Kamis, 26 November 2015

CEK DAN CEK LAGI

<a href="http://www.linkreferral.com/adwel.pl?oldrefid=429921"><img src="http://www.linkreferral.com/images/linkreferal/newbanner.gif" border="0" alt="free web site traffic and promotion" width="468" height="60"></a>

SILAHKAN DICEK

<a href="http://www.linkreferral.com/adwel.pl?oldrefid=429921"><img src="http://www.linkreferral.com/images/linkreferal/linkbutton.gif" border="0" alt="free web site traffic and promotion" width="114" height="32"></a>

SILAHKAN VOTE DISINI


<!-- Begin BlogToplist voting code -->
<a href="http://www.blogtoplist.com/vote.php?u=231869" target="_blank">
<img src="http://www.blogtoplist.com/images/votebutton.gif" alt="Top Blogs" border="0" /></a>
<!-- End BlogToplist voting code -->

SILAHKAN CEK DISINI


<!-- Begin BlogToplist tracker code -->
<a href="http://www.ungentreprenor.se/" rel="external">ungentreprenor.se</a><br>
<a href="http://www.blogtoplist.com/academics/" title="Academics">
<img src="http://www.blogtoplist.com/tracker.php?u=231869" alt="Academics" border="0" /></a>
<!-- End BlogToplist tracker code -->

BUKU HUKUM


Bisa dipesan di Google Play Books (buka Play Store, klik BUKU, KLIK SEARCH/CARI, ketik santhos dan ENTER)
<a href="http://indonesia-blogger.com">INDONESIA-BLOGGER</a>
<a href="http://indonesia-blogger.com">BLOGGER INDONESIA</a>

Rabu, 25 November 2015

DISPARITAS PUTUSAN


KAJIAN YURIDIS DISPARITAS PIDANA TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI TEGAL TENTANG TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK


BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang Masalah
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur perbuatan dan tindakan yang bertentangan dengan hukum sekaligus sanksi yang dikenakan kepada siapa saja yang melakukannya sehingga dapat dikatakan bahwa hukum pidana memiliki fungsi ganda yakni sebagai sarana penanggulangan kejahatan dan sebagai sarana pengaturan tentang kontrol sosial baik secara spontan maupun secara tertulis oleh negara dengan alat perlengkapannya. Hukum pidana adalah merupakan hukum yang memiliki sifat khusus, yakni dalam hal sanksinya. Setiap kita berhadapan dengan hukum, pikiran kita menuju ke arah sesuatu yang mengikat perilaku seseorang di dalam masyarakat. Di dalamnya terdapat ketentuan tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan serta akibatnya. Yang disebut akibat adalah sanksi yang bersifat negatif yang disebut sebagai pidana (hukuman)[1]
Hukum pidana dan pelaksanaan hukum pidana merupakan objek beberapa ilmu pengetahuan. Jika ditinjau dari segi metodenya maka dalam ilmu pengetahuan hukum pidana yang sistematis terbagi menjadi dua yakni hukum pidana (hukum pidana materiil) dan hukum acara pidana (hukum pidana formal).[2] Hukum acara pidana berhubungan erat dengan diadakannya hukum pidana, oleh karena itu, merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.[3]
Titik tolak hakim menjatuhkan putusan pemidanaan didasarkan pada ancaman yang disebutkan dalam pasal pidana yang didakwakan. Penilaian tentang seberapa beratkah hukuman pidana yang pantas dijatuhkan kepada terdakwa sesuai dengan berat ringannya kesalahan terdakwa dalam perbuatan tindak pidana yang dilakukannya berada pada Hakim.
Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan : “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, yang dalam Pasal 1 angka 1 menyebutkan : “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.”
Oleh karena Hakim / Majelis Hakim memiliki kemerdekaan di dalam menjatuhkan pemidanaan maka dalam perkara pidana yang sama kemungkinan Hakim / Majelis Hakim akan menjatuhkan pemidanaan yang bervariasi terhadap terdakwa, inilah yang disebut sebagai disparitas pidana.
Disparitas pidana sendiri merupakan penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama atau terhadap tindak pidana yang sifat bahayanya dapat diperbandingkan tanpa dasar pembenaran yang jelas[4].
Disparitas pidana ini pun membawa problematika tersendiri dalam penegakan hukum di Indonesia. Di satu sisi pemidanaan yang berbeda/ disparitas pidana merupakan bentuk dari diskresi hakim dalam menjatuhkan putusan, tapi di sisi lain pemidanaan yang berbeda/disparitas pidana ini pun membawa ketidakpuasan bagi terpidana bahkan masyarakat pada umumnya. Muncul pula kecemburuan sosial dan juga pandangan negatif oleh masyarakat pada institusi peradilan, yang kemudian diwujudkan dalam bentuk ketidakpedulian pada penegakan hukum dalam masyarakat. Kepercayaan masyarakat pun semakin lama semakin menurun pada peradilan, sehingga terjadilah kondisi dimana peradilan tidak lagi dipercaya atau dianggap sebagai rumah keadilan bagi mereka atau dengan kata lain terjadi kegagalan dari sistem peradilan pidana. Main hakim sendiri pun menjadi sesuatu yang lebih baik dan lebih memenuhi rasa keadilan daripada mengajukan perkara mereka ke pengadilan. Keadaan ini tentu menimbulkan inkonsistensi putusan peradilan dan juga bertentangan dengan konsep rule of law yang dianut oleh Negara kita, dimana pemerintahan diselenggarakan berdasarkan hukum dan didukung dengan adanya lembaga yudikatif yakni institusi peradilan untuk menegakkan hukum, apa jadinya jika masyarakat tidak lagi percaya pada penegakan hukum di Indonesia.
Disparitas pidana timbul karena adanya penjatuhan hukuman yang berbeda terhadap tindak pidana yang sejenis. Penjatuhan pidana ini tentunya adalah hukuman yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana sehingga dapatlah dikatakan bahwa figur hakim di dalam hal timbulnya disparitas pemidanaan sangat menentukan. Lebih spesifik dari pengertian itu, menurut Harkristuti Harkrisnowo disparitas pidana dapat terjadi dalam beberapa kategori yaitu:
1.        Disparitas antara tindak tindak pidana yang sama
2.        Disparitas antara tindak tindak pidana yang mempunyai tingkat keseriusan yang sama
3.        Disparitas pidana yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim
4.        Disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda untuk tindak pidana yang sama[5]
Sementara itu dari perspektif ilmu pemidanaan, Paulus Hadisuprapto (2003) meyakini bahwa penjatuhan pidana terhadap anak nakal (delinkuen) cenderung merugikan perkembangan jiwa anak di masa mendatang. Kecenderungan merugikan ini akibat dari efek penjatuhan pidana terutama pidana penjara, yang berupa stigma (cap jahat). Dikemukakan juga oleh Barda Nawawi Arief, 1994, pidana penjara dapat memberikan stigma  yang akan terbawa terus walaupun yang bersangkutan tidak melakukan kejahatan lagi. Akibat penerapan stigma bagi anak akan membuat mereka sulit untuk kembali menjadi anak ”baik”.[6]
Pada Putusan Pengadilan Negeri Tegal di mana pelakunya adalah anak-anak, majelis hakim menjatuhkan hukuman/pemidanaan yang berbeda-beda meskipun putusan tersebut mengenai tindak pidana yang sama dan dilakukan oleh anak. Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk meneliti mengenai disparitas pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana ini dalam sebuah penelitian.
B.            Rumusan Masalah
1.        Bagaimana kajian yuridis disparitas pidana terhadap Putusan Pengadilan Negeri Tegal tentang tindak pidana yang dilakukan oleh anak ?
2.        Bagaimana pertimbangan hakim sehingga terjadi disparitas pidana di dalam putusan Pengadilan Negeri Tegal terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    SISTEM HUKUM PIDANA DAN PEMIDANAAN
A.I. SISTEM HUKUM PIDANA
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur perbuatan dan tindakan yang bertentangan dengan hukum sekaligus sanksi yang dikenakan kepada siapa saja yang melakukannya sehingga dapat dikatakan bahwa hukum pidana memiliki fungsi ganda yakni sebagai sarana penanggulangan kejahatan dan sebagai sarana pengaturan tentang kontrol sosial baik secara spontan maupun secara tertulis oleh negara dengan alat perlengkapannya. Hukum pidana adalah merupakan hukum yang memiliki sifat khusus, yakni dalam hal sanksinya yaitu pemidanaan.
Di Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, WvS (Wetboek van Strafrecht) dinasionalisasi menjadi Hukum Pidana Nasional dalam bentuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang merupakan warisan peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958, WvS atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia. Pemberlakuan tersebut sesuai dengan Ketentuan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang masih memberlakukan peraturan-peraturan peninggalan Kolonial Belanda selama belum ada penggantinya.
Peraturan perundang-undangan merupakan salah satu unsur dari adanya Sistem Hukum di suatu Negara. Friedman mengatakan, “Suatu sistem hukum adalah organisasi yang kompleks dimana terjadi interaksi antara struktur, substansi dan budaya. Struktur Hukum adalah sistem peradilan, Substansi Hukum adalah peraturan dan yang dimaksud Budaya Hukum adalah unsur-unsur dari perilaku sosial dan nilai-nilai dalam masyarakat”.[39]
Romli Atmasasmita, mengatakan bahwa, “Sistem Peradilan Pertama (SPP) untuk pertama kali diperkenalkan oleh pakar hukum pidana dan para ahli dalam criminal justice science di Amerika Serikat, sejalan dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatut penegak hukum dan institusi penegakan hukum”.[40]
Sudarto berpendapat bahwa, “Yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu”, sedangkan Roeslan Saleh menyatakan bahwa, “Pidana adalah reaksi atas delik dan ini berujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan Negara kepada pembuat delik itu”.[41]
Pengertian HAKIM adalah sebagaimana termuat dalam Pasal 1 angka 5, 6, 7 dan 9 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman. Pasal 1 angka 5 menyebutkan, Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkunganperadilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut”,  Pasal 1 angka 6 menyebutkan, “Hakim Agung adalah hakim pada Mahkamah Agung”, Pasal 1 angka 7 menyebutkan, “Hakim Konstitusi adalah hakim pada Mahkamah Konstitusi”, dan Pasal 1 angka 9 menyebutkan, “Hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman dibidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang”.[42]
Profesi Hakim adalah profesi dengan pekerjaan kemanusiaan yang tidak boleh jatuh kedalam dehumanizing yang bersifat logic mechanical hingga dapat terperosok pada jurang alienasi hukum dari manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Hakim bertanggung jawab untuk mengembalikan hukum kepada pemilik hukum itu yaitu manusia. Hukum untuk manusia sebagai alat untuk mewujudkan kesejahteraan manusia, bukan hukum untuk hukum itu sendiri.
A.2. PEMIDANAAN        
Pada dasarnya, aspek pemidanaan merupakan “puncak” dari Sistem Peradilan Pidana yaitu dengan dijatuhkan putusan hakim. Secara teoritik, dalam kepustakaan baik menurut ruang lingkup sistem Anglo-Saxon maupun Eropa Kontinental terminologi peradilan pidana sebagai sebuah sistem relatif masih diperdebatkan.[43]
Pemindanaan utamanya ditujukan kepada orang yang melakukan kesalahan, sedangkan Mezger mendefinisikan kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat tindak pidana.[44]
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menyebutkan,“Peradilan dilakukan DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.[45] Hal ini menunjukkan bahwa dalam proses peradilan sepenuhnya terdapat unsur rohaniah, yang akan senantiasa menjaga keluhuran harkat dan martabat Para Aparat Penegak Hukum di dalam menjalankan tugas-tugasnya.Terutama bagi para HAKIM yang bertugas untuk menerima, memeriksa dan memutus suatu perkara tanpa memandang status sosial dan keadaan lainnya dari para pencari keadilan.
Kebijakan hukum pidana hakikatnya merupakan “usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana agar sesuai dengan keadaan pada waktu tertentu dan masa mendatang (ius constituendum)”.[46]
Hakekat kebebasan hakim adalah jika seorang hakim dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dalam menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat serta bebas dari berbagai pengaruh dan berbagai kepentingan baik dari dalam maupun dari luar, termasuk kepentingan dirinya sendiri demi tegaknya hukum dan keadilan. Misi hukum yang diemban oleh hakim sebagaimana tesis Gustav Radbruch adalah hakim berada dalam ranah ideal (das sollen) dan ranah empirik (das sein). Adapun tugas hakim adalah menarik ranah ideal ke dalam ranah empirik seakan-akan hukum yang ada di dunia kenyataan dihimbau untuk mengikuti hukum yang ada di dunia ide sebagaimana yang dimaksudkan hukum alam.Sebagai suatu proses, penegakan hukum tidak pernah selesai karena salah satu yang ditegakkan adalah keadilan yang merupakan nilai yang tidak dapat dimaknai secara subyektif.[47]
Undang-Undang juga telah secara tegas memberikan perlindungan kepada Hakim dalam melaksanankan tugas-tugasnya meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa Hakim harus dianggap tahu terhadap seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Mendasarkan pada fungsi peradilan di atas, maka perilaku jajaran aparat penegak hukum, khususnya Integrated Kriminal Justice Sistem dan lebih khusus lagi adalah perilaku Hakim menjadi salah satu barometer utama dari suatu Negara hukum untuk mengukur tegak tidaknya hukum dan undang-undang. Aparat penegak hukum menjadi titik sentral dalam proses penegakan hukum (Law enforcement prosess) yang harus memberikan teladan dan konsekwen dalam menjalankan hukum dan undang-undang. [48]
Noyon-Langemeyer sebagaimana dikutip oleh MR. Roeslan Saleh, berpendapat, “Dengan jalan menyatakan sesuatu perbuatan dapat dipidana, maka pembentuk Undang-Undang memberitahukan, bahwa dia memandang perbuatan itu sebagai bersifat melawan hukum, atau selanjutnya akan dipandangnya seperti demikian. Dipidananya sesuatu yang tidak bersifat melawan hukum tidak ada artinya”.[49]Selanjutnya Roeslan Saleh menambahkan bahwa, “Aturan Pidana itu adalah aturan hukum yang berisikan penilaian, bahwa kelakuan-kelakuan yang berhubungan dengan aturan hukum itu adalah baik dan jelek bagi masyarakat dan karenanya sepatutnyalah jikalau kelakuan demikian boleh dilakukan ataupun tidak boleh dilakukan dalam kehidupan masyarakat”.[50]
Sejalan dengan Sosiological Jurisprudence sebagaimana diungkapkan oleh Sudarto, yang mengatakan bahwa, “Di dalam ajaran hukum yang fungsionil, hukum dipandang sebagai instrument untuk pengaturan masyarakat (as tool for social engineering)”.[51]Pandangan serupa diutarakan oleh Mochtar Kususatmaja, yang menyebutkan, “Hukum merupakan suatu lat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat mengingat fungsinya, hukum pada dasarnya adalah konservatif, yang berarti hukum memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai. Fungsi demikian diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk masyarakat yang sedang membangun. Karena disinilah adal hasil-hasil yang harus dipelihara, dilindungi dan diamankan. Akan tetapi masyarakat yang sedang membaangun atau sedang berubah cepat, hukum tidak cukup memiliki fungsi demikain saja. Ia juga harus dapat membantu proses perubahan masyarakat”.[52]
Herbert L. Packer pernah mengingatkan bahwa penggunaan sanksi pidana secara sembarangan/tidak pandang bulu/menyamaratakan dan digunakan secara paksa (coercively) akan menyebabkan sarana pidana itu menjadi suatu “pengancam yang utama” (prime threatener)[53]
Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan, “Tiada suatu perbuatan dapat dihukum kecuali didasarkan pada ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah diadakan lebih dulu”. Azas ini dikenal dengan AZAS LEGALITAS dan menurut Drs. P.A.F. Lamintang, SH dan C. DJISMAN SAMOSIR, SH, “Dalam HR 12 Nopember 1900 W.7525 disebutkan bahwa penafsiran terhadap ketentuan yang telah dinyatakan dengan tegas tidaklah boleh menyimpang dari maksud pembuat undang-undang, sedangkan dalam HR 21 Juni 1943 No.559 disebutkan bahwa suatu pengertian atau perkataan di dalam undang-undang itu kadang-kadang sesuai dengan perkembangan jaman, berubah artinya atau maksud yang sebenarnya, sehingga terdapat perbuatan yang semula tidak termasuk ke dalam suatu pengertian, kemudian masuk ke dalamnya. Karenanya Hakim dapat memutuskannya dengan memperhatikan kesadaran yang hidup di dalam masyarakat mengenai pantas atau tidaknya sesuatu perbuatan itu dipandang sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum”.[54]
Lebih lanjut, Lamintang mengemukakan, “Pasal 1 ayat (1) KUHP memuat dua azas yang sangat penting yaitu :nulla poena sine lege yang berarti tiada orang dapat dihukum tanpa kesalahan dan bahwa kesalahan tersebut haruslah telah dicantumkan terlebih dahulu di dalam undang-undang sebagai suatu sikap atau perbuatan yang dilarang atau diancam dengan hukuman oleh undang-undang, daripada terjadinya sikap atau perbuatan yang melanggar larangan undang-undang tersebut. Asas kedua adalah larangan untuk mempergunakan penafsiran secara analogi di dalam lapangan hukum pidana”.[55]
Ketua Mahkamah Agung periode 2009 – 20012, Harifin Tumpa, pernah menyatakan sebagaimana dikutip dalam media online, “Pasal 22 AB menyatakan bahwa “Hakim yang menolak untuk menyelesaikan suatu perkara dengan alasan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas, atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut untuk dihukum, karena menolak mengadili.”[56] Hal senada, Pasal 16 ayat (1) UU 4/2004 menegaskan,“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”Berdasarkan ketentuan ini, maka terhadap kasus-kasus konkret ketika diajukan ke pengadilan yang ketentuan perundang-undangannya belum ada, kurang jelas, atau tidak lengkap, hakim harus tetap menjalankan fungsi pembentukan hukum dengan cara “menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat” (Pasal 28 ayat (1) UU 4/2004)”.[57]
Lebih lanjut, Bismar Siregar, berpendapat sebagai berikut, “Yang pertama-tama patut diperhatikan dalam pemberian pidana, bagaimana caranya agar hukuman badaniah mencapai sasaran, mengembalikan kepseimbangan yang telah terganggu akibat perbuatan si tertuduh, karena tujuan penghukuman tiada lain mewujudkan kedamaian dalam kehidupan manusia”.[58]
Menurut Martadha Muthahari, “Maksud pokok hukuman adalah untuk memelihara dan menciptakan kemaslahatan manusia dan menjaga mereka dari hal-hal yang mafsadah, karena Islam sebagai rahmatan lil’alamin, untuk memberi pelajaran dan petunjuk kepada manusia. Maka hukuman ditetapkan utnuk memperbaiki individu, menjaga masyarakat dan tertib sosial”.[59]
Bahwa seorang Hakim sudah seharusnya tidak hanya sebagai corong undang-undang yaitu hanya berpedoman pada hukum yang tertulis saja yaitu undang-undang, akan tetapi Hakim juga harus mengerti dan memahami akan hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat.
A.3. DISPARITAS PUTUSAN PIDANA
Meskipun jenis-jenis tindak pidana maupun jenis-jenis pidana yang dapat dijatuhkan telah diatur sedemikian rupa, akan tetapi tidak menutup kemungkinan timbul adanya disparitas dari putusan Hakim terhadap tindak pidana yang sejenis ataupun tindak pidana yang mempunyai kualifikasi yang sama. Telah banyak sarjana hukum yang memberikan pengertian dari diparitas putusan itu dan sebab-sebab timbulnya disparitas putusan terhadap perkara pidana.
Sebelum membahas mengenai disparitas terhadap putusan pidana, perlu kiranya kita cermati pendapat dari Jimly Asshidiqie, “Sistem hukum Indonesia sangat dipengaruhi oleh pemikiran hukum barat tetapi falsafah hukum dan budaya hukum Indonesia menuntut watak hukum yang berbeda dari watak hukum barat”.[60]
Muladi berpendapat bahwa keputusan di dalam pemidanaan akan mempunyai konsekuensi yang luas, baik yang menyangkut langsung pelaaku tindak pidana maupun masyarakat luas.[61]
Hakim sebagai salah satu Aparat Penegak Hukum, memiliki kebebasan untuk menjatuhkan pidana terhadap perkara pidana yang disidangkannya. Sebagai akibatnya, akan menimbulkan adanya disparitas putusan terhadap perkara-perkara yang mempunyai kualifikasi yang sama maupun sejenis.
Yang dimaksud dengan disparitas pidana dalam hal ini tidak hanya meliputi penerapan pidana yang tidak sama untuk tindak – tindak pidana yang sama tanpa dasar pembenaran yang jelas, tetapi juga untuk tindak – tindak pidana yang “comparable seriousness”.[62]
Pendapat lain mengatakan “Disparitas Pidana adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan tanpa dasar pembenaran yang jelas”.[63]
Mahkamah Agung Republik Indonesia memberikan komentar mengenai disparitas pidana, yaitu, “Disparitas putusan-putusan hakim dikarenakan, sistem hukum Indonesia sampai detik ini sebagian besar masih meresepsikan sistem hukum eropa kontinental, dimana hakim diberi kebebasan sepenuhnya memutus perkara didasarkan atas fakta, bukti serta terakhir didasarkan kepada nuraninya sendiri. Berbeda dengan hakim-hakim di negara-negara yang menganut sistem anglo saxon yang lebih mendasarkan putusan-putusan pengadilan kepada preseden hakim-hakim terdahulu yang pernah memutus perkara yang sama”.[64].
Disparitas putusan pidana, baik secara langsung maupun tidak langsung, juga membawa dampak bagi masyarakat yaitu bahwa masyarakat cenderung akan menjadi skeptis dan apatis terhadap hukum. Dalam upaya penanggulangan timbulnya disparitas pidana dalam putusan, maka setidaknya pendekatan yang harus dilakukan secara kontinyu dan konsisten yaitu dengan memperkecil disparitas putusan pidana itu sendiri sehingga memperkecil pengaruh atau dampak negatif dari disparitas putusan pidana tersebut. Dengan demikian, timbulnya disparitas pidana akan dapat dicegah sedini mungkin dan akibat-akibat yang ditimbulkannya juga akan dapat ditanggulangi.[65]
Hakekat kebebasan hakim adalah jika seorang hakim dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dalam menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat serta bebas dari berbagai pengaruh dan berbagai kepentingan baik dari dalam maupun dari luar, termasuk kepentingan dirinya sendiri demi tegaknya hukum dan keadilan. Misi hukum yang diemban oleh hakim sebagaimana tesis Gustav Radbruch adalah hakim berada dalam ranah ideal (das sollen) dan ranah empirik (das sein).[66]
Pandangan lain juga muncul terhadap disparitas pidana, yaitu “Disparitas pidana ini pun membawa problematika tersendiri dalam penegakan hukum di Indonesia. Di satu sisi pemidanaan yang berbeda/ disparitas pidana merupakan bentuk dari diskresi hakim dalam menjatuhkan putusan, tapi di sisi lain pemidanaan yang berbeda/disparitas pidana ini pun membawa ketidakpuasan bagi terpidana bahkan masyarakat pada umumnya”[67].
Berkaitan dengan disparitas pidana, Muladi berpendapat bahwa disparitas pemidanaan mempunyai dampak yang dalam karena terkandung perimbangan konstitusional antara kebebasan individu dan hak negara untuk memidana.[68] Lebih lanjut lagi Muladi mengatakan bahwa, “Sesuatu yang tidak diharapkan akan terjadi bilaman disparitas pidana tersebut tidak dapat diatasi, yakni timbulnya demoralisasi dan sikap anti rehabilitasi di kalangan terpidana yang dijatuhi pidana yang lebih berat daripada yang lain di dalam kasus yang sebanding”.[69]
Muladi, juga mengatakan, “Di dalam hukum positif Indonesia, hakim mempunyai kebebasan yang sangat luas untuk memilih jenis pidana (strafsoort) yang dikehendaki, sehubungan dengan penggunaan sistem alternatif di dalam pengancaman pidana di dalam undang-undang”.[70]
Salah satu penyebab dari timbulnya disparitas pemidanaan adalah sebagaimana diuraikan oleh Sudarto, “KUHP kita tidak memuat pedoman pemberian pidana (straftoemetingsleiddraad) yang umum, ialah suatu pedoman yang dibuat oleh pembentuk undang-undang yang memuat asas-asas yang perlu diperhatikan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana, yang ada hanya aturan pemberian pidana”.[71]
B.     TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK
B.1. PENGERTIAN ANAK
Sampai saat ini masih belum ada kesepakatan mengenai pengertian dan batas usia seorang anak. Akan tetapi penegertian ANAK adalah sebagaimana dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak yang menyatakan “Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) Tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas tahun) dan belum pernah kawin”. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak dalam Pasal 1 angka 3 menyebutkan, “Bahwa anak yang berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut ANAK adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) Tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) Tahun yang diduga melakukan tindak pidana”.
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, disebutkan bahwa, “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), anak adalah keturunan kedua, sedangkan dalam konsideran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dikatakan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.[72]
Ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tersebut, telah nyata bahwa Pemerintah Republik Indonesia sangat memperhatikan kesejahteraan anak, sebab anak adalah masa depan bagi suatu bangsa, sebagaimana Kalifah Umar RA pernah berkata, “Barangsiapa ingin menggengam nasib suatu bangsa, maka genggamlah para pemudanya”.[73]
B.2. KENAKALAN ANAK DAN TINDAK PIDANA ANAK
Selanjutnya, apa yang dimaksud dengan KENAKALAN ? Dalam penjelasan Pasal 489 KUHP sebagaimana diutarakan oleh R. SOESILO, bahwa KENAKALAN (BALDADIGHEID) adalah “Semua perbuatan orang, berlawanan dengan ketertiban umum, ditujukan pada orang, binatang dan barang yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian atau kesusahan yang tidak dapat dikenakan salah satu pasal khusus dalam KUHP”.[74] Secara tradisonal, para ahli sosiologi di Amerika memasukkan KENAKALAN (ANAK) ke dalam Konsepsi Perilaku Menyimpang, selain perbuatan kriminal, prostitusi, penggunaan dan ketergantungan obat dan lain sebagainya.[75]
M. Nasir Djamil memandang, bahwa ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia harus berhadapan dengan hukum,     yaitu :[76]
1)            Status Offence, adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah ;
2)            Juveile Deliquency, adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum.
Sebagaimana Rasulullah SAW pernah bersabda, “Dihapuskan ketentuan hukum dari tiga orang yang tidur sampai ia bangun dan dari orang gila sampai ia sembuh serta dari anak kecil samapi ia dewasa”.[77]
C.    DISPARITAS PUTUSAN PIDANA ANAK PADA PUTUSAN PENGADILAN NEGERI TEGAL
Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak menyebutkan bahwa, “Hakim memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat pertama sebagai hakim tunggal.”. Sedangkan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak menyebutkan, “Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, Ketua Pengadilan Negeri dapat menetapkan pemeriksaan perkara anak dilakukan dengan Hakim Majelis”.[78]
Pada Putusan Pengadilan Negeri Tegal yaitu adalah putusan pemidanaan terhadap perkara pidana yang dilakukan oleh anak, yaitu Putusan Nomor : 1/Pid.Sus/2013/PN.Tgl atas nama Terdakwa FREDIAWAN Bin SOHIDIN dan Putusan Nomor : 28/Pid.Sus/2013/PN.Tgl atas nama Terdakwa MOHAMAD ABDUL AZIS Bin SARDIYAN yang kedua Terdakwanya adalah Terdakwa Anak, Pengadilan Negeri tegal telah menjatuhkan putusan yang berbeda meskipun dengan kualifikasi tindak pidana yang sama. Hal ini dikarenakan adanya pemahaman yang berbeda dan juga latar belakang yang berbeda dari Hakim yang menyidangkannya, yaitu pada Putusan Nomor 1/Pid.Sus/2013/PN.Tgl, Hakim menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan sedangkan dalam Putusan Nomor 28/Pid./Sus/2013/PN.Tgl, Hakim menjatuhkan pidana berupa pidana penjara selama 5 (lima) bulan.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN


A.    KESIMPULAN
Dari uraian-uraian sebagaimana tersebut di atas, maka dapat kita ambil kesimpulan, bahwa terjadinya Disparitas Putusan Pengadilan Negeri Tegal tentang tindak pidana yang dilakukan oleh Anak adalah karena :
¨      Di dalam hukum positif Indonesia, Hakim mempunyai kebebasan yang sangat luas untuk memilih jenis pidana (strafsoort) yang dikehendaki, sehubungan dengan penggunaan sistem alternatif di dalam pengancaman pidana di dalam undang-undang ;
¨      Sistem hukum Indonesia sampai detik ini sebagian besar masih meresepsikan sistem hukum eropa kontinental, dimana hakim diberi kebebasan sepenuhnya memutus perkara didasarkan atas fakta, bukti serta terakhir didasarkan kepada nuraninya sendiri. Berbeda dengan hakim-hakim di negara-negara yang menganut sistem anglo saxon yang lebih mendasarkan putusan-putusan pengadilan kepada preseden hakim-hakim terdahulu yang pernah memutus perkara yang sama
¨      KUHP kita tidak memuat pedoman pemberian pidana (straftoemetingsleiddraad) yang umum, ialah suatu pedoman yang dibuat oleh pembentuk undang-undang yang memuat asas-asas yang perlu diperhatikan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana, yang ada hanya aturan pemberian pidana ;
¨      Latar belakang dari Hakim itu sendiri maupun kondisi sosial budaya di tempat Hakim tersebut bertugas ;
¨      Disparitas juga diatur di dalam Undang-Undang yaitu berdasarkan UU Kekuasaan Kehakiman No.48/2009 (yang mencabut UU No.4/2004 jo. UU No.14/1970 jo. UU No.35/1999),  dalam Pasal 5 ayat (1) menyatakan Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat ;
B.     SARAN
Uraian-uraian tersebut di atas, maka kami memberanikan diri untuk memberikan saran terutama untuk mengurangi adanya disparitas pemidanaan khususnya dalam perkara pidana yang dilakukan oleh anak, yaitu sebagai berikut :
1)      Diperlukan adanya ketentuan batas minimum dan maksimum bagi anak yang melakukan tindak pidana ;
2)      Sebagai langkah preventif, perlunya pembinaan kesadaran mental masyarakat berupa kesadaran beragama, dan hidup rumah tangga yang harmonis, yang diharapkan dapat mencegah seorang anak melakukan tindak pidana yang pada akhirnya akan merugikan anak tersebut, maupun keluarga dan lingkungannya ;
3)      Adanya koordinasi yang lebih baik diantara Aparat Penegak Hukum (APH) di dalam penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan oleh Anak. 
DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku

Achmad Ali, 2008, Menguak Tabir Hukum, Edisi Kedua, Bogor, Ghalia.

Ali Mansyur, HM, 2010, Aneka Persoalan Hukum, Masalah Perjanjian, Konsumen & Pembaharuan Hukum, Semarang, Unissula Press.

Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana, Edisi Kedua, Jakarta, Sinar Grafika.

Bagir Manan dkk, 1997, Pengadilan Anak di Indonesia, Cetakan Pertama, Bandung, Mandar Maju.,

Barda Nawawi, 2012, Kapita Selekta Hukum Pidana, Cetakan Ketiga, Semarang, PT. Citra Adtya Bakti.

Budi Kusumohamidjojo, 2011, Filsafat Hukum, Problematik Ketertiban Yang Adil, Cetakan Pertama, Bandungm CV. Mandar Maju.

L & J Law Firm. 2009. Bila Anda Menghadapi Masalah Hukum. Hak Anda saat Digeledah, Disita, Ditangkap, Ditahan, Didakwa dan Dipenjara. Jakarta. Forum Sahabat

Leden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika

-----------------. 2010. Proses Penanganan Perkara Pidana. Jakarta : Sinar Grafika.

M. Nasir Djamil, 2013, Anak Bukan Untuk Dihukum, Cetakan Kedua, Jakarta, Sinar Grafika.

Moeljatno, 1983, Asas-asas hukum Pidana, Jakarta: PT. Bina Aksara

Muladi dan Barda Nawawi, 2005, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung

Peter Mahmud Marzuki. 2006.Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media Group. Jakarta


R. Soesilo, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Penerbit Politeia – Bogor

Romly Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Bandung, Bina Cipta.

Romly Atmasasmita, 2012, Teori Hukum Progresif, Cetakan Kedua, Yogyakarta, Genta Publishing.

Ronny Hanitijo Soemitro, 1979, Permasalahan Hukum Di Dalam Masyarakat, Bandung, Alumni.

Roeslan Saleh, 1981, Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Pidana, Jakarta, Aksara Baru.

Setya Wahyudi, 2011, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Hukum Peradilan Anak Di Indonesia, Yogyakarta, Genta Publishing

Steven Allen, Kata Pengantar, dalam Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, 2003, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia, UNICEF, Indonesia

Sudarto, 1980, Asas-asas Hukum Pidana. FH UNDIP Semarang

Sudarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Kajian Terhadapa Pembaharuan Hukum Pidana, Bandung, Sinar Baru.

Sri Endah Wahyuningsih, 2013, Perbandingan Hukum Pidana Dari Perspektif religious Law System,Semarang, Unssula Press.

Sri Endah Wahyuningsih, 2013, Prinsip-Prinsip Individualisasi Pidana Dalam Hukum Pidana Islam dan Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Semarang, Unissula Press.

Teguh Prasetyo, 2010, Hukum Pidana, Yogyakarta: RajaGrafindo Perkasa

Tirtaadmidjaja, 1953. Kedudukan Hakim dan Jaksa. Jakarta : Fasco.

Thomat E.Davitt, 2012, Nilai-Nilai Dasar Di Dalam Hukum, Menganalisa Implikasi-Implikasi Psikologi dan Antropologi bagi Lahirnya Hukum, Cetakan Pertama, Yogyakarta, Pallmal.

Tolib Effendi, 2013, Sistem Peradilan Pidana, Perbandingan Komponen dan Proses Sistem Peradilan Pidana di Beberapa Negara, Cetakan Pertama, Jakarta, PT. Buku Seru.

Wirjono Prodjodikoro, 1986, Tindak-tindak Pidana tertentu di Indonesia, Bandung, Eresco

Yahya Harahap, 2003, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta: Sinar Grafika

Perundang-undangan

Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Putusan Pengadilan Negeri Tegal tentang tindak pidana yang dilakukan oleh anak

Internet

http://www://harkristutiharkrisnowo.com/disparitas

http://www//praditaadnan.wordpress.com/2008/04/11/halo-dunia


http://manunggalkusumawardaya.wordpress.com/2010/07/07/perlindungan-terhadap-anak-yang-melakukan-tindak-pidana/

http://adl.aptik.or.id/default.aspx?tabID=61&src=k&id=591169

http://appehutauruk.blogspot.com/2013/04/disparitas-pidana-suatu-conclusie.html

http://abdulaffandi.wordpress.com/2012/01/03/keadilan-kepastian-atau-kemanfaatan-hukum/



http://www.yasni.com/ext.php?url=http%3A%2F%2Fbadilag.net%2Fdata%2FARTIKEL%2FWACANA%2520HUKUM%2520ISLAM%2FPerspektif%2520filsafat%2520hukum.pdf&name=Hakim+Net+Keadilan&cat=document&showads=1


http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18596/yusti-probowati-rahayu-kalau-sedang-tidak-imoodi-hakim-jangan-ambil-putusan



http://alumni.unair.ac.id/kumpulanfile/6512839034_abs.pdf


http://devidarmawan.wordpress.com/2010/10/07/problematika-disparitas-pidana-dalam-penegakan-hukum-di-indonesia/

http://pta-mataram.go.id/berita/berita-utama/yurisprudensi-mengurangi-disparitas-putusan-pengadilan.html



[39] Romli Atmasasmita,Tahun 2012, Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Hukum Pembangunan dan Pembangunan Hukum Progresif, Yogyakarta, Penerbit Genta Publishing, h.60.
[40] Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensi dan Abolisionisme, Bandung, Penerbit Binacipta, h.7.
[41] Sri Endah Wahyuningsih, 2013, Prinsip-Prinsip Individualisasi Pidana Dalam Hukum Islam, Semarang, Badan Penerbit UNDIP, h.116..

[42] www.hukumonline.com., 20 Agustus 2013 ;
[44] Sri Endah Wahyuningsih,SH.M.Hum, Op.Cit., h.16.

[45] www.hukumonline.com.

[47]http://www.yasni.com/ext.php?url=http%3A%2F%2Fbadilag.net%2Fdata%2FARTIKEL%2FWACANA%2520HUKUM%2520ISLAM%2FPerspektif%2520filsafat%2520hukum.pdf&name=Hakim+Net+Keadilan&cat=document&showads=1, 19 Agustus 2013, 19 Agustus 2013 ;

[49] Roeslan Saleh, 1981, Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Pidana, Cetakan Ketiga, Yogyakarta, Aksara Baru, h.7.
[50] Ibid.
[51] Sudarto, Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat, Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, 1983, Bandung, Sinar Baru, h.5.
[52] Ibid, h.10.
[53] Herbert L. Packer, 1968, The Limits of the Criminals  Sanctions, Stanford University Press, California,  h.87

[54] P.A.F. Lamintang, dan C. Djisman Samosir, 1983, Hukum Pidana Indonesia, Cetakan I, Bandung, h.1.
[55] Ibid, h.3.
[58] Muladi dan Barda Nawawi A, Op.Cit., h.24-25.  

[59] Sri Endah Wahyuningsih, Op. Cit, h. 79.              

[60] Sri Endah Wahyuningsih, Op.Cit.,h.36-37.
[61] Muladi dan Barda Nawawi A, Op.Cit.,h.52.
[62] http://appehutauruk.blogspot.com/2013/04/disparitas-pidana-suatu-conclusie.html

[64]http://pta-mataram.go.id/berita/berita-utama/yurisprudensi-mengurangi-disparitas-putusan-pengadilan.html, 20 Agustus 2013 ;
[66]http://www.yasni.com/ext.php?url=http%3A%2F%2Fbadilag.net%2Fdata%2FARTIKEL%2FWACANA%2520HUKUM%2520ISLAM%2FPerspektif%2520filsafat%2520hukum.pdf&name=Hakim+Net+Keadilan&cat=document&showads=1, 20 Agustus 2013 ;

[67]http://devidarmawan.wordpress.com/2010/10/07/problematika-disparitas-pidana-dalam-penegakan-hukum-di-indonesia/, 20 Agustus 2013 ;

[68] Muladi dan Barda Nawawi A, Op.Cit.,h.53.
[69] Ibid,h.54.
[70] Ibid, h.56.
[71] Ibid,h.57.
[72] M. Nasir Djamil, Op.Cit.,h.8.
[73] M. Nasir Djamil, Op.Cit.,h.4.


[74]R. Soesilo, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor, Politeia, h.320 ;
[75]Saparinah Sadli, 1976, Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Menyimpang, Jakarta, Bulan Bintang, h.33.
[76] M. Nasir Djamil, Op.Cit.,h.33.

[77] Ibid, h.4.
[78] Ibid.

[1] L & J Law Firm. 2009. Bila Anda Menghadapi Masalah Hukum. Hak Anda saat Digeledah, Disita, Ditangkap, Ditahan, Didakwa dan Dipenjara. Jakarta. Forum Sahabat, h. 2-3
[2] Ibid, h.  25
[3] Leden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, h.  2-3
[4] www://harkristutiharkrisnowo.com/disparitas, diakses 11 Oktober 2013 ;
[5] www://harkristutiharkrisnowo.com/disparitas, diakses 11 Oktober 2013 ;
[6]http://manunggalkusumawardaya.wordpress.com/2010/07/07/perlindungan-terhadap-anak-yang-melakukan-tindak-pidana/, 11 Oktober 2013 ;

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...