PERANAN HAKIM DALAM ADEGIUM AUDIO ALTERAM PATERM
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH[1]
I. PENDAHULUAN
Dinamika
kehidupan masyarakat tidak akan terlepas dari adanya gesekan-gesekan diantara
anggotanya, baik itu gesekan yang bersifat personal maupun gesekan antara
anggota masyarakat dengan lembaga pemerintahan yang bertugas mencukupi
kehidupan masyarakat. Gesekan-gesekan tersebut seringkali menimbulkan adanya
kerugian yang diderita oleh anggota masyarakat baik kerugian secara materiil
maupun kerugian immateriil.
Satu abad
sebelum Masehi Cicero mengemukakan hubungan antara hukum dengan masyarakat
melalui kalimat sederhana “ubi societas, ibi ius” yaitu dimana ada masyarakat disana ada hukum.
Hukum dibentuk oleh masyarakat untuk mengatur kehidupan mereka. Dengan kata lain hukum
dibentuk oleh dan diberlakukan untuk masyarakat demi ketertiban, ketentraman
dan kesejahteraan masyarakat.
Keberadaan
hukum inilah yang memuat tata cara setiap anggota masyarakat untuk saling
berhubungan sehingga sedapat mungkin menghindari terjadinya gesekan-gesekan
sehingga menimbulkan adanya kerugian. Hukum berisikan pengaturan mengenai hak
dan kewajiban dari masing-masing individu di dalam masyarakat.
Menurut Parsons
(Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijakan Publik, 1994, 95) fungsi utama suatu sistem
hukum itu bersifat integratif artinya untuk mengurangi unsur-unsur konflik yang
potensial dalam masyarakat dan untuk melicinkan proses pergaulan sosial.
Pendapat
ini setidaknya dapat memberikan suatu penjelasan bahwa hukum mempunyai peranan
sangat penting dalam tata kehidupan masyarakat dengan tujuan setiap individu
dapat emmenuhi hajad hidupnya tanpa harus merugikan hak orang lain, setidaknya Prof.
Satjipto
Rahadjo, SH, pernah
mengatakan, “Pada hampir setiap bidang
kehidupan sekarang ini kita jumpai peraturan-peraturan hukum”,[2]
Secara
singkat dapat dikatakan bahwa hukum
mempunyai fungsi-fungsi sebagai
berikut :
·
Memberikan
pedoman bagi anggota masyarakat untuk berperilaku tertib dalam pergaulan
kehidupan bermasyarakat dan bernegara ;
·
Social
control dalam arti mendidik dan mengajak warga masyarakat agar mematuhi hukum ;
·
Penyelesaian
sengketa melalui lembaga-lembaga hukum ;
·
Social
engineering dalam arti mengadakan perubahan-perubahan didalam masyarakat.
II. PRO JUSTITIA
Prof.DR.H.M.
Ali Mansyur, dalam bukunya ANEKA PERSOALAN HUKUM (Masalah Perjanjian, Konsumen
dan Pembaharuaan Hukum ), menyatakan bahwa “Dalam suatu Negara Hukum, supremasi
HUKUM seharusnya memperoleh tempat yang
semestinya, fungsi Hukum dalam arti
materiil yang berusaha memberikan perlindungan kepada masyarakat dengan
memperlaakukan tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan dan memberikan kedudukan Hukum bagi setiap orang.”[3]
Timbul
suatu konsekuensi apabila di dalam masyarakat timbul gesekan-gesekan, maka
hukum akan menyalakan alaramnya dalam arti bahwa hukum akan mewujudkan diri
sebagai bentuk manivestasi adanya ketidakadilan di dalam masyarakat. Hukum akan menjadikan dirinya sebagai penengah
dan juga sebagai pemberi keadilan terhadap adanya praktek yang menyebabkan
ketidakadilan.
Proses
penegakan hukum baik secara perdata maupun pidana tentunya akan memakan waktu
yang tidak singkat dan seringkali juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit,
menjadikan proses penegakan hukum menjadi hal yang seringkali dihindari oleh
anggota masyarakat dan masyarakat lebih merelakan terjadinya kerugian
dibandingkan harus berurusan dengan hukum yang bertele-tele dan melelahkan.
Meski
demikian, proses penegakan hukum tetap harus dijalankan, terutama di bidang
hukum pidana, karena bersinggungan dengan kepentingan dan hajad hidup orang
banyak. Oleh karenanya proses penegakan hukum menjadi hal yang mutlak ada dalam
sistem hukum di suatu negara. Dalam proses penegakan hukum, terutama hukum
pidana, akan melibatkan pihak Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan pihak
Pemasyarakatan, yang masing-masing pihak telah memiliki tugas pokok dan fungsi
masing-masing sebagaimana telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Penegakan
hukum setidaknya memilki 2 (dua) aspek yang harus diperhatikan yaitu :
1.
Aspek
interpretasi perlu dilakukan reorientasi agar hak-hak rakyat sebagai subyek
lebih dikedepankan, sehingga rakyat benar-benar menjadi stakeholder yang
berdaulat ;
2.
Aspek
sanksi yang sangat penting untuk dilakukan ialah kepastian lembaga yang
berkompeten menerapkan sanksi, sikap konsisten, tegas adil dan tidak pandang
bulu. Selama ini sanksi berupa hukuman lebih banyak dijatuhkan untuk
pelanggaran hukum kelas teri, sedangkan mereka yang tergolong kelas kakap
seakan-akan tak tersentuh oleh sanksi karena punya relasi, sisa-sisa pengaruh
dan dana yang melimpah untuk “mengatur” kasus yang mereka hadapi. Berbagai cara
dapat mereka lakukan untuk meloloskan diri dari jeratan hukuman, sehingga
keadilan yang seharusnya berlaku buat setiap orang tak pandang bulu berkurang
maknanya. Begitu pula pemberian reward, penghargaan seakan-akan menjadi milik
orang-orang yang memiliki status tertentu, ketimbang kepada mereka yang tak
punya status tinggi, meskipun berprestasi secara nyata untuk lingkungannya dan
rakyat.
Selain
harus terpenuhinya asas persamaan di muka
hukum (equal before the law) sebagaimana juga proses di pengadilan, maka sesuai
dengan pasal 4 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
menyebutkan bahwa Penadilan mengadili
menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang dan selama persidangan
maka Hakim wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat,
sebagaimana diatur dalam pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman.
Ketentuan
pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kehakiman inilah yang menjadi
landasan bagi Hakim untuk tidak menolak perkara dengan dalih / alasan tidak ada
hukumnya. Hal ini sangat tepat mengingat hukum yang ada di Indonesia tidak
hanya hukum tertulis namun juga hukum tidak tertulis dan ruang lingkup dari
hukum tidak tertulis jauh lebih luah dibandingkan dengan hukum yang tertulis,
sehingga kiranya Hakim harus memahami dan menggali hukum dan rasa keadilan yang
hidup di dalam masyarakat.
III. AUDI ET ALTERAM PARTEM
Setiap
anggota masyarakat yang ingin mendapatkan keadilan dan tengah menjalani proses
penegakan hukum, maka tentunya akan menjalani proses persidangan demi
mendapatkan keadilan bagi diri maupun kelompoknya dan selama proses persidangan
setiap pihak yang bersengketa atau berhadapan dengan hukum memilki hak yang
sama untuk didengarkan oleh Hakim, yang dalam teori hukum disebut dengan teori AUDI ET ALTERAM PARTEM.
Audi et
alteram partem,
adalah sebuah kalimat dalam bahasa Latin, artinya adalah: "Dengarkan sisi lain."
Kalimat ini merupakan sebuah ungkapan dalam bidang hukum demi menjaga keadilan.[4]
Agar sebuah
persidangan berjalan seimbang maka dikenal adanya azas Audi et Alteram Partem
yang artinya “Mendengarkan dua belah pihak” atau mendengarkan juga pendapat
atau argumentasi pihak yang lainnya sebelum menjatuhkan suatu keputusan agar
peradilan dapat berjalan seimbang. Azas Audi et Lateram Partem atau juga
dikenal sebagai Azas Keseimbangan Dalam Hukum Acara Pidana, seorang Hakim wajib
untuk mendengarkan pembelaan dari pihak yang disangka atau didakwa melakukan
suatu tindakan yang melanggar hukum guna menemukan kebenaran materiel dalam
suatu perkara yang diadilinya. Hak untuk didengar pendapatnya sebagai perwujudan
asas audi et alteram partem ini juga adalah merupakan suatu hak yang dijamin
dan dilindungi oleh UUD 1945, yaitu hak untuk didengar dan dipertimbangkan,
baik argumen maupun alat bukti yang diajukan di depan suatu badan peradilan
yang mandiri dan imparsial (pandangan yang memuliakan kesetaraan hak setiap
individu).[5]
Di dalam hukum acara perdata, asas ini memberikan kedudukan sama kepada
para pihak di muka hakim dengan beban pembuktian yang seimbang. Hakim harus
membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukannya. Asas ini membawa
akibat kemungkinan untuk menang bagi para pihak dengan kesempatan sama. Pada
asanya dalam hukum perdata secara umum, siapa yang mendalilkan sesuatu, maka
dialah yang harus membuktikannya sebagaimana ditentukan dalam HIR. Namun dalam
prakteknya pembagian beban pembuktian dirasakan adil yang dibebani pembuktian
adalah pihak yang paling sedikit dirugikan jika disuruh membuktikan.[6]
Lebih lanjut dalam persidangan perkara perdata, penerapan
asas tersebut bertujuan untuk memberikan jaminan, bahwa proses peradilan
perdata berlansung secara tidak memihak (inparsial) guna menegakkan
kebenaran dan keadilan. Disamping itu penerapan asas ini diharapkan dapat
menepis pendapat yang miring tehadap lembaga Peradilan, bahwa keadilan dalam
perkara perdata itu hanya didapatkan oleh orang berpunya dan tidak
akan didapatkan oleh orang yang papa.[7]
Hakim sebagai benteng terakhir dari keadilan
seharusnya bersikap sebagai sosok yang berdiri di tengah di antara para pihak
pencari keadilan dan tidak bersikap memihak serta dapat menjatuhkan putusan
yang berdasarkan fakta yang terbukti di persidangan. Hakim yang bersikap netral
tentunya akan memberikan rasa rasa tenang bagi para pencari keadilan sebab para
pencari keadilan dapatlah menyandarkan dirinya akan kebutuhan adanya keadilan
pada diri seorang Hakim.
IV.PENERAPAN DALAM PERSIDANGAN
Setelah
mengetaahui mengenai arti dari asas Audi et Alteram Partem, maka selanjutnya
perlu kita pahami pula mengenai penerapannya di persidangan. Hal ini perlu
dipahami mengingat asas ini juga merupakan hak dari pihak-pihak pencari
keadilan, baik dalam persidangan perkara
pidana maupun persidangan perkra perdata.
A. DALAM PERKARA PIDANA
Ketika seseorang membuat laporan kepolisian di Kantor
Kepolisian setempat atas terjadinya suatu tindak pidana, maka sudah menjadi
tugas dan kewajiban dari petugas Kepolisian untuk menindaklanjuti laporan
tersebut dalam bentuk melakukan penyelidikan dan penyidikan. Penyelidikan
dilakukan untuk mencari bukti-bukti awal dari adanya tindak pidana, yang
kemudian petugas Kepolisian telah meyakini bahwa terdapat bukti awal bahwa
telah terjadi tindak pidana, maka pihak penyidik dari Kepolisian akan
meningkatkan sebagai bahan penyidikan. Dalam tahap penyidikan, maka petugas
Kepolisian akan mencari bukti-bukti sebagaimana ketentuan dalam pasal 184 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan ketika pihak penyidik meyakini
bahwa bukti-bukti yang ada sudah mendukung terjadinya suatu tindak pidana, maka
perkara tersebut akan ditingkatkan ke tingkat penuntutan pada Kantor Kejaksaan
(baik Kejaksaan Negeri maupun Kejaksaan Tinggi) setempat.
