Jumat, 12 Agustus 2016

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP KORPORASI



PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP KORPORASI
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH.[1]

A.  Pendahuluan
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semakin bergerak positif ditambah dengan melimpahnya sumber daya alam (SDA) maupun sumber daya manusia (SDM) membuat Indonesia semakin dilirik oleh investor dari banyak negara. Berkembangnya investasi juga semakin membuka lapangan pekerjaan yang semakin banyak dan bentuk investasi yang masuk di Indonesia juga semakin beragam, dari mulai investasi modal hingga investasi dalam bentuk pendirian korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang non badan hukum. Aktivitas korporasi sebagai badan hukum (artificial person) telah memasuki berbagai aspek kehidupan masyarakat.[2]

Keberadaan korporasi, baik langsung maupun tidak langsung akan memberikan dampak bagi perekonomian negara maupun terhadap lingkungan di tempat korporasi maupun bidang usahanya tersebut berdiri. Bukan hanya dampak postif, tetapi juga dampak negatif dari beroperasinya sebuah korporasi, baik yang dilakukan korporasi itu sendiri maupun bersama-sama dengan korporasi yang lain. Khusus terhadap korporasi yang berbadan hukum, telah diatur dalam bentuk Undang-Undang yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dengan telah diaturnya korporasi yang berbadan hukum di dalam Undang-Undang, maka korporasi yang berbadan hukum tersebut akan sepenuhnya tunduk pada peraturan perundang-undangan tersebut. Akan tetapi terhadap korporasi yang non badan hukum, pengaturannya masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, sedangkan korporasi lain yang non badan hukum selain Yayasan, seperti Firma ataupun bentuk lainnya, sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.
Saat ini, korporasi didirikan dengan tujuan maupun cara-cara mencapai tujuan yang berbeda-beda, tidak hanya tujuan maupun cara-cara yang diperbolehkan oleh Undang-Undang akan tetapi juga tujuan maupun cara-cara yang dilarang oleh Undang-Undang. Sering kita jumpai saat ini, korporasi terlibat dalam berbagai tindak pidana atau sebagai sarana untuk melakukan tindak pidana.
Bentuk dari tindak pidana yang makin marak dilakukan oleh korporasi di Indonesia adalah Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laudering) yang langsung maupun tidak langsung merupakan turunan dari Tindak Pidana Korupsi, sebagamana lazim terjadi di Indonesia. Selain itu marak pula Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking), Tindak Pidana Narkotika dan masih banyak lagi tindak pidana yang saat ini bagaikan suatu kewajaran yang dapat dilakukan oleh setiap orang. Meskipun telah banyak peraturan perundangan yang mengatur pemberantasan terhadap berbagai macam tindak pidana tersebut, akan tetapi di dalam prakteknya, semua yang terungkap bagaikan puncak gunung es, yang masih menyimpan lebih banyak yang belum terungkap. Khusus terhadap korporasi, sampai saat ini masih sangat sedikit korporasi yang dijadikan tersangka atau terdakwa dalam tindak pidana, meskipun telah terlihat jelas kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan yang dilakukan oleh korporasi.
Dengan semakin perkembangnya pengetahuan masyarakat akan hak-haknya yang dilanggar sebagai akibat perbuatan korporasi, tentunya membuat semakin tinggi tingkat kesadaran hukum masyrakat. Hal ini tentunya menjadi peringatan juga bagi korporasi untuk lebih berhati-hati dalam bertindak sehingga tidak menimbulkan kerugian.
Adanya peningkatan kesadaran masyarakat untuk membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap berbagai tindak pidana tersebut, harus mendapatkan apresiasi dalam rangka menegakan supremasi hukum, sebagaimana diungkapkan oleh Ali Mansyur, dalam bukunya ANEKA PERSOALAN HUKUM (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum), menyatakan bahwa “Dalam suatu Negara Hukum, supremasi HUKUM  seharusnya memperoleh tempat yang semestinya, fungsi Hukum  dalam arti materiil yang berusaha memberikan perlindungan kepada masyarakat dengan memperlaakukan tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan memberikan kedudukan Hukum bagi setiap orang.”[3]
Bahwa selama ini masyarakat hanya melihat Hukum hanya dari peraturan-peraturan yang tertulis saja, semisal Undang-Undang dan sejenisnya, akan tetapi masyarakat sering lupa bahwa tatanan kehidupan manusia diatur dan dibatasi oleh norma-norma, yaitu norma sosial, norma Hukum, norma kesusialaan, norma agama, sehingga Hukum  hanyalah menjadi salah satu bagian dari norma-norma tersebut.
Pemahaman masyarakat yang hanya memahami norma hukum, tidak sepenuhnya dapat disalahkan, mengingat selama ini sistem pendidikan di Indonesia, hanya menekankan pada keberadaan hukum yang tertulis saja yang tidak boleh dilanggar, sedangkan sesungguhnya masih terlalu banyak norma kehidupan dalam masyarakat yang apabila dilanggar dapat menjadikan ketidakharmonisan di dalam kehidupan bermasyarakat. Lalu apakah sebenarnya yang dimaksud dengan “NORMA” ?
Norma, sebagaimana ARIEF SIDARTA[4], menyatakan bahwa “Perkataan NORM berasal dari bahasa Latin NORMA, menunjukkan suatu ketertiban, preskripsi atau perintah. Tetapi hal memerintah adalah bukan satu-satunya fungsi dari sebuah norma karena memberikan kewenangan, mengizinkan dan pederogasian adalah juga fungsi dari norma”. Arief Sidarta selanjutnya mengatakan bahwa “Norma dapat mempunyai sifat individual atau sifat umum. Ia mempunyai suatu sifat individual bila apa yang diwajibkan adalah sepenggal tingkahlaku tertentu yang didefinisikan (dibatasi) secara individual dari orang tertentu yang ditetapkan oleh seseorang, missal keputusan hakim, dan Norma mempunyai sifat umum, jika  apa yang dirumuskan batas-batasnya secara individual melainkan seperangkat tingkah laku yang batas-batasnya dirumuskan secara umum, seperti perintah ayah kepada anaknya”.[5]
Secara sepintas, dalam kehidupan bermasyarakat, seseorang akan dapat mengetahui bahwa dirinya memiliki persamaan-persamaan dengan orang lain tetapi disisi lain juga memiliki perbedaan-perbedaan, sehingga pada akhirnya menimbulkan kesadaran dalam diri manusia bahwa kehidupan di dalam masyarakat sebetulnya berpedoman pada suatu aturan yang oleh bagian terbesar masyarakat tersebut dipatuhi dan ditaati oleh kaarena merupakan pegangaan baginya.[6]
Hukum senantiasa harus dikaitkan dengan masyarakat dimanapun hukum itu bekerja. Bidang pengetahuan hukum pada umumnya memusatkan perhatian pada atura-aturan yang dianggap oleh Pemerintah dan masyarakat sebagai aturan-aturan yang sah berlaku dan oleh sebab itu harus ditaati, dan pengetahuan sosiologi sebagai keseluruhan yang memusatkan perhatian pada tindakan-tindakan yang dalam kenyataan diwujudkan oleh anggota dalam hubungan mereka satu sama lain, maka untuk pengembangan hukum dan pengetahuan hukum dalam kehidupan masyarakat agar tidak terpisah satu sama lain harus memperhatikan hukum dan kenyataan-kenyataan dalam masyarakat.[7]
Saat ini sangat dibutuhkan keberanian dari setiap anggota masyarakat untuk melaporkan segala bentuk tindak pidana yang terjadi utamanya tindak pidana yang mengancam rasa kemanusiaan dan mengusik rasa keadilan dalam masyarakat. Keberanian melaporkan setiap tindak pidana yang terjadi tersebut, banyak dikenal dalam masyarakat dengan istilah whistleblower.
B. Pengertian Korporasi
Hukum selalu berkembang mengikuti perkembangan masyarakat, sehingga harus disadari bahwa hukum yang bersifat statis atau kaku tentu tidak akan memberikan keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat.
Korporasi sebagai salah satu sendi baru perekonomian negara, menjadi salah satu syarat adanya pertumbuhan perekonomian bagi suatu negara, sebab dengan adanya korporasi, maka akan membuka banyak lapangan pekerjaan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Dan hasil usaha dari sebuah korporasi akan menjadi hak dari Negara dalam bentuk pajak.
Dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahwa korporasi merupakan : .[8]
1.    Badan usaha yang sah; badan hukum ;
2.    Perusahaan atau badan usaha yang sangat besar atau beberapa perusahaan yang dikelola dan dijalankan sebagai satu perusahaan besar.
Sebagai bentuk badan usaha dalam lingkup hukum keperdataan, mempunyai pengertian menurut perdata, korporasi adalah sesuatu yang menurut kebutuhan masyarakat oleh hukum diakui   sebagai pendukung hak dan kewajiban, maksudnya adalah apa yang disebut dengan badan hukum itu sebenarnya tiada lain sekedar suatu ciptaan hukum, yaitu dengan menunjuk kepada adanya suatu badan dimana terhadap badan ini diberi status sebagai subjek hukum, sedangkan menurut pidana korporasi itu adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan atau kekayaan baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.[9]
Korporasi sebagai badan hukum keperdataan dapat diperinci dalam beberapa golongan, dilihat dari cara mendirikan dan peraturan perundang-undangan sendiri, yaitu :[10]
1.  Korporasi Egoistis, yaitu korporasi yang menyelenggarakan kepentingan para anggotanya, terutama kepentingan harta kekayaan. Contoh korporasi ini : PT (Perseroan Terbatas), Serikat Kerja ;
2.  Korporasi Altruistis, yaitu korporasi yang tidak menyelenggarakan kepentingan para anggotanya, seperti perhimpunan yang memerhatikan nasib orang-orang tunanetra, tunarungu dan sebagainya.
Beberapa ahli hukum memberikan pengertian ataupun batasan-batasan mengenai korporasi, yaitu diantaranya adalah sebagaimana pendapat-pendapat sebagai berikut :[11]
1.  Yan Pramadya Puspa, Pengertian Korporasi adalah suatu perkumpulan atau organisasi yang oleh hukum diperlakukan seperti seorang manusia, sebagai pemilik hak dan kewajiban memiliki hak menggugat ataupun digugat di muka pengadilan ;
2.  Wirjono Prodjodikoro, Pengertian Korporasi adalah suatu perkumpulan orang. Dalam korporasi ini biasanya yang mempunyai kepentingan yaitu orang-orang yang merupakan anggota dari korporasi itu, setiap anggota mempunyai kekuasaan dalam peraturan korporasi berupa rapat anggota sebagai alat kekuasaan yang tertinggi dalam peraturan korporasi ;
3.  A. Abdurachman, Pengertian Korporasi adalah suatu kesatuan menurut hukum atau suatu badan susila yang diciptakan menurut UU suatu negara, untuk menjalankan suatu usaha atau kegiatan atau aktivitas lainnya yang sah. Korporasi ini dapat dibentuk untuk selama-lamanya atau untuk sesuatu jangka waktu yang terbatas, memiliki nama dan identitas yang dengan nama dan identitas itu dapat dituntut di muka pengadilan, serta berhak untuk mengadakan suatu persetujuan menurut kontrak dan melaksanakan semua fungsi lainnya yang seseorang dapat melaksanakannya menurut UU suatu negara. Pada umumnya suatu korporasi dapat merupakan suatu organisasi pemerintah, setengah pemerintah atau tikelir ;
4.  Utrecht, Korporasi adalah badan hukum yang mempunyai hak dan kewajiban sendiri, yang terpisah dari hak kewajiban anggota masing-masing ;
5.  A. Z Abidin, Koporasi ialah sekumpulan manusia yang diberikan hak sebagai unit hukum, di mana diberikan pribadi hukum untuk tujuan tertentu ;
6.  Subekti dan Tjitrosudibio, Korporasi ialah suatu perseroan yang merupakan badan hukum.
Sebelum membahas lebih lanjut mengenau korporasi, maka terlebih dahulu perlu kita ketahui mengenai pengertian usaha, pengetian perusahaan dan pengetian badan usaha, yaitu sebagai berikut :[12]
1.  Pengertian Usaha
·      Setiap orang memerlukan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya ;
·      Dalam usaha memenuhi kebutuhan hidup tersebut, orang melakukan berbagai kegiatan atau pekerjaan seperti menjadi karyawan, sopir, petani, pedagang dan lain-lain ;
·      Dalam ilmu ekonomi kegiatan-kegiatan tersebut termasuk ke dalam kegiatan usaha. Pengertian usaha adalah kegiatan yang dilakukan manusia untuk mendapatkan penghasilan, baik berupa uang, barang mapun jasa yang digunakan untuk pemenuhan kebutuhan hidup guna mencapai kemakmuran ;
2.  Pengertian Perusahaan
·      Dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia menggunakan barang dan jasa yang merupakan hasil kegiatan produksi ;
·      Kegiatan produksi yang dilakukan secara terorganisir dengan menggunakan faktor-faktor produksi umumnya dilakukan oleh perusahaan ;
·      Dengan demikian perusahaan diartikan sebagai bagian teknis dari kesatuan organisasi modal dan tenaga kerja yang bertujuan menghasilkan barang-barang atau jasa ;
3.  Pengertian Badan Usaha
·      Pada umumnya orang cenderung memahami bahwa perusahaan dengan badan usaha adalah sama ;
·      Namun jika kita menganalisis lebih mendalam, ternyata ada perbedaan pengertian antara perusahaan dan badan usaha ;
·      Badan Usaha adalah kesatuan yuridis dan ekonomi yang mengelola perusahaan untuk menghasilkan keuntungan ;
·      Perusahaan adalah bagian tekhnis dari kesatuan ekonomi yang menghasilkan barang dan jasa ;
·      Jadi pengertian badan usaha adalah kesatuan yuridis dan ekonomis dari faktor-faktor produksi yang bertujuan mencari keuntungan dengan memberi layanan kepada konsumen yang memerlukan. Disebut kesatuan yuridis karena badan usaha umumnya berbadan hukum yang melakukan kegiatan ekonomi untuk memperoleh keuntungan.
Beberapa jenis badan usaha antara lain dibagi berdasarkan kepemilikan modal, lapangan usaha, jumlah pekerja, dan bentuk hukum.
Mengenai macam-macam korporasi terbagi atas 3 (tiga) macam korporasi, yaitu :
1.    Korporasi Publik, yaitu Korporasi yang didirikan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan untuk memenuhi tugas-tugas administrasi di bidang urusan publik. Contoh, pemerintah kabupaten atau kota.
2.    Korporasi Privat, yaitu Korporasi yang didirikan untuk kepentingan privat/pribadi, yang dapat bergerak di bidang keuangan, industri, dan perdagangan. Korporasi privat ini sahamnya dapat dijual kepada masyarakat, maka ditambah dengan istilah go public.
3.    Korporasi Publik Quasi, yaitu Korporasi yang melayani kepentingan umum (Public Service). Contoh, PT Kereta Api Indonesia, Perusahaan Listrik Negara, Pertamina, Perusahaan Air Minum.
Berkaitan dengan jenis korporasi, secara umum terdapat 3 (tiga) jenis perusahaan yang beroperasi untuk menghasilkan laba, yaitu perusahaan manufaktur, perusahaan dagang, dan perusahaan jasa. Setiap jenis perusahaan memiliki karakteristik tersendiri, yaitu  dapat disebutkan sebagai berikut  :[13]
1.    Perusahaan manufaktur, yaitu Perusahaan ini mengubah input dasar menjadi produk jadi yang akan dijual kepada masing-masing pelanggan. Contoh perusahaan yang tergolong dalam perusahaan manufaktur, seperti PT Gudang Garam dengan produk utamanya adalah rokok, PT Unilever yang menghasilkan barang-barang konsumsi, seperti pasata gigi, sabun mandi, Perusahaan mebel, Perusahaan konveksi, dan sejenisnya ;
2.    Perusahaan dagang, yaitu Perusahaan ini juga menjual produk ke pelanggan, tetapi perusahaan ini tidak memproduksi sendiri barang yang akan dijual. Perusahaan membeli dari perusahaan lain barang yang akan dijualnya. Contoh ; perusahaan dagang adalah Alfamart, Alfa, indomart, dan sejenisnya ;
3.    Perusahaan jasa, yaitu Perusahaan ini menghasilkan jasa, bukan barang atau produk yang kasat mata. Contoh ; perusahaan ini adalah bidang perhotelan, Biro Perjalanan Shafira, jasa pengiriman, jasa-jasa lain yang sejenis.
Sedangkan mengenai bentuk korporasi, secara singkat dapat dijabarkan sebagai berikut :[14]
1.  Badan Usaha / Perusahaan Perseorangan atau Individu ;
·      Perusahaan perseorangan adalah badan usaha kepemilikannya dimiliki oleh satu orang. Individu dapat membuat badan usaha perseorangan tanpa izin dan tata cara tententu. Semua orang bebas membuat bisnis personal tanpa adanya batasan untuk mendirikannya. Pada umumnya perusahaan perseorangan bermodal kecil, terbatasnya jenis serta jumlah produksi, memiliki tenaga kerja / buruh yang sedikit dan penggunaan alat produksi teknologi sederhana. Contoh perusahaan perseorangan seperti toko kelontong, tukang bakso keliling, pedagang asongan, dan lain sebagainya ;
·      Korporasi ini mempunyai ciri dan sifat perusahaan perseorangan :
-       relatif mudah didirikan dan juga dibubarkan ;
-       tanggung jawab tidak terbatas dan bisa melibatkan harta pribadi ;
-       tidak ada pajak, yang ada adalah pungutan dan retribusi ;
-       seluruh keuntungan dinikmati sendiri ;
-       sulit mengatur roda perusahaan karena diatur sendiri ;
-       keuntungan yang kecil yang terkadang harus mengorbankan penghasilan yang lebih besar ;
-       jangka waktu badan usaha tidak terbatas atau seumur hidup ;
-       sewaktu-waktu dapat dipindah tangankan ;
2.  Perusahaan / Badan Usaha Persekutuan / Partnership ;
·      Perusahaan persekutuan adalah badan usaha yang dimiliki oleh dua orang atau lebih yang secara bersama-sama bekerja sama untuk mencapai tujuan bisnis ;
·      Yang termasuk dalam badan usaha persekutuan adalah firma dan persekutuan komanditer alias cv, yaitu yang untuk mendirikan badan usaha persekutuan membutuhkan izin khusus pada instansi pemerintah yang terkait.
·      Firma, adalah suatu bentuk persekutuan bisnis yang terdiri dari dua orang atau lebih dengan nama bersama yang tanggung jawabnya terbagi rata tidak terbatas pada setiap pemiliknya yang mempunyai ciri dan sifat sebagai berikut :
Ø  Apabila terdapat hutang tak terbayar, maka setiap pemilik wajib melunasi dengan harta pribadi ;
Ø  Setiap anggota firma memiliki hak untuk menjadi pemimpin ;
Ø  Seorang anggota tidak berhak memasukkan anggota baru tanpa seizin anggota yang lainnya ;
Ø  Keanggotaan firma melekat dan berlaku seumur hidup ;
Ø  Seorang anggota mempunyai hak untuk membubarkan firma ;
Ø  Pendiriannya tidak memelukan akte pendirian ;
Ø  Mudah memperoleh kredit usaha ;
·      Persekutuan Komanditer / CV / Commanditaire Vennotschaap, adalah suatu bentuk badan usaha bisnis yang didirikan dan dimiliki oleh dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan bersama dengan tingkat keterlibatan yang berbeda-beda di antara anggotanya. Satu pihak dalam CV mengelola usaha secara aktif yang melibatkan harta pribadi dan pihak lainnya hanya menyertakan modal saja tanpa harus melibatkan harta pribadi ketika krisis finansial. Yang aktif mengurus perusahaan cv disebut sekutu aktif, dan yang hanya menyetor modal disebut sekutu pasif, yang mempunyai ciri dan sifat sebagai berikut :
Ø Sulit untuk menarik modal yang telah disetor ;
Ø Modal besar karena didirikan banyak pihak ;
Ø Mudah mendapatkan kridit pinjaman ;
Ø Ada anggota aktif yang memiliki tanggung jawab tidak terbatas dan ada yang pasif tinggal menunggu keuntungan ;
Ø Relatif mudah untuk didirikan ;
Ø Kelangsungan hidup perusahaan cv tidak menentu ;
3.  Perseroan Terbatas / PT / Korporasi / Korporat,
·      Perseroan Terbatas adalah organisasi bisnis yang memiliki badan hukum resmi yang dimiliki oleh minimal dua orang dengan tanggung jawab yang hanya berlaku pada perusahaan tanpa melibatkan harta pribadi atau perseorangan yang ada di dalamnya ;
·      Di dalam PT pemilik modal tidak harus memimpin perusahaan, karena dapat menunjuk orang lain di luar pemilik modal untuk menjadi pimpinan. Untuk mendirikan PT / persoroan terbatas dibutuhkan sejumlah modal minimal dalam jumlah tertentu dan berbagai persyaratan lainnya ;
·      Perseroan Terbatas mempunyai ciri dan sifat sebagai berikut :
Ø  Kewajiban terbatas pada modal tanpa melibatkan harta pribadi ;
Ø  Modal dan ukuran perusahaan besar ;
Ø  Kelangsungan hidup perusahaan pt ada di tangan pemilik saham ;
Ø  Dapat dipimpin oleh orang yang tidak memiliki bagian saham ;
Ø  Kepemilikan mudah berpindah tangan ;
Ø  Mudah mencari tenaga kerja untuk karyawan / pegawai ;
Ø  Keuntungan dibagikan kepada pemilik modal / saham dalam bentuk dividen ;
Ø  Kekuatan dewan direksi lebih besar daripada kekuatan pemegang saham ;
Ø  Sulit untuk membubarkan perseroan terbatas ;
Ø  pajak berganda pada pajak penghasilan / pph dan pajak deviden ;
Bahwa selain macam-macam korporasi sebagaimana telah disebutkan di atas, dikenal pula beberapa macam atau bentuk korporasi yang lain,   yaitu :[15]
1.  Persekutuan Perdata :
·      Persekutuan perdata adalah perkumpulan dari orang-orang yang biasanya memiliki profesi yang sama dan berkeinginan untuk berhimpun dengan menggunakan nama bersama. ;
·      Persekutuan Perdata mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :   
a.  Diatur dalam pasal 1618 KUHP Perdata ;
b.  Persetujuan dua orang atau lebih untuk memasukkan sesuatu dengan tujuan membagi keuntungan  ;
c.   Dapat dibuat secara lisan atau tertulis  ;
d.  Tanggung jawab sekutu sampai ke harta pribadi masing-masing  ;
e.  Tanggung jawab adalah prorata atau tergantung perjanjian  
·      UU yang mengatur persekutuan perdata 
Pasal 1618 sampai 1652, yaitu : suatu persetujuan dimana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu kedalam persekutuan, dengan maksud membagi keuntungan yang terjadi
2.  Koperasi  
·      Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang – seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asa kekeluargaan ;
·      Koperasi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
a.  Sifat sukarela pada keanggotaannya ;
b.  Rapat anggota merupakan kekuasaan tertinggi pada koperasi ;
c.   Koperasi bersifat non kapitalis ;
d.  Kegiatannya berdasarkan pada prinsip swadaya (usaha sendiri) swakerta (buatan sendiri) swasembada (kemampuan sendiri) ;
e.  Perkumpulan orang
·      Kebaikan dari koperasi :
1.  Sebagai pelaksana demokrasi ekonomi pada masyarakat yang memiliki penghasilan rendah ;
2.  Memperhatikan pembangunan daerah lingkungan kerjanya ;
3.  Badan usaha yang sesuai dengan kepribadian bangsa indonesia ;
4.  Memiliki kemudahan dalam mendapatkan modal usaha ;
5.  Mensejahterakan anggotanya.
·      Kelemahan :
1.  Banyak koperasi kekurangan modal dan sulit untuk mendapatkannya ;
2.  Banyak anggota koperasi yang kurang sadar tentang hak dan kewajibannya tentang koperasi ;
3.  Kurangnya kemampuan dalam pengurusan sehingga dapat memperlambat kemajuan koperasi ;
4.  Daya saing yang rendah akibat dari kualitas produk yang dihasilkan anggota-anggotanya
3.  Yayasan 
·      yayasan adalah suatu badan hukum yang mempunya maksud dan tujuan bersifat sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, didirikan dengan memperhatikan persyaratan formal yang ditentukan dalam Undang-Undang ;
·      Yayasan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 
a.  Eksistensi yayasan sebagai entitas hukum di indonesia sebelum didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku  ;
b.  Pengakuan yayasan sebagai badan hukum belum ada dasar yuridis yang tegas, berbeda halnya dengan PT, Koperasi, dan badan hukum yang lainnya ;
c.   Yayasan dibentukdengan memisahkan kekayaan pribadi pendiri untuk tujuan nirlaba, tujuan religius, sosial keagamaan, kemanusiaan dan tujuan ideal yang lain ;
d.  Yayasan didirikan dengan akta notaris atau dengan surat keputusan pejabat yang bersangkutan dengan pendirian yayasan ;
·      Kelebihan 
Membentu masyarakat sosial dengan tidak mencari keuntungan ;
·      Kekurangan 
Terbatasnya dana-dana yang diperlukan ;
·      Undang-undang yang mengatur tentang yayasan 
Diatur dalam UU No. 28 thn 2004 tentang perubahan atas undang-undang No. 16 thn 2001 tentang yayasan.
C. Korporasi Sebagai Subyek Hukum
Saat ini telah menjadi suatu hal yang biasa terjadi ketika suatu korporasi terlibat atau bahkan menjadi pelaku tindak pidana. Bahkan tercatat banyak tindak pidana yang dilakukan atau melibatkan korporasi, sebagai catatan singkat bisa dikemukakan bahwa tahun 1984, terjadi suatu tragedi yang menggemparkan dunia dimana terjadi bencana kimiawi akibat kebocoran gas pada pabrik milik Unicon Carbide India Limited, di Bhopal India yang dikenal dengan Tragedi Bhopal, kejadian tersebut terjadi akibat buruknya sistem pengamanan dan tindakan penghematan baiaya yang berlebihan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut. efek dari peristiwa tersebut dapat dirasakan hingga 20 tahun.[16] Atau sebagaimana yang telah kita ketahui bersama mengenai tragedi lumpur di Sidoarjo yang melibatkan PT. Lapindo Brantas, yang mengakibatkan sebagian wilayah Sidoarjo tergenang lumpur panas hingga saat ini.
Pada awalnya korporasi atau badan hukum (rechtpersoon) adalah subjek yang hanya dikenal di dalam hukum perdata. Apa yang dinamakan badan hukum itu sebenarnya adalah ciptaan hukum, yaitu dengan menunjuk kepada adanya suatu badan yang diberi status sebagai subjek hukum, di samping subjek hukum yang berwujud manusia alamiah (natuurlijk persoon), dengan berjalannya waktu, pesatnya pertumbuhan ekonomi dunia yang mengarah ke globalisasi dimana memberikan peluang yang besar akan tumbuhnya perusahaan-perusahaan transnasional, maka peran dari korporasi makin sering kita rasakan bahkan banyak memengaruhi sektor-sektor kehidupan manusia dan dampak yang kita rasakan menurut sifatnya ada dua yaitu dampak positf dan dampak negatif. untuk yang berdampak positif, kita sependapat bahwa itu tidak menjadi masalah namun yang berdampak negatif inilah yang saat ini sering kita rasakan.[17]

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai dasar hukum pemidanaan atas perkara-perkara pidana umum, hanya mengatur subyek hukum hanya manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban. Dalam rumusan pasal-pasal di dalam KUHP, tidak mencantumkan subyek hukum dapat dikenakan terhadap selain manusia atau terhadap korporasi.
Pada waktu dirumuskan, penyusun KUHP menerima asas universitas delinquere non protest, yang artinya korporasi tidak mungkin melakukan tindak pidana, sebab Korporasi dipandang sebagai suatu fiksi hukum dalam lingkungan keperdataan yang tidak cocok diambil alih dalam hukum pidana.[18]
Di negara-negara Common Law System seperti Amerika, Inggris, dan Kanada upaya untuk membebankan pertanggungjawaban pidana korporasi (corporate criminal liability) sudah dilakukan pada saat Revolusi Industri, menurut Remy Sjahdeini ada dua ajaran pokok yang menjadi bagi pembenaran dibebankannya pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Ajaran-ajaran tersebut adalah doctrine of strict liability dan ''doctrine of vicarious liability''. [19]
T.R. Young mengatakan Selected Cases Corporations do great harm to the health and welfare of the United States in terms of physical health, the economic health and the political health of the people. At the same time, the Reagan administration deregulated corporate crime and eviscerated the agencies left to control corporate crime (kasus-kasus pilihan mengenai Perusahaan yang melakukan kerusakan besar untuk kesehatan dan kesejahteraan Amerika Serikat dalam hal kesehatan fisik , kesehatan ekonomi dan kesehatan politik rakyat dan pada saat yang sama , pemerintahan Reagan deregulasi kejahatan korporasi dan menghancurkan budaya lembaga kiri untuk mengontrol kejahatan korporasi).[20]
Pencantuman korporasi sebagai subyek hukum menunjukkan bahwa Indonesia mulai mengadopsi adanya pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi dan sudah mengakui bahwa subyek hukum bukan hanya manusia saja tetapi juga korporasi.
D. Perkembangan pertanggungjawaban pidana korporasi
Hingga saat ini, masih terdapat ketidakseragaman proses penegakan hukum terhadap korporasi.di bebagai negara, bahkan di salah satu negara di Eropa yaitu Jerman, sampai saat ini tidak mengenal adanya pertanggungjawaban pidana yang dikenakan terhadap korporasi, sebab Jerman masih menganut paham bahwa yang dibebani pertanggungjawaban adalah orang per orang dan korporasi tidak dapat dibebani pertanggungjawaban pidana. Meski demikian, dalam prkatek, di berbagai negara lainnya, seperti Belanda ataupun Perancis, telah menerapkan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi.
Indonesia sebagai negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental yang merupakan sistem hukum warisan dari Belanda, telah pula menerapkan sistem pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi. Akan tetapi, meskipun Indonsia telah menganut sistem pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi, hingga saat ini masih sedikit korporasi yang dijadikan tersangka atau terdakwa dalam proses penegakan hukum terhadap korporasi.
Dalam sejarah perkembangan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi, bisa dibagi menjadi :
a)     Pengurus korporasi yang dijadikan tersangka atau terdakwa, yaitu ketika pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi hanya dibebankan kepada pengurus korporasi dan bukan kepada korporasi yang bersangkutan ;
b)     Korporasi yang dijadikan tersangka atau terdakwa, yaitu ketika pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi hanya dibebankan kepada korporasi dan tidak dibebankan kepada prngurus korporasi ;
c)     Pengurus korporasi dan korporasi secara bersama-sama dijadikan tersangka atau terdakwa, yaitu ketika pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi dibebankan secara bersama-sama kepada pengurus dan korporasi yang bersangkutan.
Apabila kita melihat pada proses penegakan hukum atas pertanggungjawaban pdana terhadap korporasi, maka dapat dijabarkan secara singkat sebagai berikut :
a)     Pengurus diajukan terlebih dahulu sebagai tersangka atau terdakwa dan setelah pengurus tersebut sebagai terdakwa telah dijatuhi putusan pemidanaan, kemudian korporasi diajukan sebagai tersangka atau terdakwa ;
b)     Korporasi diajukan terlebih dahulu sebagai tersangka atau terdakwa dan setelah korporasi tersebut sebagai terdakwa telah dijatuhi putusan pemidanaan, kemudian pengurus diajukan sebagai tersangka atau terdakwa ;
c)     Korporasi dan pengurus diajukan secara bersama-sama sebagai tersangka atau terdakwa ;
Dari ketiga proses penegakan hukum terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi, terhadap pengajuan pengurus maupun korporasi secara terpisah, baik pengurus yang diajukan terlebih dahulu maupun korporasi yang diajukan terlebih dahulu, mengandung kelemahan yaitu ketika pada tahap penjatuhan pemidanaan dan putusan pemidanaan sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) tentu akan membutuhkan waktu yang lama, bahkan mungkin sampai bertahun-tahun perkara a quo baru mempunyai kekuatan hukum tetap,. Hal ini menyebabkan akan terjadi kesulitan dalam proses pengajuan pihak berikutnya dalam proses penegakan hukum, mengingat dengan jangka waktu yang lama bisa menyebabkan rusak atau hilangnya barang bukti, menghilangnya korporasi karena terjadi peleburan, pembubaran dan sebab-sebab lainnya.
Sedangkan apabila korporasi dan pengurus diajukan secara bersama-sama dan dalam waktu yang sama sebagai tersangka maupun terdakwa, maka akan memudahkan proses pemeriksaan perkara pada tiap tingkatan proses penegakan hukum. Disamping itu, khusus pada tahap persidangan, tentu akan membuat persidangan dapat dilakukan secara cepat dan biaya ringan serta proses rehabilitasi maupun ganti rugi kepada pihak-pihak yang dirugikan dapat cepat dilakukan.
Dalam praktek, sebagaimana Dr Widyopramono, Sekretaris Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum dalam sebuah makalahnya menyatakan keterlibatan badan hukum atau korporasi sebagai legal entity dalam tindak pidana hak cipta tidak terbantahkan. Pendapat praktisi hak cipta dan kasus-kasus tindak pidana hak cipta yang terjadi, khususnya ciptaan multimedia dengan menggunakan sarana teknologi digital, secara jelas menunjukkan adanya keterlibatan korporasi di dalamnya, misalnya korporasi yang bergerak di bidang penyiaran dan praktik peradilan di Indonesia belum pernah ada satu pun korporasi yang dijatuhi pidana, hal tersebut terjadi karena secara teknis aparat penegak hukum mengalami kesulitan dalam melakukan konstruksi yuridis atas berbagai rumusan normatif dalam berbagai peraturan perundangan yang telah menetapkan korporasi sebagai subjek tindak pidana, dan juga belum jelasnya tata cara penindakan korporasi sebagai subjek tindak pidana.[21] 
Perkembangan hukum di Indonesia, menuntut agar korporasi juga dapat dijadikan sebagai subyek hukum. Hal ini didasarkan pada prinsip hukum yaitu dalam prinsip hukum terdapat dua subjek hukum, yaitu subjek hukum orang/manusia dan subjek hukum korporasi, yaitu Orang (persoon) berarti pembawa hak atau subyek di dalam hukum, dimana seseorang dikatakan sebagai subjek hukum (pembawa hak), dimulai dari ia dilahirkan dan berakhir saat ia meninggaldan selain orang badan-badan hukum atau perkumpulan-perkumpulan juga memiliki hak dan dapat melakukan perbuatan hukum seperti seorang manusia, sebab badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan itu mempunyai kekayaan sendiri, ikut serta dalam kegiatan praktek hukum dengan perantara pengurusnya, dapat digugat, dan dapat juga menggugat di muka hakim, oleh karena itu, intinya posisi badan hukum juga dibebani dengan hak dan kewajiban hukum yang sama dimiliki oleh subjek hukum orang/manusia.[22]
Dalam perundang-undangan di Indonesia, sudah mengakomodir korporasi, baik yang berbentuk badan hukum maupun non badan hukum dijadikan subyek hukum, yang juga mendukung hak dan kewajiban yang sama sebagaimana yang dimiliki oleh manusia. Hal ini terlihat pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-undang No. 8 Tahun 2011 Tentang Pencegahan dan Pemberantsan Tindak Pidana Pencuian Uang. dan beberapa peraturan perundang-undangan yang lain.
E.  Kejahatan Korporasi (Corporate Crime)
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada saat ini, pelaku tindak pidana bukan hanya manusia tetapi juga dilakukan oleh korporasi. Bahkan akibat dari kejahatan yang dilakukan oleh korporasi bisa menimbulkan kerugian yang lebih besar.
Kejahatan korporasi (corporate crime) sudah dikenal lama dalam ilmu kriminologi, yaitu di kriminologi sendiri corporate crime merupakan bagian dari kejahatan kerah putih (white collar crime) yang diperkenalkan oleh pakar kriminologi terkenal yaitu E.H. Sutherland (1883-1950) dalam pidato bersejarahnya yang dipresentasikan "...at the thirty-fourth annual meeting of the American Sociological Society ini Philadelphia on 27 December 1939" sehingga semenjak itu banyak pakar hukum maupun kriminologi mengembangkan konsep tersebut.[23] Kejahatan korporasi (corporate crime) merupakan  salah satu wacana yang timbul dengan semakin majunya kegiatan perekenomian dan teknologi.[24]
Pertanggungjawaban pidana korporasi pertama kali diterapkan oleh negara-negara common law, seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Kanada, dikarenakan sejarah revolusi industri yang terjadi lebih dahulu pada negara-negara ini. Pengakuan terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi di pengadilan Inggris mulai pada tahun 1842, saat korporasi didenda karena gagal menjalankan tugasnya menurut peraturan perundang-undangan.[25]
F.  Pemidanaan terhadap korporasi
Dengan diakodirnya korporasi di dalam Undang-Undang sebagai subyek hukum maka segala perilaku dan tingkah laku korporasi dipersamakan dengan manusia, sehingga apabila korporasi melakukan kesalahan berupa tindak pidana yang merugikan negara maupun pihak lain, korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.  Oleh karena itu segela bentuk pemidanaan terhadap manusia dapat diterapkan terhadap korporasi.
George P. Fletcher sebagaimana mengutip pendapat H.L.A Hart mengidentifikasi 5 (lima) karakteristik hukuman[26]:
1.    Harus menimbulkan penderitaan atau konsekuensi lain yang secara umum tidak menyenangkan.
2.    Dikenakan terhadap tindakan yang melawan aturan.
3.    Dikenakan terhadap pelaku sebenarnya atas tindakan pelanggaran yang dilakukan.
4.    Dikenakan secara sengaja hanya kepada manusia.
5.    Dijatuhkan atau dilakukan oleh otoritas yang berwenang berdasarkan sistem hukum terhadap tindakan pelanggaran yang dilakukan.
Menurut hukum, pemilik korporasi dan karyawan merupakan dua entitas yang berbeda dan mandiri, hanya salah satu dari mereka, yakni pemilik korporasi atau agen yang memang terlibat dalam tindakan atau pemikiran tersebut, tetapi, berdasarkan pertimbangan dari kebijakan hukum yang berakar dari asosiasi dan hubungan atasan-bawahan yang ada di antara mereka, suatu pemikiran fiktif dapat dibentuk, sehingga tindakan dan pemikiran dari salah seorang individual yang mengikuti perintah dari orang lain, merupakan tindakan atau pemikiran dari pemberi perintah itu sendiri, oleh karena itu, pemikiran fiktif ini kemudian membentuk hukum bahwa tindakan dari seseorang akan mengikat orang lain.[27]
Namun demikian, meskipun pemidanaan terhadap manusia dapat diterapkan terhadap korporasi akan tetapi terhadap korporasi tidak dapat dijatuhi pemidanaan berupa pemenjaraan.
Dalam proses hukum pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi dikenal doktrin strick liability atau liability without fault, yaitu pembebanan tanggung-jawab pidana kepada pelakunya sekalipun pelakunya tidak memiliki mens rea yang dipersyaratkan dan substansi dari doktrin ini adalah pelaku sudah dapat dijatuhi pidana apabila pelaku telah dapat dibuktikan melakukan perbuatan yang dilarang oleh ketentuan pidana (actus reus) tanpa melihat sikap bathinnya.[28]
Selain doktrin Strick Liability juga dikenal Doktrin Vicarious Liablility, yaitu doktrin yang pada mulanya diadopsi di Inggris ini sebagaimana disebutkan di penjelasan sebelumnya, menyebutkan bahwa korporasi bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh pegawai-pegawainya, agen/perantara atau pihak-pihak lain yang menjadi tanggung jawab korporasi dan dengan kesalahan yang dilakukan oleh salah satu individu tersebut, kesalahan itu secara otomatis diatribusikan kepada korporasi.  Dalam hal ini korporasi bisa dipersalahkan meskipun tindakan yang dilakukan tersebut tidak disadari atau tidak dapat dikontrol, sehingga berdasarkan hal ini, teori ini dikritik karena tidak mempedulikan unsur mens rea (guilty mind) dari mereka yang dibebankan pertanggungjawaban.[29]
Di bidang lingkungan hidup, Kepala Deputi Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Nur Hidayati, mengatakan bahwa selain memenuhi hak-hak masyarakat, pemerintah dide­sak menindak tegas pelaku dan korporasi yang melakukan pem­bakaran lahan, salah satunya dengan memaksimalkan upaya hukum dan meminta ganti rugi dari korporasi tersebut.[30]
Dari pernyataan tersebut, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa apabila korporasi melakukan tindak pidana (kejahatan), maka terhadap korporasi yang bersangkutan harus dimintai pertanggungjawaban pidana dengan bentuk-bentuk pemidanaan yang setara dengan manusia.  Dalam hukum pidana dikenal dengan pidana pokok dan pidana tambahan, pidana pokok dan pidana tambahan adalah sebagaimana diatur dalam pasal 10 KUHP yang menyebutkan :
Hukuman-hukuman ialah :
a.  Hukuman-hukuman pokok :
1)    Hukuman mati ;
2)    Hukuman penjara ;
3)    Hukuman kurungan ;
4)    Hukuman denda ;
b.   Hukuman-hukuman tambahan :
1)     Pencabutan beberapa hak yang tertentu ;
2)     Perampasan barang yang tertentu ;
3)     Pengumuman keputusan hakim ;
G. Pidana terhadap korporasi
Penerapan pemidanaan terhadap korporasi, dalam pelaksanaannya juga memperhatikan ketentuan undang-undang terkait tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi tersebut, sebagai contoh, apabila sebuah korporasi melakukan tindak pidana lingkungan hidup, maka pemidanaannya akan mengikuti ketentuan dalam , Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, begitu juga terhadap tindak pidana lainnya.
Terkait dengan pemidanaan, maka perlu pula melihat pada pendapat dari Marc Ancel sebagai berikut :[31]
1.     The penal sistem (centered on the twin concepts of crime dan punishment) is neither the only nor indeed the best way of responding to deliquency (sistem pemidanaan bukan hanya satu-satunya cara terbaik untuk menghadapi kejahatan) ;
2.     Kriminality has no independent existence as a specific category or as some sort of “given” proceding kriminality as a result of the institution of that sistem (kejahatan bukanlah sesuatu yang terjadi mendahului sistem hukum pidana melainkan hasil dari pelaksanaan hukum pidana   tersebut) ;
3.     The delinquent or the perpetrator of the act defined as an offence by the law, is not an alien being, recognizable as such, and anthropologically different in some way from the “non-deliquent”, contrary to generally held opinion which differentiates law-abiding citizens from evil-doers in his way. In certain respect “we are all kriminals” (pelaku kejahatan bukanlah makhluk yang terasing dan berbeda dengan warga masyarakat lain. Dalam beberapa hal tertentu “kita semua adalah penjahat”.
Sedangkan mengenai tujuan pemidanaan, di dalam RUU KUHP yang dirumuskan Tahun 2008, dalam Pasal 54, disebutkan : [32]
(1)  Pemidanaan bertujuan :
a.    Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyrakat ;
b.    Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna ;
c.    Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat dan ;
d.    Membebaskan rasa bersalah pada terpidana ;
(2)  Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia ;
Meskipun dalam RUU KUHP tahun 2008 hanya menyebutkan manusia sebagai subyek hukum akan tetapi, korporasi telah diakui eksistensinya sebagai subyek hukum dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Akan tetapi khusus terhadap korporasi, hanya dapat dikenakan pemidanaan selain pidana penjara.
Oleh karena korporasi tidak bisa dikenakan pidana pemenjaraan, maka pidana pokok bagi korporasi adalah pidana denda dengan pidana pengganti denda (subsidair) adalah disitanya aset korporasi yang kemudian dilelang dan dipergunakan untuk membayar pidana denda tersebut. Pidana denda bagi korporasi akan disesuaikan dengan undang-undang yang dilanggar oleh korporasi tersebut. Pengaturan pidana denda bagi korporasi pada satu undang-undang tidak sama dengan pidana denda yang diatur pada undang-undang lain.
1.    Jenis Sanksi Pidana Terhadap Korporasi Sama Dengan Sanksi Pidana Terhadap Pengurus
a.   Pidana pokok yang dikenakan berupa : penjara, kurungan, denda
b.  Pidana tambahan yang dikenakan berupa : pencabutan izin usaha, perampasan
c.   Tindakan tata tertib
2.    Jenis Sanksi Pidana Terhadap Korporasi Berbeda Dengan Sanksi Pidana Terhadap Pengurus
a.   Pidana pokok yang dikenakan berupa : penjara, kurungan, denda :
-     Untuk korporasi diperberat 3 kali (UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika)
-     Untuk korporasi dikenakan maksimum ditambah 1/3 (UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korporasi, UU Nomor 15 Tahun 2002 jo UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun)
-     Jika korporasi tidak mampu membayar denda maka diganti dengan perampasan harta kekayaan milik korporasi atau personil pengendali korporasi (nilainya sama dengan putusan pidana denda yang dijatuhkan)
-     Pidana pokok yang dikenakan terhadap pengurus ditambah 1/3 (Undang-Undang No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan)
-     Pidana pokok yang dikenakan kepada pemberi perintah atau pimpinan diperberat dengan 1/3(Pasal 117 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup)
-     Pidana denda terhadap badan pidana yang dapat dijatuhkan terhadap badan hukum dengan pemberatan ditambah 1/3 (satu per tiga) (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara)
b.  Pidana tambahan yang dikenakan berupa :
-     pencabutan izin usaha;
-     perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
-     penutupan seluruh atau sebagian tempat usah dan/atau kegiatan
-     perbaikan akibat tindak pidana;
-     kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
-     penempatan perusahaan di bawah pengampunan paling lama tiga tahun;
-     pembubaran korporasi yang diikuti dengan likuidasi
-     pengumuman putusan hakim;
-     pembekuan sebagaian atau seluruh kegiatan usaha korporasi;
-     pembubaran dan/atau pelarangan korporasi;
-     perampasan aset korporasi untuk negara; dan/atau
-     pengambilalihan korporasi oleh negara;
-     pengembalian dana hasil tindak pidana beserta jasa, bunga, atau kompensasi kepada pihak yang dirugikan
-     pencabutan status badan hukum;
-     perbaikan akibat tindak pidana;
-     pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak;
-     penempatan perusahaan dibawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun
c.   Tindakan tata tertib
Salah satu pengaturan konkret tentang pidana terhadap korporasi adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengatur pidana tambahan sebagai berikut :
·           perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi ;
·           pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi ;
·           penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun ;
·           pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.
Dari ketentuan pasal tersebut di atas, akan terlihat jelas bahwa terhadap korporasi tidak dapat dijatuhi pidana pemenjaraan, meski demikian pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebenarnya hanya mengatur mengenai pidana tambahan terhadap korporasi karena pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada korporasi adalah pidana denda.
Pidana denda ini berbeda dengan pidana berupa pidana ganti rugi atas kerugian yang ditimbulkan dari tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, sebab pidana ganti rugi ini dibebankan kepada korporasi yang melakukan tindak pidana yang menyebabkan kerugian bagi masyarkat maupun negara. Contoh kasus yang dapat dikemukakan adalah ketika korporasi terlibat atau melakukan tindak pidana yang melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup akibat limbah yang dihasilkan oleh korporasi tersebut. Apabila terjadi demikian maka terhadap korporasi yang bersangkutan dapat dijatuhi pidana ganti rugi dengan membayar biaya rehabilitasi / perbaikan lingkungan yang dirusaknya. Sedangkan yang dimaksud dengan pidana denda adalah pidana yang dijatuhkan kepada korporasi yang melakukan tindak pidana yang besarnya ditentukan dalam undang-undang yang mengaturnya.
Terhadap pidana denda dan/atau ganti rugi ini, maka untuk menjamin korporasi menunaikan pidana tersebut, maka dapat dilakukan penyitaan terhadap harta kekayaan korporasi, apabila korporasi tidak bersedia membayar pidana denda dan/atau ganti rugi ini, maka harta kekayaan korporasi tersebut dilelang yang hasilnya digunakan untuk melunasi denda dan.atau ganti rugi tersebut. Bahkan terhadap korporasi yang bukan badan hukum, maka penyitaan dapat dilakukan terhadap harta benda pengurus, hal ini disebabkan karena tidak adanya pemisahan antara harta korporasi dan harta pengurus.
Terhadap korporasi dapat juga dijatuhi pidana berupa pencabutan izin usaha yang merupakan pidana terberat bagi korporasi. Apabila sebuah korporasi dijatuhi pidana berupa pencabutan izin usaha maka korporasi tersebut tidak dapat lagi melakukan usaha dalam bentuk apapun.
Contoh kasus yang cukup populer pada tahun 2007 adalah perkara pidana pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh terdakwa PT. Newmont Minahasa Raya, jaksa menuntut PT. Newmont Minahasa Raya sebagai terdakwa bersama dengan direkturnya Richard B. Ness, namun demikian majelis hakim pengadilan negeri Manado kemudian membebaskan PT. Newmont Minahasa Raya dari dakwaan jaksa penuntut umum. Dalam pertimbangannya majelis hakim menggunakan azas subsidiaritas, singkatnya menurut majelis hakim penyelesaian hukum lain selain hukum pidana harus digunakan terlebih dahulu sebagai upaya untuk memulihkan kerugian yang timbul akibat tindakan PT. Newmont Minahasa Raya.   
Perkara lain yang juga fenomenal adalah kasus penggelapan pajak oleh Asian Agri Group,  meskipun dalam perkara ini jaksa penuntut umum hanya mendakwa “orang” dalam hal ini terdakwa Suwir Laut alias Liu Che Sui alias Atak, namun kemudian korporasi (Asian Agri Group) turut dijatuhi hukuman pidana. Mahkamah Agung dalam amar putusan kasasi nomor 2239 K/PID.SUS/2012 pada pokoknya menyatakan:[33]
1.    Terdakwa Suwir Laut alias Liu Che Sui alias Atak secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “menyampaikan surat pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap secara berlanjut”;
2.    Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut dengan pidana penjara 2 (dua) tahun;
3.    Menetapkan bahwa pidana tersebut tidak akan dijalani, kecuali jika di kemudian hari ada perintah lain dalam putusan Hakim karena Terdakwa dipersalahkan melakukan sesuatu kejahatan atau tidak mencukupi suatu syarat yang ditentukan sebelum berakhirnya masa percobaan selama 3 (tiga) tahun, dengan syarat khusus dalam waktu 1 (satu) tahun, 14 (empat belas) perusahaan yang tergabung dalam AAG/Asian Agri Group yang pengisian SPT tahunan diwakili oleh Terdakwa untuk membayar denda 2 (dua) kali pajak terutang yang kurang dibayar yang keseluruhannya berjumlah 2 x Rp. 1.259.977.695.652,- = Rp. 2.519.955.391.304,- (dua triliun lima ratus sembilan belas miliar Sembilan ratus lima puluh lima juta tiga ratus sembilan puluh satu ribu tiga ratus empat rupiah) secara tunai.
Pola pengaturan pemidanaan korporasi dari berbagai pengaturan di dalam undang-undang belum ada yang  seragam dan konsisten terutama mengenai:[34]
1.  “kapan korporasi melakukan tindak pidana dan kapan dapat dipertanggungjawabkan”, ada yang merumuskan ada yang tidak.
2.  “siapa yang dapat dipertanggungjawabkan”: ada yang merumuskan ada yang tidak.
3.  “jenis sanksi”: ada yang pidana pokok saja; ada yang pidana pokok dan tambahan; dan ada yang ditambah lagi dengan tindakan “tata tertib”. Pidana denda ada yang sama dengan delik pokok; ada yang diperberat; ada yang menyatakan dapat dikenakan tindakan tata tertib, tetapi tidak disebutkan jenis-jenisnya.
4.  “perumusan sanksi”: ada yang merumuskan secara “alternatif”, “kumulatif” dan gabungan (kumulatif-alternatif).
Namun dapat diketahui bahwa dalam sejarah perundang-undangan setidaknya sejak tahun 1925, Indonesia telah mengatur pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi. Substansi pengaturannya juga tidak berbeda dengan pokok pemikiran pertanggungjawaban pidana korporasi yang berkembang saat ini.
 Hingga saat ini, di Indonesia, telah ada sekitar 100 produk perundang-undangan yang menyebutkan korporasi sebagai subyek hukum, sebagai pendukung hak dan kewajiban sebagaimana manusia juga sebagai subyek hukum. Oleh karena itu, yang dibutuhkan saat ini adalah keberanian dari Aparat Penegak Hukum (APH) untuk mengajukan korporasi, baik yang yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum sebagai tersangka ataupun sebagai terdakwa apabila korporasi tersebut melakukan tindak pidana.
H.  Keterangan Korporasi
Oleh karena korporasi dipersamakan kedudukannya dengan manusia sebagai subyek hukum, maka perilaku manusia juga dipersamakan dengan perilaku korporasi, oleh karenanya ketentuan pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga berlaku bagi korporasi.
Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan sebagai berikut :
Alat bukti yang sah ialah :
a)     Keterangan saksi ;
b)     Keterangan ahli ;
c)      Surat ;
d)     Petunjuk ;
e)     Keterangan Terdakwa ;
Apabila sebuah korporasi menjadi terdakwa karena korporasi tersebut melakukan tindak pidana korporasi, maka keterangan korporasi di persidangan akan disebut sebagai keterangan terdakwa. Sehingga ketentuan pasal 184 ayat (1) KUHAP huruf e juncto pasal 189 KUHAP diberlakukan terhadap korporasi.
Pasal 189 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan :
(1)  Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri ;
(2)  Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan ini didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya ;
(3)  Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri ;
(4)  Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
Dari ketentuan pasal 189 KUHAP tersebut merupakan dasar bahwa terdakwa korporasi dapat memberikan keterangan di persidangan dengan disebut sebagai keterangan korporasi. Akan tetapi keterangan korporasi juga harus didukung alat bukti yang lain untuk membuktikan kesalahan korporasi.
Dalam perkembangan hukum di Indonesia, beberapa undang-undang sudah mengatur beberapa alat bukti baru yang tidak diatur di dalam KUHAP, diantaranya adalah alat bukti digital, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dengan adanya perkembangan ini, maka mengenai alat bukti tidak hanya sebagaimana diatur dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP tetapi juga alat bukti lain sebagaimana diatur dalam masing-masing undang-undang yang mengatur tentang korporasi.
I.    Benefitiary Owner
Pada tindak pidana korporasi, juga dikenal istilah Benefitiary Owner, yang dapat diartikan sebagai seseorang yang tidak tercantum di dalam Anggaran Dasar (AD) / Anggaran Rumah Tangga (ART) suatu korporasi sebagai pengurus korporasi akan tetapi orang tersebut memegang kendali atas korporasi tersebut, sekaligus mendapatkan keuntungan yang lebih besar dibandingkan pengurus lainnya.
Keberadaan Benefitary Owner yang berada diluar susunan kepengurusan korporasi namun memegang kendali korporasi dan mendapatkan keuntungan yang lebih besar daripada pengurus yang lain, merupakan modus baru dalam suatu tindak pidana di Indonesia. Modus tidank pidana tersebut, dilakukan untuk menghilangkan jejak pelaku tindak pidana sesungguhnya
Terhadap Benefitiary Owner ini juga merupakan subyek hukum tindak pidana korporasi yaitu subyek hukum yang dapat dimintakan pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya yang menyebabkan kerugian bagi pihak lain, baik kepada orang perorangan, terhadap korporasi lain maupun kepada negara. Contoh konkret dari Benefitary Owner adalah dalam perkara atas nama LABORA SITORUS, yaitu nama LABORA SITORUS sama sekali tidak tercantum di dalam AD/ART korporasi yang dimilikinya akan tetapi yang bersangkutan memegang kendali atas korporasi yang dimilikinya baik terhadap oprasional korporasi maupun terhadap pegawai-pegawai korporasi tersebut yang tidak lain merupakan masyarakat di sekitar korporasi yang dikendalikan oleh LABORA SITORUS.
J.  Penanganan Aset Korporasi
Jamak terjadi dalam suatu tindak pidana, pihak penyidik maupun penuntut umum melakukan penyitaan terhadap aset yang dimiliki oleh tersangka atau terdakwa. Demikian pula terhadap tersangka atau terdakwa korporasi. Sebuah korporasi dalam berbagai bentuknya, tentu memiliki aset dalam berbagai bentuk aset.
Ketika penyidik maupun penuntut umum melakukan penyitaan terhadap aset korporasi, maka akan menjadi masalah baru yang akan timbul selama proses penegakan hukum, sampai dengan adanya putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewisjde), oleh karenanya, perlu mendapat perhatian yang lebih besar terhadap penanganan aset korporasi yang disita.
Terdapat suatu pemikiran bahwa atas aset korporasi yang disita, yaitu adanya aset korporasi yang memiliki nilai ekonomis yang akan berkurang nilainya ketika disimpan terlalu lama, atau aset yang mudah rusak ataupun aset yang mempunyai nilai estetika tinggi. Terhadap aset-aset korporasi tersebut, kiranya dapat dilakukan pelelangan setelah dilakukan penyitaan sambil menunggu proses persidangan dan putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal ini dilakukan mengingat esensi dari aset korporasi tersebut adalah untuk membayar denda dan/atau ganti rugi yang ditimbulkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.
Dengan dilakukannya pelelangan dalam waktu yang tidak terlalu lama setelah penyitaan, akan memberikan nilai lebih atas aset-aset korporasi yang disita ketika aset korporasi tersebut yang sudah dalam bentuk uang tunai digunakan untuk membayarkan denda dan/atau ganti rugi atas tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dan apabila masih terdapat kelebihan dari pembayaran denda dan/atau ganti rugi, akan dikembalikan kepada korporasi yang bersangkutan.
Selain itu terhadap aset korporasi berupa pabrik maupun ladang atau kebun, pihak yang melakukan penyitaan dapat menunjuk pengawas atas operasional aset tersebut, sehingga aset tersebut tidak berhenti beroperasi yang dapat menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) atas pegawai-pegawainya. Karena aset tersebut tetap beroperasi, maka hasil dari operasional aset tersebut disimpan di dalam Kas Negara sebagai titipan yang akan digunakan untuk membayarkan denda dan/atau ganti rugi atas tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dan apabila masih terdapat kelebihan dari pembayaran denda dan/atau ganti rugi, akan dikembalikan kepada korporasi yang bersangkutan. Apabila korporasi telah membayarkan denda dan/atau ganti rugi atas tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, maka aset berupa pabrik atau kebun atau ladang tersebut dikembalikan kepada korporasi.
K. Penutup
Sebagai suatu hal yang baru, pertanggungjawaban pidana korporasi, membutuhkan kepedulian dari Negara untuk membuatkan payung hukum yang dapat menjadi sarana untuk memintakan pertanggungjawaban pidana dari korporasi yang beroperasi di Indonesia.
L.  DAFTAR PUSTAKA
1.      Ali Mansyur, Aneka Persoalan Hukum (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum, 2010, Penerbit Unisula bekerjasama dengan Penerbit Teras, Semarang ;
2.      Barda Nawawi Arief, Kapita selekta Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003 ;
3.      Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka Kelompok Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Cet.1, Yogyakarta, 2014 ;
4.      Arief Sidarta, Hukum Dan Logika, 1992, Penerbit Alumni, Bandung ;
5.      Ali Zainuddin, Sosiologi Hukum, 2003, Yayasan Masyarakat Indonesia Baru, Palu ;
6.      George P. Fletcher, Rethinking Criminal Law, Oxford University Press, New York, 2000 ;
7.      Muladi, dan Barda Nawawi A, 1984, Teori-teori Dan Kebijakan Pidana, Bandung, Penerbit Alumni ;
8.      Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, PT.Grafiti Pers, Jakarta, 2007 ;
9.      Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, 1980, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta ;
10.  Sri Endah Wahyuningsih, Sri Endah Wahyuningsih, 2013, Prinsip-Prinsip Individualisasi Pidana Dalam Hukum Islam ;
11.  Putusan Mahkamah Agung RI, Nomor 2239/K/PID.SUS/2012, Tanggal 18 Desember 2012
M. LINK INTERNET :
1.    http://kbbi.web.id/korporasi, diunduh tanggal 25 Juli 2016 ;
2.    http://amireksepsi.blogspot.co.id/2013/11/hukum-korporasi.html, diunduh tanggal 25 Juli 2016 ;
7.    https://id.wikipedia.org/wiki/Pertanggungjawaban_korporasi, diunduh tanggal 25 Juli 2016 ;
9.    T. R. Young, The Red Feather Institute, Jan.1989, diunduh tanggal 20 Juli 2016 ;



[1] Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung RI ;
[2] Korporasi berasal dari kata corporatio dalam bahasa Latin yang berawal dari kata corporare, artinya memberikan badan atau membadankan. Muladi yang mengutip K. Malikoel Adil mengartikan korporasi atau coporation adalah hasil dari pekerjaan membadankan atau badan yang dijadikan orang.” Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka Kelompok Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Cet.1, Yogyakarta, 2014, hal.155. Lihat juga, Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, PT.Grafiti Pers, Jakarta, 2007, hal.41. Bandingkan dengan perngertian korporasi dalam Black’s Law Dictionary (Bryan A.Garner), Ed.8, Thomson Business, 2004. “An entity (usu.a business) having authority under law to act as a single person distinct from the shareholders who own it and having rights to issue stock and exist indefinitely; a group or succession of persons established in accordance with legal rules into a legal or juristic person that has legal personality distinct from the natural persons who make it up, exists indefinitely apart from them, and has the legal porwers that its constitution gives it”. Bandingkan juga dengan, Surya Jaya, Kajian Teoritik dan Praktis Pemidanaan Korporasi Dalam Rangka Pengembalian Aset, Makalah Dalam Diskusi Kamar Pidana Di Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2013. “Korporasi adalah: Realitas kumpulan orang pendukung hak dan kewajiban, yang memiliki kekayaan, baik dalam bentuk badan hukum maupun bukan badan hukum, sifatnya terorganisasi”.
[3] Ali Mansyur, Aneka Persoalan Hukum  (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum, 2010, Penerbit Unisula bekerjasama dengan Penerbit Teras, Semarang, h. 148.
[4] Arief Sidarta, Hukum Dan Logika, 1992, Penerbit Alumni, Bandung, h. 1-2.
[5] Ibid, hal 19-20.
[6] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, 1980, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, h. 9.
[7]Ali Zainuddin, Sosiologi Hukum, 2003, Yayasan Masyarakat Indonesia Baru, Palu h. 2.


[8] http://kbbi.web.id/korporasi, diunduh tanggal 25 Juli 2016 ;
[20] T. R. Young, The Red Feather Institute, Jan.1989, diunduh tanggal 20 Juli 2016 ;

[26]  George P. Fletcher, Rethinking Criminal Law, Oxford University Press, New York, 2000, hal.409-410
[31] Muladi, dan Barda Nawawi A, 1984, Teori-teori Dan Kebijakan Pidana, Bandung, Penerbit Alumni, h.2-3 ;
[32] Sri Endah Wahyuningsih, Sri Endah Wahyuningsih, 2013, Prinsip-Prinsip Individualisasi Pidana Dalam Hukum Islam, h.93-94 ;

[33]Putusan Mahkamah Agung RI, Nomor 2239/K/PID.SUS/2012, Tanggal 18 Desember 2012
[34]  Barda Nawawi Arief, Kapita selekta Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003 h.230

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...