PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP
KORPORASI
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH.[1]
A. Pendahuluan
Pertumbuhan
ekonomi Indonesia yang semakin bergerak positif ditambah dengan melimpahnya
sumber daya alam (SDA) maupun sumber daya manusia (SDM) membuat Indonesia
semakin dilirik oleh investor dari banyak negara. Berkembangnya investasi juga
semakin membuka lapangan pekerjaan yang semakin banyak dan bentuk investasi
yang masuk di Indonesia juga semakin beragam, dari mulai investasi modal hingga
investasi dalam bentuk pendirian korporasi, baik yang berbadan hukum maupun
yang non badan hukum. Aktivitas korporasi sebagai badan hukum (artificial person) telah memasuki
berbagai aspek kehidupan masyarakat.[2]
Keberadaan
korporasi, baik langsung maupun tidak langsung akan memberikan dampak bagi
perekonomian negara maupun terhadap lingkungan di tempat korporasi maupun
bidang usahanya tersebut berdiri. Bukan hanya dampak postif, tetapi juga dampak
negatif dari beroperasinya sebuah korporasi, baik yang dilakukan korporasi itu
sendiri maupun bersama-sama dengan korporasi yang lain. Khusus terhadap
korporasi yang berbadan hukum, telah diatur dalam bentuk Undang-Undang yaitu
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dengan telah
diaturnya korporasi yang berbadan hukum di dalam Undang-Undang, maka korporasi
yang berbadan hukum tersebut akan sepenuhnya tunduk pada peraturan
perundang-undangan tersebut. Akan tetapi terhadap korporasi yang non badan
hukum, pengaturannya masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan,
seperti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 yang merupakan perubahan atas
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, sedangkan korporasi lain
yang non badan hukum selain Yayasan, seperti Firma ataupun bentuk lainnya,
sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.
Saat
ini, korporasi didirikan dengan tujuan maupun cara-cara mencapai tujuan yang
berbeda-beda, tidak hanya tujuan maupun cara-cara yang diperbolehkan oleh
Undang-Undang akan tetapi juga tujuan maupun cara-cara yang dilarang oleh
Undang-Undang. Sering kita jumpai saat ini, korporasi terlibat dalam berbagai
tindak pidana atau sebagai sarana untuk melakukan tindak pidana.
Bentuk
dari tindak pidana yang makin marak dilakukan oleh korporasi di Indonesia
adalah Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laudering) yang langsung maupun
tidak langsung merupakan turunan dari Tindak Pidana Korupsi, sebagamana lazim
terjadi di Indonesia. Selain itu marak pula Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Human Trafficking), Tindak Pidana Narkotika dan masih banyak lagi tindak
pidana yang saat ini bagaikan suatu kewajaran yang dapat dilakukan oleh setiap
orang. Meskipun telah banyak peraturan perundangan yang mengatur pemberantasan
terhadap berbagai macam tindak pidana tersebut, akan tetapi di dalam
prakteknya, semua yang terungkap bagaikan puncak gunung es, yang masih
menyimpan lebih banyak yang belum terungkap. Khusus terhadap korporasi, sampai
saat ini masih sangat sedikit korporasi yang dijadikan tersangka atau terdakwa
dalam tindak pidana, meskipun telah terlihat jelas kerugian yang ditimbulkan
dari perbuatan yang dilakukan oleh korporasi.
Dengan
semakin perkembangnya pengetahuan masyarakat akan hak-haknya yang dilanggar
sebagai akibat perbuatan korporasi, tentunya membuat semakin tinggi tingkat
kesadaran hukum masyrakat. Hal ini tentunya menjadi peringatan juga bagi
korporasi untuk lebih berhati-hati dalam bertindak sehingga tidak menimbulkan
kerugian.
Adanya
peningkatan kesadaran masyarakat untuk membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap
berbagai tindak pidana tersebut, harus mendapatkan apresiasi dalam rangka
menegakan supremasi hukum, sebagaimana diungkapkan oleh Ali Mansyur, dalam
bukunya ANEKA PERSOALAN HUKUM (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan
Hukum), menyatakan bahwa “Dalam suatu Negara Hukum, supremasi HUKUM seharusnya memperoleh tempat yang semestinya,
fungsi Hukum dalam arti materiil yang
berusaha memberikan perlindungan kepada masyarakat dengan memperlaakukan
tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan dan memberikan kedudukan Hukum bagi setiap orang.”[3]
Bahwa
selama ini masyarakat hanya melihat Hukum hanya dari peraturan-peraturan yang
tertulis saja, semisal Undang-Undang dan sejenisnya, akan tetapi masyarakat
sering lupa bahwa tatanan kehidupan manusia diatur dan dibatasi oleh
norma-norma, yaitu norma sosial, norma Hukum, norma kesusialaan, norma agama,
sehingga Hukum hanyalah menjadi salah
satu bagian dari norma-norma tersebut.
Pemahaman
masyarakat yang hanya memahami norma hukum, tidak sepenuhnya dapat disalahkan,
mengingat selama ini sistem pendidikan di Indonesia, hanya menekankan pada
keberadaan hukum yang tertulis saja yang tidak boleh dilanggar, sedangkan
sesungguhnya masih terlalu banyak norma kehidupan dalam masyarakat yang apabila
dilanggar dapat menjadikan ketidakharmonisan di dalam kehidupan bermasyarakat.
Lalu apakah sebenarnya yang dimaksud dengan “NORMA” ?
Norma,
sebagaimana ARIEF SIDARTA[4], menyatakan bahwa
“Perkataan NORM berasal dari bahasa Latin NORMA, menunjukkan suatu ketertiban,
preskripsi atau perintah. Tetapi hal memerintah adalah bukan satu-satunya
fungsi dari sebuah norma karena memberikan kewenangan, mengizinkan dan
pederogasian adalah juga fungsi dari norma”. Arief Sidarta selanjutnya mengatakan
bahwa “Norma dapat mempunyai sifat individual atau sifat umum. Ia mempunyai
suatu sifat individual bila apa yang diwajibkan adalah sepenggal tingkahlaku
tertentu yang didefinisikan (dibatasi) secara individual dari orang tertentu
yang ditetapkan oleh seseorang, missal keputusan hakim, dan Norma mempunyai
sifat umum, jika apa yang dirumuskan
batas-batasnya secara individual melainkan seperangkat tingkah laku yang
batas-batasnya dirumuskan secara umum, seperti perintah ayah kepada anaknya”.[5]
Secara
sepintas, dalam kehidupan bermasyarakat, seseorang akan dapat mengetahui bahwa
dirinya memiliki persamaan-persamaan dengan orang lain tetapi disisi lain juga
memiliki perbedaan-perbedaan, sehingga pada akhirnya menimbulkan kesadaran
dalam diri manusia bahwa kehidupan di dalam masyarakat sebetulnya berpedoman
pada suatu aturan yang oleh bagian terbesar masyarakat tersebut dipatuhi dan
ditaati oleh kaarena merupakan pegangaan baginya.[6]
Hukum
senantiasa harus dikaitkan dengan masyarakat dimanapun hukum itu bekerja.
Bidang pengetahuan hukum pada umumnya memusatkan perhatian pada atura-aturan
yang dianggap oleh Pemerintah dan masyarakat sebagai aturan-aturan yang sah
berlaku dan oleh sebab itu harus ditaati, dan pengetahuan sosiologi sebagai
keseluruhan yang memusatkan perhatian pada tindakan-tindakan yang dalam
kenyataan diwujudkan oleh anggota dalam hubungan mereka satu sama lain, maka
untuk pengembangan hukum dan pengetahuan hukum dalam kehidupan masyarakat agar
tidak terpisah satu sama lain harus memperhatikan hukum dan kenyataan-kenyataan
dalam masyarakat.[7]
Saat
ini sangat dibutuhkan keberanian dari setiap anggota masyarakat untuk
melaporkan segala bentuk tindak pidana yang terjadi utamanya tindak pidana yang
mengancam rasa kemanusiaan dan mengusik rasa keadilan dalam masyarakat.
Keberanian melaporkan setiap tindak pidana yang terjadi tersebut, banyak
dikenal dalam masyarakat dengan istilah whistleblower.
B. Pengertian Korporasi
Hukum
selalu berkembang mengikuti perkembangan masyarakat, sehingga harus disadari
bahwa hukum yang bersifat statis atau kaku tentu tidak akan memberikan keadilan
dan kemanfaatan bagi masyarakat.
Korporasi
sebagai salah satu sendi baru perekonomian negara, menjadi salah satu syarat
adanya pertumbuhan perekonomian bagi suatu negara, sebab dengan adanya
korporasi, maka akan membuka banyak lapangan pekerjaan yang sangat dibutuhkan
oleh masyarakat. Dan hasil usaha dari sebuah korporasi akan menjadi hak dari
Negara dalam bentuk pajak.
Dijelaskan
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahwa korporasi merupakan : .[8]
1. Badan
usaha yang sah; badan hukum ;
2. Perusahaan
atau badan usaha yang sangat besar atau beberapa perusahaan yang dikelola dan
dijalankan sebagai satu perusahaan besar.