Tugas dari Jaksa selanjutnya adalah melakukan penuntutan
di muka persidangan di Pengadilan Negeri setempat. Pada proses persidangan
tersebut Penuntut Umum yaitu Jaksa akan menghadirkan Terdakwa di persidangan
dan juga akan mengajukan pembuktian atas perkara Terdakwa tersebut. Surat
Dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum sebagai dasar bagi Hakim di dalam melakukan
pemeriksaan perkara pidana dan di dalam Surat Dakwaan tersebut harus telah
menguraikan secara jelas dan cermat tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa
yang diuraikan dalam unsur-unsur tindak pidana berdasarkan pasal yang
didakwakan terhadap Terdakwa.
Dari uraian unsur-unsur tindak pidana tersebut, Hakim
dengan kewenangannya memerintahkan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan
pembuktian atas Dakwaan terhadap Terdakwa dengan mengajukan Alat Bukti
sebagaimana diatur dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu :
1)
Keterangan saksi ;
2)
Keterangan ahli ;
3)
Surat ;
4)
Petunjuk ;
5)
Keterangan Terdakwa ;
Keterangan saksi sebagai aat bukti ialah apa yang saksi
nyatakan di sidang pengadilan (pasal 185 ayat(1) KUHAP) dan keterangan saksi berdasarkan
pasal 1 angka (26) KUHAP menyebutkan Saksi adalah orang yang
dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan
peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri
dan ia alami sendiri.
Dalam keterangan saksi ini, terdapat asas nullus testis unus testis yang berarti
bahwa keterangan 1 saksi bukanlah kesaksian,
sehingga di dalam pembuktian suatu perkara pidana di persidangan diperlukan
minimal adanya 2 (dua) orang saksi. Akan tetapi, meskipun di dalam satu perkara
terdapat banyak orang yang memberikan kesaksian di persidangan, keterangan dari
saksi-saksi tersebut hanyaalah merupakan 1 (satu) alat bukti saja yang masih
membutuhkan dukungan dari alat bukti lainnya untuk membuktikan terjadinya suatu
tindak pidana.
Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di
sidang pengadilan (pasal 186 KUHAP) yang dalam penjelasan pasal 186 KUHAP
disebutkan bahwa Keterangan ahli ini
dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut
umum yang dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah
jabatan di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak
diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka pada
pemeriksaan di sidang, diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam
berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelahia mengucapkan
sumpah atau janji di hadapan hakim.
Mengenai alat bukti Surat adalah sebagaimana yang
dijelaskan di dalam ketentuan pasal 197 KUHAP, yang pada intinya meliputi :
1.
Berita Acara dan surat lain dalam bentuk resmi ;
2.
Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangan
(contoh : Akta Notaris) ;
3.
Surat Keterangan dari seorang Ahli (contoh : Visum) ;
4.
Surat lain yang ada hubungannya isi dari surat tersebut
dengan pembuktian lainnya (contoh :
sketsa, gambar, dll)
Alat bukti selanjutnya adalah PETUNJUK yaitu sebagaimana
diterangkan di dalam ketentuan pasal 188 KUHAP yang pada intinya alat bukti ini
dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan Terdakwa (pasal 188
ayat (2) KUHAP)
Sedangkan yang dimaksud dengan Keterangan Terdakwa ialah
apa yang Terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau
yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri, sebagaimana diterangkan dalam
ketentuan pasal 189 KUHAP. Terhadap keterangan Terdakwa ini, di persidangan
Terdakwa memiliki hak ingkar terhadap tindak pidana yang didakwakan terhadap
dirinya. Selain itu, atas keterangan Terdakwa saja tidak cukup untuk
membuktikan perbuatan sebagaimana didakwakan oleh Penuntut Umum kepadanya,
melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain (pasal 189 ayat (4)
KUHAP).
Dari uraian tersebut di atas, dimana letak bahwa Hakim
harus bersikap Audi Et Alteram Partem ? Padahal seluruh proses persidangan yang
berkaitan dengan pembuktian telah dilakukan.
Dalam pemeriksaan pendahuluan atau pemeriksaan dalam sidang
pengadilan, seorang terdakwa mempunyai hak untuk membela diri, dengan diberi
kesempatan untuk mengajukan seorang saksi yang dianggap dapat meringankan atau
membela dirinya dalam pemeriksaan di pengadilan.[8] Pasal 116 ayat (3) KUHAP menerangkan Dalam pemeriksaan
tersangka ditanya apakah ia menghendaki didengarnya saksi yang dapat
menguntungkan baginya dan bilamana ada maka hal itu dicatat dalam berita acara. Dalam penjelasan Pasal 116 ayat (3) KUHAP dijelaskan yang dimaksud dengan saksi
yang dapat menguntungkan tersangka antara lain adalah saksi a
de charge. Saksi a de charge yang tercantum dalam surat pelimpahan
perkara, pemanggilannya dilakukan oleh penuntut umum. Namun, saksi
a de charge yang
diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum, pemanggilannya dilakukan oleh
terdakwa atau penasihat hukum itu sendiri dan Hakim tidak membatasi terhadap jumlah
saksi a de charge yang akan diajukan
oleh Terdakwa
Selain dengan cara Terdakwa mengajukan
saksi yang meringankan, Terdakwa juga mempunyai hak untuk membela diri dengan
mengajukan alat bukti surat yang menurut Terdakwa dapat menolak dalil-dalil
dari Dakwaan Jaksa Penuntut Umum, kemudian Terdakwa dapat juga mengajukan alat
bukti berupa Keterangan Ahli yang Terdakwa anggap berdasarkan keahliannya
seorang Ahli yang diajukan oleh Terdakwa tersebut dapat membantah dalil-dalil
Dakwaan Penuntut Umum.
Dari uraian tersebut di atas, maka jelas
bagi kita bahwa di dalam persidangan perkara perkara pidana, Hakim juga harus
bersikap berdasarkan asas Audi Et Alteram Partem, sehingga ketika Hakim telah
menjalankan asas tersebut, maka Hakim tidak lagi dapat dikatakan bersikap berat sebelah di dalam proses
persidangan.
B. DALAM PERKARA PERDATA
Asas yang sama yaitu asas Audi Et Alteram Partem juga
diterapkan di dalam persidangan perkara perdata bahkan dalam perkara perdata,
karena sifat dari Hakim atau Majelis Hakim adalah bersikap pasif, maka para
pihak yang bersengketa, baik itu penggugat maupun tergugat mempunyai hak yang
sama di dalam mengajukan pembuktian dengan mengajukan alat-alat bukti di
persidangan.
Setelah melalui proses pembacaan surat gugatan dari
penggugat, yang dilanjutkan dengan jawaban (termasuk di dalamnya adalah adanya
eksepsi/keberatan), dilanjutkan dengan replik dari pihak penggugat dan atas
replik tersebut dilanjutkan dengan duplik dari pihak tergugat. Atas proses
jawab jinawab antara penggugat dengan tergugat tersebut, apabila dalam perkara
tersebut terdapat eksepsi / keberatan mengenai keweangan mengadili, baik itu
kewenangan absolut maupun kewenangan relatif, maka Hakim WAJIB menjatuhkan
Putusan Sela untuk menentukan berwenang atau tidaknya pengadilan negeri
setempat yang mengadili perkara tersebut. Apabila Hakim berpendapat bahwa
pengadilan negeri tersebut tidak berwenang mengadili, maka jalannya persidangan
perkara perdata tersebut akan selesai dengan keluarnya Putusan Sela, namun
apabila Hakim berpendapat bahwa pengadilan negeri tersebut berwenang, maka
proses persidangan akan dilanjutkan dengan proses pembuktian dari pihak
penggugat maupun tergugat.
Dalam tahap pembuktian, para pihak baik penggugat maupun
tergugat memiliki hak sama untuk membuktikan dalil-dalilnya baik dalam surat
gugatan maupun dalam surat jawaban atas surat gugatan penggugat. Membuktikan menurut Prof.
Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., guru besar FH-UGM mengandung
beberapa pengertian :[9]
1. Membuktikan dalam arti
logis atau ilmiah
Membuktikan
berarti memberikan kepastian mutlak, karena berlaku bagi setiap orang
dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan.
2. Membuktikan dalam arti
konvensionil
Membuktikan
berarti memberikan kepastian yang nisbi/relatif sifatnya yang
mempunyai tingkatan-tingkatan, kepastian
yang didasarkan atas perasaan belaka/bersifat instuitif
(conviction intime), kepastian
yang didasarkan atas pertimbangan akal (conviction raisonnee) ;
3.
Membuktikan
dalam hukum acara mempunyai arti yuridis
Didalam
ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang
berlaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan adanya bukti lawan. Akan tetapi merupakan
pembuktian konvensionil yang bersifat khusus. Pembuktian dalam arti yuridis ini
hanya berlaku bagi pihak-pihak yang beperkara atau yang memperoleh hak dari
mereka. Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada
kebenaran mutlak.
Menurut
Sistem HIR, dalam hukum acara perdata hakim terikat pada alat-alat bukti yang
sah, yang artinya hakim hanya boleh memutuskan perkara melalui alat bukti yang
telah ditentukan sebelumnya oleh undang-undang. Alat-alat bukti yang disebutkan
oleh undang-undang adalah : alat bukti tertulis, pembuktian dengan saksi,
persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah (ps. 164 HIR, ps. 1866 KUH
Perdata).[10]
Berkaitan dengan sumpah, baik HIR, Rbg maupun KUH Perdata
juga telah mengaturnya, yaitu :
·
Pasal
155, 156, 157 dan 158 (BAB IX), pada Bagian Pertama, Tentang Pemeriksaan Pekera
dalam Persidangan ;
·
Pasal
177 (BAB IX), pada Bagian Kedua, Tentang Pembuktian yang terdiri
dari 2 (dua) macam, yaitu:
a)
Sumpah
pihak,
atau sumpah “decisoir“, yaitu sumpah yang dibebankan oleh salah satu
pihak yang berperkara kepada pihak yang lain;
b)
Sumpah
jabatan,
atau sumpah suppletoir, yaitu sumpah yang menurut jabatan diperintahkan
oleh hakim kepada salah satu pihak yang berperkara.
Menurut pasal 177 HIR ini
ternyata dengan jelas, bahwa sumpah itu baik decisoir maupun suppletoir
merupakan bukti yang mutlak, artinya setelah pihak yang bersangkutan mengangkat
sumpah, maka hakim harus menetapkan keterangan untuk apa pihak itu telah
bersumpah sebagai telah cukup terbukti, meskipun barangkali ia sendiri tidak
yakin tentang kebenaran keterangan itu. Lagi pula pihak lawan tidak
diperkenankan untuk melawan pada kebenaran sumpah yang telah diucapkan itu;
walaupun hal ini tidak mengurangkan, bahwa ia senantiasa berhak untuk
mengadukan pihak lawannya supaya dituntut kriminal tentang sumpah palsu yang
tersebut dalam pasal 242 KUHP.
Sedangkan
dalam RBG, membagi pembahasan sumpah juga menjadi 2 Bagian :
·
Pasal
182, 183, 184 dan Pasal 185, dalam Titel IV, Bagian I, Pemeriksaan Sidang
Pengadildan ;
·
Pasal
134, dalam Titel V, Bukti dalam Perkara Perdata.
Kemudian
di dalam KUH Perdata, diatur dalam BUKU
KEEMPAT, Bab Enam, yang berjudul Tentang Sumpah Dimuka Hakim, dalam Pasal 1929
– 1945 yang berdasarkan
ketentuan Pasal 1929 ada
dua macam sumpah di hadapan Hakim, yaitu :
1.
Sumpah
yang diperintahkan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain untuk
pemutusan suatu perkara;
sumpah itu disebut Sumpah Pemutus (Decisoir eed), merupakan sumpah yang
diucapkan oleh salah satu pihak atas permintaan atau perintah pihak lawan. Dan
daya kekuatan akan sumpah ini dapat memutuskan perkara atau mengakhiri
perselisihan. Syarat
Formil atas Sumpah Pemutus ini, adalah: Tidak ada bukti apa pun, inisiatif
berada pada pihak yang memerintahkan, suatu perbuatan yang dilakukan sendiri
(perbuatan yang dilakukan sendiri oleh yang bersumpah).
- Sumpah
yang diperintahkan oleh Hakim karena jabatan kepada salah satu pihak yaitu yang
merupakan Sumpah
Tambahan
(Aanbullende eed atau suppletoire eed) yang diatur dalam
Pasal 1940 KUHPer. Secara garis besar sumpah ini diucapkan oleh salah satu
pihak atas perintah Hakim, karena jabatannya. Tujuannya, dengan sumpah
tersebut dapat diputuskan mengenai perkara atau jumlah uang yang
dikabulkan.
Dari uraian
tersebut, maka telah tergambar jelas bahwa Hakim dalam perkara perdata,
meskipun bersikap pasif, akan tetapi Hakim tetap memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada para pihak yang bersengketa untuk melakukan pembuktian
atas dalil-dalil gugatan maupun jawabannya. Perihal sumpah, Hakim dalam perkara
perdata dituntut untuk lebih berhati-hati di dalam pelaksanaannya mengingat
seringkali ada pihak-pihak yang berperkara menggunakan sarana sumpah demi untuk
memenangkan dalil-dalilnya meskipun sebenarnya para pihak tersebut sebenarnya
mengetahui bahwa dalil-dalil tersebut tidak benar adanya.
V. KESIMPULAN
Dari
pemaparan tersebut di atas, maka dapat kiranya kita menarik seuatu kesimpulan
sebagai berikut :
1.
Setiap orang memiliki kedudukan yang sama di muka hukum ;
2.
Ketika seseorang berhadapan dengan hukum, maka orang
tersebut mempunyai kesempatan untuk membuktikan dalil-dalilnya ;
3.
Hakim harus bersikap netral dalam setiap persidangan ;
4.
Hakim harus mendengarkan para pihak di persidangan dan
memberikan kesempatan seluas-luasnya dalam melakukan pembuktian ;
5.
Hakim dalam memutus perkara haruslah berdasarkan fakta
hukum yang terbukti di persidangan ;
VI. DAFTAR PUSTAKA
1. Satjipto
Rahadjo, SH, HUKUM dan MASYARAKAT, Penerbit ANGKASA – Bandung, Tahun 1980, hal.
15 ;
2. Ali
Mansyur, ANEKA PERSOALAN HUKUM (Masalah
Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum , Penerbit Unisula bekerjasama
dengan Penerbit Teras, Tahun 2010, hlm.148.
- https://id.wikipedia.org/wiki/Audi_alteram_partem ;
- http://zoffmae.blogspot.co.id/2014/05/ungkapan-peribahasa-latine.html ;
- https://miftakhulhuda.wordpress.com/2009/12/07/audi-et-alteram-partem/
- http://pn-raha.go.id/index.php?page=detail.html&id=275 ;
- http://lbhmawarsaron.or.id/home/index.php/artikel/tanya-jawab/news-objective/190-hak-mengajukan-saksi-yang-meringankan
8. http://fauzanjauhari.blogspot.co.id/2013/11/teori-pembuktian-alat-alat-bukti-dalam.html, diunduh tanggal 23 September 2015 ;
9. http://sayetmdahri.blogspot.co.id/2015/02/pembuktian-dalam-hukum-acara-perdata.html, diunduh tanggal 23 September 2015 ;
10. http://strategihukum.net/sumpah-di-muka-hakim-sebagai-sarana-pembuktian, diunduh tanggal 23 September 2015 ;
[2] Satjipto Rahadjo, SH,
HUKUM dan MASYARAKAT, Penerbit ANGKASA – Bandung ,
Tahun 1980, hal. 15 ;
[3] Prof.DR.H.M. Ali Mansyur,
SH.SpN.M.Hum, dalam bukunya ANEKA PERSOALAN HUKUM (Masalah Perjanjian, Konsumen dan
Pembaharuaan Hukum , Penerbit Unisula bekerjasama dengan Penerbit Teras, Tahun
2010, hlm.148.
[9] http://fauzanjauhari.blogspot.co.id/2013/11/teori-pembuktian-alat-alat-bukti-dalam.html, diunduh tanggal 23 September 2015 ;
[10] http://sayetmdahri.blogspot.co.id/2015/02/pembuktian-dalam-hukum-acara-perdata.html, diunduh tanggal 23 September 2015 ;
[11] http://strategihukum.net/sumpah-di-muka-hakim-sebagai-sarana-pembuktian, diunduh tanggal 23 September 2015 ;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar