CONTEMPT
OF COURTS, DEMORALISASI PENEGAKAN PERADILAN YANG AGUNG
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE PRIJAMBODO, SH.MH[1]
A, Pendahuluan
Membicarakan
mengenai proses Pro Justitia atau proses penegakan hukum tentunya tidak akan
terlepas dari adanya proses persidangan yang menjadi muara dari proses
tersebut. Persidangan, tidak hanya dalam perkara pidana, akan tetapi juga dalam
perkara gugatan perdata di Pengadilan Negeri, gugatan perkara di Pengadilan
Agama, gugatan perdata di Pengadilan Tata Usaha Negara, maupun perkara pidana
Militer, seseungguhnya merupaka tahapan dalam mencari kebenaran dalam suatu
lingkaran proses penegakan hukum yang hasilnya, baik berupa Penetapan maupun
Putusan, sangat diharapkan oleh para pencari keadilan.
Persidangan
di ruang sidang pengadilan baik itu di Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama,
Pengadilan Tata Usaha Negara maupun Pengadilan Militer, diharapkan dilaksanakan
sesuai dengan Hukum Acara yang dimiliki oleh masing-masing Pengadilan tersebut
dan hanya HAKIM yang dapat mengatur pelaksanaan persidangan, baik itu
menentukan hari sidang, menentukan acara persidangan, menentukan
tahapan-tahapan di dalam persidangan maupun menentukan hari pembacaan putusan.
Di dalam pelaksanaan persidangan, tidak boeh terjadi adanya campur tangan dari
pihak manapun, baik pihak yang bersidang maupun pihak-pihak lain di luar
otoritas Majelis Hakim atau Hakim yang menyidangkanya, bahkan seorang Ketua
Mahkamah Agung sekalipun tidak dapat campur tangan di dalam proses persidangan,
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang telah diperbaharui dengan Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan, “Kekuasaan
Kehakiman adalah kekuasaan
Negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia.” Dengan dijalankannya ketentuan pasal tersebut, maka proses
persidangan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Kekuasaan Kehakiman,
akan berjalan sebagaimana telah ditentukan dalam Hukum Acara. Hal ini juga
dipertegas dalam Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana
diubah dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan, “Segala
campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan
kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara.”
Republik
Indonesia Tahun 1945.Meski demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa di dalam
persidangan, terjadi juga perilaku-perilaku yang baik langsung maupun tidak
langsung akan mempengaruhi jalannya persidangan, bahkan dapat juga mengganggu
dan menghentikan jalannya persidangan. Perilaku-perilaku tersebut yang tidak
hanya dilakukan di dalam persidangan tetapi juga di luar persidangan, secara
tidak langsung menjdi sesuatu yang menyebabkan Demoralisasi terhadap visi menuju peradilan Indonesia yang
Agung, sebagaimana dalam peringatan hari jadi Mahkamah
Agung ke – 70, Yang Mulia Bapak Ketua Mahkamah Agung kembali mengingatkan akan
visi dari Mahkamah Agung yaitu menjadikan Peradilan Indonesia sebagai peradilan
yang agung. Suatu visi yang melihat jauh ke masa depan dimana bangsa Indonesia
sangat membutuhkan suatu badan peradilan yang mampu mengayomi dan memberi rasa
keadilan sesuai dengan perkembangan peradaban dan kehidupan masyarakat.[2]
B. Permasalahan
Bahwa
dari uraian sebagaimana tersebut diatas maka kiranya timbul suatu permaslahan,
yaitu “Bagaimana mencegah dan mengatasi Contempt of Courtyang dianggap sebagai
Demoralisasi dari visi Peradilan yang Agung ?” ;
C. Pembahasan
Terhadap
upaya penegakan hukum, .Ali Mansyur, dalam bukunya Aneka Persoalan Hukum (Masalah
Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum), menyatakan bahwa “Dalam suatu
Negara Hukum, supremasi HUKUM seharusnya
memperoleh tempat yang semestinya, fungsi Hukum
dalam arti materiil yang berusaha memberikan perlindungan kepada
masyarakat dengan memperlaakukan tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan memberikan kedudukan Hukum bagi
setiap orang.”[3]
Harus
dipahami bahwa Hukum adalah suatu sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas
rangkaian kekuasaan kelembagaan. Hukum akan menjadi berarti apabila
perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan apabila masyarakat menggunakan
hukum menuruti perilakunya. Hukum itu sendiri terbagi menjadi
beberapa bidang, yaitu hukum pidana atau hukum publik, hukum perdata atau hukum
pribadi, dan hukum acara, hukum tata Negara, hukum administrasi Negara atau
hukum tata usaha Negara, hukum internasional, hukum adat, hukum islam, hukum
agraria, hukum bisnis, dan hukum lingkungan. Dari hukum-hukum tersebut
masing-masing mempunyai tujuan yang sama, yaitu bertujuan menjamin adanya
kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula berdasar pada
keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat.[4]
Sebagaimana
telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia,
Amandemen keempat dalam Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya
di dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya”[5],
maka sudah pada tempatnya apabila Negara memperlakukan setiap warga
negaranya secara sejajar di muka hukum. Sehingga tdak menimbulkan perilaku yang
membeda-bedakan berdasarkan alasan apapun di dalam upaya penegakan hukum.
Sampai saat ini masih sering
terjadi, pelaksanaan penegakan hukum yang mencederai rasa keadilan masyarakat. Hal
tersebut tidak hanya karena perilaku para aparat penegak hukum tetapi juga
karena ketidaktahuan masyarakat akan peraturan yang dilanggarnya. Penegakkan
hukum di Indonesia masih sangat tidak adil, karena masih melihat latar belakang
dan kedudukan seseorang. Hukum hanya berpihak kepada mereka yang mempunyai
kekuasaan, sedangkan bagi yang tidak memiliki kekuasaan, mereka tetaplah
tertindas.[6]
Seseorang
yang harus berhadapan dengan hukum tentu ingin mendapatkan keadilan, akan
tetapi seringkali ketika seseorang hendak mencari keadilan justru melakukan
tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai Contempt of Court
(merendahkan persidangan).
C1. Arti Contempt of Court
Penjelasan Umum butir 4
Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, menyebutkan: “untuk
dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi
penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila, maka perlu dibuat suatu undang-undang yang mengatur penindakan
terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan atau ucapan yang dapat merendahkan
dan merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan badan peradilan yang dikenal
sebagai contempt of court”.
Berdasarkan UU No. 14 Tahun 1985
tersebut, diterbitkanlah Surat Keputusan Bersama (SKB) No: M. 03-PR’08.05
Tahun 1987 Tentang Tata Cara Pengawasan, Penindakan, dan Pembelaan Diri
Penasihat Hukum. Dengan terbitnya SKB ini, maka tujuan pembuat UU No. 14
Tahun 1985 itu telah dilaksanakan tetapi tidak sesuai dengan yang diharapkan,
yaitu dituangkan dalam bentuk undang-undang. SKB ini hanya mengatur
Contempt of Court yang dilakukan oleh penasihat hukum saja.[7]
Pengertian Contempt of Court secara
definisi Terminologis adalah berasal dari
kata contempt and
court. contempt diartikan melanggar,
menghina, memandang rendah. Court diartikan pengadilan. Dengan demikian
Contempt of Court adalah upaya melaggar, menghina, memandang rendah pengadilan.
Sedangkan menurut Muladi, makna court dalam contempt of court adalah court of
judicature a body established by law to exercise, either generally or subject
to defined lemits, the judicial power harus dibedakan dengan kekuasaan
legislatif, eksekutif dan judikatif. [8]
Terhadap pengertian Contempt of
Court, terdapat beberapa pengertian, sebagai berikut :[9]
1) Black’s Law
Dictionary, menyebutkan bahwa contempt of court adalah setiap
perbuatan yang dapat dianggap mempermalukan, menghalangi atau merintangi tugas
peradilan dari badan-badan pengadilan, ataupun segala tindakan yang dapat
mengurangi kewibawaannya atau martabatnya. Perbuatan itu dilakukan oleh
seseorang/sekelompok orang yang dengan sengaja menentang atau melanggar
kewibawaannya atau menggagalkan tugas peradilan atau dilakukan oleh seorang/sekelompok
orang yang menjadi pihak dalam perkara yang diadili, yang dengan sengaja tidak
mematuhi perintah pengadilan yang sah.
2) Menurut
Hasbullah F. Syawie, contempt of court dapat diartikan sebagai
suatu perbuatan yang sungguh secara sengaja dilakukan, yang dipandang dapat
mempermalukan kewibawaan dan martabat pengadilan atau merintangi pengadilan di
dalam menjalankan peradilan yang dilakukan oleh seseorang sebagai pihak yang
berperkara maupun oleh orang lain yang bukan pihak dalam berperkara.;
Contempt of Court dapat juga diartikan sebagai penghinaan terhadap
Pengadilan (contempt of court) adalah segala perbuatan, tingkah laku, sikap
dan/atau ucapan yang dapat merendahkan kewibawaan, martabat dan kehormatan
badan peradilan.[10]
Oemar Senoadjie berpendapat bahwa
perbuatan contempt of court ditujukan terhadap ataupun berhadapan
dengan “administration of justice", rechtpleging (jalannya
peradilan), yang secara umum dikategorikan menjadi : [11]
1. Misbehaving
in court; merupakan perbuatan atau tingkah laku yang secara tidak tertib,
memalukan, atau merugikan, mengganggu jalannya proses peradilan yang seharusnya
dari pengadilan. Pelanggaran jenis ini dapat berbentuk penghinaan terhadap
hakim, pemukulan yang dilakukan terdakwa terhadap saksi, tidak mau berdiri
ketika majelis hakim memasuki ruang pengadilan ataupun penasehat hukum yang
tidak menunjukkan sikap hormat terhadap pengadilan ;
2. Disobeying a
court order; terjadi apabila perbuatan yang seharusnya
dilakukan ataupun tidak dilakukan oleh seseorang yang diperintahkan ataupun
diminta oleh pengadilan dalam menjalankan fungsinya tidak dapat dipenuhi oleh
seseorang yang diperintahkan itu. Hal ini secara analogi juga dapat dikenakan
terhadap Putusan yang seharusnya dijalankan oleh orang, badan hukum perdata
bahkan badan hukum publik (badan/pejabat tata usaha negara) yang tidak melaksanakan
putusan pengadilan ;
3. The sub
judice rule; suatu aturan umum (general rule) yang
menyatakan bahwa tidak diperbolehkan publikasi untuk mencampuri peradilan yang
bebas dan tidak memihak untuk suatu kasus yang sedang atau akan diperiksa di
pengadilan. Hal ini dapat dihindari apabila dalam mengadakan pemberitaan
atau komentar itu dilakukan secara wajar dan tidak memihak yang merupakan hasil
investigasi yang akurat (fair and accurate reporting). Oleh karena itu,
untuk menghindari adanya trial by the press dalam pemberitaan
dan komentarnya, media massa seharusnya tidak memuat pemberitaan yang bersifat
mendahului (prejudicial) atau memberikan ilustrasi yang menggambarkan
bahwa tersangka atau terdakwa tidak mempunyai kesalahan sama sekali sebelum
adanya keputusan yang pasti ;
4. Obstructing
justice; berbentuk penentangan terhadap perintah pengadilan secara terbuka
maupun penyuapan terhadap saksi atau mengancam saksi agar tidak memberikan
keterangan ataupun memalsukan keterangan yang diberikan ;
5. Scandalizing
the court; Ruang lingkup contempt by scandalizing the court meliputi
tuduhan yang secara langsung ditujukan pada hakim tertentu atau pejabat
pengadilan dan kritik-kritik terhadap keputusan dari pengambil keputusan. Jadi,
ruang lingkup contempt by scandalizing the court tidak hanya
ucapan atau kata-kata yang dapat menurunkan atau merendahkan martabat hakim
atau pengadilan tetapi meliputi pula kritik atau pernyataan yang dapat
mempengaruhi proses peradilan pada masa yang akan datang.
Dalam praktek, perilaku Contempt of Court sebenarnya dapat terjadi karena
sebab-sebab dari dalam maupun dari luar pengadilan yaitu :
a. Penyebab
dari dalam pengadilan :
-
Ketidakdisiplinan aparatur pengadilan, yaitu meskipun
telah ditentukan jam kerja secara jelas, namun pada prakteknya, masih terdapat
aparatur pengadilan, baik itu karyawan, pejabat struktural, pejabat fungsional
maupun Hakim yang tidak mematuhi jam kerja tersebut. Hal ini menyebabkan
terhambatnya pelayanan terhadap para pencari keadilan ;
-
Rendahnya kualitas sumber daya manusia di kantor
pengadilan yaitu masih terdapatnya aparatur pengadilan yang belum memahami
tugas pokok dan fungsinya (tupoksi) sebagaimana telah ditetapkan dalam Standard
Operating Procedure (SOP) dari masing-masing kantor pengadilan ;
-
Lambatnya minutering perkara di kantor pengadilan,
yang bisa disebabkan beberapa hal seperti kurangnya fasilitas yang digunakan
dalam menyelesaikan tugas-tugas kedinasan seperti kurangnya kertas, printer
yang sering rusak atau disebabkan karena timbulnya rasa malas dari aparatur
pengadilan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya ;
-
Masih terdapat aparatur pengadilan yang merasa setiap
tugas-tugasnya harus mendapat imbalan dari para pencari keadilan sehingga hal
ini memberatkan bagi para pencari keadilan, selain juga merupakan pelanggaran
terhadap disiplin kepegawaian dan merupakan perilaku suap yang merupakan bagian
dari tindak pidana korupsi ;
-
Hilangnya wibawa pengadilan dikarenakan adanya
perilaku buruk dari aparatur pengadilan yang menyebabkan keengganan dari
masyarakat untuk beracara di pengadilan ;
-
Masih banyak Hakim yang masih enggan untuk menggali
nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat sehingga hanya berfungsi
sebagai corong Undang-Undang padahal telah diatur dalam Pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.”