Sebagai
bentuk badan usaha dalam lingkup hukum keperdataan, mempunyai pengertian
menurut perdata, korporasi adalah sesuatu yang menurut
kebutuhan masyarakat oleh hukum diakui
sebagai pendukung hak dan kewajiban, maksudnya adalah apa yang disebut
dengan badan hukum itu sebenarnya tiada lain sekedar suatu ciptaan hukum,
yaitu dengan menunjuk kepada adanya suatu badan dimana terhadap badan ini
diberi status sebagai subjek hukum, sedangkan menurut pidana korporasi itu
adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan atau kekayaan baik merupakan badan
hukum maupun bukan badan hukum.[9]
Korporasi sebagai badan hukum keperdataan dapat diperinci dalam
beberapa golongan, dilihat dari cara mendirikan dan peraturan
perundang-undangan sendiri, yaitu :[10]
1. Korporasi
Egoistis, yaitu korporasi yang menyelenggarakan kepentingan para anggotanya, terutama
kepentingan harta kekayaan. Contoh korporasi ini : PT (Perseroan Terbatas),
Serikat Kerja ;
2.
Korporasi Altruistis, yaitu korporasi
yang tidak menyelenggarakan kepentingan para anggotanya, seperti perhimpunan
yang memerhatikan nasib orang-orang tunanetra, tunarungu dan sebagainya.
Beberapa ahli hukum memberikan pengertian ataupun batasan-batasan mengenai
korporasi, yaitu diantaranya adalah sebagaimana pendapat-pendapat sebagai
berikut :[11]
1.
Yan Pramadya Puspa, Pengertian Korporasi adalah
suatu perkumpulan atau organisasi yang oleh hukum diperlakukan seperti seorang
manusia, sebagai pemilik hak dan kewajiban memiliki hak menggugat ataupun
digugat di muka pengadilan ;
2.
Wirjono Prodjodikoro, Pengertian Korporasi adalah
suatu perkumpulan orang. Dalam korporasi ini biasanya yang mempunyai
kepentingan yaitu orang-orang yang merupakan anggota dari korporasi itu, setiap
anggota mempunyai kekuasaan dalam peraturan korporasi berupa rapat anggota
sebagai alat kekuasaan yang tertinggi dalam peraturan korporasi ;
3.
A. Abdurachman, Pengertian Korporasi adalah
suatu kesatuan menurut hukum atau suatu badan susila yang diciptakan menurut UU
suatu negara, untuk menjalankan suatu usaha atau kegiatan atau aktivitas
lainnya yang sah. Korporasi ini dapat dibentuk untuk selama-lamanya atau untuk
sesuatu jangka waktu yang terbatas, memiliki nama dan identitas yang dengan
nama dan identitas itu dapat dituntut di muka pengadilan, serta berhak untuk
mengadakan suatu persetujuan menurut kontrak dan melaksanakan semua fungsi
lainnya yang seseorang dapat melaksanakannya menurut UU suatu negara. Pada
umumnya suatu korporasi dapat merupakan suatu organisasi pemerintah, setengah
pemerintah atau tikelir ;
4.
Utrecht, Korporasi adalah badan hukum yang mempunyai hak dan
kewajiban sendiri, yang terpisah dari hak kewajiban anggota masing-masing ;
5.
A. Z Abidin, Koporasi ialah sekumpulan manusia yang diberikan hak
sebagai unit hukum, di mana diberikan pribadi hukum untuk tujuan tertentu ;
6.
Subekti dan Tjitrosudibio, Korporasi ialah suatu perseroan yang merupakan badan hukum.
Sebelum membahas lebih lanjut mengenau korporasi, maka terlebih dahulu
perlu kita ketahui mengenai pengertian usaha, pengetian perusahaan dan
pengetian badan usaha, yaitu sebagai berikut :[12]
1. Pengertian
Usaha
·
Setiap orang memerlukan barang atau jasa untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya ;
·
Dalam usaha memenuhi kebutuhan hidup tersebut, orang
melakukan berbagai kegiatan atau pekerjaan seperti menjadi karyawan, sopir,
petani, pedagang dan lain-lain ;
·
Dalam ilmu ekonomi kegiatan-kegiatan tersebut termasuk
ke dalam kegiatan usaha. Pengertian usaha adalah kegiatan yang dilakukan
manusia untuk mendapatkan penghasilan, baik berupa uang, barang mapun jasa yang
digunakan untuk pemenuhan kebutuhan hidup guna mencapai kemakmuran ;
2. Pengertian
Perusahaan
·
Dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia
menggunakan barang dan jasa yang merupakan hasil kegiatan produksi ;
·
Kegiatan produksi yang dilakukan secara terorganisir
dengan menggunakan faktor-faktor produksi umumnya dilakukan oleh perusahaan ;
·
Dengan demikian perusahaan diartikan sebagai bagian
teknis dari kesatuan organisasi modal dan tenaga kerja yang bertujuan
menghasilkan barang-barang atau jasa ;
3. Pengertian
Badan Usaha
·
Pada umumnya orang cenderung memahami bahwa perusahaan
dengan badan usaha adalah sama ;
·
Namun jika kita menganalisis lebih mendalam, ternyata
ada perbedaan pengertian antara perusahaan dan badan usaha ;
·
Badan Usaha adalah kesatuan yuridis dan ekonomi yang
mengelola perusahaan untuk menghasilkan keuntungan ;
·
Perusahaan adalah bagian tekhnis dari kesatuan ekonomi
yang menghasilkan barang dan jasa ;
·
Jadi pengertian badan usaha adalah kesatuan yuridis
dan ekonomis dari faktor-faktor produksi yang bertujuan mencari keuntungan
dengan memberi layanan kepada konsumen yang memerlukan. Disebut kesatuan
yuridis karena badan usaha umumnya berbadan hukum yang melakukan kegiatan
ekonomi untuk memperoleh keuntungan.
Beberapa jenis badan usaha antara lain dibagi berdasarkan kepemilikan modal, lapangan usaha, jumlah pekerja, dan bentuk hukum.
Beberapa jenis badan usaha antara lain dibagi berdasarkan kepemilikan modal, lapangan usaha, jumlah pekerja, dan bentuk hukum.
Mengenai macam-macam korporasi terbagi atas 3 (tiga) macam korporasi, yaitu
:
1. Korporasi
Publik, yaitu Korporasi yang didirikan oleh pemerintah yang
mempunyai tujuan untuk memenuhi tugas-tugas administrasi di bidang urusan
publik. Contoh, pemerintah kabupaten atau kota.
2. Korporasi
Privat, yaitu Korporasi yang didirikan untuk kepentingan
privat/pribadi, yang dapat bergerak di bidang keuangan, industri, dan
perdagangan. Korporasi privat ini sahamnya dapat dijual kepada masyarakat, maka
ditambah dengan istilah go public.
3. Korporasi
Publik Quasi, yaitu Korporasi yang melayani kepentingan umum (Public
Service). Contoh, PT Kereta Api Indonesia, Perusahaan Listrik Negara,
Pertamina, Perusahaan Air Minum.
Berkaitan
dengan jenis korporasi, secara umum terdapat 3 (tiga) jenis perusahaan yang
beroperasi untuk menghasilkan laba, yaitu perusahaan manufaktur, perusahaan
dagang, dan perusahaan jasa. Setiap jenis perusahaan memiliki karakteristik
tersendiri, yaitu dapat disebutkan
sebagai berikut :[13]
1. Perusahaan
manufaktur, yaitu Perusahaan ini mengubah input dasar
menjadi produk jadi yang akan dijual kepada masing-masing pelanggan. Contoh
perusahaan yang tergolong dalam perusahaan manufaktur, seperti PT Gudang Garam
dengan produk utamanya adalah rokok, PT Unilever yang menghasilkan barang-barang
konsumsi, seperti pasata gigi, sabun mandi, Perusahaan mebel, Perusahaan
konveksi, dan sejenisnya ;
2. Perusahaan
dagang,
yaitu Perusahaan ini juga menjual produk ke
pelanggan, tetapi perusahaan ini tidak memproduksi sendiri barang yang akan
dijual. Perusahaan membeli dari perusahaan lain barang yang akan dijualnya.
Contoh ; perusahaan dagang adalah Alfamart, Alfa, indomart, dan sejenisnya ;
3. Perusahaan
jasa,
yaitu Perusahaan ini menghasilkan jasa, bukan
barang atau produk yang kasat mata. Contoh ; perusahaan ini adalah bidang
perhotelan, Biro Perjalanan Shafira, jasa pengiriman, jasa-jasa lain yang
sejenis.
Sedangkan mengenai
bentuk korporasi, secara singkat dapat dijabarkan sebagai berikut :[14]
1.
Badan Usaha
/ Perusahaan Perseorangan atau Individu ;
·
Perusahaan perseorangan adalah badan usaha
kepemilikannya dimiliki oleh satu orang. Individu dapat membuat badan usaha
perseorangan tanpa izin dan tata cara tententu. Semua orang bebas membuat
bisnis personal tanpa adanya batasan untuk mendirikannya. Pada umumnya
perusahaan perseorangan bermodal kecil, terbatasnya jenis serta jumlah
produksi, memiliki tenaga kerja / buruh yang sedikit dan penggunaan alat
produksi teknologi sederhana. Contoh perusahaan perseorangan seperti toko
kelontong, tukang bakso keliling, pedagang asongan, dan lain sebagainya ;
·
Korporasi ini mempunyai ciri dan sifat perusahaan
perseorangan :
-
relatif mudah didirikan dan juga dibubarkan ;
-
tanggung jawab tidak terbatas dan bisa melibatkan
harta pribadi ;
-
tidak ada pajak, yang ada adalah pungutan dan
retribusi ;
-
seluruh keuntungan dinikmati sendiri ;
-
sulit mengatur roda perusahaan karena diatur sendiri ;
-
keuntungan yang kecil yang terkadang harus
mengorbankan penghasilan yang lebih besar ;
-
jangka waktu badan usaha tidak terbatas atau seumur
hidup ;
-
sewaktu-waktu dapat dipindah tangankan ;
2. Perusahaan / Badan Usaha Persekutuan / Partnership ;
· Perusahaan
persekutuan adalah badan usaha yang dimiliki oleh dua orang atau lebih yang
secara bersama-sama bekerja sama untuk mencapai tujuan bisnis ;
· Yang termasuk
dalam badan usaha persekutuan adalah firma dan persekutuan komanditer alias cv,
yaitu yang untuk mendirikan badan usaha persekutuan membutuhkan izin khusus
pada instansi pemerintah yang terkait.
· Firma, adalah suatu bentuk persekutuan bisnis yang terdiri
dari dua orang atau lebih dengan nama bersama yang tanggung jawabnya terbagi
rata tidak terbatas pada setiap pemiliknya yang mempunyai ciri dan sifat
sebagai berikut :
Ø Apabila
terdapat hutang tak terbayar, maka setiap pemilik wajib melunasi dengan harta
pribadi ;
Ø Setiap
anggota firma memiliki hak untuk menjadi pemimpin ;
Ø Seorang
anggota tidak berhak memasukkan anggota baru tanpa seizin anggota yang lainnya
;
Ø Keanggotaan
firma melekat dan berlaku seumur hidup ;
Ø Seorang
anggota mempunyai hak untuk membubarkan firma ;
Ø Pendiriannya
tidak memelukan akte pendirian ;
Ø Mudah
memperoleh kredit usaha ;
· Persekutuan Komanditer / CV / Commanditaire
Vennotschaap, adalah suatu bentuk badan usaha bisnis yang
didirikan dan dimiliki oleh dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan bersama
dengan tingkat keterlibatan yang berbeda-beda di antara anggotanya. Satu pihak
dalam CV mengelola usaha secara aktif yang melibatkan harta pribadi dan pihak
lainnya hanya menyertakan modal saja tanpa harus melibatkan harta pribadi
ketika krisis finansial. Yang aktif mengurus perusahaan cv disebut sekutu
aktif, dan yang hanya menyetor modal disebut sekutu pasif, yang mempunyai ciri
dan sifat sebagai berikut :
Ø Sulit untuk
menarik modal yang telah disetor ;
Ø Modal besar
karena didirikan banyak pihak ;
Ø Mudah
mendapatkan kridit pinjaman ;
Ø Ada anggota
aktif yang memiliki tanggung jawab tidak terbatas dan ada yang pasif tinggal
menunggu keuntungan ;
Ø Relatif
mudah untuk didirikan ;
Ø Kelangsungan
hidup perusahaan cv tidak menentu ;
3. Perseroan Terbatas / PT / Korporasi / Korporat,
· Perseroan
Terbatas adalah organisasi bisnis yang memiliki badan hukum resmi yang dimiliki
oleh minimal dua orang dengan tanggung jawab yang hanya berlaku pada perusahaan
tanpa melibatkan harta pribadi atau perseorangan yang ada di dalamnya ;
· Di dalam PT
pemilik modal tidak harus memimpin perusahaan, karena dapat menunjuk orang lain
di luar pemilik modal untuk menjadi pimpinan. Untuk mendirikan PT / persoroan
terbatas dibutuhkan sejumlah modal minimal dalam jumlah tertentu dan berbagai
persyaratan lainnya ;
· Perseroan
Terbatas mempunyai ciri dan sifat sebagai berikut :
Ø Kewajiban
terbatas pada modal tanpa melibatkan harta pribadi ;
Ø Modal dan
ukuran perusahaan besar ;
Ø Kelangsungan
hidup perusahaan pt ada di tangan pemilik saham ;
Ø Dapat
dipimpin oleh orang yang tidak memiliki bagian saham ;
Ø Kepemilikan
mudah berpindah tangan ;
Ø Mudah
mencari tenaga kerja untuk karyawan / pegawai ;
Ø Keuntungan
dibagikan kepada pemilik modal / saham dalam bentuk dividen ;
Ø Kekuatan
dewan direksi lebih besar daripada kekuatan pemegang saham ;
Ø Sulit untuk
membubarkan perseroan terbatas ;
Ø pajak
berganda pada pajak penghasilan / pph dan pajak deviden ;
Bahwa selain
macam-macam korporasi sebagaimana telah disebutkan di atas, dikenal pula
beberapa macam atau bentuk korporasi yang lain, yaitu :[15]
1.
Persekutuan Perdata :
·
Persekutuan perdata adalah perkumpulan dari
orang-orang yang biasanya memiliki profesi yang sama dan berkeinginan untuk
berhimpun dengan menggunakan nama bersama. ;
·
Persekutuan Perdata mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut :
a. Diatur dalam
pasal 1618 KUHP Perdata ;
b. Persetujuan
dua orang atau lebih untuk memasukkan sesuatu dengan tujuan membagi keuntungan
;
c. Dapat dibuat
secara lisan atau tertulis ;
d. Tanggung
jawab sekutu sampai ke harta pribadi masing-masing ;
e. Tanggung
jawab adalah prorata atau tergantung perjanjian
·
UU yang mengatur persekutuan perdata
Pasal 1618
sampai 1652, yaitu : suatu persetujuan dimana dua orang atau lebih mengikatkan
diri untuk memasukkan sesuatu kedalam persekutuan, dengan maksud membagi
keuntungan yang terjadi
2.
Koperasi
·
Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang –
seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan
prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas
asa kekeluargaan ;
·
Koperasi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
a. Sifat
sukarela pada keanggotaannya ;
b. Rapat
anggota merupakan kekuasaan tertinggi pada koperasi ;
c. Koperasi
bersifat non kapitalis ;
d. Kegiatannya
berdasarkan pada prinsip swadaya (usaha sendiri) swakerta (buatan sendiri)
swasembada (kemampuan sendiri) ;
e. Perkumpulan
orang
·
Kebaikan dari koperasi :
1. Sebagai
pelaksana demokrasi ekonomi pada masyarakat yang memiliki penghasilan
rendah ;
2. Memperhatikan
pembangunan daerah lingkungan kerjanya ;
3. Badan usaha
yang sesuai dengan kepribadian bangsa indonesia ;
4. Memiliki
kemudahan dalam mendapatkan modal usaha ;
5. Mensejahterakan
anggotanya.
·
Kelemahan :
1. Banyak
koperasi kekurangan modal dan sulit untuk mendapatkannya ;
2. Banyak
anggota koperasi yang kurang sadar tentang hak dan kewajibannya tentang
koperasi ;
3. Kurangnya
kemampuan dalam pengurusan sehingga dapat memperlambat kemajuan koperasi ;
4. Daya saing
yang rendah akibat dari kualitas produk yang dihasilkan anggota-anggotanya
3.
Yayasan
·
yayasan adalah suatu badan hukum yang mempunya maksud
dan tujuan bersifat sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, didirikan dengan
memperhatikan persyaratan formal yang ditentukan dalam Undang-Undang ;
·
Yayasan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
a. Eksistensi
yayasan sebagai entitas hukum di indonesia sebelum didasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku ;
b. Pengakuan
yayasan sebagai badan hukum belum ada dasar yuridis yang tegas, berbeda halnya
dengan PT, Koperasi, dan badan hukum yang lainnya ;
c. Yayasan
dibentukdengan memisahkan kekayaan pribadi pendiri untuk tujuan nirlaba, tujuan
religius, sosial keagamaan, kemanusiaan dan tujuan ideal yang lain ;
d. Yayasan
didirikan dengan akta notaris atau dengan surat keputusan pejabat yang
bersangkutan dengan pendirian yayasan ;
·
Kelebihan
Membentu masyarakat sosial dengan tidak mencari keuntungan ;
·
Kekurangan
Terbatasnya dana-dana yang diperlukan ;
·
Undang-undang yang mengatur tentang yayasan
Diatur dalam UU No. 28 thn 2004 tentang perubahan atas undang-undang No. 16
thn 2001 tentang yayasan.
C. Korporasi Sebagai Subyek Hukum
Saat
ini telah menjadi suatu hal yang biasa terjadi ketika suatu korporasi terlibat
atau bahkan menjadi pelaku tindak pidana. Bahkan tercatat banyak tindak pidana
yang dilakukan atau melibatkan korporasi, sebagai catatan singkat bisa
dikemukakan bahwa tahun 1984,
terjadi suatu tragedi yang menggemparkan dunia dimana terjadi bencana kimiawi
akibat kebocoran gas pada pabrik milik Unicon Carbide India
Limited, di Bhopal India
yang dikenal dengan Tragedi Bhopal,
kejadian tersebut terjadi akibat buruknya sistem pengamanan dan tindakan
penghematan baiaya yang berlebihan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut.
efek dari peristiwa tersebut dapat dirasakan hingga 20 tahun.[16] Atau sebagaimana yang
telah kita ketahui bersama mengenai tragedi lumpur di Sidoarjo yang melibatkan
PT. Lapindo Brantas, yang mengakibatkan sebagian wilayah Sidoarjo tergenang
lumpur panas hingga saat ini.
Pada
awalnya korporasi
atau badan hukum (rechtpersoon) adalah subjek yang hanya dikenal di
dalam hukum perdata. Apa yang dinamakan badan hukum itu sebenarnya adalah
ciptaan hukum, yaitu dengan menunjuk kepada adanya suatu badan yang diberi
status sebagai subjek hukum, di samping subjek hukum yang berwujud manusia
alamiah (natuurlijk persoon), dengan berjalannya waktu, pesatnya
pertumbuhan ekonomi dunia yang mengarah ke globalisasi dimana memberikan
peluang yang besar akan tumbuhnya perusahaan-perusahaan
transnasional, maka peran dari korporasi makin sering kita
rasakan bahkan banyak memengaruhi sektor-sektor kehidupan manusia dan dampak
yang kita rasakan menurut sifatnya ada dua yaitu dampak positf dan dampak
negatif. untuk yang berdampak positif, kita sependapat bahwa itu tidak menjadi
masalah namun yang berdampak negatif inilah yang saat ini sering kita rasakan.[17]
Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai dasar hukum pemidanaan atas perkara-perkara
pidana umum, hanya mengatur subyek hukum hanya manusia sebagai pendukung hak
dan kewajiban. Dalam rumusan pasal-pasal di dalam KUHP, tidak mencantumkan
subyek hukum dapat dikenakan terhadap selain manusia atau terhadap korporasi.
Pada waktu dirumuskan, penyusun KUHP
menerima asas universitas delinquere non
protest, yang artinya korporasi tidak mungkin melakukan tindak pidana,
sebab Korporasi dipandang sebagai suatu fiksi hukum dalam lingkungan
keperdataan yang tidak cocok diambil alih dalam hukum pidana.[18]
Di
negara-negara Common Law System seperti Amerika, Inggris,
dan Kanada
upaya untuk membebankan pertanggungjawaban pidana korporasi (corporate criminal
liability) sudah dilakukan pada saat Revolusi Industri,
menurut Remy Sjahdeini ada
dua ajaran pokok yang menjadi bagi pembenaran dibebankannya pertanggungjawaban
pidana kepada korporasi. Ajaran-ajaran tersebut adalah doctrine of strict
liability dan ''doctrine of
vicarious liability''. [19]
T.R. Young mengatakan Selected Cases Corporations do great harm to the health and welfare
of the United States in terms of physical health, the economic health and the
political health of the people. At the same time, the Reagan administration
deregulated corporate crime and eviscerated the agencies left to control
corporate crime (kasus-kasus pilihan mengenai Perusahaan yang melakukan
kerusakan besar untuk kesehatan dan kesejahteraan Amerika Serikat dalam hal
kesehatan fisik , kesehatan ekonomi dan kesehatan politik rakyat dan pada saat
yang sama , pemerintahan Reagan deregulasi kejahatan korporasi dan
menghancurkan budaya lembaga kiri untuk mengontrol kejahatan korporasi).[20]
Pencantuman
korporasi sebagai subyek hukum menunjukkan bahwa Indonesia mulai mengadopsi
adanya pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi dan sudah mengakui bahwa
subyek hukum bukan hanya manusia saja tetapi juga korporasi.
D. Perkembangan pertanggungjawaban pidana
korporasi
Hingga
saat ini, masih terdapat ketidakseragaman proses penegakan hukum terhadap
korporasi.di bebagai negara, bahkan di salah satu negara di Eropa yaitu Jerman,
sampai saat ini tidak mengenal adanya pertanggungjawaban pidana yang dikenakan
terhadap korporasi, sebab Jerman masih menganut paham bahwa yang dibebani
pertanggungjawaban adalah orang per orang dan korporasi tidak dapat dibebani
pertanggungjawaban pidana. Meski demikian, dalam prkatek, di berbagai negara
lainnya, seperti Belanda ataupun Perancis, telah menerapkan pertanggungjawaban
pidana kepada korporasi.
Indonesia
sebagai negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental yang merupakan
sistem hukum warisan dari Belanda, telah pula menerapkan sistem
pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi. Akan tetapi, meskipun Indonsia
telah menganut sistem pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi, hingga saat
ini masih sedikit korporasi yang dijadikan tersangka atau terdakwa dalam proses
penegakan hukum terhadap korporasi.
Dalam
sejarah perkembangan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi, bisa dibagi
menjadi :
a) Pengurus
korporasi yang dijadikan tersangka atau terdakwa, yaitu ketika
pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi hanya dibebankan kepada pengurus
korporasi dan bukan kepada korporasi yang bersangkutan ;
b) Korporasi
yang dijadikan tersangka atau terdakwa, yaitu ketika pertanggungjawaban pidana
terhadap korporasi hanya dibebankan kepada korporasi dan tidak dibebankan
kepada prngurus korporasi ;
c) Pengurus
korporasi dan korporasi secara bersama-sama dijadikan tersangka atau terdakwa,
yaitu ketika pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi dibebankan secara
bersama-sama kepada pengurus dan korporasi yang bersangkutan.
Apabila
kita melihat pada proses penegakan hukum atas pertanggungjawaban pdana terhadap
korporasi, maka dapat dijabarkan secara singkat sebagai berikut :
a) Pengurus
diajukan terlebih dahulu sebagai tersangka atau terdakwa dan setelah pengurus
tersebut sebagai terdakwa telah dijatuhi putusan pemidanaan, kemudian korporasi
diajukan sebagai tersangka atau terdakwa ;
b) Korporasi
diajukan terlebih dahulu sebagai tersangka atau terdakwa dan setelah korporasi
tersebut sebagai terdakwa telah dijatuhi putusan pemidanaan, kemudian pengurus
diajukan sebagai tersangka atau terdakwa ;
c) Korporasi
dan pengurus diajukan secara bersama-sama sebagai tersangka atau terdakwa ;
Dari
ketiga proses penegakan hukum terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi,
terhadap pengajuan pengurus maupun korporasi secara terpisah, baik pengurus
yang diajukan terlebih dahulu maupun korporasi yang diajukan terlebih dahulu,
mengandung kelemahan yaitu ketika pada tahap penjatuhan pemidanaan dan putusan
pemidanaan sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) tentu
akan membutuhkan waktu yang lama, bahkan mungkin sampai bertahun-tahun perkara
a quo baru mempunyai kekuatan hukum tetap,. Hal ini menyebabkan akan terjadi
kesulitan dalam proses pengajuan pihak berikutnya dalam proses penegakan hukum,
mengingat dengan jangka waktu yang lama bisa menyebabkan rusak atau hilangnya
barang bukti, menghilangnya korporasi karena terjadi peleburan, pembubaran dan
sebab-sebab lainnya.
Sedangkan
apabila korporasi dan pengurus diajukan secara bersama-sama dan dalam waktu
yang sama sebagai tersangka maupun terdakwa, maka akan memudahkan proses
pemeriksaan perkara pada tiap tingkatan proses penegakan hukum. Disamping itu,
khusus pada tahap persidangan, tentu akan membuat persidangan dapat dilakukan
secara cepat dan biaya ringan serta proses rehabilitasi maupun ganti rugi
kepada pihak-pihak yang dirugikan dapat cepat dilakukan.
Dalam
praktek, sebagaimana Dr Widyopramono, Sekretaris Jaksa Agung Muda Tindak Pidana
Umum dalam sebuah makalahnya menyatakan keterlibatan badan hukum atau korporasi
sebagai legal entity dalam tindak pidana hak cipta tidak terbantahkan. Pendapat
praktisi hak cipta dan kasus-kasus tindak pidana hak cipta yang terjadi,
khususnya ciptaan multimedia dengan menggunakan sarana teknologi digital,
secara jelas menunjukkan adanya keterlibatan korporasi di dalamnya, misalnya
korporasi yang bergerak di bidang penyiaran dan praktik peradilan di Indonesia
belum pernah ada satu pun korporasi yang dijatuhi pidana, hal tersebut terjadi
karena secara teknis aparat penegak hukum mengalami kesulitan dalam melakukan
konstruksi yuridis atas berbagai rumusan normatif dalam berbagai peraturan
perundangan yang telah menetapkan korporasi sebagai subjek tindak pidana, dan
juga belum jelasnya tata cara penindakan korporasi sebagai subjek tindak
pidana.[21]
Perkembangan
hukum di Indonesia, menuntut agar korporasi juga dapat dijadikan sebagai subyek
hukum. Hal ini didasarkan pada prinsip hukum yaitu dalam prinsip hukum
terdapat dua subjek hukum, yaitu subjek hukum orang/manusia dan subjek hukum
korporasi, yaitu Orang (persoon)
berarti pembawa hak atau subyek di dalam hukum, dimana seseorang dikatakan
sebagai subjek hukum (pembawa hak), dimulai dari ia dilahirkan dan berakhir
saat ia meninggaldan selain orang badan-badan hukum atau
perkumpulan-perkumpulan juga memiliki hak dan dapat melakukan perbuatan hukum
seperti seorang manusia, sebab badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan itu
mempunyai kekayaan sendiri, ikut serta dalam kegiatan praktek hukum dengan
perantara pengurusnya, dapat digugat, dan dapat juga menggugat di muka hakim,
oleh karena itu, intinya posisi badan hukum juga dibebani dengan hak dan
kewajiban hukum yang sama dimiliki oleh subjek hukum orang/manusia.[22]
Dalam
perundang-undangan di Indonesia, sudah mengakomodir korporasi, baik yang
berbentuk badan hukum maupun non badan hukum dijadikan subyek hukum, yang juga
mendukung hak dan kewajiban yang sama sebagaimana yang dimiliki oleh manusia.
Hal ini terlihat pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-undang No. 8 Tahun 2011 Tentang
Pencegahan dan Pemberantsan Tindak Pidana Pencuian Uang. dan beberapa
peraturan perundang-undangan yang lain.
E. Kejahatan Korporasi (Corporate Crime)
Tidak
dapat dipungkiri bahwa pada saat ini, pelaku tindak pidana bukan hanya manusia
tetapi juga dilakukan oleh korporasi. Bahkan akibat dari kejahatan yang
dilakukan oleh korporasi bisa menimbulkan kerugian yang lebih besar.
Kejahatan korporasi (corporate crime)
sudah dikenal lama dalam ilmu kriminologi,
yaitu di kriminologi sendiri corporate crime merupakan bagian
dari kejahatan kerah putih (white collar crime) yang diperkenalkan oleh
pakar kriminologi terkenal yaitu E.H. Sutherland (1883-1950) dalam pidato
bersejarahnya yang dipresentasikan "...at the thirty-fourth annual
meeting of the American Sociological Society ini Philadelphia on 27 December 1939"
sehingga semenjak itu banyak pakar hukum maupun kriminologi mengembangkan
konsep tersebut.[23]
Kejahatan
korporasi (corporate crime) merupakan salah satu wacana
yang timbul dengan semakin majunya kegiatan perekenomian dan teknologi.[24]
Pertanggungjawaban
pidana korporasi pertama kali diterapkan oleh negara-negara common law,
seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Kanada, dikarenakan sejarah revolusi
industri yang terjadi lebih dahulu pada negara-negara ini. Pengakuan terhadap
pertanggungjawaban pidana korporasi di pengadilan Inggris mulai pada tahun
1842, saat korporasi didenda karena gagal menjalankan tugasnya menurut
peraturan perundang-undangan.[25]
F. Pemidanaan terhadap korporasi
Dengan
diakodirnya korporasi di dalam Undang-Undang sebagai subyek hukum maka segala
perilaku dan tingkah laku korporasi dipersamakan dengan manusia, sehingga
apabila korporasi melakukan kesalahan berupa tindak pidana yang merugikan
negara maupun pihak lain, korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Oleh karena itu segela bentuk pemidanaan
terhadap manusia dapat diterapkan terhadap korporasi.
George P. Fletcher sebagaimana mengutip pendapat H.L.A
Hart mengidentifikasi 5 (lima) karakteristik hukuman[26]:
1.
Harus menimbulkan penderitaan atau
konsekuensi lain yang secara umum tidak menyenangkan.
2.
Dikenakan terhadap tindakan yang melawan
aturan.
3.
Dikenakan terhadap pelaku sebenarnya atas
tindakan pelanggaran yang dilakukan.
4.
Dikenakan secara sengaja hanya kepada
manusia.
5.
Dijatuhkan atau dilakukan oleh otoritas yang
berwenang berdasarkan sistem hukum terhadap tindakan pelanggaran yang
dilakukan.
Menurut
hukum, pemilik korporasi dan karyawan merupakan dua entitas yang berbeda dan
mandiri, hanya salah satu dari mereka, yakni pemilik korporasi atau agen yang
memang terlibat dalam tindakan atau pemikiran tersebut, tetapi, berdasarkan
pertimbangan dari kebijakan hukum yang berakar dari asosiasi dan hubungan
atasan-bawahan yang ada di antara mereka, suatu pemikiran fiktif dapat
dibentuk, sehingga tindakan dan pemikiran dari salah seorang individual yang
mengikuti perintah dari orang lain, merupakan tindakan atau pemikiran dari
pemberi perintah itu sendiri, oleh karena itu, pemikiran fiktif ini kemudian
membentuk hukum bahwa tindakan dari seseorang akan mengikat orang lain.[27]
Namun
demikian, meskipun pemidanaan terhadap manusia dapat diterapkan terhadap
korporasi akan tetapi terhadap korporasi tidak dapat dijatuhi pemidanaan berupa
pemenjaraan.
Dalam
proses hukum pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi dikenal doktrin
strick liability atau liability without fault, yaitu pembebanan
tanggung-jawab pidana kepada pelakunya sekalipun pelakunya tidak memiliki mens
rea yang dipersyaratkan dan substansi dari doktrin ini adalah pelaku sudah
dapat dijatuhi pidana apabila pelaku telah dapat dibuktikan melakukan perbuatan
yang dilarang oleh ketentuan pidana (actus reus) tanpa melihat sikap bathinnya.[28]
Selain doktrin Strick
Liability juga dikenal Doktrin Vicarious
Liablility, yaitu
doktrin yang
pada mulanya diadopsi di Inggris ini sebagaimana disebutkan di penjelasan
sebelumnya, menyebutkan bahwa korporasi bertanggungjawab atas perbuatan yang
dilakukan oleh pegawai-pegawainya, agen/perantara atau pihak-pihak lain yang
menjadi tanggung jawab korporasi dan dengan kesalahan yang dilakukan oleh salah
satu individu tersebut, kesalahan itu secara otomatis diatribusikan kepada
korporasi. Dalam hal ini korporasi bisa dipersalahkan meskipun tindakan
yang dilakukan tersebut tidak disadari atau tidak dapat dikontrol, sehingga
berdasarkan hal ini, teori ini dikritik karena tidak mempedulikan unsur mens
rea (guilty mind) dari mereka yang dibebankan pertanggungjawaban.[29]
Di bidang
lingkungan hidup, Kepala Deputi Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
(Walhi), Nur Hidayati, mengatakan bahwa selain memenuhi hak-hak masyarakat,
pemerintah didesak menindak tegas pelaku dan korporasi yang melakukan pembakaran
lahan, salah satunya dengan memaksimalkan upaya hukum dan meminta ganti rugi
dari korporasi tersebut.[30]
Dari
pernyataan tersebut, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa apabila korporasi
melakukan tindak pidana (kejahatan), maka terhadap korporasi yang bersangkutan
harus dimintai pertanggungjawaban pidana dengan bentuk-bentuk pemidanaan yang
setara dengan manusia. Dalam hukum
pidana dikenal dengan pidana pokok dan pidana tambahan, pidana pokok dan pidana
tambahan adalah sebagaimana diatur dalam pasal 10 KUHP yang menyebutkan :
Hukuman-hukuman
ialah :
a. Hukuman-hukuman
pokok :
1) Hukuman mati
;
2) Hukuman
penjara ;
3) Hukuman
kurungan ;
4) Hukuman
denda ;
b. Hukuman-hukuman tambahan :
1) Pencabutan
beberapa hak yang tertentu ;
2) Perampasan
barang yang tertentu ;
3) Pengumuman
keputusan hakim ;
G. Pidana terhadap korporasi
Penerapan
pemidanaan terhadap korporasi, dalam pelaksanaannya juga memperhatikan
ketentuan undang-undang terkait tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi
tersebut, sebagai contoh, apabila sebuah korporasi melakukan tindak pidana
lingkungan hidup, maka pemidanaannya akan mengikuti ketentuan dalam ,
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, begitu juga terhadap tindak pidana lainnya.
Terkait dengan pemidanaan, maka perlu pula melihat pada
pendapat dari Marc Ancel sebagai berikut :[31]
1. The
penal sistem (centered on the twin concepts of crime dan punishment) is neither
the only nor indeed the best way of responding to deliquency (sistem pemidanaan
bukan hanya satu-satunya cara terbaik untuk menghadapi kejahatan) ;
2. Kriminality
has no independent existence as a specific category or as some sort of “given”
proceding kriminality as a result of the institution of that sistem (kejahatan
bukanlah sesuatu yang terjadi mendahului sistem hukum pidana melainkan hasil
dari pelaksanaan hukum pidana tersebut)
;
3. The
delinquent or the perpetrator of the act defined as an offence by the law, is
not an alien being, recognizable as such, and anthropologically different in
some way from the “non-deliquent”, contrary to generally held opinion which
differentiates law-abiding citizens from evil-doers in his way. In certain
respect “we are all kriminals” (pelaku kejahatan bukanlah makhluk yang terasing
dan berbeda dengan warga masyarakat lain. Dalam beberapa hal tertentu “kita
semua adalah penjahat”.
Sedangkan
mengenai tujuan pemidanaan, di
dalam RUU KUHP yang dirumuskan Tahun 2008, dalam Pasal 54, disebutkan : [32]
(1) Pemidanaan
bertujuan :
a.
Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan
menegakkan norma hukum demi pengayoman masyrakat ;
b.
Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan
pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna ;
c.
Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh
tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat dan ;
d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana ;
(2) Pemidanaan
tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia ;
Meskipun
dalam RUU KUHP tahun 2008 hanya menyebutkan manusia sebagai subyek hukum akan
tetapi, korporasi telah diakui eksistensinya sebagai subyek hukum dalam
beberapa peraturan perundang-undangan. Akan tetapi khusus terhadap korporasi,
hanya dapat dikenakan pemidanaan selain pidana penjara.
Oleh
karena korporasi tidak bisa dikenakan pidana pemenjaraan, maka pidana pokok
bagi korporasi adalah pidana denda dengan pidana pengganti denda (subsidair)
adalah disitanya aset korporasi yang kemudian dilelang dan dipergunakan untuk
membayar pidana denda tersebut. Pidana denda bagi korporasi akan disesuaikan
dengan undang-undang yang dilanggar oleh korporasi tersebut. Pengaturan pidana
denda bagi korporasi pada satu undang-undang tidak sama dengan pidana denda
yang diatur pada undang-undang lain.
1. Jenis
Sanksi Pidana Terhadap Korporasi Sama Dengan Sanksi Pidana Terhadap Pengurus
a. Pidana pokok yang
dikenakan berupa : penjara, kurungan, denda
b. Pidana tambahan yang
dikenakan berupa : pencabutan izin usaha, perampasan
c. Tindakan tata tertib
2. Jenis
Sanksi Pidana Terhadap Korporasi Berbeda Dengan Sanksi Pidana Terhadap Pengurus
a. Pidana pokok yang
dikenakan berupa : penjara, kurungan, denda
:
-
Untuk korporasi diperberat 3 kali (UU Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika)
-
Untuk korporasi dikenakan maksimum ditambah 1/3 (UU
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korporasi, UU Nomor 15 Tahun 2002 jo
UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Nomor 20 Tahun
2011 tentang Rumah Susun)
-
Jika korporasi tidak mampu membayar denda maka diganti
dengan perampasan harta kekayaan milik korporasi atau personil pengendali
korporasi (nilainya sama dengan putusan pidana denda yang dijatuhkan)
-
Pidana
pokok yang dikenakan terhadap pengurus ditambah 1/3 (Undang-Undang
No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan)
-
Pidana
pokok yang dikenakan kepada pemberi perintah atau pimpinan diperberat dengan
1/3(Pasal 117 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup)
-
Pidana
denda terhadap badan pidana yang dapat dijatuhkan terhadap badan
hukum dengan pemberatan ditambah 1/3 (satu per tiga) (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara)
b. Pidana tambahan yang
dikenakan berupa :
-
pencabutan izin usaha;
-
perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
-
penutupan seluruh atau sebagian tempat usah dan/atau
kegiatan
-
perbaikan akibat tindak pidana;
-
kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak;
dan/atau
-
penempatan perusahaan di bawah pengampunan paling lama
tiga tahun;
-
pembubaran korporasi yang diikuti dengan likuidasi
-
pengumuman putusan hakim;
-
pembekuan sebagaian atau seluruh kegiatan usaha
korporasi;
-
pembubaran dan/atau pelarangan korporasi;
-
perampasan aset korporasi untuk negara; dan/atau
-
pengambilalihan korporasi oleh negara;
-
pengembalian dana hasil tindak pidana beserta jasa,
bunga, atau kompensasi kepada pihak yang dirugikan
-
pencabutan status badan hukum;
-
perbaikan akibat tindak pidana;
-
pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak;
-
penempatan perusahaan dibawah pengampuan paling lama 3
(tiga) tahun
c. Tindakan tata tertib
Salah
satu pengaturan konkret tentang pidana terhadap korporasi adalah sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 mengatur pidana tambahan sebagai berikut :
·
perampasan barang bergerak yang berwujud atau
yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi ;
·
pembayaran uang pengganti yang jumlahnya
sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana
korupsi ;
·
penutupan seluruh atau sebagian perusahaan
untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun ;
·
pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak
tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah
atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.
Dari
ketentuan pasal tersebut di atas, akan terlihat jelas bahwa terhadap korporasi
tidak dapat dijatuhi pidana pemenjaraan, meski demikian pasal 18 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebenarnya hanya
mengatur mengenai pidana tambahan terhadap korporasi karena pidana pokok yang dapat
dijatuhkan kepada korporasi adalah pidana denda.
Pidana
denda ini berbeda dengan pidana berupa pidana ganti rugi atas kerugian yang
ditimbulkan dari tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, sebab pidana
ganti rugi ini dibebankan kepada korporasi yang melakukan tindak pidana yang
menyebabkan kerugian bagi masyarkat maupun negara. Contoh kasus yang dapat
dikemukakan adalah ketika korporasi terlibat atau melakukan tindak pidana yang
melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup
akibat limbah yang dihasilkan oleh korporasi tersebut. Apabila terjadi demikian
maka terhadap korporasi yang bersangkutan dapat dijatuhi pidana ganti rugi
dengan membayar biaya rehabilitasi / perbaikan lingkungan yang dirusaknya.
Sedangkan yang dimaksud dengan pidana denda adalah pidana yang dijatuhkan
kepada korporasi yang melakukan tindak pidana yang besarnya ditentukan dalam
undang-undang yang mengaturnya.
Terhadap
pidana denda dan/atau ganti rugi ini, maka untuk menjamin korporasi menunaikan
pidana tersebut, maka dapat dilakukan penyitaan terhadap harta kekayaan
korporasi, apabila korporasi tidak bersedia membayar pidana denda dan/atau
ganti rugi ini, maka harta kekayaan korporasi tersebut dilelang yang hasilnya
digunakan untuk melunasi denda dan.atau ganti rugi tersebut. Bahkan terhadap
korporasi yang bukan badan hukum, maka penyitaan dapat dilakukan terhadap harta
benda pengurus, hal ini disebabkan karena tidak adanya pemisahan antara harta
korporasi dan harta pengurus.
Terhadap
korporasi dapat juga dijatuhi pidana berupa pencabutan izin usaha yang
merupakan pidana terberat bagi korporasi. Apabila sebuah korporasi dijatuhi
pidana berupa pencabutan izin usaha maka korporasi tersebut tidak dapat lagi
melakukan usaha dalam bentuk apapun.
Contoh
kasus yang cukup populer pada tahun 2007 adalah perkara pidana pencemaran
lingkungan yang dilakukan oleh terdakwa PT. Newmont Minahasa Raya, jaksa
menuntut PT. Newmont Minahasa Raya sebagai terdakwa bersama dengan direkturnya
Richard B. Ness, namun demikian majelis hakim pengadilan negeri Manado kemudian
membebaskan PT. Newmont Minahasa Raya dari dakwaan jaksa penuntut umum. Dalam
pertimbangannya majelis hakim menggunakan azas subsidiaritas, singkatnya
menurut majelis hakim penyelesaian hukum lain selain hukum pidana harus
digunakan terlebih dahulu sebagai upaya untuk memulihkan kerugian yang timbul
akibat tindakan PT. Newmont Minahasa Raya.
Perkara
lain yang juga fenomenal adalah kasus penggelapan pajak oleh Asian Agri
Group, meskipun dalam perkara ini jaksa
penuntut umum hanya mendakwa “orang” dalam hal ini terdakwa Suwir Laut alias
Liu Che Sui alias Atak, namun kemudian korporasi (Asian Agri Group) turut
dijatuhi hukuman pidana. Mahkamah Agung dalam amar putusan kasasi nomor 2239 K/PID.SUS/2012 pada pokoknya
menyatakan:[33]
1. Terdakwa
Suwir Laut alias Liu Che Sui alias Atak secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “menyampaikan surat pemberitahuan dan/atau keterangan
yang isinya tidak benar atau tidak lengkap secara berlanjut”;
2. Menjatuhkan
pidana kepada terdakwa tersebut dengan pidana penjara 2 (dua) tahun;
3. Menetapkan
bahwa pidana tersebut tidak akan dijalani, kecuali jika di kemudian hari ada
perintah lain dalam putusan Hakim karena Terdakwa dipersalahkan melakukan
sesuatu kejahatan atau tidak mencukupi suatu syarat yang ditentukan sebelum
berakhirnya masa percobaan selama 3 (tiga) tahun, dengan syarat khusus dalam
waktu 1 (satu) tahun, 14 (empat belas) perusahaan yang tergabung dalam
AAG/Asian Agri Group yang pengisian SPT tahunan diwakili oleh Terdakwa untuk
membayar denda 2 (dua) kali pajak terutang yang kurang dibayar yang
keseluruhannya berjumlah 2 x Rp. 1.259.977.695.652,- = Rp. 2.519.955.391.304,-
(dua triliun lima ratus sembilan belas miliar Sembilan ratus lima puluh lima
juta tiga ratus sembilan puluh satu ribu tiga ratus empat rupiah) secara tunai.
Pola
pengaturan pemidanaan korporasi dari berbagai pengaturan di dalam undang-undang
belum ada yang seragam dan konsisten
terutama mengenai:[34]
1. “kapan
korporasi melakukan tindak pidana dan kapan dapat dipertanggungjawabkan”, ada
yang merumuskan ada yang tidak.
2. “siapa
yang dapat dipertanggungjawabkan”: ada yang merumuskan ada yang tidak.
3. “jenis
sanksi”: ada yang pidana pokok saja; ada yang pidana pokok dan tambahan; dan
ada yang ditambah lagi dengan tindakan “tata tertib”. Pidana denda ada yang
sama dengan delik pokok; ada yang diperberat; ada yang menyatakan dapat
dikenakan tindakan tata tertib, tetapi tidak disebutkan jenis-jenisnya.
4. “perumusan
sanksi”: ada yang merumuskan secara “alternatif”, “kumulatif” dan gabungan
(kumulatif-alternatif).
Namun
dapat diketahui bahwa dalam sejarah perundang-undangan setidaknya sejak tahun
1925, Indonesia telah mengatur pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi.
Substansi pengaturannya juga tidak berbeda dengan pokok pemikiran
pertanggungjawaban pidana korporasi yang berkembang saat ini.
Hingga saat ini, di Indonesia, telah ada
sekitar 100 produk perundang-undangan yang menyebutkan korporasi sebagai subyek
hukum, sebagai pendukung hak dan kewajiban sebagaimana manusia juga sebagai
subyek hukum. Oleh karena itu, yang dibutuhkan saat ini adalah keberanian dari
Aparat Penegak Hukum (APH) untuk mengajukan korporasi, baik yang yang berbadan
hukum maupun yang tidak berbadan hukum sebagai tersangka ataupun sebagai
terdakwa apabila korporasi tersebut melakukan tindak pidana.
H. Keterangan Korporasi
Oleh
karena korporasi dipersamakan kedudukannya dengan manusia sebagai subyek hukum,
maka perilaku manusia juga dipersamakan dengan perilaku korporasi, oleh
karenanya ketentuan pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) juga berlaku bagi korporasi.
Pasal
184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan sebagai
berikut :
Alat
bukti yang sah ialah :
a) Keterangan
saksi ;
b) Keterangan
ahli ;
c) Surat
;
d) Petunjuk
;
e) Keterangan
Terdakwa ;
Apabila
sebuah korporasi menjadi terdakwa karena korporasi tersebut melakukan tindak
pidana korporasi, maka keterangan korporasi di persidangan akan disebut sebagai
keterangan terdakwa. Sehingga ketentuan pasal 184 ayat (1) KUHAP huruf e juncto pasal 189 KUHAP diberlakukan
terhadap korporasi.
Pasal
189 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan :
(1) Keterangan
terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia
lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri ;
(2) Keterangan
terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan
bukti di sidang, asalkan keterangan ini didukung oleh suatu alat bukti yang sah
sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya ;
(3) Keterangan
terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri ;
(4) Keterangan
terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan
perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti
yang lain.
Dari
ketentuan pasal 189 KUHAP tersebut merupakan dasar bahwa terdakwa korporasi
dapat memberikan keterangan di persidangan dengan disebut sebagai keterangan
korporasi. Akan tetapi keterangan korporasi juga harus didukung alat bukti yang
lain untuk membuktikan kesalahan korporasi.
Dalam
perkembangan hukum di Indonesia, beberapa undang-undang sudah mengatur beberapa
alat bukti baru yang tidak diatur di dalam KUHAP, diantaranya adalah alat bukti
digital, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dengan adanya perkembangan ini, maka
mengenai alat bukti tidak hanya sebagaimana diatur dalam pasal 184 ayat (1)
KUHAP tetapi juga alat bukti lain sebagaimana diatur dalam masing-masing
undang-undang yang mengatur tentang korporasi.
I.
Benefitiary
Owner
Pada
tindak pidana korporasi, juga dikenal istilah Benefitiary Owner, yang dapat diartikan sebagai seseorang yang
tidak tercantum di dalam Anggaran Dasar (AD) / Anggaran Rumah Tangga (ART)
suatu korporasi sebagai pengurus korporasi akan tetapi orang tersebut memegang
kendali atas korporasi tersebut, sekaligus mendapatkan keuntungan yang lebih
besar dibandingkan pengurus lainnya.
Keberadaan
Benefitary Owner yang berada diluar
susunan kepengurusan korporasi namun memegang kendali korporasi dan mendapatkan
keuntungan yang lebih besar daripada pengurus yang lain, merupakan modus baru
dalam suatu tindak pidana di Indonesia. Modus tidank pidana tersebut, dilakukan
untuk menghilangkan jejak pelaku tindak pidana sesungguhnya
Terhadap
Benefitiary Owner ini juga merupakan
subyek hukum tindak pidana korporasi yaitu subyek hukum yang dapat dimintakan
pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya yang menyebabkan
kerugian bagi pihak lain, baik kepada orang perorangan, terhadap korporasi lain
maupun kepada negara. Contoh konkret dari Benefitary
Owner adalah dalam perkara atas nama LABORA SITORUS, yaitu nama LABORA
SITORUS sama sekali tidak tercantum di dalam AD/ART korporasi yang dimilikinya
akan tetapi yang bersangkutan memegang kendali atas korporasi yang dimilikinya
baik terhadap oprasional korporasi maupun terhadap pegawai-pegawai korporasi
tersebut yang tidak lain merupakan masyarakat di sekitar korporasi yang
dikendalikan oleh LABORA SITORUS.
J. Penanganan Aset Korporasi
Jamak
terjadi dalam suatu tindak pidana, pihak penyidik maupun penuntut umum
melakukan penyitaan terhadap aset yang dimiliki oleh tersangka atau terdakwa.
Demikian pula terhadap tersangka atau terdakwa korporasi. Sebuah korporasi
dalam berbagai bentuknya, tentu memiliki aset dalam berbagai bentuk aset.
Ketika
penyidik maupun penuntut umum melakukan penyitaan terhadap aset korporasi, maka
akan menjadi masalah baru yang akan timbul selama proses penegakan hukum,
sampai dengan adanya putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap (inkracht van gewisjde), oleh karenanya, perlu mendapat perhatian yang
lebih besar terhadap penanganan aset korporasi yang disita.
Terdapat
suatu pemikiran bahwa atas aset korporasi yang disita, yaitu adanya aset
korporasi yang memiliki nilai ekonomis yang akan berkurang nilainya ketika
disimpan terlalu lama, atau aset yang mudah rusak ataupun aset yang mempunyai
nilai estetika tinggi. Terhadap aset-aset korporasi tersebut, kiranya dapat
dilakukan pelelangan setelah dilakukan penyitaan sambil menunggu proses
persidangan dan putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal ini
dilakukan mengingat esensi dari aset korporasi tersebut adalah untuk membayar
denda dan/atau ganti rugi yang ditimbulkan atas tindak pidana yang dilakukan
oleh korporasi.
Dengan
dilakukannya pelelangan dalam waktu yang tidak terlalu lama setelah penyitaan,
akan memberikan nilai lebih atas aset-aset korporasi yang disita ketika aset
korporasi tersebut yang sudah dalam bentuk uang tunai digunakan untuk
membayarkan denda dan/atau ganti rugi atas tindak pidana yang dilakukan oleh
korporasi dan apabila masih terdapat kelebihan dari pembayaran denda dan/atau
ganti rugi, akan dikembalikan kepada korporasi yang bersangkutan.
Selain
itu terhadap aset korporasi berupa pabrik maupun ladang atau kebun, pihak yang
melakukan penyitaan dapat menunjuk pengawas atas operasional aset tersebut,
sehingga aset tersebut tidak berhenti beroperasi yang dapat menyebabkan
pemutusan hubungan kerja (PHK) atas pegawai-pegawainya. Karena aset tersebut
tetap beroperasi, maka hasil dari operasional aset tersebut disimpan di dalam
Kas Negara sebagai titipan yang akan digunakan untuk membayarkan denda dan/atau
ganti rugi atas tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dan apabila masih
terdapat kelebihan dari pembayaran denda dan/atau ganti rugi, akan dikembalikan
kepada korporasi yang bersangkutan. Apabila korporasi telah membayarkan denda
dan/atau ganti rugi atas tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, maka aset
berupa pabrik atau kebun atau ladang tersebut dikembalikan kepada korporasi.
K. Penutup
Sebagai
suatu hal yang baru, pertanggungjawaban pidana korporasi, membutuhkan kepedulian
dari Negara untuk membuatkan payung hukum yang dapat menjadi sarana untuk
memintakan pertanggungjawaban pidana dari korporasi yang beroperasi di
Indonesia.
L. DAFTAR PUSTAKA
1. Ali
Mansyur, Aneka Persoalan Hukum (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan
Hukum, 2010, Penerbit Unisula bekerjasama dengan Penerbit Teras, Semarang ;
2. Barda
Nawawi Arief, Kapita selekta Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2003 ;
3. Eddy
O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka Kelompok
Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Cet.1, Yogyakarta, 2014 ;
4. Arief
Sidarta, Hukum Dan Logika, 1992, Penerbit Alumni, Bandung ;
5. Ali Zainuddin, Sosiologi Hukum, 2003, Yayasan Masyarakat
Indonesia Baru, Palu ;
6. George
P. Fletcher, Rethinking Criminal Law,
Oxford University Press, New York, 2000 ;
7. Muladi, dan Barda Nawawi
A, 1984, Teori-teori Dan Kebijakan Pidana,
Bandung, Penerbit Alumni
;
8. Sutan
Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, PT.Grafiti Pers, Jakarta,
2007 ;
9. Soerjono
Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, 1980, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta ;
10. Sri
Endah Wahyuningsih, Sri Endah
Wahyuningsih, 2013, Prinsip-Prinsip
Individualisasi Pidana Dalam Hukum Islam
;
11. Putusan
Mahkamah Agung RI, Nomor 2239/K/PID.SUS/2012, Tanggal 18 Desember 2012
M. LINK INTERNET :
1. http://kbbi.web.id/korporasi, diunduh
tanggal 25 Juli 2016 ;
2. http://amireksepsi.blogspot.co.id/2013/11/hukum-korporasi.html,
diunduh tanggal 25 Juli 2016 ;
3. http://www.pengertianpakar.com/2015/04/pengertian-korporasi-menurut-pakar.html,
diunduh tanggal 25 Juli 2016 ;
4. http://bersamadeddy.blogspot.co.id/2009/11/pengertian-dan-macam-macam-perusahaan.html,
diunduh tanggal 25 Juli 2016 ;
5. http://www.organisasi.org/1970/01/bentuk-jenis-macam-badan-usaha-organisasi-bisnis-perusahaan-pengertian-dan-definisi-ilmu-sosial-ekonomi-pembangunan.html,
diunduh tanggal 25 Juli 2016 ;
6. http://dhikalatifiani.blogspot.co.id/2015/06/macam-macam-bentuk-perusahaan.html,
diunduh tanggal 25 Juli 2016 ;
7. https://id.wikipedia.org/wiki/Pertanggungjawaban_korporasi,
diunduh tanggal 25 Juli 2016 ;
8. http://pn-tilamuta.go.id/2016/05/23/penerapan-pertanggungjawaban-korporasi-dalam-hukum-pidana/,
diunduh tanggal 25 Juli 2016 ;
9. T. R. Young, The Red Feather Institute, Jan.1989, diunduh tanggal 20 Juli
2016 ;
10. http://fhukum.unpatti.ac.id/hkm-pidana/165-pertanggungjawaban-pidana-korporasi,
diunduh tanggal 25 Juli 2016 ;
11. http://www.hukumpedia.com/ndrausumayudha21/memperjelas-tanggung-jawab-hukum-korporasi-sebagai-subjek-hukum-sebuah-kajian-hukum-dalam-menghadapi-masyarakat-ekonomi-asean-mea,
diunduh tanggal 25 Juli 2016 ;
12. https://bismar.wordpress.com/2009/12/23/kejahatan-korporasi/,
diunduh tanggal 25 Juli 2016 ;
13. http://alviprofdr.blogspot.co.id/2013/02/pertanggungjawabanpidana-korporasi-oleh.html,
diunduh tanggal 25 Juli 2016 ;
14. http://m.rmol.co/read/2015/12/30/229920/Kejahatan-Korporasi-Pantas-Dihukum-Berat-,
diunduh tanggal 25 Juli 2016 ;
[1] Hakim Yustisial pada Mahkamah
Agung RI ;
[2]
“Korporasi berasal dari kata corporatio dalam
bahasa Latin yang berawal dari kata corporare, artinya memberikan badan atau
membadankan. Muladi yang mengutip K. Malikoel Adil mengartikan korporasi atau
coporation adalah hasil dari pekerjaan membadankan atau badan yang dijadikan
orang.” Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma
Pustaka Kelompok Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Cet.1, Yogyakarta,
2014, hal.155. Lihat juga, Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi, PT.Grafiti Pers, Jakarta, 2007, hal.41. Bandingkan dengan
perngertian korporasi dalam Black’s Law Dictionary (Bryan A.Garner), Ed.8,
Thomson Business, 2004. “An entity (usu.a
business) having authority under law to act as a single person distinct from
the shareholders who own it and having rights to issue stock and exist
indefinitely; a group or succession of persons established in accordance with
legal rules into a legal or juristic person that has legal personality distinct
from the natural persons who make it up, exists indefinitely apart from them,
and has the legal porwers that its constitution gives it”. Bandingkan juga
dengan, Surya Jaya, Kajian Teoritik dan Praktis Pemidanaan Korporasi Dalam
Rangka Pengembalian Aset, Makalah Dalam Diskusi Kamar Pidana Di Mahkamah Agung
RI, Jakarta, 2013. “Korporasi adalah: Realitas kumpulan orang pendukung hak dan
kewajiban, yang memiliki kekayaan, baik dalam bentuk badan hukum maupun bukan
badan hukum, sifatnya terorganisasi”.
[3] Ali Mansyur, Aneka Persoalan
Hukum (Masalah Perjanjian, Konsumen dan
Pembaharuaan Hukum, 2010, Penerbit Unisula bekerjasama dengan Penerbit Teras,
Semarang, h. 148.
[4] Arief
Sidarta, Hukum Dan Logika, 1992, Penerbit Alumni, Bandung, h. 1-2.
[5] Ibid,
hal 19-20.
[6] Soerjono
Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, 1980, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, h. 9.
[10]http://www.pengertianpakar.com/2015/04/pengertian-korporasi-menurut-pakar.html,
diunduh tanggal 25 Juli 2016 ;
[11]http://www.pengertianpakar.com/2015/04/pengertian-korporasi-menurut-pakar.html,
diunduh tanggal 25 Juli 2016 ;
[12]
http://bersamadeddy.blogspot.co.id/2009/11/pengertian-dan-macam-macam-perusahaan.html,
diunduh tanggal 25 Juli 2016 ;
[13]
http://universitaspendidikan.com/jenis-jenis-perusahaan-pada-ilmu-akuntansi/, diunduh tanggal 25 Juli 2016 ;
[14] http://www.organisasi.org/1970/01/bentuk-jenis-macam-badan-usaha-organisasi-bisnis-perusahaan-pengertian-dan-definisi-ilmu-sosial-ekonomi-pembangunan.html,
diunduh tanggal 25 Juli 2016 ;
[15] http://dhikalatifiani.blogspot.co.id/2015/06/macam-macam-bentuk-perusahaan.html,
diunduh tanggal 25 Juli 2016 ;
[18]http://pn-tilamuta.go.id/2016/05/23/penerapan-pertanggungjawaban-korporasi-dalam-hukum-pidana/,
diunduh tanggal 25 Juli 2016 ;
[20]
T. R.
Young, The Red Feather Institute, Jan.1989, diunduh tanggal 20 Juli 2016 ;
[21]
http://fhukum.unpatti.ac.id/hkm-pidana/165-pertanggungjawaban-pidana-korporasi,
diunduh tanggal 25 Juli 2016 ;
[25] http://alviprofdr.blogspot.co.id/2013/02/pertanggungjawabanpidana-korporasi-oleh.html,
diunduh tanggal 25 Juli 2016 ;
[26] George P. Fletcher, Rethinking Criminal Law, Oxford
University Press, New York, 2000, hal.409-410
[27]
http://alviprofdr.blogspot.co.id/2013/02/pertanggungjawabanpidana-korporasi-oleh.html,
diunduh tanggal 25 Juli 2016 ;
[28]http://pn-tilamuta.go.id/2016/05/23/penerapan-pertanggungjawaban-korporasi-dalam-hukum-pidana/,
diunduh tanggal 25 Juli 2016 ;
[30] http://m.rmol.co/read/2015/12/30/229920/Kejahatan-Korporasi-Pantas-Dihukum-Berat-, diunduh tanggal 25 Juli 2016 ;
[31]
Muladi, dan Barda Nawawi A, 1984, Teori-teori Dan Kebijakan Pidana, Bandung, Penerbit
Alumni, h.2-3 ;
[32]
Sri Endah Wahyuningsih, Sri
Endah Wahyuningsih, 2013, Prinsip-Prinsip
Individualisasi Pidana Dalam Hukum Islam, h.93-94 ;
[33]Putusan Mahkamah Agung RI, Nomor 2239/K/PID.SUS/2012,
Tanggal 18 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar