Selasa, 17 November 2015

CONTEMPT OF COURT


CONTEMPT OF COURTS, DEMORALISASI PENEGAKAN PERADILAN YANG AGUNG
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE PRIJAMBODO, SH.MH[1]
A, Pendahuluan
Membicarakan mengenai proses Pro Justitia atau proses penegakan hukum tentunya tidak akan terlepas dari adanya proses persidangan yang menjadi muara dari proses tersebut. Persidangan, tidak hanya dalam perkara pidana, akan tetapi juga dalam perkara gugatan perdata di Pengadilan Negeri, gugatan perkara di Pengadilan Agama, gugatan perdata di Pengadilan Tata Usaha Negara, maupun perkara pidana Militer, seseungguhnya merupaka tahapan dalam mencari kebenaran dalam suatu lingkaran proses penegakan hukum yang hasilnya, baik berupa Penetapan maupun Putusan, sangat diharapkan oleh para pencari keadilan.
Persidangan di ruang sidang pengadilan baik itu di Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara maupun Pengadilan Militer, diharapkan dilaksanakan sesuai dengan Hukum Acara yang dimiliki oleh masing-masing Pengadilan tersebut dan hanya HAKIM yang dapat mengatur pelaksanaan persidangan, baik itu menentukan hari sidang, menentukan acara persidangan, menentukan tahapan-tahapan di dalam persidangan maupun menentukan hari pembacaan putusan. Di dalam pelaksanaan persidangan, tidak boeh terjadi adanya campur tangan dari pihak manapun, baik pihak yang bersidang maupun pihak-pihak lain di luar otoritas Majelis Hakim atau Hakim yang menyidangkanya, bahkan seorang Ketua Mahkamah Agung sekalipun tidak dapat campur tangan di dalam proses persidangan, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman yang telah diperbaharui dengan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan, “Kekuasaan  Kehakiman  adalah  kekuasaan  Negara  yang  merdeka  untuk menyelenggarakan  peradilan  guna  menegakkan  hukum  dan  keadilan  berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.” Dengan dijalankannya ketentuan pasal tersebut, maka proses persidangan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Kekuasaan Kehakiman, akan berjalan sebagaimana telah ditentukan dalam Hukum Acara. Hal ini juga dipertegas dalam Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana diubah dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan, “Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara.”
Republik Indonesia Tahun 1945.Meski demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa di dalam persidangan, terjadi juga perilaku-perilaku yang baik langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi jalannya persidangan, bahkan dapat juga mengganggu dan menghentikan jalannya persidangan. Perilaku-perilaku tersebut yang tidak hanya dilakukan di dalam persidangan tetapi juga di luar persidangan, secara tidak langsung menjdi sesuatu yang menyebabkan Demoralisasi  terhadap visi menuju peradilan Indonesia yang Agung, sebagaimana dalam peringatan hari jadi Mahkamah Agung ke – 70, Yang Mulia Bapak Ketua Mahkamah Agung kembali mengingatkan akan visi dari Mahkamah Agung yaitu menjadikan Peradilan Indonesia sebagai peradilan yang agung. Suatu visi yang melihat jauh ke masa depan dimana bangsa Indonesia sangat membutuhkan suatu badan peradilan yang mampu mengayomi dan memberi rasa keadilan sesuai dengan perkembangan peradaban dan kehidupan masyarakat.[2]
B. Permasalahan
Bahwa dari uraian sebagaimana tersebut diatas maka kiranya timbul suatu permaslahan, yaitu “Bagaimana mencegah dan mengatasi Contempt of Courtyang dianggap sebagai Demoralisasi dari visi Peradilan yang Agung ?” ;
C. Pembahasan
Terhadap upaya penegakan hukum, .Ali Mansyur, dalam bukunya Aneka Persoalan Hukum (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum), menyatakan bahwa “Dalam suatu Negara Hukum, supremasi HUKUM  seharusnya memperoleh tempat yang semestinya, fungsi Hukum  dalam arti materiil yang berusaha memberikan perlindungan kepada masyarakat dengan memperlaakukan tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan memberikan kedudukan Hukum bagi setiap orang.”[3]
Harus dipahami bahwa Hukum adalah suatu sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. Hukum akan menjadi berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan apabila masyarakat menggunakan hukum menuruti perilakunya. Hukum itu sendiri terbagi menjadi beberapa bidang, yaitu hukum pidana atau hukum publik, hukum perdata atau hukum pribadi, dan hukum acara, hukum tata Negara, hukum administrasi Negara atau hukum tata usaha Negara, hukum internasional, hukum adat, hukum islam, hukum agraria, hukum bisnis, dan hukum lingkungan. Dari hukum-hukum tersebut masing-masing mempunyai tujuan yang sama, yaitu bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula berdasar pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat.[4]
Sebagaimana telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Amandemen keempat dalam Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”[5], maka sudah pada tempatnya apabila Negara memperlakukan setiap warga negaranya secara sejajar di muka hukum. Sehingga tdak menimbulkan perilaku yang membeda-bedakan berdasarkan alasan apapun di dalam upaya penegakan hukum.
