Kamis, 31 Desember 2015

DARK JUSTICE



qwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnm
 

DARK JUSTICE DAN PENERAPAN UNDER COVER INVESTIGATION DALAM MENGUNGKAP FAKTA (SEBUAH PEMIKIRAN)

DISUSUN OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH

Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung RI





DARK JUSTICE DAN PENERAPAN UNDER COVER INVESTIGATION DALAM MENGUNGKAP FAKTA (SEBUAH PEMIKIRAN)
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH[1]

A.  PENDAHULUAN
Keberagaman tata kehidupan masyarakat tentunya membawa dampak bahwa seseorang tidak akan bisa hidup tanpa adanya orang lain, sehingga akhirnya menimbulkan interaksi sosial yang akan membawa dampak perubahan bagi masyarakat itu sendiri. Interaksi diantara anggota masyarakat, akan melahirkan apa yang disebut dengan NORMA, yang bertujuan untuk mengatur kehidupan masyarakat.
Norma, sebagaimana Arief Sidarta,[2] menyatakan bahwa “Perkataan NORM berasal dari bahasa Latin NORMA, menunjukkan suatu ketertiban, preskripsi atau perintah. Tetapi hal memerintah adalah bukan satu-satunya fungsi dari sebuah norma karena memberikan kewenangan, mengizinkan dan pederogasian adalah juga fungsi dari norma”. Arief Sidarta selanjutnya mengatakan bahwa “Norma dapat mempunyai sifat individual atau sifat umum. Ia mempunyai suatu sifat individual bila apa yang diwajibkan adalah sepenggal tingkahlaku tertentu yang didefinisikan (dibatasi) secara individual dari orang tertentu yang ditetapkan oleh seseorang, missal keputusan hakim, dan Norma mempunyai sifat umum, jika  apa yang dirumuskan batas-batasnya secara individual melainkan seperangkat tingkah laku yang batas-batasnya dirumuskan secara umum, seperti perintah ayah kepada anaknya”.[3]
Ketika sebuah Norma dibentuk dan berfungsi sebagai sarana pengatur tata kehidupan masyarakat, semakin lama keberadaan Norma tersebut dirasakan kurang dapat memfasilitasi interaksi diantara anggota masyarakat, sehingga kemudian Norma-Norma yang hidup di dalam masyarakat dibuat sebagai sebuah peraturan tertulis yang tetap berfungsi sebagai pengatur tata kehidupan masyarakat dan memiliki sanksi terhadap siapapun dari anggota masyarakat tersebut yang melanggarnya. Dalam konteks yang lebih luas, yaitu dalam bentuk Negara, tentu sangat membutuhkan adanya aturan hukum tertulis sebagai bukti eksistensinya Negara di dalam mengatur tata kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Dengan dibentuknya suatu peraturan perundang-undangan, mengharuskan setiap anggota masyarakat untuk tunduk dan mematuhinya, tanpa pengecualian, baik dilihat dari pangkat maupun golongannya, setiap orang harus tunduk dan taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga dengan demikian akan berlaku adegium “equality before the law” atau persamaan di muka hukum dan hukum akan menjadi panutan dalam kehidupan bermasyarakat.
Pelanggaran hukum atas peraturan perundang-undangan tentunya akan mendapatkan sanksi dan untuk membuktikan pelanggaran tersebut, dibutuhkan proses PRO JUSTISIA (penegakan hukum) secara terpadu, dimulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan, putusan hakim dan eksekusi di Lembaga Pemasyarakatan. Semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan masing-masing memiliki tugas dan fungsi yang sama pentingnya. Sebab aparatur penegak hukum adalah sebagai representasi dari hadirnya negara di dalam penegakan hukum. Mahfud MD mengatakan bahwa, “Negara yang tidak dapat menegakkan hukum akan hancur di mana pun dan di masa apapun.”[4]
Dalam praktek, terkadang sangat sulit untuk membuktikan suatu pelanggaran berupa tindak pidana sehingga aparat penegaak hukum harus memutar otak untuk membuktikan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Hal ini penting sebab setiap pelanggaran hukum, utamanya dalam bentuk tindak pidana, akan menimbulkan ketidakadilan di dalam masyarakat. Ketidakadilan adalah ketika kita dipersalahkan akibat kesalahan orang lain sedangkan kita tidak memiliki kaitan sedikit pun di dalamnya.[5] Ketidakadilan juga dapat diartikan sebagai "Ketidakadilan adalah milik manusia.Kita hanya merasa tak adil saat harapan tak terpenuhi."[6] Ketidakadilan menyebabkan tersisihnya sebagian rasa keadilan dalam masyarakat, oleh karenanya diperlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk mengembalikan rasa keadilan seutuhnya kepada masyarakat.
B. DARK JUSTICE, SEBUAH FENOMENA BARU
H.M. Ali Mansyur dalam bukunya Aneka Persoalan Hukum (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum), menyatakan bahwa “Dalam suatu Negara Hukum, supremasi HUKUM seharusnya memperoleh tempat yang semestinya, fungsi Hukum dalam arti materiil yang berusaha memberikan perlindungan kepada masyarakat dengan memperlaakukan tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan memberikan kedudukan Hukum bagi setiap orang.”[7]
Hukum adalah suatu sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. Hukum akan menjadi berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan apabila masyarakat menggunakan hukum menuruti perilakunya. Hukum itu sendiri terbagi menjadi beberapa bidang, yaitu hukum pidana atau hukum publik, hukum perdata atau hukum pribadi, dan hukum acara, hukum tata Negara, hukum administrasi Negara atau hukum tata usaha Negara, hukum internasional, hukum adat, hukum Islam, hukum agraria, hukum bisnis, dan hukum lingkungan. Dari hukum-hukum tersebut masing-masing mempunyai tujuan yang sama, yaitu bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula berdasar pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat.[8]
Proses Penegakan Hukum pada hakekatnya adalah suatu proses untuk menjalankan suatu produk hukum berupa perundang-undangan, baik itu Undang-Undang maupun peraturan perudangan di bawahnya. Suatu Undang-Undang tidak akan dapat dijalankan dengan baik apabila Aparat Penegak Hukumnya adalah aparat yang tidak memahami esensi dari Undang-Undang yang dijalankannya. Sehingga hal tersebut, membuat perlunya Aparat Penegak Hukum yang benar-benar mumpuni dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan” hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistik.[9]
Penegakan Hukum itu harus konsisten supaya masyarakat memahami, mana HUKUM dan mana yang BUKAN HUKUM. Sebagai bagian dari proses sosial, penegakan kepastian hukum itu bertumpu pada 2 (dua) komponen utama, yaitu :[10]
1.     Hukum itu harus bisa memberikan kepastian dalam orientasi kepada masyarakat. Dalam hal ini dikenal asas kepastian orientasi yaitu Certitudo atau Orientierungssicherheit, yaitu orang memahami, perilaku yang bagaimana yang diharapkan oleh orang lain daripadanya dan respon yang bagaimana yang dapat diharapkannya dari orang lain baagi perilakunya itu ;
2.     Kepastian dalam penerapan hukum oleh penegak hukum, Jangan sampai terjadi bahwa sekali ini suatu ketentuan hukum dilaksanakan, tetapi lain kali ketentuan yang sama tidak dilaksanakan. Terdapat suatu asas yaitu Securitas atau Realisierungssherheit adalah asas kepastian  realitas hukum yang memungkinkan orang untuk mengandalkan pada perhitungan, bahwa norma-norma yang berlaku memang dihormati dan dilaksanakan, keputusan-keputusan pengadilan sungguh-sungguh dilaksanakan dan perjanjian-perjanjian ditaati.
Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman telah menyebutkan di dalam Pasal 1 angka 1 yaitu “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia” dan Pasal 1 angka 2 yang menyatakan Mahkamah Agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Tugas yustisial yaitu tugas mengadili menjadi salah satu bagian dari proses penegakan hukum secara terpadu adalah menjadi tugas dari Hakim, baik di tingkat Pengadilan tingkat pertama, Pengadilan tingkat banding dan di Mahkamah Agung, akan tetapi seringkali tugas yustisial ini tidak dipahami dengan baik oleh Hakim, sehingga seroang Hakim harus memahami tugas-tugasnya, yaitu :[11]
1)    Mengkonstatir yaitu yang dituangkan dalam Berita Acara Persidangan dan dalam duduknya perkara pada putusan hakim. Mengkonstatir ini dilakukan dengan terlebih dahulu melihat pokok perkara dan kemudian mengakui atau membenarkan atas peristiwa yang diajukan, tetapi sebelumnya telah diadakan pembuktian terlebih dahulu ;
2)    Mengkualifisir yaitu yang dituangkan dalam pertimbangan hukum dalam surat putusan. Ini merupakan suatu penilaian terhadap peristiwa atas bukti-bukti, fakta-fakta peristiwa atau fakta hukum dan menemukan hukumnya ;
3)    Mengkonstituir yaitu yang dituangkan dalam surat putusan. Tahap tiga ini merupakan penetapan hukum atau merupakan pemberian konstitusi terhadap perkara.
Yang terpenting dari sikap wajib dimilki oleh seorang Hakim adalah Hakim sebagai benteng terakhir dari keadilan seharusnya bersikap sebagai sosok yang berdiri di tengah di antara para pihak pencari keadilan dan tidak bersikap memihak serta dapat menjatuhkan putusan yang berdasarkan fakta yang terbukti di persidangan. Hakim yang bersikap netral tentunya akan memberikan rasa rasa tenang bagi para pencari keadilan sebab para pencari keadilan dapatlah menyandarkan dirinya akan kebutuhan adanya keadilan pada diri seorang Hakim.[12]
Tidak berjalannya proses penegakan hukum, terutama di tingkat penyidikan, penuntutan, persidangan dan eksekusi putusan hakim dapat menjadi celah terjadinya pengadilan jalanan yang bertindak atas terjadinya suatu tindak pidana. Pengadilan jalanan inilah yang penulis lebih senang menyebutnya dengan istilah DARK JUSTICE, yang bisa diartikan sebagai pelaksanaan peradilan atas suatu tindak pidana dengan menyimpangi proses penegakan hukum  sebagaimana telah ditentukan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Pengadilan jalanan ini seringkali bersifat anarkis dan brutal akan tetapi dianggap sebagai caa yang tepat untuk menyelesaikan suatu pelanggaran hukum (tindak pidana) yang tidak tuntas diselesaikan oleh aparat penegak hukum. Salah satu contoh yang cukup fenomenal dari adanya DARK JUSTICE ini adalah kejadian dibakarnya begal sepeda motor di berbagai wilayah Indonesia.
Seperti berita di salah satu media online yang memberitakan begal yang dibakar warga di Pondok Aren, Tangerang Selatan ternyata sempat diinterogasi warga. Setelah itu, warga yang marah langsung melakukan tindakan anarkis dengan membakarnya hidup-hidup.[13] Sudah tidak terhitung berapa banyak kejadian serupa terjadi di Indonesia yang setidaknya menimbulkan suatu pertanyaan, apakah begitu lemahnya proses penegakan hukum di Indonesia ?
Setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di muka hukum, sehingga berhak mendapatkan perlakuan yang sama di muka hukum sebagaimana dimaksud di dalam  Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyebutkan “Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” konsekuensi dari persamaan di muka hukum adalah adanya perlakuan yang sama terhadap setiap orang atas jeminan perlindungan dan kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 20 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang menyebutkan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan  perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”  Maksud dari ayat diatas adalah setiap warga negara berhak mendapat pengakuan dan perlindungan dari negara, serta setiap warga negara berhak untuk mendapat perlakuan di hadapan hukum yang adil dan sama untuk semua warga negara tanpa ada perbedaan sedikitpun karena ketidakadilan perlakuan yang sama di hadapan hukum merupakan jaminan HAM yang paling sering dilanggar oleh negara.[14]
Praktek pengadilan jalanan (Dark Justice) semakin menjamur tidak lain dari gagalnya sistem hukum menjalankan tugasnya menegakkan hukum dan keadilan di Indonesia. Menyusutnya rasa percaya masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum, semakin menyuburkan tumbuh kembangnya praktek pengadilan jalanan. Masyarakat lebih percaya kepada keadilan jalanan di dalam mengeksekusi pelaku tindak pidana, yaitu dengan tidak menyerahkan pelaku tindak pidana kepada pihak berwenang (kepolisian) akan tetapi lebih memilih mengadilinya sendiri dengan cara yang cenderung bersifat penyiksaan fisik yang dapat berakibat hilangnya nyawa pelaku tindak pidana. Hal ini menyebabkan semakin tersingkirnya peran proses penegakan hukum, yang dimulai dari penyidikan, penuntutan, persidangan, pelaksanaan putusan pengadilan.
Dalam tataran praktek, dikenal istilah Main Hakim Sendiri atau eigenrichting  adalah istilah bagi tindakan untuk menghukum suatu pihak tanpa melewati proses yang sesuai hukumMain Hakim Sendiri merupakan jenis konflik kekerasan yang cukup dominan di Indonesia. Bentuknya bisa penganiayaan, perusakan harta benda, dan sebagainya.[15] Praktek main hakim sendiri tersebut merupakan salah satu manivestasi dari adanya perilaku dark justice atau pengadilan jalanan sebagai bentuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap proses penegakan hukum yang dianggap tidak memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana. Hakim, sebagai benteng terakhir keadilan, haruslah dapat memberikan jawaban terhadap fenomena terjadinya perilaku pengadilan jalanan (dark justice).

C. UNDER COVER INVESTIGATION, SALAH SATU TEKNIK PEMBUKTIAN
Dalam beberapa hal, Hakim bahkan sebenarnya bisa mencari pembuktian terhadap suatu kasus dengan melakukan under cover interview atau masuk di dalam lingkungan pengadilan jalanan (dark justice) dan memposisikan dirinya sebagai korban maupun sebagai pelaku, untuk mencari kebenaran atas pembuktian dari suatu perkara.
Under cover interview yang merupakan bagian dari under cover investigation, barangkali merupakan hal baru dalam proses persidangan di Indonesia dan hal ini juga sangat riskan apabila dilakukan, mengingat diperlukan keberanian dari seorang Hakim untuk melakukan penyamaran dalam melakukan interview., yang seringkali dapat diibaratkan bagaikan masuk ke dalam kandang macan, mengingat obyek yang hendak kita interview adalah kalangan dari para pihak yang berperkara di pengadilan yang sangat mungkin akan mengenali wajah dari Hakim yang menyidangkan perkara tersebut.
Investigasi dapat diartikan sebagai upaya penelitian, penyelidikan, pengusutan, pencarian, pemeriksaan dan pengumpulan data, informasi, dan temuan lainnya untuk mengetahui/membuktikan kebenaran atau bahkan kesalahan sebuah fakta yang kemudian menyajikan kesimpulan atas rangkaian temuan dan susunan kejadian.[16]
Dalam ilmu investigasi dikenal apa yang dimaksud dengan under cover investigation, yaitu suatu metode invertigasi yang dilakukan dengan melakukan penyamaran sehingga pihak yang dinterogasi tidak mengenali orang yang melakukan investigasi bahkan tidak menyadari bahwa dirinya sedang diinvestigasi. Ilmu tentang under cover investigation ini hendaknya dikuasai pula oleh para Hakim di Indonesia, mengingat bahwa dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan, Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Khusus frasa MENGGALI, kiranya dapat diterapkan dengan menerapkan under cover investigation, untuk dapat mengetahui nilai-nilai keadilan dalam sebuah masyarakat, apa yang diinginkan oleh masyarakat terhadap terjadiny duatu tindak pidana dan bagaimana masyarakat dapat berperan serta dalam pencegahan tindak pidana.
Dalam melakukan under cover interview, diperlukan keberanian ekstra sebab akan berhubungan dengan pihak-pihak yang seringkali tidak menyenangi dirinya diinterview atau pihak-pihak yang selalu ingin menghindar dari keterlibatan dalam setiap proses penegakan hukum atau bahkan akan bertemu pihak-pihak yang pernah dikecewakan oleh kinerja badan peradilan. Diperlukan keahlian khusus dalam melakukan penyamaran (under cover) yaitu dapat melindungi identitas dirinya sebagai seorang Hakim. Dalam kehidupan sehari-hari, sebenarnya Hakim dapat melakukan kegiatan MENGGALI nilai-nilai keadilan dalam masyarakat sekaligus melakukan under cover investigation yang dilakukan dalam rangka memahami dan menghayati nilai-nilai yang hidup dalam sebuah masyarakat. Banyak hal yang dapat dilakukan seorang Hakim dalam melakukan under cover investigation, misalnya seorang Hakim sering mengikuti kegiatan keagamaan seperti pengajian di lingkungan rumah dinas atau mesjid terdekat, mengikuti kegiatan kerja bakti, arisan ataupun kegiatan-kegiatan kemasyarakatan lainnya. Selama kegiatan tersebut, seorang Hakim dapat menyerap dan menggali nilai-nilai keadilan dalam masyarakat sekitarnya. Akan tetapi under cover investigation dapat dilakukan secara ekstem yaitu ketika suatu perkara disidangkan, Hakim yang menyidangkannya selama persidangan melakukan investigasi secara diam-diam dengan mendatangi masyarakat yang mengetahui atau mengerti mengenai perkara yang disidangkan, hal ini cukup beresiko akan tetapi seringkali akan didapatkan fakta yang tidak tercantum di dalam berkas maupun pembuktian di persidangan. Meskipun fakta yang didapatkan tidak secara langsung dapat digunakan sebagai pembuktian perkara yang disidangkan akan tetapi dapat dijadikan sebagai suatu pembanding atas pembuktian di persidangan.
Meskipun investigasi bukan merupakan tugas pokok dari seorang Hakim, akan tetapi tidak ada salahnya seorang Hakim  juga memahami dasar-dasar investigasi dan Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai induk dari seluruh Hakim di Indonesia, dapat menjembatani dalam pemberian materi investigasi di setiap pelatihan bagi Hakim-Hakim Indonesia. Karena pada dasarnya di dalam persidangan, seorang Hakim, baik langsung maupun tidak langsung, akan menerapkan sistem investigasi di dalam melakukan pembuktian atas suatu perkara. Pemahaman akan dasar-dasar investigasi tersebut tentunya akan mempekuat intuisi seorang Hakim dalam menyidangkan suatu perkara.

D. DARK JUSTICE DAN UNDER COVER INVESTIGATION, SALING MELENGKAPI
Perilaku pengadilan jalanan (dark justice) sejatinya dapat berjalan seiring dengan investigasi terselubung (under cover investigation), sebab ketika seorang Hakim terjun langsung di lapangan dan menemui praktek pengadilan jalanan, secara tidak langsung Hakim tersebut dapat melakukan investigasi secara terselubung, yaitu melihat, mempelajari dan memahami nilai-nilai keadilan yang hidup dalam suatu masyarakat. Seringkali pengungkapan sebuah fakta hanya bisa dilakukan dengan cara terselubung, dengan melibatkan diri kita dalam lingkaran orang-orang yang mengetahui ataupun mengalami suatu peristiwa yang berkaitan dengan berkaitan dengan perkara yang sedang ditangani. Pengungkapan fakta secara terselubung seringkali menghasilkan fakta yang sebenarnya mengingat kecenderungan setiap orang akan berbicara lebih terbuka ketika tidak dalam suatu tekanan dibandingkan ketika harus berbicara di muka persidangan. Dari pengetahuan tersebut, kiranya dapat diterapkan oleh Hakim yang bersangkutan ketika menyidangkan suatu perkara dan daripadanya dapat diharapkan adanya putusan yang setidaknya mendekati nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Meskipun praktek pengadilan jalanan (dark justice) yang seringkali terjadi dalam ranah hukum pidana, sangat dilarang dalam sistem hukum Indonesia, akan tetapi praktek tersebut tetap terjadi dan sangat sulit  untuk menghilangkannya, selama sistem peradilan Indonesia belum memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Disinilah letak peranan Hakim di dalam menggali dan mengikuti dan memahami nilai-nilai keadilan dalam masyarakat, salah satu caranya adalah dengan menerapkan under cover investigation. Hakim seharusnya juga menempatkan dirinya sebagai investigator, sehingga dalam praktek persidangan Hakim bisa mendapatkan fakta persidangan selain yang sudah tercantum di dalam berkas perkara maupun dalam pembuktian atas perkara yang disidangkan. Diharapkan dengan memposisikan seorang Hakim sebagai invstigator, putusan yang dihasilkan lebih mendekati rasa keadilan yang ada dalam masyarakat.
E.     KESIMPULAN
Dari uraian-uraian tersebut di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.      Tekhnik under cover investigation perlu diperkenalkan sebagai salah satu cara menemukan fakta atas perkara yang disidangkan ;
2.      Meskipun Hakim bukan seorang penyidik, akan tetapi kemampuan investigasi harus dimiliki oleh para Hakim ;
3.      Mahkamah Agung RI kiranya dapat memberikan pelatihan mengenai investigasi kepada Hakim-Hakim Indonesia ;

