Selasa, 24 November 2015

KEWAJIBAN HAKIM



qwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnm
 

KEWAJIBAN HAKIM DALAM PERSIDANGAN

DISUSUN OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH

Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung RI





KEWAJIBAN HAKIM DALAM PERSIDANGAN
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH[1]

A.  PENDAHULUAN
Indonesia sebagai Negara Hukum tentu harus berupaya untuk menjadikan hukum sebagai panglima dalam pembangunan negara. Menurut Parsons, fungsi utama suatu sistem hukum itu bersifat integratif artinya untuk mengurangi unsur-unsur konflik yang potensial dalam masyarakat dan untuk melicinkan proses pergaulan sosial. Dengan mentaati sistem hukum maka sistem interaksi sosial akan berfungsi dengan baik, tanpa kemungkinan berubah menjadi konflik terbuka atau terselubung yang kronis. Agar sistem hukum dapat menjalankan fungsi integratifnya secara efektif, menurut Parsons, terdapat 4 masalah yang harus diselesaikan terlebih dahulu, yaitu : [2]
·      Legitimasi, yang akan menjadi landasan bagi pentaatan aturan-aturan ;
·      Interpretasi, yang akan menyangkut masalah penetapan hak dan kewajiban subyek, melalui proses penetapan aturan tertentu ;
·      Sanksi, yang menegaskan sanksi apakah yang akan timbul apabila ada pentaatan dan sanksi apa yang akan timbul apabila ada pengikatan terhadap aturan, serta sekaligus menegaskan siapakah yang akan menerapkan sanksi ;
·      Yurisdiksi, yang menetapkan garis-garis kewenangan yang berkuasa menegakkan norma-norma hukum ;
·      Dilihat dari perspektif Parsons tampaknya efektifitas fungsi integratif sistem hukum di Indonesia masih menghadapi permasalahan yang serius baik ditinjau dari aspek legitimasi, interpretasi, sanksi maupun yurisdiksi. Dari aspek legitimasi, sampai sekarang ini lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif masih mengalami krisis legitimasi. Walaupun semestinya lembaga eksekutif dan legislatif yang dibentuk berdasarkan proses Pemilihan Umum yang demokratis pada tahun 2004 ini diharapkan mampu mendongkrak legitimasi kedua lembaga tersebut, namun dalam kenyataannya lembaga eksekutif dan legislatif yang dipilih secara demokratis tidak serta merta mengangkat legitimasi kedua lembaga tersebut. Rakyat masih menunggu bukti-bukti kinerja lembaga eksekutif dan legislatif dalam praktek. Tingkat legitimasi terhadap lembaga eksekutif dan legislatif sangat tergantung dari kemampuan kedua lembaga tersebut dalam memenuhi aspirasi rakyat dan menjawab secara nyata berbagai permasalahan yang dihadapi bangsa kita agar segera keluar dari krisis menuju kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. Sedangkan lembaga yudikatif yang menempati posisi sentral dalam penegakan hukum mengalami proses penurunan kewibawaan, karena putusan-putusannya jauh dari rasa keadilan dan tidak terbatas dari praktek apa yang disebut “mafia peradilan”. Selain itu lembaga yudikatif mengalami tekanan-tekanan dari kekuatan politik dan campur tangan dari kekuasaan lain. Sementara itu kemandirian lembaga peradilan sedang dalam proses pertumbuhan dengan berbagai kendalanya dibidang sumber daya manusia maupun sarana pendukungnya.
·      .Dari aspek interpretasi perlu dilakukan reorientasi agar hak-hak rakyat sebagai subyek lebih dikedepankan, sehingga rakyat benar-benar menjadi stakeholder yang berdaulat. Penghormatan terhadap hak-hak rakyat dalam negara demokratis bukan saja dimaknai dalam proses politik penyelenggaraan Pemilihan Umum, tetapi juga hak-hak sosial ekonomi dan lain-lain yang dituangkan ke dalam kebijakan publik yang memihak rakyat. Dengan demikian partisipasi rakyat dalam pelaksanaan kebijakan publik dengan memenuhi kewajiban-kewajibannya mendapatkan motivasi, termasuk dalam penerapan berbagai aturan hukum.
·      Dari aspek sanksi yang sangat penting untuk dilakukan ialah kepastian lembaga yang berkompeten menerapkan sanksi, sikap konsisten, tegas adil dan tidak pandang bulu. Selama ini sanksi berupa hukuman lebih banyak dijatuhkan untuk pelanggaran hukum kelas teri, sedangkan mereka yang tergolong kelas kakap seakan-akan tak tersentuh oleh sanksi karena punya relasi, sisa-sisa pengaruh dan dana yang melimpah untuk “mengatur” kasus yang mereka hadapi. Berbagai cara dapat mereka lakukan untuk meloloskan diri dari jeratan hukuman, sehingga keadilan yang seharusnya berlaku buat setiap orang tak pandang bulu berkurang maknanya. Begitu pula pemberian reward, penghargaan seakan-akan menjadi milik orang-orang yang memiliki status tertentu, ketimbang kepada mereka yang tak punya status tinggi, meskipun berprestasi secara nyata untuk lingkungannya dan rakyat.
·      Dari aspek yurisdiksi sering-sering batas kewenangan berbagai lembaga tidak terlalu jelas atau bahkan bertumpang tindih. Keadaan ini diperparah lagi dengan berkembangnya egoisme sektoral dan lemahnya koordinasi, sehingga tidak jarang suatu masalah mondar mandir dilontar dari lembaga yang satu kepada yang lain, tanpa ada kepastian penyelesaiannya.
Penuntasan setiap perkara yang diajukan oleh baik secara pidana maupun perdata, menuntut kecermatan dan ketepatan pertimbangan Hakim di dalam menyidangkannya. Oleh sebab itu, setiap Hakim harus mengetahui secara jelas menganai hal-hal yang harus dilakukan selama persidangan, yang tidak lain adalah merupakan kewajiban bagi setiap Hakim. Pemahaman setiap Hakim akan kewajibannya merupakan hal yang mutlak yang harus dimiliki di dalam menunjang tugas-tugas kedinasannya, utamanya selama melakukan proses persidangan.
B. PERMASALAHAN
Dari uraian tersebut di atas maka kiranya dapat dirik suatu permasalahan, yaitu Apa yang menjadi kewajiban Hakim dalam persidangan ?
C. KEWAJIBAN HAKIM DALAM PERSIDANGAN
H.M. Ali Mansyur dalam bukunya Aneka Persoalan Hukum (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum), menyatakan bahwa “Dalam suatu Negara Hukum, supremasi HUKUM seharusnya memperoleh tempat yang semestinya, fungsi Hukum dalam arti materiil yang berusaha memberikan perlindungan kepada masyarakat dengan memperlaakukan tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan memberikan kedudukan Hukum bagi setiap orang.”[3]
Hukum adalah suatu sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. Hukum akan menjadi berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan apabila masyarakat menggunakan hukum menuruti perilakunya. Hukum itu sendiri terbagi menjadi beberapa bidang, yaitu hukum pidana atau hukum publik, hukum perdata atau hukum pribadi, dan hukum acara, hukum tata Negara, hukum administrasi Negara atau hukum tata usaha Negara, hukum internasional, hukum adat, hukum Islam, hukum agraria, hukum bisnis, dan hukum lingkungan. Dari hukum-hukum tersebut masing-masing mempunyai tujuan yang sama, yaitu bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula berdasar pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat.[4]
Proses Penegakan Hukum pada hakekatnya adalah suatu proses untuk menjalankan suatu produk hukum berupa perundang-undangan, baik itu Undang-Undang maupun peraturan perudangan di bawahnya. Suatu Undang-Undang tidak akan dapat dijalankan dengan baik apabila Aparat Penegak Hukumnya adalah aparat yang tidak memahami esensi dari Undang-Undang yang dijalankannya. Sehingga hal tersebut, membuat perlunya Aparat Penegak Hukum yang benar-benar mumpuni dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan” hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistik.[5]
Penegakan Hukum itu harus konsisten supaya masyarakat memahami, mana HUKUM dan mana yang BUKAN HUKUM. Sebagai bagian dari proses sosial, penegakan kepastian hukum itu bertumpu pada 2 (dua) komponen utama, yaitu :[6]
1.     Hukum itu harus bisa memberikan kepastian dalam orientasi kepada masyarakat. Dalam hal ini dikenal asas kepastian orientasi yaitu Certitudo atau Orientierungssicherheit, yaitu orang memahami, perilaku yang bagaimana yang diharapkan oleh orang lain daripadanya dan respon yang bagaimana yang dapat diharapkannya dari orang lain baagi perilakunya itu ;
2.     Kepastian dalam penerapan hukum oleh penegak hukum, Jangan sampai terjadi bahwa sekali ini suatu ketentuan hukum dilaksanakan, tetapi lain kali ketentuan yang sama tidak dilaksanakan. Terdapat suatu asas yaitu Securitas atau Realisierungssherheit adalah asas kepastian  realitas hukum yang memungkinkan orang untuk mengandalkan pada perhitungan, bahwa norma-norma yang berlaku memang dihormati dan dilaksanakan, keputusan-keputusan pengadilan sungguh-sungguh dilaksanakan dan perjanjian-perjanjian ditaati.
Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman telah menyebutkan di dalam Pasal 1 angka 1 yaitu “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia” dan Pasal 1 angka 2 yang menyatakan Mahkamah Agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Hakim, sebagai salah satu unsur utama di Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya, tentunya memiliki kedudukan yang sangat penting di dalam proses penegakan hukum, utamanya  selama persidangan. Secara etimologi atau secara umum, Bambang Waluyo, S.H. menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Hakim adalah organ pengadilan yang dianggap memahami hukum, yang dipundaknya telah diletakkan kewajiban dan tanggung  jawab agar hukum dan keadilan itu ditegakkan, baik yang berdasarkan kepada tertulis atau tidak tertulis (mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas), dan tidak boleh ada satupun yang bertentangan dengan asas dan sendi peradilan berdasar Tuhan Yang Maha Esa.[7]
Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan, “Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut”. Dan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum disebutkan, “Hakim adalah hakim pada pengadilan negeri dan hakim pada pengadilan tinggi”. Hal ini dipertegas dalam Pasal 1 butir 8 KUHAP yang menyebutkan bahwa Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili.
Profesi hakim merupakan profesi hukum, karena pada hakekatnya merupakan pelayanan kepada manusia dan masyarakat dibidang hukum. Oleh karenanya hakim dituntut memiliki moralitas dan tanggung jawab yang tinggi, yang kesemuanya dituangkan dalam prinsip prinsip dasar kode etik hakim, antara lain :[8]

·       Prinsip kebebasan yaitu memuat kebebasan peradilan adalah suatu prasyarat terhadap aturan hukum dan suatu jaminan mendasar atas suatu persidangan yang adil. Oleh karena itu, seorang Hakim harus menegakkan dan memberi contoh mengenai kebebasan peradilan baik dalam aspek perorangan maupun aspek kelembagaan ;
·       Prinsip Ketidakberpihakan, yaitu prinsip ini sangatlah penting untuk pelaksanaan secara tepat dari peradilan. Hal ini tidak hanya berlaku terhadap keputusan itu sendiri tetapi juga terhadap proses dalam mana keputusan itu dibuatan ;
·       Prinsip Integritas, yaitu prinsip integritas sangat penting untuk pelaksanaan peradilan secara tepat mutu pengemban profesi ;
·       Prinsip Kesopanan, prinsip ini sangat penting dalam pelaksanaan segala kegiatan seorang Hakim ;
·       Prinsip Kesetaraan, yaitu prinsip ini memastikan kesetaraan perlakuan terhadap semua orang dihadapan pengadilan sangatlah penting guna pelaksanaan peradilan sebagaimana mestinya ;
·       Prinsip Kompetensi dan Ketaatan, yaitu prinsip yang merupakan prasyarat terhadap pelaksanaan peradilan sebagaimana mestinya.
Tugas seorang Hakim bukanlah tugas yang ringan, mengingat bahwa nasib seseorang atau para pencari keadilan sangat tergantung pada putusan Hakim. Rambu-rambu pelaksanaan tugas Hakim dalam melakasanakan tugasnya telah ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang menyebutkan, “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Khusus bagi Hakim di lingkungan Peradilan umum, hal ini dipertegas dalam ketentuan Pasal 68A Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, yang menyatakan :
(1)          Dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim harus bertanggung  jawab  atas  penetapan  dan  putusan  yang dibuatnya ;
(2)          Penetapan  dan  putusan  sebagaimana  dimaksud  pada ayat  (1)  harus  memuat  pertimbangan  hukum  hakim yang  didasarkan  pada  alasan  dan  dasar  hukum  yang tepat dan benar.
Di bidang hukum pidana hakim bertugas menerapkan apa in concreto ada oleh seorang terdakwa dilakukan suatu perbuatan melanggar hukum pidana. Untuk menetapkan ini oleh hakim harus dinyatakan secara tepat Hukum Pidana yang mana telah dilanggar.[9]
Dalam menjalankan tugasnya, hakim memiliki kebebasan untuk membuat keputusan terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh lainnya,  ia menjadi tumpuan dan harapan bagi pencari keadilan. Disamping itu mempunyai kewajiban ganda, disatu pihak merupakan pejabat yang ditugasi menerapkan hukum (izhar al-hukum) terhadap perkara yang kongkrit baik terhadap hukum tertulis maupun tidak tertulis, dilain pihak sebagai penegak hukum dan keadilan dituntut untuk dapat menggali, memahami, nilai-nilai yang ada dalam masyarakat sehingga secara makro dituntut untuk memahami rasa hukum yang hidup di dalam masyarakat.[10]
Di dalam melaksanakan tugas-tugasnya, pada dasarnya tugas Hakim terbagi menjadi 3 (tiga), yaitu :[11]
1)    Mengkonstatir yaitu yang dituangkan dalam Berita Acara Persidangan dan dalam duduknya perkara pada putusan hakim. Mengkonstatir ini dilakukan dengan terlebih dahulu melihat pokok perkara dan kemudian mengakui atau membenarkan atas peristiwa yang diajukan, tetapi sebelumnya telah diadakan pembuktian terlebih dahulu ;
2)    Mengkualifisir yaitu yang dituangkan dalam pertimbangan hukum dalam surat putusan. Ini merupakan suatu penilaian terhadap peristiwa atas bukti-bukti, fakta-fakta peristiwa atau fakta hukum dan menemukan hukumnya ;
3)    Mengkonstituir yaitu yang dituangkan dalam surat putusan. Tahap tiga ini merupakan penetapan hukum atau merupakan pemberian konstitusi terhadap perkara.
Secara Normatif, tugas-tugas Hakim telah diatur dalam UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman antara lain :[12]
1.  Mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang (pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009) ;
2.  Membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengetasi segala hambatan dan rintangan demi terciptanya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan (pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009) ;
3.  Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009) ;
4.  Tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya (pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009) ;
5.  Pengadilan wajib saling memberi bantuan yang diminta untuk kepentingan peradilan (pasal 15 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009) ;
6.  Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan (pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009) ;
7.  Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami bilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009).
Meskipun secara normatif seorang Hakim tidak boleh menolak untuk menyidangkan suatu perkara, akan tetapi Undang-Undang juga mewajibkan seorang Hakim untuk mengundurkan diri untuk menyidangkan suatu perkara, yaitu sebagaimana diatur dalam pasal 17 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan :
(3)          Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera ;
(4)          Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat ;
(5)          Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.
Hal ini dipertegas lagi di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, khususnya bagi Hakim-Hakim di tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan juga bagi Hakim Agung, yaitu diatur dalam Pasal 157, yang menyebutkan : 
(1)    Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari mengadili perkara tertentu apabila ia terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, hubungan suami atau isteri meskipun sudah bercerai dengan hakim ketua sidang, salah seorang hakim anggota, penuntut umum atau panitera ;
(2)    Hakim ketua sidang, hakim anggota, penuntut umum atau panitera wajib mangundurkan diri dari menangani perkara apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau isteri meskipun sudah bercerai dengan terdakwa atau dengan penasihat hukum ;
(3)    Jika dipanuhi katentuan ayat (1) dan ayat (2) mereka yang mengundurkin diri harus diganti dan apabila tidak dipenuhi atau tidak diganti sedangkan perkara telah diputus, maka perkara wajib segera diadili ulang dengan susunan yang lain.
Pelanggaran atas ketentuan tersebut di atas, telah diatur di dalam pasal 17 ayat (6) dan ayat (7) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang menyebutkan :
(6)    Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ;
(7)    Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diperiksa kembali dengan susunan majelis hakim yang berbeda.
Dari uraian tersebut di atas, maka sebenarnya seorang Hakim dalam menjalankan tugasnya memiliki tanggung jawab profesi, yang dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu :
a)     Tanggung jawab moral, adalah tanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kehidupan profesi yang bersangkutan (hakim), baik bersifat pribadi maupun bersifat kelembagaan bagi suatu lembaga yang merupakan wadah para hakim bersangkutan ;
b)     Tanggung jawab hukum, adalah tanggung jawab yang menjadi beban hakim untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan tidak melanggar rambu-rambu hukum ;
c)      Tanggung jawab teknis profesi, adalah merupakan tuntutan bagi hakim untuk melaksanakan tugasnya secara profesional sesuai dengan kriteria teknis yang berlaku dalam bidang profesi yang bersangkutan, baik bersifat umum maupun ketentuan khusus dalam lembaganya.[13]
Seorang hakim juga dituntut bisa menjadi pendengar yang baik atau dalam bahasa hukum disebut Audi et Alteram Partem yang merupakan sebuah kalimat dalam bahasa Latin, artinya adalah: "Dengarkan sisi lain." Kalimat ini merupakan sebuah ungkapan dalam bidang hukum demi menjaga keadilan.  Sikap ini bertujuan agar sebuah persidangan berjalan seimbang dan azas Audi et Alteram Partem mempunyai arti “Mendengarkan dua belah pihak” atau mendengarkan juga pendapat atau argumentasi pihak yang lainnya sebelum menjatuhkan suatu keputusan agar peradilan dapat berjalan seimbang. Azas Audi et Lateram Partem atau juga dikenal sebagai Azas Keseimbangan Dalam Hukum Acara Pidana, seorang Hakim wajib untuk mendengarkan pembelaan dari pihak yang disangka atau didakwa melakukan suatu tindakan yang melanggar hukum guna menemukan kebenaran materiel dalam suatu perkara yang diadilinya. Hak untuk didengar pendapatnya sebagai perwujudan asas audi et alteram partem ini juga adalah merupakan suatu hak yang dijamin dan dilindungi oleh UUD 1945, yaitu hak untuk didengar dan dipertimbangkan, baik argumen maupun alat bukti yang diajukan di depan suatu badan peradilan yang mandiri dan imparsial (pandangan yang memuliakan kesetaraan hak setiap individu).[14] Di dalam hukum acara perdata, asas ini memberikan kedudukan sama kepada para pihak di muka hakim dengan beban pembuktian yang seimbang. Hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukannya. Asas ini membawa akibat kemungkinan untuk menang bagi para pihak dengan kesempatan sama. Pada asanya dalam hukum perdata secara umum, siapa yang mendalilkan sesuatu, maka dialah yang harus membuktikannya sebagaimana ditentukan dalam HIR. Namun dalam prakteknya pembagian beban pembuktian dirasakan adil yang dibebani pembuktian adalah pihak yang paling sedikit dirugikan jika disuruh membuktikan.[15]
Yang terpenting dari sikap wajib dimilki oleh seorang Hakim adalah Hakim sebagai benteng terakhir dari keadilan seharusnya bersikap sebagai sosok yang berdiri di tengah di antara para pihak pencari keadilan dan tidak bersikap memihak serta dapat menjatuhkan putusan yang berdasarkan fakta yang terbukti di persidangan. Hakim yang bersikap netral tentunya akan memberikan rasa rasa tenang bagi para pencari keadilan sebab para pencari keadilan dapatlah menyandarkan dirinya akan kebutuhan adanya keadilan pada diri seorang Hakim.[16]
Mahkamah Agung sendiri telah mengatur mengenai sikap, tugas dan kewajiban seorang Hakim baik di dalam maupun di luar persidangan sebagaimana tercantum dalam Surat Ketua Mahkamah Agung RI No. 215/KMA/SK/XI1/2007, yaitu :[17]
1.  Hakim harus mendorong Pegawai Pengadilan, Advokat dan Penuntut serta pihak lainnya yang tunduk pada arahan dan pengawasan Hakim untuk menerapkan standar perilaku yang sama dengan Hakim ;
2.  Hakim harus memberi keadilan kepada semua pihak dan tidak beritikad semata-mata untuk menghukum ;
3.  Hakim harus memberikan kesempatan yang sama kepada setiap orang khususnya pencari keadilan atau kuasanya yang mempunyai kepentingan dalam suatu proses hukum di Pengadilan;
4.  Hakim harus berperilaku jujur (fair) dan menghindari perbuatan yang tercela atau yang dapat menimbulkan kesan tercela ;
5.  Hakim harus memastikan bahwa sikap, tingkah laku dan tindakannya, baik di dalam maupun di luar pengadilan, selalu menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat, penegak hukum lain serta para pihak berperkara, sehingga tercermin ketidakberpihakan Hakim dan lembaga peradilan (impartiality);
6.  Hakim wajib melaporkan secara tertulis pemberian yang termasuk gratifikasi kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima ;
7.  Hakim wajib menyerahkan laporan kekayaan sebelum dan setelah menjabat tanpa ditunda-tunda, bersedia diperiksa kekayaan segera setelah memangku jabatan dan setelah menjabat, serta wajib melakukan segala upaya untuk memastikan kewajiban tersebut dapat dijalankan secara baik, apabila diperlukan oleh pihak yang berwenang, Hakim harus bersedia diperiksa kekayaannya pada saat atau selama memangku jabatan ;
8.  Hakim harus menjalankan fungsi peradilan secara mandiri dan bebas dari pengaruh, tekanan, ancaman atau bujukan, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung dari pihak manapun ;
9.  Hakim harus menghindari hubungan, baik langsung maupun tidak langsung dengan Advokat, Penuntut dan pihak-pihak dalam suatu perkara yang tengah diperiksa oleh Hakim yang bersangkutan ;
10.   Hakim harus membatasi hubungan akrab, baik langsung maupun tidak langsung dengan Advokat yang sering berperkara di wilayah hukum Pengadilan tempat Hakim tersebut menjabat;
11.   Hakim harus mengetahui urusan keuangan pribadinya maupun beban-beban keuangan lainnya dan harus berupaya secara wajar untuk mengetahui urusan keuangan para anggota keluarganya ;
12.   Hakim harus menjaga kewibawaan serta martabat lembaga Peradilan dan profesi baik di dalam maupun di luar pengadilan ;
13.   Hakim berkewajiban mengetahui dan mendalami serta melaksanakan tugas pokok sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya hukum acara, agar dapat menerapkan hukum secara benar dan dapat memenuhi rasa keadilan bagi setiap pencari keadilan ;
14.   Hakim harus menghormati hak-hak para pihak dalam proses peradilan dan berusaha mewujudkan pemeriksaan perkara secara sederhana, cepat dan biaya ringan;
15.   Hakim harus membantu para pihak dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku ;
16.   Ketua Pengadilan atau Hakim yang ditunjuk, harus mendistribusikan perkara kepada majelis Hakim secara adil dan merata, serta menghindari pendistribusian perkara kepada Hakim yang memiliki kepentingan ;
17.   Hakim harus melaksanakan pekerjaan sebagai sebuah pengabdian yang tulus, pekerjaan Hakim bukan semata-mata sebagai mata pencaharian dalam lapangan kerja untuk mendapat penghasilan materi, melainkan sebuah amanat yang akan dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan Tuhan Yang Maha Esa ;
18.   Hakim harus mengambil langkah-langkah untuk memelihara dan meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kualitas pribadi untuk dapat melaksanakan tugas-tugas peradilan secara baik ;
19.   Hakim harus secara tekun melaksanakan tanggung jawab administratif dan bekerja sama dengan para Hakim dan pejabat pengadilan lain dalam menjalankan administrasi peradilan ;
20.   Hakim yang mengetahui atau menerima informasi yang dapat dipercaya bahwa seorang Hakim lain telah melakukan pelanggaran terhadap peraturan ini harus melakukan upaya yang layak untuk menghindari hal tersebut berulang atau dapat menimbulkan perlakuan yang tidak adil bagi para pihak, termasuk memberikan informasi kepada pihak yang berwenang dalam pengawasan Hakim. Membiarkan pelanggaran adalah bertentangan dengan semangat membela korps Hakim dan lembaga peradilan pada umumnya. Pelanggaran yang dilakukan oleh individu-individu Hakim pada akhirnya akan melahirkan ketidakpercayaan masyarakat pada seluruh Hakim dan lembaga peradilan ;
Pemahaman hakim terhadap kewajibannya terutama di dalam persidangan akan membuat persidangan menjadi lancar dan akan mengurangi resiko terjadinya tindakan yang dapat merendahkan badan peradilan (contempt of court), meskipun perilaku Hakim di dalam persidangan yang tidak sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku bukanlah merupakan tindakan yang merendahkan (contempt of court) tetapi merupakan tindakan yang melanggar kode etik sebagai Hakim (contempt of conduct), yaitu dikategorikan sebagai tindakan yang tidak profesional (unproffesional conduct). Perlunya peran dari masing-masing Hakim untuk saling mengingatkan bahwa setiap Hakim harus bertindak secara profesional sehingga dapat memperlancar jalannya persidangan.
Apabila persidangan berjalan lancar, tentunya tidak akan menghambat para pencari keadilan dalam usahanya mencari keadilan dan dapat memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakat. Dan dengan makin optimalnya pelayananan kepada masyarakat khususnya para pencari keadilan, dapat terwujud pula visi dari Mahkamah Agung Republik Indonesia, yaitu Mewujudkan Badan Peradilan Indonesia Yang Agung.
D.    KESIMPULAN
Dari uraian-uraian tersebut di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.    Mahkamah Agung Republik Indonesia dan badan peradilan di bawahnya merupakan badan yang melaksankan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia yang harus dilaksanakan secara mandiri dan tanpa ada campur tangan dari pihak manapun ;
2.    Hakim sebagai organ penting di dalam suatu badan peradilan, haruslah bertindak sebagai penengah dalam arti di dalam menjalankan tugas-tugas kedinasannya, seorang Hakim dilarang bersikap memihak kepada salah satu pihak yang berperkara ;
3.    Seorang Hakim juga harus mengundurkan diri apabila terdapat perkara yang diadilinya masih mempunyai hubungan dengan dirinya baik hubungan kekeluargaan maupun hubungan pekerjaan ;
4.    Dalam setiap persidangan, seorang Hakim harus siap menjadi seorang pendengar yang baik (audio et alteram paterm), dengan mendengarkan kedua belah pihak yang berperkara dalam mengungkapkan dalil-dalilnya ;
5.    Lancarnya persidangan membawa dampak terlayaninya masyarakat pencari keadilan sehingga visi terciptanya Badan Peradilan Yang Agung dapat dicapai.

E.     PENUTUP
Tulisan singkat ini barangkali tidak mencukupi di dalam untuk menjebarkan secara lengkap mengenai kewajiban bagi Hakim dalam persidangan, akan tetapi setidaknya dapat memberikan pemahaman awal bagi kita bahwa sebagai Hakim haruslah memahami mengenai kewajiban-kewajibannya, terutama selama menyidangkan perkara.

F.     DAFTAR BACAAN
1.  Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijakan Publik, Jakarta, Sinar Grafika, 1994 ;
2.  H.M. Ali Mansyur, Aneka Persoalan Hukum (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum , Penerbit Unisula bekerjasama dengan Penerbit Teras, Tahun 2010 ;
3.  Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum (Problematik Ketertiban Yang Adil), Penerbit CV. Mandar Maju – Bandung.

G. LINK INTERNET
1.    http://eprints.ums.ac.id/346/1/2._ZUDAN.pdf.
2.    Ibid, http://eprints.ums.ac.id/346/1/2._ZUDAN.pdf.
6.    http://santhoshakim.blogspot.co.id/2015/11/audio-alteram-paterm.html, diunduh tanggal 24 Nopember 2015 ;



[1] Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung RI, Mahasiswa Program Doktoral pada Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung, Semarang ;
[2] Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijakan Publik, Jakarta, Sinar Grafika, 1994, hal. 95 ;
[3] M. Ali Mansyur, Aneka Persoalan Hukum  (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum , Penerbit Unisula bekerjasama dengan Penerbit Teras, Tahun 2010, hlm.148.
[4] http://eprints.ums.ac.id/346/1/2._ZUDAN.pdf.
[5] Ibid, http://eprints.ums.ac.id/346/1/2._ZUDAN.pdf.

[6] Budioono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum (Problematik Ketertiban Yang Adil), Penerbit CV. Mandar Maju – Bandung, hlm.172-173.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...