            Sampai saat ini masih sering terjadi, pelaksanaan penegakan hukum yang mencederai rasa keadilan masyarakat. Hal tersebut tidak hanya karena perilaku para aparat penegak hukum tetapi juga karena ketidaktahuan masyarakat akan peraturan yang dilanggarnya. Penegakkan hukum di Indonesia masih sangat tidak adil, karena masih melihat latar belakang dan kedudukan seseorang. Hukum hanya berpihak kepada mereka yang mempunyai kekuasaan, sedangkan bagi yang tidak memiliki kekuasaan, mereka tetaplah tertindas.[6]
Seseorang yang harus berhadapan dengan hukum tentu ingin mendapatkan keadilan, akan tetapi seringkali ketika seseorang hendak mencari keadilan justru melakukan tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai Contempt of Court (merendahkan persidangan).
C1. Arti Contempt of Court
Penjelasan Umum butir 4 Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, menyebutkan: “untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, maka perlu dibuat suatu undang-undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai contempt of court”.
Berdasarkan UU No. 14 Tahun 1985 tersebut, diterbitkanlah Surat Keputusan Bersama (SKB) No: M. 03-PR’08.05 Tahun 1987 Tentang Tata Cara Pengawasan, Penindakan, dan Pembelaan Diri Penasihat Hukum. Dengan terbitnya SKB ini, maka tujuan pembuat UU No. 14 Tahun 1985 itu telah dilaksanakan tetapi tidak sesuai dengan yang diharapkan, yaitu dituangkan dalam bentuk undang-undang. SKB ini hanya mengatur Contempt of Court yang dilakukan oleh penasihat hukum saja.[7]
Pengertian Contempt of Court secara definisi Terminologis adalah berasal dari kata contempt and court. contempt diartikan melanggar, menghina, memandang rendah. Court diartikan pengadilan. Dengan demikian Contempt of Court adalah upaya melaggar, menghina, memandang rendah pengadilan. Sedangkan menurut Muladi, makna court dalam contempt of court adalah court of judicature a body established by law to exercise, either generally or subject to defined lemits, the judicial power harus dibedakan dengan kekuasaan legislatif, eksekutif dan judikatif. [8]
Terhadap pengertian Contempt of Court, terdapat beberapa pengertian, sebagai berikut :[9]
1)    Black’s Law Dictionary, menyebutkan bahwa contempt of court adalah setiap perbuatan yang dapat dianggap mempermalukan, menghalangi atau merintangi tugas peradilan dari badan-badan pengadilan, ataupun segala tindakan yang dapat mengurangi kewibawaannya atau martabatnya. Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang/sekelompok orang yang dengan sengaja menentang atau melanggar kewibawaannya atau menggagalkan tugas peradilan atau dilakukan oleh seorang/sekelompok orang yang menjadi pihak dalam perkara yang diadili, yang dengan sengaja tidak mematuhi perintah pengadilan yang sah.
2)    Menurut Hasbullah F. Syawie, contempt of court dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang sungguh secara sengaja dilakukan, yang dipandang dapat mempermalukan kewibawaan dan martabat pengadilan atau merintangi pengadilan di dalam menjalankan peradilan yang dilakukan oleh seseorang sebagai pihak yang berperkara maupun oleh orang lain yang bukan pihak dalam berperkara.;
Contempt of Court dapat juga diartikan sebagai penghinaan terhadap Pengadilan (contempt of court) adalah segala perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan kewibawaan, martabat dan kehormatan badan peradilan.[10]
Oemar Senoadjie berpendapat bahwa perbuatan contempt of court ditujukan terhadap ataupun berhadapan dengan “administration of justice", rechtpleging (jalannya peradilan), yang secara umum dikategorikan menjadi : [11]
1.    Misbehaving in court; merupakan perbuatan atau tingkah laku yang secara tidak tertib, memalukan, atau merugikan, mengganggu jalannya proses peradilan yang seharusnya dari pengadilan. Pelanggaran jenis ini dapat berbentuk penghinaan terhadap hakim, pemukulan yang dilakukan terdakwa terhadap saksi, tidak mau berdiri ketika majelis hakim memasuki ruang pengadilan ataupun penasehat hukum yang tidak menunjukkan sikap hormat terhadap pengadilan ;
2.    Disobeying a court order; terjadi apabila perbuatan yang seharusnya dilakukan ataupun tidak dilakukan oleh seseorang yang diperintahkan ataupun diminta oleh pengadilan dalam menjalankan fungsinya tidak dapat dipenuhi oleh seseorang yang diperintahkan itu. Hal ini secara analogi juga dapat dikenakan terhadap Putusan yang seharusnya dijalankan oleh orang, badan hukum perdata bahkan badan hukum publik (badan/pejabat tata usaha negara) yang tidak melaksanakan putusan pengadilan ;
3.    The sub judice rule; suatu aturan umum (general rule) yang menyatakan bahwa tidak diperbolehkan publikasi untuk mencampuri peradilan yang bebas dan tidak memihak untuk suatu kasus yang sedang atau akan diperiksa di pengadilan. Hal ini dapat dihindari apabila dalam mengadakan pemberitaan atau komentar itu dilakukan secara wajar dan tidak memihak yang merupakan hasil investigasi yang akurat (fair and accurate reporting). Oleh karena itu, untuk menghindari adanya trial by the press dalam pemberitaan dan komentarnya, media massa seharusnya tidak memuat pemberitaan yang bersifat mendahului (prejudicial) atau memberikan ilustrasi yang menggambarkan bahwa tersangka atau terdakwa tidak mempunyai kesalahan sama sekali sebelum adanya keputusan yang pasti ;
4.    Obstructing justice; berbentuk penentangan terhadap perintah pengadilan secara terbuka maupun penyuapan terhadap saksi atau mengancam saksi agar tidak memberikan keterangan ataupun memalsukan keterangan yang diberikan ;
5.    Scandalizing the court; Ruang lingkup contempt by scandalizing the court meliputi tuduhan yang secara langsung ditujukan pada hakim tertentu atau pejabat pengadilan dan kritik-kritik terhadap keputusan dari pengambil keputusan. Jadi, ruang lingkup contempt by scandalizing the court tidak hanya ucapan atau kata-kata yang dapat menurunkan atau merendahkan martabat hakim atau pengadilan tetapi meliputi pula kritik atau pernyataan yang dapat mempengaruhi proses peradilan pada masa yang akan datang.
Dalam praktek, perilaku Contempt of Court sebenarnya dapat terjadi karena sebab-sebab dari dalam maupun dari luar pengadilan yaitu :
a.    Penyebab dari dalam pengadilan :
-       Ketidakdisiplinan aparatur pengadilan, yaitu meskipun telah ditentukan jam kerja secara jelas, namun pada prakteknya, masih terdapat aparatur pengadilan, baik itu karyawan, pejabat struktural, pejabat fungsional maupun Hakim yang tidak mematuhi jam kerja tersebut. Hal ini menyebabkan terhambatnya pelayanan terhadap para pencari keadilan ;
-       Rendahnya kualitas sumber daya manusia di kantor pengadilan yaitu masih terdapatnya aparatur pengadilan yang belum memahami tugas pokok dan fungsinya (tupoksi) sebagaimana telah ditetapkan dalam Standard Operating Procedure (SOP) dari masing-masing kantor pengadilan ;
-       Lambatnya minutering perkara di kantor pengadilan, yang bisa disebabkan beberapa hal seperti kurangnya fasilitas yang digunakan dalam menyelesaikan tugas-tugas kedinasan seperti kurangnya kertas, printer yang sering rusak atau disebabkan karena timbulnya rasa malas dari aparatur pengadilan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya ;
-       Masih terdapat aparatur pengadilan yang merasa setiap tugas-tugasnya harus mendapat imbalan dari para pencari keadilan sehingga hal ini memberatkan bagi para pencari keadilan, selain juga merupakan pelanggaran terhadap disiplin kepegawaian dan merupakan perilaku suap yang merupakan bagian dari tindak pidana korupsi ;
-       Hilangnya wibawa pengadilan dikarenakan adanya perilaku buruk dari aparatur pengadilan yang menyebabkan keengganan dari masyarakat untuk beracara di pengadilan ;
-       Masih banyak Hakim yang masih enggan untuk menggali nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat sehingga hanya berfungsi sebagai corong Undang-Undang padahal telah diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
-       Ketidaktegasan aparatur pengadilan ketika terjadi keadaan yang mendukung terjadinya tindakan-tindakan yang bersifat merendahkan pengadilan (contempt of court) ;
b.    Penyebab dari luar kantor pengadilan :
-       Masih minimnya pemahaman beracara di persidangan oleh masyarakat awam maupun juga oleh pihak advokat atau penasihat hukum. Hal ini seringkali membuat mereka merasa bahwa apabila terjadi penundaan sidang merupakan pengingkaran terhadap hak-haknya dalam bersidang ;
-       Adanya pihak-pihak yang merasa tidak nyaman ketika harus beracara di persidangan sehingga ketika mendapat panggilan sidang, tidak pernah bersedia untuk menghadirinya ;
-       Kurangnya sosialisasi kepada masyarakat terhadap tugas-tugas pengadilan, sehingga masyarakat merasa tidak membutuhkan adanya pengadilan, terbukti masih terdapat perilaku main hakim sendiri terhadap beberapa pelaku tindak pidana ;
-       Masih kurangnya pemahaman bahwa masih terdapat upaya hukum terhadap setiap putusan pengadilan kecuali putusan Peninjauan Kembali (PK) ;
Dari hal-hal yang disebutkan di atas, yang seringkali menyebabkan keadaan yang menyebabkan contempt of court yang akan mencoreng keberadaan proses peradilan yang dalam visi Mahkamah Agung adalah menuju peradilan Indonesia yang agung. Keadaan inilah yang dapat disebut sebagai sebuah DEMORALISASI dari upaya menuju peradilan Indonesia yang agung.
C2. Demoralisasi Peradilan Indonesia Yang Agung
Peradilan yang agung membutuhkan suatu konsekuensi bahwa aparat yang berada di setiap badan peradilan di Indonesia yang bernaung di bawah Mahkamah Agung Republik Indonesia harus bekerja keras menegakkan hukum dan keadilan sehingga dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, sebagaimana tujuan dari adanya hukum. Harus diakui bahwa menegakkan hukum dan menegakkan keadilan adalah bagaikan dua sisi mata uang yang sering tidak bisa seiring dan sejalan, yaitu ketika lebih memilih menegakkan hukum maka ada rasa keadilan yang tercederai, demikian pula sebaliknya, ketika lebih mengedepankan keadilan, maka ada norma hukum yang dikorbankan akan tetapi dari keduanya, yang utama adalah adanya manfaat dari hukum itu sendiri, yaitu adanya hukum akan memberi kemanfaatan bagi masyarakat sehingga timbul rasa membutuhkan hukum dalam masyarakat.[12]
Di sisi lain, visi peradilan yang agung tidak hanya berbentuk bangunan kantor pengadilan yang megah di setiap kota, sebab bangunan yang megah tersebut tidak secara otomatis memberi jaminan bahwa pelayanan yang diberikan juga sebanding dengan megahnya bangunan kantor tersebut. Meski demikian, jika kita melihat di daerah-daerah, utamanya di daerah yang jauh dari pusat kekuasaan, masih banyak gedung kantor pengadilan yang masih kurang layak untuk disebut sebagai kantor pengadilan dan masih banyak gedung kantor pengadilan yang memiliki bentuk yang berlainan, sehingga mengesankan tidak adanya keseragaman. Ketika masyarakat melihat dari sisi fisik gedung kantor pengadilan yang tidak sama antara kota yang satu dengan kota yang lain, maka akan timbul pemikiran bahwa pelayanan yang diberikanpun pasti tidak sama, apalagi ketika masyarakat akan menuntut keadilan, hal tersebut semakin membuat masyarakat meragukan keadilan yang akan diberikan oleh aparat penegak hukum di kantor pengadilan.[13]
Salah satu upaya yang dilakukan oleh Mahkamah Agung menuju badan peradilan yang agung adalah dengan menerapkan transparansi terhadap semua kegiatan Mahkamah Agung dan dan semua badan peradilan di bawahnya.  Sebagaimana Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) SK 144/2007 yang lalu direvisi menjadi SEMA I-144/2011 telah menunjukkan keseriusan Mahkamah Agung dalam menjalankan program reformasi birokrasi di tubuh Mahkamah Agung yang bahkan tanpa diketahui banyak pihak, Mahkamah Agung sudah menjalankan program keterbukaan informasi jauh sebelum program tersebut dicanangkan pemerintah.[14]
Akan tetapi transparansi yang diterapkan oleh Mahkamah Agung tersebut kiranya akan tercoreng apabila di dalam persidangan, yang merupakan inti tugas dari Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan di bawahnya, masih terdapat tindakan-tindakan yang merendahkan badan peradilan (contempt of court). Hal inilah yang dimaksud dengan DEMORALISASI upaya menuju badan peradilan Indonesia yang agung, yang secara bahasa, berasal dari bahasa Inggris, DEMORALIZATION, yang secara harfiah kemerosotan akhlak atau kerusakan moral[15] atau bisa juga diartikan  sebagai penurunan moral suatu bangsa (atau kelompok atau individu)[16]
Demoralisasi upaya menuju badan peradilan Indonesia yang agung dapat diartikan sebagai tindakan yang mencerminkan penurunan moral atau kemerosotan akhlak dari setiap individu yang ada dalam badan peradilan Indonesia ataupun setiap orang yang terlibat di dalam proses persidangan di setiap tingkatan badan perdilan di Indonesia yang bersifat atau bertujuan merendahkan martabat dan wibawa badan peradilan di Indonesia. Seringkali tindakan contempt of ourt yang terjadi adalah berupa bersikap tidak sopan ketika persidangan, misalkan dengan mengeluarkan suara-suara gaduh, merokok di ruang siang atau mengeluarkan kata-kata ancaman atau yang bersifat melecehkan terhadap Majelis Hakim ataupun terhadap Jaksa Penuntut Umum atau terhadap Penasihat Hukum atau terhadap Terdakwa di persidangan.
Jika ditilik dari sisi kesejarahan, diskursus ihwal UU Contempt of Court bukanlah perbincangan kemarin sore, yaitu pembahasan tentang ide ini sudah dimulai jauh sebelum dibentuknya Undang-Undang Mahkamah Agung tahun 1985 silam, tepatnya di tahun 1978 pada konferensi tingkat tinggi ketua-ketua MA Negara Asia Pasifik, yang dalam konferensi tersebut, beberapa Negara (India, Filipina, dan Pakistan) menyampaikan pandangan terkait permasalahan perlunya pengaturan khusus tentang Contempt of Court  guna mewujudkan penghargaan terhadap kebebasan kekuasaan kehakiman (Peradilan) dan dalam kurun waktu tersebut, Indonesia sendiri belum mengatur perihal Contempt of Courtdalam UU tersendiri atau setidaknya mengadopsi istilah ini. Barulah ketika UU No. 14 Tahun 1985 tentang MA disahkan, istilah Contempt of Court diintrodusir pertama kali dalam Penjelasan Umum angka 4 UU tersebut.[17]
Akan tetapi dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan tekhnologi khususnya adalah tekhnologi informatika, tidak menutup kemungkinan bahwa perilaku contempt of court tidak hanya dilakukan di dalam persidangan, akan tetapi juga dilakukan melalui media massa atau melalui media sosial sebagaimana kerap terjadi pada saat ini. Oleh karena itu perlu adanya penegasan mengenai definisi contempt of court ataupun klasifikasi-klasifikasi tindakan yang dapat dikategorikan sebagai contempt of court.
Hal ini perlu dilakukan mengingat upaya ataupun tindakan yang bersifat demoralisasi usaha menuju badan peradilan Indonesia yang agung hanya akan mencederai rasa keadilan daam masyarakat dan memberikan stigma yang buruk bagi badan peradilan di masa yang akan datang. Bahkan bukan tidak mungkin, di kemudian hari masyarakat benar-benar tidak mempercayai lagi akan keberadaan badan peradilan sehingga bisa dibayangkan kejadian pencuri yang dibakar massa atau upaya penagihan hutang dengan cara-cara kekerasan atau perceraian dilakukan hanya dengan menggunakan sarana tekhnologi informatika dan lain sebagainya, akan sangat banyak terjadi. Apabila hal ini terjadi maka peran Negara sebagai pengayom warga negaranya menjadi hilang dan hilang pula kepercayaan warga negara terhadap Negara, yang bisa berakibat runtuhnya Negara yang memicu perpecahan secara kedaerahan.
Kepercayaan terhadap lembaga yudikatif adalah suatu keniscayaan yang harus tetap dijaga marwahnya sehingga wibawa Negara juga akan timbul dan Negara dapat melindungi warga negaranya. Saat ini harus diakui bahwa dari 3 pilar sebagai syarat berdirinya suatu Negara, yaitu Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif, di Indonesia tingkat kepercayaannya sudah menurun. Kita sebagai warga badan peradilan, mempunyai tugas dan kewajiban untuk menjaga wibawa badan peradilan, salah satu caranya adalah dengan mencegah terjadinya perilaku yang merendahkan badan peradilan (contempt of court).
Proses peradilan yang bersih dan bebas dari campur tangan pihak manapun akan mencerminkan bahwa badan peradilan di Indonesia merupakan badan peradilan yang tetap terjaga marwahnya dan mampu memberikan rasa keadilan bagi masyarakat pencari keadilan. Aparatur pengadilan harus berperan aktif sebagaimana tugas dan fungsinya masing-masing di dalam memberikan pelayanan yang optimal kepada para pencari keadilan, demi mencegah adanya pihak-pihak yang bisa melakukan tindakan atau perilaku yang merendahkan martabat badan peradilan.
C3. Pembentukan Undang-Undang Contempt of Court
Saat ini sedang diramaikan dengan pemberitaan tentang pembahasan Rancangan Undang-Undang yang mengatur tentang Contempt of Court. Ada sebagian kalangan yang menilai bahwa Undang-Undang tersebut tidak diperlukan dengan alasan diantaranya adalah pelecehan terhadap wibawa dan martabat peradilan adalah suatu masalah, iya, akan tetapi, penyelesaiannya dengan membentuk Undang-Undang  Contempt of Court secara khusus adalah hal lain yang tidak serta merta menjawab pertanyaan tersebut, karena terdapat masalah yang lebih penting untuk segera diselesaikan, yakni jaminan keamanan dan keselamatan hakim serta aparat pengadilan lainnya, dan juga pengaturan tentang protokoler persidangan dan pada akhirnya, penerapan peraturan yang telah ada secara efektif dan berbenah diri secara internal juga merupakan jalan keluar yang lebih baik diprioritaskan dibandingkan dengan membentuk Undang-Undang Contempt of Court dengan semangat yang tergesa-gesa.
Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Penghinaan dalam Persidangan (contempt of court) telah dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019 nomor urut 61. Hadirnya Undang-undang yang secara khusus mengatur tindakan penghinaan terhadap Pengadilan diharapkan dapat menegakkan wibawa Pengadilan sekaligus mengeliminir tindakan-tindakan yang dapat mengganggu proses hukum di Pengadilan yang cakupan pengaturan dalam RUU tentang Penghinaan dalam Persidangan harus diperluas sehingga dapat “meng-cover” segala bentuk tindakan tidak terpuji yang dapat mengganggu jalannya persidangan, yaitu dari apek pelaku misalnya, penghinaan terhadap Pengadilan tidak hanya dilakukan oleh para pencari keadilan saja seperti para pihak yang berperkara dan keluarganya, namun bisa jadi dilakukan oleh oknum aparat penegak hukum yang terlibat langsung dalam proses peradilan tersebut, kalangan pers, organisasi sosial politik, lembaga swadaya masyarakat atau pihak-pihak lain yang merongrong wibawa Pengadilan dan dari aspek perbuatannya, penghinaan terhadap Pengadilan tidak hanya sebatas tindakan verbal seperti mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas seperti menghina dan mencaci, tetapi perbuatan lainnya seperti pengrusakan properti negara di Pengadilan dan kekerasan fisik terhadap pejabat-pejabat yudisial yang sedang bertugas.[18] 
Demikian pula pendapat dari Padmo Wahjono yang dikutip oleh Abdul Latif, menyatakan bahwa, “Polittik Hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang berlaku”.[19] Sehingga pembentukan Undang-Undang  yang mengatur tentang contempt of court perlu mempertegas hal-hal yang masuk dalam kualifikasi perilaku contempt of court.
Akan tetapi meskipun pada suatu saat nanti telah ada Undang-Undang yang mengatur mengenai contempt of court, namun kiranya hanya diberlakukan terhadap perilaku contempt of court yang berat saja dan bersifat mengancam pelaksanaan proses persidangan, sedangkan terhadap perilaku contempt of court yang hanya berupa teriakan pengunjung sidang, kiranya dapat ditertibkan berdasarkan ketegasan dari Ketua Majelis Hakim yang sedang menyidangkan perkara tersebut.
C4. Antisipasi Terhadap Perilaku Contempt of Court
Sambil menunggu disahkannya Rancangan Undang-Undang tentang Contempt of Court menjadi Undang-Undang, kiranya kita selaku aparatur pengadilan dapat melakukan tindakan-tindakan preventif selama berjalannya proses persidangan, antara lain :
a)    Membuat dan mematuhi jadwal persidangan secara tertib ;
b)    Meningkatkan disiplin kerja dan melaksanakan tugas-tugasnya sebagaimana telah dijabarkan dalam Standard Operating Procedure (SOP) dari masing-masing kantor pengadilan, termasuk diantaranya adalah penyelesaian pemberkasan (minutering) ;
c)    Para Hakim harus selalu meningkatkan kompetensinya dengan lebih banyak membaca dan selalu menggali nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat di sekitarnya sehingga putusan yang dihasilkan adalah putusan yang sesuai dengan keadilan ;
d)    Majelis Hakim harus bersikap tegas dengan tidak segan menegur para pihak di persidangan maupun pengunjung sidang apabila berperilaku yang dapat mengganggu jalannya persidangan ;
e)    Tertib administrasi, yaitu jangan pernah menunda pekerjaan, apa yang bisa diselesaikan saat ini, maka harus segera diselesaikan sehingga tidak akan ada lagi tunggakan pekerjaan di kemudian hari ;
f)     Bekerjasama dengan Pemerintah Daerah maupun instansi vertikal lainnya untuk lebih sering melakukan penyuluhan hukum kepada masyarakat sehingga masyarakat tidak lagi menjadi buta hukum ;
g)    Mengedukasi masyarakat pencari keadilan yang akan bersidang di kantor pengadilan maupun pengunjung sidang dengan memperbanyak tulisan-tulisan yang isinya berupa peringatan dan larangan yang harus dipatuhi oleh pengunjung sidang ;
h)   Dalam persidangan tertentu, secara aktif meminta bantuan aparat keamanan setempat yaitu dari Polres maupun Polsek ataupun dari intansi militer untuk melakukan pengamanan persidangan ;
i)     Selalu mengingatkan bahwa pada setiap putusan di semua tingkatan masih terdapat upaya hukum, kecuali untuk putusan Peninjauan Kembali, sehingga masyarakat pencari keadilan maupun pengunjung sidang tidak perlu bersikap anarkis apabila putusan Hakim tidak sesuai dengan harapannya ;
j)      Dari segi tekhnologi informasi, sudah saatnya aparatur pengadilan dapat melakukan “one day publish” (penerbitan dalam satu hari) terhadap putusan Hakim ;
k)    Seandainya tetap terjadi perilaku contempt of court, diserahkan kepada aparat kemananan untuk mengamankannya dan memproses pelaku sesuai peraturan perundang-undangan ;
Kiranya beberapa hal di atas, dapatlah menjadi hal yang dapat mendorong kita semua untuk bersikap pro aktif di dalam mencegah terjadinya perilaku yang merendahkan pengadilan (contempt of court) , sehingga perilaku contemt of court bisa dihindarkan karena perilaku tersebut merupakan perilaku yang bersifat demoralisasi terhdap upaya Mahkamah Agung di dalam mewujudkan badan peradilan Indonesia yang agung.

D. KESIMPULAN
Dari uraian tersebut di atas, kiranya dapat kita mengambil kesimpulan sebagai berikut :
1.     Penyebab contempt of court dapat berasal dari dalam pengadilan maupun dapat berasal dari luar pengadilan ;
2.     Perilaku contempt of court merupakan perilaku yang bersifat demoralisasi terhadap upaya Mahkamah Agung di dalam mewujudkan badan peradilan Indonesia yang agung ;
3.     Instrosperksi diri dengan mendisiplinkan diri dalam menjalankan tugas kedinasan sehari-hari, sehingga dapat menjadi pencegah terjadinya perlaku contempt of court ;
4.     Meskipun belum ada Undang-Undang yang mengatur khusus mengenai contempt of court, namun apabila terjadi perilaku contempt of court harus diserahkan kepada pihak keamanan (kepolisian) untuk diamankan dan diproses sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku ;
E. DAFTAR BACAAN
1.    Ali Mansyur, Aneka Persoalan Hukum (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum, 2010, Penerbit Unisula bekerjasama dengan Penerbit Teras, Semarang ; .
2.    Abdul Latif dan H. Hasbi Ali, Politik Hukum, 2011, Jakarta, Sinar Grafika ;
3.    http://santhoshakim.blogspot.co.id/2015/09/peradilan-yang-agung.html, diunduh tanggal 17 Nopember 2015 ;
5.    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen Keempat ;
12. http://kbbi.web.id/demoralisasi, diunduh tanggal 16 Nopember 2015 ;
13. http://brainly.co.id/tugas/2034763, diunduh tanggal 16 Nopember 2015 ;
14. http://118.98.97.64/leip/?p=136, diunduh tanggal 06 Nopember 2015 ;


[1] Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung RI, Mahasiswa Program Doktoral pada Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang ;
[3]Ali Mansyur, Aneka Persoalan Hukum (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum, 2010, Penerbit Unisula bekerjasama dengan Penerbit Teras, Semarang, h. 148.
[4]  http://eprints.ums.ac.id/346/1/2._ZUDAN.pdf.
[5] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen Keempat ;
[6]http://1ia17meiliawati.blogspot.com/2012/04/kasus-penegakan-hukum-di-indonesia.html

[15] http://kbbi.web.id/demoralisasi, diunduh tanggal 16 Nopember 2015 ;

[16] http://brainly.co.id/tugas/2034763, diunduh tanggal 16 Nopember 2015 ;

[17] http://118.98.97.64/leip/?p=136, diunduh tanggal 06 Nopember 2015 ;

[19] Abdul Latif dan H. Hasbi Ali, Politik Hukum, 2011, Jakarta, Sinar Grafika, h. 25.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...