan
hukum atau korporasi dikenai sanksi administratif
berupa:
a. paksaan pemerintah;
b. uang paksa; dan/atau
c. pencabutan izin.
(2) Ketentuan mengenai mekanisme dan tata cara
penerapan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 19 . . .
- 13 -Pasal 19
Setiap orang yang berada di dalam atau di luar wilayah
Indonesia dilarang:
a. menyuruh, mengorganisasi, atau menggerakkan
pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan
hutan secara tidak sah;
b. ikut serta melakukan atau membantu terjadinya
pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan
hutan secara tidak sah;
c. melakukan permufakatan jahat untuk melakukan
pembalakan liar dan/ atau penggunaan kawasan
hutan secara tidak sah;
d. mendanai pembalakan liar dan/atau penggunaan
kawasan hutan secara tidak sah secara langsung
atau tidak langsung;
e. menggunakan dana yang diduga berasal dari hasil
pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan
hutan secara tidak sah;
f. mengubah status kayu hasil pembalakan liar dan/
atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak
sah, seolah-olah menjadi kayu yang sah, atau hasil
penggunaan kawasan hutan yang sah untuk dijual
kepada pihak ketiga, baik di dalam maupun di luar
negeri;
g. memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar dengan
mengubah bentuk, ukuran, termasuk pemanfaatan
limbahnya;
h. menempatkan, mentransfer, membayarkan,
membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan,
menitipkan, membawa ke luar negeri, dan/atau
menukarkan uang atau surat berharga lainnya
serta harta kekayaan lainnya yang diketahuinya
atau patut diduga merupakan hasil pembalakan liar
dan/atau hasil penggunaan kawasan hutan secara
tidak sah; dan/atau
i. menyembunyikan atau menyamarkan asal usul
harta yang diketahui atau patut diduga berasal dari
hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan
kawasan hutan secara tidak sah sehingga seolaholah menjadi harta kekayaan yang sah.
Pasal 20 . . .
- 14 -Pasal 20
Setiap orang dilarang mencegah, merintangi, dan/atau
menggagalkan secara langsung maupun tidak langsung
upaya pemberantasan pembalakan liar dan penggunaan
kawasan hutan secara tidak sah.
Pasal 21
Setiap orang dilarang memanfaatkan kayu hasil
pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan
secara tidak sah yang berasal dari hutan konservasi.
Pasal 22
Setiap orang dilarang menghalang-halangi dan/atau
menggagalkan penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
atau pemeriksaan di sidang pengadilan tindak pidana
pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan secara
tidak sah.
Pasal 23
Setiap orang dilarang melakukan intimidasi dan/atau
ancaman terhadap keselamatan petugas yang
melakukan pencegahan dan pemberantasan
pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan secara
tidak sah.
Pasal 24
Setiap orang dilarang:
a. memalsukan surat izin pemanfaatan hasil hutan
kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan;
b. menggunakan surat izin palsu pemanfaatan hasil
hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan;
dan/atau
c. memindahtangankan atau menjual izin yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang kecuali
dengan persetujuan Menteri.
Pasal 25
Setiap orang dilarang merusak sarana dan prasarana
pelindungan hutan.
Pasal 26 . . .
- 15 -Pasal 26
Setiap orang dilarang merusak, memindahkan, atau
menghilangkan pal batas luar kawasan hutan, batas
fungsi kawasan hutan, atau batas kawasan hutan yang
berimpit dengan batas negara yang mengakibatkan
perubahan bentuk dan/atau luasan kawasan hutan.
Pasal 27
Setiap pejabat yang mengetahui terjadinya perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, 13, 14, 15, 16,
17, dan 19 wajib melakukan tindakan sesuai dengan
kewenangannya.
Pasal 28
Setiap pejabat dilarang:
a. menerbitkan izin pemanfaatan hasil hutan kayu
dan/atau penggunaan kawasan hutan di dalam
kawasan hutan yang tidak sesuai dengan
kewenangannya;
b. menerbitkan izin pemanfaatan di dalam kawasan
hutan dan/atau izin penggunaan kawasan hutan
yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
c. melindungi pelaku pembalakan liar dan/atau
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah;
d. ikut serta atau membantu kegiatan pembalakan liar
dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak
sah;
e. melakukan permufakatan untuk terjadinya
pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan
hutan secara tidak sah;
f. menerbitkan surat keterangan sahnya hasil hutan
tanpa hak;
g. dengan sengaja melakukan pembiaran dalam
melaksanakan tugas; dan/atau
h. lalai dalam melaksanakan tugas.
Bagian Ketiga . . .
- 16 -Bagian Ketiga
Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Paragraf 1
Penyidikan dan Penuntutan
Pasal 29
Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia, PPNS diberi wewenang khusus sebagai
penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana.
Pasal 30
PPNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan
atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana
perusakan hutan;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan
hukum yang diduga melakukan tindak pidana
perusakan hutan;
c. meminta keterangan dan barang bukti dari orang
atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa
tindak perusakan hutan;
d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan,
dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana
perusakan hutan;
e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang
diduga terdapat barang bukti, pembukuan,
pencatatan, dan dokumen lain serta melakukan
penyitaan terhadap bahan dan barang hasil
kejahatan yang dapat dijadikan bukti dalam
perkara tindak pidana perusakan hutan;
f. melakukan penangkapan, penahanan,
penggeledahan, dan penyitaan;
g. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan
tugas penyidikan tindak pidana perusakan hutan;
h. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat
bukti tentang adanya tindakan perusakan hutan;
i. memanggil . . .
- 17 -i. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
sebagai tersangka atau saksi;
j. membuat dan menandatangani berita acara dan
surat-surat lain yang menyangkut penyidikan
perkara perusakan hutan; dan
k. memotret dan/atau merekam melalui alat potret
dan/atau alat perekam terhadap orang, barang,
sarana pengangkut, atau apa saja yang dapat
dijadikan bukti tindak pidana yang menyangkut
hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.
Pasal 31
Wilayah hukum atau wilayah kerja PPNS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 meliputi seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia termasuk wilayah
kepabeanan.
Pasal 32
PPNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
memberitahukan dimulainya penyidikan dan
menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut
umum setelah berkoordinasi dengan Penyidik Pejabat
Polisi Negara Republik Indonesia.
Pasal 33
Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup,
penyidik dapat menggunakan laporan yang berasal dari
masyarakat dan/atau instansi terkait.
Pasal 34
(1) Berdasarkan bukti permulaan yang cukup
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, penyidik
berwenang meminta kepada lembaga penyelenggara
komunikasi untuk:
a. membuka, memeriksa, dan menyita surat atau
kiriman melalui pos serta jasa pengiriman
lainnya yang mempunyai hubungan dengan
pembalakan liar yang sedang diperiksa;
dan/atau
b. meminta . . .
- 18 -b. meminta informasi pembicaraan melalui telepon
atau alat komunikasi lain yang diduga
digunakan untuk mempersiapkan,
merencanakan, dan melakukan perusakan
hutan.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, hanya dapat dilakukan atas izin ketua
pengadilan negeri setempat atas permintaan
penyidik untuk jangka waktu paling lama 1 (satu)
tahun.
(3) Ketua pengadilan negeri setempat wajib memberikan
izin untuk meminta informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dalam waktu paling lama 7
(tujuh) hari kerja setelah diterimanya permintaan
dari penyidik.
(4) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dilaporkan serta dipertanggungjawabkan
kepada atasan penyidik.
Pasal 35
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau
pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik,
penuntut umum, atau hakim berwenang meminta
keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan
tersangka atau terdakwa.
(2) Permintaan keterangan kepada bank sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Pimpinan
Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Pimpinan Otoritas Jasa Keuangan wajib memenuhi
permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung
sejak surat permintaan diterima.
(4) Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang
meminta kepada bank untuk memblokir rekening
simpanan milik tersangka atau terdakwa yang
diduga sebagai hasil pembalakan liar selama proses
penyidikan, penuntunan, dan/atau pemeriksaan
berlangsung.
(5) Dalam . . .
- 19 -(5) Dalam hal hasil pemeriksaan terhadap tersangka
atau terdakwa tidak diperoleh bukti yang cukup,
atas permintaan penyidik, penuntut umum, atau
hakim, pimpinan bank harus mencabut
pemblokiran.
Pasal 36
Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau
pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik, penuntut
umum, atau hakim berwenang:
a. meminta data kekayaan dan data perpajakan
tersangka atau terdakwa kepada unit kerja terkait;
b. meminta bantuan kepada Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan untuk melakukan
penyelidikan atas data keuangan tersangka;
c. meminta kepada instansi yang terkait untuk
melarang seseorang berpergian ke luar negeri;
d. menetapkan seseorang sebagai tersangka dan
dimasukkan dalam daftar pencarian orang;
dan/atau
e. meminta kepada pimpinan atau atasan tersangka
untuk memberhentikan sementara tersangka dari
jabatannya.
Pasal 37
Alat bukti pemeriksaan perbuatan perusakan hutan
meliputi:
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana; dan/atau
b. alat bukti lain berupa:
1. informasi elektronik;
2. dokumen elektronik; dan/atau
3. peta.
Pasal 38
(1) Penyidik melakukan penangkapan terhadap orang
yang diduga keras melakukan tindak pidana
perusakan hutan berdasarkan bukti permulaan
yang cukup untuk paling lama 2 x 24 (dua kali dua
puluh empat) jam.
(2) Dalam . . .
- 20 -(2) Dalam hal waktu untuk pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) belum mencukupi, atasan
langsung penyidik dapat memberi izin untuk
memperpanjang penangkapan tersebut untuk paling
lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam.
Pasal 39
Untuk mempercepat penyelesaian perkara perusakan
hutan:
a. penyidik wajib menyelesaikan dan menyampaikan
berkas perkara kepada penuntut umum paling lama
60 (enam puluh) hari sejak dimulainya penyidikan
dan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh)
hari;
b. dalam hal hasil penyidikan belum lengkap, penuntut
umum wajib melakukan penyidikan paling lama 20
(dua puluh) hari dan dapat diperpanjang paling lama
30 (tiga puluh) hari;
c. penuntut umum wajib melimpahkan perkara ke
pengadilan paling lama 25 (dua puluh lima) hari
terhitung sejak selesai penyidikan;
d. untuk daerah yang sulit terjangkau karena faktor
alam dan geografis atau transportasi dan tingginya
biaya dalam rangka penjagaan dan pengamanan
barang bukti, terhadap barang bukti kayu cukup
dilakukan penyisihan barang bukti yang disertai
dengan berita acara penyisihan barang bukti; dan
e. instansi teknis kehutanan wajib menunjuk ahli
penguji dan pengukur kayu yang diminta penyidik
dengan mempertimbangkan kecepatan untuk
penyidikan.
Pasal 40
(1) Penyidik yang melakukan penyitaan barang bukti
hasil tindak pidana perusakan hutan, baik berupa
barang bukti temuan maupun barang bukti sitaan,
wajib melakukan penyegelan dan membuat berita
acara penyitaan pada hari penyitaan dilakukan yang
sekurang-kurangnya memuat:
a. nama, kelompok jenis, sifat, dan jumlah;
b. keterangan . . .
- 21 -b. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan,
dan tahun dilakukan penyitaan;
c. keterangan mengenai pemilik atau yang
menguasai kayu hasil pembalakan liar; dan/atau
d. tanda tangan dan identitas lengkap pejabat
penyidik yang melakukan penyitaan.
(2) Penyidik bertanggung jawab atas penyimpanan
barang bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang berada di bawah penguasaannya.
(3) Penyidik yang melakukan penyitaan barang bukti
temuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
a. melaporkan dan meminta izin sita;
b. meminta izin peruntukan kepada ketua
pengadilan negeri setempat dalam waktu paling
lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam
sejak dilakukan penyitaan; dan
c. menyampaikan tembusan kepada kepala
kejaksaan negeri setempat.
(4) Penyidik yang melakukan penyitaan barang bukti
sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
a. melaporkan dan meminta izin sita;
b. meminta izin lelang bagi barang yang mudah
rusak kepada ketua pengadilan negeri setempat
dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua
puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan;
dan
c. menyampaikan tembusan kepada kepala
kejaksaan negeri setempat.
(5) Batas waktu pelaporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), untuk daerah yang sulit terjangkau karena
faktor alam, geografis, atau transportasi, dapat
diperpanjang menjadi paling lama 14 (empat belas)
hari.
(6) Ketua pengadilan negeri wajib menerbitkan atau
menolak izin/persetujuan sita yang diajukan oleh
penyidik paling lambat 2 x 24 (dua kali dua puluh
empat) jam sejak permintaan diterima.
Pasal 41 . . .
- 22 -Pasal 41
Ketua pengadilan negeri setempat, dalam waktu paling
lama 7 (tujuh) hari setelah menerima permintaan
penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat
(3), wajib menetapkan peruntukan pemanfaatan barang
bukti.
Pasal 42
Setiap pejabat yang tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, Pasal 40, dan
Pasal 41 dikenai sanksi administratif sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 43
Peruntukan pemanfaatan barang bukti sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41 ditujukan:
a. untuk kepentingan pembuktian perkara;
b. untuk pemanfaatan bagi kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan;
c. untuk dimusnahkan; dan/atau
d. untuk kepentingan publik atau kepentingan sosial.
Pasal 44
(1) Barang bukti kayu hasil pembalakan liar dan/atau
hasil dari penggunaan kawasan hutan secara tidak
sah yang berasal dari hutan konservasi
dimusnahkan, kecuali untuk kepentingan
pembuktian perkara dan penelitian.
(2) Barang bukti kayu temuan hasil pembalakan liar
yang berasal dari luar hutan konservasi
dimanfaatkan untuk kepentingan publik atau
kepentingan sosial.
(3) Barang bukti kayu sitaan hasil pembalakan liar yang
berasal dari luar hutan konservasi dapat dilelang
karena dapat cepat rusak atau biaya
penyimpanannya terlalu tinggi yang pelaksanaannya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(4) Hasil . . .
- 23 -(4) Hasil lelang kayu sitaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) disimpan di bank pemerintah sebagai
barang bukti perkara di pengadilan.
(5) Peruntukan barang bukti perkara sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan
putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap.
Pasal 45
(1) Barang bukti temuan hasil kebun dan/atau hasil
tambang beserta sarana prasarana pendukungnya
dari hasil tindak pidana penggunaan kawasan hutan
secara tidak sah dapat dilelang dan hasilnya
dimanfaatkan untuk kepentingan publik atau
kepentingan sosial.
(2) Barang bukti sitaan hasil kebun dan/atau hasil
tambang beserta sarana prasarana pendukungnya
dari hasil tindak pidana penggunaan kawasan hutan
secara tidak sah dapat dilelang karena dapat cepat
rusak atau biaya penyimpanannya terlalu tinggi.
(3) Hasil lelang barang bukti sitaan hasil kebun
dan/atau hasil tambang beserta sarana prasarana
pendukungnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disimpan di bank Pemerintah sebagai barang bukti
perkara di pengadilan.
(4) Peruntukan barang bukti perkara sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan
putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap.
Pasal 46
(1) Barang bukti berupa kebun dan/atau tambang dari
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah yang
telah mendapat putusan pengadilan berkekuatan
hukum tetap dikembalikan kepada Pemerintah
untuk dihutankan kembali sesuai dengan fungsinya.
(2) Barang bukti berupa kebun sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dimanfaatkan paling lama 1 (satu) daur
sampai selesainya proses pemulihan kawasan
hutan.
(3) Dalam . . .
- 24 -(3) Dalam hal barang bukti kebun dimanfaatkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah
dapat memberikan penugasan kepada badan usaha
milik negara yang bergerak di bidang perkebunan.
(4) Barang bukti berupa tambang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan izin sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 47
(1) Untuk kepentingan penyidikan yang terkait dengan
kuantitas barang bukti yang berada dalam kapal
atau alat angkut air lainnya dapat digunakan
metode survei daya muat, metode pemeriksaan
pembacaan skala angka kapal, atau metode lain
yang lazim digunakan dalam bidang pelayaran.
(2) Metode sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh lembaga yang telah mempunyai
kualifikasi di bidangnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 48
Ketentuan mengenai tata cara penyimpanan barang
bukti hasil perusakan hutan yang disita sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dan tata cara
peruntukan barang bukti sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 44, Pasal 45, dan Pasal 46 diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 49
(1) Penyidik mengajukan permohonan lelang kepada
ketua pengadilan negeri setempat terhadap barang
bukti sitaan berupa kayu hasil pembalakan liar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (3) dan
barang bukti temuan serta barang bukti sitaan berupa
hasil kebun dan/atau hasil tambang beserta sarana
prasarana pendukungnya dari hasil tindak pidana
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) dan
ayat (2).
(2) Pelaksanaan . . .
- 25 -(2) Pelaksanaan lelang terhadap barang bukti
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
Badan Lelang Negara dalam jangka waktu paling lama
14 (empat belas) hari kerja.
(3) Pelaksanaan lelang oleh Badan Lelang Negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara
terbuka setelah selesainya pengujian, penghitungan,
dan penetapan nilai barang bukti oleh lembaga.
(5) Terhadap pihak terafiliasi, tersangka kasus perusakan
hutan dilarang mengikuti lelang sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
(6) Pengujian, penghitungan, atau penetapan nilai barang
bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus
dilakukan oleh orang yang memiliki keahlian dan
bersertifikat dari lembaga yang terakreditasi.
Pasal 50
Pengembalian kerugian akibat perusakan hutan tidak menghapus pidana
pelaku perusakan hutan.
Paragraf 2
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Pasal 51
(1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah tetapi
tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang
sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa
hadirnya terdakwa.
(2) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa
diumumkan oleh penuntut umum pada papan
pengumuman pengadilan, kantor pemerintah daerah,
dan/atau diberitahukan kepada terdakwa atau
kuasanya.
(3) Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan upaya
hukum atas putusan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 14 (empat
belas) hari sejak putusan dijatuhkan, diumumkan,
atau diberitahukan kepada terdakwa yang tidak
hadir.
Pasal 52 . . .
- 26 -Pasal 52
(1) Perkara perusakan hutan wajib diperiksa dan diputus
oleh pengadilan negeri dalam jangka waktu paling
lama 45 (empat puluh lima) hari kerja terhitung sejak
tanggal penerimaan pelimpahan perkara dari
penuntut umum.
(2) Dalam hal putusan pengadilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dimohonkan banding, perkara
perusakan hutan wajib diperiksa dan diputus dalam
jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh
Pengadilan Tinggi.
(3) Dalam hal putusan Pengadilan Tinggi dimohonkan
kasasi, perkara pembalakan liar wajib diperiksa dan
diputus dalam jangka waktu paling lama 50 (lima
puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas
perkara diterima oleh Mahkamah Agung.
Pasal 53
(1) Pemeriksaan perkara perusakan hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1), pada pengadilan
negeri, dilakukan oleh majelis hakim yang berjumlah
3 (tiga) orang yang terdiri dari satu orang hakim
karier di pengadilan negeri setempat dan dua orang
hakim ad hoc.
(2) Pengangkatan hakim ad hoc sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh Presiden atas usulan
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia.
(3) Setelah berlakunya Undang-Undang ini ketua
Mahkamah Agung Republik Indonesia harus
mengusulkan calon hakim ad hoc yang diangkat
melalui Keputusan Presiden untuk memeriksa
perkara perusakan hutan.
(4) Dalam mengusulkan calon hakim ad hoc
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Ketua
Mahkamah Agung wajib mengumumkan kepada
masyarakat.
(5) Untuk dapat diangkat menjadi hakim ad hoc, harus
terpenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. bertakwa . . .
- 27 -b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun
pada saat pengangkatan;
d. berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang
memiliki keahlian dan pengalaman sekurangkurangnya 10 (sepuluh) tahun dalam bidang
kehutanan;
e. tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang diancam pidana 5
(lima) tahun atau lebih;
f. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
g. cakap, jujur, serta memiliki integritas moral yang
tinggi dan memiliki reputasi yang baik;
h. tidak menjadi pengurus salah satu partai politik;
dan
i. melepaskan jabatan struktural dan jabatan
lainnya selama menjadi hakim ad hoc.
BAB V
LEMBAGA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN
Pasal 54
(1) Dalam rangka pelaksanaan pencegahan dan
pemberantasan perusakan hutan, Presiden
membentuk lembaga yang menangani pencegahan
dan pemberantasan perusakan hutan.
(2) Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab
kepada Presiden.
(3) Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas:
a. unsur Kementerian Kehutanan;
b. unsur Kepolisian Republik Indonesia;
c. unsur Kejaksaan Republik Indonesia; dan
d. unsur lain yang terkait.
(4) Pelaksanaan . . .
- 28 -(4) Pelaksanaan tugas lembaga sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan
ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 55
(1) Lembaga dipimpin seorang kepala dan dibantu
oleh seorang sekretaris dan beberapa orang
deputi.
(2) Sekretaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berasal dari unsur Pemerintah dan bertugas
menyelenggarakan dukungan administratif
terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab
lembaga.
(3) Deputi sebagaimana pada ayat (1) membidangi:
a. bidang pencegahan;
b. bidang penindakan;
c. bidang hukum dan kerja sama; dan
d. bidang pengawasan internal dan pengaduan
masyarakat.
(4) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,
lembaga dapat membentuk satuan tugas sebagai
unsur pelaksana.
(5) Satuan tugas melaksanakan pemberantasan
perusakan hutan yang bersifat strategis sejak
penyelidikan sampai dengan penuntutan di
seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, termasuk wilayah kepabeanan atas
perintah kepala lembaga dan/atau deputi.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan,
susunan organisasi, dan tata kerja lembaga diatur
dalam Peraturan Presiden.
Pasal 56
(1) Lembaga yang menangani pencegahan dan
pemberantasan perusakan hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) bertugas:
a. melakukan penyelidikan dan penyidikan
tindak pidana perusakan hutan;
b. melaksanakan . . .
- 29 -b. melaksanakan administrasi penyelidikan dan
penyidikan terhadap perkara perusakan
hutan;
c. melaksanakan kampanye antiperusakan
hutan;
d. membangun dan mengembangkan sistem
informasi pencegahan dan pemberantasan
perusakan hutan yang terintegrasi;
e. memberdayakan masyarakat dalam upaya
pencegahan dan pemberantasan perusakan
hutan;
f. melakukan kerja sama dan koordinasi
antarlembaga penegak hukum dalam
pemberantasan perusakan hutan;
g. mengumumkan hasil pelaksanaan tugas dan
kewenangannya secara berkala kepada
masyarakat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
h. memberi izin penggunaan terhadap barang
bukti kayu temuan hasil operasi
pemberantasan perusakan hutan yang berasal
dari luar kawasan hutan konservasi untuk
kepentingan sosial.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan
tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Presiden.
Pasal 57
Dalam melaksanakan pencegahan dan
pemberantasan perusakan hutan, lembaga
melaporkan hasil kerjanya kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia paling sedikit 6 (enam)
bulan sekali.
BAB VI
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 58
(1) Masyarakat berhak atas:
a. lingkungan . . .
- 30 -a. lingkungan hidup yang baik dan sehat,
termasuk kualitas lingkungan hidup yang
dihasilkan oleh hutan;
b. pemanfaatan hutan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
c. upaya pemberdayaan masyarakat; dan
e. penyuluhan tentang pentingnya kelestarian
hutan dan dampak negatif perusakan hutan.
(2) Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dalam rangka pencegahan dan pemberantasan
perusakan hutan, masyarakat berhak:
a. mencari dan memperoleh informasi adanya
dugaan telah terjadinya perusakan hutan;
b. mendapat pelayanan dalam mencari,
memperoleh, dan memberikan informasi
adanya dugaan telah terjadi perusakan hutan
dan penyalahgunaan izin kepada penegak
hukum;
c. mencari dan memperoleh informasi terhadap
izin pengelolaan hutan yang telah dikeluarkan
oleh pemerintah daerah setempat;
d. menyampaikan saran dan pendapat secara
bertanggung jawab kepada penegak hukum;
dan
e. memperoleh pelindungan hukum dalam:
1. melaksanakan haknya sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan
huruf c; dan
2. proses penyelidikan, penyidikan, dan
persidangan sebagai saksi pelapor, saksi,
atau saksi ahli sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 59
Masyarakat berkewajiban:
a. menjaga dan memelihara kelestarian hutan; dan
b. mengelola hutan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 60 . . .
- 31 -Pasal 60
Masyarakat berkewajiban memberikan informasi, baik
lisan maupun tulisan kepada pihak yang berwenang
apabila mengetahui atau adanya indikasi perusakan
hutan.
Pasal 61
Masyarakat berperan serta dalam pencegahan dan
pemberantasan perusakan hutan dengan cara:
a. membentuk dan membangun jejaring sosial
gerakan anti perusakan hutan;
b. melibatkan dan menjadi mitra lembaga
pemberantasan perusakan hutan dalam kegiatan
pencegahan dan pemberantasan perusakan
hutan;
c. meningkatkan kesadaran tentang pentingnya
kelestarian hutan dan dampak negatif perusakan
hutan;
d. memberikan informasi, baik lisan maupun tulisan
kepada pihak yang berwenang berkaitan dengan
pencegahan dan pemberantasan perusakan
hutan;
e. ikut serta melakukan pengawasan dalam
penegakan hukum pemberantasan perusakan
hutan; dan/atau
f. melakukan kegiatan lain yang bertujuan untuk
pencegahan dan pemberantasan perusakan
hutan.
Pasal 62
Lembaga yang menangani pemberantasan perusakan
hutan melakukan kemitraan dengan organisasi atau
lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di
bidang kehutanan atau di bidang lingkungan hidup
serta organisasi sosial kemasyarakatan dalam
melakukan pendampingan, pelayanan, dan dukungan
kepada masyarakat.
Pasal 63 . . .
- 32 -Pasal 63
Hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 58 sampai dengan Pasal 60 dilaksanakan
dengan berpegang teguh pada asas atau ketentuan
peraturan perundang-undangan.
BAB VII
KERJA SAMA INTERNASIONAL
Pasal 64
(1) Pemerintah dapat melakukan kerja sama
internasional dengan negara lain dalam rangka
pencegahan dan pemberantasan perusakan
hutan dengan mempertimbangkan dan menjaga
kepentingan nasional.
(2) Kerja sama internasional dalam rangka
pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan
dapat dilakukan dalam bentuk:
a. kerja sama bilateral;
b. kerja sama regional; atau
c. kerja sama multilateral.
Pasal 65
(1) Kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal
64 dapat dilakukan berdasarkan suatu perjanjian.
(2) Dalam hal belum ada perjanjian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), kerja sama dapat
dilakukan atas dasar hubungan baik berdasarkan
prinsip timbal balik (resiprositas).
Pasal 66
(1) Pemerintah melakukan kerja sama internasional
dalam rangka mencegah perdagangan dan/atau
pencucian kayu tidak sah.
(2) Pemerintah berkewajiban melakukan upaya
pengembalian kerugian atas hasil tindak pidana
perusakan hutan.
(3) Upaya . . .
- 33 -(3) Upaya pengembalian kerugian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. pemblokiran atau pembekuan sementara harta
kekayaan dengan tujuan untuk mencegah
dialihkan atau dipindahtangankan agar orang
tertentu atau semua orang tidak berurusan
dengan harta yang telah diperoleh atau
mungkin telah diperoleh dari kegiatan
perusakan hutan; dan/atau
b. perampasan hak atas kekayaan atau
keuntungan yang telah diperoleh atau
mungkin telah diperoleh dari hasil kegiatan
perusakan hutan berdasarkan putusan
pengadilan di Indonesia atau di negara asing.
Pasal 67
(2) Kerja sama internasional dalam rangka
pencegahan perusakan hutan dapat dilakukan
dalam hal:
a. manajemen pengelolaan hutan yang
berkelanjutan;
b. kerja sama konservasi dan restorasi kawasan
hutan;
c. pemberdayaan masyarakat; dan
d. permerkuatan sistem verifikasi dan sertifikasi
legalitas kayu yang diakui secara
internasional.
(3) Kerja sama internasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditujukan untuk mengurangi
kerusakan hutan akibat perusakan hutan dan
kelestarian hutan.
Pasal 68
Pemerintah mendorong kerja sama internasional
dalam hal pendanaan dari masyarakat internasional
dan investasi swasta internasional dalam rangka
pencegahan perusakan hutan.
Pasal 69 . . .
- 34 -Pasal 69
(1) Untuk melaksanakan kerja sama internasional
dalam rangka pencegahan dan pemberantasan
pembalakan liar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 64, Menteri dapat bertindak untuk dan atas
nama Pemerintah Republik Indonesia melakukan
kerja sama internasional dengan negara lain,
organisasi internasional, dan/atau lembaga
keuangan asing, khususnya menyangkut
penanganan pemberantasan pembalakan liar.
(2) Kerja sama internasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, konvensi, dan
kebiasaan internasional yang berlaku secara
umum.
Pasal 70
Dalam rangka penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap
perkara perusakan hutan, Pemerintah dapat
melakukan kerja sama regional dan internasional
melalui forum bilateral atau multilateral sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 71
Kerja sama internasional dalam rangka melakukan
penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70
meliputi:
a. identitas keberadaan dan kegiatan dari setiap
orang, baik nasional maupun asing yang disangka
terlibat dalam perusakan hutan;
b. pemindahan hasil kejahatan atau kekayaan yang
berasal dari perusakan hutan;
c. pemindahan kekayaan, perlengkapan, atau alat
pembantu lainnya yang digunakan atau
dimaksudkan untuk digunakan dalam melakukan
perusakan hutan;
d. seluruh mata rantai terjadinya tindak pidana
pencucian kayu tidak sah sampai dengan
pencucian uang;
e. identitas . . .
- 35 -e. identitas dan kegiatan dari negara yang
melakukan pencucian kayu tidak sah yang
merupakan hasil perusakan hutan di Indonesia;
dan/atau
f. melacak, membekukan, menyita, dan
mengembalikan aset hasil tindak pidana
perusakan hutan.
Pasal 72
Kerja sama dalam rangka penyelidikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 70 dilakukan melalui kerja
sama interpol negara masing-masing.
Pasal 73
Pemerintah dapat membuat perjanjian atau
kesepakatan dengan negara asing untuk mendapat
penggantian biaya dan bagi hasil atas pemanfaatan
kayu dari perusakan hutan.
BAB VIII
PEMBIAYAAN
Pasal 74
Biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan UndangUndang ini dibebankan kepada anggaran pendapatan
dan belanja negara.
Pasal 75
Perencanaan dan pengajuan usulan anggaran
pemberantasan perusakan hutan dilakukan oleh
lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54.
BAB IX
PELINDUNGAN SAKSI, PELAPOR, DAN INFORMAN
[
Pasal 76
(1) Setiap orang yang menjadi saksi, pelapor, dan
informan dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan pembalakan liar, wajib diberi
pelindungan khusus oleh Pemerintah.
(2) Perlindungan . . .
- 36 -(2) Pelindungan khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bertujuan untuk menghindari
kemungkinan ancaman yang membahayakan diri,
jiwa, dan/atau harta, termasuk keluarganya dan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 77
Pelindungan keamanan bagi saksi, pelapor, dan
informan berupa:
a. pelindungan atas keamanan pribadi, keluarga,
dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman
yang berkenaan dengan laporan dan informasi
yang akan, sedang, atau telah diberikan;
b. pemberian informasi mengenai putusan
pengadilan; dan/atau
c. pemberitahuan dalam hal terpidana dibebaskan.
Pasal 78
(1) Pelapor dan informan tidak dapat dituntut secara
hukum, baik pidana maupun perdata atas
laporan dan kesaksian yang akan, sedang, atau
telah diberikannya.
(2) Pelindungan hukum tidak berlaku terhadap
pelapor dan informan yang memberikan
keterangan tidak dengan itikad baik.
Pasal 79
Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus
yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan
pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat
dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan
pidana yang akan dijatuhkan.
Pasal 80
Mekanisme pelindungan hukum pelapor dan
informan:
a. pelapor dan informan mendapat pelindungan
hukum dengan mempertimbangkan syarat
sebagai berikut:
1. sifat . . .
- 37 -1. sifat pentingnya keterangan pelapor dan
informan;
2. tingkat ancaman yang membahayakan pelapor
dan informan;
3. hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap
pelapor dan informan; dan
4. rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan
oleh pelapor dan informan.
b. tata cara memperoleh pelindungan bagi pelapor
dan informan, baik atas inisiatif sendiri maupun
atas permintaan pejabat yang berwenang,
dilakukan dengan mengajukan permohonan
secara tertulis sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 81
(1) Pejabat yang berwenang wajib memberikan
pelindungan sepenuhnya kepada pelapor dan
informan, termasuk keluarganya, sejak
ditandatanganinya pernyataan kesediaan.
(2) Pelindungan atas keamanan pelapor dan
informan dihentikan berdasarkan alasan:
a. pelapor dan informan meminta agar
pelindungan terhadapnya dihentikan dalam
permohonan diajukan atas inisiatif sendiri;
b. atas permintaan pejabat yang berwenang
dalam hal permintaan pelindungan terhadap
pelapor dan informan berdasarkan atas
permintaan pejabat yang bersangkutan;
c. pelapor dan informan melanggar ketentuan
yang tertulis dalam perjanjian;
d. instansi yang berwenang berpendapat bahwa
pelapor dan informan tidak lagi memerlukan
pelindungan berdasarkan bukti-bukti yang
meyakinkan; atau
e. penghentian pelindungan keamanan seorang
pelapor dan informan harus dilakukan secara
tertulis.
BAB X . . .
- 38 -BAB X
KETENTUAN PIDANA
Pasal 82
(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja:
a. melakukan penebangan pohon dalam kawasan
hutan yang tidak sesuai dengan izin
pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 huruf a;
b. melakukan penebangan pohon dalam kawasan
hutan tanpa memiliki izin yang dikeluarkan
oleh pejabat yang berwenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf b; dan/atau
c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan
hutan secara tidak sah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf c
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta
pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta
rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh orang perseorangan
yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di
sekitar kawasan hutan, pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan
paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana
denda paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus
ribu rupiah) dan paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Korporasi yang:
a. melakukan penebangan pohon dalam kawasan
hutan yang tidak sesuai dengan izin
pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 huruf a;
b. melakukan penebangan pohon dalam kawasan
hutan tanpa memiliki izin yang dikeluarkan
oleh pejabat yang berwenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf b; dan/atau
c. melakukan . . .
- 39 -c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan
hutan secara tidak sah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf c
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun serta pidana denda paling sedikit
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan
paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas
miliar rupiah).
Pasal 83
(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja:
a. memuat, membongkar, mengeluarkan,
mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki
hasil penebangan di kawasan hutan tanpa
izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
huruf d;
b. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil
hutan kayu yang tidak dilengkapi secara
bersama surat keterangan sahnya hasil
hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 huruf e; dan/atau
c. memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga
berasal dari hasil pembalakan liar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf
h
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta
pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta
rupiah).
(2) Orang perseorangan yang karena kelalaiannya:
a. memuat, membongkar, mengeluarkan,
mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki
hasil penebangan di kawasan hutan tanpa
izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
huruf d;
b. mengangkut . . .
- 40 -b. mengangkut, menguasai atau memiliki hasil
hutan kayu yang tidak dilengkapi secara
bersama surat keterangan sahnya hasil
hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 huruf e; dan/atau
c. memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga
berasal dari hasil pembalakan liar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf
h
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8
(delapan) bulan dan paling lama 3 (tiga) tahun
serta pidana denda paling sedikit
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf c
dilakukan oleh orang perseorangan yang
bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar
kawasan hutan, pelaku dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling
lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda
paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu
rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
(4) Korporasi yang:
a. memuat, membongkar, mengeluarkan,
mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki
hasil penebangan di kawasan hutan tanpa
izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
huruf d;
b. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil
hutan kayu yang tidak dilengkapi secara
bersama surat keterangan sahnya hasil
hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 huruf e; dan/atau
c. memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga
berasal dari hasil pembalakan liar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf
h
dipidana . . .
- 41 -dipidana dengan pidana penjara paling singkat
5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun serta pidana denda paling sedikit
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan
paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas
miliar rupiah).
Pasal 84
(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja
membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk
menebang, memotong, atau membelah pohon di
dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang
berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 huruf f dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (tahun) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun serta pidana denda paling sedikit
Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
(2) Orang perseorangan yang karena kelalaiannya
membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk
menebang, memotong, atau membelah pohon di
dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang
berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 huruf f dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 8 (delapan) bulan dan paling lama
2 (dua) tahun serta pidana denda paling sedikit
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh orang
perseorangan yang bertempat tinggal di dalam
dan/atau di sekitar kawasan hutan dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
bulan serta paling lama 2 (dua) tahun dan/atau
pidana denda paling sedikit Rp500.000,00 (lima
ratus ribu rupiah) dan paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(4) Korporasi . . .
- 42 -(4) Korporasi yang membawa alat-alat yang lazim
digunakan untuk menebang, memotong, atau
membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa
izin pejabat yang berwenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf f dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00
(dua miliar rupiah) dan paling banyak
Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Pasal 85
(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja
membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat
lainnya yang lazim atau patut diduga akan
digunakan untuk mengangkut hasil hutan di
dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang
berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 huruf g dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10
(sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan
paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah).
(2) Korporasi yang membawa alat-alat berat
dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut
diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil
hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin
pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 huruf g dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda
paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00
(lima belas miliar rupiah).
Pasal 86
(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja:
a. mengedarkan kayu hasil pembalakan liar
melalui darat, perairan, atau udara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf
i; dan/atau
b. menyelundupkan . . .
- 43 -b. menyelundupkan kayu yang berasal dari atau
masuk ke wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia melalui sungai, darat, laut, atau
udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
huruf j
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta
pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta
rupiah).
(2) Korporasi yang:
a. mengedarkan kayu hasil pembalakan liar
melalui darat, perairan, atau udara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf
i; dan/atau
b. menyelundupkan kayu yang berasal dari
atau masuk ke wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia melalui sungai, darat,
laut, atau udara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 huruf j
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun serta pidana denda paling sedikit
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan
paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas
miliar rupiah).
Pasal 87
(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja:
a. menerima, membeli, menjual, menerima
tukar, menerima titipan, dan/atau memiliki
hasil hutan yang diketahui berasal dari
pembalakan liar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 huruf k;
b. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah
hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan
hutan yang diambil atau dipungut secara
tidak sah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 huruf l; dan/atau
c. menerima . . .
- 44 -c. menerima, menjual, menerima tukar,
menerima titipan, menyimpan, dan/atau
memiliki hasil hutan kayu yang berasal dari
kawasan hutan yang diambil atau dipungut
secara tidak sah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 huruf m
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta
rupiah).
(2) Orang perseorangan yang karena kelalaiannya:
a. menerima, membeli, menjual, menerima
tukar, menerima titipan, dan/atau memiliki
hasil hutan yang diketahui berasal dari
pembalakan liar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 huruf k;
b. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah
hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan
hutan yang diambil atau dipungut secara
tidak sah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 huruf l; dan/atau
c. menerima, menjual, menerima tukar,
menerima titipan, menyimpan, dan/atau
memiliki hasil hutan kayu yang berasal dari
kawasan hutan yang diambil atau dipungut
secara tidak sah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 huruf m
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8
(delapan) bulan dan paling lama 3 (tiga) tahun
serta pidana denda paling sedikit
Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
(3) Dalam . . .
- 45 -(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh orang
perseorangan yang bertempat tinggal di dalam
dan/atau di sekitar kawasan hutan, pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun
dan/atau pidana denda paling sedikit
Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
(4) Korporasi yang:
a. menerima, membeli, menjual, menerima
tukar, menerima titipan, dan/atau memiliki
hasil hutan yang diketahui berasal dari
pembalakan liar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 huruf k;
b. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah
hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan
hutan yang diambil atau dipungut secara
tidak sah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 huruf l; dan/atau
c. menerima, menjual, menerima tukar,
menerima titipan, menyimpan, dan/atau
memiliki hasil hutan kayu yang berasal dari
kawasan hutan yang diambil atau dipungut
secara tidak sah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 huruf m
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun serta pidana denda paling sedikit
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan
paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas
miliar rupiah).
Pasal 88
(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja:
a. melakukan pengangkutan kayu hasil hutan
tanpa memiliki dokumen yang merupakan
surat keterangan sahnya hasil hutan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16;
b. memalsukan . . .
- 46 -b. memalsukan surat keterangan sahnya hasil
hutan kayu dan/atau menggunakan surat
keterangan sahnya hasil hutan kayu yang
palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14; dan/atau
c. melakukan penyalahgunaan dokumen
angkutan hasil hutan kayu yang diterbitkan
oleh pejabat yang berwenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta
pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta
rupiah).
(2) Korporasi yang:
a. melakukan pengangkutan kayu hasil hutan
tanpa memiliki dokumen yang merupakan
surat keterangan sahnya hasil hutan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16;
b. memalsukan surat keterangan sahnya hasil
hutan kayu dan/atau menggunakan surat
keterangan sahnya hasil hutan kayu yang
palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14; dan/atau
c. melakukan penyalahgunaan dokumen
angkutan hasil hutan kayu yang diterbitkan
oleh pejabat yang berwenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun serta pidana denda paling sedikit
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan
paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas
miliar rupiah).
Pasal 89 . . .
- 47 -Pasal 89
(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja:
a. melakukan kegiatan penambangan di dalam
kawasan hutan tanpa izin Menteri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(1) huruf b; dan/atau
b. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat
lainnya yang lazim atau patut diduga akan
digunakan untuk melakukan kegiatan
penambangan dan/atau mengangkut hasil
tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin
Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 ayat (1) huruf a
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun serta pidana denda paling sedikit
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).
(2) Korporasi yang:
a. melakukan kegiatan penambangan di dalam
kawasan hutan tanpa izin Menteri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(1) huruf b; dan/atau
b. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat
lainnya yang lazim atau patut diduga akan
digunakan untuk melakukan kegiatan
penambangan dan/atau mengangkut hasil
tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin
Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 ayat (1) huruf a
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8
(delapan) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun serta pidana denda paling sedikit
Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah)
dan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima
puluh miliar rupiah).
Pasal 90 . . .
- 48 -Pasal 90
(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja
mengangkut dan/atau menerima titipan hasil
tambang yang berasal dari kegiatan
penambangan di dalam kawasan hutan tanpa
izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(1) huruf c dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10
(sepuluh) tahun serta pidana denda paling
sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima
ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Korporasi yang mengangkut dan/atau menerima
titipan hasil tambang yang berasal dari kegiatan
penambangan di dalam kawasan hutan tanpa
izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(1) huruf c dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun serta pidana denda paling
sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima
belas miliar rupiah).
Pasal 91
(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja:
a. menjual, menguasai, memiliki, dan/atau
menyimpan hasil tambang yang berasal dari
kegiatan penambangan di dalam kawasan
hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (1) huruf d; dan/atau
b. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah
hasil tambang dari kegiatan penambangan di
dalam kawasan hutan tanpa izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(1) huruf e
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun
serta pidana denda paling sedikit
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
(2) Korporasi . . .
- 49 -(2) Korporasi yang:
a. menjual, menguasai, memiliki, dan/atau
menyimpan hasil tambang yang berasal dari
kegiatan penambangan di dalam kawasan
hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (1) huruf d; dan/atau
b. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah
hasil tambang dari kegiatan penambangan di
dalam kawasan hutan tanpa izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(1) huruf e
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun serta pidana denda paling sedikit
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan
paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas
miliar rupiah).
Pasal 92
(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja:
a. melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin
Menteri di dalam kawasan hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b;
dan/atau
b. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat
lainnya yang lazim atau patut diduga akan
digunakan untuk melakukan kegiatan
perkebunan dan/atau mengangkut hasil
kebun di dalam kawasan hutan tanpa izin
Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 ayat (2) huruf a
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun
serta pidana denda paling sedikit
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
(2) Korporasi yang:
a. melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin
Menteri di dalam kawasan hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b;
dan/atau
b. membawa . . .
- 50 -b. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat
lainnya yang lazim atau patut diduga akan
digunakan untuk melakukan kegiatan
perkebunan dan/atau mengangkut hasil
kebun di dalam kawasan hutan tanpa izin
Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 ayat (2) huruf a
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8
(delapan) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun serta pidana denda paling sedikit
Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah)
dan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima
puluh miliar rupiah).
Pasal 93
(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja:
a. mengangkut dan/atau menerima titipan hasil
perkebunan yang berasal dari kegiatan
perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa
izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (2) huruf c;
b. menjual, menguasai, memiliki, dan/atau
menyimpan hasil perkebunan yang berasal
dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan
hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (2) huruf d; dan/atau
c. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah
hasil kebun dari perkebunan yang berasal dari
kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan
tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 ayat (2) huruf e
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun
serta pidana denda paling sedikit
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
(2) Orang . . .
- 51 -(2) Orang perseorangan yang karena kelalaiannya:
a. mengangkut dan/atau menerima titipan hasil
perkebunan yang berasal dari kegiatan
perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa
izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (2) huruf c;
b. menjual, menguasai, memiliki dan/atau
menyimpan hasil perkebunan yang berasal
dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan
hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (2) huruf d; dan/atau
c. membeli, memasarkan dan/atau mengolah
hasil kebun dari perkebunan yang berasal dari
kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan
tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 ayat (2) huruf e
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3) Korporasi yang:
a. mengangkut dan/atau menerima titipan hasil
perkebunan yang berasal dari kegiatan
perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa
izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (2) huruf c;
b. menjual, menguasai, memiliki dan/atau
menyimpan hasil perkebunan yang berasal
dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan
hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (2) huruf d; dan/atau
c. membeli, memasarkan dan/atau mengolah
hasil kebun dari perkebunan yang berasal dari
kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan
tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 ayat (2) huruf e
dipidana . . .
- 52 -dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun serta pidana denda paling sedikit
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan
paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas
miliar rupiah).
Pasal 94
(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja:
a. menyuruh, mengorganisasi, atau
menggerakkan pembalakan liar dan/atau
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf
a;
b. melakukan permufakatan jahat untuk
melakukan pembalakan liar dan/atau
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf
c;
c. mendanai pembalakan liar dan/atau
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah
secara langsung atau tidak langsung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf
d; dan/atau
d. mengubah status kayu hasil pembalakan liar
dan/atau hasil penggunaan kawasan hutan
secara tidak sah, seolah-olah menjadi kayu
yang sah atau hasil penggunaan kawasan
hutan yang sah untuk dijual kepada pihak
ketiga, baik di dalam maupun di luar negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf f
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8
(delapan) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun serta pidana denda paling sedikit
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
dan paling banyak Rp100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah).
(2) Korporasi . . .
- 53 -(2) Korporasi yang:
a. menyuruh, mengorganisasi, atau
menggerakkan pembalakan liar dan/atau
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf
a;
b. melakukan permufakatan jahat untuk
melakukan pembalakan liar dan/atau
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf
c;
c. mendanai pembalakan liar dan/atau
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah,
secara langsung atau tidak langsung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf
d; dan/atau
d. mengubah status kayu hasil pembalakan liar
dan atau hasil penggunaan kawasan hutan
secara tidak sah, seolah-olah menjadi kayu
yang sah atau hasil penggunaan kawasan
hutan yang sah untuk dijual kepada pihak
ketiga, baik di dalam maupun di luar negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf f
dipidana dengan pidana penjara paling singkat
10 (sepuluh) tahun dan paling lama seumur
hidup serta pidana denda paling sedikit
Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah)
dan paling banyak Rp1.000.000.000.000,00
(satu triliun rupiah).
Pasal 95
(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja:
a. memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar
dengan mengubah bentuk, ukuran, termasuk
pemanfaatan limbahnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 huruf g;
b. menempatkan . . .
- 54 -b. menempatkan, mentransfer, membayarkan,
membelanjakan, menghibahkan,
menyumbangkan, menitipkan, membawa ke
luar negeri dan/atau menukarkan uang atau
surat berharga lainnya serta harta kekayaan
lainnya yang diketahuinya atau patut diduga
merupakan hasil pembalakan liar dan/atau
hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak
sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
huruf h; dan/atau
c. menyembunyikan atau menyamarkan asal
usul harta yang diketahui atau patut diduga
berasal dari hasil pembalakan liar dan/atau
hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak
sah sehingga seolah-olah menjadi harta
kekayaan yang sah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 huruf i
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8
(delapan) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun serta pidana denda paling sedikit
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
dan paling banyak Rp100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah).
(2) Orang perseorangan yang karena kelalaiannya:
a. memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar
dengan mengubah bentuk, ukuran, termasuk
pemanfaatan limbahnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 huruf g;
b. menempatkan, mentransfer, membayarkan,
membelanjakan, menghibahkan,
menyumbangkan, menitipkan, membawa ke
luar negeri dan/atau menukarkan uang atau
surat berharga lainnya serta harta kekayaan
lainnya yang diketahuinya atau patut diduga
merupakan hasil pembalakan liar dan/atau
hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak
sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
huruf h; dan/atau
c. menyembunyikan . . .
- 55 -c. menyembunyikan atau menyamarkan asal
usul harta yang diketahui atau patut diduga
berasal dari hasil pembalakan liar dan/atau
hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak
sah sehingga seolah-olah menjadi harta
kekayaan yang sah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 huruf i
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2
(dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta
pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(3) Korporasi yang:
a. memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar
dengan mengubah bentuk, ukuran, termasuk
pemanfaatan limbahnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 huruf g;
b. menempatkan, mentransfer, membayarkan,
membelanjakan, menghibahkan,
menyumbangkan, menitipkan, membawa ke
luar negeri, dan/atau menukarkan uang atau
surat berharga lainnya serta harta kekayaan
lainnya yang diketahuinya atau patut diduga
merupakan hasil pembalakan liar dan/atau
hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak
sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
huruf h; dan/atau
c. menyembunyikan atau menyamarkan asal
usul harta yang diketahui atau patut diduga
berasal dari hasil pembalakan liar dan/atau
hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak
sah sehingga seolah-olah menjadi harta
kekayaan yang sah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 huruf i
dipidana dengan pidana penjara paling singkat
10 (sepuluh) tahun dan paling lama seumur
hidup serta pidana denda paling sedikit
Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah)
dan paling banyak Rp1.000.000.000.000,00
(satu triliun rupiah).
Pasal 96 . . .
- 56 -Pasal 96
(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja:
a. memalsukan surat izin pemanfaatan hasil
hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan
hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
huruf a;
b. menggunakan surat izin palsu pemanfaatan
hasil hutan kayu dan/atau penggunaan
kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 huruf b; dan/atau
c. memindahtangankan atau menjual izin yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang
kecuali dengan persetujuan Menteri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf
c
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta
pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta
rupiah).
(2) Korporasi yang:
a. memalsukan surat izin pemanfaatan hasil
hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan
hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
huruf a;
b. menggunakan surat izin palsu pemanfaatan
hasil hutan kayu dan/atau penggunaan
kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 huruf b; dan/atau
c. memindahtangankan atau menjual izin yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang
kecuali dengan persetujuan Menteri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf
c
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun serta pidana denda paling sedikit
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan
paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas
miliar rupiah).
Pasal 97 . . .
- 57 -Pasal 97
(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja:
a. merusak sarana dan prasarana pelindungan
hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25;
dan/atau
b. merusak, memindahkan, atau menghilangkan
pal batas luar kawasan hutan, batas fungsi
kawasan hutan, atau batas kawasan hutan
yang berimpit dengan batas negara yang
mengakibatkan perubahan bentuk dan/atau
luasan kawasan hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun serta
pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta
rupiah).
(2) Orang perseorangan yang karena kelalaiannya:
a. merusak sarana dan prasarana pelindungan
hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25;
dan/atau
b. merusak, memindahkan, atau menghilangkan
pal batas luar kawasan hutan, batas fungsi
kawasan hutan, atau batas kawasan hutan
yang berimpit dengan batas negara yang
mengakibatkan perubahan bentuk dan/atau
luasan kawasan hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8
(delapan) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun
serta pidana denda paling sedikit
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
(3) Korporasi yang:
a. merusak sarana dan prasarana pelindungan
hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25;
dan/atau
b. merusak . . .
- 58 -b. merusak, memindahkan, atau menghilangkan
pal batas luar kawasan hutan, batas fungsi
kawasan hutan, atau batas kawasan hutan
yang berimpit dengan batas negara yang
mengakibatkan perubahan bentuk dan/atau
luasan kawasan hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun serta pidana denda paling sedikit
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan
paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas
miliar rupiah).
Pasal 98
(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja turut
serta melakukan atau membantu terjadinya
pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan
hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 huruf b dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 3 (tiga) tahun serta pidana denda paling
sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp1.500.000.000,00
(satu miliar lima ratus juta rupiah).
(2) Orang perseorangan yang karena kelalaiannya
turut serta melakukan atau membantu
terjadinya pembalakan liar dan/atau
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8
(delapan) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun
serta pidana denda paling sedikit
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
(3) Korporasi . . .
- 59 -(3) Korporasi yang turut serta melakukan atau
membantu terjadinya pembalakan liar dan/atau
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun serta pidana denda paling sedikit
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan
paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas
miliar rupiah).
Pasal 99
(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja
menggunakan dana yang diduga berasal dari
hasil pembalakan liar dan/atau penggunaan
kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 huruf e dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
serta pidana denda paling sedikit
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
dan paling banyak Rp100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah).
(2) Orang perseorangan yang karena kelalaiannya
menggunakan dana yang diduga berasal dari
hasil pembalakan liar dan/atau penggunaan
kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 huruf e dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta
rupiah).
(3) Korporasi yang menggunakan dana yang diduga
berasal dari hasil pembalakan liar dan/atau
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf e
dipidana dengan pidana penjara paling singkat
10 (sepuluh) tahun dan paling lama seumur
hidup serta pidana denda paling sedikit
Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah)
dan paling banyak Rp1.000.000.000.000,00
(satu triliun rupiah).
Pasal 100 . . .
- 60 -Pasal 100
(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja
mencegah, merintangi, dan/atau menggagalkan
secara langsung maupun tidak langsung upaya
pemberantasan pembalakan liar dan
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Korporasi yang mencegah, merintangi, dan/atau
menggagalkan secara langsung maupun tidak
langsung upaya pemberantasan pembalakan liar
dan penggunaan kawasan hutan secara tidak
sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun serta pidana denda paling sedikit
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan
paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas
miliar rupiah).
Pasal 101
(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja
memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar
dan/atau penggunaan kawasan hutan secara
tidak sah yang berasal dari hutan konservasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun serta
pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta
rupiah).
(2) Dalam . . .
- 61 -(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh orang perseorangan
yang bertempat tinggal di sekitar atau di dalam
kawasan hutan dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) bulan serta paling lama 1
(satu) tahun dan/atau pidana denda paling
sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah)
paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
(3) Korporasi yang memanfaatkan kayu hasil
pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan
hutan secara tidak sah yang berasal dari hutan
konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21 dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun serta pidana denda paling sedikit
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan
paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas
miliar rupiah).
Pasal 102
(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja
menghalang-halangi dan/atau menggagalkan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, atau
pemeriksaan di sidang pengadilan tindak pidana
pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan
secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10
(sepuluh) tahun serta pidana denda paling
sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
(2) Korporasi yang menghalang-halangi dan/atau
menggagalkan penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, atau pemeriksaan di sidang
pengadilan tindak pidana pembalakan liar dan
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
serta pidana denda paling sedikit
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan
paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas
miliar rupiah).
Pasal 103 . . .
- 62 -Pasal 103
(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja
melakukan intimidasi dan/atau ancaman
terhadap keselamatan petugas yang melakukan
pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar
dan penggunaan kawasan hutan secara tidak
sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun
serta pidana denda paling sedikit
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
(2) Korporasi yang melakukan intimidasi dan/atau
ancaman terhadap keselamatan petugas yang
melakukan pencegahan dan pemberantasan
pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan
secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun serta pidana denda paling sedikit
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan
paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas
miliar rupiah).
Pasal 104
Setiap pejabat yang dengan sengaja melakukan
pembiaran terjadinya perbuatan pembalakan liar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 sampai
dengan Pasal 17 dan Pasal 19, tetapi tidak
menjalankan tindakan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 15
(lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus
juta rupiah).
Pasal 105 . . .
- 63 -Pasal 105
Setiap pejabat yang:
a. menerbitkan izin pemanfaatan hasil hutan kayu
dan/atau penggunaan kawasan hutan di dalam
kawasan hutan yang tidak sesuai dengan
kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 huruf a;
b. menerbitkan izin pemanfaatan hasil hutan kayu
dan/atau izin penggunaan kawasan hutan di
dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf b;
c. melindungi pelaku pembalakan liar dan/atau
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf c;
d. ikut serta atau membantu kegiatan pembalakan
liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara
tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
huruf d;
e. melakukan permufakatan untuk terjadinya
pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan
hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 huruf e;
f. menerbitkan surat keterangan sahnya hasil
hutan tanpa hak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 huruf f; dan/atau
g. dengan sengaja melakukan pembiaran dalam
melaksanakan tugas sehingga terjadi tindak
pidana pembalakan liar dan/atau penggunaan
kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 huruf g
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun
serta pidana denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah).
Pasal 106 . . .
- 64 -Pasal 106
Setiap pejabat yang melakukan kelalaian dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 huruf h dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 5
(lima) tahun serta pidana denda paling sedikit
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah).
Pasal 107
Setiap kegiatan pembalakan liar dan/atau
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 sampai
dengan Pasal 17 dan Pasal 20 sampai dengan Pasal
26 yang melibatkan pejabat, pidananya ditambah
1/3 (satu per tiga) dari ancaman pidana pokok.
Pasal 108
Selain penjatuhan sanksi pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 82, Pasal 84, Pasal 94, Pasal
96, Pasal 97 huruf a, Pasal 97 huruf b, Pasal 104,
Pasal 105, atau Pasal 106 dikenakan juga uang
pengganti, dan apabila tidak terpenuhi, terdakwa
dikenai hukuman penjara yang lamanya tidak
melebihi ancaman maksimum dari pidana pokok
sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini
dan lama pidana sudah ditentukan dalam putusan
pengadilan.
Pasal 109
(1) Dalam hal perbuatan pembalakan, pemanenan,
pemungutan, penguasaan, pengangkutan, dan
peredaran kayu hasil tebangan liar dilakukan
oleh atau atas nama suatu korporasi, tuntutan
dan/atau penjatuhan pidana dilakukan terhadap
korporasi dan/atau pengurusnya.
(2) Perbuatan . . .
- 65 -(2) Perbuatan pembalakan, pemanenan,
pemungutan, penguasaan, pengangkutan, dan
peredaran kayu hasil tebangan liar dilakukan
oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut
dilakukan oleh orang perorangan, baik
berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan
lain, bertindak dalam lingkungan korporasi
tersebut baik secara sendiri maupun bersamasama.
(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap
korporasi, korporasi tersebut diwakili oleh
pengurus.
(4) Hakim dapat memerintahkan pengurus korporasi
agar menghadap sendiri di sidang pengadilan
dan dapat pula memerintahkan agar pengurus
tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
(5) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap
korporasi hanya pidana denda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 82 sampai dengan Pasal
103.
(6) Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 82 sampai dengan Pasal
103, korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan
berupa penutupan seluruh atau sebagian
perusahaan.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 110
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. perkara tindak pidana perusakan hutan yang
telah dilakukan penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di pengadilan berdasarkan UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3888) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi
Undang-Undang . . .
- 66 -Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4412) tetap dilanjutkan sampai memperoleh
putusan pengadilan yang memiliki kekuatan
hukum tetap; dan
b. perkara tindak pidana perusakan hutan dalam
kawasan hutan yang telah ditunjuk oleh
Pemerintah sebelum Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011 tanggal 12
Februari 2012 tentang Pengujian UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, berlaku ketentuan dalam UndangUndang ini.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 111
(1) Lembaga pencegahan dan pemberantasan
perusakan hutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 53 harus telah terbentuk paling lama 2
(dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini
diundangkan.
(2) Sejak terbentuknya lembaga sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), penanganan semua
tindak pidana perusakan hutan yang
terorganisasi sebagaimana diatur dalam UndangUndang ini menjadi kewenangan lembaga
pencegahan dan pemberantasan perusakan
hutan.
Pasal 112
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. ketentuan Pasal 50 ayat (1) dan ayat (3) huruf a,
huruf f, huruf g, huruf h, huruf j, serta huruf k;
dan
b. ketentuan . . .
- 67 -b. ketentuan Pasal 78 ayat (1) mengenai ketentuan
pidana terhadap Pasal 50 ayat (1) serta ayat (2)
mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50
ayat (3) huruf a dan huruf b, ayat (6), ayat (7),
ayat (9), dan ayat (10)
dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4412) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 113
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua
peraturan perundang-undangan yang merupakan
peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888) yang
mengatur tindak pidana perusakan hutan
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Pasal 114
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar . . .
- 68 -Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 6 Agustus 2013
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 Agustus 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 130
Salinan sesuai dengan aslinya
KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI
Asisten Deputi Perundang-undangan
Bidang Perekonomian,
Lydia Silvanna Djaman
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 18 TAHUN 2013
TENTANG
PENCEGAHAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN
I. UMUM
Hutan Indonesia sebagai karunia dan anugerah Tuhan Yang Maha Esa
yang diamanatkan kepada bangsa Indonesia merupakan unsur utama
sistem penyangga kehidupan manusia dan merupakan modal dasar
pembangunan nasional yang memiliki manfaat nyata, baik manfaat ekologi,
sosial budaya, maupun ekonomi agar kehidupan dan penghidupan bangsa
Indonesia berkembang secara seimbang dan dinamis.
Hutan Indonesia merupakan salah satu hutan tropis terluas di dunia
sehingga keberadaanya menjadi tumpuan keberlangsungan kehidupan
bangsa-bangsa di dunia, khususnya dalam mengurangi dampak perubahan
iklim global. Oleh karena itu, pemanfaataan dan penggunaannya harus
dilakukan secara terencana, rasional, optimal, dan bertanggung jawab
sesuai dengan kemampuan daya dukung serta memperhatikan kelestarian
fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup guna mendukung pengelolaan
hutan dan pembangunan kehutanan yang berkelanjutan bagi kemakmuran
rakyat. Hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa
bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dengan demikian, hutan sebagai salah satu sumber kekayaan alam bangsa
Indonesia dikuasai oleh negara.
Penguasaan sumber daya hutan oleh negara memberi wewenang kepada
pemerintah untuk (i) mengatur dan mengurus segala sesuatu yang
berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; (ii) menetapkan
kawasan hutan dan/atau mengubah status kawasan hutan; (iii) mengatur
dan menetapkan hubungan hukum antara orang dan hutan atau kawasan
hutan dan hasil hutan; serta (iv) mengatur perbuatan hukum mengenai
kehutanan. Selanjutnya, pemerintah sesuai dengan kewenangannya dapat
memberikan izin kepada pihak lain yang memenuhi persyaratan untuk
melakukan kegiatan di bidang kehutanan. Namun, untuk hal-hal tertentu
yang sangat penting, berskala dan berdampak luas, serta bernilai strategis,
pemerintah harus memperhatikan aspirasi rakyat melalui persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Pembangunan . . .
- 2 -Pembangunan hutan berkelanjutan memerlukan upaya yang sungguhsungguh karena masih terjadi berbagai tindak kejahatan kehutanan,
seperti pembalakan liar, penambangan tanpa izin, dan perkebunan tanpa
izin. Kejahatan itu telah menimbulkan kerugian negara dan kerusakan
kehidupan sosial budaya dan lingkungan hidup yang sangat besar serta
telah meningkatkan pemanasan global yang telah menjadi isu nasional,
regional, dan internasional.
Akhir-akhir ini perusakan hutan semakin meluas dan kompleks.
Perusakan itu terjadi tidak hanya di hutan produksi, tetapi juga telah
merambah ke hutan lindung ataupun hutan konservasi. Perusakan hutan
telah berkembang menjadi suatu tindak pidana kejahatan yang berdampak
luar biasa dan terorganisasi serta melibatkan banyak pihak, baik nasional
maupun internasional. Kerusakan yang ditimbulkan telah mencapai
tingkat yang sangat mengkhawatirkan bagi kelangsungan hidup bangsa
dan negara. Oleh karena itu, penanganan perusakan hutan harus
dilakukan secara luar biasa.
Upaya menangani perusakan hutan sesungguhnya telah lama dilakukan,
tetapi belum berjalan secara efektif dan belum menunjukkan hasil yang
optimal. Hal itu antara lain disebabkan oleh peraturan perundangundangan yang ada belum secara tegas mengatur tindak pidana perusakan
hutan yang dilakukan secara terorganisasi. Oleh karena itu, diperlukan
payung hukum dalam bentuk undang-undang agar perusakan hutan
terorganisasi dapat ditangani secara efektif dan efisien serta pemberian efek
jera kepada pelakunya.
Berdasarkan pemikiran sebagaimana diuraikan di atas, upaya
pemberantasan perusakan hutan melalui undang-undang ini dilaksanakan
dengan mengedepankan asas keadilan dan kepastian hukum,
keberlanjutan, tanggung jawab negara, partisipasi masyarakat, tanggung
gugat, prioritas, serta keterpaduan dan koordinasi. Selanjutnya,
pembentukan undang-undang ini, selain memiliki aspek represif juga
mempertimbangkan aspek restoratif, bertujuan untuk:
a. memberikan payung hukum yang lebih tegas dan lengkap bagi aparat
penegak hukum untuk melakukan pemberantasan perusakan hutan
sehingga mampu memberi efek jera bagi pelakunya;
b. meningkatkan kemampuan dan koordinasi aparat penegak hukum dan
pihak-pihak terkait melalui lembaga pencegahan dan pemberantasan
perusakan hutan dalam upaya pemberantasan perusakan hutan.
c. meningkatkan peran masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan
terutama sebagai bentuk kontrol sosial pelaksanaan pemberantasan
perusakan hutan;
d. mengembangkan . . .
- 3 -d. mengembangkan kerja sama internasional dalam rangka pemberantasan
perusakan hutan secara bilateral, regional, ataupun multilateral; dan
e. menjamin keberadaan hutan secara berkelanjutan dengan tetap menjaga
kelestarian dan tidak merusak lingkungan serta ekosistem sekitarnya
guna mewujudkan masyarakat sejahtera.
Ruang lingkup undang-undang ini meliputi (i) pencegahan perusakan
hutan; (ii) pemberantasan perusakan hutan; (iii) kelembagaan; (iv) peran
serta masyarakat; (v) kerja sama internasional; (vi) pelindungan saksi,
pelapor, dan informan; (vii) pembiayaan; dan (viii) sanksi.
Cakupan perusakan hutan yang diatur dalam undang-undang ini meliputi
proses, cara, atau perbuatan merusak hutan melalui kegiatan pembalakan
liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. Adapun
pembalakan liar didefinisikan sebagai semua kegiatan pemanfaatan hasil
hutan kayu secara tidak sah yang terorganisasi, sedangkan penggunaan
kawasan hutan secara tidak sah meliputi kegiatan terorganisasi yang
dilakukan di dalam kawasan hutan untuk perkebunan dan/atau
pertambangan tanpa izin Menteri.
Undang-undang ini dititikberatkan pada pemberantasan perusakan hutan
yang dilakukan secara terorganisasi, yaitu kegiatan yang dilakukan oleh
suatu kelompok yang terstruktur, terdiri atas 2 (dua) orang atau lebih, dan
yang bertindak secara bersama-sama pada suatu waktu tertentu dengan
tujuan melakukan perusakan hutan, tetapi tidak termasuk kelompok
masyarakat yang melakukan perladangan tradisional. Pengecualian
terhadap kegiatan perladangan tradisional diberikan kepada masyarakat
yang telah hidup secara turun-temurun di dalam wilayah hutan tersebut
dan telah melakukan kegiatan perladangan dengan mengikuti tradisi rotasi
yang telah ditetapkan oleh kelompoknya.
Upaya pencegahan perusakan hutan dilakukan melalui pembuatan
kebijakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah serta dengan
peningkatan peran serta masyarakat. Dalam rangka pemberantasan
perusakan hutan, Undang-Undang ini mengatur kategori dari perbuatan
perusakan hutan terorganisasi, baik perbuatan langsung, tidak langsung,
maupun perbuatan terkait lainnya. Guna meningkatkan efektivitas
pemberantasan perusakan hutan, Undang-Undang ini dilengkapi dengan
hukum acara yang meliputi penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan.
Undang-undang . . .
- 4 -Undang-undang ini mengamanatkan pembentukan suatu lembaga yang
melaksanakan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan
terorganisasi yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada
Presiden yang terdiri atas unsur kehutanan, kepolisian, kejaksaan, dan
unsur terkait lainnya, seperti unsur kementerian terkait, ahli/pakar, dan
wakil masyarakat. Selain memiliki fungsi penegakan hukum, lembaga ini
juga memiliki fungsi koordinasi dan supervisi.
Sejak terbentuknya lembaga pencegahan dan pemberantasan perusakan
hutan, penanganan semua tindak pidana perusakan hutan yang
terorganisasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini menjadi
kewenangan lembaga pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.
Sedangkan tindak pidana perusakan hutan terorganisasi yang sedang
dalam proses hukum, tetap dilanjutkan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang sebelumnya sampai diperoleh kekuatan hukum
tetap.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”keadilan dan kepastian hukum”
adalah pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan yang
diselenggarakan dengan berlandaskan hukum/ketentuan
peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum
berlaku untuk semua lapisan masyarakat.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”keberlanjutan” adalah setiap orang
memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi
mendatang dan terhadap sesamanya dalam satu generasi
untuk menjaga kelestarian hutan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan ”tanggung jawab negara” adalah
pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan merupakan
tanggung jawab negara untuk melakukannya agar kelestarian
hutan tetap terjaga.
Huruf d . . .
- 5 -Huruf d.
Yang dimaksud “partisipasi masyarakat” adalah bahwa
keterlibatan masyarakat dalam melakukan kegiatan
pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan memiliki
peran yang sangat signifikan dalam rangka menjaga kelestarian
hutan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan ”tanggung gugat” adalah bahwa
evaluasi kinerja pencegahan dan pemberantasan perusakan
hutan dilaksanakan dengan mengevaluasi pelaksanaan yang
telah dilakukan dengan perencanaan yang telah dibuat secara
sederhana, terukur, dapat dicapai, rasional, dan kegiatannya
dapat dijadwalkan.
Huruf f
Yang dimaksud ”prioritas” adalah bahwa perkara perusakan
hutan merupakan perkara yang perlu penanganan segera
sehingga penanganan penyelidikan, penyidikan, ataupun
penuntutan perlu didahulukan.
Huruf g
Yang dimaksud dengan ”keterpaduan dan koordinasi” adalah
kegiatan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan
diselenggarakan dengan mengintegrasikan berbagai
kepentingan yang bersifat lintas sektor, lintas pemangku
kepentingan, dan koordinasi antarsektor dan antarkepentingan
sangat diperlukan. Pemangku kepentingan antara lain
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) . . .
- 6 -Ayat (2)
Penetapan sumber kayu alternatif dimaksudkan untuk
memenuhi permintaan domestik dan internasional terhadap
produk kayu yang senantiasa tumbuh pada saat pengurangan
kapasitas industri pengolahan kayu dilakukan.
Pengembangan hutan tanaman yang produktif dikembangkan
dengan memanfaatkan lahan kritis dan lahan tidur seperti
lahan bekas hak pengelolaan hutan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 7
Yang dimaksud dengan “masyarakat” adalah masyarakat setempat,
masyarakat hukum adat, dan masyarakat umum. Masyarakat
setempat merupakan masyarakat yang tinggal di dalam dan/atau
sekitar hutan yang merupakan kesatuan komunitas sosial
berdasarkan mata pencaharian yang bergantung pada hutan,
kesejarahan, keterikatan tempat tinggal, serta pengaturan tata tertib
kehidupan bersama dalam wadah kelembagaan.
Masyarakat hukum adat adalah masyarakat tradisional yang masih
terkait dalam bentuk paguyuban, memiliki kelembagaan dalam
bentuk pranata dan perangkat hukum adat yang masih ditaati, dan
masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan
sekitarnya yang keberadaannya dikukuhkan dengan Peraturan
Daerah.
Masyarakat umum adalah masyarakat di luar masyarakat setempat
dan masyarakat hukum adat.
Badan hukum yang dimaksud dalam Undang-Undang ini adalah
badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha
milik swasta, dan koperasi.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11 . .
- 7 -Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “perladangan tradisional” adalah usaha
tani yang dilakukan oleh masyarakat yang telah hidup secara
turun termurun di dalam wilayah hutan tersebut dan kegiatan
perladangan tersebut telah dilakukan dengan mengikuti tradisi
rotasi yang telah ditetapkan oleh kelompoknya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 12
Huruf a
Yang dimaksud dengan “izin pemanfaatan hutan” adalah izin
untuk memanfaatkan hutan dalam kawasan hutan produksi
yang berupa Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan, Izin Usaha
Pemanfaatan Jasa Lingkungan, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan
Kayu, Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu, atau Izin
Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”penebangan pohon dalam kawasan
hutan tanpa memiliki izin” adalah penebangan pohon yang
dilakukan berdasarkan izin pemanfaatan hutan yang diperoleh
secara tidak sah, yaitu izin yang diperoleh dari pejabat yang
tidak berwenang mengeluarkan izin pemanfaatan hutan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan ”memuat” adalah memasukkan ke
dalam alat angkut.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f . . .
- 8 -Huruf f
Yang dimaksud dengan “alat-alat yang lazim digunakan untuk
menebang, memotong, atau membelah pohon”, tidak termasuk
dalam ketentuan ini adalah alat seperti parang, mandau, golok
atau alat sejenis lainnya yang dibawa oleh masyarakat
setempat sesuai dengan tradisi budaya serta karakteristik
daerah setempat.”
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kegiatan yang mempunyai tujuan
strategis yang tidak dapat dihindari” adalah kegiatan yang
diprioritaskan dan harus dilakukan pada masa itu karena tidak
ada pilihan lain dan kegiatan itu mempunyai pengaruh yang
sangat penting bagi kedaulatan negara, pertahanan keamanan
negara, pertumbuhan ekonomi, sosial, budaya, dan/atau
lingkungan. Contohnya antara lain pembangunan dermaga
atau jembatan di sempadan sungai yang membelah kawasan
hutan.
Pasal 14 . . .
- 9 -Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Yang dimaksud dengan “dokumen angkutan hasil hutan kayu”
antara lain berupa surat keterangan sahnya hasil hutan, daftar kayu
bulat, daftar kayu olahan, faktur angkutan kayu bulat, dan faktur
angkutan kayu olahan.
Pasal 16
Alat angkut dinyatakan telah mengangkut hasil hutan apabila
sebagian atau seluruh hasil hutan telah berada di dalam alat angkut
untuk dikirim atau dipindahkan ke tempat lain.
Yang termasuk dalam pengertian “melakukan pengangkutan” adalah
proses yang dimulai dari memuat hasil hutan memasukkan, atau
membawa hasil hutan ke dalam alat angkut dan alat angkut yang
membawa hasil hutan bergerak ke tempat tujuan dan membongkar,
menurunkan, atau mengeluarkan hasil hutan dari alat angkut.
Di samping hasil hutan yang tidak disertai dengan surat keterangan
sahnya hasil hutan, alat angkut, baik darat maupun perairan yang
dipergunakan untuk mengangkut hasil hutan dimaksud dirampas
untuk negara, hal itu dimaksudkan agar pemilik jasa angkutan/
pengangkut ikut bertanggung jawab atas keabsahan hasil hutan yang
diangkut.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “sanksi administratif” adalah sanksi
yang dikenakan terhadap pelanggaran tanpa izin dan terhadap
pemegang izin.
Terhadap pelanggaran tanpa izin, sanksi administratif yang
dikenakan berupa ganti rugi sesuai dengan tingkat kerusakan
yang ditimbulkan kepada negara yang berupa biaya
rehabilitasi, pemulihan kondisi hutan, atau tindakan lain yang
diperlukan.
Terhadap pemegang izin, sanksi administratif yang dikenakan
berupa denda, penghentian kegiatan, pengurangan areal, atau
pencabutan izin.
Huruf a . . .
- 10 -Huruf a
Yang dimaksud dengan “paksaan pemerintah” adalah
tindakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah agar
perusahaan/badan hukum melakukan pemulihan hutan
akibat perbuatannya melakukan perusakan hutan
karena tidak mematuhi ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “uang paksa” adalah uang yang
harus dibayarkan dalam jumlah tertentu oleh badan
hukum atau korporasi yang melanggar ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan sebagai pengganti dari
pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Yang termasuk dalam kategori “menghalang-halangi” adalah setiap
upaya memperlambat proses, menutupi kasus, serta mempersulit
dalam memperoleh data dan informasi.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b . . .
- 11 -Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "memindahtangankan" atau “menjual
izin” adalah terbatas pada pengalihan izin pemanfaatan dari
pemegang izin kepada pihak lain yang dilakukan melalui jual
beli, tetapi tidak termasuk akuisisi.
Pasal 25
Yang dimaksud dengan “sarana dan prasarana pelindungan hutan”
adalah antara lain jalan patroli, pos jaga, papan larangan, alat
komunikasi statis, alat transportasi, pal batas, dan alat-alat
pengamanan hutan.
Pasal 26
Yang dimaksud dengan “pal batas luar kawasan hutan” adalah pal
batas, baik berupa tugu batas dan patok batas, patok batas perairan
(buoi).
Yang dimaksud dengan “pal batas fungsi kawasan hutan” adalah
tugu batas atau patok batas.
Yang dimaksud dengan “batas kawasan hutan yang berimpit dengan
batas negara” adalah tugu batas atau patok batas, dan buoi yang
berimpit dengan batas negara.
Pasal 27
Yang dimaksud dengan “tindakan” antara lain melaporkan,
melakukan tindakan hukum, dan menghentikan suatu perbuatan.
Pasal 28
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “melindungi” adalah kegiatan yang
dapat menghambat berlangsungnya proses penyidikan
terhadap pelaku yang telah diketahui sebagai daftar pencarian
orang (DPO), seperti menyembunyikan pelaku.
Huruf d . . .
- 12 -Huruf d
Yang dimaksud dengan “membantu” adalah mereka yang
dengan sengaja membantu dilakukannya kejahatan dan/atau
yang dengan sengaja memberi kesempatan dan sarana untuk
melakukan kejahatan pembalakan liar.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b . . .
- 13 -Huruf b
Angka 1
Yang dimaksud dengan ’’informasi elektronik’’ adalah
informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang
serupa dengan itu.
Angka 2
Yang dimaksud dengan ’’dokumen elektronik’’ adalah
data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca,
dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau
tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas
kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang
terekam secara elektronik, berupa:
a) tulisan, suara, atau gambar;
b) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; dan/atau
c) huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang
memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang
mampu membaca atau memahaminya.
Angka 3
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “daerah yang sulit terjangkau karena
faktor alam dan geografis atau transportasi” adalah daerah
yang secara geografis mengalami keterbatasan transportasi
karena memerlukan waktu tempuh lebih dari 3 x 24 jam.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 40 . . .
Pasal 40
- 14 -Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “barang temuan” adalah barang bukti
yang tidak dan/atau belum diketahui pemiliknya.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “barang bukti sitaan” adalah barang
bukti yang disita dari pemiliknya dan/atau yang
menguasainya.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang-undangan”
adalah ketentuan peraturan perundang-udangan mengenai disiplin
kepegawaian dan tanggung jawab jabatan.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “barang bukti kayu” adalah kayu
temuan atau kayu sitaan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kepentingan publik atau kepentingan
sosial” adalah kepentingan yang digunakan, antara lain, untuk
bantuan penanggulangan bencana alam, untuk infrastruktur
umum bagi masyarakat, serta untuk infrastruktur rumah dan
sarana prasarana bagi warga miskin.
Ayat (3) . . .
Ayat (3)
- 15 -Cukup jelas.
Ayat (4)
Barang bukti kayu, termasuk benda yang dapat lekas rusak
dan penyimpananya memerlukan biaya tinggi sehingga tidak
mungkin disimpan sampai dengan putusan pengadilan
terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan
hukum tetap.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan 1 (satu) daur adalah jangka waktu
sejak penanaman sampai dengan tanaman secara ekonomis
tidak produktif.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan kata “dapat” adalah bahwa Pemerintah
tidak harus selalu memberikan penugasan kepada badan
usaha milik negara untuk memanfaatkan kebun, tetapi dapat
juga melakukan penghutanan kembali sesuai dengan
fungsinya.
Yang dimaksud dengan “penugasan” adalah pemberian
wewenang oleh negara kepada badan usaha milik negara yang
memiliki kompetensi untuk melakukan kegiatan pengelolaan
perkebunan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “metode survei daya muat” adalah
metode penentuan kuantitas barang yang dimuat di atas kapal
atau dibongkar dengan cara menghitung net displacement
kapal berdasarkan prinsip Archimedes.
Yang . . .
- 16 -Yang dimaksud dengan “pembacaan skala angka kapal” adalah
pemeriksaan kuantitas (volume dan/atau berat) hasil hutan
kayu yang berada di kapal (di atas atau di dalam palka kapal),
kecuali di atas atau di dalam/palka kapal layar motor yang
terbuat dari kayu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “pihak terafiliasi” adalah para pihak
yang memiliki suatu hubungan/pertalian dengan pihak
tersangka karena:
a. hubungan kekerabatan/kekeluargaan karena perkawinan
dan keturunan sampai derajat kedua, baik secara horizontal
maupun vertikal;
b. hubungan usaha dan/atau hubungan kerja atau pihak yang
mempengaruhi pengelolaan perusahaan milik tersangka,
seperti pegawai, direktur, komisaris dari perusahaan
tersangka atau perusahaan tempat tersangka menjadi
pemegang saham, komanditer, atau pihak-pihak lain yang
memiliki hubungan usaha di bidang jual beli kayu, hasil
kebun, atau hasil tambang dengan tersangka; dan/atau
c. hubungan sebagai pihak yang memberikan jasanya kepada
tersangka, seperti konsultan perusahaan, konsultan hukum
atau akuntan public.
Ayat (5)
Memiliki keahlian dan bersertifikat seperti juru ukur kayu
(scaler), penentu kualitas kayu (grader), juru taksir, dan
akuntan.
Pasal 50 . . .
- 17 -Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “unsur lain yang terkait” adalah
antara lain kementerian terkait, unsur ahli, akademisi
dan masyarakat.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b . . .
- 18 -Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “terintegrasi” adalah sistem
informasi pemberantasan perusakan hutan dapat diakses
secara bersama oleh lembaga-lembaga penegak hukum
terkait dengan basis data yang terhubung satu sama lain.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “antarlembaga penegak hukum”
antara lain adalah Kepolisian Republik Indonesia,
Kejaksaan Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan
Korupsi, PPNS, dan Polisi Kehutanan.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 57
Yang dimaksud dengan “Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia” adalah alat kelengkapan dewan yang membidangi
kehutanan.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61 . . .
- 19 -Pasal 61
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Contoh kegiatan lain di antaranya adalah membantu
menangkap pelaku perusakan hutan.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”hubungan baik berdasarkan prinsip
timbal balik (resiprositas)” adalah hubungan bersahabat
dengan berpedoman pada kepentingan nasional dan
berdasarkan pada prinsip persamaan kedudukan, saling
menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum nasional
maupun hukum internasional yang berlaku.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67 . . .
- 20 -Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan ”aset hasil tindak pidana perusakan
hutan” adalah setiap harta kekayaan, baik yang diperoleh
secara langsung maupun tidak langsung dari kegiatan
perusakan hutan, termasuk kekayaan yang kemudian
dikonversi, diubah, atau digabungkan dengan kekayaan yang
dihasilkan atau diperoleh langsung dari kegiatan perusakan
hutan, pendapatan, modal, atau keuntungan ekonomi lainnya
yang diperoleh dari kekayaan tersebut dari waktu ke waktu
sejak terjadinya tindak pidana perusakan hutan.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74 . . .
- 21 -Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Yang dimaksud dengan “pelindungan khusus” antara lain meliputi
pelindungan keamanan dan pelindungan hukum.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Memberikan keterangan tidak dengan itikad baik dalam
ketentuan ini antara lain berupa pemberian keterangan palsu,
sumpah palsu, dan permufakatan jahat.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “bertempat tinggal di dalam dan/atau
di sekitar kawasan hutan” adalah orang perseorangan yang
bermukim di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan yang
memiliki mata pencaharian yang bergantung pada kawasan
hutan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 83 . . .
- 22 -Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98 . . .
- 23 -Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pertanggung jawaban pidana bagi pengurus korporasi dibatasi
sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam
struktur organisasi korporasi yang bersangkutan.
Ayat (4) . . .
- 24 -Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5432
Tidak ada komentar:
Posting Komentar