PENEGAKAN HUKUM YANG
SELARAS DENGAN KEADILAN DALAM MASYARAKAT, SEBAGAI MANIFESTASI SUPREMASI HUKUM
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH[1]
BAB I LATAR BELAKANG
Perkembangan dinamika kehidupan
masyarakat menuntut pula perkembangan Hukum yang dinamis, baik itu dari segi
system Hukum, aparat Hukum nya maupun peraturan perundang-undangannya. Hukum yang
dinamis akan mampu “mengobati” apabila terjadi pergesekan-pergesekan diantara
warga masyarakat. Semakin dinamis Hukum yang ada dalam masyarakat, maka Hukum akan
semakin dipercaya sebagai “obat” untuk mengatasi berbagai permasalahan yang
timbul dalam hidup bermasyarakat.
Prof.DR.H.M. Ali Mansyur,
SH.SpN.M.Hum, dalam bukunya ANEKA PERSOALAN HUKUM (Masalah Perjanjian, Konsumen
dan Pembaharuaan Hukum), menyatakan bahwa “Dalam suatu Negara Hukum, supremasi HUKUM
seharusnya memperoleh tempat yang semestinya, fungsi Hukum dalam arti materiil
yang berusaha memberikan perlindungan kepada masyarakat dengan memperlaakukan
tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan dan memberikan kedudukan Hukum bagi setiap orang.”[2]
Hukum adalah suatu sistem yang terpenting dalam
pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. Hukum
akan menjadi berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan
apabila masyarakat menggunakan hukum menuruti perilakunya. Hukum itu
sendiri terbagi menjadi beberapa bidang, yaitu hukum pidana atau hukum publik,
hukum perdata atau hukum pribadi, dan hukum acara, hukum tata Negara, hukum
administrasi Negara atau hukum tata usaha Negara, hukum internasional, hukum
adat, hukum islam, hukum agraria, hukum bisnis, dan hukum lingkungan. Dari
hukum-hukum tersebut masing-masing mempunyai tujuan yang sama, yaitu bertujuan
menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula berdasar
pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat.[3]
Sebagaimana telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia, Amandemen keempat dalam Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan
bahwa “Setiap warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”[4],
maka sudah pada tempatnya apabila Negara memperlakukan setiap warga
negaranya secara sejajar di muka hukum. Sehingga tdak menimbulkan perilaku yang
membeda-bedakan berdasarkan alasan apapun di dalam upaya penegakan hukum.
Sampai
saat ini masih sering terjadi, pelaksanaan penegakan hukum yang mencederai rasa
keadilan masyarakat. Hal tersebut tidak hanya karena perilaku para aparat
penegak hukum tetapi juga karena ketidaktahuan masyarakat akan peraturan yang
dilanggarnya. Penegakkan hukum di Indonesia masih sangat tidak adil,
karena masih melihat latar belakang dan kedudukan seseorang. Hukum hanya
berpihak kepada mereka yang mempunyai kekuasaan, sedangkan bagi yang tidak
memiliki kekuasaan, mereka tetaplah tertindas.[5]
Advokad senior, Adnan Buyung Nasution mengatakan bahwa
dirinya percaya ada tanggung jawab lebih bagi Perguruan Tinggi untuk tidak
sekedar mentransfer ilmu pengetahuan dan mencetak tenaga-tenga ahli pada
bidangnya saja, tapi sekaligus juga mengupayakan agar generasi penerus yang
akan menjadi cendikiawan dan pemmpin di Indonesia pada giliarannya nanti
memiliki intregritas yang kokoh. Oleh karena itu, kaum terpelajar mesti berilmu
dan berintregitas. Kaum terpelajar perlu meningkatkan pemahaman konseptualnya
terhadap problem-problem kebangsaaan dan kenegaraan kita. Selain itu, yang juga
tidak kalah pentingnya, kaum terpelajar harus senantiasa mengasah kepekaannya
dan menjaga intregitasnya agar dapat mencegah ataupun mengoreksi
penyelewengan-penyelewengan kekuasaan yang mengorbankan rakyat.[6]
Prof.DR.Achmad
Ali, SH.MH, dalam bukunya MENGUAK TABIR HUKUM, mengutip pendapat dari
Zavenbergen, mengatakan bahwa SUMBER HUKUM adalah sumber terjadinya hukum atau
sunber yang menimbulkan hukum.[7]
Sumber Hukum inilah yang kemudian menjadi SARANA dalam Penegakan Hukum di suatu
Negara.
Dari pendapat beberapa pakar hukum (para sarjana), dapat
disimpulkan bahwa terdapat 2 (dua) sumber hukum, yaitu SUMBER HUKUM FORMAL dan
SUMBER HUKUM MATERIAL. Sumber Hukum Formal yaitu Undang-Undang, Kebiasaan,
Traktat atau Perjanjian Internasional, Yurisprudensi, Doktrin dan Hukum Agama.[8]
Sedangkan SUMBER HUKUM MATERIAL adalah Kesadaran
Hukum warga masyarakat dari mana dan di mana hukum itu berlaku dan
diberlakukan.[9]
Proses Penegakan Hukum pada hakekatnya adalah suatu
proses untuk menjalankan suatu produk hukum berupa perundang-undangan, baik itu
Undang-Undang maupun peraturan perudangan di bawahnya. Suatu Undang-Undang
tidak akan dapat dijalankan dengan baik apabila Aparat Penegak Hukumnya adalah
aparat yang tidak memahami esensi dari Undang-Undang yang dijalankannya.
Sehingga hal tersebut, membuat perlunya Aparat Penegak Hukum yang benar-benar
mumpuni dalam menjalankan tugas-tugasnya.
BAB II. PERMASALAHAN
Dari latar
belakang tersebut, maka akan muncul permasalahan, yaitu mengenai PENEGAKAN
HUKUM YANG SELARAS DENGAN KEADILAN DALAM MASYARAKAT, SEBAGAI MANIFESTASI
SUPREMASI HUKUM. Bagaimana penegakan hukum dapat menjadi selaras dengan
keadilan dalam masyarakat Indonesia ?
Dan dari manakah kita harus membenahi penegakan hukum yang simpang siur seperti
yang terjadi saat ini?
BAB III. PEMBAHASAN
Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan”
hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum
dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai
perilaku manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam
bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum
tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana
pendapat kaum legalistik.[10]
Penegakan hukum di Indonesia
adalah merupakan suatu persoalan yang dihadapi setiap masyarakat di Indonesia .
Penegakan hukum secara nasional untuk belakangan ini dinilai sangat buruk. Hal
ini timbul akibat lemahnya penegakan hukum, seperti kasus dana talangan Bank
Century, skandal Nazarudin, kasus Nunun Nurbaeti, aksi kekerasan atas nama suku
agama ras dan antargolongan atau yang sering disebut SARA, dan masih banyak
lagi kasus-kasus yang timbul dari itu kasus yang kecil maupun besar. Walaupun
penegakan hukum untuk belakangan ini sudah mulai dinilai buruk oleh masyarakat,
namun masyarakat mempunyai tujuan yang sama, agar di dalam masyarakat tercapai
kedamaian sebagai akibat dari penegakan hukum yang formil.[11]
Penegakan Hukum itu harus konsisten supaya masyarakat
memahami, mana HUKUM dan mana yang BUKAN HUKUM. Sebagai bagian dari proses
sosial, penegakan kepastian hukum itu bertumpu pada 2 (dua) komponen utama,
yaitu :[12]
1.
Hukum itu harus bisa memberikan
kepastian dalam orientasi kepada masyarakat. Dalam hal ini dikenal asas
kepastian orientasi yaitu Certitudo atau
Orientierungssicherheit, yaitu orang
memahami, perilaku yang bagaimana yang diharapkan oleh orang lain daripadanya
dan respon yang bagaimana yang dapat diharapkannya dari orang lain baagi
perilakunya itu ;
2.
Kepastian dalam penerapan hukum
oleh penegak hukum, Jangan sampai terjadi bahwa sekali ini suatu ketentuan
hukum dilaksanakan, tetapi lain kali ketentuan yang sama tidak dilaksanakan.
Terdapat suatu asas yaitu Securitas atau
Realisierungssherheit adalah asas
kepastian realitas hukum yang
memungkinkan orang untuk mengandalkan pada perhitungan, bahwa norma-norma yang
berlaku memang dihormati dan dilaksanakan, keputusan-keputusan pengadilan
sungguh-sungguh dilaksanakan dan perjanjian-perjanjian ditaati.
Haruslah disadari benar bahwa upaya menegakkan hukum tidaklah
semudah membalik telapak tangan. Kejadian-kejadian yang sekarang menimpa
lembaga hukum hanyalah satu proses untuk menuju terciptanya wibawa hukum. Sikap
mawas diri merupakan langkah terpuji yang seyogyanya dibarengi dengan upaya-upaya
yang bersifat sistemik dari lembaga-lembaga hukum mulai kejaksaan, kepolisian,
kehakiman, dan organisasi penasehat hukum.
Untuk dapat menjadikan Penegakan Hukum dapat berjalan
sebagaimana yang diharapkan oleh masyrakat, maka diperlukan pula produk hukum
yang baik, yang benar-benar menampung aspirasi dari masyarakat, sehingga produk
hukum tersebut dapat diterapkan dengan baik di dalam kehidupan masyrakat. Akan
tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa produk huku berupa peraturan
perundang-undangan adalah juga merupakan produk politik dari para pembuatnya
yaitu Eksekutif dan Legislatif. Prof.DR. Mahfud MD, mengatakan bahwa “Dalam faaktanya jika hukum dikonsepsikan
sebagai undang-undang yang dibuat oleh Legislatif, maka tak seorangpun dapat
membantah baha hukum adalah prosuk pilitik sebab ia merupakan kristalisasi,
formalisasi atau legalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling
bersaingan baik melalui kompromi politik maupun melalui dominasi oleh kekuatan
politik yang terbesar.”[13]
A.
PRODUK HUKUM DI INDONESIA
Sebelum
kita membahas mengenai Sistem Hukum yang berlaku di Indonesia , perlu kita mengetahui
dahulu apa yang dimaksud dengan HUKUM. Banyak doktrin yang membahas mengenai
Apa itu HUKUM, apa manfaat atau tujuan dari adanya HUKUM dan lain sebagainya.
Secara garis besar, HUKUM dapat diartikan dari 2 (dua) sisi yang berbeda, yaitu
:
1.
Hukum sebagai kumpulan kaidah (das Sollen) ;
2.
Hukum sebagai gejala masyarakat (das Sein) ;
Kedua sisi dari HUKUM tersebut dikarenakan tiada HUKUM
tanpa masyarakat dan tiada masyarakat tanpa HUKUM.[14]
Sebagaimana dikemukakan oleh ARISTOTELES, bahwa “Manusia adalah zoon
politicon”, maka dengan adanya pergaulan dalam masyarakat tersebut yang
akhirnya menimbulkan adanya HUKUM. .
Sangat tidak mudah untuk mengartikan HUKUM, karena
banyak aspek, ragam, jenis maupun jumlahnya. Kata HUKUM yang berasal dari
istilah asing yaitu RECHT (Inggris), recht (Belanda), Recht (Jerman), Diritto
(Italia) maupun Droit (Perancis), yang masing-masing memiliki arti dan
pengertian tersendiri, tergantung pada masing-masing masyarakatnya. Dan hal yang
penting ialah bahwa SUBYEK dari HUKUM adalah manusia, anggota dari suatu
masyarakat.
Prof. Sudikno Mertokusumo mengatakan, “Hukum meliputi
seluruh kehidupan manusia dan adanya Hukum untuk menata masyarakat.[15]
Sedangkan IImmanuel Kisch menyebutkaan bahwa, “Hukum tidak bisa ditangkap oleh
Panca Indera sehingga tidak akan ada definisi yang memuaskan tentang Hukum.”[16]
John Austin menyatakan bahwa, “Hukum adalah perintah dari Kekuasaan Politik
yang berdaulat dalam suatu Negara’”[17]
Dari berbagai pengertian mengenai HUKUM tersebut
akhirnya menimbulkan berbagai Sistem Hukum, yaitu “Suatu susunan atau tatanan
teratur dari aturan-aturan hidup, keseluruhannya dari bagian-bagian yang
berkaitan satu sama lain.”[18]
1.
Sistem Hukum Eropa
Kontinental (Civil Law) :[19]
Pada awalnya system ini berasal dari
kodifikasi Hukum yang berlaku di
Kekaisaran Romawi pada masa Kekaisaran Justianus (Abad VI SM), dimana
peraturan-peraturan Hukum nya kumpulan dari kaidah Hukum yang ada sebelum masa Justianus (“Corpus
juris civilis”).
Sistem Hukum ini mempunyai prinsip
utama yaitu “Hukum memperoleh kekuatan Hukum mengikat, karena diwujudkan dalam
peraturan yang berbentuk Undang-Undang dan tersusun secara sistematis di dalam
kodifikasi atau kompilasi tertentu.” Sistem ini membagi HUKUM menjadi 2 (dua)
yaitu Hukum Publik dan Hukum Privat.
2.
Sistem Hukum Anglo Saxon
(Anglo Amerika) :
Sistem ini sering
pula disebut sebagai Sistem Common Law
dan Sistem Unwritten Law. Sumber Hukum
pada Sistem Hukum Anglo Saxon ini
adakah putusan-putusan Hakim atau Pengadilan (Yudicial Decision), melalui
putusan Hakim yang diwujudkan kepastian Hukum , maka prinsip dan kaidah
Hukum dibentuk dan menjadi kaaidah yang
mengikat.
Dalam system ini,
Hakim memiliki peranan yang luas, tidak hanya berfungsi untuk menetapkan dan
menafsirkan peraturan-peraturan Hukum saja tetaapi mereka juga berwenang untuk
menciptakan prinsip-prinsip Hukum baru.
3.
Sistem Hukum Adat :
Merupakan system Hukum yang
berkembang di wilayah Asia termasuk Indonesia , berasal dari istilah ADATRECHT, yang diperkenalkan oleh
Snouck Hurgronje. Sistem ini berkembang dari Hukum Adat yang hidup di tengah masyarakat dimana
Hukum tersebut sebagian besar berbentuk
tidak tertulis. Pada umumnya Hukum adapt antara satu daerah berbeda dengan
Hukum adapt di daerah lain. Menurut Mr.
C. Van Vollenhoven, di Indonesia terdapat 19 (sembilaan) belas lingkungan Hukum
adat.
4.
Sistem Hukum Islam :
Sistem Hukum ini awalnya berkembang di Negara-Negara Arab,
kemudian berkembang ke Negara-negara lain seperti Asia, Afrika, Amerika dan
Eropa secara individual dan kelompok. Sistem Hukum ini bersumber pada :
a.
Al-Qur’an, yaitu Kitab suci
dari kaum muslimin yang diwahyukan oleh Allah kepada Rasulnya dengan
perantaraan Malaikat Jibril.
b.
Hadist/Sunnah Nabi, yaitu cara
hidup dari Nabi Muhammad atau hadist mengenai Nabi Muhammad.
c.
Ijma, yaitu kesepakatan dari
para ulama besar mengenai sesuatu hal.
Hal tersebut sesuai dengan Wasiat Rasulullah yang
artinya adalah, “Aku telah meninggalkan pada kalian 2 (dau) perkara. Kalian
tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu Al-Qur’an
dan Sunnah Rasul-Nya.[20]
Pelanggaran terhadap kaedah atau norma keagamaan ini
akan mendapatkan sanksi dari Tuhan Yang Maha Esa yang berupa siksaan di Neraka.[21]Contoh
kaidah kepercayaan atau agama, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an pada
Surah An-Nisa ayat 29 dan 30 yaitu :
……Dan janganlah
kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu (29).
Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami
kelak akan memasukkannya ke dalam neraka….(30).[22]
5.
Sistem Hukum Asia Timur :[23]
Yaitu Sistem Hukum yang berkembang di
daratan Asia Timur seperti Jepang, Cina dan Korea . Sistem Hukum ini
bersumberkan pada Hukum Adat yang dipadukan dengan Hukum Modern.
6.
Sistem Hukum Afrika :
Yaitu Sistem Hukum yang berkembang di
Negara-Negara Afrika yang bersumberkan pada Hukum Adat dan Hukum Islam.
Bahwa dari Teori-teori tersebut di atas, maka dapat
dikemukakan bahwa para ahli Hukum memandang terdapat 2 (dua) sumber Hukum yaitu :[24]
1)
Sumber Hukum Formal, yaitu Sumber Hukum yang dirumuskan dalam suatu bentuk sehingga
menyebabkan Hukum itu berlaku umum,
mengikat dan ditaati ;
2)
Sumber Hukum Materiil, yaitu Sumber Hukum yang menentukan isi Hukum itu ;
C.S.T.Kansil meninjau Sumber Hukum dari Segi Materiil
dan dari Segi Formal, yaitu :[25]
1.
Sumber Hukum Materiil : dapat ditinjau lagi dari pelbagai
sudut, misalnya dari sudut sejarah, ekonomi, sosiologi dan filsafaat
2.
Sumber Hukum Formal antara lain :
a.
Undang-Undang (Statute), yaitu
suatu keputusan negara yang tertulis dibuat oleh alat perlengkapan Negara yang
berwenang (bersama-sama oleh DPR dan Presiden) dan mengikat masyarakat, dapat
dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu :
1)
Undang-Undang dalam arti
materiil (luas), yaitu yaitu semua peraturan atau keputusan tertulis yang
menurut isinya mengikat setiap orang secara umum dan dibuat oleh penguasa
(pusat ataupun daerah) yang sah, yang dapat digolongkan menjadi 2 (dua) yaitu :
a)
Peraturan Pusat (Algemene
Verordening), yakni peraturan tertulis yang dibuat oleh pemerintah pusat yang
berlaku di seluruh atau sebagian wilaah Negara ;
b)
Peraturan Setempat (Locale
Verordening), yaitu peraturan tertulis yang dibuat oleh penguasa setempat dan
hanya berlaku di tempat atau daerah itu saja ;
2)
Undang-Undang dalam arti formal
(sempit), yaitu peraturan tertulis yang dibentuk oleh alat perlengkapan Negara
yang berwenang (bersama-sama oleh DPR dan Presiden)
b.
Kebiasaan (Custom), yaitu
perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama yang merupakan suatu bukti
bahwa banyak orang menyukai perbuatan tersebut ;
c.
Yurisprudensi, yaitu Keputusan
Hakim yang terdahulu yang diikuti dan dijadikan dasar keputusan Hakim kemudian
mengenai masalah yang sama ;[26]
d.
Traktat (Perjanjian Antar
Negara), yaitu Persetujuan (perjanjian) yang dilakukan oleh 2 (dua) Negara atau
lebih. Prof. Muchtar Kusumaatmaja mengatakan “Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota
masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat
Hukum tertentu” ;[27]
e.
Doktrin (Pendapat Sarjana Hukum
), yaitu ajaran dari seorang ahli Hukum
;
Dari berbagai Sistem Hukum sebagaimana dijelaskan di
atas tersebut, sesungguhnya adalah penjabaran untuk mecapai apa yang menjadi
tujuan dari adanya HUKUM itu sendiri. Badan-badan penegak Hukum sebagai
pemegang wewenang Hukum harus memahami Hukum yang diterapkannya.[28]
Oleh sebab itu, maka beberapa Sarjana memberikan penafsiran mengenai Apa yang
menjadi tujuan dari adanya Hukum, sehingga muncul berbagai TEORI mengenai
Tujuan Hukum .
Negeri
Belanda sebagai bekas jajahan Perancis, sudah tentu menerapkan Sistem Hukum
dari negeri penjajahnya, yaitu Perancis dan oleh karena Perancis menganut
Sistem Hukum Romawi, yaitu Sistem Hukum Eropa Continental, maka Belanda juga
menganut system hukum yang sama, yang kemudian diterapkan pula di Indonesia.
Pasal I
Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Amandemen keempat menyatakan bahwa “Segala
peraturan perundang-undangan yang ada masih tetaap berlaku selama belum
diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”[29],
membuat masih banyak peraturan perundang-undangan peninggalan penjajah
Belanda masih diberlakukan di Indonesia.
Salah satu
bukti bahwa masih berlakunya Sistem Hukum peninggalan Penjajah Belanda adalah
masih diberlakukannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagaimana yang
diundangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, yang tidak lain adalah
isinya hampir sama dengan Kitab Undang-Undang Pidana Belanda dan Sumber Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Belanda adalah Code Penal (KUHP Perancis).[30]
Berlakunya
produk perundang-undangan peninggalan penjajah Belanda sudah tentu tidak
selaras lagi dengan rasa keadilan dalam masyarakat. Hal tersebut disebabkan
karena :
1.
Produk Hukum peninggalan
penjajah kolonial Belanda berdasarkan keinginan dari pemerintah Kerajaan
Belanda yang ingin menguasai Indonesia
dan bukan dari keinginan dari bangsa Indonesia ;
2.
Perkembangan HUKUM yang semakin
pesat yang menuntut perkembangan perundang-undangan yang sesuai dengan keadaan
masyarakat pada saat ini ;
3.
Semakin sedikit Sarjana Hukum
yang menguasai bahasa Belanda sebagai bahasa induk dari produk
perundang-undangan peninggalan kolonial Belanda ;
Prof. DR.C.F.G. Sunaryati Hartanto, SH, dalam bukunya
Politik Hukum Menuju Satu Sistem
Hukum Nasional, mengutip pendapat Roscoe
Pound dalam bukunya yang berjudul An Introduction to the Philosophy of Law,
menyatakan bahwa “Hukum mulai dipandang
sebagai suatu sarana perekayasaan masyarakat (tool of engineering) dan tidak
sekedar sebagai alat penerbitan masyarakat semata-mata”.[31]
Dari pendapat Prof.DR.C.F.G. Sunaryati Hartanto, SH,
dalam bukunya Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional tersebut dapat disimpulkan bahwa
HUKUM dapat menjadi sarana / alat untuk
menggapi keadilan bagi warga masyarakatnya. Akan tetapi, HUKUM yang bagaimana
yang bisa berperan seperti itu? Bahwa di
Eropa terdapat perjalanan sejarah perkembangan HUKUM sebagai berikut :[32]
a.
Bahwa HUKUM itu sesungguhnya dapat dan memang sudah
digunakan debagai sarana perekayasaan sosial ekonomi dengan memperbaharui
asas-asas HUKUM itu sedemikian rupa,
sehingga menunjang rencana pembangunan sosial ekonomi jangka panjang (Droit de
I’Economie) ;
b.
Bahwa sesungguhnya ekonomi yang
berdasarkan pasar bebas sudah sejak tahun 1930-an sudah tidak ada lagi sejak
politik New Dealnya Presiden Roosevelt ;
c.
Bahwa yang kini dimaksudkan
dengan Hukum Ekonomi bukan sekedar
peraturan-peraturan yang mengatur bidang perekonomian tetapi mencakup
keseluruhan peraturan, lembaga, proses dan mekanisme HUKUM baik di bidang
Hukum Administrasi Negara, Hukum Tata Negara, tetapi juga di bidang Hukum
Perdata, Hukum Perdagangan, Hukum Acara, Hukum
Perbankan, Hukum Asuransi bahkan juga di bidang Hukum Perdata Internasional dan
perjanjian-perjanjian internasional.
Sampai saat inipun, masih belum banyak peraturan
perundang-undangan yang dihasilkan oleh bangsa Indonesia
yang benar-benar sesuai dengan kehendak dan rasa keadilan masyarakat Indonesia .
Bangsa Indonesia pernah menghasilkan produk
perundang-undangan yang bisa dianggap sebagai MAHA KARYA di bidang
perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yaitu Undang-Undang
Pokok Agraria, akan tetapi mengingat begitu luasnya bidang keagrariaan, maka
sebagaimana diungkapkan oleh Prof.DR.AP.Parlindungan,SH, dalam bukunya KOMENTAR
ATAS UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA, Penerbit CV.Mandar Maju – Bandung, Tahun
1998, mengatakan bahwa “Hanya memahami
materi-materi dari UUPA, belumlah kita akan dapat memahami seluruh
permasalahan, jika kita tidak dapat mengakaitkannya dengan filosofi bangsa
Indonesia, pandangan Hukum Adat bangsa Indonesia, teori-teori hukum pada
umumnya dan kemudian kerangka-kerangka dari UUPA itu sendiri dan demikian pula
bagaimana UUPA in action sebagaimana kita lihat, demikian pula dengan studi
komparatif dengan lembaga hak sejenis di Negara lain.”[33]
Demikian
pula dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang HUKUM ACARA PIDANA, yang
juga dapat dikatakan sebagai MAHA KARYA bangsa Indonesia dalam bidang produk
perundang-undangan. Setelah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, maka masih
terdapat kekurangan-kekurangan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
tersebut. Hal itulah yang menuntut kita untuk selalu siap dengan segala
perubahan-perubahan dalam hal perkembangan hukum dan dalam hal penegakan hukum.
B. FAKTA PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA
Hukum di Indonesia menganut sistem hukum campuran dengan
sistem hukum utama yaitu sistem hukum Eropa Kontinental, sistem hukum adat,
sistem hukum agama.
Ditinjau dari sudut subjeknya,
penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula
diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas
atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua
subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif
atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada
norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan
hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya
diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan
memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan
tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu
diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.[34]
Pengertian penegakan hukum itu dapat
pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal
ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas,
penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang
terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan
yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu
hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu,
penerjemahan perkataan ‘law enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam
menggunakan perkataan ‘penegakan hukum’ dalam arti luas dan dapat pula
digunakan istilah ‘penegakan peraturan’ dalam arti sempit. Pembedaan
antara formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang
dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggeris sendiri dengan
dikembangkannya istilah ‘the rule of law’ versus ‘the rule of just
law’ atau dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ versus
istilah ‘the rule by law’ yang berarti ‘the rule of man by law’.
Dalam istilah ‘the rule of law’ terkandung makna pemerintahan oleh hukum,
tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan
yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah ‘the rule of just
law’. Dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ dimaksudkan
untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu
dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah ‘the rule
by law’ yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan
hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.[35]
Penegakan hukum di Indonesia
adalah merupakan suatu persoalan yang dihadapi setiap masyarakat di Indonesia .
Penegakan hukum secara nasional untuk belakangan ini dinilai sangat buruk. Hal
ini timbul akibat lemahnya penegakan hukum, seperti kasus dana talangan Bank
Century, skandal Nazarudin, kasus Nunun Nurbaeti, aksi kekerasan atas nama suku
agama ras dan antargolongan atau yang sering disebut SARA, dan masih banyak
lagi kasus-kasus yang timbul dari itu kasus yang kecil maupun besar. Walaupun
penegakan hukum untuk belakangan ini sudah mulai dinilai buruk oleh masyarakat,
namun masyarakat mempunyai tujuan yang sama, agar di dalam masyarakat tercapai
kedamaian sebagai akibat dari penegakan hukum yang formil.[36]
Penegakan hukum dapat dikaitkan
dengan pengertian ‘law enforcement’ dalam arti sempit, sedangkan
penegakan hukum dalam arti luas, dalam arti hukum materiel, diistilahkan dengan
penegakan keadilan. Dalam bahasa Inggeris juga terkadang dibedakan antara
konsepsi ‘court of law’ dalam arti pengadilan hukum dan ‘court of
justice’ atau pengadilan keadilan. Bahkan, dengan semangat yang sama pula,
Mahkamah Agung di Amerika Serikat disebut dengan istilah ‘Supreme Court of
Justice’.[37]
Pengamat
politik Universitas Indonesia (UI) Arbi Sanit mengatakan, politik Indonesia
sekarang tidak mampu menjalankan fungsikan pemilu, karena penyalahgunaan
kekuasaan, sehingga terjadi korupsi politik yang mendalam dan meluas
kemana-mana, mulai ke partai, lembaga negara hingga birokrasi. “Ketiadaan atau
lemahnya penegakan hukum yang berasal dari kelembagaan itu pun dikondisikan
oleh aturan politik. Begitu juga dengan pemerintahan dengan aturan-aturan
sistem main mereka. Semua dikondisikan,” ujarnya. Dengan demikian, penegakan
hukum pun sulit ditegakkan, karena terjadi penyalahgunaan kekuasaan dari para
pembuat hukum yakni legislatif. Hukum itu sendiri merupakan produk politik yang
seharusnya mengena pada subtansi politik negara. Namun pada kenyataannya hal
itu tidak terjadi, karena pembuat UU dan pelaksana UU mengkondisikan adanya
peluang korupsi.[38]
Sudah jamak terjadi peristiwa main hakim sendiri terhadap suatu
tindak kejahatan. Setiap kali terjadinya aksi kekerasan dan main hakim sendiri
oleh masyarakat, polisi sebagai aparatur penegak hukum yang paling banyak
direpotkan. Tidak saja saat menghadapi arogansi masyarakat dan amuk massa saat itu, tapi
menyangkut proses penegakan hukum atas pelanggaran-pelanggaran yang sering
terjadi. Sebab apapun alasannya, masyarakat tidak dibenarkan melakukan
kekerasan, penindasan apalagi sampai menghilangkan nyawa orang lain. Salah satu
alasan yang menyebabkan aksi kekerasan dan main hakim sendiri oleh masyarakat
karena lemahnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat terhadap nilai esensial
yang terkandung di dalam hukum. Quid leges sine moribus (Moral merupakan bagian
vital dari hukum), oleh karenanya hukum tidak akan memiliki arti kalau tidak
dijiwai oleh moralitas. Kepincangan itu akhirnya melahirkan persepsi keliru;
yang jelek dianggap benar, kadang yang benar dianggap jelek. [39]
Eksesnya (peristiwa yg melampaui batas) masyarakat menghakimi
pencuri, pencopet atau penjambret seolah-olah melakukan tindakan yang benar.
Padahal, memukul hingga luka parah bahkan meninggal, secara hukum dan moral
tetap saja salah. Terlepas dari tindak kejahatan yang sudah dikerjakan pelaku,
mereka juga manusia biasa yang punya khilaf dan memiliki kesempatan dan hak
untuk hidup.
Selain itu, banyaknya kejadian serupa merupakan bentuk frustrasi
masyarakat pada proses penegakan hukum selama ini. Akibatnya, anggota
masyarakat tidak bisa menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, atau munculnya
abnormalitas terhadap hukum.
Sosiolog Imam Prasojo menungkapkan, aksi main hakim sendiri ataupun
hakim main sendiri lebih dipengaruhi perasaan frustasi masyarakat Indonesia
terhadap kondisi bangsa yang morat marit. Terutama sektor perekonomian yang tak
kunjung membaik dan kian menghimpit kehidupan ekonomi masyarakat. Indikatornya,
aksi ini banyak dilakukan warga dengan ekonomi kurang mampu. Meskipun pemangku
kekuasaan juga tidak luput dari hal itu.[40]
Sudah seharusnya, apabila penegakan hukum tidak memandang bulu
terhadap pelakunya, sebagaimana yang diungkapkan oleh - Ketua Fraksi Partai
Demokrat MPR RI, Jafar Hafsah mengatakan penegakan hukum telah dilakukan tanpa
pandang bulu. Hal ini dibuktikan dengan penangkapan dua hakim adhoc tipikor
oleh KPK beberapa hari lalu.[41]"Jadi,
itu kan
penegakan hukum tidak pandang bulu. Siapapun dia kalau diduga ada pelanggaran
maka dia akan diproses, itu kan tanda hukum
tidak pilih-pilih," terang Jafar saat ditemui dalam acara Open House di
rumahnya di kawasan Jatipadang, Jakarta ,
Senin (20/8/2012) sore.[42]
Akan tetapi, masyarakat masih merasakan ketidakadilan di dalam
penegakan hukum, khususnya apabila menyangkut masyarakat yang secara ekonomi
tidak mampu. Marilah kita lihat
realita-realita penegakan hukum di Indonesia ini. Misalnya saja kasus
yang baru-baru ini terjadi yaitu kasus pencurian sandal jepit. Tersangka dalam
kasus ini adalah seorang anak dibawah umur yang berusia 15 tahun berinisial
AAL. AAL memang terancam (dan dituntut) hukuman 5 tahun penjara, itu sesuai dengan
ketentutan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di negara kita.
Pada pasal 362 “Barang siapa mengambil barang, yang semuanya atau sebagian
kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memilikinya dengan melawan hukum, di
hukum karena pencurian dengan hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun“.
Setelah
terjadi banyak perbincangan-perbincangan tentang kasus yang sangat menyayangkan
dapat terjadi, barulah banyak respon yang muncul. Salah satunya adalah respon
dari Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo berjanji bahwa kasus “sandal jepit”
yang terjadi di Palu tidak akan terulang kembali.
Hakim
Pengadilan Negeri Palu memvonis terdakwa AAL (15) bersalah dalam kasus
pencurian Sandal jepit milik seorang anggota kepolisian. Namun demikian,
sesuai tuntutan Jaksa Penuntut Umum, AAL tidak dijatuhkan hukuman kurungan
penjara melainkan dikembalikan ke orang tua untuk mendapatkan pembinaan.
Dan masih
ingat kah dengan “ruang penjara elit” untuk kalanngan elit pula? Layak nya
sebuah ruangan di dalam gedung atau perkantoran, yang berada di dalam kompleks
rutan tersebut, seharusnya gedung untuk perkantoran petugas rutan, disulap
menjadi ruang pribadi mewah yang dipakai beberapa narapidana semacam terpidana
kasus suap Arthalyta Suryani dan terpidana seumur hidup kasus narkoba,
Limarita. Fasilitas mewah yang ada di setiap ruangan keduanya adalah alat
penyejuk ruangan, pesawat televisi layar datar merek terkenal, perlengkapan
tata suara dan home theatre, lemari pendingin dan dispenser, serta telepon
genggam merek Blackberry. Apakah ini yang di namakan “uang berbicara”? Dan
apakan hukum di negeri ini semudah itu menjadi lunak?. Kalau sudah seperti itu
Anda pun dapat menilainya sendiri sebenarnya apa yang telah melanda hukum di
negeri tercinta kita ini.[43]
C. PENEGAKAN HUKUM YANG IDEAL
Tidak
dapat dipungkiri bahwa upaya penegakan hukum terkait pula dengan produk
perundang-undangan dalam suatu Negara. Semakin berkualitas suatu produk
perundang-undangan, maka semakin baik pula penegakan hukumnya. Akan tetapi
dalam proses pembuatan produk perundang-undangan tidak akan terlepas dari
politik hukum suatu Negara. Lalu, apakah yang dimaksud dengan POLITIK HUKUM?
Secara singkat akan dijabarkan sebagai berikut.
Utrech mengatakan bahwa “Politik Hukum berusaha membuat kaidah-kaidah yang akan menentukan
bagaimana seharusnya manusia bertindak. Politik Hukum menyelidiki
perubahan-perubahan apa yang harus diadakan dalam hukum yang sekarang berlaku
supaya sesuai dengan kenyataan sosial. Politik Hukum meneruskan perkembangan
hukum dengan berusaha menlenyapkan sebanyak-banyaknya ketegangan antara
posivitas dan realitas sosial. Dan Politik Hukum membuat suatu ius
constituendum (hukum yang akan berlaku) dan berusaha agar ius constituendum itu
pada hari kemudian berlaku sebagai ius constitum”.
Dari definisi tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa Politik Hukum selalu ditentukan oleh sifat negra dan system politik yang
dianut.
Dalam Negara Demokratis, karakteristik produk hukumnya bersifat :
a.
Populist, yaitu produk hukumnya
sama dengan kenyataan sosial atau melenyapkan sebanyak-banyaknya ketegangan
antara positivisme dan realitas sosial. Prof.DR. H. Abdul Latif, SH.MH mengutip
pendapat Prof. Mahfud MD, mengatakan bahwa “produk
hukum yang populis adalah produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan
memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses pembuatannya memberikan peranan besar
dan pastisipasi penuh kepada kelompok-kelompok sosial atau individu ddi dalam
masyarakat, hasilnya bersifat responsif.[44]
;
b.
Progressive, yaitu produk hukum
yang dihasilkan selalu mengikuti perkembangan jaman. Mahfud MD mengatakan bahwa
hukum yang responsif bersifat aspiratif, yaitu memuat materi-materi yang secara
umum sesuai dengan aspirasi atau kehendak masyarakat yang dilayaninya.[45]
c.
Limited Interpretation, yaitu
produk hukum yang dihasilkan tidak diinterpretasikan oleh peraturan yang lebih
rendah, yang dapat dilihat dari jumlah pasal yang open interpretation. Mahfud
MD lebih lanjut mengatakan bahwa “produk
hukum yang dihasilkan memberikan sedikit peluang bagi pemerintah untuk membuat
penafsiran sendiri melalui berbagai peraturan pelaksanaan dan peluang yang
sempit itupun berlaku untuk hal-hal yang betul-betul teknis.”[46]
Sedangkan dalam Negara yang Sentralistik, karakteristik
produk hukumnya adalah bersifat :
1.
Elitist, yaitu produk produk
hukum yang dihasilkan lebih didominasi oleh lembaga Negara terutama oleh
pemegang kekuasaan eksekutif ;[47]
2.
Conservative, yaitu produk
hukum yang dihasilkan memuat materi yang lebih merefleksikan visi sosial dan
politik pemegang kekuasaan atau memuat materi yang lebih didominasi oleh
merupakan alat untk mewujudkan kehendak dan kepentingan pemerintah.[48]
3.
Open to Interpretation, yaitu
produk hukum yang dihasilkan memuat materi singkat dan pokok-pokoknya saja
untuk kemudian memberi peluang yang luas bagi pemerintah untuk mengatur
berdasarkan visi dan kekuatan politiknya.[49]
Semakin responsif suatu produk perundaang-undangan, maka
akan semakin memudahkan di dalam penegakan hukumnya. Hal ini dikarenakan setiap
warga negara merasa terwakili kepentingannya di dalam produk perundang-undangan
tersebut, sehingga setiap warga negara akan dengan sadar dan tanpa paksaan akan
melaksanakan isi dari produk perundang-undangan tersebut.
Selain tentang produk perundang-undangan, juga berkaitan
pula dengan Aparatur Penegak Hukum. Sebagaimana diuraikan oleh Prof.DR. Jimly Asshiddiqie, SH, yang
mengatakan, Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi
penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur
penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu, dimulai dari
saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir pemasyarakatan.
Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan
dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau
pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis
dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi)
terpidana. Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat tiga
elemen penting yang mempengaruhi, yaitu: (i) institusi penegak hukum beserta
berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja
kelembagaannya; (ii) budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk
mengenai kesejahteraan aparatnya, dan (iii) perangkat peraturan yang mendukung
baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan
standar kerja, baik hukum materielnya maupun hukum acaranya. Upaya penegakan
hukum secara sistemik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan,
sehingga proses penegakan hukum dan
keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata. Namun,
selain ketiga faktor di atas, keluhan berkenaan dengan kinerja penegakan hukum
di negara kita selama ini, sebenarnya juga memerlukan analisis yang lebih
menyeluruh lagi. Upaya penegakan hukum hanya satu elemen saja dari keseluruhan
persoalan kita sebagai Negara Hukum yang mencita-citakan upaya menegakkan dan
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia . Hukum tidak mungkin akan
tegak, jika hukum itu sendiri tidak atau belum mencerminkan perasaan atau
nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin
menjamin keadilan jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu
yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita
hadapi bukan saja berkenaan dengan upaya penegakan hukum tetapi juga pembaruan
hukum atau pembuatan hukum baru. Karena itu, ada empat fungsi penting yang
memerlukan perhatian yang seksama, yang yaitu (i) pembuatan hukum (‘the
legislation of law’ atau ‘law and rule making’), (ii) sosialisasi,
penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum (socialization and promulgation
of law, dan (iii) penegakan hukum (the enforcement of law). Ketiganya membutuhkan dukungan (iv)
adminstrasi hukum (the administration of law) yang efektif dan efisien
yang dijalankan oleh pemerintahan (eksekutif) yang bertanggungjawab (accountable).
Karena itu, pengembangan administrasi hukum dan sistem hukum dapat disebut
sebagai agenda penting yang keempat sebagai tambahan terhadap ketiga agenda
tersebut di atas. Dalam arti luas, ‘the administration of law’ itu
mencakup pengertian pelaksanaan hukum (rules executing) dan tata administrasi
hukum itu sendiri dalam pengertian yang sempit. Misalnya dapat dipersoalkan
sejauhmana sistem dokumentasi dan publikasi berbagai produk hukum yang ada
selama ini telah dikembangkan dalam rangka pendokumentasian peraturan-peraturan
(regels), keputusan-keputusan administrasi negara (beschikkings),
ataupun penetapan dan putusan (vonis) hakim di seluruh jajaran dan
lapisan pemerintahan dari pusat sampai ke daerah-daerah. Jika sistem
administrasinya tidak jelas, bagaimana mungkin akses masyarakat luas terhadap
aneka bentuk produk hukum tersebut dapat terbuka? Jika akses tidak ada,
bagaimana mungkin mengharapkan masyarakat dapat taat pada aturan yang tidak
diketahuinya? Meskipun ada teori ‘fiktie’ yang diakui sebagai doktrin
hukum yang bersifat universal, hukum juga perlu difungsikan sebagai sarana
pendidikan dan pembaruan masyarakat (social reform), dan karena itu
ketidaktahuan masyarakat akan hukum tidak boleh dibiarkan tanpa usaha
sosialisasi dan pembudayaan hukum secara sistematis dan bersengaja.[50]
BAB IV. PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari
uraian-uraian tersebut di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.
Upaya penegakan hukum tidak
hanya tergantung pada produk perundang-undangan yang baik tetapi juga
tersedianya Aparatur Penegak Hukum yang berkualitas ;
2.
Selain itu juga diperlukan
adanya sosialisasi dan pembudayaan hukum kepada masyarakat secara sistematis
dan bersengaja ;
3.
Hukum juga bisa berfungsi
sebagai alat perubahan sosial (Law as a tool of social engeenering), maka perlu
adanya pembudidayaan kehidupan berdasarkan hukum.
B. SARAN
Dari
pemaparan dan uraian-uraian tersebut di atas, maka perlu disampaikan
saran-saran sebagai berikut :
1.
Perlu adanya POLITIK HUKUM yang
baik sebagai upaya untuk menghasilkan produk perundang-undangan yang
berkualitas ;
2.
Peningkatan
pendidikan-pendidikan hukum, sehingga bisa menghasilkan SARJANA-SARJANA HUKUM
yang baik dan bermoral tinggi yang selanjutnya bisa diharapkan menjadi Aparat
Penegak Hukum yang baik dan bermoral ;
3.
Peningkatan pembudidayaan
kehidupan berdasarkan hukum dengan melakukan sosialisasi-sosialisasi setiap
produk perundang-undangan yang dihasilkan, sehingga masyarakat menjadi tahu dan
mentaatinya ;
DAFTAR PUSTAKA
I. Daftar Buku Bacaan
1.
Prof.DR.H.M. Ali Mansyur, SH.SpN.M.Hum, dalam bukunya ANEKA
PERSOALAN HUKUM (Masalah Perjanjian,
Konsumen dan Pembaharuaan Hukum , Penerbit Unisula bekerjasama dengan Penerbit
Teras, Tahun 2010.
2.
ARIEF SIDARTA, SH, HUKUM DAN LOGIKA, Penerbit ALUMNI - BANDUNG , Tahun 1992.
3.
DR. Soerjono Soekanto, SH.MA, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum , Penerbit
Rajawali Pers – Jakarta ,
Tahun 1980.
4.
Ali Zainuddin, Sosiologi Hukum, Palu, Yayasan Masyarakat Indonesia
Baru,Tahun 2003.
5.
Prof.DR..Indrati Rini, SH.MS, Pengantar Ilmu Hukum – Program Pasca Sarjana MAGISTER ILMU
HUKUM Universitas Islam Sultan Agung,
Tahun 2012.
6.
Ishaq, SH.MH, Dasar-Dasar Ilmu Hukum , Penerbit SInar Grafika
– Jakarta ,
Tahun 2007.
7.
Prof.DR..Indrati Rini, SH.MS, Teori Hukum – Program Pasca Sarjana MAGISTER ILMU
HUKUM Universitas Islam Sultan Agung,
Tahun 2012.
8.
Prof. DR. Wahyono, SH.MS, Pengantar Hukum Indonesia –
Matrikulasi Program Pasca Sarjana MAGISTER ILMU HUKUM Universitas Islam Sultan Agung, Tahun 2012.
9.
Prof.DR.Achmad Ali,Sh.MH, Menguak Tabir Hukum, Penerbit
Ghalia, Bogor ,
Tahun 2011.
10.
Curzon L.B, Jurisprudence, M & E Handbook.
11.
Prof.DR.H.Abdul Latif,SH.MH dan H.hasbi Ali, SH.MH, Politik
Hukum, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Tahun 2011.
12.
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Penerbit PT.
Rajagrafindo Persada, Jakarta ,
Tahun 2009.
II. Daftar Link
Internet
4.
http://www.tempo.co/read/news/2012/08/16/063423967/SBY-Jangan-Ada-Intervensi-dalam-Penegakan-Hukum
15.
http://news.okezone.com/read/2012/08/01/339/671462/polri-dinilai-ciderai-penegakan-hukum-di-indonesia
[1] Hakim Yustisial pada
Mahkamah Agung RI, Mahasiswa Program Doktoral pada
Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan
Agung, Semarang ;
[2] Prof.DR.H.M. Ali Mansyur, SH.SpN.M.Hum, ANEKA PERSOALAN HUKUM (Masalah Perjanjian, Konsumen dan
Pembaharuaan Hukum , Penerbit Unisula bekerjasama dengan Penerbit Teras, Tahun
2010, hlm.148.
[3] http://eprints.ums.ac.id/346/1/2._ZUDAN.pdf.
[4] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen
Keempat ;
[5]http://1ia17meiliawati.blogspot.com/2012/04/kasus-penegakan-hukum-di-indonesia.html
[7] Prof.DR.Achmad Ali, SH.MH, MENGUAK TABIR HUKUM, Penerbit GHALIA
Indonesia – Bogor ,
Tahun 2008, hlm. 84.
[8] Ibid, hlm.86.
[9] Ibid, hlm.86.
[12] Prof.DR.Budioono Kusumohamidjojo,SH, FILSAFAT HUKUM (Problematik
Ketertiban Yang Adil), Penerbit CV. Mandar Maju – Bandung , hlm.172-173.
[13] Prof.DR.Mahfud MD, POLITIK HUKUM di Indonesia, Penerbit Rajawali
Pers – Jakarta ,
Tahun 2011, hlm. 5.
[14] Prof.DR..Indrati Rini, SH.MS, Pengantar Ilmu Hukum – Program Pasca Sarjana MAGISTER ILMU
HUKUM Universitas Islam Sultan Agung,
Tahun 2012.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Prof.DR..Indrati Rini, SH.MS, Teori Hukum – Program Pasca Sarjana MAGISTER ILMU
HUKUM Universitas Islam Sultan Agung,
Tahun 2012.
[18] Prof. DR.
Wahyono, SH.MS, Pengantar Hukum
Indonesia – Matrikulasi Program
Pasca Sarjana MAGISTER ILMU HUKUM
Universitas Islam Sultan Agung, Tahun 2012.
[19] Ibid.
[20] Syech Husain bin Audah al-Awaisyah, Pesan-pesan Terakhir
Rasulullah, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’I, Tahun 2007, hlm.44.
[21] Ishaq, SH.MH, Dasar-Dasar Ilmu Hukum , Penerbit SInar Grafika – Jakarta , Tahun 2007, hal.
30.
[22] Al-Qur’an.
[23]Prof.DR..Indrati Rini, SH.MS, Teori Hukum , loc.cit.
[24] Ishaq, SH.MH, loc.cit, hlm. 92.
[25] C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia ,
Penerbit Balai Pustaka, Tahun 1982, hlm.44.
[26] C.S.T. Kansil, loc.cit.hlm. 47.
[27] Ishaq, SH.MH, loc.cit.hlm.110.
[28] Prof. DR.
Soerjono Sukanto, SH.MA, Teori Yang Murni Tentang Hukum , Penerbit Alumni
Bandung, Tahun 1985, hlm. 99.
[29] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen
Keempat ;
[30] R. SOESILO, Kitab Undang-Undang HUKUM PIDANA (KUHP) Serta
Komentar-Komentarnya Lengakap Pasal Demi Pasal, Penerbit Politea – Bogor, Tahun
1996, hlm. 24.
[31] Prof. DR.C.F.G.
Sunaryati Hartanto, SH, dalam bukunya Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Penerbit Alumni Bandung Tahun 1991,
hlm. 96.
[33] Prof.DR.AP.Parlindungan,SH, KOMENTAR ATAS UNDANG-UNDANG POKOK
AGRARIA, Penerbit CV.Mandar Maju – Bandung ,
Tahun 1998, hlm.4.
[35] Ibid, http://jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf
[36]
http://gudangilmuhukum.blogspot.com/2010/08/pranata-hukum-sebuah-telaah-sosiologi.html
[37] Op cit, http://jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf
[38] http://www.suarapembaruan.com/home/penegakan-hukum-sulit-dilakukan-karena-maraknya-penyalahgunaan-kekuasaan/20394
[41]
http://www.tribunnews.com/2012/08/21/jafar-hafsah-penegakan-hukum-tak-pandang-bulu
[44]Prof.DR.H.Abdul Latif, SH.MH dan H. Hasbi Ali, SH.MS, POLITIK HUKUM,
Penerbit Sinar Grafika Jakarta, Tahun 2011, hlm.29.
[45] Moh.Mahfud MD, POLITIK HUKUM INDONESIA , Penerbit Rajawali Pers
Jakarta, Tahun 2011, hlm. 32.
[46] Ibid, hlm.32.
[47] Ibid, hlm.32.
[49] Ibid, hlm. 32.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar