Kamis, 22 Juni 2023

SISTEM PROPORSIONAL TERBUKA & SISTEM PROPORSIONAL TERTUTUP (BAGIAN 2 / SELESAI)


 

 

Melanjutkan pembahasan mengenai Sistem Pemilu, akan bermuara kepada suatu pertanyaan, Sistem Pemilu mana yang terbaik atau sistem pemilu mana yang sebaiknya digunakan oleh Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka kita harus kembali kepada tujuan utama dari Sistem Pemilu, yaitu untuk menciptakan DEMOKRASI dalam suatu negara, sistem manapun yang akan diterapkan.

 

Sistem demokrasi muncul ketika dalam suatu negara mulai diterapkan sistem pemerintahan otoriter atau sistem pemerintahan yang mengutamakan apa yang diucapkan atau diperintahkan oleh sang pemimpin, tidak boleh ditolak atau dibantah yang apabila ditolak atau dibantah bisa berakibat kematian bagi yang melakukannya tanpa dapat diketahui lagi jasadnya. Ketika hal tersebut terjadi, maka sudah dapat dipastikan tidak ada lagi demokrasi dalam negara tersebut dan tidak ada jaminan bagi kebebasan berpendapat.

 

Dalam sejarahnya, hampir setiap negara berasal dari sistem pemerintahan Monarki atau Kerajaan, baik di Benua Eropa, Benua Asia maupun Benua Amerika, yang semua penduduknya tunduk pada perintah Raja yang berkuasa. Dalam perkembangannya, pihak pemimpin Agama mulai ikut campur, hal ini bisa dilihat pada sistem Pemerintahan di Eropa, yaitu Pemimpin Gereja mempunyai kewenangan yang setara dengan kekuasaan Raja, yang kemudian sering menimbulkan gesekan-gesekan baik secara politik, ekonomi maupun kemanusiaan sehingga saat itu sering terjadi “pembunuhan” terhadap para pemimpin Agama yang dilakukan oleh alat kekuasaan Raja.

 

Kemudian, karena adanya gesekan-gesekan tersebut, kemudian berkembang adanya paham ketiga yaitu rakyat yang berkuasa untuk menentukan kehendak kehidupannya tanpa campur tangan Raja maupun pemimpin Agama. Gerakan inilah yang dikemudian hari dikenal sebagai demokrasi. Dalam perkembangannya, di negara yang masih berupa kerajaan, mulai juga diterapkan sistem demokrasi, yaitu dilakukan pemilihan yang dilakukan oleh rakyat warga negara tersebut terhadap Perdana Menteri yang akan melaksanakan tugas-tugas kenegaraan dengan masa tugas tertentu sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasarnya dan Raja hanya sebagai simbol dari negara tersebut. Contoh dari sistem ini ada di negara Inggris, Malaysia, Jepang dan beberapa negara lainnya.

 

Di negara-negara yang bukan Kerajaan, yaitu negara yang langsung menerapkan pemilihan terhadap Presiden yang akan melaksanakan tugas-tugas kenegaraannya, rakyat benar-benar sebagai pemegang kedaulatan dalam berpolitik. Rakyat yang langsung memilih pemimpinnya yang dianggap dipercaya atau bisa dipercaya akan membawa kesejahteraan bagi rakyat.

 

Bagaimana dengan di Indonesia? Di tahun 1950an Indoensia sempat menerapkan Demokrasi Terpimpin yaitu apapun hasil Pemilihan Umum, yang saat itu memilih Partai Politik, semuanya akan diserahkan kepada Pemimpin Tertinggi saat itu yaitu Presiden Ir. Sukarno dan Pemimpin Tertinggilah yang akan menentukan apakah hasil Pemilu akan dterima atau ditolak. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila pada saat itu sering terjadi pergantian Perdana Menteri sebagai pelaksana tugas kenegaraan karena kekuasaan tertinggi ada pada Presiden yang tidak bisa diganggu gugat. Dalam Pemilu pada saat itu, yaitu pada tahun 1971, diikuti kurang lebih ada sekitar 30an Partai Politik dengan berbagai macam ideologi politik ternasuk ideologi Komunisme, sehingga dengan masih terbatasnya perkembangan tekhnologi, khususnya dalam hal pencetakan surat suara, dan masih rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Indonesia pada saat itu, maka kita bayangkan bagaimana rumitnya Pemilu pada tahun 1955.

 

Di Pemilu berikutnya di tahun 1971, diikuti oleh 10 (sepuluh) Partai Politik dan 1 (satu) Organisasi Masyarakat yaitu Golongan Karya yang masih belum berbentuk Partai Politik hingga memasuki era Reformasi. Pemilu tahun 1971 secara kasat mata tentu lebih mudah dilaksanakan karena jumlah pesertanya tidak sebanyak Pemilu tahun 1955 dan meskipun masih belum terlihat nyata, mulai terlihat kekuatan Golongan Karya dibawah komando Presiden Suharto, menguasai segala lini kehidupan masyarakat tidak hanya dalam bidang politik. Hal ini berlanjut di Pemilu 1977, Pemilu Tahun 1982, Pemilu Tahun 1989, Pemilu 1992 dan Pemilu 1997 yang hanya diikuti 3 (tiga) kekuatan Politik yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sebagai Partai Politik nomor urut 1 di surat suara, Golongan Karya (Golkar), sebagai nomor urut 2 di surat suara dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), sebagai nomor urut 3 di surat suara dan selama masa Pemilu tersebut sudah dapat diketahui siapa pemenang Pemilu, bahkan sebelum Pemilu diselenggarakan.

 

Di masa Reformasi yaitu dimulai di sekitar tahun 1999, Pemilu diikuti oleh 48 (empat puluh delapan) Partai Politik. Penulis sendiri yang sudah mengikuti Pemilu sejak tahun 1992, di Pemilu tahun 1999, cukup bingung sebab untuk mencari nomor urutan Partai Politik yang akan dicoblos juga membutuhkan waktu yang cukup lama, bisa dibayangkan jika pemilih tersebut adalah warga masyarakat yang berusia lanjut maupun warga disabilitas.  Cukup sulit membaca surat suara yang mencantumkan logo dan nama Partai Politik yang berjumlah 48 (empat puluh delapan) tersebut karena ukurannya yang cukup kecil.

 

Di Pemilu tahun 2004, hanya diikuti oleh 24 (dua puluh empat) Partai Politik yang juga cukup membuat pusing ketika kita membuka surat suara karena banyaknya Partai Politik yang berpartisipasi. Di Pemilu tahun 2009 diikuti oleh 38 Partai Politik dan bisa dibayangkan bagaiman bingungnya ketika kita membuka surat suara. Hal ini berulang di Pemilu tahun 2014, meskipun hanya diikuti oleh 12 (dua belas) Partai Politik dan berulang lagi di Pemilu tahun 2019 yang diikuti oleh 14 (empat belas) Partai Politik Nasional dan 4 (empat) Partai Politik Lokal Aceh. Sejak Pemilu tahun 2014, kita baru mulai memilih langsung Presiden dan Wakil Presiden yang akan memimpin Indonesia.

 

Bagaimana dengan Pemilu thaun 2019? Jawabannya adalah tambah bingung dalam memilih, karena Pemilu tahun 2019 kita mulai memilih secara langsung calon anggota legislatif yang akan menajdi wakil kita di Dewan Perakilan Rakyat dalam setiap tingkatannya, baik di Pusat, di Provinsi maupun di Kabupaten/Kota. Bisa dibayangkan, jika masing-masing Partai Politik mencantumkan 5 (lima) orang calon anggota legislatif, maka setidaknya di dalam satu surat suara terdapat 48 (empat puluh delapan) nama dan foto calon anggota legislatif yang harus kita cermati, padahal ada 3 (tiga) surat suara, yaitu untuk DPR, DPRD Tingkat I (Provinsi) dan DPRD Tingkat II (Kabupaten/Kota) yang harus kita coblos.

 

Namun, apappun Sistem Pemilu yang akan dipilih untuk digunakan, akan kembali kepada kita sendiri, apakah kita yakin bahwa dengan Sistem Pemilu yang diterapkan bisa membawa aspirasi kita dengan memilih calon anggota dewan yang akan menjadi wakil kita atau justru kita akan menciptakan Orang Kaya Baru (OKB) mengingat besarnya gaji dan tunjangan yang akan diterima anggota dewan terpilih dan kemudian orang yang kita pilih akan melupakan kita?

 

Akhir kata, gunakan hati nurani kita saat Pemilu dan kita tetap harus menggunakan hak pilih kita supaya Pemilu tidak diisi oleh orang-orang yang justru akan merugikan bangsa dan negara.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...