F.     PENUTUP
Tulisan singkat ini barangkali tidak mencukupi di dalam untuk menjabarkan secara lengkap mengenai tekhnik under cover investigation dalam rangka menghadapi perilaku pengadilan jalanan yang makin marak di Indonesia. Meski demikian, seorang Hakim juga harus memahami mengenai tekhnik-tekhnik investigasi di dalam pelaksanaan tugasnya.

G.    DAFTAR BACAAN
1.  Arief Sidarta, Hukum Dan Logika, 1992, Penerbit Alumni, Bandung;
2.  H.M. Ali Mansyur, Aneka Persoalan Hukum (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum , Penerbit Unisula bekerjasama dengan Penerbit Teras, Tahun 2010 ;
3.  Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum (Problematik Ketertiban Yang Adil), Penerbit CV. Mandar Maju – Bandung.

H. LINK INTERNET
2.    http://brainly.co.id/tugas/3856226, diunduh tanggal 25 Nopember 2015 ;
4.    http://eprints.ums.ac.id/346/1/2._ZUDAN.pdf, diunduh tanggal 28 Desember 2015 ;
5.    http://santhoshakim.blogspot.co.id/2015/11/audio-alteram-paterm.html, diunduh tanggal 24 Nopember 2015 ;



[1] Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung RI, Mahasiswa Program Doktoral pada Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung, Semarang ;
[2] Arief Sidarta, Hukum Dan Logika, 1992, Penerbit Alumni, Bandung, h. 1-2.
[3] Ibid, hal 19-20.
[5] http://brainly.co.id/tugas/3856226, diunduh tanggal 25 Nopember 2015 ;

[7] M. Ali Mansyur, Aneka Persoalan Hukum  (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum , Penerbit Unisula bekerjasama dengan Penerbit Teras, Tahun 2010, hlm.148.
[8] http://eprints.ums.ac.id/346/1/2._ZUDAN.pdf.
[9] Ibid, http://eprints.ums.ac.id/346/1/2._ZUDAN.pdf.

[10] Budioono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum (Problematik Ketertiban Yang Adil), Penerbit CV. Mandar Maju – Bandung, hlm.172-173.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...