|
KEWAJIBAN HAKIM DALAM PERSIDANGAN
DISUSUN OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH
Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung RI
|
KEWAJIBAN HAKIM DALAM
PERSIDANGAN
OLEH
: H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH[1]
A. PENDAHULUAN
Indonesia
sebagai Negara Hukum tentu harus berupaya untuk menjadikan hukum sebagai
panglima dalam pembangunan negara. Menurut Parsons, fungsi utama suatu sistem
hukum itu bersifat integratif artinya untuk mengurangi unsur-unsur konflik yang
potensial dalam masyarakat dan untuk melicinkan proses pergaulan sosial. Dengan
mentaati sistem hukum maka sistem interaksi sosial akan berfungsi dengan baik,
tanpa kemungkinan berubah menjadi konflik terbuka atau terselubung yang kronis.
Agar sistem hukum dapat menjalankan fungsi integratifnya secara efektif,
menurut Parsons, terdapat 4 masalah yang harus diselesaikan terlebih dahulu,
yaitu : [2]
·
Legitimasi,
yang akan menjadi landasan bagi pentaatan aturan-aturan ;
·
Interpretasi,
yang akan menyangkut masalah penetapan hak dan kewajiban subyek, melalui proses
penetapan aturan tertentu ;
·
Sanksi,
yang menegaskan sanksi apakah yang akan timbul apabila ada pentaatan dan sanksi
apa yang akan timbul apabila ada pengikatan terhadap aturan, serta sekaligus
menegaskan siapakah yang akan menerapkan sanksi ;
·
Yurisdiksi,
yang menetapkan garis-garis kewenangan yang berkuasa menegakkan norma-norma
hukum ;
·
Dilihat
dari perspektif Parsons tampaknya efektifitas fungsi integratif sistem hukum di
Indonesia masih menghadapi permasalahan yang serius baik ditinjau dari aspek
legitimasi, interpretasi, sanksi maupun yurisdiksi. Dari aspek legitimasi,
sampai sekarang ini lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif masih
mengalami krisis legitimasi. Walaupun semestinya lembaga eksekutif dan
legislatif yang dibentuk berdasarkan proses Pemilihan Umum yang demokratis pada
tahun 2004 ini diharapkan mampu mendongkrak legitimasi kedua lembaga tersebut,
namun dalam kenyataannya lembaga eksekutif dan legislatif yang dipilih secara
demokratis tidak serta merta mengangkat legitimasi kedua lembaga tersebut.
Rakyat masih menunggu bukti-bukti kinerja lembaga eksekutif dan legislatif
dalam praktek. Tingkat legitimasi terhadap lembaga eksekutif dan legislatif
sangat tergantung dari kemampuan kedua lembaga tersebut dalam memenuhi aspirasi
rakyat dan menjawab secara nyata berbagai permasalahan yang dihadapi bangsa
kita agar segera keluar dari krisis menuju kehidupan yang lebih baik di masa
mendatang. Sedangkan lembaga yudikatif yang menempati posisi sentral dalam
penegakan hukum mengalami proses penurunan kewibawaan, karena
putusan-putusannya jauh dari rasa keadilan dan tidak terbatas dari praktek apa
yang disebut “mafia peradilan”. Selain itu lembaga yudikatif mengalami
tekanan-tekanan dari kekuatan politik dan campur tangan dari kekuasaan lain.
Sementara itu kemandirian lembaga peradilan sedang dalam proses pertumbuhan
dengan berbagai kendalanya dibidang sumber daya manusia maupun sarana
pendukungnya.
·
.Dari
aspek interpretasi perlu dilakukan reorientasi agar hak-hak rakyat sebagai
subyek lebih dikedepankan, sehingga rakyat benar-benar menjadi stakeholder yang
berdaulat. Penghormatan terhadap hak-hak rakyat dalam negara demokratis bukan
saja dimaknai dalam proses politik penyelenggaraan Pemilihan Umum, tetapi juga
hak-hak sosial ekonomi dan lain-lain yang dituangkan ke dalam kebijakan publik
yang memihak rakyat. Dengan demikian partisipasi rakyat dalam pelaksanaan
kebijakan publik dengan memenuhi kewajiban-kewajibannya mendapatkan motivasi,
termasuk dalam penerapan berbagai aturan hukum.
·
Dari
aspek sanksi yang sangat penting untuk dilakukan ialah kepastian lembaga yang
berkompeten menerapkan sanksi, sikap konsisten, tegas adil dan tidak pandang
bulu. Selama ini sanksi berupa hukuman lebih banyak dijatuhkan untuk
pelanggaran hukum kelas teri, sedangkan mereka yang tergolong kelas kakap
seakan-akan tak tersentuh oleh sanksi karena punya relasi, sisa-sisa pengaruh
dan dana yang melimpah untuk “mengatur” kasus yang mereka hadapi. Berbagai cara
dapat mereka lakukan untuk meloloskan diri dari jeratan hukuman, sehingga
keadilan yang seharusnya berlaku buat setiap orang tak pandang bulu berkurang
maknanya. Begitu pula pemberian reward, penghargaan seakan-akan menjadi milik
orang-orang yang memiliki status tertentu, ketimbang kepada mereka yang tak
punya status tinggi, meskipun berprestasi secara nyata untuk lingkungannya dan
rakyat.
·
Dari
aspek yurisdiksi sering-sering batas kewenangan berbagai lembaga tidak terlalu
jelas atau bahkan bertumpang tindih. Keadaan ini diperparah lagi dengan
berkembangnya egoisme sektoral dan lemahnya koordinasi, sehingga tidak jarang
suatu masalah mondar mandir dilontar dari lembaga yang satu kepada yang lain,
tanpa ada kepastian penyelesaiannya.
Penuntasan
setiap perkara yang diajukan oleh baik secara pidana maupun perdata, menuntut
kecermatan dan ketepatan pertimbangan Hakim di dalam menyidangkannya. Oleh
sebab itu, setiap Hakim harus mengetahui secara jelas menganai hal-hal yang
harus dilakukan selama persidangan, yang tidak lain adalah merupakan kewajiban
bagi setiap Hakim. Pemahaman setiap Hakim akan kewajibannya merupakan hal yang
mutlak yang harus dimiliki di dalam menunjang tugas-tugas kedinasannya,
utamanya selama melakukan proses persidangan.
B. PERMASALAHAN
Dari
uraian tersebut di atas maka kiranya dapat dirik suatu permasalahan, yaitu Apa
yang menjadi kewajiban Hakim dalam persidangan ?
C. KEWAJIBAN HAKIM DALAM
PERSIDANGAN
H.M. Ali Mansyur dalam bukunya Aneka Persoalan
Hukum (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum), menyatakan bahwa
“Dalam suatu Negara Hukum, supremasi HUKUM seharusnya memperoleh tempat yang
semestinya, fungsi Hukum dalam arti materiil yang berusaha memberikan
perlindungan kepada masyarakat dengan memperlaakukan tiap-tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan
memberikan kedudukan Hukum bagi setiap orang.”[3]
Hukum adalah suatu sistem yang terpenting
dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. Hukum akan
menjadi berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan apabila
masyarakat menggunakan hukum menuruti perilakunya. Hukum itu
sendiri terbagi menjadi beberapa bidang, yaitu hukum pidana atau hukum publik,
hukum perdata atau hukum pribadi, dan hukum acara, hukum tata Negara, hukum
administrasi Negara atau hukum tata usaha Negara, hukum internasional, hukum
adat, hukum Islam, hukum agraria, hukum bisnis, dan hukum lingkungan. Dari
hukum-hukum tersebut masing-masing mempunyai tujuan yang sama, yaitu bertujuan
menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula
berdasar pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat.[4]
Proses Penegakan Hukum pada hakekatnya adalah
suatu proses untuk menjalankan suatu produk hukum berupa perundang-undangan,
baik itu Undang-Undang maupun peraturan perudangan di bawahnya. Suatu
Undang-Undang tidak akan dapat dijalankan dengan baik apabila Aparat Penegak
Hukumnya adalah aparat yang tidak memahami esensi dari Undang-Undang yang
dijalankannya. Sehingga hal tersebut, membuat perlunya Aparat Penegak Hukum
yang benar-benar mumpuni dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas
kehidupan” hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum,
penegakan hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan
interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili
kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati
bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap
sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistik.[5]
Penegakan Hukum itu harus konsisten supaya
masyarakat memahami, mana HUKUM dan mana yang BUKAN HUKUM. Sebagai bagian dari
proses sosial, penegakan kepastian hukum itu bertumpu pada 2 (dua) komponen
utama, yaitu :[6]
1. Hukum
itu harus bisa memberikan kepastian dalam orientasi kepada masyarakat. Dalam
hal ini dikenal asas kepastian orientasi yaitu Certitudo atau Orientierungssicherheit,
yaitu orang memahami, perilaku yang bagaimana yang diharapkan oleh orang
lain daripadanya dan respon yang bagaimana yang dapat diharapkannya dari orang
lain baagi perilakunya itu ;
2. Kepastian
dalam penerapan hukum oleh penegak hukum, Jangan sampai terjadi bahwa sekali
ini suatu ketentuan hukum dilaksanakan, tetapi lain kali ketentuan yang sama
tidak dilaksanakan. Terdapat suatu asas yaitu Securitas atau Realisierungssherheit
adalah asas kepastian realitas hukum
yang memungkinkan orang untuk mengandalkan pada perhitungan, bahwa norma-norma
yang berlaku memang dihormati dan dilaksanakan, keputusan-keputusan pengadilan
sungguh-sungguh dilaksanakan dan perjanjian-perjanjian ditaati.
Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman telah menyebutkan di dalam Pasal 1 angka 1 yaitu “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”
dan Pasal 1 angka 2 yang menyatakan “Mahkamah Agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945”.
Hakim, sebagai salah satu unsur utama di Mahkamah
Agung dan Badan Peradilan di bawahnya, tentunya memiliki kedudukan yang sangat
penting di dalam proses penegakan hukum, utamanya selama persidangan. Secara etimologi atau
secara umum, Bambang Waluyo, S.H. menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Hakim adalah organ pengadilan yang dianggap memahami
hukum, yang dipundaknya telah diletakkan kewajiban dan tanggung jawab
agar hukum dan keadilan itu ditegakkan, baik yang berdasarkan kepada tertulis
atau tidak tertulis (mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak atau kurang jelas), dan tidak boleh ada satupun yang bertentangan
dengan asas dan sendi peradilan berdasar Tuhan Yang
Maha Esa.[7]
Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan, “Hakim
adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim
pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut”.
Dan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan
Umum disebutkan, “Hakim adalah hakim pada
pengadilan negeri dan hakim pada pengadilan tinggi”. Hal ini dipertegas
dalam Pasal 1 butir 8 KUHAP yang menyebutkan bahwa Hakim adalah pejabat
peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili.
Profesi hakim merupakan profesi hukum, karena pada
hakekatnya merupakan pelayanan kepada manusia dan masyarakat dibidang hukum.
Oleh karenanya hakim dituntut memiliki moralitas dan tanggung jawab yang
tinggi, yang kesemuanya dituangkan dalam prinsip prinsip dasar kode etik hakim,
antara lain :[8]
·
Prinsip kebebasan yaitu memuat kebebasan peradilan
adalah suatu prasyarat terhadap aturan hukum dan suatu jaminan mendasar atas
suatu persidangan yang adil. Oleh karena itu, seorang Hakim harus menegakkan
dan memberi contoh mengenai kebebasan peradilan baik dalam aspek perorangan
maupun aspek kelembagaan ;
·
Prinsip Ketidakberpihakan, yaitu prinsip ini sangatlah
penting untuk pelaksanaan secara tepat dari peradilan. Hal ini tidak hanya
berlaku terhadap keputusan itu sendiri tetapi juga terhadap proses dalam mana
keputusan itu dibuatan ;
·
Prinsip Integritas, yaitu prinsip integritas sangat
penting untuk pelaksanaan peradilan secara tepat mutu pengemban profesi ;
·
Prinsip Kesopanan, prinsip ini sangat penting dalam
pelaksanaan segala kegiatan seorang Hakim ;
·
Prinsip Kesetaraan, yaitu prinsip ini memastikan
kesetaraan perlakuan terhadap semua orang dihadapan pengadilan sangatlah
penting guna pelaksanaan peradilan sebagaimana mestinya ;
·
Prinsip Kompetensi dan Ketaatan, yaitu prinsip yang
merupakan prasyarat terhadap pelaksanaan peradilan sebagaimana mestinya.
Tugas seorang Hakim bukanlah tugas yang ringan,
mengingat bahwa nasib seseorang atau para pencari keadilan sangat tergantung
pada putusan Hakim. Rambu-rambu pelaksanaan tugas Hakim dalam melakasanakan
tugasnya telah ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 yang menyebutkan, “Hakim dan hakim
konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Khusus bagi Hakim di lingkungan
Peradilan umum, hal ini dipertegas dalam ketentuan Pasal 68A Undang-Undang
Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, yang menyatakan :
(1)
Dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim
harus bertanggung jawab atas
penetapan dan putusan
yang dibuatnya ;
(2)
Penetapan
dan putusan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
harus memuat pertimbangan
hukum hakim yang didasarkan
pada alasan dan
dasar hukum yang tepat dan benar.
Di bidang
hukum pidana hakim bertugas menerapkan apa in concreto ada oleh seorang
terdakwa dilakukan suatu perbuatan melanggar hukum pidana. Untuk menetapkan ini
oleh hakim harus dinyatakan secara tepat Hukum Pidana yang mana telah dilanggar.[9]
Dalam
menjalankan tugasnya, hakim memiliki kebebasan untuk membuat keputusan terlepas
dari pengaruh pemerintah dan pengaruh lainnya, ia menjadi tumpuan
dan harapan bagi pencari keadilan. Disamping itu mempunyai kewajiban ganda,
disatu pihak merupakan pejabat yang ditugasi menerapkan hukum (izhar al-hukum)
terhadap perkara yang kongkrit baik terhadap hukum tertulis maupun tidak
tertulis, dilain pihak sebagai penegak hukum dan keadilan dituntut untuk dapat
menggali, memahami, nilai-nilai yang ada dalam masyarakat sehingga secara makro
dituntut untuk memahami rasa hukum yang hidup di dalam masyarakat.[10]
Di dalam
melaksanakan tugas-tugasnya, pada dasarnya tugas Hakim terbagi menjadi 3
(tiga), yaitu :[11]
1) Mengkonstatir
yaitu yang dituangkan dalam Berita Acara Persidangan dan dalam duduknya perkara
pada putusan hakim. Mengkonstatir ini dilakukan dengan terlebih dahulu melihat
pokok perkara dan kemudian mengakui atau membenarkan atas peristiwa yang
diajukan, tetapi sebelumnya telah diadakan pembuktian terlebih dahulu ;
2) Mengkualifisir
yaitu yang dituangkan dalam pertimbangan hukum dalam surat putusan. Ini
merupakan suatu penilaian terhadap peristiwa atas bukti-bukti, fakta-fakta
peristiwa atau fakta hukum dan menemukan hukumnya ;
3) Mengkonstituir
yaitu yang dituangkan dalam surat putusan. Tahap tiga ini merupakan penetapan
hukum atau merupakan pemberian konstitusi terhadap perkara.
Secara
Normatif, tugas-tugas Hakim telah diatur dalam UU No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman antara lain :[12]
1.
Mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan
orang (pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009) ;
2.
Membantu para pencari keadilan dan berusaha
sekeras-kerasnya mengetasi segala hambatan dan rintangan demi terciptanya
peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan (pasal 4 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009) ;
3.
Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti,
dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat
(pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009) ;
4.
Tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang
jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya (pasal 10 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009) ;
5.
Pengadilan wajib saling memberi bantuan yang diminta
untuk kepentingan peradilan (pasal 15 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009) ;
6.
Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib
menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang
diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan (pasal 14 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009) ;
7.
Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami
bilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009).
Meskipun secara normatif seorang Hakim tidak boleh
menolak untuk menyidangkan suatu perkara, akan tetapi Undang-Undang juga
mewajibkan seorang Hakim untuk mengundurkan diri untuk menyidangkan suatu
perkara, yaitu sebagaimana diatur dalam pasal 17 ayat (3), ayat (4) dan ayat
(5) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
menyebutkan :
(3)
Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan
apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga,
atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah
seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera ;
(4)
Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera
wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga
sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri
meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat ;
(5)
Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri
dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung
dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas
permintaan pihak yang berperkara.
Hal ini
dipertegas lagi di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, khususnya bagi Hakim-Hakim di tingkat
Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan juga bagi Hakim Agung, yaitu diatur
dalam Pasal 157, yang menyebutkan :
(1) Seorang
hakim wajib mengundurkan diri dari mengadili perkara tertentu apabila ia
terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, hubungan
suami atau isteri meskipun sudah bercerai dengan hakim ketua sidang, salah
seorang hakim anggota, penuntut umum atau panitera ;
(2) Hakim ketua
sidang, hakim anggota, penuntut umum atau panitera wajib mangundurkan diri dari
menangani perkara apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai
derajat ketiga atau hubungan suami atau isteri meskipun sudah bercerai dengan
terdakwa atau dengan penasihat hukum ;
(3) Jika
dipanuhi katentuan ayat (1) dan ayat (2) mereka yang mengundurkin diri harus
diganti dan apabila tidak dipenuhi atau tidak diganti sedangkan perkara telah
diputus, maka perkara wajib segera diadili ulang dengan susunan yang lain.
Pelanggaran
atas ketentuan tersebut di atas, telah diatur di dalam pasal 17 ayat (6) dan
ayat (7) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang menyebutkan :
(6) Dalam hal
terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan
dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan ;
(7) Perkara
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diperiksa kembali dengan
susunan majelis hakim yang berbeda.
Dari uraian
tersebut di atas, maka sebenarnya seorang Hakim dalam menjalankan tugasnya memiliki
tanggung jawab profesi, yang dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu :
a) Tanggung
jawab moral, adalah tanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma
yang berlaku dalam lingkungan kehidupan profesi yang bersangkutan (hakim), baik
bersifat pribadi maupun bersifat kelembagaan bagi suatu lembaga yang merupakan
wadah para hakim bersangkutan ;
b) Tanggung
jawab hukum, adalah tanggung jawab yang menjadi beban hakim untuk dapat
melaksanakan tugasnya dengan tidak melanggar rambu-rambu hukum ;
c)
Tanggung jawab teknis profesi, adalah merupakan
tuntutan bagi hakim untuk melaksanakan tugasnya secara profesional sesuai
dengan kriteria teknis yang berlaku dalam bidang profesi yang bersangkutan,
baik bersifat umum maupun ketentuan khusus dalam lembaganya.[13]
Seorang hakim juga
dituntut bisa menjadi pendengar yang baik atau dalam bahasa hukum disebut Audi et Alteram Partem yang merupakan sebuah kalimat dalam bahasa Latin, artinya adalah:
"Dengarkan sisi lain." Kalimat ini merupakan sebuah ungkapan dalam
bidang hukum demi menjaga keadilan.
Sikap
ini bertujuan agar sebuah
persidangan berjalan seimbang dan azas Audi et Alteram Partem mempunyai
arti “Mendengarkan dua
belah pihak” atau mendengarkan juga pendapat atau argumentasi pihak yang
lainnya sebelum menjatuhkan suatu keputusan agar peradilan dapat berjalan
seimbang. Azas Audi et Lateram Partem atau juga dikenal sebagai Azas Keseimbangan
Dalam Hukum Acara Pidana, seorang Hakim wajib untuk mendengarkan pembelaan dari
pihak yang disangka atau didakwa melakukan suatu tindakan yang melanggar hukum
guna menemukan kebenaran materiel dalam suatu perkara yang diadilinya. Hak
untuk didengar pendapatnya sebagai perwujudan asas audi et alteram partem ini
juga adalah merupakan suatu hak yang dijamin dan dilindungi oleh UUD 1945,
yaitu hak untuk didengar dan dipertimbangkan, baik argumen maupun alat bukti
yang diajukan di depan suatu badan peradilan yang mandiri dan imparsial
(pandangan yang memuliakan kesetaraan hak setiap individu).[14]
Di dalam hukum acara perdata,
asas ini memberikan kedudukan sama kepada para pihak di muka hakim dengan beban
pembuktian yang seimbang. Hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan
kesamaan kedudukannya. Asas ini membawa akibat kemungkinan untuk menang bagi
para pihak dengan kesempatan sama. Pada asanya dalam hukum perdata secara umum,
siapa yang mendalilkan sesuatu, maka dialah yang harus membuktikannya sebagaimana
ditentukan dalam HIR. Namun dalam prakteknya pembagian beban pembuktian
dirasakan adil yang dibebani pembuktian adalah pihak yang paling sedikit
dirugikan jika disuruh membuktikan.[15]
Yang
terpenting dari sikap wajib dimilki oleh seorang Hakim adalah Hakim sebagai benteng terakhir dari keadilan
seharusnya bersikap sebagai sosok yang berdiri di tengah di antara para pihak
pencari keadilan dan tidak bersikap memihak serta dapat menjatuhkan putusan
yang berdasarkan fakta yang terbukti di persidangan. Hakim yang bersikap netral
tentunya akan memberikan rasa rasa tenang bagi para pencari keadilan sebab para
pencari keadilan dapatlah menyandarkan dirinya akan kebutuhan adanya keadilan
pada diri seorang Hakim.[16]
Mahkamah Agung sendiri telah
mengatur mengenai sikap, tugas dan kewajiban seorang Hakim baik di dalam maupun
di luar persidangan sebagaimana tercantum dalam Surat Ketua Mahkamah Agung RI
No. 215/KMA/SK/XI1/2007, yaitu :[17]
1.
Hakim harus mendorong Pegawai Pengadilan, Advokat dan
Penuntut serta pihak lainnya yang tunduk pada arahan dan pengawasan Hakim untuk
menerapkan standar perilaku yang sama dengan Hakim ;
2.
Hakim harus memberi keadilan kepada semua pihak dan
tidak beritikad semata-mata untuk menghukum ;
3.
Hakim harus memberikan kesempatan yang sama kepada
setiap orang khususnya pencari keadilan atau kuasanya yang mempunyai
kepentingan dalam suatu proses hukum di Pengadilan;
4.
Hakim harus berperilaku jujur (fair) dan menghindari
perbuatan yang tercela atau yang dapat menimbulkan kesan tercela ;
5.
Hakim harus memastikan bahwa sikap, tingkah laku dan
tindakannya, baik di dalam maupun di luar pengadilan, selalu menjaga dan
meningkatkan kepercayaan masyarakat, penegak hukum lain serta para pihak
berperkara, sehingga tercermin ketidakberpihakan Hakim dan lembaga peradilan (impartiality);
6.
Hakim wajib melaporkan secara tertulis pemberian yang
termasuk gratifikasi kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)
paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi
tersebut diterima ;
7.
Hakim wajib menyerahkan laporan kekayaan sebelum dan
setelah menjabat tanpa ditunda-tunda, bersedia diperiksa kekayaan segera
setelah memangku jabatan dan setelah menjabat, serta wajib melakukan segala
upaya untuk memastikan kewajiban tersebut dapat dijalankan secara baik, apabila
diperlukan oleh pihak yang berwenang, Hakim harus bersedia diperiksa
kekayaannya pada saat atau selama memangku jabatan ;
8.
Hakim harus menjalankan fungsi peradilan secara
mandiri dan bebas dari pengaruh, tekanan, ancaman atau bujukan, baik yang bersifat
langsung maupun tidak langsung dari pihak manapun ;
9.
Hakim harus menghindari hubungan, baik langsung maupun
tidak langsung dengan Advokat, Penuntut dan pihak-pihak dalam suatu perkara
yang tengah diperiksa oleh Hakim yang bersangkutan ;
10.
Hakim harus membatasi hubungan akrab, baik langsung
maupun tidak langsung dengan Advokat yang sering berperkara di wilayah hukum
Pengadilan tempat Hakim tersebut menjabat;
11.
Hakim harus mengetahui urusan keuangan pribadinya
maupun beban-beban keuangan lainnya dan harus berupaya secara wajar untuk
mengetahui urusan keuangan para anggota keluarganya ;
12.
Hakim harus menjaga kewibawaan serta martabat lembaga
Peradilan dan profesi baik di dalam maupun di luar pengadilan ;
13.
Hakim berkewajiban mengetahui dan mendalami serta
melaksanakan tugas pokok sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, khususnya hukum acara, agar dapat menerapkan hukum secara benar dan
dapat memenuhi rasa keadilan bagi setiap pencari keadilan ;
14.
Hakim harus menghormati hak-hak para pihak dalam proses
peradilan dan berusaha mewujudkan pemeriksaan perkara secara sederhana, cepat
dan biaya ringan;
15.
Hakim harus membantu para pihak dan berusaha mengatasi
segala hambatan dan rintangan untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat
dan biaya ringan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku ;
16.
Ketua Pengadilan atau Hakim yang ditunjuk, harus
mendistribusikan perkara kepada majelis Hakim secara adil dan merata, serta
menghindari pendistribusian perkara kepada Hakim yang memiliki kepentingan ;
17.
Hakim harus melaksanakan pekerjaan sebagai sebuah
pengabdian yang tulus, pekerjaan Hakim bukan semata-mata sebagai mata
pencaharian dalam lapangan kerja untuk mendapat penghasilan materi, melainkan
sebuah amanat yang akan dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan Tuhan Yang
Maha Esa ;
18.
Hakim harus mengambil langkah-langkah untuk memelihara
dan meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kualitas pribadi untuk dapat
melaksanakan tugas-tugas peradilan secara baik ;
19.
Hakim harus secara tekun melaksanakan tanggung jawab
administratif dan bekerja sama dengan para Hakim dan pejabat pengadilan lain
dalam menjalankan administrasi peradilan ;
20.
Hakim yang mengetahui atau menerima informasi yang
dapat dipercaya bahwa seorang Hakim lain telah melakukan pelanggaran terhadap
peraturan ini harus melakukan upaya yang layak untuk menghindari hal tersebut
berulang atau dapat menimbulkan perlakuan yang tidak adil bagi para pihak,
termasuk memberikan informasi kepada pihak yang berwenang dalam pengawasan
Hakim. Membiarkan pelanggaran adalah bertentangan dengan semangat membela korps
Hakim dan lembaga peradilan pada umumnya. Pelanggaran yang dilakukan oleh
individu-individu Hakim pada akhirnya akan melahirkan ketidakpercayaan
masyarakat pada seluruh Hakim dan lembaga peradilan ;
Pemahaman hakim terhadap kewajibannya terutama di
dalam persidangan akan membuat persidangan menjadi lancar dan akan mengurangi
resiko terjadinya tindakan yang dapat merendahkan badan peradilan (contempt of
court), meskipun perilaku Hakim di dalam persidangan yang tidak sesuai dengan
Hukum Acara yang berlaku bukanlah merupakan tindakan yang merendahkan (contempt
of court) tetapi merupakan tindakan yang melanggar kode etik sebagai Hakim
(contempt of conduct), yaitu dikategorikan sebagai tindakan yang tidak profesional
(unproffesional conduct). Perlunya peran dari masing-masing Hakim untuk saling
mengingatkan bahwa setiap Hakim harus bertindak secara profesional sehingga
dapat memperlancar jalannya persidangan.
Apabila persidangan berjalan lancar, tentunya tidak akan
menghambat para pencari keadilan dalam usahanya mencari keadilan dan dapat
memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakat. Dan dengan makin
optimalnya pelayananan kepada masyarakat khususnya para pencari keadilan, dapat
terwujud pula visi dari Mahkamah Agung Republik Indonesia, yaitu Mewujudkan
Badan Peradilan Indonesia Yang Agung.
D.
KESIMPULAN
Dari
uraian-uraian tersebut di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Mahkamah
Agung Republik Indonesia dan badan peradilan di bawahnya merupakan badan yang
melaksankan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia yang harus dilaksanakan secara
mandiri dan tanpa ada campur tangan dari pihak manapun ;
2. Hakim
sebagai organ penting di dalam suatu badan peradilan, haruslah bertindak
sebagai penengah dalam arti di dalam menjalankan tugas-tugas kedinasannya,
seorang Hakim dilarang bersikap memihak kepada salah satu pihak yang berperkara
;
3. Seorang
Hakim juga harus mengundurkan diri apabila terdapat perkara yang diadilinya
masih mempunyai hubungan dengan dirinya baik hubungan kekeluargaan maupun
hubungan pekerjaan ;
4. Dalam setiap
persidangan, seorang Hakim harus siap menjadi seorang pendengar yang baik
(audio et alteram paterm), dengan mendengarkan kedua belah pihak yang
berperkara dalam mengungkapkan dalil-dalilnya ;
5. Lancarnya
persidangan membawa dampak terlayaninya masyarakat pencari keadilan sehingga visi
terciptanya Badan Peradilan Yang Agung dapat dicapai.
E.
PENUTUP
Tulisan
singkat ini barangkali tidak mencukupi di dalam untuk menjebarkan secara lengkap
mengenai kewajiban bagi Hakim dalam persidangan, akan tetapi setidaknya dapat memberikan
pemahaman awal bagi kita bahwa sebagai Hakim haruslah memahami mengenai kewajiban-kewajibannya,
terutama selama menyidangkan perkara.
F.
DAFTAR
BACAAN
1. Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijakan Publik, Jakarta, Sinar Grafika, 1994 ;
2. H.M.
Ali Mansyur, Aneka Persoalan Hukum (Masalah Perjanjian, Konsumen dan
Pembaharuaan Hukum , Penerbit Unisula bekerjasama dengan Penerbit Teras, Tahun
2010 ;
3. Budiono
Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum (Problematik Ketertiban Yang Adil), Penerbit
CV. Mandar Maju – Bandung.
G. LINK INTERNET
1. http://eprints.ums.ac.id/346/1/2._ZUDAN.pdf.
2. Ibid,
http://eprints.ums.ac.id/346/1/2._ZUDAN.pdf.
3. http://www.sarjanaku.com/2013/03/pengertian-hakim-tugas-fungsi-dan.html,
diunduh tanggal 18112015 ;
4. http://click-gtg.blogspot.co.id/2008/08/hakim-dan-kekuasaan-kehakiman.html,
diunduh tanggal 18112015 ;
5. http://laliumah.blogspot.co.id/2013/02/tugas-fungsi-dan-tanggung-jawab-hakim.html,
diunduh tanggal 18112015 ;
6. http://santhoshakim.blogspot.co.id/2015/11/audio-alteram-paterm.html,
diunduh tanggal 24 Nopember 2015 ;
7. https://pengata.wordpress.com/2011/06/28/apa-kewajiban-hakim-ini-jawabannya-menurut-surat-ketua-mahkamah-agung-ri-no-215kmaskxi12007/,
diunduh tanggal 18112015 ;
[1] Hakim Yustisial pada Mahkamah
Agung RI, Mahasiswa Program Doktoral pada Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH)
Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung, Semarang ;
[3] M. Ali
Mansyur, Aneka Persoalan Hukum (Masalah
Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum , Penerbit Unisula bekerjasama
dengan Penerbit Teras, Tahun 2010, hlm.148.
[4] http://eprints.ums.ac.id/346/1/2._ZUDAN.pdf.
[6] Budioono
Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum (Problematik Ketertiban Yang Adil), Penerbit
CV. Mandar Maju – Bandung ,
hlm.172-173.
[7]http://www.sarjanaku.com/2013/03/pengertian-hakim-tugas-fungsi-dan.html,
diunduh tanggal 18112015 ;
[8]http://www.sarjanaku.com/2013/03/pengertian-hakim-tugas-fungsi-dan.html,
diunduh tanggal 18112015 ;
[9] http://click-gtg.blogspot.co.id/2008/08/hakim-dan-kekuasaan-kehakiman.html,
diunduh tanggal 18112015 ;
[10]http://laliumah.blogspot.co.id/2013/02/tugas-fungsi-dan-tanggung-jawab-hakim.html,
diunduh tanggal 18112015 ;
[11]
http://laliumah.blogspot.co.id/2013/02/tugas-fungsi-dan-tanggung-jawab-hakim.html,
diunduh tanggal 18112015 ;
[12]
https://sumberpiji.wordpress.com/tag/kewajiban-hakim/,
diunduh tanggal 18112015 ;
[13] http://click-gtg.blogspot.co.id/2008/08/hakim-dan-kekuasaan-kehakiman.html,
diunduh tanggal 18112015 ;
[14]http://santhoshakim.blogspot.co.id/2015/11/audio-alteram-paterm.html,
diunduh tanggal 24 Nopember 2015 ;
[15]http://santhoshakim.blogspot.co.id/2015/11/audio-alteram-paterm.html,
diunduh tanggal 24 Nopember 2015 ;
[16]http://santhoshakim.blogspot.co.id/2015/11/audio-alteram-paterm.html,
diunduh tanggal 24 Nopember 2015 ;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar