Putusan Perkara FS (Bagian 2 - Tamat)
Masyarakat memberikan apresiasi yang tinggi atas putusan majelis hakim atas perkara FS dan kiranya jalannya persidangan yang bagaikan cerita sinetron bisa memberikan pelajaran hukum kepada masyarakat, bahwa proses persidangan adalah lama karena membutuhkan pembuktian dari masing-masing pihak, meskipun Mahkamah Agung sudah memberikan batasan bahwa untuk penyelesaian perkara pidana dan perdata tidak lebih dari 5 (lima) bulan sejak sidang pertama. Dari persidangan perkara FS tersebut, semoga bisa memberikan pencerahan hukum bagi masyarakat tentang rumitnya penyelesaian suatu perkara, contoh gampangnya, ketika kita menuduh orang lain melakukan tindak pidana seperti pencurian, tentunya orang yang dituduh tersebut akan membantah dan memberikan berbagai macam argumen. Hal tersebut adalah lumrah terjadi dan menjadi seni dalam pembuktian suatu perkara.
Hakim atau Majelis Hakim (dalam hal ini adalah dalam perkara pidana) dapat diibaratkan sebagai KOKI atau tukang masak dari bahan-bahan masakan yang disediakan oleh Jaksa/Penuntut Umum serta bumbu-bumbu yang diberikan oleh Terdakwa atau Penasihat Hukum Terdakwa. Meskipun "hasil masakan" dari koki majelis hakim bisa bermacam-macam rasanya akan tetapi ada standar "cara masak" yang harus dipatuhi dan tidak boleh disimpangi. Cara masak tersebut biasa kita kenal dengan istilah Hukum Acara, baik pidana maupun perdata. Mengenai "hasil masakan" majelis hakim atau biasa kita kenal dnegan istilah putusan hakim terjadi tergantung dari bahan-bahan yang disediakan oleh Jaksa/Penuntut Umum dan bumbu-bumbu yang disiapkan oleh Terdakwa atau Penasihat Hukum Terdakwa. Bahan-bahan dari Jaksa/Penuntut Umum adalah terdiri dari Surat Dakwaan yang dibuat berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dari Penyidik yaitu Kepolisiaan atau Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) untuk tindak pidana korupsi, alat bukti yang dihadirkan di persidangan yang terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, keterangan Terdakwa dan petunjuk sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sedangkan bumbu-bumbu yang disipkan oleh Terdakwa atau Penasihat Hukum Terdakwa terdiri dari saksi yang meringankan (saksi a'de charge), keterangan ahli, bukti surat maupun bukti lain yang berkaitan dengan perkara tersebut.
Khusus dalam perkara FS, banyak masyarakat yang menanyakan mengenai ketentuan Pasal 100 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru, yang pada intinya bahwa FS bisa bebas setelah menjalani pidana penjara selama 10 tahun dan mendapatkan surat keterangan berkelakuan baik selama dipenjara. Menanggapi hal tersebut, kita harus ingat bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru tersebut, baru diterapkan pada tahun 2025 sehingga yang tindak pidana yang dilakukan sebelum tahun 2025 tetap menggunakan KUHP yang lama dan negara kita menganut azas RETROAKTIF yaitu suatu Undang-Undang yang berlaku tidak bisa diberlakukan surut ke belakang. Jelasnya, KUHP baru yang akan berlaku pada tahun 2025 tidak bisa diterapkan pada tindak pidana dan pidana yang dijatuhkan sebelum tahun 2025, meskiupun putusan pidana tersebut dijatuhkan pada tanggal 31 Desember 2024. Oleh karena itu FS sebagai Terpidana tetap dikenakan KUHP lama.
Berkaitan dengan pertanyaan, kapan FS akan dieksekusi? Kita harus paham dulu bahwa EKSEKUSI artinya adalah melaksanakan putusan pengadilan (atau putusan majelis hakim). Terhadap putusan hakim di tingkat pertama yaitu di pengadilan negeri, masih ada upaya hukum yaitu Banding di tingkat Pengadilan Tinggi, upaya hukum Kasasi (PK) di tingkat Mahkamah Agung dan Peninjauan Kembali di tingkat Mahkamah Agung. Khusus terhadap putusan hakim di tingkat pertama yang membebaskan Terdakwa dari pidana, maka hanya dapat dilakukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK).
Dari upaya hukum tersebut, apakah dimungkinkan putusan hakim tingkat pertama bisa berubah? Jawabannya adalah SANGAT MUNGKIN, oleh karena itu menjadi kewajiban kita bersama untuk menjaga supaya hasil dari upaya hukum tersebut tidak berubah. Untuk itu mari kita bersama-sama membantu Mahkamah Agung untuk tetap menjaga marwahnya sehingga tidak terjadi lagi permainan perkara yang pada akhirnya merugikan para pencari keadilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar