Melanjutkan pembahasan
mengenai Sistem Pemilu, akan bermuara kepada suatu pertanyaan, Sistem Pemilu
mana yang terbaik atau sistem pemilu mana yang sebaiknya digunakan oleh
Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka kita harus kembali kepada tujuan
utama dari Sistem Pemilu, yaitu untuk menciptakan DEMOKRASI dalam suatu negara, sistem manapun yang akan diterapkan.
Sistem demokrasi
muncul ketika dalam suatu negara mulai diterapkan sistem pemerintahan otoriter
atau sistem pemerintahan yang mengutamakan apa yang diucapkan atau
diperintahkan oleh sang pemimpin, tidak boleh ditolak atau dibantah yang
apabila ditolak atau dibantah bisa berakibat kematian bagi yang melakukannya
tanpa dapat diketahui lagi jasadnya. Ketika hal tersebut terjadi, maka sudah
dapat dipastikan tidak ada lagi demokrasi dalam negara tersebut dan tidak ada
jaminan bagi kebebasan berpendapat.
Dalam sejarahnya,
hampir setiap negara berasal dari sistem pemerintahan Monarki atau Kerajaan, baik
di Benua Eropa, Benua Asia maupun Benua Amerika, yang semua penduduknya tunduk
pada perintah Raja yang berkuasa. Dalam perkembangannya, pihak pemimpin Agama
mulai ikut campur, hal ini bisa dilihat pada sistem Pemerintahan di Eropa,
yaitu Pemimpin Gereja mempunyai kewenangan yang setara dengan kekuasaan Raja,
yang kemudian sering menimbulkan gesekan-gesekan baik secara politik, ekonomi
maupun kemanusiaan sehingga saat itu sering terjadi “pembunuhan” terhadap para
pemimpin Agama yang dilakukan oleh alat kekuasaan Raja.
Kemudian,
karena adanya gesekan-gesekan tersebut, kemudian berkembang adanya paham ketiga
yaitu rakyat yang berkuasa untuk menentukan kehendak kehidupannya tanpa campur
tangan Raja maupun pemimpin Agama. Gerakan inilah yang dikemudian hari dikenal
sebagai demokrasi. Dalam perkembangannya,
di negara yang masih berupa kerajaan, mulai juga diterapkan sistem demokrasi,
yaitu dilakukan pemilihan yang dilakukan oleh rakyat warga negara tersebut terhadap
Perdana Menteri yang akan melaksanakan tugas-tugas kenegaraan dengan masa tugas
tertentu sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasarnya dan Raja hanya
sebagai simbol dari negara tersebut. Contoh dari sistem ini ada di negara
Inggris, Malaysia, Jepang dan beberapa negara lainnya.
Di negara-negara yang bukan Kerajaan, yaitu
negara yang langsung menerapkan pemilihan terhadap Presiden yang akan
melaksanakan tugas-tugas kenegaraannya, rakyat benar-benar sebagai pemegang
kedaulatan dalam berpolitik. Rakyat yang langsung memilih pemimpinnya yang
dianggap dipercaya atau bisa dipercaya akan membawa kesejahteraan bagi rakyat.
Bagaimana dengan di Indonesia? Di tahun
1950an Indoensia sempat menerapkan Demokrasi
Terpimpin yaitu apapun hasil Pemilihan Umum, yang saat itu memilih Partai
Politik, semuanya akan diserahkan kepada Pemimpin Tertinggi saat itu yaitu
Presiden Ir. Sukarno dan Pemimpin Tertinggilah yang akan menentukan apakah
hasil Pemilu akan dterima atau ditolak. Oleh sebab itu tidak mengherankan
apabila pada saat itu sering terjadi pergantian Perdana Menteri sebagai pelaksana
tugas kenegaraan karena kekuasaan tertinggi ada pada Presiden yang tidak bisa
diganggu gugat. Dalam Pemilu pada saat itu, yaitu pada tahun 1971, diikuti
kurang lebih ada sekitar 30an Partai Politik dengan berbagai macam ideologi
politik ternasuk ideologi Komunisme, sehingga dengan masih terbatasnya
perkembangan tekhnologi, khususnya dalam hal pencetakan surat suara, dan masih
rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Indonesia pada saat itu, maka kita
bayangkan bagaimana rumitnya Pemilu pada tahun 1955.
Di Pemilu berikutnya di tahun 1971, diikuti
oleh 10 (sepuluh) Partai Politik dan 1 (satu) Organisasi Masyarakat yaitu
Golongan Karya yang masih belum berbentuk Partai Politik hingga memasuki era
Reformasi. Pemilu tahun 1971 secara kasat mata tentu lebih mudah dilaksanakan
karena jumlah pesertanya tidak sebanyak Pemilu tahun 1955 dan meskipun masih
belum terlihat nyata, mulai terlihat kekuatan Golongan Karya dibawah komando Presiden
Suharto, menguasai segala lini kehidupan masyarakat tidak hanya dalam bidang
politik. Hal ini berlanjut di Pemilu 1977, Pemilu Tahun 1982, Pemilu Tahun 1989,
Pemilu 1992 dan Pemilu 1997 yang hanya diikuti 3 (tiga) kekuatan Politik yaitu
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sebagai Partai Politik nomor urut 1 di
surat suara, Golongan Karya (Golkar), sebagai nomor urut 2 di surat suara dan
Partai Demokrasi Indonesia (PDI), sebagai nomor urut 3 di surat suara dan
selama masa Pemilu tersebut sudah dapat diketahui siapa pemenang Pemilu, bahkan
sebelum Pemilu diselenggarakan.
Di masa Reformasi yaitu dimulai di sekitar
tahun 1999, Pemilu diikuti oleh 48 (empat puluh delapan) Partai Politik. Penulis
sendiri yang sudah mengikuti Pemilu sejak tahun 1992, di Pemilu tahun 1999,
cukup bingung sebab untuk mencari nomor urutan Partai Politik yang akan
dicoblos juga membutuhkan waktu yang cukup lama, bisa dibayangkan jika pemilih
tersebut adalah warga masyarakat yang berusia lanjut maupun warga
disabilitas. Cukup sulit membaca surat
suara yang mencantumkan logo dan nama Partai Politik yang berjumlah 48 (empat
puluh delapan) tersebut karena ukurannya yang cukup kecil.
Di Pemilu tahun 2004, hanya diikuti oleh 24
(dua puluh empat) Partai Politik yang juga cukup membuat pusing ketika kita
membuka surat suara karena banyaknya Partai Politik yang berpartisipasi. Di Pemilu
tahun 2009 diikuti oleh 38 Partai Politik dan bisa dibayangkan bagaiman bingungnya
ketika kita membuka surat suara. Hal ini berulang di Pemilu tahun 2014,
meskipun hanya diikuti oleh 12 (dua belas) Partai Politik dan berulang lagi di
Pemilu tahun 2019 yang diikuti oleh 14 (empat belas) Partai Politik Nasional
dan 4 (empat) Partai Politik Lokal Aceh. Sejak Pemilu tahun 2014, kita baru
mulai memilih langsung Presiden dan Wakil Presiden yang akan memimpin
Indonesia.
Bagaimana dengan Pemilu thaun 2019?
Jawabannya adalah tambah bingung dalam memilih, karena Pemilu tahun 2019 kita
mulai memilih secara langsung calon anggota legislatif yang akan menajdi wakil
kita di Dewan Perakilan Rakyat dalam setiap tingkatannya, baik di Pusat, di
Provinsi maupun di Kabupaten/Kota. Bisa dibayangkan, jika masing-masing Partai
Politik mencantumkan 5 (lima) orang calon anggota legislatif, maka setidaknya
di dalam satu surat suara terdapat 48 (empat puluh delapan) nama dan foto calon
anggota legislatif yang harus kita cermati, padahal ada 3 (tiga) surat suara,
yaitu untuk DPR, DPRD Tingkat I (Provinsi) dan DPRD Tingkat II (Kabupaten/Kota)
yang harus kita coblos.
Namun, apappun Sistem Pemilu yang akan
dipilih untuk digunakan, akan kembali kepada kita sendiri, apakah kita yakin
bahwa dengan Sistem Pemilu yang diterapkan bisa membawa aspirasi kita dengan
memilih calon anggota dewan yang akan menjadi wakil kita atau justru kita akan
menciptakan Orang Kaya Baru (OKB) mengingat besarnya gaji dan tunjangan yang
akan diterima anggota dewan terpilih dan kemudian orang yang kita pilih akan
melupakan kita?
Akhir kata, gunakan hati nurani kita saat
Pemilu dan kita tetap harus menggunakan hak pilih kita supaya Pemilu tidak
diisi oleh orang-orang yang justru akan merugikan bangsa dan negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar