Kamis, 12 November 2015

AUDIO ALTERAM PATERM


PERANAN HAKIM DALAM ADEGIUM AUDIO ALTERAM PATERM
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH[1]


I.    PENDAHULUAN
Dinamika kehidupan masyarakat tidak akan terlepas dari adanya gesekan-gesekan diantara anggotanya, baik itu gesekan yang bersifat personal maupun gesekan antara anggota masyarakat dengan lembaga pemerintahan yang bertugas mencukupi kehidupan masyarakat. Gesekan-gesekan tersebut seringkali menimbulkan adanya kerugian yang diderita oleh anggota masyarakat baik kerugian secara materiil maupun kerugian immateriil.
Satu abad sebelum Masehi Cicero mengemukakan hubungan antara hukum dengan masyarakat melalui kalimat sederhana “ubi societas, ibi ius” yaitu dimana ada masyarakat disana ada hukum. Hukum dibentuk oleh masyarakat untuk mengatur kehidupan mereka. Dengan kata lain hukum dibentuk oleh dan diberlakukan untuk masyarakat demi ketertiban, ketentraman dan kesejahteraan masyarakat.
Keberadaan hukum inilah yang memuat tata cara setiap anggota masyarakat untuk saling berhubungan sehingga sedapat mungkin menghindari terjadinya gesekan-gesekan sehingga menimbulkan adanya kerugian. Hukum berisikan pengaturan mengenai hak dan kewajiban dari masing-masing individu di dalam masyarakat.
Menurut Parsons (Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijakan Publik, 1994, 95) fungsi utama suatu sistem hukum itu bersifat integratif artinya untuk mengurangi unsur-unsur konflik yang potensial dalam masyarakat dan untuk melicinkan proses pergaulan sosial.
Pendapat ini setidaknya dapat memberikan suatu penjelasan bahwa hukum mempunyai peranan sangat penting dalam tata kehidupan masyarakat dengan tujuan setiap individu dapat emmenuhi hajad hidupnya tanpa harus merugikan hak orang lain, setidaknya Prof. Satjipto Rahadjo, SH, pernah mengatakan, “Pada hampir setiap bidang kehidupan sekarang ini kita jumpai peraturan-peraturan hukum”,[2]
Secara singkat dapat dikatakan bahwa hukum mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut :
·           Memberikan pedoman bagi anggota masyarakat untuk berperilaku tertib dalam pergaulan kehidupan bermasyarakat dan bernegara ;
·           Social control dalam arti mendidik dan mengajak warga masyarakat agar mematuhi hukum ;
·           Penyelesaian sengketa melalui lembaga-lembaga hukum ;
·           Social engineering dalam arti mengadakan perubahan-perubahan didalam masyarakat.

II.   PRO JUSTITIA
Prof.DR.H.M. Ali Mansyur, dalam bukunya ANEKA PERSOALAN HUKUM (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum ), menyatakan bahwa “Dalam suatu Negara Hukum, supremasi HUKUM  seharusnya memperoleh tempat yang semestinya, fungsi Hukum  dalam arti materiil yang berusaha memberikan perlindungan kepada masyarakat dengan memperlaakukan tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan memberikan kedudukan Hukum bagi setiap orang.”[3]
Timbul suatu konsekuensi apabila di dalam masyarakat timbul gesekan-gesekan, maka hukum akan menyalakan alaramnya  dalam arti bahwa hukum akan mewujudkan diri sebagai bentuk manivestasi adanya ketidakadilan di dalam masyarakat.  Hukum akan menjadikan dirinya sebagai penengah dan juga sebagai pemberi keadilan terhadap adanya praktek yang menyebabkan ketidakadilan.
Proses penegakan hukum baik secara perdata maupun pidana tentunya akan memakan waktu yang tidak singkat dan seringkali juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit, menjadikan proses penegakan hukum menjadi hal yang seringkali dihindari oleh anggota masyarakat dan masyarakat  lebih merelakan terjadinya kerugian dibandingkan harus berurusan dengan hukum yang bertele-tele dan melelahkan.
Meski demikian, proses penegakan hukum tetap harus dijalankan, terutama di bidang hukum pidana, karena bersinggungan dengan kepentingan dan hajad hidup orang banyak. Oleh karenanya proses penegakan hukum menjadi hal yang mutlak ada dalam sistem hukum di suatu negara. Dalam proses penegakan hukum, terutama hukum pidana, akan melibatkan pihak Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan pihak Pemasyarakatan, yang masing-masing pihak telah memiliki tugas pokok dan fungsi masing-masing sebagaimana telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Penegakan hukum setidaknya memilki 2 (dua) aspek yang harus diperhatikan yaitu :
1.  Aspek interpretasi perlu dilakukan reorientasi agar hak-hak rakyat sebagai subyek lebih dikedepankan, sehingga rakyat benar-benar menjadi stakeholder yang berdaulat ;
2.  Aspek sanksi yang sangat penting untuk dilakukan ialah kepastian lembaga yang berkompeten menerapkan sanksi, sikap konsisten, tegas adil dan tidak pandang bulu. Selama ini sanksi berupa hukuman lebih banyak dijatuhkan untuk pelanggaran hukum kelas teri, sedangkan mereka yang tergolong kelas kakap seakan-akan tak tersentuh oleh sanksi karena punya relasi, sisa-sisa pengaruh dan dana yang melimpah untuk “mengatur” kasus yang mereka hadapi. Berbagai cara dapat mereka lakukan untuk meloloskan diri dari jeratan hukuman, sehingga keadilan yang seharusnya berlaku buat setiap orang tak pandang bulu berkurang maknanya. Begitu pula pemberian reward, penghargaan seakan-akan menjadi milik orang-orang yang memiliki status tertentu, ketimbang kepada mereka yang tak punya status tinggi, meskipun berprestasi secara nyata untuk lingkungannya dan rakyat.
Selain harus terpenuhinya asas persamaan di muka hukum (equal before the law) sebagaimana juga proses di pengadilan, maka sesuai dengan pasal 4 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa Penadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang dan selama persidangan maka Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat, sebagaimana diatur dalam pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Ketentuan pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kehakiman inilah yang menjadi landasan bagi Hakim untuk tidak menolak perkara dengan dalih / alasan tidak ada hukumnya. Hal ini sangat tepat mengingat hukum yang ada di Indonesia tidak hanya hukum tertulis namun juga hukum tidak tertulis dan ruang lingkup dari hukum tidak tertulis jauh lebih luah dibandingkan dengan hukum yang tertulis, sehingga kiranya Hakim harus memahami dan menggali hukum dan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat.

III.  AUDI ET ALTERAM PARTEM
Setiap anggota masyarakat yang ingin mendapatkan keadilan dan tengah menjalani proses penegakan hukum, maka tentunya akan menjalani proses persidangan demi mendapatkan keadilan bagi diri maupun kelompoknya dan selama proses persidangan setiap pihak yang bersengketa atau berhadapan dengan hukum memilki hak yang sama untuk didengarkan oleh Hakim, yang dalam teori hukum disebut dengan teori AUDI ET ALTERAM PARTEM.
Audi et alteram partem, adalah sebuah kalimat dalam bahasa Latin, artinya adalah: "Dengarkan sisi lain." Kalimat ini merupakan sebuah ungkapan dalam bidang hukum demi menjaga keadilan.[4]
Agar sebuah persidangan berjalan seimbang maka dikenal adanya azas Audi et Alteram Partem yang artinya “Mendengarkan dua belah pihak” atau mendengarkan juga pendapat atau argumentasi pihak yang lainnya sebelum menjatuhkan suatu keputusan agar peradilan dapat berjalan seimbang. Azas Audi et Lateram Partem atau juga dikenal sebagai Azas Keseimbangan Dalam Hukum Acara Pidana, seorang Hakim wajib untuk mendengarkan pembelaan dari pihak yang disangka atau didakwa melakukan suatu tindakan yang melanggar hukum guna menemukan kebenaran materiel dalam suatu perkara yang diadilinya. Hak untuk didengar pendapatnya sebagai perwujudan asas audi et alteram partem ini juga adalah merupakan suatu hak yang dijamin dan dilindungi oleh UUD 1945, yaitu hak untuk didengar dan dipertimbangkan, baik argumen maupun alat bukti yang diajukan di depan suatu badan peradilan yang mandiri dan imparsial (pandangan yang memuliakan kesetaraan hak setiap individu).[5]
Di dalam hukum acara perdata, asas ini memberikan kedudukan sama kepada para pihak di muka hakim dengan beban pembuktian yang seimbang. Hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukannya. Asas ini membawa akibat kemungkinan untuk menang bagi para pihak dengan kesempatan sama. Pada asanya dalam hukum perdata secara umum, siapa yang mendalilkan sesuatu, maka dialah yang harus membuktikannya sebagaimana ditentukan dalam HIR. Namun dalam prakteknya pembagian beban pembuktian dirasakan adil yang dibebani pembuktian adalah pihak yang paling sedikit dirugikan jika disuruh membuktikan.[6]
Lebih lanjut dalam persidangan perkara perdata, penerapan asas tersebut bertujuan untuk memberikan jaminan, bahwa proses peradilan perdata berlansung secara tidak memihak (inparsial) guna menegakkan kebenaran dan keadilan. Disamping itu penerapan asas ini diharapkan dapat menepis pendapat yang miring tehadap lembaga Peradilan, bahwa keadilan dalam perkara perdata   itu hanya didapatkan oleh orang berpunya dan tidak akan didapatkan oleh orang yang papa.[7]
Hakim sebagai benteng terakhir dari keadilan seharusnya bersikap sebagai sosok yang berdiri di tengah di antara para pihak pencari keadilan dan tidak bersikap memihak serta dapat menjatuhkan putusan yang berdasarkan fakta yang terbukti di persidangan. Hakim yang bersikap netral tentunya akan memberikan rasa rasa tenang bagi para pencari keadilan sebab para pencari keadilan dapatlah menyandarkan dirinya akan kebutuhan adanya keadilan pada diri seorang Hakim.

IV.PENERAPAN DALAM PERSIDANGAN
Setelah mengetaahui mengenai arti dari asas Audi et Alteram Partem, maka selanjutnya perlu kita pahami pula mengenai penerapannya di persidangan. Hal ini perlu dipahami mengingat asas ini juga merupakan hak dari pihak-pihak pencari keadilan,  baik dalam persidangan perkara pidana maupun persidangan perkra perdata.
A.  DALAM PERKARA PIDANA
Ketika seseorang membuat laporan kepolisian di Kantor Kepolisian setempat atas terjadinya suatu tindak pidana, maka sudah menjadi tugas dan kewajiban dari petugas Kepolisian untuk menindaklanjuti laporan tersebut dalam bentuk melakukan penyelidikan dan penyidikan. Penyelidikan dilakukan untuk mencari bukti-bukti awal dari adanya tindak pidana, yang kemudian petugas Kepolisian telah meyakini bahwa terdapat bukti awal bahwa telah terjadi tindak pidana, maka pihak penyidik dari Kepolisian akan meningkatkan sebagai bahan penyidikan. Dalam tahap penyidikan, maka petugas Kepolisian akan mencari bukti-bukti sebagaimana ketentuan dalam pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan ketika pihak penyidik meyakini bahwa bukti-bukti yang ada sudah mendukung terjadinya suatu tindak pidana, maka perkara tersebut akan ditingkatkan ke tingkat penuntutan pada Kantor Kejaksaan (baik Kejaksaan Negeri maupun Kejaksaan Tinggi) setempat.
Tugas dari Jaksa selanjutnya adalah melakukan penuntutan di muka persidangan di Pengadilan Negeri setempat. Pada proses persidangan tersebut Penuntut Umum yaitu Jaksa akan menghadirkan Terdakwa di persidangan dan juga akan mengajukan pembuktian atas perkara Terdakwa tersebut. Surat Dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum sebagai dasar bagi Hakim di dalam melakukan pemeriksaan perkara pidana dan di dalam Surat Dakwaan tersebut harus telah menguraikan secara jelas dan cermat tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa yang diuraikan dalam unsur-unsur tindak pidana berdasarkan pasal yang didakwakan terhadap Terdakwa.
Dari uraian unsur-unsur tindak pidana tersebut, Hakim dengan kewenangannya memerintahkan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan pembuktian atas Dakwaan terhadap Terdakwa dengan mengajukan Alat Bukti sebagaimana diatur dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu :
1)    Keterangan saksi ;
2)    Keterangan ahli ;
3)    Surat ;
4)    Petunjuk ;
5)    Keterangan Terdakwa ;
Keterangan saksi sebagai aat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan (pasal 185 ayat(1) KUHAP) dan keterangan saksi berdasarkan pasal 1 angka (26) KUHAP menyebutkan Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
Dalam keterangan saksi ini, terdapat asas nullus testis unus testis yang berarti bahwa keterangan 1 saksi bukanlah kesaksian, sehingga di dalam pembuktian suatu perkara pidana di persidangan diperlukan minimal adanya 2 (dua) orang saksi. Akan tetapi, meskipun di dalam satu perkara terdapat banyak orang yang memberikan kesaksian di persidangan, keterangan dari saksi-saksi tersebut hanyaalah merupakan 1 (satu) alat bukti saja yang masih membutuhkan dukungan dari alat bukti lainnya untuk membuktikan terjadinya suatu tindak pidana.
Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan (pasal 186 KUHAP) yang dalam penjelasan pasal 186 KUHAP disebutkan bahwa Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah jabatan di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka pada pemeriksaan di sidang, diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelahia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim.
Mengenai alat bukti Surat adalah sebagaimana yang dijelaskan di dalam ketentuan pasal 197 KUHAP, yang pada intinya meliputi :
1.    Berita Acara dan surat lain dalam bentuk resmi ;
2.    Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangan (contoh : Akta Notaris) ;
3.    Surat Keterangan dari seorang Ahli (contoh : Visum) ;
4.    Surat lain yang ada hubungannya isi dari surat tersebut dengan pembuktian lainnya  (contoh : sketsa, gambar, dll)
Alat bukti selanjutnya adalah PETUNJUK yaitu sebagaimana diterangkan di dalam ketentuan pasal 188 KUHAP yang pada intinya alat bukti ini dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan Terdakwa (pasal 188 ayat (2) KUHAP)
Sedangkan yang dimaksud dengan Keterangan Terdakwa ialah apa yang Terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri, sebagaimana diterangkan dalam ketentuan pasal 189 KUHAP. Terhadap keterangan Terdakwa ini, di persidangan Terdakwa memiliki hak ingkar terhadap tindak pidana yang didakwakan terhadap dirinya. Selain itu, atas keterangan Terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan perbuatan sebagaimana didakwakan oleh Penuntut Umum kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain (pasal 189 ayat (4) KUHAP).
Dari uraian tersebut di atas, dimana letak bahwa Hakim harus bersikap Audi Et Alteram Partem ? Padahal seluruh proses persidangan yang berkaitan dengan pembuktian telah dilakukan.
Dalam pemeriksaan pendahuluan atau pemeriksaan dalam sidang pengadilan, seorang terdakwa mempunyai hak untuk membela diri, dengan diberi kesempatan untuk mengajukan seorang saksi yang dianggap dapat meringankan atau membela dirinya dalam pemeriksaan di pengadilan.[8] Pasal 116 ayat (3) KUHAP menerangkan Dalam pemeriksaan tersangka ditanya apakah ia menghendaki didengarnya saksi yang dapat menguntungkan baginya dan bilamana ada maka hal itu dicatat dalam berita acara. Dalam penjelasan Pasal 116 ayat (3) KUHAP dijelaskan yang dimaksud dengan saksi yang dapat menguntungkan tersangka antara lain adalah saksi a de charge. Saksi a de charge yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara, pemanggilannya dilakukan oleh penuntut umum. Namun, saksi a de charge yang diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum, pemanggilannya dilakukan oleh terdakwa atau penasihat hukum itu sendiri dan Hakim tidak membatasi terhadap jumlah saksi a de charge yang akan diajukan oleh Terdakwa
Selain dengan cara Terdakwa mengajukan saksi yang meringankan, Terdakwa juga mempunyai hak untuk membela diri dengan mengajukan alat bukti surat yang menurut Terdakwa dapat menolak dalil-dalil dari Dakwaan Jaksa Penuntut Umum, kemudian Terdakwa dapat juga mengajukan alat bukti berupa Keterangan Ahli yang Terdakwa anggap berdasarkan keahliannya seorang Ahli yang diajukan oleh Terdakwa tersebut dapat membantah dalil-dalil Dakwaan Penuntut Umum.
Dari uraian tersebut di atas, maka jelas bagi kita bahwa di dalam persidangan perkara perkara pidana, Hakim juga harus bersikap berdasarkan asas Audi Et Alteram Partem, sehingga ketika Hakim telah menjalankan asas tersebut, maka Hakim tidak lagi dapat dikatakan bersikap berat sebelah di dalam proses persidangan.
B. DALAM PERKARA PERDATA
Asas yang sama yaitu asas Audi Et Alteram Partem juga diterapkan di dalam persidangan perkara perdata bahkan dalam perkara perdata, karena sifat dari Hakim atau Majelis Hakim adalah bersikap pasif, maka para pihak yang bersengketa, baik itu penggugat maupun tergugat mempunyai hak yang sama di dalam mengajukan pembuktian dengan mengajukan alat-alat bukti di persidangan.
Setelah melalui proses pembacaan surat gugatan dari penggugat, yang dilanjutkan dengan jawaban (termasuk di dalamnya adalah adanya eksepsi/keberatan), dilanjutkan dengan replik dari pihak penggugat dan atas replik tersebut dilanjutkan dengan duplik dari pihak tergugat. Atas proses jawab jinawab antara penggugat dengan tergugat tersebut, apabila dalam perkara tersebut terdapat eksepsi / keberatan mengenai keweangan mengadili, baik itu kewenangan absolut maupun kewenangan relatif, maka Hakim WAJIB menjatuhkan Putusan Sela untuk menentukan berwenang atau tidaknya pengadilan negeri setempat yang mengadili perkara tersebut. Apabila Hakim berpendapat bahwa pengadilan negeri tersebut tidak berwenang mengadili, maka jalannya persidangan perkara perdata tersebut akan selesai dengan keluarnya Putusan Sela, namun apabila Hakim berpendapat bahwa pengadilan negeri tersebut berwenang, maka proses persidangan akan dilanjutkan dengan proses pembuktian dari pihak penggugat maupun tergugat.
Dalam tahap pembuktian, para pihak baik penggugat maupun tergugat memiliki hak sama untuk membuktikan dalil-dalilnya baik dalam surat gugatan maupun dalam surat jawaban atas surat gugatan penggugat. Membuktikan menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., guru besar FH-UGM mengandung beberapa pengertian :[9]
1.  Membuktikan dalam arti logis atau ilmiah
Membuktikan berarti memberikan kepastian mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan.
2.  Membuktikan dalam arti konvensionil
Membuktikan berarti memberikan kepastian yang nisbi/relatif sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan, kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka/bersifat instuitif (conviction intime), kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal (conviction raisonnee) ;
3.    Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis
Didalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan adanya bukti lawan. Akan tetapi merupakan pembuktian konvensionil yang bersifat khusus. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang beperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak.
Menurut Sistem HIR, dalam hukum acara perdata hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang artinya hakim hanya boleh memutuskan perkara melalui alat bukti yang telah ditentukan sebelumnya oleh undang-undang. Alat-alat bukti yang disebutkan oleh undang-undang adalah : alat bukti tertulis, pembuktian dengan saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah (ps. 164 HIR, ps. 1866 KUH Perdata).[10]
Berkaitan dengan sumpah, baik HIR, Rbg maupun KUH Perdata juga telah mengaturnya, yaitu :
Di dalam HIR,  membagi pembahasan sumpah menjadi 2 Bagian, yaitu :[11]
·           Pasal 155, 156, 157 dan 158 (BAB IX), pada Bagian Pertama, Tentang Pemeriksaan Pekera dalam Persidangan ;
·           Pasal 177 (BAB IX), pada Bagian Kedua, Tentang Pembuktian yang terdiri dari  2 (dua) macam, yaitu:
a)      Sumpah pihak, atau sumpah “decisoir“, yaitu sumpah yang dibebankan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada pihak yang lain;
b)      Sumpah jabatan, atau sumpah suppletoir, yaitu sumpah yang menurut jabatan diperintahkan oleh hakim kepada salah satu pihak yang berperkara.
Menurut pasal 177 HIR ini ternyata dengan jelas, bahwa sumpah itu baik decisoir maupun suppletoir merupakan bukti yang mutlak, artinya setelah pihak yang bersangkutan mengangkat sumpah, maka hakim harus menetapkan keterangan untuk apa pihak itu telah bersumpah sebagai telah cukup terbukti, meskipun barangkali ia sendiri tidak yakin tentang kebenaran keterangan itu. Lagi pula pihak lawan tidak diperkenankan untuk melawan pada kebenaran sumpah yang telah diucapkan itu; walaupun hal ini tidak mengurangkan, bahwa ia senantiasa berhak untuk mengadukan pihak lawannya supaya dituntut kriminal tentang sumpah palsu yang tersebut dalam pasal 242 KUHP.
Sedangkan dalam RBG, membagi pembahasan sumpah juga menjadi 2 Bagian :
·           Pasal 182, 183, 184 dan Pasal 185, dalam Titel IV, Bagian I, Pemeriksaan Sidang Pengadildan ;
·           Pasal 134, dalam Titel V, Bukti dalam Perkara Perdata.
Kemudian di dalam KUH Perdata, diatur dalam BUKU KEEMPAT, Bab Enam, yang berjudul Tentang Sumpah Dimuka Hakim, dalam Pasal 1929 – 1945 yang berdasarkan ketentuan Pasal 1929 ada dua macam sumpah di hadapan Hakim, yaitu :
1.    Sumpah yang diperintahkan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain untuk  pemutusan suatu perkara; sumpah itu disebut Sumpah Pemutus  (Decisoir eed), merupakan sumpah yang diucapkan oleh salah satu pihak atas permintaan atau perintah pihak lawan. Dan daya kekuatan akan sumpah ini dapat memutuskan perkara atau mengakhiri perselisihan. Syarat Formil atas Sumpah Pemutus ini, adalah: Tidak ada bukti apa pun, inisiatif berada pada pihak yang memerintahkan, suatu perbuatan yang dilakukan sendiri (perbuatan yang dilakukan sendiri oleh yang bersumpah).
  1. Sumpah yang diperintahkan oleh Hakim karena jabatan kepada salah satu pihak yaitu yang merupakan Sumpah Tambahan (Aanbullende eed atau suppletoire eed) yang diatur dalam Pasal 1940 KUHPer. Secara garis besar sumpah ini diucapkan oleh salah satu pihak atas perintah Hakim, karena jabatannya. Tujuannya, dengan sumpah tersebut dapat diputuskan mengenai perkara atau jumlah uang yang dikabulkan.
Dari uraian tersebut, maka telah tergambar jelas bahwa Hakim dalam perkara perdata, meskipun bersikap pasif, akan tetapi Hakim tetap memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada para pihak yang bersengketa untuk melakukan pembuktian atas dalil-dalil gugatan maupun jawabannya. Perihal sumpah, Hakim dalam perkara perdata dituntut untuk lebih berhati-hati di dalam pelaksanaannya mengingat seringkali ada pihak-pihak yang berperkara menggunakan sarana sumpah demi untuk memenangkan dalil-dalilnya meskipun sebenarnya para pihak tersebut sebenarnya mengetahui bahwa dalil-dalil tersebut tidak benar adanya.
V.   KESIMPULAN
Dari pemaparan tersebut di atas, maka dapat kiranya kita menarik seuatu kesimpulan sebagai berikut :
1.     Setiap orang memiliki kedudukan yang sama di muka hukum ;
2.     Ketika seseorang berhadapan dengan hukum, maka orang tersebut mempunyai kesempatan untuk membuktikan dalil-dalilnya ;
3.     Hakim harus bersikap netral dalam setiap persidangan ;
4.     Hakim harus mendengarkan para pihak di persidangan dan memberikan kesempatan seluas-luasnya dalam melakukan pembuktian ;
5.     Hakim dalam memutus perkara haruslah berdasarkan fakta hukum yang terbukti di persidangan ;

VI.   DAFTAR PUSTAKA
1.    Satjipto Rahadjo, SH, HUKUM dan MASYARAKAT, Penerbit ANGKASA – Bandung, Tahun 1980, hal. 15 ;
2.    Ali Mansyur, ANEKA PERSOALAN HUKUM  (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum , Penerbit Unisula bekerjasama dengan Penerbit Teras, Tahun 2010, hlm.148.
  1. https://id.wikipedia.org/wiki/Audi_alteram_partem ;
  2. http://zoffmae.blogspot.co.id/2014/05/ungkapan-peribahasa-latine.html ;
  3. https://miftakhulhuda.wordpress.com/2009/12/07/audi-et-alteram-partem/
  4. http://pn-raha.go.id/index.php?page=detail.html&id=275 ;
  5. http://lbhmawarsaron.or.id/home/index.php/artikel/tanya-jawab/news-objective/190-hak-mengajukan-saksi-yang-meringankan





[1] Hakim Yustitial pada Mahkamah Agung RI ;
[2] Satjipto Rahadjo, SH, HUKUM dan MASYARAKAT, Penerbit ANGKASA – Bandung, Tahun 1980, hal. 15 ;
[3] Prof.DR.H.M. Ali Mansyur, SH.SpN.M.Hum, dalam bukunya ANEKA PERSOALAN HUKUM  (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum , Penerbit Unisula bekerjasama dengan Penerbit Teras, Tahun 2010, hlm.148.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...