Ketika kita
membicarakan mengenai Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), maka tidk akan terlepas
dari aset yang dimilki oleh para pelaku Tipikor tersebut. Disadari maupun
tidak, perilaku Tipikor akan berujung pada pengumpulan aset dalam berbagai
bentuk dan jumlah, baik dalam bentuk yang terlihat, misalnya dalam bentuk tanah
maupun bangunan ataupun bentuk yang tidak terlihat seperti surat berharga,
perhiasan, tabungan, deposito maupun bentuk lainnya.
Pertanyaannya
adalah apakah kita sebagai warga negara cukup mendapatkan informasi mengenai
daftar harta kekayaan yang dimilki oleh pejabat publik sebagaimana tercantum
dalam Laporan Hasil Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) ataupun dalam Laporan Hasil
Kekayaan Aparat Sipil Negara (LHASN) yang rutin dilaporkan setiap tahun? Dengan
banyaknya jumlah pejabat negara di negara kita, tentu sangat sulit untuk
memeriksa secara terperinci setiap LHKPN yang dilaporkan, apalagi terhadap
Aparatur Sipil Negara (ASN) yang jumlahnya jauh lebih banyak.
Dalam
jangka panjang perlu dipikirkan adanya lembaga khusus yang akan memeriksa
secara terperinci LHKPN dan LHASN yang dilaporkan setiap tahun. Hal ini perlu
dilakukan sebab selama ini tugas memeriksa LHKPN dan LHASN diserahkan
sepenuhnya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang juga disibukkan
dengan tugas pokoknya, melakukan pemberantasan korupsi. Dengan adanya lembaga
baru tersebut kiranya dapat bersinergi dengan aparat penegak hukum, baik
Kepolisian, Kejaksaan maupun KPK, sehingga hasil pemeriksaan LHKPN dan LHASN
bisa benar-benar mencerminkan fakta yang sebenarnya dari kekayaan pejabat
negara maupun ASN di Indonesia.
Akan
tetapi dalam jangka pendek, yang harus segera dilakukan adalah pembahasan
Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset yang sudah dibuat dan diserahkan
kepada Dewan Perwakiln Rakyat (DPR) lebih dari dua dasa warsa. Menjadi suatu
pertanyaan besar, mengapa pihak legislatif tidak berkenan untuk segera
membahasnya dan menjadikan RUU Perampasan Aset tersebut menjadi Undang-Undang
(UU) Perampasan Aset?
Meskipun
harus diakui bahwa dalam pembahasan sebuah RUU tentu ada kepentingan yang
bermain di dalamnya yang berujung pangkal pada masalah keuangan maupun
fasilitas yang bisa didapatkan setelah sebuah RUU berubah menjadi UU. Keadaan ini
tentu menjadi suatu penghalang bagi sebuah RUU yang bertujuan untuk menegakan
suatu usaha pemberantasan Tipikor. Khusus dalam hal pembahasan RUU Perampasan
Aset, dapat diduga bahwa ada pihak-pihak di pihak legislatif yang menjadi bagian
dari Tipikor, apalagi RUU terbeut sudah lebih dari dua dasa warsa tidak
dilakukan pembahasan.
Tugas
kita sebagai warga negara yang baik, kita harus bisa mendorong pihak legislatf
untuk segera melakukan pembahasan terhadap RUU Perampasan Aset dan apabila
pihak legislatif tidak berkenan untuk segera membahasnya, maka apa yang menjadi
kekhawatiran kita memang benar adanya. Hal ini disebabkan karena pelaku Tipikor
lebih takut dimiskinkan daripada dipenjara. Kenapa demikian? Karena apabila
hanya dipenjara dan membayar jumlah kerugian negara maka ketika sudah masih
masa pemidanaannya, pelaku Tipikor masih bisa menikmati harta miliknya untuk
berbagai kepentingan, termasuk untuk mencalonkan diri menjadi calon anggota legislatif.
Namun ketika pelaku Tipikor tersebut dimiskinkan, maka selepas menjalani masa
pemidanaan, pelaku Tipikor tersebut tidak akan mungkin bisa berbuat sesuka
hatinya dengan harta yang dimilikinya karena statusnya sudah menjadi milik
negara.
Semoga,
tulisan singkat ini bisa menjadi inspirasi bagi kita semua untuk terus
mendorong pembahasan RUU Perampasan Aset sehingga bisa menjadi UU Perampasan
Aset. Hal ini demi terciptanya Indonesia yang bebas dari korupsi dan tindak
pidana turunannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar