Senin, 14 Desember 2015

UNDANG-UNDANG


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 18 TAHUN 2013
TENTANG
PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang   : a.  bahwa  hutan,  sebagai  karunia  dan  anugerah  Tuhan
Yang  Maha  Esa  yang  diamanatkan  kepada  bangsa
Indonesia,  merupakan  kekayaan  yang  dikuasai  oleh
negara  dan  memberikan  manfaat  bagi  umat  manusia
yang wajib disyukuri, dikelola, dan dimanfaatkan secara
optimal  serta  dijaga  kelestariannya  untuk
sebesar-besarnya  kemakmuran  rakyat  sebagaimana
dinyatakan  dalam  Undang-Undang  Dasar  Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b.  bahwa  pemanfaatan  dan  penggunaan  kawasan  hutan
harus  dilaksanakan  secara  tepat  dan  berkelanjutan
dengan  mempertimbangkan  fungsi  ekologis,  sosial,  dan
ekonomis  serta  untuk  menjaga  keberlanjutan  bagi
kehidupan  sekarang  dan  kehidupan  generasi  yang  akan
datang;
c.  bahwa  telah  terjadi  perusakan  hutan  yang  disebabkan
oleh  pemanfaatan  hutan  dan  penggunaan  kawasan
hutan  yang  tidak  sesuai  dengan  ketentuan  peraturan
perundang-undangan;
d.  bahwa  perusakan  hutan,  terutama  berupa  pembalakan
liar,  penambangan  tanpa  izin,  dan  perkebunan  tanpa
izin  telah  menimbulkan  kerugian  negara,  kerusakan
kehidupan  sosial  budaya  dan  lingkungan  hidup,  serta
meningkatkan pemanasan global yang telah menjadi isu
nasional, regional, dan internasional;
e.  bahwa  perusakan  hutan  sudah  menjadi  kejahatan  yang
berdampak  luar  biasa,  terorganisasi,  dan  lintas  negara
yang  dilakukan  dengan  modus  operandi  yang  canggih,
telah  mengancam  kelangsungan  kehidupan  masyarakat
sehingga  dalam  rangka  pencegahan  dan  pemberantasan
perusakan  hutan  yang  efektif  dan  pemberian  efek  jera
diperlukan landasan hukum yang kuat dan yang mampu
menjamin efektivitas penegakan hukum;
f. bahwa . . .
- 2 -f.  bahwa peraturan perundang-undangan yang ada sampai
saat  ini  tidak  memadai  dan  belum  mampu  menangani
pemberantasan secara efektif terhadap perusakan hutan
yang terorganisasi; dan
g.  bahwa  berdasarkan  pertimbangan  sebagaimana
dimaksud  dalam  huruf  a,  huruf  b,  huruf  c,  huruf  d,
huruf  e,  dan  huruf  f  perlu  membentuk  Undang-Undang
tentang  Pencegahan  dan  Pemberantasan  Perusakan
Hutan.
Mengingat  :  1.  Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 33 ayat
(3)  Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia
Tahun 1945; dan
2.  Undang-Undang  Nomor  41  Tahun  1999  tentang
Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia  Nomor  3888)  sebagaimana  telah  diubah
dengan  Undang-Undang  Nomor  19  Tahun  2004  tentang
Penetapan  Peraturan  Pemerintah  Pengganti  UndangUndang  Nomor  1  Tahun  2004  tentang  Perubahan  atas
Undang-undang  Nomor  41  Tahun  1999  tentang
Kehutanan  Menjadi  Undang-Undang  (Lembaran  Negara
Republik  Indonesia  Tahun  2004  Nomor  86,  Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412).
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan  :  UNDANG-UNDANG  TENTANG  PENCEGAHAN  DAN
PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Hutan . . .
- 3 -1.  Hutan  adalah  suatu  kesatuan  ekosistem  berupa
hamparan  lahan  berisi  sumber  daya  alam  hayati  yang
didominasi  pepohonan  dalam  komunitas  alam
lingkungannya  yang  tidak  dapat  dipisahkan  antara  yang
satu dan yang lainnya.
2.  Kawasan  hutan  adalah  wilayah  tertentu  yang  ditetapkan
oleh  Pemerintah  untuk  dipertahankan  keberadaannya
sebagai hutan tetap.
3.  Perusakan  hutan  adalah  proses,  cara,  atau  perbuatan
merusak  hutan  melalui  kegiatan  pembalakan  liar,
penggunaan kawasan hutan tanpa izin atau penggunaan
izin  yang  bertentangan  dengan  maksud  dan  tujuan
pemberian  izin  di  dalam  kawasan  hutan  yang  telah
ditetapkan,  yang  telah  ditunjuk,  ataupun  yang  sedang
diproses penetapannya oleh Pemerintah.
4.  Pembalakan  liar  adalah  semua  kegiatan  pemanfaatan
hasil hutan kayu secara tidak sah yang terorganisasi.
5.  Penggunaan  kawasan  hutan  secara  tidak  sah  adalah
kegiatan  terorganisasi  yang  dilakukan  di  dalam  kawasan
hutan untuk perkebunan dan/atau pertambangan tanpa
izin Menteri.
6.  Terorganisasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh suatu
kelompok  yang  terstruktur,  yang  terdiri  atas  2  (dua)
orang  atau  lebih,  dan  yang   bertindak  secara  bersamasama  pada  waktu  tertentu  dengan  tujuan  melakukan
perusakan  hutan,  tidak  termasuk  kelompok  masyarakat
yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan yang
melakukan perladangan tradisional dan/atau melakukan
penebangan  kayu  untuk  keperluan  sendiri  dan  tidak
untuk tujuan komersial.
7.  Pencegahan  perusakan  hutan  adalah  segala  upaya  yang
dilakukan  untuk  menghilangkan  kesempatan  terjadinya
perusakan hutan.
8.  Pemberantasan  perusakan  hutan  adalah  segala  upaya
yang dilakukan untuk menindak secara hukum terhadap
pelaku  perusakan  hutan  baik  langsung,  tidak  langsung,
maupun yang terkait lainnya.
9.  Pemanfaatan  hutan  adalah  kegiatan  untuk
memanfaatkan  kawasan  hutan,  jasa  lingkungan,  hasil
hutan  kayu  dan  bukan  kayu,  serta  memungut  hasil
hutan  kayu  dan  bukan  kayu  secara  optimal  dan  adil
untuk  kesejahteraan  masyarakat  dengan  tetap  menjaga
kelestariannya.
10. Pemanfaatan . . .
- 4 -10.  Pemanfaatan  hasil  hutan  kayu  adalah  kegiatan  untuk
memanfaatkan  dan  mengusahakan  hasil  hutan  berupa
kayu  melalui  kegiatan  penebangan,  permudaan,
pengangkutan,  pengolahan  dan  pemasaran  dengan  tidak
merusak  lingkungan  dan  tidak  mengurangi  fungsi
pokoknya.
11.  Izin  Pemanfaatan  Hasil  Hutan  Kayu  adalah  izin  usaha
yang  diberikan  oleh  Menteri  untuk  memanfaatkan  hasil
hutan  berupa  kayu  pada  hutan  produksi  melalui
kegiatan  pemanenan  atau  penebangan,  pengayaan,
pemeliharaan, dan pemasaran.
12.  Surat  keterangan  sahnya  hasil  hutan  adalah  dokumendokumen  yang  merupakan  bukti  legalitas  hasil  hutan
pada setiap segmen kegiatan dalam penatausahaan hasil
hutan.
13.  Hasil  hutan  kayu  adalah  hasil  hutan  berupa  kayu  bulat,
kayu  bulat  kecil,  kayu  olahan,  atau  kayu  pacakan  yang
berasal dari kawasan hutan.
14.  Pohon  adalah  tumbuhan  yang  batangnya  berkayu  dan
dapat mencapai ukuran diameter 10 (sepuluh) sentimeter
atau  lebih  yang  diukur  pada  ketinggian  1,50  (satu  koma
lima puluh) meter di atas permukaan tanah.
15.  Polisi  Kehutanan  adalah  pejabat  tertentu  dalam  lingkup
instansi  kehutanan  pusat  dan/atau  daerah  yang  sesuai
dengan  sifat  pekerjaannya  menyelenggarakan  dan/atau
melaksanakan usaha pelindungan hutan yang oleh kuasa
undang-undang  diberikan  wewenang  kepolisian  khusus
di  bidang  kehutanan  dan  konservasi  sumber  daya  alam
hayati  dan  ekosistemnya  yang  berada  dalam  satu
kesatuan komando.
16.  Pejabat adalah orang yang diperintahkan atau orang yang
karena  jabatannya  memiliki  kewenangan  dengan  suatu
tugas dan tanggung jawab tertentu.
17.  Pejabat  Penyidik  Pegawai  Negeri  Sipil,  yang  selanjutnya
disingkat  PPNS  adalah  pejabat  pegawai  negeri  sipil
tertentu  dalam  lingkup  instansi  kehutanan  pusat  dan
daerah  yang  oleh  undang-undang  diberi  wewenang
khusus  dalam  penyidikan  di  bidang  kehutanan  dan
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
18. Sanksi . . .
- 5 -18.  Saksi  adalah  orang  yang  dapat  memberikan  keterangan
guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
dan  peradilan  tentang  suatu  perkara  pidana  yang
didengar, dilihat, dan dialami sendiri.
19.  Pelapor  adalah  orang  yang  memberitahukan  adanya
dugaan,  sedang,  atau  telah  terjadinya  perusakan  hutan
kepada pejabat yang berwenang.
20.  Informan  adalah  orang  yang  menginformasikan  secara
rahasia  adanya  dugaan,  sedang,  atau  telah  terjadinya
perusakan hutan kepada pejabat yang berwenang.
21.  Setiap  orang  adalah  orang  perseorangan  dan/atau
korporasi  yang   melakukan  perbuatan  perusakan  hutan
secara  terorganisasi  di  wilayah  hukum  Indonesia
dan/atau berakibat hukum di wilayah hukum Indonesia.
22.  Korporasi  adalah  kumpulan  orang  dan/atau  kekayaan
yang  teroganisasi,  baik  berupa  badan  hukum  maupun
bukan badan hukum.
23.  Pemerintah  Pusat,  yang  selanjutnya  disebut  Pemerintah
adalah  Presiden  Republik  Indonesia  yang  memegang
kekuasaan  Pemerintahan  Negara  Republik  Indonesia
sebagaimana  dimaksud  dalam  Undang-Undang  Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
24.  Pemerintah  Daerah  adalah  gubernur,  bupati  atau
walikota  dan  perangkat   daerah  sebagai  unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
25.  Menteri  adalah  menteri  yang  menyelenggarakan  urusan
pemerintahan di bidang kehutanan.
BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP
Pasal 2
Pencegahan  dan  pemberantasan  perusakan  hutan
berasaskan:
a.  keadilan dan kepastian hukum;
b.  keberlanjutan;
c.  tanggung jawab negara;
d.  partisipasi masyarakat;
e. tanggung . . .
- 6 -e.  tanggung gugat;
f.  prioritas; dan
g.  keterpaduan dan koordinasi.
Pasal 3
Pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan bertujuan:
a.  menjamin   kepastian  hukum  dan  memberikan  efek  jera
bagi pelaku perusakan hutan;
b.  menjamin  keberadaan  hutan  secara  berkelanjutan
dengan  tetap  menjaga  kelestarian  dan  tidak  merusak
lingkungan serta ekosistem sekitarnya;
c.  mengoptimalkan  pengelolaan  dan  pemanfaatan  hasil
hutan  dengan  memperhatikan  keseimbangan  fungsi
hutan guna terwujudnya masyarakat sejahtera; dan
d.  meningkatnya  kemampuan  dan  koordinasi  aparat
penegak  hukum  dan  pihak-pihak  terkait  dalam
menangani  pencegahan  dan  pemberantasan  perusakan
hutan.
Pasal 4
Ruang lingkup pencegahan dan pemberantasan perusakan
hutan meliputi:
a.  pencegahan perusakan hutan;
b.  pemberantasan perusakan hutan;
c.  kelembagaan;
d.  peran serta masyarakat;
e.  kerja sama internasional;
f.  pelindungan saksi, pelapor, dan informan;
g.  pembiayaan; dan
h.  sanksi.
BAB III
PENCEGAHAN PERUSAKAN HUTAN
Pasal 5
Pemerintah  dan/atau  Pemerintah  Daerah  berkewajiban
melakukan pencegahan perusakan hutan.
Pasal 6 . . .
- 7 -Pasal 6
(1)  Dalam rangka pencegahan perusakan hutan, Pemerintah
membuat kebijakan berupa:
a.  koordinasi  lintas  sektor  dalam  pencegahan  dan
pemberantasan perusakan hutan;
b.  pemenuhan  kebutuhan  sumber  daya  aparatur
pengamanan hutan;
c.  insentif  bagi  para  pihak  yang  berjasa  dalam  menjaga
kelestarian hutan;
d.  peta penunjukan kawasan hutan dan/atau koordinat
geografis sebagai dasar yuridis batas kawasan hutan;
dan
e.  pemenuhan  kebutuhan  sarana  dan  prasarana
pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.
(2)  Pemerintah  dan  Pemerintah  Daerah  sesuai  dengan
kewenangannya  menetapkan  sumber  kayu  alternatif
dengan  mendorong  pengembangan  hutan  tanaman  yang
produktif dan teknologi pengolahan.
(3)  Selain  membuat  kebijakan  sebagaimana  dimaksud  pada
ayat  (1),  upaya  pencegahan  perusakan  hutan  dilakukan
melalui  penghilangan  kesempatan  dengan  meningkatkan
peran serta masyarakat.
(4)  Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan sumber kayu
alternatif  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (2)  diatur
dalam Peraturan Menteri.
Pasal 7
Pencegahan  perusakan  hutan  dilakukan  oleh  masyarakat,
badan  hukum,  dan/atau  korporasi  yang  memperoleh  izin
pemanfaatan hutan.
BAB IV
PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 8
(1) Pemerintah  dan  Pemerintah  Daerah  berkewajiban
melakukan pemberantasan perusakan hutan.
(2) Pemberantasan . . .
- 8 -(2) Pemberantasan  perusakan  hutan  dilakukan  dengan  cara
menindak  secara   hukum  pelaku  perusakan  hutan,  baik
langsung, tidak langsung, maupun yang terkait lainnya.
(3) Tindakan  secara  hukum  sebagaimana  dimaksud  pada
ayat  (2)  meliputi  penyelidikan,  penyidikan,  penuntutan,
dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
Pasal 9
Penyelidikan,  penyidikan,  penuntutan,  dan  pemeriksaan  di
sidang  pengadilan  dalam  perkara  tindak  pidana  perusakan
hutan  dilakukan  berdasarkan  hukum  acara  pidana  yang
berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Pasal 10
Perkara  perusakan  hutan  harus  didahulukan  dari  perkara
lain  untuk  diajukan  ke  sidang  pengadilan  guna
penyelesaian secepatnya.
Bagian Kedua
Ketentuan Perbuatan Perusakan Hutan
Pasal 11
(1)  Perbuatan  perusakan  hutan  sebagaimana  dimaksud
dalam  Undang-Undang  ini  meliputi  kegiatan
pembalakan  liar  dan/atau  penggunaan  kawasan  hutan
secara tidak sah yang dilakukan secara terorganisasi.
(2)  Perbuatan  perusakan  hutan  secara  terorganisasi
merupakan  kegiatan  yang  dilakukan  oleh  suatu
kelompok  yang  terstruktur,  yang  terdiri  atas  2  (dua)
orang  atau  lebih,  dan  yang   bertindak  secara  bersamasama  pada  waktu  tertentu  dengan  tujuan  melakukan
perusakan hutan.
(3)  Kelompok terstruktur sebagaimana dimaksud pada ayat
(2)  tidak  termasuk  kelompok  masyarakat  yang
bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan
hutan  yang  melakukan  perladangan  tradisional
dan/atau melakukan penebangan kayu di luar kawasan
hutan  konservasi  dan  hutan  lindung  untuk  keperluan
sendiri dan tidak untuk tujuan komersial.
(4) Masyarakat . . .
- 9 -(4)  Masyarakat  yang  bertempat  tinggal  di  dalam  dan/atau
di  sekitar  kawasan  hutan  yang  melakukan  penebangan
kayu  di  luar  kawasan  hutan  konservasi  dan  hutan
lindung  untuk  keperluan  sendiri  dan  tidak  untuk
tujuan komersial harus mendapat izin dari pejabat yang
berwenang  sesuai  dengan  ketentuan  peraturan
perundang-undangan.
(5)  Ketentuan  mengenai  penebangan  kayu  di  luar  kawasan
hutan  konservasi  dan  hutan  lindung  untuk  keperluan
sendiri  dan  tidak  untuk  tujuan  komersial  diatur  lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 12
Setiap orang dilarang:
a.  melakukan  penebangan  pohon  dalam  kawasan  hutan
yang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan hutan;
b.  melakukan  penebangan  pohon  dalam  kawasan  hutan
tanpa  memiliki  izin  yang  dikeluarkan  oleh  pejabat  yang
berwenang;
c.  melakukan  penebangan  pohon  dalam  kawasan  hutan
secara tidak sah;
d.  memuat,  membongkar,  mengeluarkan,  mengangkut,
menguasai,  dan/atau  memiliki  hasil  penebangan  di
kawasan hutan tanpa izin;
e.  mengangkut,  menguasai,  atau  memiliki  hasil  hutan
kayu  yang  tidak  dilengkapi  secara  bersama  surat
keterangan sahnya hasil hutan;
f.  membawa  alat-alat  yang  lazim  digunakan  untuk
menebang,  memotong,  atau  membelah  pohon  di  dalam
kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;
g.  membawa  alat-alat  berat  dan/atau  alat-alat  lainnya
yang  lazim  atau  patut  diduga  akan  digunakan  untuk
mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa
izin pejabat yang berwenang;
h.  memanfaatkan  hasil  hutan  kayu  yang  diduga  berasal
dari hasil pembalakan liar;
i. mengedarkan . . .
- 10 -i.  mengedarkan kayu hasil  pembalakan liar melalui darat,
perairan, atau udara;
j.  menyelundupkan kayu yang berasal dari atau masuk ke
wilayah  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia  melalui
sungai, darat, laut, atau udara;
k.  menerima,  membeli,  menjual,  menerima  tukar,
menerima  titipan,  dan/atau  memiliki  hasil  hutan  yang
diketahui berasal dari pembalakan liar;
l.  membeli,  memasarkan,  dan/atau  mengolah  hasil  hutan
kayu  yang  berasal  dari  kawasan  hutan  yang  diambil
atau dipungut secara tidak sah; dan/atau
m.  menerima, menjual, menerima tukar, menerima titipan,
menyimpan,  dan/atau  memiliki  hasil  hutan  kayu  yang
berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut
secara tidak sah.
Pasal 13
(1)  Penebangan  pohon  dalam  kawasan  hutan  secara  tidak
sah  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  12   huruf  c
merupakan  penebangan  pohon  yang  dilakukan  dalam
kawasan  hutan  dengan  radius  atau  jarak  sampai
dengan:
a.  500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau;
b.  200  (dua  ratus)  meter  dari  tepi  mata  air  dan  kiri
kanan sungai di daerah rawa;
c.  100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai;
d.  50  (lima  puluh)  meter  dari  kiri  kanan  tepi  anak
sungai;
e.  2  (dua)  kali  kedalaman  jurang  dari  tepi  jurang;
dan/atau
f.  130  (seratus  tiga  puluh)  kali  selisih  pasang  tertinggi
dan pasang terendah dari tepi pantai.
(2)  Penebangan  pohon  yang  dilakukan  dalam  kawasan
hutan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  huruf  a
dikecualikan  untuk  kegiatan  yang  mempunyai  tujuan
strategis  yang  tidak  dapat  dihindari  dengan  mendapat
izin khusus dari Menteri.
Pasal 14 . . .
- 11 -Pasal 14
Setiap orang dilarang:
a.  memalsukan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu;
dan/atau
b.  menggunakan  surat  keterangan  sahnya  hasil  hutan
kayu yang palsu.
Pasal 15
Setiap orang dilarang melakukan penyalahgunaan dokumen
angkutan  hasil  hutan  kayu  yang  diterbitkan  oleh  pejabat
yang berwenang.
Pasal 16
Setiap  orang  yang  melakukan  pengangkutan  kayu  hasil
hutan  wajib  memiliki  dokumen  yang  merupakan  surat
keterangan  sahnya  hasil  hutan  sesuai  dengan  ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 17
(1)  Setiap orang dilarang:
a.  membawa  alat-alat  berat  dan/atau  alat-alat  lain
yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk
melakukan  kegiatan  penambangan  dan/atau
mengangkut hasil tambang di dalam kawasan hutan
tanpa izin Menteri;
b.  melakukan  kegiatan  penambangan  di  dalam
kawasan hutan tanpa izin Menteri;
c.  mengangkut  dan/atau  menerima  titipan  hasil
tambang yang berasal dari kegiatan penambangan di
dalam kawasan hutan tanpa izin;
d.  menjual,  menguasai,  memiliki,  dan/atau
menyimpan  hasil  tambang  yang  berasal  dari
kegiatan  penambangan  di  dalam  kawasan  hutan
tanpa izin; dan/atau
e.  membeli,  memasarkan,  dan/atau  mengolah  hasil
tambang  dari  kegiatan  penambangan  di  dalam
kawasan hutan tanpa izin.
(2) Setiap . . .
- 12 -(2)  Setiap orang dilarang:
a.  membawa  alat-alat  berat  dan/atau  alat-alat  lainnya
yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk
melakukan  kegiatan  perkebunan  dan/atau
mengangkut  hasil  kebun  di  dalam  kawasan  hutan
tanpa izin Menteri;
b.  melakukan  kegiatan  perkebunan  tanpa  izin  Menteri
di dalam kawasan hutan;
c.  mengangkut  dan/atau  menerima  titipan  hasil
perkebunan  yang  berasal  dari  kegiatan  perkebunan
di dalam kawasan hutan tanpa izin;
d.  menjual,  menguasai,  memiliki,  dan/atau
menyimpan  hasil  perkebunan  yang  berasal  dari
kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa
izin; dan/atau
e.  membeli,  memasarkan,  dan/atau  mengolah  hasil
kebun  dari  perkebunan  yang  berasal  dari  kegiatan
perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin.
Pasal 18
(1)  Selain  dikenai  sanksi  pidana,  pelanggaran  terhadap
ketentuan  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  12
huruf a, huruf b, huruf c, Pasal 17 ayat (1) huruf b,
huruf  c,   huruf  e,  dan  Pasal  17  ayat  (2)  huruf  b,
huruf  c,  dan  huruf  e  yang  dilakukan  oleh  badan
hukum  atau  korporasi  dikenai  sanksi  administratif
berupa:
a.  paksaan pemerintah;
b.  uang paksa; dan/atau
c.  pencabutan izin.
(2)  Ketentuan  mengenai  mekanisme  dan  tata  cara
penerapan  sanksi  administratif  sebagaimana
dimaksud  pada  ayat  (1)  diatur  dengan  Peraturan
Pemerintah.
Pasal 19 . . .
- 13 -Pasal 19
Setiap orang yang berada di dalam atau di luar wilayah
Indonesia dilarang:
a.  menyuruh,  mengorganisasi,  atau  menggerakkan
pembalakan  liar  dan/atau  penggunaan  kawasan
hutan secara tidak sah;
b.  ikut  serta  melakukan  atau  membantu  terjadinya
pembalakan  liar  dan/atau  penggunaan  kawasan
hutan secara tidak sah;
c.  melakukan  permufakatan  jahat  untuk  melakukan
pembalakan  liar  dan/  atau  penggunaan  kawasan
hutan secara tidak sah;
d.  mendanai  pembalakan  liar  dan/atau  penggunaan
kawasan  hutan  secara  tidak  sah  secara  langsung
atau tidak langsung;
e.  menggunakan  dana  yang  diduga  berasal  dari  hasil
pembalakan  liar  dan/atau  penggunaan  kawasan
hutan secara tidak sah;
f.  mengubah  status  kayu  hasil  pembalakan  liar  dan/
atau  hasil  penggunaan  kawasan  hutan  secara  tidak
sah,  seolah-olah  menjadi  kayu  yang  sah,  atau  hasil
penggunaan  kawasan  hutan  yang  sah  untuk  dijual
kepada  pihak  ketiga,  baik  di  dalam  maupun  di  luar
negeri;
g.  memanfaatkan  kayu  hasil  pembalakan  liar  dengan
mengubah  bentuk,  ukuran,  termasuk  pemanfaatan
limbahnya;
h.  menempatkan,  mentransfer,  membayarkan,
membelanjakan,  menghibahkan,  menyumbangkan,
menitipkan,  membawa  ke  luar  negeri,  dan/atau
menukarkan  uang   atau  surat  berharga  lainnya
serta  harta  kekayaan  lainnya  yang  diketahuinya
atau patut diduga merupakan hasil pembalakan liar
dan/atau  hasil  penggunaan  kawasan  hutan  secara
tidak sah; dan/atau
i.  menyembunyikan  atau  menyamarkan  asal  usul
harta  yang  diketahui  atau  patut  diduga  berasal  dari
hasil  pembalakan  liar  dan/atau  hasil  penggunaan
kawasan  hutan  secara  tidak  sah  sehingga  seolaholah menjadi harta kekayaan yang sah.
Pasal 20 . . .
- 14 -Pasal 20
Setiap  orang  dilarang  mencegah,  merintangi,  dan/atau
menggagalkan  secara  langsung  maupun  tidak  langsung
upaya pemberantasan pembalakan liar dan penggunaan
kawasan hutan secara tidak sah.
Pasal 21
Setiap  orang  dilarang  memanfaatkan  kayu  hasil
pembalakan  liar  dan/atau  penggunaan  kawasan  hutan
secara tidak sah yang berasal dari hutan konservasi.
Pasal 22
Setiap  orang  dilarang  menghalang-halangi  dan/atau
menggagalkan  penyelidikan,  penyidikan,  penuntutan,
atau  pemeriksaan  di  sidang  pengadilan  tindak  pidana
pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan secara
tidak sah.
Pasal 23
Setiap  orang  dilarang  melakukan  intimidasi  dan/atau
ancaman  terhadap  keselamatan  petugas  yang
melakukan  pencegahan  dan  pemberantasan
pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan secara
tidak sah.
Pasal 24
Setiap orang dilarang:
a.  memalsukan  surat  izin  pemanfaatan  hasil  hutan
kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan;
b.  menggunakan  surat  izin  palsu  pemanfaatan  hasil
hutan  kayu  dan/atau  penggunaan  kawasan  hutan;
dan/atau
c.  memindahtangankan  atau  menjual  izin  yang
dikeluarkan  oleh  pejabat  yang  berwenang  kecuali
dengan persetujuan Menteri.
Pasal 25
Setiap  orang  dilarang  merusak  sarana  dan  prasarana
pelindungan hutan.
Pasal 26 . . .
- 15 -Pasal 26
Setiap  orang  dilarang  merusak,  memindahkan,  atau
menghilangkan  pal  batas  luar  kawasan  hutan,  batas
fungsi  kawasan  hutan,  atau  batas  kawasan  hutan  yang
berimpit  dengan  batas  negara  yang  mengakibatkan
perubahan bentuk dan/atau luasan kawasan hutan.
Pasal 27
Setiap  pejabat  yang  mengetahui  terjadinya  perbuatan
sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  12,  13,  14,  15,  16,
17,  dan  19  wajib  melakukan  tindakan  sesuai  dengan
kewenangannya.
Pasal 28
Setiap pejabat dilarang:
a.  menerbitkan  izin  pemanfaatan  hasil  hutan  kayu
dan/atau  penggunaan  kawasan  hutan  di  dalam
kawasan  hutan  yang  tidak  sesuai  dengan
kewenangannya;
b.  menerbitkan  izin  pemanfaatan  di  dalam  kawasan
hutan  dan/atau  izin  penggunaan  kawasan  hutan
yang  tidak  sesuai  dengan  ketentuan  peraturan
perundang-undangan;
c.  melindungi  pelaku  pembalakan  liar  dan/atau
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah;
d.  ikut serta atau membantu kegiatan pembalakan liar
dan/atau  penggunaan  kawasan  hutan  secara  tidak
sah;
e.  melakukan  permufakatan  untuk  terjadinya
pembalakan  liar  dan/atau  penggunaan  kawasan
hutan secara tidak sah;
f.  menerbitkan  surat  keterangan  sahnya  hasil  hutan
tanpa hak;
g.  dengan  sengaja  melakukan  pembiaran  dalam
melaksanakan tugas; dan/atau
h.  lalai dalam melaksanakan tugas.
Bagian Ketiga . . .
- 16 -Bagian Ketiga
Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Paragraf 1
Penyidikan dan Penuntutan
Pasal 29
Selain  Penyidik  Pejabat  Polisi  Negara  Republik
Indonesia,  PPNS  diberi  wewenang  khusus  sebagai
penyidik  sebagaimana  dimaksud  dalam  Kitab  UndangUndang Hukum Acara Pidana.
Pasal 30
PPNS  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  29
berwenang:
a.  melakukan  pemeriksaan  atas  kebenaran  laporan
atau  keterangan  berkenaan  dengan  tindak  pidana
perusakan hutan;
b.  melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan
hukum  yang  diduga  melakukan  tindak  pidana
perusakan hutan;
c.  meminta  keterangan  dan  barang  bukti  dari  orang
atau  badan  hukum  sehubungan  dengan  peristiwa
tindak perusakan hutan;
d.  melakukan  pemeriksaan  atas  pembukuan,  catatan,
dan  dokumen  lain  berkenaan  dengan  tindak  pidana
perusakan hutan;
e.  melakukan  pemeriksaan  di  tempat  tertentu  yang
diduga  terdapat  barang  bukti,  pembukuan,
pencatatan,  dan  dokumen  lain  serta  melakukan
penyitaan  terhadap  bahan  dan  barang  hasil
kejahatan   yang  dapat  dijadikan  bukti  dalam
perkara tindak pidana perusakan hutan;
f.  melakukan  penangkapan,  penahanan,
penggeledahan, dan penyitaan;
g.  meminta  bantuan  ahli  dalam  rangka  pelaksanaan
tugas penyidikan tindak pidana perusakan hutan;
h.  menghentikan  penyidikan  apabila  tidak  terdapat
bukti tentang adanya tindakan perusakan hutan;
i. memanggil . . .
- 17 -i.  memanggil  orang  untuk  didengar  dan  diperiksa
sebagai tersangka atau saksi;
j.  membuat  dan  menandatangani  berita  acara  dan
surat-surat  lain  yang  menyangkut  penyidikan
perkara perusakan hutan; dan
k.  memotret  dan/atau  merekam  melalui  alat  potret
dan/atau  alat  perekam  terhadap  orang,  barang,
sarana  pengangkut,  atau  apa  saja  yang  dapat
dijadikan  bukti  tindak  pidana  yang  menyangkut
hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.
Pasal 31
Wilayah  hukum  atau  wilayah  kerja  PPNS  sebagaimana
dimaksud  dalam  Pasal  29  meliputi  seluruh  wilayah
Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia  termasuk  wilayah
kepabeanan.
Pasal 32
PPNS  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  29
memberitahukan  dimulainya   penyidikan  dan
menyampaikan  hasil  penyidikannya  kepada  penuntut
umum  setelah  berkoordinasi  dengan  Penyidik  Pejabat
Polisi Negara Republik Indonesia.
Pasal 33
Untuk  memperoleh  bukti  permulaan  yang  cukup,
penyidik  dapat  menggunakan  laporan  yang  berasal  dari
masyarakat dan/atau instansi terkait.
Pasal 34
(1)  Berdasarkan  bukti  permulaan  yang  cukup
sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  33,  penyidik
berwenang  meminta  kepada  lembaga  penyelenggara
komunikasi untuk:
a.  membuka,  memeriksa,  dan  menyita  surat  atau
kiriman  melalui  pos  serta  jasa  pengiriman
lainnya  yang  mempunyai  hubungan  dengan
pembalakan  liar  yang  sedang  diperiksa;
dan/atau
b. meminta . . .
- 18 -b.  meminta  informasi  pembicaraan  melalui  telepon
atau  alat  komunikasi  lain  yang  diduga
digunakan  untuk  mempersiapkan,
merencanakan,  dan  melakukan  perusakan
hutan.
(2)  Tindakan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)
huruf  b,  hanya  dapat  dilakukan  atas  izin  ketua
pengadilan  negeri  setempat  atas  permintaan
penyidik  untuk  jangka  waktu  paling  lama  1  (satu)
tahun.
(3) Ketua pengadilan negeri setempat wajib memberikan
izin  untuk  meminta  informasi  sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dalam waktu paling lama 7
(tujuh)  hari  kerja  setelah  diterimanya  permintaan
dari penyidik.
(4)  Tindakan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  dan
ayat  (2)  dilaporkan  serta  dipertanggungjawabkan
kepada atasan penyidik.
Pasal 35
(1)  Untuk  kepentingan  penyidikan,  penuntutan,  atau
pemeriksaan  di  sidang  pengadilan,  penyidik,
penuntut  umum,  atau  hakim  berwenang  meminta
keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan
tersangka atau terdakwa.
(2)  Permintaan  keterangan  kepada  bank  sebagaimana
dimaksud  pada  ayat  (1)  diajukan  kepada  Pimpinan
Otoritas Jasa Keuangan.
(3)  Pimpinan  Otoritas  Jasa  Keuangan  wajib  memenuhi
permintaan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (2)
dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung
sejak surat permintaan diterima.
(4)  Penyidik,  penuntut  umum,  atau  hakim  berwenang
meminta  kepada  bank  untuk  memblokir  rekening
simpanan  milik  tersangka  atau  terdakwa  yang
diduga  sebagai  hasil  pembalakan  liar  selama  proses
penyidikan,  penuntunan,  dan/atau  pemeriksaan
berlangsung.
(5) Dalam . . .
- 19 -(5)  Dalam  hal  hasil  pemeriksaan  terhadap  tersangka
atau  terdakwa  tidak  diperoleh  bukti  yang  cukup,
atas  permintaan  penyidik,  penuntut  umum,  atau
hakim,  pimpinan  bank  harus  mencabut
pemblokiran.
Pasal 36
Untuk  kepentingan  penyidikan,  penuntutan,  atau
pemeriksaan  di  sidang  pengadilan,  penyidik,  penuntut
umum, atau hakim berwenang:
a.  meminta  data  kekayaan  dan  data  perpajakan
tersangka atau terdakwa kepada unit kerja terkait;
b.  meminta  bantuan  kepada  Pusat  Pelaporan  dan
Analisis  Transaksi  Keuangan  untuk  melakukan
penyelidikan atas data keuangan tersangka;
c.  meminta  kepada  instansi  yang  terkait  untuk
melarang seseorang berpergian ke luar negeri;
d.  menetapkan  seseorang  sebagai  tersangka  dan
dimasukkan  dalam  daftar  pencarian  orang;
dan/atau
e.  meminta  kepada  pimpinan  atau  atasan  tersangka
untuk  memberhentikan  sementara  tersangka  dari
jabatannya.
Pasal 37
Alat  bukti  pemeriksaan  perbuatan  perusakan  hutan
meliputi:
a.  alat  bukti  sebagaimana  dimaksud  dalam  Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana; dan/atau
b.  alat bukti lain berupa:
1.  informasi elektronik;
2.  dokumen elektronik; dan/atau
3.  peta.
Pasal 38
(1)  Penyidik  melakukan  penangkapan  terhadap  orang
yang  diduga  keras  melakukan  tindak  pidana
perusakan  hutan  berdasarkan  bukti  permulaan
yang  cukup  untuk paling  lama  2  x  24  (dua  kali  dua
puluh empat) jam.
(2) Dalam . . .
- 20 -(2)  Dalam  hal  waktu  untuk  pemeriksaan  sebagaimana
dimaksud  pada  ayat  (1)  belum  mencukupi,  atasan
langsung  penyidik  dapat  memberi  izin  untuk
memperpanjang penangkapan tersebut untuk paling
lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam.
Pasal 39
Untuk  mempercepat  penyelesaian  perkara  perusakan
hutan:
a.  penyidik  wajib  menyelesaikan  dan  menyampaikan
berkas perkara kepada penuntut umum paling lama
60  (enam  puluh)  hari  sejak  dimulainya  penyidikan
dan  dapat  diperpanjang  paling  lama  30  (tiga  puluh)
hari;
b.  dalam hal hasil penyidikan belum lengkap, penuntut
umum  wajib  melakukan  penyidikan  paling  lama  20
(dua puluh) hari dan dapat diperpanjang paling lama
30 (tiga puluh) hari;
c.  penuntut  umum  wajib  melimpahkan  perkara  ke
pengadilan  paling  lama  25  (dua  puluh  lima)  hari
terhitung sejak selesai penyidikan;
d.  untuk  daerah  yang  sulit  terjangkau  karena  faktor
alam  dan  geografis  atau  transportasi  dan  tingginya
biaya  dalam  rangka  penjagaan  dan  pengamanan
barang  bukti,  terhadap  barang  bukti  kayu  cukup
dilakukan  penyisihan  barang  bukti  yang  disertai
dengan berita acara penyisihan barang bukti; dan
e.  instansi  teknis  kehutanan  wajib  menunjuk  ahli
penguji  dan  pengukur  kayu  yang  diminta  penyidik
dengan  mempertimbangkan  kecepatan  untuk
penyidikan.
Pasal 40
(1)  Penyidik  yang  melakukan  penyitaan  barang  bukti
hasil  tindak  pidana  perusakan  hutan,  baik  berupa
barang  bukti  temuan  maupun  barang  bukti  sitaan,
wajib  melakukan  penyegelan  dan  membuat  berita
acara penyitaan pada hari penyitaan dilakukan yang
sekurang-kurangnya memuat:
a.  nama, kelompok jenis, sifat, dan jumlah;
b. keterangan . . .
- 21 -b.  keterangan  tempat,  jam,  hari,  tanggal,  bulan,
dan tahun dilakukan penyitaan;
c.  keterangan  mengenai  pemilik  atau  yang
menguasai kayu hasil pembalakan liar; dan/atau
d.  tanda  tangan  dan  identitas   lengkap  pejabat
penyidik yang melakukan penyitaan.
(2)  Penyidik  bertanggung  jawab  atas  penyimpanan
barang  bukti  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)
yang berada di bawah penguasaannya.
(3)  Penyidik  yang  melakukan  penyitaan  barang  bukti
temuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
a.  melaporkan dan meminta izin sita;
b.  meminta  izin  peruntukan  kepada  ketua
pengadilan  negeri  setempat  dalam  waktu  paling
lama  3  x  24  (tiga  kali  dua  puluh  empat)  jam
sejak dilakukan penyitaan; dan
c.  menyampaikan  tembusan  kepada  kepala
kejaksaan negeri setempat.
(4)  Penyidik  yang  melakukan  penyitaan  barang  bukti
sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
a.  melaporkan dan meminta izin sita;
b.  meminta  izin  lelang  bagi  barang  yang  mudah
rusak  kepada  ketua  pengadilan  negeri  setempat
dalam  waktu  paling  lama  3  x  24  (tiga  kali  dua
puluh  empat)  jam  sejak  dilakukan  penyitaan;
dan
c.  menyampaikan  tembusan  kepada  kepala
kejaksaan negeri setempat.
(5)  Batas waktu pelaporan sebagaimana dimaksud pada
ayat  (4),  untuk  daerah  yang  sulit  terjangkau  karena
faktor  alam,  geografis,  atau  transportasi,  dapat
diperpanjang  menjadi  paling  lama  14  (empat  belas)
hari.
(6)  Ketua  pengadilan  negeri  wajib  menerbitkan  atau
menolak  izin/persetujuan  sita  yang  diajukan  oleh
penyidik  paling  lambat  2  x  24  (dua  kali  dua  puluh
empat) jam sejak permintaan diterima.
Pasal 41 . . .
- 22 -Pasal 41
Ketua  pengadilan  negeri  setempat,  dalam  waktu  paling
lama  7  (tujuh)  hari  setelah  menerima  permintaan
penyidik  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  40  ayat
(3),  wajib  menetapkan  peruntukan  pemanfaatan  barang
bukti.
Pasal 42
Setiap  pejabat  yang  tidak  melaksanakan  kewajiban
sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  39,  Pasal  40,  dan
Pasal  41  dikenai  sanksi  administratif  sesuai  dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 43
Peruntukan  pemanfaatan  barang  bukti  sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41 ditujukan:
a.  untuk kepentingan pembuktian perkara;
b.  untuk  pemanfaatan  bagi  kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan;
c.  untuk dimusnahkan; dan/atau
d.  untuk kepentingan publik atau kepentingan sosial.
Pasal 44
(1)  Barang  bukti  kayu  hasil  pembalakan  liar  dan/atau
hasil  dari  penggunaan  kawasan  hutan  secara  tidak
sah  yang  berasal  dari  hutan  konservasi
dimusnahkan,  kecuali  untuk  kepentingan
pembuktian perkara dan penelitian.
(2)  Barang  bukti  kayu  temuan  hasil  pembalakan  liar
yang  berasal  dari  luar  hutan  konservasi
dimanfaatkan  untuk  kepentingan  publik  atau
kepentingan sosial.
(3)  Barang bukti kayu sitaan hasil pembalakan liar yang
berasal  dari  luar  hutan  konservasi  dapat  dilelang
karena  dapat  cepat  rusak  atau  biaya
penyimpanannya terlalu tinggi  yang pelaksanaannya
sesuai  dengan  ketentuan  peraturan  perundangundangan.
(4) Hasil . . .
- 23 -(4)  Hasil  lelang  kayu  sitaan  sebagaimana  dimaksud
pada  ayat  (3)  disimpan  di  bank  pemerintah  sebagai
barang bukti perkara di pengadilan.
(5)  Peruntukan  barang  bukti  perkara  sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan
putusan  pengadilan  yang  mempunyai  kekuatan
hukum tetap.
Pasal 45
(1)  Barang  bukti  temuan  hasil  kebun  dan/atau  hasil
tambang  beserta  sarana  prasarana  pendukungnya
dari hasil tindak pidana penggunaan kawasan hutan
secara  tidak  sah  dapat  dilelang  dan  hasilnya
dimanfaatkan  untuk  kepentingan  publik  atau
kepentingan sosial.
(2)  Barang  bukti  sitaan  hasil  kebun  dan/atau  hasil
tambang  beserta  sarana  prasarana  pendukungnya
dari hasil tindak pidana penggunaan kawasan hutan
secara  tidak  sah  dapat  dilelang  karena  dapat  cepat
rusak atau biaya penyimpanannya terlalu tinggi.
(3)  Hasil  lelang  barang  bukti  sitaan  hasil  kebun
dan/atau  hasil  tambang  beserta  sarana  prasarana
pendukungnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disimpan  di  bank  Pemerintah  sebagai  barang  bukti
perkara di pengadilan.
(4)  Peruntukan  barang  bukti  perkara  sebagaimana
dimaksud  pada  ayat  (3)  dilakukan  sesuai  dengan
putusan  pengadilan  yang  mempunyai  kekuatan
hukum tetap.
Pasal 46
(1)  Barang  bukti  berupa  kebun  dan/atau  tambang  dari
penggunaan  kawasan  hutan  secara  tidak  sah  yang
telah  mendapat  putusan  pengadilan  berkekuatan
hukum  tetap  dikembalikan  kepada  Pemerintah
untuk dihutankan kembali sesuai dengan fungsinya.
(2)  Barang  bukti  berupa  kebun  sebagaimana  dimaksud
pada ayat (1) dimanfaatkan paling lama 1 (satu) daur
sampai  selesainya  proses  pemulihan  kawasan
hutan.
(3) Dalam . . .
- 24 -(3)  Dalam  hal  barang  bukti  kebun  dimanfaatkan
sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (2),  Pemerintah
dapat  memberikan  penugasan  kepada  badan  usaha
milik negara yang bergerak di bidang perkebunan.
(4)  Barang  bukti  berupa  tambang  sebagaimana
dimaksud  pada  ayat  (1)  dapat  diberikan  izin  sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 47
(1)  Untuk  kepentingan  penyidikan  yang  terkait  dengan
kuantitas  barang  bukti  yang  berada  dalam  kapal
atau  alat  angkut  air  lainnya  dapat  digunakan
metode  survei  daya  muat,  metode  pemeriksaan
pembacaan  skala  angka  kapal,  atau  metode  lain
yang lazim digunakan dalam bidang pelayaran.
(2)  Metode  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)
dilaksanakan  oleh  lembaga  yang  telah  mempunyai
kualifikasi  di  bidangnya  sesuai  dengan  ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 48
Ketentuan  mengenai  tata  cara  penyimpanan  barang
bukti  hasil  perusakan  hutan  yang  disita  sebagaimana
dimaksud  dalam  Pasal  40  ayat  (2)  dan  tata  cara
peruntukan barang bukti sebagaimana dimaksud dalam
Pasal  44,  Pasal  45,  dan  Pasal  46  diatur  dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 49
(1) Penyidik  mengajukan  permohonan  lelang  kepada
ketua  pengadilan  negeri  setempat  terhadap  barang
bukti  sitaan  berupa  kayu  hasil  pembalakan  liar
sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  44  ayat  (3)  dan
barang bukti temuan serta barang bukti sitaan berupa
hasil  kebun  dan/atau  hasil  tambang  beserta  sarana
prasarana  pendukungnya  dari  hasil  tindak  pidana
penggunaan  kawasan  hutan  secara  tidak  sah
sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  45  ayat  (1)  dan
ayat (2).
(2) Pelaksanaan . . .
- 25 -(2) Pelaksanaan  lelang  terhadap  barang  bukti
sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  dilakukan  oleh
Badan Lelang Negara dalam jangka waktu paling lama
14 (empat belas) hari kerja.
(3) Pelaksanaan  lelang  oleh  Badan  Lelang  Negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara
terbuka  setelah  selesainya  pengujian,  penghitungan,
dan penetapan nilai barang bukti oleh lembaga.
(5) Terhadap pihak terafiliasi,  tersangka kasus perusakan
hutan  dilarang  mengikuti  lelang  sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
(6) Pengujian, penghitungan, atau penetapan  nilai barang
bukti  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (3)  harus
dilakukan  oleh  orang  yang  memiliki  keahlian  dan
bersertifikat dari lembaga yang terakreditasi.
Pasal 50
Pengembalian kerugian akibat perusakan hutan tidak menghapus pidana
pelaku perusakan hutan.
Paragraf 2
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Pasal 51
(1)  Dalam  hal  terdakwa  telah  dipanggil  secara  sah  tetapi
tidak  hadir  di  sidang  pengadilan  tanpa  alasan  yang
sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa
hadirnya terdakwa.
(2)  Putusan  yang  dijatuhkan  tanpa  kehadiran  terdakwa
diumumkan  oleh  penuntut  umum  pada  papan
pengumuman  pengadilan,  kantor  pemerintah  daerah,
dan/atau  diberitahukan  kepada  terdakwa  atau
kuasanya.
(3)  Terdakwa  atau  kuasanya  dapat  mengajukan  upaya
hukum  atas  putusan  sebagaimana  dimaksud  pada
ayat  (1)  dalam  jangka  waktu  paling  lama  14  (empat
belas)  hari  sejak  putusan  dijatuhkan,  diumumkan,
atau  diberitahukan  kepada  terdakwa  yang  tidak
hadir.
Pasal 52 . . .
- 26 -Pasal 52
(1)  Perkara perusakan hutan wajib diperiksa dan diputus
oleh  pengadilan  negeri  dalam  jangka  waktu  paling
lama 45 (empat puluh lima) hari kerja terhitung sejak
tanggal  penerimaan  pelimpahan  perkara  dari
penuntut umum.
(2)  Dalam  hal  putusan  pengadilan  sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dimohonkan banding, perkara
perusakan  hutan  wajib  diperiksa  dan  diputus  dalam
jangka  waktu  paling  lama  30  (tiga  puluh)  hari  kerja
terhitung  sejak  tanggal  berkas  perkara  diterima  oleh
Pengadilan Tinggi.
(3)  Dalam  hal  putusan  Pengadilan  Tinggi  dimohonkan
kasasi,  perkara  pembalakan  liar  wajib  diperiksa  dan
diputus  dalam  jangka  waktu  paling  lama  50  (lima
puluh)  hari  kerja  terhitung  sejak  tanggal  berkas
perkara diterima oleh Mahkamah Agung.
Pasal 53
(1)  Pemeriksaan  perkara  perusakan  hutan  sebagaimana
dimaksud  dalam  Pasal  52  ayat  (1),  pada  pengadilan
negeri,  dilakukan  oleh  majelis  hakim  yang  berjumlah
3  (tiga)  orang  yang  terdiri  dari  satu  orang  hakim
karier  di  pengadilan  negeri  setempat  dan  dua  orang
hakim ad hoc.
(2)  Pengangkatan  hakim  ad  hoc  sebagaimana  dimaksud
pada  ayat  (1)  dilakukan  oleh  Presiden  atas  usulan
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia.
(3)  Setelah  berlakunya  Undang-Undang  ini  ketua
Mahkamah  Agung  Republik  Indonesia  harus
mengusulkan  calon  hakim  ad  hoc  yang  diangkat
melalui  Keputusan  Presiden  untuk  memeriksa
perkara perusakan hutan.
(4)  Dalam  mengusulkan  calon  hakim  ad  hoc
sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (3),  Ketua
Mahkamah  Agung  wajib  mengumumkan  kepada
masyarakat.
(5)  Untuk  dapat  diangkat  menjadi  hakim  ad  hoc,  harus
terpenuhi syarat sebagai berikut:
a.  warga negara Indonesia;
b. bertakwa . . .
- 27 -b.  bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c.  berusia  paling  rendah  40  (empat  puluh)  tahun
pada saat pengangkatan;
d.  berijazah  sarjana  hukum  atau  sarjana  lain  yang
memiliki  keahlian  dan  pengalaman  sekurangkurangnya  10  (sepuluh)  tahun  dalam  bidang
kehutanan;
e.  tidak  pernah  dijatuhi  hukuman  pidana  penjara
berdasarkan  putusan  pengadilan  yang  telah
memperoleh  kekuatan  hukum  tetap  karena
melakukan  tindak  pidana  yang  diancam  pidana  5
(lima) tahun atau lebih;
f.  tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
g.  cakap,  jujur,  serta  memiliki  integritas  moral  yang
tinggi dan memiliki reputasi yang baik;
h.  tidak  menjadi  pengurus  salah  satu  partai  politik;
dan
i.  melepaskan  jabatan  struktural  dan  jabatan
lainnya selama menjadi hakim ad hoc.
BAB V
LEMBAGA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN
Pasal 54
(1)  Dalam  rangka  pelaksanaan  pencegahan  dan
pemberantasan  perusakan  hutan,  Presiden
membentuk lembaga yang menangani pencegahan
dan pemberantasan perusakan hutan.
(2)  Lembaga  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)
berkedudukan  di  bawah  dan  bertanggung  jawab
kepada Presiden.
(3)  Lembaga  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)
terdiri atas:
a.  unsur Kementerian Kehutanan;
b.  unsur Kepolisian Republik Indonesia;
c.  unsur Kejaksaan Republik Indonesia; dan
d.  unsur lain yang terkait.
(4) Pelaksanaan . . .
- 28 -(4)  Pelaksanaan  tugas  lembaga  sebagaimana
dimaksud  pada  ayat  (1)  dilakukan  berdasarkan
ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 55
(1)  Lembaga  dipimpin  seorang  kepala  dan  dibantu
oleh  seorang  sekretaris  dan  beberapa  orang
deputi.
(2)  Sekretaris  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)
berasal  dari  unsur  Pemerintah  dan  bertugas
menyelenggarakan  dukungan  administratif
terhadap  pelaksanaan  tugas  dan  tanggung  jawab
lembaga.
(3)  Deputi sebagaimana pada ayat (1) membidangi:
a.  bidang pencegahan;
b.  bidang penindakan;
c.  bidang hukum dan kerja sama; dan
d.  bidang  pengawasan  internal  dan  pengaduan
masyarakat.
(4)  Dalam  melaksanakan  tugas  dan  wewenangnya,
lembaga  dapat  membentuk  satuan  tugas  sebagai
unsur pelaksana.
(5)  Satuan  tugas  melaksanakan  pemberantasan
perusakan  hutan  yang  bersifat  strategis  sejak
penyelidikan  sampai  dengan  penuntutan  di
seluruh  wilayah  Negara  Kesatuan  Republik
Indonesia,  termasuk  wilayah  kepabeanan  atas
perintah kepala lembaga dan/atau deputi.
(6)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  pembentukan,
susunan organisasi, dan tata kerja lembaga diatur
dalam Peraturan Presiden.
Pasal 56
(1)  Lembaga  yang  menangani  pencegahan  dan
pemberantasan  perusakan  hutan  sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) bertugas:
a.  melakukan  penyelidikan  dan  penyidikan
tindak pidana perusakan hutan;
b. melaksanakan . . .
- 29 -b.  melaksanakan  administrasi  penyelidikan  dan
penyidikan  terhadap  perkara  perusakan
hutan;
c.  melaksanakan  kampanye  antiperusakan
hutan;
d.  membangun  dan  mengembangkan  sistem
informasi  pencegahan  dan  pemberantasan
perusakan hutan yang terintegrasi;
e.  memberdayakan  masyarakat  dalam  upaya
pencegahan  dan  pemberantasan  perusakan
hutan;
f.  melakukan  kerja  sama  dan  koordinasi
antarlembaga  penegak  hukum  dalam
pemberantasan perusakan hutan;
g.  mengumumkan  hasil  pelaksanaan  tugas  dan
kewenangannya  secara  berkala  kepada
masyarakat  sesuai  dengan  ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
h.  memberi  izin  penggunaan  terhadap  barang
bukti  kayu  temuan  hasil  operasi
pemberantasan perusakan hutan yang berasal
dari  luar  kawasan  hutan  konservasi  untuk
kepentingan sosial.
(2)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  pelaksanaan
tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Presiden.
Pasal 57
Dalam  melaksanakan  pencegahan  dan
pemberantasan  perusakan  hutan,  lembaga
melaporkan  hasil  kerjanya  kepada  Dewan  Perwakilan
Rakyat  Republik  Indonesia  paling  sedikit  6  (enam)
bulan sekali.
BAB VI
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 58
(1)  Masyarakat berhak atas:
a. lingkungan . . .
- 30 -a.  lingkungan  hidup  yang  baik  dan  sehat,
termasuk  kualitas  lingkungan  hidup  yang
dihasilkan oleh hutan;
b.  pemanfaatan  hutan  sesuai  dengan  ketentuan
peraturan perundang-undangan;
c.  upaya pemberdayaan masyarakat; dan
e.  penyuluhan  tentang  pentingnya  kelestarian
hutan dan dampak negatif perusakan hutan.
(2)  Selain  hak  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1),
dalam  rangka  pencegahan  dan  pemberantasan
perusakan hutan, masyarakat berhak:
a.  mencari  dan  memperoleh  informasi  adanya
dugaan telah terjadinya perusakan hutan;
b.  mendapat  pelayanan  dalam  mencari,
memperoleh,  dan  memberikan  informasi
adanya  dugaan  telah  terjadi  perusakan  hutan
dan  penyalahgunaan  izin  kepada  penegak
hukum;
c.  mencari  dan  memperoleh  informasi  terhadap
izin pengelolaan hutan yang telah dikeluarkan
oleh pemerintah daerah setempat;
d.  menyampaikan  saran  dan  pendapat  secara
bertanggung  jawab  kepada  penegak  hukum;
dan
e.  memperoleh pelindungan hukum dalam:
1.  melaksanakan  haknya  sebagaimana
dimaksud  dalam  huruf  a,  huruf  b,  dan
huruf c; dan
2.  proses  penyelidikan,  penyidikan,  dan
persidangan  sebagai  saksi  pelapor,  saksi,
atau  saksi  ahli  sesuai  dengan  ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 59
Masyarakat berkewajiban:
a.  menjaga dan memelihara kelestarian hutan; dan
b.  mengelola  hutan  sesuai  dengan  ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 60 . . .
- 31 -Pasal 60
Masyarakat berkewajiban memberikan informasi, baik
lisan  maupun  tulisan  kepada  pihak  yang  berwenang
apabila  mengetahui  atau  adanya  indikasi  perusakan
hutan.
Pasal 61
Masyarakat  berperan  serta  dalam  pencegahan  dan
pemberantasan perusakan hutan dengan cara:
a.  membentuk  dan  membangun  jejaring  sosial
gerakan anti perusakan hutan;
b.  melibatkan  dan  menjadi  mitra  lembaga
pemberantasan  perusakan  hutan  dalam  kegiatan
pencegahan  dan  pemberantasan  perusakan
hutan;
c.  meningkatkan  kesadaran  tentang  pentingnya
kelestarian  hutan  dan  dampak  negatif  perusakan
hutan;
d.  memberikan informasi, baik lisan maupun tulisan
kepada  pihak  yang  berwenang  berkaitan  dengan
pencegahan  dan  pemberantasan  perusakan
hutan;
e.  ikut  serta  melakukan  pengawasan  dalam
penegakan  hukum  pemberantasan  perusakan
hutan; dan/atau
f.  melakukan  kegiatan  lain  yang  bertujuan  untuk
pencegahan  dan  pemberantasan  perusakan
hutan.
Pasal 62
Lembaga  yang  menangani  pemberantasan  perusakan
hutan  melakukan  kemitraan  dengan  organisasi  atau
lembaga  swadaya  masyarakat  yang  bergerak  di
bidang  kehutanan  atau  di  bidang  lingkungan  hidup
serta  organisasi  sosial  kemasyarakatan  dalam
melakukan pendampingan, pelayanan, dan dukungan
kepada masyarakat.
Pasal 63 . . .
- 32 -Pasal 63
Hak  dan  kewajiban  sebagaimana  dimaksud  dalam
Pasal  58  sampai  dengan  Pasal  60  dilaksanakan
dengan  berpegang  teguh  pada  asas  atau  ketentuan
peraturan perundang-undangan.
BAB VII
KERJA SAMA INTERNASIONAL
Pasal 64
(1)  Pemerintah  dapat  melakukan  kerja  sama
internasional  dengan  negara  lain  dalam  rangka
pencegahan  dan  pemberantasan   perusakan
hutan  dengan  mempertimbangkan  dan  menjaga
kepentingan nasional.
(2)  Kerja  sama  internasional  dalam  rangka
pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan
dapat dilakukan dalam bentuk:
a.  kerja sama bilateral;
b.  kerja sama regional; atau
c.  kerja sama multilateral.
Pasal 65
(1)  Kerja  sama  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal
64 dapat dilakukan berdasarkan suatu perjanjian.
(2)  Dalam  hal  belum  ada  perjanjian  sebagaimana
dimaksud  pada  ayat  (1),  kerja  sama  dapat
dilakukan atas dasar hubungan baik berdasarkan
prinsip timbal balik (resiprositas).
Pasal 66
(1)  Pemerintah  melakukan  kerja  sama  internasional
dalam  rangka  mencegah  perdagangan  dan/atau
pencucian kayu tidak sah.
(2)  Pemerintah  berkewajiban  melakukan  upaya
pengembalian  kerugian  atas  hasil  tindak  pidana
perusakan hutan.
(3) Upaya . . .
- 33 -(3)  Upaya  pengembalian  kerugian  sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berupa:
a.  pemblokiran atau pembekuan sementara harta
kekayaan  dengan  tujuan  untuk  mencegah
dialihkan  atau  dipindahtangankan  agar  orang
tertentu  atau  semua  orang  tidak  berurusan
dengan  harta  yang  telah  diperoleh  atau
mungkin  telah  diperoleh  dari  kegiatan
perusakan hutan; dan/atau
b.  perampasan  hak  atas  kekayaan  atau
keuntungan  yang  telah  diperoleh  atau
mungkin  telah  diperoleh  dari  hasil  kegiatan
perusakan  hutan  berdasarkan  putusan
pengadilan di Indonesia atau di negara asing.
Pasal 67
(2)  Kerja  sama  internasional  dalam  rangka
pencegahan  perusakan  hutan  dapat   dilakukan
dalam hal:
a.  manajemen  pengelolaan  hutan  yang
berkelanjutan;
b.  kerja  sama  konservasi  dan  restorasi  kawasan
hutan;
c.  pemberdayaan masyarakat; dan
d.  permerkuatan  sistem  verifikasi  dan  sertifikasi
legalitas  kayu  yang  diakui  secara
internasional.
(3)  Kerja  sama  internasional  sebagaimana  dimaksud
pada  ayat  (1)  ditujukan  untuk  mengurangi
kerusakan  hutan  akibat  perusakan  hutan  dan
kelestarian hutan.
Pasal 68
Pemerintah  mendorong  kerja  sama  internasional
dalam  hal  pendanaan  dari  masyarakat  internasional
dan  investasi  swasta  internasional  dalam  rangka
pencegahan perusakan hutan.
Pasal 69 . . .
- 34 -Pasal 69
(1)  Untuk  melaksanakan  kerja  sama  internasional
dalam  rangka  pencegahan  dan  pemberantasan
pembalakan  liar  sebagaimana  dimaksud  dalam
Pasal 64, Menteri dapat bertindak untuk dan atas
nama  Pemerintah  Republik  Indonesia  melakukan
kerja  sama  internasional  dengan  negara  lain,
organisasi  internasional,  dan/atau  lembaga
keuangan  asing,  khususnya  menyangkut
penanganan pemberantasan pembalakan liar.
(2)  Kerja  sama  internasional  sebagaimana  dimaksud
pada  ayat  (1)  dilakukan  sesuai  dengan  ketentuan
peraturan  perundang-undangan,  konvensi,  dan
kebiasaan  internasional  yang  berlaku  secara
umum.
Pasal 70
Dalam  rangka  penyelidikan,  penyidikan,  penuntutan,
dan  pemeriksaan  di  sidang  pengadilan  terhadap
perkara  perusakan  hutan,  Pemerintah  dapat
melakukan  kerja  sama  regional  dan  internasional
melalui  forum  bilateral  atau  multilateral  sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 71
Kerja  sama  internasional  dalam  rangka  melakukan
penyelidikan  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  70
meliputi:
a.  identitas  keberadaan  dan  kegiatan  dari  setiap
orang, baik nasional maupun asing yang disangka
terlibat dalam perusakan hutan;
b.  pemindahan  hasil  kejahatan  atau  kekayaan  yang
berasal dari perusakan hutan;
c.  pemindahan  kekayaan,  perlengkapan,  atau  alat
pembantu  lainnya  yang  digunakan  atau
dimaksudkan untuk digunakan dalam melakukan
perusakan hutan;
d.  seluruh  mata  rantai  terjadinya  tindak  pidana
pencucian  kayu  tidak  sah  sampai  dengan
pencucian uang;
e. identitas . . .
- 35 -e.  identitas  dan  kegiatan  dari  negara  yang
melakukan  pencucian  kayu  tidak  sah  yang
merupakan  hasil  perusakan  hutan  di  Indonesia;
dan/atau
f.  melacak,  membekukan,  menyita,  dan
mengembalikan  aset  hasil  tindak  pidana
perusakan hutan.
Pasal 72
Kerja  sama  dalam  rangka  penyelidikan  sebagaimana
dimaksud  dalam  Pasal  70   dilakukan  melalui  kerja
sama interpol negara masing-masing.
Pasal 73
Pemerintah  dapat  membuat  perjanjian  atau
kesepakatan  dengan  negara  asing  untuk  mendapat
penggantian  biaya  dan  bagi  hasil  atas  pemanfaatan
kayu dari perusakan hutan.
BAB VIII
PEMBIAYAAN
Pasal 74
Biaya  yang  diperlukan  untuk  pelaksanaan  UndangUndang ini dibebankan kepada anggaran pendapatan
dan belanja negara.
Pasal 75
Perencanaan  dan  pengajuan  usulan  anggaran
pemberantasan  perusakan  hutan  dilakukan  oleh
lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54.
BAB IX
PELINDUNGAN SAKSI, PELAPOR, DAN INFORMAN
[
Pasal 76
(1)  Setiap  orang  yang  menjadi  saksi,  pelapor,  dan
informan  dalam  upaya  pencegahan  dan
pemberantasan  pembalakan  liar,  wajib  diberi
pelindungan khusus oleh Pemerintah.
(2) Perlindungan . . .
- 36 -(2)  Pelindungan khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat  (1)  bertujuan  untuk  menghindari
kemungkinan ancaman yang membahayakan diri,
jiwa,  dan/atau  harta,  termasuk  keluarganya  dan
dilaksanakan  sesuai  dengan  ketentuan  peraturan
perundang-undangan.
Pasal 77
Pelindungan  keamanan  bagi  saksi,  pelapor,  dan
informan berupa:
a.  pelindungan  atas  keamanan  pribadi,  keluarga,
dan  harta  bendanya,  serta  bebas  dari  ancaman
yang  berkenaan  dengan  laporan  dan  informasi
yang akan, sedang, atau telah diberikan;
b.  pemberian  informasi  mengenai  putusan
pengadilan; dan/atau
c.  pemberitahuan dalam hal terpidana dibebaskan.
Pasal 78
(1)  Pelapor dan informan tidak dapat dituntut secara
hukum,  baik  pidana  maupun  perdata  atas
laporan  dan  kesaksian  yang  akan,  sedang,  atau
telah diberikannya.
(2)  Pelindungan  hukum  tidak  berlaku  terhadap
pelapor  dan  informan  yang  memberikan
keterangan tidak dengan itikad baik.
Pasal 79
Seorang  saksi  yang  juga  tersangka  dalam  kasus
yang  sama  tidak  dapat  dibebaskan  dari  tuntutan
pidana  apabila  ia  ternyata  terbukti  secara  sah  dan
meyakinkan  bersalah,  tetapi  kesaksiannya  dapat
dijadikan  pertimbangan  hakim  dalam  meringankan
pidana yang akan dijatuhkan.
Pasal 80
Mekanisme  pelindungan  hukum  pelapor  dan
informan:
a.  pelapor  dan  informan  mendapat  pelindungan
hukum  dengan  mempertimbangkan  syarat
sebagai berikut:
1. sifat . . .
- 37 -1.  sifat  pentingnya  keterangan  pelapor  dan
informan;
2.  tingkat ancaman yang membahayakan pelapor
dan informan;
3.  hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap
pelapor dan informan; dan
4.  rekam  jejak  kejahatan  yang  pernah  dilakukan
oleh pelapor dan informan.
b.  tata  cara  memperoleh  pelindungan  bagi  pelapor
dan informan, baik  atas inisiatif sendiri maupun
atas  permintaan  pejabat  yang  berwenang,
dilakukan  dengan  mengajukan  permohonan
secara  tertulis  sesuai  dengan  ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 81
(1)  Pejabat  yang  berwenang  wajib  memberikan
pelindungan  sepenuhnya  kepada  pelapor  dan
informan,  termasuk  keluarganya,  sejak
ditandatanganinya pernyataan kesediaan.
(2)  Pelindungan  atas  keamanan  pelapor  dan
informan dihentikan berdasarkan alasan:
a. pelapor  dan  informan  meminta  agar
pelindungan  terhadapnya  dihentikan  dalam
permohonan diajukan atas inisiatif sendiri;
b.  atas  permintaan  pejabat  yang  berwenang
dalam  hal  permintaan  pelindungan  terhadap
pelapor  dan  informan  berdasarkan  atas
permintaan pejabat yang bersangkutan;
c.  pelapor  dan  informan  melanggar  ketentuan
yang tertulis dalam perjanjian;
d.  instansi  yang  berwenang  berpendapat  bahwa
pelapor  dan  informan  tidak  lagi  memerlukan
pelindungan  berdasarkan  bukti-bukti  yang
meyakinkan; atau
e.  penghentian  pelindungan  keamanan  seorang
pelapor  dan  informan  harus  dilakukan  secara
tertulis.
BAB X . . .
- 38 -BAB X
KETENTUAN PIDANA
Pasal 82
(1)  Orang perseorangan yang dengan sengaja:
a. melakukan penebangan pohon dalam kawasan
hutan  yang  tidak  sesuai  dengan  izin
pemanfaatan  hutan  sebagaimana  dimaksud
dalam Pasal 12 huruf a;
b.  melakukan penebangan pohon dalam kawasan
hutan  tanpa  memiliki  izin  yang  dikeluarkan
oleh  pejabat  yang  berwenang  sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf b; dan/atau
c.  melakukan penebangan pohon dalam kawasan
hutan  secara  tidak  sah  sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf c
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta
pidana  denda  paling  sedikit  Rp500.000.000,00
(lima  ratus  juta  rupiah)  dan  paling  banyak
Rp2.500.000.000,00  (dua  miliar  lima  ratus  juta
rupiah).
(2)  Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh orang perseorangan
yang  bertempat  tinggal  di  dalam  dan/atau  di
sekitar  kawasan  hutan,  pelaku  dipidana  dengan
pidana  penjara  paling  singkat  3  (tiga)  bulan  dan
paling  lama  2  (dua)  tahun  dan/atau  pidana
denda  paling  sedikit  Rp500.000,00  (lima  ratus
ribu  rupiah)  dan  paling  banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3)  Korporasi yang:
a. melakukan penebangan pohon dalam kawasan
hutan  yang  tidak  sesuai  dengan  izin
pemanfaatan  hutan  sebagaimana  dimaksud
dalam Pasal 12 huruf a;
b.  melakukan penebangan pohon dalam kawasan
hutan  tanpa  memiliki  izin  yang  dikeluarkan
oleh  pejabat  yang  berwenang  sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf b; dan/atau
c. melakukan . . .
- 39 -c.  melakukan penebangan pohon dalam kawasan
hutan  secara  tidak  sah  sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf c
dipidana dengan  pidana penjara paling singkat 5
(lima)  tahun  dan  paling  lama  15  (lima  belas)
tahun  serta  pidana  denda  paling  sedikit
Rp5.000.000.000,00  (lima  miliar  rupiah)  dan
paling  banyak  Rp15.000.000.000,00  (lima  belas
miliar rupiah).
Pasal 83
(1)  Orang perseorangan yang dengan sengaja:
a.  memuat,  membongkar,  mengeluarkan,
mengangkut,  menguasai,  dan/atau  memiliki
hasil  penebangan  di  kawasan  hutan  tanpa
izin  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  12
huruf d;
b.  mengangkut,  menguasai,  atau  memiliki  hasil
hutan  kayu  yang  tidak  dilengkapi  secara
bersama  surat  keterangan  sahnya  hasil
hutan  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal
12 huruf e; dan/atau
c.  memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga
berasal  dari  hasil  pembalakan  liar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf
h
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta
pidana  denda  paling  sedikit  Rp500.000.000,00
(lima  ratus  juta  rupiah)  dan  paling  banyak
Rp2.500.000.000,00  (dua  miliar  lima  ratus  juta
rupiah).
(2)  Orang perseorangan yang karena kelalaiannya:
a.  memuat,  membongkar,  mengeluarkan,
mengangkut,  menguasai,  dan/atau  memiliki
hasil  penebangan  di  kawasan  hutan  tanpa
izin  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  12
huruf d;
b. mengangkut . . .
- 40 -b.  mengangkut,  menguasai  atau  memiliki  hasil
hutan  kayu  yang  tidak  dilengkapi  secara
bersama  surat  keterangan  sahnya  hasil
hutan  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal
12 huruf e; dan/atau
c.  memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga
berasal  dari  hasil  pembalakan  liar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf
h
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8
(delapan)  bulan  dan  paling  lama  3  (tiga)  tahun
serta  pidana  denda  paling  sedikit
Rp10.000.000,00  (sepuluh  juta  rupiah)  dan
paling  banyak  Rp1.000.000.000,00  (satu  miliar
rupiah).
(3)  Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada  ayat  (1)  huruf  c  dan  ayat  (2)  huruf  c
dilakukan  oleh  orang  perseorangan  yang
bertempat  tinggal  di  dalam  dan/atau  di  sekitar
kawasan  hutan,  pelaku  dipidana  dengan  pidana
penjara  paling  singkat  3  (tiga)  bulan  dan  paling
lama  2  (dua)  tahun  dan/atau  pidana  denda
paling  sedikit  Rp500.000,00  (lima  ratus  ribu
rupiah)  dan  paling  banyak  Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
(4)  Korporasi yang:
a.  memuat,  membongkar,  mengeluarkan,
mengangkut,  menguasai,  dan/atau  memiliki
hasil  penebangan  di  kawasan  hutan  tanpa
izin  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  12
huruf d;
b.  mengangkut,  menguasai,  atau  memiliki  hasil
hutan  kayu  yang  tidak  dilengkapi  secara
bersama  surat  keterangan  sahnya  hasil
hutan  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal
12 huruf e; dan/atau
c.  memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga
berasal  dari  hasil  pembalakan  liar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf
h
dipidana . . .
- 41 -dipidana  dengan  pidana  penjara  paling  singkat
5  (lima)  tahun  dan  paling  lama  15  (lima  belas)
tahun  serta  pidana  denda  paling  sedikit
Rp5.000.000.000,00  (lima  miliar  rupiah)  dan
paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas
miliar rupiah).
Pasal 84
(1)  Orang  perseorangan  yang  dengan  sengaja
membawa  alat-alat  yang  lazim  digunakan  untuk
menebang,  memotong,  atau  membelah  pohon  di
dalam  kawasan  hutan  tanpa  izin  pejabat  yang
berwenang  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal
12  huruf  f  dipidana  dengan  pidana  penjara
paling singkat 1 (tahun) tahun dan paling lama 5
(lima)  tahun  serta  pidana  denda  paling  sedikit
Rp250.000.000,00  (dua  ratus  lima  puluh  juta
rupiah)  dan  paling  banyak  Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
(2)  Orang  perseorangan  yang  karena  kelalaiannya
membawa  alat-alat  yang  lazim  digunakan  untuk
menebang,  memotong,  atau  membelah  pohon  di
dalam  kawasan  hutan  tanpa  izin  pejabat  yang
berwenang  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal
12  huruf  f  dipidana  dengan  pidana  penjara
paling singkat 8 (delapan) bulan dan paling lama
2  (dua)  tahun  serta  pidana  denda  paling  sedikit
Rp10.000.000,00  (sepuluh  juta  rupiah)  dan
paling  banyak  Rp1.000.000.000,00  (satu  miliar
rupiah).
(3)  Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada  ayat  (1)  dan  ayat  (2)  dilakukan  oleh  orang
perseorangan  yang  bertempat  tinggal  di  dalam
dan/atau  di  sekitar  kawasan  hutan  dipidana
dengan  pidana  penjara  paling  singkat  3  (tiga)
bulan  serta  paling  lama  2  (dua)  tahun  dan/atau
pidana  denda  paling  sedikit  Rp500.000,00  (lima
ratus  ribu  rupiah)  dan  paling  banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(4) Korporasi . . .
- 42 -(4)  Korporasi  yang  membawa  alat-alat  yang  lazim
digunakan  untuk  menebang,  memotong,  atau
membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa
izin  pejabat  yang  berwenang  sebagaimana
dimaksud  dalam  Pasal  12  huruf  f  dipidana
dengan  pidana  penjara  paling  singkat  2  (dua)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana  denda  paling  sedikit  Rp2.000.000.000,00
(dua  miliar  rupiah)  dan  paling  banyak
Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Pasal 85
(1)  Orang  perseorangan  yang  dengan  sengaja
membawa  alat-alat  berat  dan/atau  alat-alat
lainnya  yang  lazim  atau  patut  diduga  akan
digunakan  untuk  mengangkut  hasil  hutan  di
dalam  kawasan  hutan  tanpa  izin  pejabat  yang
berwenang  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal
12  huruf  g  dipidana  dengan  pidana  penjara
paling  singkat  2  (dua)  tahun  dan  paling  lama  10
(sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp2.000.000.000,00  (dua  miliar  rupiah)  dan
paling  banyak  Rp10.000.000.000,00  (sepuluh
miliar rupiah).
(2)  Korporasi  yang  membawa  alat-alat  berat
dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut
diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil
hutan  di  dalam  kawasan  hutan  tanpa  izin
pejabat  yang  berwenang  sebagaimana  dimaksud
dalam  Pasal  12  huruf  g  dipidana  dengan  pidana
penjara  paling  singkat  5  (lima)  tahun  dan  paling
lama  15  (lima  belas)  tahun  serta  pidana  denda
paling  sedikit  Rp5.000.000.000,00  (lima  miliar
rupiah)  dan  paling  banyak  Rp15.000.000.000,00
(lima belas miliar rupiah).
Pasal 86
(1)  Orang perseorangan yang dengan sengaja:
a. mengedarkan  kayu  hasil  pembalakan  liar
melalui  darat,  perairan,  atau  udara
sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  12  huruf
i; dan/atau
b. menyelundupkan . . .
- 43 -b.  menyelundupkan  kayu  yang  berasal  dari  atau
masuk  ke  wilayah  Negara  Kesatuan  Republik
Indonesia  melalui  sungai,  darat,  laut,  atau
udara  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  12
huruf j
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta
pidana  denda  paling  sedikit  Rp500.000.000,00
(lima  ratus  juta  rupiah)  dan  paling  banyak
Rp2.500.000.000,00  (dua  miliar  lima  ratus  juta
rupiah).
(2)  Korporasi yang:
a.  mengedarkan  kayu  hasil  pembalakan  liar
melalui  darat,  perairan,  atau  udara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf
i; dan/atau
b.  menyelundupkan  kayu  yang  berasal  dari
atau  masuk  ke  wilayah  Negara  Kesatuan
Republik  Indonesia  melalui  sungai,  darat,
laut,  atau  udara  sebagaimana  dimaksud
dalam Pasal 12 huruf j
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima)  tahun  dan  paling  lama  15  (lima  belas)
tahun  serta  pidana  denda  paling  sedikit
Rp5.000.000.000,00  (lima  miliar  rupiah)  dan
paling  banyak  Rp15.000.000.000,00  (lima  belas
miliar rupiah).
Pasal 87
(1)  Orang perseorangan yang dengan sengaja:
a.  menerima,  membeli,  menjual,  menerima
tukar,  menerima  titipan,  dan/atau  memiliki
hasil  hutan  yang  diketahui  berasal  dari
pembalakan  liar  sebagaimana  dimaksud
dalam Pasal 12 huruf k;
b.  membeli,  memasarkan,  dan/atau  mengolah
hasil  hutan  kayu  yang  berasal  dari  kawasan
hutan  yang  diambil  atau  dipungut  secara
tidak  sah  sebagaimana  dimaksud  dalam
Pasal 12 huruf l; dan/atau
c. menerima . . .
- 44 -c.  menerima,  menjual,  menerima  tukar,
menerima  titipan,  menyimpan,  dan/atau
memiliki  hasil  hutan  kayu  yang  berasal  dari
kawasan  hutan  yang  diambil  atau  dipungut
secara  tidak  sah  sebagaimana  dimaksud
dalam Pasal 12 huruf m
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu)  tahun  dan  paling  lama  5  (lima)  tahun  dan
pidana  denda  paling  sedikit  Rp500.000.000,00
(lima  ratus  juta  rupiah)  dan  paling  banyak
Rp2.500.000.000,00  (dua  miliar  lima  ratus  juta
rupiah).
(2)  Orang perseorangan yang karena kelalaiannya:
a.  menerima,  membeli,  menjual,  menerima
tukar,  menerima  titipan,  dan/atau  memiliki
hasil  hutan  yang  diketahui  berasal  dari
pembalakan  liar  sebagaimana  dimaksud
dalam Pasal 12 huruf k;
b.  membeli,  memasarkan,  dan/atau  mengolah
hasil  hutan  kayu  yang  berasal  dari  kawasan
hutan  yang  diambil  atau  dipungut  secara
tidak  sah  sebagaimana  dimaksud  dalam
Pasal 12 huruf l; dan/atau
c.  menerima,  menjual,  menerima  tukar,
menerima  titipan,  menyimpan,  dan/atau
memiliki  hasil  hutan  kayu  yang  berasal  dari
kawasan  hutan  yang  diambil  atau  dipungut
secara  tidak  sah  sebagaimana  dimaksud
dalam Pasal 12 huruf m
dipidana dengan pidana penjara paling  singkat 8
(delapan)  bulan  dan  paling  lama  3  (tiga)  tahun
serta  pidana  denda  paling  sedikit
Rp250.000.000,00  (dua  ratus  lima  puluh  juta
rupiah)  dan  paling  banyak  Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
(3) Dalam . . .
- 45 -(3)  Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada  ayat  (1)  dan  ayat  (2)  dilakukan  oleh  orang
perseorangan  yang  bertempat  tinggal  di  dalam
dan/atau  di  sekitar  kawasan  hutan,  pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga)  bulan  dan  paling  lama  2  (dua)  tahun
dan/atau  pidana  denda  paling  sedikit
Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling
banyak  Rp500.000.000,00  (lima  ratus  juta
rupiah).
(4)  Korporasi yang:
a.  menerima,  membeli,  menjual,  menerima
tukar,  menerima  titipan,  dan/atau  memiliki
hasil  hutan  yang  diketahui  berasal  dari
pembalakan  liar  sebagaimana  dimaksud
dalam Pasal 12 huruf k;
b.  membeli,  memasarkan,  dan/atau  mengolah
hasil  hutan  kayu  yang  berasal  dari  kawasan
hutan  yang  diambil  atau  dipungut  secara
tidak  sah  sebagaimana  dimaksud  dalam
Pasal 12 huruf l; dan/atau
c.  menerima,  menjual,  menerima  tukar,
menerima  titipan,  menyimpan,  dan/atau
memiliki  hasil  hutan  kayu  yang  berasal  dari
kawasan  hutan  yang  diambil  atau  dipungut
secara  tidak  sah  sebagaimana  dimaksud
dalam Pasal 12 huruf m
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima)  tahun  dan  paling  lama  15  (lima  belas)
tahun  serta  pidana  denda  paling  sedikit
Rp5.000.000.000,00  (lima  miliar  rupiah)  dan
paling  banyak  Rp15.000.000.000,00  (lima  belas
miliar rupiah).
Pasal 88
(1)  Orang perseorangan yang dengan sengaja:
a.  melakukan  pengangkutan  kayu  hasil  hutan
tanpa  memiliki  dokumen  yang  merupakan
surat  keterangan  sahnya  hasil  hutan  sesuai
dengan  ketentuan   peraturan  perundangundangan  sebagaimana  dimaksud  dalam
Pasal 16;
b. memalsukan . . .
- 46 -b.  memalsukan  surat  keterangan  sahnya  hasil
hutan  kayu  dan/atau  menggunakan  surat
keterangan  sahnya  hasil  hutan  kayu  yang
palsu  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal
14; dan/atau
c.  melakukan  penyalahgunaan  dokumen
angkutan  hasil  hutan  kayu  yang  diterbitkan
oleh  pejabat  yang  berwenang  sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta
pidana  denda  paling  sedikit  Rp500.000.000,00
(lima  ratus  juta  rupiah)  dan  paling  banyak
Rp2.500.000.000,00  (dua  miliar  lima  ratus  juta
rupiah).
(2)  Korporasi yang:
a.  melakukan  pengangkutan  kayu  hasil  hutan
tanpa  memiliki  dokumen  yang  merupakan
surat  keterangan  sahnya  hasil  hutan  sesuai
dengan  ketentuan   peraturan  perundangundangan  sebagaimana  dimaksud  dalam
Pasal 16;
b.  memalsukan  surat  keterangan  sahnya  hasil
hutan  kayu  dan/atau  menggunakan  surat
keterangan  sahnya  hasil  hutan  kayu  yang
palsu  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal
14; dan/atau
c.  melakukan  penyalahgunaan  dokumen
angkutan  hasil  hutan  kayu  yang  diterbitkan
oleh  pejabat  yang  berwenang  sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima)  tahun  dan  paling  lama  15  (lima  belas)
tahun  serta  pidana  denda  paling  sedikit
Rp5.000.000.000,00  (lima  miliar  rupiah)  dan
paling  banyak  Rp15.000.000.000,00  (lima  belas
miliar rupiah).
Pasal 89 . . .
- 47 -Pasal 89
(1)  Orang perseorangan yang dengan sengaja:
a.  melakukan  kegiatan  penambangan  di  dalam
kawasan  hutan  tanpa  izin  Menteri
sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  17  ayat
(1) huruf b; dan/atau
b.  membawa  alat-alat  berat  dan/atau  alat-alat
lainnya  yang  lazim  atau  patut  diduga  akan
digunakan  untuk  melakukan  kegiatan
penambangan  dan/atau  mengangkut  hasil
tambang  di  dalam  kawasan  hutan  tanpa  izin
Menteri  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal
17 ayat (1) huruf a
dipidana dengan pidana penjara paling singkat  3
(tiga)  tahun  dan  paling  lama  15  (lima  belas)
tahun  serta  pidana  denda  paling  sedikit
Rp1.500.000.000,00  (satu  miliar  lima  ratus  juta
rupiah)  dan  paling  banyak  Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).
(2)  Korporasi yang:
a.  melakukan  kegiatan  penambangan  di  dalam
kawasan  hutan  tanpa  izin  Menteri
sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  17  ayat
(1) huruf b; dan/atau
b.  membawa  alat-alat  berat  dan/atau  alat-alat
lainnya  yang  lazim  atau  patut  diduga  akan
digunakan  untuk  melakukan  kegiatan
penambangan  dan/atau  mengangkut  hasil
tambang  di  dalam  kawasan  hutan  tanpa  izin
Menteri  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal
17 ayat (1) huruf a
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8
(delapan)  tahun  dan  paling  lama  20  (dua  puluh)
tahun  serta  pidana  denda  paling  sedikit
Rp20.000.000.000,00  (dua  puluh  miliar  rupiah)
dan  paling  banyak  Rp50.000.000.000,00  (lima
puluh miliar rupiah).
Pasal 90 . . .
- 48 -Pasal 90
(1)  Orang  perseorangan  yang  dengan  sengaja
mengangkut  dan/atau  menerima  titipan  hasil
tambang  yang  berasal  dari  kegiatan
penambangan  di  dalam  kawasan  hutan  tanpa
izin  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  17  ayat
(1)  huruf  c  dipidana  dengan  pidana  penjara
paling  singkat  3  (tiga)  tahun  dan  paling  lama  10
(sepuluh)  tahun  serta  pidana  denda  paling
sedikit  Rp1.500.000.000,00  (satu  miliar  lima
ratus  juta  rupiah)  dan  paling  banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2)  Korporasi  yang  mengangkut  dan/atau  menerima
titipan  hasil  tambang  yang  berasal  dari  kegiatan
penambangan  di  dalam  kawasan  hutan  tanpa
izin  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  17  ayat
(1)  huruf  c  dipidana  dengan  pidana  penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15
(lima  belas)  tahun  serta  pidana  denda  paling
sedikit  Rp5.000.000.000,00  (lima  miliar  rupiah)
dan  paling  banyak  Rp15.000.000.000,00  (lima
belas miliar rupiah).
Pasal 91
(1)  Orang perseorangan yang dengan sengaja:
a.  menjual,  menguasai,  memiliki,  dan/atau
menyimpan  hasil  tambang  yang  berasal  dari
kegiatan  penambangan  di  dalam  kawasan
hutan  tanpa  izin  sebagaimana  dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (1) huruf d; dan/atau
b.  membeli,  memasarkan,  dan/atau  mengolah
hasil tambang dari kegiatan penambangan di
dalam  kawasan  hutan  tanpa  izin
sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  17  ayat
(1) huruf e
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga)  tahun  dan  paling  lama  10  (sepuluh)  tahun
serta  pidana  denda  paling  sedikit
Rp1.500.000.000,00  (satu  miliar  lima  ratus  juta
rupiah)  dan  paling  banyak  Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
(2) Korporasi . . .
- 49 -(2)  Korporasi yang:
a.  menjual,  menguasai,  memiliki,  dan/atau
menyimpan  hasil  tambang  yang  berasal  dari
kegiatan  penambangan  di  dalam  kawasan
hutan  tanpa  izin  sebagaimana  dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (1) huruf d; dan/atau
b.  membeli,  memasarkan,  dan/atau  mengolah
hasil tambang dari kegiatan penambangan di
dalam  kawasan  hutan  tanpa  izin
sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  17  ayat
(1) huruf e
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima)  tahun  dan  paling  lama  15  (lima  belas)
tahun  serta  pidana  denda  paling  sedikit
Rp5.000.000.000,00  (lima  miliar  rupiah)  dan
paling  banyak  Rp15.000.000.000,00  (lima  belas
miliar rupiah).
Pasal 92
(1)  Orang perseorangan yang dengan sengaja:
a. melakukan  kegiatan  perkebunan  tanpa  izin
Menteri di dalam kawasan hutan sebagaimana
dimaksud  dalam  Pasal  17  ayat  (2)  huruf  b;
dan/atau
b.  membawa  alat-alat  berat  dan/atau  alat-alat
lainnya  yang  lazim  atau  patut  diduga  akan
digunakan  untuk  melakukan  kegiatan
perkebunan  dan/atau  mengangkut  hasil
kebun  di  dalam  kawasan  hutan  tanpa  izin
Menteri  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal
17 ayat (2) huruf a
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga)  tahun  dan  paling  lama  10  (sepuluh)  tahun
serta  pidana  denda  paling  sedikit
Rp1.500.000.000,00  (satu  miliar  lima  ratus  juta
rupiah)  dan  paling  banyak  Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
(2)  Korporasi yang:
a. melakukan  kegiatan  perkebunan  tanpa  izin
Menteri  di dalam kawasan hutan sebagaimana
dimaksud  dalam  Pasal  17  ayat  (2)  huruf  b;
dan/atau
b. membawa . . .
- 50 -b.  membawa  alat-alat  berat  dan/atau  alat-alat
lainnya  yang  lazim  atau  patut  diduga  akan
digunakan  untuk  melakukan  kegiatan
perkebunan  dan/atau  mengangkut  hasil
kebun  di  dalam  kawasan  hutan  tanpa  izin
Menteri  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal
17 ayat (2) huruf a
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8
(delapan)  tahun  dan  paling  lama  20  (dua  puluh)
tahun  serta  pidana  denda  paling  sedikit
Rp20.000.000.000,00  (dua  puluh  miliar  rupiah)
dan  paling  banyak  Rp50.000.000.000,00  (lima
puluh miliar rupiah).
Pasal 93
(1)  Orang perseorangan yang dengan sengaja:
a. mengangkut  dan/atau  menerima  titipan  hasil
perkebunan  yang  berasal  dari  kegiatan
perkebunan  di  dalam  kawasan  hutan  tanpa
izin  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  17
ayat (2) huruf c;
b.  menjual,  menguasai,  memiliki,  dan/atau
menyimpan  hasil  perkebunan  yang  berasal
dari  kegiatan  perkebunan  di  dalam  kawasan
hutan  tanpa  izin  sebagaimana  dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (2) huruf d; dan/atau
c.  membeli,  memasarkan,  dan/atau  mengolah
hasil kebun dari perkebunan yang berasal dari
kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan
tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 ayat (2) huruf e
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga)  tahun  dan  paling  lama  10  (sepuluh)  tahun
serta  pidana  denda  paling  sedikit
Rp1.500.000.000,00  (satu  miliar  lima  ratus  juta
rupiah)  dan  paling  banyak  Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
(2) Orang . . .
- 51 -(2)  Orang perseorangan yang karena kelalaiannya:
a. mengangkut  dan/atau  menerima  titipan  hasil
perkebunan  yang  berasal  dari  kegiatan
perkebunan  di  dalam  kawasan  hutan  tanpa
izin  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  17
ayat (2) huruf c;
b.  menjual,  menguasai,  memiliki  dan/atau
menyimpan  hasil  perkebunan  yang  berasal
dari  kegiatan  perkebunan  di  dalam  kawasan
hutan  tanpa  izin  sebagaimana  dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (2) huruf d; dan/atau
c.  membeli,  memasarkan  dan/atau  mengolah
hasil kebun dari perkebunan yang berasal dari
kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan
tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 ayat (2) huruf e
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu)  tahun  dan  paling  lama  3  (tiga)  tahun  dan
pidana  denda  paling  sedikit  Rp100.000.000,00
(seratus  juta  rupiah)  dan  paling  banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3)  Korporasi yang:
a. mengangkut  dan/atau  menerima  titipan  hasil
perkebunan  yang  berasal  dari  kegiatan
perkebunan  di  dalam  kawasan  hutan  tanpa
izin  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  17
ayat (2) huruf c;
b.  menjual,  menguasai,  memiliki  dan/atau
menyimpan  hasil  perkebunan  yang  berasal
dari  kegiatan  perkebunan  di  dalam  kawasan
hutan  tanpa  izin  sebagaimana  dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (2) huruf d; dan/atau
c.  membeli,  memasarkan  dan/atau  mengolah
hasil kebun dari perkebunan yang berasal dari
kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan
tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 ayat (2) huruf e
dipidana . . .
- 52 -dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima)  tahun  dan  paling  lama  15  (lima  belas)
tahun  serta  pidana  denda  paling  sedikit
Rp5.000.000.000,00  (lima  miliar  rupiah)  dan
paling  banyak  Rp15.000.000.000,00  (lima  belas
miliar rupiah).
Pasal 94
(1)  Orang perseorangan yang dengan sengaja:
a. menyuruh,  mengorganisasi,  atau
menggerakkan  pembalakan  liar  dan/atau
penggunaan  kawasan  hutan  secara  tidak  sah
sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  19  huruf
a;
b.  melakukan  permufakatan  jahat  untuk
melakukan  pembalakan  liar  dan/atau
penggunaan  kawasan  hutan  secara  tidak  sah
sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  19  huruf
c;
c.  mendanai  pembalakan  liar  dan/atau
penggunaan  kawasan  hutan  secara  tidak  sah
secara  langsung  atau  tidak  langsung
sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  19  huruf
d; dan/atau
d.  mengubah  status  kayu  hasil  pembalakan  liar
dan/atau  hasil  penggunaan  kawasan  hutan
secara  tidak  sah,  seolah-olah  menjadi  kayu
yang  sah  atau  hasil  penggunaan  kawasan
hutan  yang  sah  untuk  dijual  kepada  pihak
ketiga,  baik  di  dalam  maupun  di  luar  negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf f
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8
(delapan)  tahun  dan  paling  lama  15  (lima  belas)
tahun  serta  pidana  denda  paling  sedikit
Rp10.000.000.000,00  (sepuluh  miliar  rupiah)
dan  paling  banyak  Rp100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah).
(2) Korporasi . . .
- 53 -(2)  Korporasi yang:
a. menyuruh,  mengorganisasi,  atau
menggerakkan  pembalakan  liar  dan/atau
penggunaan  kawasan  hutan  secara  tidak  sah
sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  19  huruf
a;
b.  melakukan  permufakatan  jahat  untuk
melakukan  pembalakan  liar  dan/atau
penggunaan  kawasan  hutan  secara  tidak  sah
sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  19  huruf
c;
c.  mendanai  pembalakan  liar  dan/atau
penggunaan  kawasan  hutan  secara  tidak  sah,
secara  langsung  atau  tidak  langsung
sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  19  huruf
d; dan/atau
d.  mengubah  status  kayu  hasil  pembalakan  liar
dan  atau  hasil  penggunaan  kawasan  hutan
secara  tidak  sah,  seolah-olah  menjadi  kayu
yang  sah  atau  hasil  penggunaan  kawasan
hutan  yang  sah  untuk  dijual  kepada  pihak
ketiga,  baik  di  dalam  maupun  di  luar  negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf f
dipidana  dengan  pidana  penjara  paling  singkat
10  (sepuluh)  tahun  dan  paling  lama  seumur
hidup  serta  pidana  denda  paling  sedikit
Rp20.000.000.000,00  (dua  puluh  miliar  rupiah)
dan  paling  banyak  Rp1.000.000.000.000,00
(satu triliun rupiah).
Pasal 95
(1)  Orang perseorangan yang dengan sengaja:
a. memanfaatkan  kayu  hasil  pembalakan  liar
dengan  mengubah  bentuk,  ukuran,  termasuk
pemanfaatan  limbahnya  sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 huruf g;
b. menempatkan . . .
- 54 -b.  menempatkan,  mentransfer,  membayarkan,
membelanjakan,  menghibahkan,
menyumbangkan,  menitipkan,  membawa  ke
luar  negeri  dan/atau  menukarkan  uang   atau
surat  berharga  lainnya  serta  harta  kekayaan
lainnya  yang  diketahuinya  atau  patut  diduga
merupakan  hasil  pembalakan  liar  dan/atau
hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak
sah  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  19
huruf h; dan/atau
c.  menyembunyikan  atau  menyamarkan  asal
usul  harta  yang  diketahui  atau  patut  diduga
berasal  dari  hasil  pembalakan  liar  dan/atau
hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak
sah  sehingga  seolah-olah  menjadi  harta
kekayaan  yang  sah  sebagaimana  dimaksud
dalam Pasal 19 huruf i
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8
(delapan)  tahun  dan  paling  lama  15  (lima  belas)
tahun  serta  pidana  denda  paling  sedikit
Rp10.000.000.000,00  (sepuluh  miliar  rupiah)
dan  paling  banyak  Rp100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah).
(2)  Orang perseorangan yang karena kelalaiannya:
a. memanfaatkan  kayu  hasil  pembalakan  liar
dengan  mengubah  bentuk,  ukuran,  termasuk
pemanfaatan  limbahnya  sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 huruf g;
b.  menempatkan,  mentransfer,  membayarkan,
membelanjakan,  menghibahkan,
menyumbangkan,  menitipkan,  membawa  ke
luar  negeri  dan/atau  menukarkan  uang   atau
surat  berharga  lainnya  serta  harta  kekayaan
lainnya  yang  diketahuinya  atau  patut  diduga
merupakan  hasil  pembalakan  liar  dan/atau
hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak
sah  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  19
huruf h; dan/atau
c. menyembunyikan . . .
- 55 -c.  menyembunyikan  atau  menyamarkan  asal
usul  harta  yang  diketahui  atau  patut  diduga
berasal  dari  hasil  pembalakan  liar  dan/atau
hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak
sah  sehingga  seolah-olah  menjadi  harta
kekayaan  yang  sah  sebagaimana  dimaksud
dalam Pasal 19 huruf i
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2
(dua) tahun dan  paling lama 5 (lima) tahun serta
pidana  denda  paling  sedikit  Rp500.000.000,00
(lima  ratus  juta  rupiah)  dan  paling  banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(3)  Korporasi yang:
a. memanfaatkan  kayu  hasil  pembalakan  liar
dengan  mengubah  bentuk,  ukuran,  termasuk
pemanfaatan  limbahnya  sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 huruf g;
b.  menempatkan,  mentransfer,  membayarkan,
membelanjakan,  menghibahkan,
menyumbangkan,  menitipkan,  membawa  ke
luar negeri, dan/atau menukarkan uang atau
surat  berharga  lainnya  serta  harta  kekayaan
lainnya  yang  diketahuinya  atau  patut  diduga
merupakan  hasil  pembalakan  liar  dan/atau
hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak
sah  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  19
huruf h; dan/atau
c.  menyembunyikan  atau  menyamarkan  asal
usul  harta  yang  diketahui  atau  patut  diduga
berasal  dari  hasil  pembalakan  liar  dan/atau
hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak
sah  sehingga  seolah-olah  menjadi  harta
kekayaan  yang  sah  sebagaimana  dimaksud
dalam Pasal 19 huruf i
dipidana  dengan  pidana  penjara  paling  singkat
10  (sepuluh)  tahun  dan  paling  lama  seumur
hidup  serta  pidana  denda  paling  sedikit
Rp20.000.000.000,00  (dua  puluh  miliar  rupiah)
dan  paling  banyak  Rp1.000.000.000.000,00
(satu triliun rupiah).
Pasal 96 . . .
- 56 -Pasal 96
(1)  Orang perseorangan yang dengan sengaja:
a. memalsukan  surat  izin  pemanfaatan  hasil
hutan  kayu  dan/atau  penggunaan  kawasan
hutan  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  24
huruf a;
b.  menggunakan  surat  izin  palsu  pemanfaatan
hasil  hutan  kayu  dan/atau  penggunaan
kawasan  hutan  sebagaimana  dimaksud  dalam
Pasal 24 huruf b; dan/atau
c.  memindahtangankan  atau  menjual  izin  yang
dikeluarkan  oleh  pejabat  yang  berwenang
kecuali  dengan  persetujuan  Menteri
sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  24  huruf
c
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta
pidana  denda  paling  sedikit  Rp500.000.000,00
(lima  ratus  juta  rupiah)  dan  paling  banyak
Rp2.500.000.000,00  (dua  miliar  lima  ratus  juta
rupiah).
(2)  Korporasi yang:
a. memalsukan  surat  izin  pemanfaatan  hasil
hutan  kayu  dan/atau  penggunaan  kawasan
hutan  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  24
huruf a;
b.  menggunakan  surat  izin  palsu  pemanfaatan
hasil  hutan  kayu  dan/atau  penggunaan
kawasan  hutan  sebagaimana  dimaksud  dalam
Pasal 24 huruf b; dan/atau
c.  memindahtangankan  atau  menjual  izin  yang
dikeluarkan  oleh  pejabat  yang  berwenang
kecuali  dengan  persetujuan  Menteri
sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  24  huruf
c
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima)  tahun  dan  paling  lama  15  (lima  belas)
tahun  serta  pidana  denda  paling  sedikit
Rp5.000.000.000,00  (lima  miliar  rupiah)  dan
paling  banyak  Rp15.000.000.000,00  (lima  belas
miliar rupiah).
Pasal 97 . . .
- 57 -Pasal 97
(1)  Orang perseorangan yang dengan sengaja:
a. merusak  sarana  dan  prasarana  pelindungan
hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25;
dan/atau
b.  merusak,  memindahkan,  atau  menghilangkan
pal  batas  luar  kawasan  hutan,  batas  fungsi
kawasan  hutan,  atau  batas  kawasan  hutan
yang  berimpit  dengan  batas  negara  yang
mengakibatkan  perubahan  bentuk  dan/atau
luasan kawasan hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun serta
pidana  denda  paling  sedikit  Rp200.000.000,00
(dua  ratus  juta  rupiah)  dan  paling  banyak
Rp1.500.000.000,00  (satu  miliar  lima  ratus  juta
rupiah).
(2)  Orang perseorangan yang karena kelalaiannya:
a. merusak  sarana  dan  prasarana  pelindungan
hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25;
dan/atau
b.  merusak,  memindahkan,  atau  menghilangkan
pal  batas  luar  kawasan  hutan,  batas  fungsi
kawasan  hutan,  atau  batas  kawasan  hutan
yang  berimpit  dengan  batas  negara  yang
mengakibatkan  perubahan  bentuk  dan/atau
luasan kawasan hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8
(delapan)  bulan  dan  paling  lama  2  (dua)  tahun
serta  pidana  denda  paling  sedikit
Rp10.000.000,00  (sepuluh  juta  rupiah)  dan
paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
(3)  Korporasi yang:
a. merusak  sarana  dan  prasarana  pelindungan
hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25;
dan/atau
b. merusak . . .
- 58 -b.  merusak,  memindahkan,  atau  menghilangkan
pal  batas  luar  kawasan  hutan,  batas  fungsi
kawasan  hutan,  atau  batas  kawasan  hutan
yang  berimpit  dengan  batas  negara  yang
mengakibatkan  perubahan  bentuk  dan/atau
luasan kawasan hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26
dipidana dengan pidana  penjara paling singkat 4
(empat)  tahun  dan  paling  lama  15  (lima  belas)
tahun  serta  pidana  denda  paling  sedikit
Rp4.000.000.000,00  (empat  miliar  rupiah)  dan
paling  banyak  Rp15.000.000.000,00  (lima  belas
miliar rupiah).
Pasal 98
(1)  Orang  perseorangan  yang  dengan  sengaja  turut
serta  melakukan  atau  membantu  terjadinya
pembalakan  liar  dan/atau  penggunaan  kawasan
hutan  secara  tidak  sah  sebagaimana  dimaksud
dalam  Pasal  19  huruf  b  dipidana  dengan  pidana
penjara  paling  singkat  1  (satu)  tahun  dan  paling
lama  3  (tiga)  tahun  serta  pidana  denda  paling
sedikit  Rp500.000.000,00  (lima  ratus  juta
rupiah)  dan  paling  banyak  Rp1.500.000.000,00
(satu miliar lima ratus juta rupiah).
(2)  Orang  perseorangan  yang  karena  kelalaiannya
turut  serta  melakukan  atau  membantu
terjadinya  pembalakan  liar  dan/atau
penggunaan  kawasan  hutan  secara  tidak  sah
sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  19  huruf  b
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8
(delapan)  bulan  dan  paling  lama  2  (dua)  tahun
serta  pidana  denda  paling  sedikit
Rp200.000.000,00  (dua  ratus  juta  rupiah)  dan
paling  banyak  Rp1.000.000.000,00  (satu  miliar
rupiah).
(3) Korporasi . . .
- 59 -(3)  Korporasi  yang  turut  serta  melakukan  atau
membantu  terjadinya  pembalakan  liar  dan/atau
penggunaan  kawasan  hutan  secara  tidak  sah
sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  19  huruf  b
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima)  tahun  dan  paling  lama  15  (lima  belas)
tahun  serta  pidana  denda  paling  sedikit
Rp5.000.000.000,00  (lima  miliar  rupiah)  dan
paling  banyak  Rp15.000.000.000,00  (lima  belas
miliar rupiah).
Pasal 99
(1)  Orang  perseorangan  yang  dengan  sengaja
menggunakan  dana  yang  diduga  berasal  dari
hasil  pembalakan  liar  dan/atau  penggunaan
kawasan  hutan  secara  tidak  sah  sebagaimana
dimaksud  dalam  Pasal  19  huruf  e  dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan)
tahun  dan  paling  lama  15  (lima  belas)  tahun
serta  pidana  denda  paling  sedikit
Rp10.000.000.000,00  (sepuluh  miliar  rupiah)
dan  paling  banyak  Rp100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah).
(2)  Orang  perseorangan  yang  karena  kelalaiannya
menggunakan  dana  yang  diduga  berasal  dari
hasil  pembalakan  liar  dan/atau  penggunaan
kawasan  hutan  secara  tidak  sah  sebagaimana
dimaksud  dalam  Pasal  19  huruf  e  dipidana
dengan  pidana  penjara  paling  singkat  1  (satu)
tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana
denda  paling  sedikit  Rp200.000.000,00  (dua
ratus  juta  rupiah)  dan  paling  banyak
Rp1.500.000.000,00  (satu  miliar  lima  ratus  juta
rupiah).
(3)  Korporasi  yang  menggunakan  dana  yang  diduga
berasal  dari  hasil  pembalakan  liar  dan/atau
penggunaan  kawasan  hutan  secara  tidak  sah
sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  19  huruf  e
dipidana  dengan  pidana  penjara  paling  singkat
10  (sepuluh)  tahun  dan  paling  lama  seumur
hidup  serta  pidana  denda  paling  sedikit
Rp20.000.000.000,00  (dua  puluh  miliar  rupiah)
dan  paling  banyak  Rp1.000.000.000.000,00
(satu triliun rupiah).
Pasal 100 . . .
- 60 -Pasal 100
(1)  Orang  perseorangan  yang  dengan  sengaja
mencegah,  merintangi,  dan/atau  menggagalkan
secara  langsung  maupun  tidak  langsung  upaya
pemberantasan  pembalakan  liar  dan
penggunaan  kawasan  hutan  secara  tidak  sah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dipidana
dengan  pidana  penjara  paling  singkat  1  (satu)
tahun  dan  paling  lama  10  (sepuluh)  tahun  dan
pidana  denda  paling  sedikit  Rp500.000.000,00
(lima  ratus  juta  rupiah)  dan  paling  banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2)  Korporasi  yang  mencegah,  merintangi,  dan/atau
menggagalkan  secara  langsung  maupun  tidak
langsung  upaya  pemberantasan  pembalakan  liar
dan  penggunaan  kawasan  hutan  secara  tidak
sah  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  20
dipidana dengan pidana penjara  paling singkat 5
(lima)  tahun  dan  paling  lama  15  (lima  belas)
tahun  serta  pidana  denda  paling  sedikit
Rp5.000.000.000,00  (lima  miliar  rupiah)  dan
paling  banyak  Rp15.000.000.000,00  (lima  belas
miliar rupiah).
Pasal 101
(1)  Orang  perseorangan  yang  dengan  sengaja
memanfaatkan  kayu  hasil  pembalakan  liar
dan/atau  penggunaan  kawasan  hutan  secara
tidak  sah  yang  berasal  dari  hutan  konservasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dipidana
dengan  pidana  penjara  paling  singkat  1  (satu)
tahun  dan  paling  lama  3  (tiga)    tahun  serta
pidana  denda  paling  sedikit  Rp200.000.000,00
(dua  ratus  juta  rupiah)  dan  paling  banyak
Rp1.500.000.000,00  (satu  miliar  lima  ratus  juta
rupiah).
(2) Dalam . . .
- 61 -(2)  Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh orang perseorangan
yang  bertempat  tinggal  di  sekitar  atau  di  dalam
kawasan  hutan  dipidana  dengan  pidana  penjara
paling  singkat  3  (tiga)  bulan  serta  paling  lama  1
(satu)  tahun  dan/atau  pidana  denda  paling
sedikit  Rp500.000,00  (lima  ratus  ribu  rupiah)
paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
(3)  Korporasi  yang  memanfaatkan  kayu  hasil
pembalakan  liar  dan/atau  penggunaan  kawasan
hutan  secara  tidak  sah  yang  berasal  dari  hutan
konservasi  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal
21  dipidana  dengan  pidana  penjara  paling
singkat  5  (lima)  tahun  dan  paling  lama  15  (lima
belas)  tahun  serta  pidana  denda  paling  sedikit
Rp5.000.000.000,00  (lima  miliar  rupiah)  dan
paling  banyak  Rp15.000.000.000,00  (lima  belas
miliar rupiah).
Pasal 102
(1)  Orang  perseorangan  yang  dengan  sengaja
menghalang-halangi  dan/atau  menggagalkan
penyelidikan,  penyidikan,  penuntutan,  atau
pemeriksaan  di  sidang  pengadilan  tindak  pidana
pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan
secara  tidak  sah  sebagaimana  dimaksud  dalam
Pasal  22  dipidana  dengan  pidana  penjara  paling
singkat  1  (satu)  tahun  dan  paling  lama  10
(sepuluh)  tahun  serta  pidana  denda  paling
sedikit  Rp500.000.000,00  (lima  ratus  juta
rupiah)  dan  paling  banyak  Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
(2)  Korporasi  yang  menghalang-halangi  dan/atau
menggagalkan  penyelidikan,  penyidikan,
penuntutan,  atau  pemeriksaan  di  sidang
pengadilan  tindak  pidana  pembalakan  liar  dan
penggunaan  kawasan  hutan  secara  tidak  sah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dipidana
dengan  pidana  penjara  paling  singkat  5  (lima)
tahun  dan  paling  lama  15  (lima  belas)  tahun
serta  pidana  denda  paling  sedikit
Rp5.000.000.000,00  (lima  miliar  rupiah)  dan
paling  banyak  Rp15.000.000.000,00  (lima  belas
miliar rupiah).
Pasal 103 . . .
- 62 -Pasal 103
(1)  Orang  perseorangan  yang  dengan  sengaja
melakukan  intimidasi  dan/atau  ancaman
terhadap  keselamatan  petugas  yang  melakukan
pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar
dan  penggunaan  kawasan  hutan  secara  tidak
sah  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  23
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun  dan paling lama 10 (sepuluh) tahun
serta  pidana  denda  paling  sedikit
Rp500.000.000,00  (lima  ratus  juta  rupiah)  dan
paling  banyak  Rp5.000.000.000,00  (lima  miliar
rupiah).
(2)  Korporasi  yang  melakukan  intimidasi  dan/atau
ancaman  terhadap  keselamatan  petugas  yang
melakukan  pencegahan  dan  pemberantasan
pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan
secara  tidak  sah  sebagaimana  dimaksud  dalam
Pasal  23  dipidana  dengan  pidana  penjara  paling
singkat  5  (lima)  tahun  dan  paling  lama  15  (lima
belas)  tahun  serta  pidana  denda  paling  sedikit
Rp5.000.000.000,00  (lima  miliar  rupiah)  dan
paling  banyak  Rp15.000.000.000,00  (lima  belas
miliar rupiah).
Pasal 104
Setiap  pejabat   yang  dengan  sengaja  melakukan
pembiaran  terjadinya  perbuatan  pembalakan  liar
sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  12  sampai
dengan  Pasal  17  dan  Pasal  19,  tetapi  tidak
menjalankan  tindakan  sebagaimana  dimaksud
dalam  Pasal  27  dipidana  dengan  pidana  penjara
paling  singkat  6  (enam)  bulan  dan  paling  lama  15
(lima  belas)  tahun  serta  pidana  denda  paling  sedikit
Rp1.000.000.000,00  (satu  miliar  rupiah)  dan  paling
banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus
juta rupiah).
Pasal 105 . . .
- 63 -Pasal 105
Setiap pejabat yang:
a.  menerbitkan  izin  pemanfaatan  hasil  hutan  kayu
dan/atau  penggunaan  kawasan  hutan  di  dalam
kawasan  hutan  yang  tidak  sesuai  dengan
kewenangannya  sebagaimana  dimaksud  dalam
Pasal 28 huruf a;
b.  menerbitkan  izin  pemanfaatan  hasil  hutan  kayu
dan/atau  izin  penggunaan  kawasan  hutan  di
dalam  kawasan  hutan  yang  tidak  sesuai  dengan
ketentuan  peraturan  perundang-undangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf b;
c.  melindungi  pelaku  pembalakan  liar  dan/atau
penggunaan  kawasan  hutan  secara  tidak  sah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf c;
d.  ikut  serta  atau  membantu  kegiatan  pembalakan
liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara
tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
huruf d;
e.  melakukan  permufakatan  untuk  terjadinya
pembalakan  liar  dan/atau  penggunaan  kawasan
hutan  secara  tidak  sah  sebagaimana  dimaksud
dalam Pasal 28 huruf e;
f.  menerbitkan  surat  keterangan  sahnya  hasil
hutan  tanpa  hak   sebagaimana  dimaksud  dalam
Pasal 28 huruf f; dan/atau
g.  dengan  sengaja  melakukan  pembiaran  dalam
melaksanakan  tugas  sehingga  terjadi  tindak
pidana  pembalakan  liar  dan/atau  penggunaan
kawasan  hutan  secara  tidak  sah  sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 huruf g
dipidana  dengan  pidana  penjara  paling  singkat  1
(satu)  tahun  dan  paling  lama  10  (sepuluh)  tahun
serta  pidana  denda  paling  sedikit
Rp1.000.000.000,00  (satu  miliar  rupiah)  dan  paling
banyak  Rp10.000.000.000,00  (sepuluh  miliar
rupiah).
Pasal 106 . . .
- 64 -Pasal 106
Setiap  pejabat  yang  melakukan  kelalaian  dalam
melaksanakan  tugas  sebagaimana  dimaksud  dalam
Pasal  28  huruf  h  dipidana  dengan  pidana  penjara
paling  singkat  6  (enam)  bulan  dan  paling  lama  5
(lima)  tahun  serta  pidana  denda  paling  sedikit
Rp200.000.000,00  (dua  ratus  juta  rupiah)  dan
paling  banyak  Rp1.000.000.000,00  (satu  milyar
rupiah).
Pasal 107
Setiap  kegiatan  pembalakan  liar  dan/atau
penggunaan  kawasan  hutan  secara  tidak  sah
sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  12  sampai
dengan  Pasal  17  dan  Pasal  20  sampai  dengan  Pasal
26  yang  melibatkan  pejabat,  pidananya  ditambah
1/3 (satu per tiga) dari ancaman pidana pokok.
Pasal 108
Selain  penjatuhan  sanksi  pidana  sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 82, Pasal 84, Pasal 94, Pasal
96,  Pasal  97  huruf  a,  Pasal  97  huruf  b,  Pasal  104,
Pasal  105,  atau  Pasal  106  dikenakan  juga  uang
pengganti,  dan  apabila  tidak  terpenuhi,  terdakwa
dikenai  hukuman  penjara  yang  lamanya  tidak
melebihi  ancaman  maksimum  dari  pidana  pokok
sesuai  dengan  ketentuan  dalam  Undang-undang  ini
dan  lama  pidana  sudah  ditentukan  dalam  putusan
pengadilan.
Pasal 109
(1)  Dalam  hal  perbuatan  pembalakan,  pemanenan,
pemungutan,  penguasaan,  pengangkutan,  dan
peredaran  kayu  hasil  tebangan  liar  dilakukan
oleh  atau  atas  nama  suatu  korporasi,  tuntutan
dan/atau penjatuhan pidana dilakukan terhadap
korporasi dan/atau pengurusnya.
(2) Perbuatan . . .
- 65 -(2)  Perbuatan  pembalakan,  pemanenan,
pemungutan,  penguasaan,  pengangkutan,  dan
peredaran  kayu  hasil  tebangan  liar  dilakukan
oleh  korporasi  apabila  tindak  pidana  tersebut
dilakukan  oleh  orang  perorangan,  baik
berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan
lain,  bertindak  dalam  lingkungan  korporasi
tersebut  baik  secara  sendiri  maupun  bersamasama.
(3)  Dalam  hal  tuntutan  pidana  dilakukan  terhadap
korporasi,  korporasi  tersebut  diwakili  oleh
pengurus.
(4)  Hakim dapat memerintahkan pengurus korporasi
agar  menghadap  sendiri  di  sidang  pengadilan
dan  dapat  pula  memerintahkan  agar  pengurus
tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
(5)  Pidana  pokok  yang  dapat  dijatuhkan  terhadap
korporasi  hanya  pidana  denda  sebagaimana
dimaksud  dalam  Pasal  82  sampai  dengan  Pasal
103.
(6)  Selain  dapat  dijatuhi  pidana  sebagaimana
dimaksud  dalam  Pasal  82  sampai  dengan  Pasal
103,  korporasi  dapat  dijatuhi  pidana  tambahan
berupa  penutupan  seluruh  atau  sebagian
perusahaan.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 110
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a.  perkara  tindak  pidana  perusakan  hutan  yang
telah  dilakukan  penyidikan,  penuntutan,  dan
pemeriksaan di pengadilan berdasarkan UndangUndang  Nomor  41  Tahun  1999  tentang
Kehutanan  (Lembaran  Negara  Republik
Indonesia  Tahun  1999  Nomor  167,  Tambahan
Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Nomor
3888)  sebagaimana  telah  diubah  dengan
Undang-Undang  Nomor  19  Tahun  2004  tentang
Penetapan  Peraturan  Pemerintah  Pengganti
Undang-Undang  Nomor  1  Tahun  2004  tentang
Perubahan  atas  Undang-Undang  Nomor  41
Tahun 1999   tentang   Kehutanan   menjadi
Undang-Undang . . .
- 66 -Undang-Undang  (Lembaran  Negara  Republik
Indonesia  Tahun  2004  Nomor  86,  Tambahan
Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Nomor
4412)  tetap  dilanjutkan  sampai  memperoleh
putusan  pengadilan  yang  memiliki  kekuatan
hukum tetap; dan
b.  perkara  tindak  pidana  perusakan  hutan  dalam
kawasan  hutan  yang  telah  ditunjuk  oleh
Pemerintah  sebelum  Putusan  Mahkamah
Konstitusi  Nomor  45/PUU-IX/2011  tanggal  12
Februari  2012  tentang  Pengujian  UndangUndang  Nomor  41  Tahun  1999  tentang
Kehutanan,  berlaku  ketentuan  dalam  UndangUndang ini.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 111
(1)  Lembaga  pencegahan  dan  pemberantasan
perusakan  hutan  sebagaimana  dimaksud  dalam
Pasal  53  harus  telah  terbentuk  paling  lama  2
(dua)  tahun  terhitung  sejak  Undang-Undang  ini
diundangkan.
(2)  Sejak  terbentuknya  lembaga  sebagaimana
dimaksud  pada  ayat  (1),  penanganan  semua
tindak  pidana  perusakan  hutan  yang
terorganisasi sebagaimana diatur dalam UndangUndang  ini  menjadi  kewenangan  lembaga
pencegahan  dan  pemberantasan  perusakan
hutan.
Pasal 112
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a.  ketentuan Pasal 50 ayat (1) dan ayat (3) huruf a,
huruf f, huruf g, huruf h, huruf j, serta huruf k;
dan
b. ketentuan . . .
- 67 -b.  ketentuan  Pasal  78  ayat  (1)  mengenai  ketentuan
pidana  terhadap  Pasal  50  ayat  (1)  serta  ayat  (2)
mengenai  ketentuan  pidana  terhadap  Pasal  50
ayat  (3)  huruf  a  dan  huruf  b,  ayat  (6),  ayat  (7),
ayat (9), dan ayat (10)
dalam  Undang-Undang  Nomor  41  Tahun  1999
tentang  Kehutanan  (Lembaran  Negara  Republik
Indonesia  Tahun  1999  Nomor  167,  Tambahan
Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Nomor  3888)
sebagaimana  telah  diubah  dengan  Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah  Pengganti  Undang-Undang  Nomor  1
Tahun  2004  tentang  Perubahan  atas  UndangUndang  Nomor  41  Tahun  1999  tentang  Kehutanan
menjadi  Undang-Undang  (Lembaran  Negara
Republik  Indonesia  Tahun  2004  Nomor  86,
Tambahan  Lembaran  Negara  Republik  Indonesia
Nomor 4412) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 113
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua
peraturan  perundang-undangan  yang  merupakan
peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 41
Tahun  1999  tentang  Kehutanan  (Lembaran  Negara
Republik  Indonesia  Tahun  1999  Nomor  167,
Tambahan  Lembaran  Negara  Nomor  3888)  yang
mengatur  tindak  pidana  perusakan  hutan
dinyatakan  masih  tetap  berlaku  sepanjang  tidak
bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Pasal 114
Undang-Undang  ini  mulai  berlaku  pada  tanggal
diundangkan.
Agar . . .
- 68 -Agar  setiap  orang  mengetahuinya,  memerintahkan
pengundangan  Undang-Undang  ini  dengan
penempatannya  dalam  Lembaran  Negara  Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 6 Agustus 2013
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 Agustus 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 130
Salinan sesuai dengan aslinya
KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI
Asisten Deputi Perundang-undangan
Bidang Perekonomian,
Lydia Silvanna Djaman
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 18 TAHUN 2013
TENTANG
PENCEGAHAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN
I. UMUM
Hutan  Indonesia  sebagai  karunia  dan  anugerah  Tuhan  Yang  Maha  Esa
yang  diamanatkan  kepada  bangsa  Indonesia  merupakan  unsur  utama
sistem  penyangga  kehidupan  manusia  dan  merupakan  modal  dasar
pembangunan nasional yang memiliki manfaat nyata, baik manfaat ekologi,
sosial budaya, maupun ekonomi agar kehidupan dan penghidupan bangsa
Indonesia berkembang secara seimbang dan dinamis.
Hutan  Indonesia  merupakan  salah  satu  hutan  tropis  terluas  di  dunia
sehingga  keberadaanya  menjadi  tumpuan  keberlangsungan  kehidupan
bangsa-bangsa di dunia, khususnya dalam mengurangi dampak perubahan
iklim  global.  Oleh  karena  itu,  pemanfaataan  dan  penggunaannya  harus
dilakukan  secara  terencana,  rasional,  optimal,  dan  bertanggung  jawab
sesuai  dengan  kemampuan  daya  dukung  serta  memperhatikan  kelestarian
fungsi  dan  keseimbangan  lingkungan  hidup  guna  mendukung  pengelolaan
hutan dan pembangunan kehutanan yang berkelanjutan bagi kemakmuran
rakyat. Hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang
Dasar  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1945  yang  menyatakan  bahwa
bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara  dan  dipergunakan  untuk  sebesar-besarnya  kemakmuran  rakyat.
Dengan demikian, hutan sebagai salah satu sumber kekayaan alam bangsa
Indonesia dikuasai oleh negara.
Penguasaan  sumber  daya  hutan  oleh  negara  memberi  wewenang  kepada
pemerintah  untuk  (i)  mengatur  dan  mengurus  segala  sesuatu  yang
berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; (ii) menetapkan
kawasan  hutan  dan/atau  mengubah  status  kawasan  hutan;  (iii)  mengatur
dan menetapkan hubungan hukum antara orang dan hutan atau kawasan
hutan  dan  hasil  hutan;  serta  (iv)  mengatur  perbuatan  hukum  mengenai
kehutanan.  Selanjutnya,  pemerintah  sesuai  dengan  kewenangannya  dapat
memberikan  izin  kepada  pihak  lain  yang  memenuhi  persyaratan  untuk
melakukan  kegiatan  di  bidang  kehutanan.  Namun,  untuk  hal-hal  tertentu
yang sangat  penting, berskala dan berdampak luas, serta bernilai strategis,
pemerintah  harus  memperhatikan  aspirasi  rakyat  melalui  persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Pembangunan . . .
- 2 -Pembangunan  hutan  berkelanjutan  memerlukan  upaya  yang  sungguhsungguh  karena  masih  terjadi  berbagai  tindak  kejahatan  kehutanan,
seperti  pembalakan  liar,  penambangan  tanpa  izin,  dan  perkebunan  tanpa
izin.  Kejahatan  itu  telah  menimbulkan  kerugian  negara  dan  kerusakan
kehidupan  sosial  budaya  dan  lingkungan  hidup  yang  sangat  besar  serta
telah  meningkatkan  pemanasan  global  yang  telah  menjadi  isu  nasional,
regional, dan internasional.
Akhir-akhir  ini  perusakan  hutan  semakin  meluas  dan  kompleks.
Perusakan  itu  terjadi  tidak  hanya  di  hutan  produksi,  tetapi  juga  telah
merambah  ke  hutan  lindung  ataupun  hutan  konservasi.  Perusakan  hutan
telah berkembang menjadi suatu tindak pidana kejahatan yang berdampak
luar  biasa  dan  terorganisasi  serta  melibatkan  banyak  pihak,  baik  nasional
maupun  internasional.  Kerusakan  yang  ditimbulkan  telah  mencapai
tingkat  yang  sangat  mengkhawatirkan  bagi  kelangsungan  hidup  bangsa
dan  negara.  Oleh  karena  itu,  penanganan  perusakan  hutan  harus
dilakukan secara luar biasa.
Upaya  menangani  perusakan  hutan  sesungguhnya  telah  lama  dilakukan,
tetapi  belum  berjalan  secara  efektif  dan  belum  menunjukkan  hasil  yang
optimal.  Hal  itu  antara  lain  disebabkan  oleh  peraturan  perundangundangan yang ada belum secara tegas mengatur tindak pidana perusakan
hutan  yang  dilakukan  secara  terorganisasi.  Oleh  karena  itu,  diperlukan
payung  hukum  dalam  bentuk  undang-undang  agar  perusakan  hutan
terorganisasi dapat ditangani secara efektif dan efisien serta pemberian efek
jera kepada pelakunya.
Berdasarkan  pemikiran  sebagaimana  diuraikan  di  atas,  upaya
pemberantasan perusakan hutan melalui undang-undang ini dilaksanakan
dengan  mengedepankan  asas  keadilan  dan  kepastian  hukum,
keberlanjutan,  tanggung  jawab  negara,  partisipasi  masyarakat,  tanggung
gugat,  prioritas,  serta  keterpaduan  dan  koordinasi.  Selanjutnya,
pembentukan  undang-undang  ini,  selain  memiliki  aspek  represif  juga
mempertimbangkan aspek restoratif, bertujuan untuk:
a. memberikan  payung  hukum  yang  lebih  tegas  dan  lengkap  bagi  aparat
penegak  hukum  untuk  melakukan  pemberantasan  perusakan  hutan
sehingga mampu memberi efek jera bagi pelakunya;
b.  meningkatkan  kemampuan  dan  koordinasi  aparat  penegak  hukum  dan
pihak-pihak  terkait  melalui  lembaga  pencegahan  dan  pemberantasan
perusakan hutan dalam upaya pemberantasan perusakan hutan.
c.  meningkatkan  peran  masyarakat  dalam  menjaga  kelestarian  hutan
terutama  sebagai  bentuk  kontrol  sosial  pelaksanaan  pemberantasan
perusakan hutan;
d. mengembangkan . . .
- 3 -d.  mengembangkan kerja sama internasional dalam rangka pemberantasan
perusakan hutan secara bilateral, regional, ataupun multilateral; dan
e.  menjamin keberadaan hutan secara berkelanjutan dengan tetap menjaga
kelestarian  dan  tidak  merusak  lingkungan  serta  ekosistem  sekitarnya
guna mewujudkan masyarakat sejahtera.
Ruang  lingkup  undang-undang  ini  meliputi  (i)  pencegahan  perusakan
hutan;  (ii)  pemberantasan  perusakan  hutan;  (iii)  kelembagaan;  (iv)  peran
serta  masyarakat;  (v)  kerja  sama  internasional;  (vi)  pelindungan  saksi,
pelapor, dan informan; (vii) pembiayaan; dan (viii) sanksi.
Cakupan perusakan hutan yang diatur  dalam undang-undang ini meliputi
proses, cara, atau perbuatan merusak hutan melalui kegiatan pembalakan
liar  dan/atau  penggunaan  kawasan  hutan  secara  tidak  sah.  Adapun
pembalakan  liar  didefinisikan  sebagai  semua  kegiatan  pemanfaatan  hasil
hutan  kayu  secara  tidak  sah  yang  terorganisasi,  sedangkan  penggunaan
kawasan  hutan  secara  tidak  sah  meliputi  kegiatan  terorganisasi  yang
dilakukan  di  dalam  kawasan  hutan  untuk  perkebunan  dan/atau
pertambangan tanpa izin Menteri.
Undang-undang  ini  dititikberatkan  pada  pemberantasan  perusakan  hutan
yang  dilakukan  secara  terorganisasi,  yaitu  kegiatan  yang  dilakukan  oleh
suatu kelompok  yang terstruktur, terdiri atas 2 (dua) orang atau lebih, dan
yang  bertindak  secara  bersama-sama  pada  suatu  waktu  tertentu  dengan
tujuan  melakukan  perusakan  hutan,  tetapi  tidak  termasuk  kelompok
masyarakat  yang  melakukan  perladangan  tradisional.  Pengecualian
terhadap  kegiatan  perladangan  tradisional  diberikan  kepada  masyarakat
yang  telah  hidup  secara  turun-temurun  di  dalam  wilayah  hutan  tersebut
dan telah melakukan kegiatan perladangan dengan mengikuti tradisi rotasi
yang telah ditetapkan oleh kelompoknya.
Upaya  pencegahan  perusakan  hutan  dilakukan  melalui  pembuatan
kebijakan  oleh  Pemerintah  dan  pemerintah  daerah  serta  dengan
peningkatan  peran  serta  masyarakat.  Dalam  rangka  pemberantasan
perusakan  hutan,  Undang-Undang  ini  mengatur  kategori  dari  perbuatan
perusakan  hutan  terorganisasi,  baik  perbuatan  langsung,  tidak  langsung,
maupun  perbuatan  terkait  lainnya.  Guna  meningkatkan  efektivitas
pemberantasan  perusakan  hutan,  Undang-Undang  ini  dilengkapi  dengan
hukum  acara  yang  meliputi  penyidikan,  penuntutan,  dan  pemeriksaan  di
sidang pengadilan.
Undang-undang . . .
- 4 -Undang-undang  ini  mengamanatkan  pembentukan  suatu  lembaga  yang
melaksanakan  pencegahan  dan  pemberantasan  perusakan  hutan
terorganisasi yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada
Presiden  yang  terdiri  atas  unsur  kehutanan,  kepolisian,  kejaksaan,  dan
unsur  terkait  lainnya,  seperti  unsur  kementerian  terkait,  ahli/pakar,  dan
wakil  masyarakat.  Selain  memiliki  fungsi  penegakan  hukum,  lembaga  ini
juga memiliki fungsi koordinasi dan supervisi.
Sejak  terbentuknya  lembaga  pencegahan  dan  pemberantasan  perusakan
hutan,  penanganan  semua  tindak  pidana  perusakan  hutan  yang
terorganisasi  sebagaimana  diatur  dalam  Undang-Undang  ini  menjadi
kewenangan  lembaga  pencegahan  dan  pemberantasan  perusakan  hutan.
Sedangkan  tindak  pidana  perusakan  hutan  terorganisasi  yang  sedang
dalam  proses  hukum,  tetap  dilanjutkan  berdasarkan  ketentuan  peraturan
perundang-undangan yang sebelumnya sampai diperoleh kekuatan hukum
tetap.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Yang  dimaksud   dengan  ”keadilan  dan  kepastian  hukum”
adalah pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan  yang
diselenggarakan  dengan  berlandaskan  hukum/ketentuan
peraturan  perundang-undangan  dan  penegakan  hukum
berlaku untuk semua lapisan masyarakat.
Huruf b
Yang  dimaksud  dengan  ”keberlanjutan”   adalah    setiap  orang
memikul  kewajiban  dan  tanggung  jawab  terhadap  generasi
mendatang  dan  terhadap  sesamanya  dalam  satu  generasi
untuk menjaga kelestarian hutan.
Huruf c
Yang  dimaksud  dengan  ”tanggung  jawab  negara”  adalah
pencegahan  dan  pemberantasan  perusakan  hutan  merupakan
tanggung  jawab  negara  untuk  melakukannya  agar  kelestarian
hutan tetap terjaga.
Huruf d . . .
- 5 -Huruf d.
Yang  dimaksud  “partisipasi  masyarakat”  adalah  bahwa
keterlibatan  masyarakat  dalam  melakukan  kegiatan
pencegahan  dan  pemberantasan  perusakan  hutan  memiliki
peran yang sangat signifikan dalam rangka menjaga kelestarian
hutan.
Huruf e
Yang  dimaksud  dengan  ”tanggung  gugat”  adalah  bahwa
evaluasi  kinerja  pencegahan  dan  pemberantasan  perusakan
hutan  dilaksanakan  dengan  mengevaluasi  pelaksanaan  yang
telah  dilakukan  dengan  perencanaan  yang  telah  dibuat  secara
sederhana,  terukur,  dapat  dicapai,  rasional,  dan  kegiatannya
dapat dijadwalkan.
Huruf f
Yang  dimaksud  ”prioritas”  adalah  bahwa  perkara  perusakan
hutan  merupakan  perkara  yang  perlu  penanganan  segera
sehingga  penanganan  penyelidikan,  penyidikan,  ataupun
penuntutan perlu didahulukan.
Huruf g
Yang  dimaksud  dengan  ”keterpaduan  dan  koordinasi”  adalah
kegiatan  pencegahan  dan  pemberantasan  perusakan  hutan
diselenggarakan  dengan  mengintegrasikan  berbagai
kepentingan  yang  bersifat  lintas  sektor,  lintas  pemangku
kepentingan, dan koordinasi antarsektor dan antarkepentingan
sangat  diperlukan.  Pemangku  kepentingan  antara  lain
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) . . .
- 6 -Ayat (2)
Penetapan  sumber  kayu  alternatif   dimaksudkan  untuk
memenuhi  permintaan  domestik  dan  internasional  terhadap
produk  kayu  yang  senantiasa  tumbuh  pada  saat  pengurangan
kapasitas industri pengolahan kayu dilakukan.
Pengembangan  hutan  tanaman  yang  produktif  dikembangkan
dengan  memanfaatkan  lahan  kritis  dan  lahan  tidur  seperti
lahan bekas hak pengelolaan hutan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 7
Yang  dimaksud  dengan  “masyarakat”  adalah  masyarakat  setempat,
masyarakat  hukum  adat,  dan  masyarakat  umum.  Masyarakat
setempat  merupakan  masyarakat  yang  tinggal  di  dalam  dan/atau
sekitar  hutan  yang  merupakan  kesatuan  komunitas  sosial
berdasarkan  mata  pencaharian  yang  bergantung  pada  hutan,
kesejarahan,  keterikatan  tempat  tinggal,  serta  pengaturan  tata  tertib
kehidupan bersama dalam wadah kelembagaan.
Masyarakat  hukum  adat  adalah  masyarakat  tradisional  yang  masih
terkait  dalam  bentuk  paguyuban,  memiliki  kelembagaan  dalam
bentuk  pranata  dan  perangkat  hukum  adat  yang  masih  ditaati,  dan
masih  mengadakan  pemungutan  hasil  hutan  di  wilayah  hutan
sekitarnya  yang  keberadaannya  dikukuhkan  dengan  Peraturan
Daerah.
Masyarakat  umum  adalah  masyarakat  di  luar  masyarakat  setempat
dan masyarakat hukum adat.
Badan  hukum  yang  dimaksud  dalam  Undang-Undang  ini   adalah
badan  usaha  milik  negara,  badan  usaha  milik  daerah,  badan  usaha
milik swasta, dan koperasi.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11 . .
- 7 -Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “perladangan tradisional” adalah usaha
tani  yang  dilakukan  oleh  masyarakat  yang  telah  hidup  secara
turun  termurun  di  dalam  wilayah  hutan  tersebut  dan  kegiatan
perladangan  tersebut  telah  dilakukan  dengan  mengikuti  tradisi
rotasi yang telah ditetapkan oleh kelompoknya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 12
Huruf a
Yang  dimaksud  dengan  “izin  pemanfaatan  hutan”  adalah  izin
untuk  memanfaatkan  hutan  dalam  kawasan  hutan  produksi
yang  berupa  Izin  Usaha  Pemanfaatan  Kawasan,  Izin  Usaha
Pemanfaatan  Jasa  Lingkungan,  Izin  Usaha  Pemanfaatan  Hasil
Hutan  Kayu,  Izin  Usaha  Pemanfaatan  Hasil  Hutan  Bukan
Kayu,  Izin  Pemungutan  Hasil  Hutan  Kayu,  atau  Izin
Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu.
Huruf b
Yang  dimaksud  dengan  ”penebangan  pohon  dalam  kawasan
hutan  tanpa  memiliki  izin”  adalah  penebangan  pohon  yang
dilakukan berdasarkan izin pemanfaatan hutan yang diperoleh
secara  tidak  sah,  yaitu  izin  yang  diperoleh  dari  pejabat  yang
tidak berwenang mengeluarkan izin pemanfaatan hutan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang  dimaksud  dengan  ”memuat”  adalah  memasukkan  ke
dalam alat angkut.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f . . .
- 8 -Huruf f
Yang  dimaksud  dengan  “alat-alat  yang  lazim  digunakan  untuk
menebang,  memotong,  atau  membelah  pohon”,  tidak  termasuk
dalam ketentuan ini adalah alat seperti parang, mandau, golok
atau  alat  sejenis  lainnya  yang  dibawa  oleh  masyarakat
setempat  sesuai  dengan  tradisi  budaya  serta  karakteristik
daerah setempat.”
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang  dimaksud  dengan  “kegiatan  yang  mempunyai  tujuan
strategis  yang  tidak  dapat  dihindari”  adalah  kegiatan  yang
diprioritaskan dan harus dilakukan pada masa itu karena tidak
ada  pilihan  lain  dan  kegiatan  itu  mempunyai  pengaruh  yang
sangat  penting  bagi  kedaulatan  negara,  pertahanan  keamanan
negara,  pertumbuhan  ekonomi,  sosial,  budaya,  dan/atau
lingkungan.  Contohnya  antara  lain  pembangunan  dermaga
atau  jembatan  di  sempadan  sungai  yang  membelah  kawasan
hutan.
Pasal 14 . . .
- 9 -Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Yang  dimaksud  dengan  “dokumen  angkutan  hasil  hutan  kayu”
antara lain berupa surat keterangan sahnya hasil hutan, daftar kayu
bulat,  daftar  kayu  olahan,  faktur  angkutan  kayu  bulat,  dan  faktur
angkutan kayu olahan.
Pasal 16
Alat  angkut  dinyatakan  telah  mengangkut  hasil  hutan  apabila
sebagian atau seluruh hasil hutan telah berada di dalam alat angkut
untuk dikirim atau dipindahkan ke tempat lain.
Yang  termasuk  dalam  pengertian  “melakukan  pengangkutan”  adalah
proses  yang  dimulai  dari  memuat  hasil  hutan  memasukkan,  atau
membawa  hasil  hutan  ke  dalam  alat  angkut  dan  alat  angkut  yang
membawa  hasil  hutan  bergerak  ke  tempat  tujuan  dan  membongkar,
menurunkan, atau mengeluarkan hasil hutan dari alat angkut.
Di  samping  hasil  hutan  yang  tidak  disertai  dengan  surat  keterangan
sahnya  hasil  hutan,  alat  angkut,  baik  darat  maupun  perairan  yang
dipergunakan  untuk  mengangkut  hasil  hutan  dimaksud  dirampas
untuk  negara,  hal  itu  dimaksudkan  agar  pemilik  jasa  angkutan/
pengangkut ikut bertanggung jawab atas keabsahan hasil hutan yang
diangkut.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Yang  dimaksud  dengan  “sanksi  administratif”  adalah  sanksi
yang dikenakan terhadap pelanggaran tanpa izin dan terhadap
pemegang izin.
Terhadap  pelanggaran  tanpa  izin,  sanksi  administratif  yang
dikenakan  berupa  ganti  rugi  sesuai  dengan  tingkat  kerusakan
yang  ditimbulkan  kepada  negara  yang  berupa  biaya
rehabilitasi, pemulihan kondisi hutan, atau tindakan lain yang
diperlukan.
Terhadap  pemegang  izin,  sanksi  administratif  yang  dikenakan
berupa  denda,  penghentian  kegiatan,  pengurangan  areal,  atau
pencabutan izin.
Huruf a . . .
- 10 -Huruf a
Yang  dimaksud  dengan  “paksaan  pemerintah”  adalah
tindakan  hukum  yang  dilakukan  oleh  pemerintah  agar
perusahaan/badan  hukum  melakukan  pemulihan  hutan
akibat  perbuatannya  melakukan  perusakan  hutan
karena  tidak  mematuhi  ketentuan  dalam  peraturan
perundang-undangan.
Huruf b
Yang  dimaksud  dengan  “uang  paksa”  adalah  uang  yang
harus  dibayarkan  dalam  jumlah  tertentu  oleh  badan
hukum  atau  korporasi  yang  melanggar  ketentuan  dalam
peraturan  perundang-undangan  sebagai  pengganti  dari
pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Yang  termasuk  dalam  kategori  “menghalang-halangi”  adalah  setiap
upaya  memperlambat  proses,  menutupi  kasus,  serta  mempersulit
dalam memperoleh data dan informasi.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b . . .
- 11 -Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang  dimaksud  dengan  "memindahtangankan"  atau  “menjual
izin”  adalah  terbatas  pada  pengalihan  izin  pemanfaatan  dari
pemegang  izin  kepada  pihak  lain  yang  dilakukan  melalui  jual
beli, tetapi tidak termasuk akuisisi.
Pasal 25
Yang  dimaksud  dengan  “sarana  dan  prasarana  pelindungan  hutan”
adalah  antara  lain  jalan  patroli,  pos  jaga,  papan  larangan,  alat
komunikasi  statis,  alat  transportasi,  pal  batas,  dan  alat-alat
pengamanan hutan.
Pasal 26
Yang  dimaksud  dengan  “pal  batas  luar  kawasan  hutan”  adalah  pal
batas, baik berupa tugu batas dan patok batas, patok batas perairan
(buoi).
Yang  dimaksud  dengan  “pal  batas  fungsi  kawasan  hutan”  adalah
tugu batas atau patok batas.
Yang dimaksud dengan “batas kawasan hutan yang berimpit dengan
batas  negara”  adalah  tugu  batas  atau  patok  batas,  dan  buoi  yang
berimpit dengan batas negara.
Pasal 27
Yang  dimaksud  dengan  “tindakan”  antara  lain  melaporkan,
melakukan tindakan hukum, dan menghentikan suatu perbuatan.
Pasal 28
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang  dimaksud  dengan  “melindungi”  adalah  kegiatan  yang
dapat  menghambat  berlangsungnya  proses  penyidikan
terhadap  pelaku  yang  telah  diketahui  sebagai  daftar  pencarian
orang (DPO), seperti menyembunyikan pelaku.
Huruf d . . .
- 12 -Huruf d
Yang  dimaksud  dengan  “membantu”  adalah  mereka  yang
dengan  sengaja  membantu  dilakukannya  kejahatan  dan/atau
yang  dengan  sengaja  memberi  kesempatan  dan  sarana  untuk
melakukan kejahatan pembalakan liar.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b . . .
- 13 -Huruf b
Angka 1
Yang  dimaksud  dengan  ’’informasi  elektronik’’  adalah
informasi  yang  diucapkan,  dikirimkan,  diterima,  atau
disimpan  secara  elektronik  dengan  alat  optik  atau  yang
serupa dengan itu.
Angka 2
Yang  dimaksud  dengan  ’’dokumen  elektronik’’  adalah
data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca,
dan/atau  didengar,  yang  dapat  dikeluarkan  dengan  atau
tanpa  bantuan  suatu  sarana,  baik  yang  tertuang  di  atas
kertas,  benda  fisik  apa  pun  selain  kertas,  atau  yang
terekam secara elektronik, berupa:
a)  tulisan, suara, atau gambar;
b)  peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; dan/atau
c)  huruf,  tanda,  angka,  simbol,  atau  perforasi  yang
memiliki  makna  atau  dapat  dipahami  oleh  orang  yang
mampu membaca atau memahaminya.
Angka 3
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang  dimaksud  dengan  “daerah  yang  sulit  terjangkau  karena
faktor  alam  dan  geografis  atau  transportasi”  adalah  daerah
yang  secara  geografis  mengalami  keterbatasan  transportasi
karena memerlukan waktu tempuh lebih dari 3 x 24 jam.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 40 . . .
Pasal 40
- 14 -Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang  dimaksud  dengan  “barang  temuan”  adalah  barang  bukti
yang tidak dan/atau belum diketahui pemiliknya.
Ayat (4)
Yang  dimaksud  dengan  “barang  bukti  sitaan”  adalah  barang
bukti  yang  disita  dari  pemiliknya  dan/atau  yang
menguasainya.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Yang  dimaksud  dengan  “ketentuan  peraturan  perundang-undangan”
adalah  ketentuan  peraturan  perundang-udangan  mengenai  disiplin
kepegawaian dan tanggung jawab jabatan.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Yang  dimaksud  dengan  “barang  bukti  kayu”  adalah  kayu
temuan atau kayu sitaan.
Ayat (2)
Yang  dimaksud  dengan  “kepentingan  publik  atau  kepentingan
sosial” adalah kepentingan yang digunakan, antara lain, untuk
bantuan  penanggulangan  bencana  alam,  untuk  infrastruktur
umum  bagi  masyarakat,  serta  untuk  infrastruktur  rumah  dan
sarana prasarana bagi warga miskin.
Ayat (3) . . .
Ayat (3)
- 15 -Cukup jelas.
Ayat (4)
Barang  bukti  kayu,  termasuk  benda  yang  dapat  lekas  rusak
dan  penyimpananya  memerlukan  biaya  tinggi  sehingga  tidak
mungkin  disimpan  sampai  dengan  putusan  pengadilan
terhadap  perkara  yang  bersangkutan  memperoleh  kekuatan
hukum tetap.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang  dimaksud  dengan  1  (satu)  daur  adalah  jangka  waktu
sejak  penanaman  sampai  dengan  tanaman  secara  ekonomis
tidak produktif.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan kata “dapat” adalah bahwa Pemerintah
tidak  harus  selalu  memberikan  penugasan  kepada  badan
usaha  milik  negara  untuk  memanfaatkan  kebun,  tetapi  dapat
juga  melakukan  penghutanan  kembali  sesuai  dengan
fungsinya.
Yang  dimaksud  dengan  “penugasan”  adalah  pemberian
wewenang  oleh  negara  kepada  badan  usaha  milik  negara  yang
memiliki  kompetensi  untuk  melakukan  kegiatan  pengelolaan
perkebunan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Yang  dimaksud  dengan  “metode  survei  daya  muat”  adalah
metode penentuan kuantitas barang yang dimuat di atas kapal
atau  dibongkar  dengan  cara  menghitung  net  displacement
kapal berdasarkan prinsip Archimedes.
Yang . . .
- 16 -Yang dimaksud dengan “pembacaan skala angka kapal” adalah
pemeriksaan  kuantitas  (volume  dan/atau  berat)  hasil  hutan
kayu yang berada di kapal (di atas atau di dalam palka kapal),
kecuali  di  atas  atau  di  dalam/palka  kapal  layar  motor  yang
terbuat dari kayu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang  dimaksud  dengan  “pihak  terafiliasi”  adalah  para  pihak
yang  memiliki  suatu  hubungan/pertalian  dengan  pihak
tersangka karena:
a. hubungan  kekerabatan/kekeluargaan  karena  perkawinan
dan keturunan sampai derajat kedua, baik secara horizontal
maupun vertikal;
b.  hubungan usaha dan/atau hubungan kerja atau pihak yang
mempengaruhi  pengelolaan  perusahaan  milik  tersangka,
seperti  pegawai,  direktur,  komisaris  dari  perusahaan
tersangka  atau  perusahaan  tempat  tersangka  menjadi
pemegang  saham,  komanditer,  atau  pihak-pihak  lain  yang
memiliki  hubungan  usaha  di  bidang  jual  beli  kayu,  hasil
kebun, atau hasil tambang dengan tersangka; dan/atau
c.  hubungan  sebagai  pihak  yang  memberikan  jasanya  kepada
tersangka,  seperti  konsultan  perusahaan,  konsultan  hukum
atau akuntan public.
Ayat (5)
Memiliki  keahlian  dan  bersertifikat  seperti  juru  ukur  kayu
(scaler),  penentu  kualitas  kayu  (grader),  juru  taksir,  dan
akuntan.
Pasal 50 . . .
- 17 -Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang  dimaksud  dengan  “unsur  lain  yang  terkait”  adalah
antara  lain  kementerian  terkait,  unsur  ahli,  akademisi
dan masyarakat.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b . . .
- 18 -Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang  dimaksud  dengan  “terintegrasi”  adalah  sistem
informasi pemberantasan perusakan hutan dapat diakses
secara  bersama  oleh  lembaga-lembaga  penegak  hukum
terkait dengan basis data yang terhubung satu sama lain.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang  dimaksud  dengan  “antarlembaga  penegak  hukum”
antara  lain  adalah  Kepolisian  Republik  Indonesia,
Kejaksaan  Republik  Indonesia,  Komisi  Pemberantasan
Korupsi, PPNS, dan Polisi Kehutanan.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 57
Yang  dimaksud  dengan  “Dewan  Perwakilan  Rakyat  Republik
Indonesia”  adalah  alat  kelengkapan  dewan  yang  membidangi
kehutanan.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61 . . .
- 19 -Pasal 61
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Contoh  kegiatan  lain  di  antaranya  adalah  membantu
menangkap pelaku perusakan hutan.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang  dimaksud  dengan  ”hubungan  baik  berdasarkan  prinsip
timbal  balik  (resiprositas)”  adalah  hubungan  bersahabat
dengan  berpedoman  pada  kepentingan  nasional  dan
berdasarkan  pada  prinsip  persamaan  kedudukan,  saling
menguntungkan,  dan  memperhatikan,  baik  hukum  nasional
maupun hukum internasional yang berlaku.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67 . . .
- 20 -Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang  dimaksud  dengan  ”aset  hasil  tindak  pidana  perusakan
hutan”  adalah  setiap  harta  kekayaan,  baik  yang  diperoleh
secara  langsung  maupun  tidak  langsung  dari  kegiatan
perusakan  hutan,  termasuk  kekayaan  yang  kemudian
dikonversi,  diubah,  atau  digabungkan  dengan  kekayaan  yang
dihasilkan  atau  diperoleh  langsung  dari  kegiatan  perusakan
hutan,  pendapatan,  modal,  atau  keuntungan  ekonomi  lainnya
yang  diperoleh  dari  kekayaan  tersebut  dari  waktu  ke  waktu
sejak terjadinya tindak pidana perusakan hutan.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74 . . .
- 21 -Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Yang dimaksud dengan “pelindungan khusus” antara lain meliputi
pelindungan keamanan dan pelindungan hukum.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Memberikan  keterangan  tidak  dengan  itikad  baik  dalam
ketentuan  ini  antara  lain  berupa  pemberian  keterangan  palsu,
sumpah palsu, dan permufakatan jahat.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang  dimaksud  dengan  “bertempat  tinggal  di  dalam  dan/atau
di  sekitar  kawasan  hutan”  adalah  orang  perseorangan  yang
bermukim  di  dalam  dan/atau  di  sekitar  kawasan  hutan  yang
memiliki  mata  pencaharian  yang  bergantung  pada  kawasan
hutan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 83 . . .
- 22 -Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98 . . .
- 23 -Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pertanggung  jawaban  pidana  bagi  pengurus  korporasi  dibatasi
sepanjang  pengurus  mempunyai  kedudukan  fungsional  dalam
struktur organisasi korporasi yang bersangkutan.
Ayat (4) . . .
- 24 -Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5432

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...