-
Ketidaktegasan aparatur pengadilan ketika terjadi
keadaan yang mendukung terjadinya tindakan-tindakan yang bersifat merendahkan
pengadilan (contempt of court) ;
b. Penyebab
dari luar kantor pengadilan :
-
Masih minimnya pemahaman beracara di persidangan oleh
masyarakat awam maupun juga oleh pihak advokat atau penasihat hukum. Hal ini
seringkali membuat mereka merasa bahwa apabila terjadi penundaan sidang
merupakan pengingkaran terhadap hak-haknya dalam bersidang ;
-
Adanya pihak-pihak yang merasa tidak nyaman ketika
harus beracara di persidangan sehingga ketika mendapat panggilan sidang, tidak
pernah bersedia untuk menghadirinya ;
-
Kurangnya sosialisasi kepada masyarakat terhadap
tugas-tugas pengadilan, sehingga masyarakat merasa tidak membutuhkan adanya
pengadilan, terbukti masih terdapat perilaku main hakim sendiri terhadap
beberapa pelaku tindak pidana ;
-
Masih kurangnya pemahaman bahwa masih terdapat upaya
hukum terhadap setiap putusan pengadilan kecuali putusan Peninjauan Kembali
(PK) ;
Dari hal-hal yang disebutkan di atas, yang seringkali menyebabkan keadaan
yang menyebabkan contempt of court yang akan mencoreng keberadaan proses
peradilan yang dalam visi Mahkamah Agung adalah menuju peradilan Indonesia yang
agung. Keadaan inilah yang dapat disebut sebagai sebuah DEMORALISASI dari upaya
menuju peradilan Indonesia yang agung.
C2. Demoralisasi
Peradilan Indonesia Yang Agung
Peradilan yang agung
membutuhkan suatu konsekuensi bahwa aparat yang berada di setiap badan
peradilan di Indonesia yang bernaung di bawah Mahkamah Agung Republik Indonesia
harus bekerja keras menegakkan hukum dan keadilan sehingga dapat dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat, sebagaimana tujuan dari adanya hukum. Harus diakui
bahwa menegakkan hukum dan menegakkan keadilan adalah bagaikan dua sisi mata
uang yang sering tidak bisa seiring dan sejalan, yaitu ketika lebih memilih
menegakkan hukum maka ada rasa keadilan yang tercederai, demikian pula
sebaliknya, ketika lebih mengedepankan keadilan, maka ada norma hukum yang
dikorbankan akan tetapi dari keduanya, yang utama adalah adanya manfaat dari
hukum itu sendiri, yaitu adanya hukum akan memberi kemanfaatan bagi masyarakat
sehingga timbul rasa membutuhkan hukum dalam masyarakat.[12]
Di sisi lain, visi peradilan
yang agung tidak hanya berbentuk bangunan kantor pengadilan yang megah di
setiap kota, sebab bangunan yang megah tersebut tidak secara otomatis memberi
jaminan bahwa pelayanan yang diberikan juga sebanding dengan megahnya bangunan
kantor tersebut. Meski demikian, jika kita melihat di daerah-daerah, utamanya
di daerah yang jauh dari pusat kekuasaan, masih banyak gedung kantor pengadilan
yang masih kurang layak untuk disebut sebagai kantor pengadilan dan masih
banyak gedung kantor pengadilan yang memiliki bentuk yang berlainan, sehingga
mengesankan tidak adanya keseragaman. Ketika masyarakat melihat dari sisi fisik
gedung kantor pengadilan yang tidak sama antara kota yang satu dengan kota yang
lain, maka akan timbul pemikiran bahwa pelayanan yang diberikanpun pasti tidak
sama, apalagi ketika masyarakat akan menuntut keadilan, hal tersebut semakin
membuat masyarakat meragukan keadilan yang akan diberikan oleh aparat penegak
hukum di kantor pengadilan.[13]
Salah satu upaya yang
dilakukan oleh Mahkamah Agung menuju badan peradilan yang agung adalah dengan
menerapkan transparansi terhadap semua kegiatan Mahkamah Agung dan dan semua
badan peradilan di bawahnya. Sebagaimana
Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) SK 144/2007 yang lalu direvisi menjadi SEMA I-144/2011
telah menunjukkan keseriusan Mahkamah Agung dalam menjalankan program reformasi
birokrasi di tubuh Mahkamah Agung yang bahkan tanpa diketahui banyak pihak,
Mahkamah Agung sudah menjalankan program keterbukaan informasi jauh sebelum
program tersebut dicanangkan pemerintah.[14]
Akan tetapi transparansi yang diterapkan oleh Mahkamah Agung tersebut
kiranya akan tercoreng apabila di dalam persidangan, yang merupakan inti tugas
dari Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan di bawahnya, masih terdapat
tindakan-tindakan yang merendahkan badan peradilan (contempt of court). Hal
inilah yang dimaksud dengan DEMORALISASI upaya menuju badan peradilan Indonesia
yang agung, yang secara bahasa, berasal dari bahasa Inggris, DEMORALIZATION,
yang secara harfiah kemerosotan
akhlak atau kerusakan moral[15] atau bisa juga diartikan sebagai penurunan moral suatu bangsa (atau kelompok
atau individu)[16]
Demoralisasi upaya menuju
badan peradilan Indonesia yang agung dapat diartikan sebagai tindakan yang
mencerminkan penurunan moral atau kemerosotan akhlak dari setiap individu yang
ada dalam badan peradilan Indonesia ataupun setiap orang yang terlibat di dalam
proses persidangan di setiap tingkatan badan perdilan di Indonesia yang
bersifat atau bertujuan merendahkan martabat dan wibawa badan peradilan di
Indonesia. Seringkali tindakan contempt of ourt yang terjadi adalah berupa
bersikap tidak sopan ketika persidangan, misalkan dengan mengeluarkan
suara-suara gaduh, merokok di ruang siang atau mengeluarkan kata-kata ancaman
atau yang bersifat melecehkan terhadap Majelis Hakim ataupun terhadap Jaksa
Penuntut Umum atau terhadap Penasihat Hukum atau terhadap Terdakwa di
persidangan.
Jika ditilik dari sisi kesejarahan, diskursus ihwal UU Contempt of
Court bukanlah perbincangan kemarin sore, yaitu pembahasan tentang ide
ini sudah dimulai jauh sebelum dibentuknya Undang-Undang Mahkamah Agung tahun
1985 silam, tepatnya di tahun 1978 pada konferensi tingkat tinggi ketua-ketua
MA Negara Asia Pasifik, yang dalam konferensi tersebut, beberapa Negara (India,
Filipina, dan Pakistan) menyampaikan pandangan terkait permasalahan perlunya
pengaturan khusus tentang Contempt of Court guna mewujudkan
penghargaan terhadap kebebasan kekuasaan kehakiman (Peradilan) dan dalam kurun
waktu tersebut, Indonesia sendiri belum mengatur perihal Contempt of
Courtdalam UU tersendiri atau setidaknya mengadopsi istilah ini. Barulah
ketika UU No. 14 Tahun 1985 tentang MA disahkan, istilah Contempt of
Court diintrodusir pertama kali dalam Penjelasan Umum angka 4 UU
tersebut.[17]
Akan tetapi dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan
dan tekhnologi khususnya adalah tekhnologi informatika, tidak menutup
kemungkinan bahwa perilaku contempt of court tidak hanya dilakukan di dalam
persidangan, akan tetapi juga dilakukan melalui media massa atau melalui media
sosial sebagaimana kerap terjadi pada saat ini. Oleh karena itu perlu adanya
penegasan mengenai definisi contempt of court ataupun klasifikasi-klasifikasi
tindakan yang dapat dikategorikan sebagai contempt of court.
Hal ini perlu dilakukan mengingat upaya ataupun tindakan
yang bersifat demoralisasi usaha menuju badan peradilan Indonesia yang agung
hanya akan mencederai rasa keadilan daam masyarakat dan memberikan stigma yang
buruk bagi badan peradilan di masa yang akan datang. Bahkan bukan tidak
mungkin, di kemudian hari masyarakat benar-benar tidak mempercayai lagi akan
keberadaan badan peradilan sehingga bisa dibayangkan kejadian pencuri yang
dibakar massa atau upaya penagihan hutang dengan cara-cara kekerasan atau
perceraian dilakukan hanya dengan menggunakan sarana tekhnologi informatika dan
lain sebagainya, akan sangat banyak terjadi. Apabila hal ini terjadi maka peran
Negara sebagai pengayom warga negaranya menjadi hilang dan hilang pula
kepercayaan warga negara terhadap Negara, yang bisa berakibat runtuhnya Negara
yang memicu perpecahan secara kedaerahan.
Kepercayaan terhadap lembaga yudikatif adalah suatu
keniscayaan yang harus tetap dijaga marwahnya sehingga wibawa Negara juga akan
timbul dan Negara dapat melindungi warga negaranya. Saat ini harus diakui bahwa
dari 3 pilar sebagai syarat berdirinya suatu Negara, yaitu Eksekutif,
Legislatif dan Yudikatif, di Indonesia tingkat kepercayaannya sudah menurun.
Kita sebagai warga badan peradilan, mempunyai tugas dan kewajiban untuk menjaga
wibawa badan peradilan, salah satu caranya adalah dengan mencegah terjadinya
perilaku yang merendahkan badan peradilan (contempt of court).
Proses peradilan yang bersih dan bebas dari campur tangan
pihak manapun akan mencerminkan bahwa badan peradilan di Indonesia merupakan
badan peradilan yang tetap terjaga marwahnya dan mampu memberikan rasa keadilan
bagi masyarakat pencari keadilan. Aparatur pengadilan harus berperan aktif
sebagaimana tugas dan fungsinya masing-masing di dalam memberikan pelayanan
yang optimal kepada para pencari keadilan, demi mencegah adanya pihak-pihak
yang bisa melakukan tindakan atau perilaku yang merendahkan martabat badan
peradilan.
C3.
Pembentukan Undang-Undang Contempt of Court
Saat ini sedang diramaikan dengan
pemberitaan tentang pembahasan Rancangan Undang-Undang yang mengatur tentang
Contempt of Court. Ada sebagian kalangan yang menilai bahwa Undang-Undang
tersebut tidak diperlukan dengan alasan diantaranya adalah pelecehan terhadap wibawa dan martabat peradilan adalah suatu masalah,
iya, akan tetapi, penyelesaiannya dengan membentuk Undang-Undang Contempt of Court secara khusus
adalah hal lain yang tidak serta merta menjawab pertanyaan tersebut, karena
terdapat masalah yang lebih penting untuk segera diselesaikan, yakni jaminan
keamanan dan keselamatan hakim serta aparat pengadilan lainnya, dan juga
pengaturan tentang protokoler persidangan dan pada akhirnya, penerapan
peraturan yang telah ada secara efektif dan berbenah diri secara internal juga
merupakan jalan keluar yang lebih baik diprioritaskan dibandingkan dengan
membentuk Undang-Undang Contempt of
Court dengan semangat yang tergesa-gesa.
Rancangan Undang-undang (RUU)
tentang Penghinaan dalam Persidangan (contempt of court) telah dimasukkan dalam
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019 nomor urut 61. Hadirnya
Undang-undang yang secara khusus mengatur tindakan penghinaan terhadap
Pengadilan diharapkan dapat menegakkan wibawa Pengadilan sekaligus mengeliminir
tindakan-tindakan yang dapat mengganggu proses hukum di Pengadilan yang cakupan
pengaturan dalam RUU tentang Penghinaan dalam Persidangan harus diperluas
sehingga dapat “meng-cover” segala bentuk tindakan tidak terpuji yang dapat mengganggu
jalannya persidangan, yaitu dari apek pelaku misalnya, penghinaan terhadap
Pengadilan tidak hanya dilakukan oleh para pencari keadilan saja seperti para
pihak yang berperkara dan keluarganya, namun bisa jadi dilakukan oleh oknum
aparat penegak hukum yang terlibat langsung dalam proses peradilan tersebut,
kalangan pers, organisasi sosial politik, lembaga swadaya masyarakat atau
pihak-pihak lain yang merongrong wibawa Pengadilan dan dari aspek perbuatannya,
penghinaan terhadap Pengadilan tidak hanya sebatas tindakan verbal seperti
mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas seperti menghina dan mencaci, tetapi
perbuatan lainnya seperti pengrusakan properti negara di Pengadilan dan
kekerasan fisik terhadap pejabat-pejabat yudisial yang sedang bertugas.[18]
Demikian pula pendapat dari Padmo Wahjono yang dikutip oleh Abdul Latif, menyatakan
bahwa, “Polittik Hukum sebagai kebijakan
dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang berlaku”.[19]
Sehingga pembentukan Undang-Undang yang
mengatur tentang contempt of court perlu mempertegas hal-hal yang masuk dalam
kualifikasi perilaku contempt of court.
Akan tetapi meskipun pada suatu saat
nanti telah ada Undang-Undang yang mengatur mengenai contempt of court, namun
kiranya hanya diberlakukan terhadap perilaku contempt of court yang berat saja
dan bersifat mengancam pelaksanaan proses persidangan, sedangkan terhadap
perilaku contempt of court yang hanya berupa teriakan pengunjung sidang,
kiranya dapat ditertibkan berdasarkan ketegasan dari Ketua Majelis Hakim yang
sedang menyidangkan perkara tersebut.
C4.
Antisipasi Terhadap Perilaku Contempt of Court
Sambil menunggu disahkannya
Rancangan Undang-Undang tentang Contempt of Court menjadi Undang-Undang,
kiranya kita selaku aparatur pengadilan dapat melakukan tindakan-tindakan
preventif selama berjalannya proses persidangan, antara lain :
a) Membuat dan
mematuhi jadwal persidangan secara tertib ;
b) Meningkatkan
disiplin kerja dan melaksanakan tugas-tugasnya sebagaimana telah dijabarkan
dalam Standard Operating Procedure (SOP) dari masing-masing kantor pengadilan,
termasuk diantaranya adalah penyelesaian pemberkasan (minutering) ;
c) Para Hakim
harus selalu meningkatkan kompetensinya dengan lebih banyak membaca dan selalu
menggali nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat di sekitarnya
sehingga putusan yang dihasilkan adalah putusan yang sesuai dengan keadilan ;
d) Majelis
Hakim harus bersikap tegas dengan tidak segan menegur para pihak di persidangan
maupun pengunjung sidang apabila berperilaku yang dapat mengganggu jalannya
persidangan ;
e) Tertib
administrasi, yaitu jangan pernah menunda pekerjaan, apa yang bisa diselesaikan
saat ini, maka harus segera diselesaikan sehingga tidak akan ada lagi tunggakan
pekerjaan di kemudian hari ;
f) Bekerjasama
dengan Pemerintah Daerah maupun instansi vertikal lainnya untuk lebih sering
melakukan penyuluhan hukum kepada masyarakat sehingga masyarakat tidak lagi
menjadi buta hukum ;
g) Mengedukasi
masyarakat pencari keadilan yang akan bersidang di kantor pengadilan maupun
pengunjung sidang dengan memperbanyak tulisan-tulisan yang isinya berupa peringatan
dan larangan yang harus dipatuhi oleh pengunjung sidang ;
h) Dalam
persidangan tertentu, secara aktif meminta bantuan aparat keamanan setempat
yaitu dari Polres maupun Polsek ataupun dari intansi militer untuk melakukan
pengamanan persidangan ;
i) Selalu
mengingatkan bahwa pada setiap putusan di semua tingkatan masih terdapat upaya
hukum, kecuali untuk putusan Peninjauan Kembali, sehingga masyarakat pencari
keadilan maupun pengunjung sidang tidak perlu bersikap anarkis apabila putusan
Hakim tidak sesuai dengan harapannya ;
j) Dari segi
tekhnologi informasi, sudah saatnya aparatur pengadilan dapat melakukan “one
day publish” (penerbitan dalam satu hari) terhadap putusan Hakim ;
k) Seandainya
tetap terjadi perilaku contempt of court, diserahkan kepada aparat kemananan
untuk mengamankannya dan memproses pelaku sesuai peraturan perundang-undangan ;
Kiranya beberapa hal di atas, dapatlah menjadi hal yang dapat mendorong
kita semua untuk bersikap pro aktif di dalam mencegah terjadinya perilaku yang
merendahkan pengadilan (contempt of court) , sehingga perilaku contemt of court
bisa dihindarkan karena perilaku tersebut merupakan perilaku yang bersifat
demoralisasi terhdap upaya Mahkamah Agung di dalam mewujudkan badan peradilan
Indonesia yang agung.
D. KESIMPULAN
Dari uraian tersebut di atas, kiranya dapat kita mengambil kesimpulan
sebagai berikut :
1. Penyebab contempt
of court dapat berasal dari dalam pengadilan maupun dapat berasal dari luar
pengadilan ;
2. Perilaku
contempt of court merupakan perilaku yang bersifat demoralisasi terhadap upaya
Mahkamah Agung di dalam mewujudkan badan peradilan Indonesia yang agung ;
3. Instrosperksi
diri dengan mendisiplinkan diri dalam menjalankan tugas kedinasan sehari-hari,
sehingga dapat menjadi pencegah terjadinya perlaku contempt of court ;
4. Meskipun
belum ada Undang-Undang yang mengatur khusus mengenai contempt of court, namun
apabila terjadi perilaku contempt of court harus diserahkan kepada pihak
keamanan (kepolisian) untuk diamankan dan diproses sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku ;
E. DAFTAR
BACAAN
1. Ali
Mansyur, Aneka Persoalan Hukum (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan
Hukum, 2010, Penerbit Unisula bekerjasama dengan Penerbit Teras, Semarang ; .
2. Abdul Latif dan H. Hasbi Ali, Politik Hukum, 2011, Jakarta, Sinar Grafika ;
3. http://santhoshakim.blogspot.co.id/2015/09/peradilan-yang-agung.html,
diunduh tanggal 17 Nopember 2015 ;
5. Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen Keempat ;
7. http://praktekdanteorihukumindonesia.blogspot.co.id/2010/05/contempt-of-court.html,
diunduh tanggal 06 Nopember 2015 ;
8. http://s-hukum.blogspot.co.id/2014/04/pengertian-contempt-of-court.html,
diunduh tanggal 6 Nopember 2015 ;
9. http://ptun-jambi.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=120&Itemid=98,
diunduh tanggal 06 Nopember 2015 ;
10. http://www.palopopos.co.id/palopo-pos-terkini/item/5253-menegakkan-wibawa-pengadilan.html,
diunduh tanggal 06 Nopember 2015 ;
11. http://www.antikorupsi.org/id/content/mahkamah-agung-sistem-peradilan-sudah-berjalan,
diunduh tanggal 17 Nopember 2016 ;
12. http://kbbi.web.id/demoralisasi,
diunduh tanggal 16 Nopember 2015 ;
13. http://brainly.co.id/tugas/2034763,
diunduh tanggal 16 Nopember 2015 ;
14. http://118.98.97.64/leip/?p=136,
diunduh tanggal 06 Nopember 2015 ;
[1] Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung
RI, Mahasiswa Program Doktoral pada Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas
Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang ;
[3]Ali Mansyur, Aneka Persoalan Hukum (Masalah
Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum, 2010, Penerbit Unisula bekerjasama
dengan Penerbit Teras, Semarang, h. 148.
[5] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 Amandemen Keempat ;
[6]http://1ia17meiliawati.blogspot.com/2012/04/kasus-penegakan-hukum-di-indonesia.html
[7] http://praktekdanteorihukumindonesia.blogspot.co.id/2010/05/contempt-of-court.html,
diunduh tanggal 06 Nopember 2015 ;
[8] http://s-hukum.blogspot.co.id/2014/04/pengertian-contempt-of-court.html,
diunduh tanggal 6 Nopember 2015 ;
[9]http://ptun-jambi.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=120&Itemid=98,diunduh
tanggal 06 Nopember 2015 ;
[10] http://www.palopopos.co.id/palopo-pos-terkini/item/5253-menegakkan-wibawa-pengadilan.html, diunduh
tanggal 06 Nopember 2015 ;
[11]http://ptun-jambi.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=120&Itemid=98,diunduh
tanggal 06 Nopember 2015 ;
[12]http://santhoshakim.blogspot.co.id/2015/09/peradilan-yang-agung.html,
diunduh tanggal 17 Nopember 2015 ;
[13]http://santhoshakim.blogspot.co.id/2015/09/peradilan-yang-agung.html,
diunduh tanggal 17 Nopember 2015 ;
[14] http://www.antikorupsi.org/id/content/mahkamah-agung-sistem-peradilan-sudah-berjalan,
diunduh tanggal 17 Nopember 2016 ;
[15] http://kbbi.web.id/demoralisasi,
diunduh tanggal 16 Nopember 2015 ;
[16] http://brainly.co.id/tugas/2034763,
diunduh tanggal 16 Nopember 2015 ;
[17] http://118.98.97.64/leip/?p=136,
diunduh tanggal 06 Nopember 2015 ;
[18]http://www.palopopos.co.id/palopo-pos-terkini/item/5253-menegakkan-wibawa-pengadilan.html,
diunduh tanggal 06 Nopember 2015 ;
[19] Abdul Latif dan H. Hasbi Ali, Politik Hukum, 2011, Jakarta, Sinar
Grafika, h. 25.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar