Selasa, 17 November 2015

FILSAFAT HUKUM ISLAM


MAQĀSID ASY-SYARĪ’AH; SEBUAH TINJAUAN FILSAFAT HUKUM ISLAM

OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH[1]

I. Pendahuluan
Islam sebagai ad-din tentu sarat dengan ajaran-ajaran yang universal dan abadi. Ajaran-ajaran itu tertuang dalam dua sumber resmi, yaitu al-Qur’an dan al-Hadis} yang isinya mencakup berbagai aspek. Salah satu aspek yang terdapat dalam ajaran Islam tersebut adalah hukum Islam yang merupakan bagian penting ajaran Islam.
Tidak dipungkiri bahwa saat ini perkembangan jumlah umat Islam di dunia sudah sangat banyak dan terdiri dari berbagai macam suku bangsa maupun Negara, akan tetapi yang menjadi pegangan hidup tetaplah Al Qur’an dan Al Hadist.
Hukum Islam memiliki daya lentur yang tampak dari minimnya ayat-ayat hukum (ayat al-ah kam) dalam Qur’an dan hadis-hadis hukum (hadis} al-ah kam). Di sini terlihat bahwa ada peluang adaptabilitas hukum Islam.
A. SYARI’AH (SHARI’AH)
Kata syari’ah berasal dari bahasa Arab, yaitu شرع – يشرع – شرعا. Sedangkan kata at-tashri’ yang merupakan masdar dari شَرَّعَ, yang diadopsi dari syari’ah ini secara etimologi mempunyai dua arti , yaitu:
1.      مورد الماء الجاري الذى يقصد للشرب yang artinya aliran air yang digunakan untuk minum. Dikatakan demikian karena sumber/aliran air merupakan sumber kehidupan dan kesehatan bagi tubuh.
2.      الطريقة المستقيمة (jalan yang lurus) seperti firman Allah SWT, yang artinya :
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.
Syari’ah itu dikatakan sebagai jalan yang lurus karena ia merupakan petunjuk bagi umat manusia kepada kebaikan, baik kebaikan jiwa maupun akal mereka.
Syari’ah itu dikatakan sebagai jalan yang lurus karena ia merupakan petunjuk bagi umat manusia kepada kebaikan, baik kebaikan jiwa maupun akal mereka.
Kata syari'ah (Ar: ash-shari'ah) secara etimologis berarti sumber atau aliran air yang digunakan untuk minum dalam perkembangannya, digunakan orang Arab untuk mengacu kepada jalan (agama) yang lurus (at-tariqah al-mustaqimah), karena kedua makna tersebut mempunyai keterkaitan makna. Jika sumber atau aliran air merupakan kebutuhan pokok manusia untuk memelihara keselamatan jiwa dan tubuh mereka, maka at}-t}ari>qah al-mustaqi>mah merupakan kebutuhan pokok yang akan menyelamatkan dan membawa kebaikan bagi umat manusia. Dari akar kata ini, syari'ah diartikan sebagai agama yang lurus yang diturunkan Allah SWT bagi umat manusia.
Secara terminologis, ada beberapa pendapat para ulama tentang definisi atau pengertian syari'ah, yaitu:
a.             Manna' al-Qattan (ahli fiqh dari Mesir) mendefinisikan syari'ah sebagai segala ketentuan Allah SWT bagi hamba-Nya yang meliputi masalah akidah, ibadah, akhlak dan tata kehidupan umat manusia untuk mencapai kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat.
b.            Imam asy-Syatibi menyatakan bahwa syariat sama dengan agama.
c.             Fathi ad-Duraini memeberikan definisi syari'ah sebagai berikut: syari'ah adalah segala yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW berupa wahyu, baik yang terdapat dalam Al-Qur'an maupun dalam sunnah Nabi SAW yang diyakini kesahihannya. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa syari'ah adalah an-nusus al-muqaddasah (teks-teks suci) yang dikandung oleh Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW.
d.            Menurut sebagian besar para fuqaha' merupakan hukum-hukum yang telah disyari'atkan Allah SWT kepada hamba-hambanya melalui lisan nabi-nabi-Nya.
Jika kita melihat beberapa definisi yang telah disebutkan, ternyata ada yang mendefinisikan makna syari'ah secara ijmal (global, seperti definisi yang diberikan oleh as-Syathibi, Manna' al-Qaththan dan para fuqaha. Sedangkan definisi yang diberikan Fathi ad-Duraini merupakan pengertian syari'ah secara khusus, yaitu syari'ah Islamiyah (syari'at Islam).
Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa syari'ah itu sebenarnya adalah agama. Sebab agama itu tentunya memiliki ajaran-ajarannya, yang dalam konteks ini merupakan agama yang berasal dari Allah SWT, yang berisi ketentuan-ketentuan-Nya kepada hamba-hambanya yang wahyukan kepada para Rasul.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa pengertian syari'ah di atas merupakan pengertian syari'ah secara umum. Bagaimana dengan syari'ah Islamiyah (syari'at Islam)? Jika kita ingin mendefinisikan pengertian syari'ah Islamiyah, kita dapat mengambil definisi yang diberikan oleh Fathi ad-Duraini, seperti yang disebutkan pada poin b. Definisi syari'ah Islamiyah juga disebutkan oleh Muhammad Must}afa Shalabi> : syari'ah Islamiyah atau Islam adalah majmu'ah al-ahkam (kumpulan hukum-hukum) yang diturunkan Allah SWT dengan perantaran wahyu yang diberikan kepada Nabi Muhammad ibn Abdillah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Jika kita memperhatikan lebih lanjut definisi-definisi dari syari'ah, maka kita akan mengetahui bahwa syari'ah itu terdiri terdiri dari dua unsur (berasal dari dua sumber), yaitu al-Qur'an yang merupakan kitab suci kita umat Islam, dan as-Sunnah (al-Hadis) yang merupakan perkataan, tingkah laku dan ketetapan Nabi kita Muhammad SAW.
Dengan demikian syari'ah itu bersifat sabat (tepat sepanjang zaman), tidak berubah meski ditelan waktu dan zaman, di manapun dan kapan pun. Dengan sifat tsabat tersebut syari'at Allah SWT akan tetap berlaku sepanjang masa dan tidak seorang pun yang mampu untuk menggantikannya.
Syari'ah datang untuk membina, membangun, mengatur kehidupan manusia, serta menuntun manusia ke jalan yang benar (jalan Allah) agar ia selamat, baik di dunia maupun di akherat.
B. FIQIH
Kata fiqih (Ar. al-fiqh) secara etimologi berarti al-fahm atau pemahaman, yang dalam hal ini adalah pemahaman yang mendalam, al-'ilm dan al-fat}anah (kecerdasan). Sedangkan pengertian fiqih secara terminologi ada beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ulama' fiqih sesuai dengan masanya (sesuai dengan perkembangan arti fiqih tersebut), yaitu:
a.       Menurut Imam Abu Hanifah, fiqih adalah ma'rifat an-nafs ma laha wa ma 'alaiha (pengetahuan tentang diri terhadap segala yang berkaitan dengan akidah maupun amaliyah). Definisi meliputi aqidah, akhlak, ibadah dan mu'amalah.
b.      Menurut Imam Syafi'i, fiqih adalah ilmu/pengetahuan tentang hukum-hukum syara' yang 'amaliyah yang diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci.
c.       Menurut al-Baji, fiqih itu adalah ilmu/pengetahuan tentang hukum-hukum syara'.
d.      Imam Haramain mendefinisikan fiqih sebagai ilmu/pengetahuan tentang hukum-hukum taklif.
e.       Imam Al-Amidi menjelaskan bahwa fiqih merupakan pengetahuan (ilmu) tentang hukum syara' yang furu>' yang dihasilkan dengan naz}ar dan istid}lal.
f.       Fathi ad-Duraini menyatakan bahwa fiqih merupakan suatu upaya memperoleh hukum syara' melalui kaidah dan metode ushul fiqh.
Dari beberapa pengertian fiqih di atas pengertian yang paling masyhur, seperti yang disebutkan oleh Wahbah al-Zuhailiy, adalah definisi yang diberikan oleh Imam Syafi'i, yaitu ilmu/pengetahuan tentang hukum-hukum syara' yang 'amaliyah yang diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci. Dikatakan 'amaliyah sebab sebagian besar fiqih itu mengatur hal-hal yang bersifat 'amaliyah meski ada juga yang nadzariy ikhtilaf ad-din (beda agama) menyebabkan tidak boleh saling mewarisi.
Dari sini diketahui bahwa fiqih lebih khusus daripada syari'ah. Syari'ah merupakan sumber dari fiqh. Alasannya, fiqh merupakan pemahaman yang mendalam terhadap an-nusus al-muqaddasah dan merupakan upaya mujtahid dalam menangkap makna serta illat yang dikandung oleh an-nusus al-muqaddasah tersebut. Dengan demikian, fiqh merupakan hasil ijtihad ulama terhadap ayat Al-Qur'an atau sunnah Nabi SAW.
Menurut Fathi ad-Duraini, sebelum dimasuki oleh pemikiran manusia, syariat selamanya bersifat benar. Sedangkan fiqh, karena sudah merupakan hasil pemikiran manusia, bisa salah dan bisa benar. Namun demikian, menurut Muhammad Yusuf Musa (ahli fiqh dari Mesir) syariat dan fiqh mempunyai keterkaitan yang erat, karenanya fiqh tidak bisa dipisahkan dari syariat.
Dengan demikian, fiqh merupakan interpretasi keagamaan yang mencoba merasionalisasikan syari’ah. Hal ini terbukti dengan terjadinya perbedaan pemahaman dalam syari’at sehingga menghasilkan interpretasi yang berbeda. Hal ini menimbulkan munculnya madzhab-madzhab dalam bidang fiqh. Perbedaan ini terlihat jelas khususnya pada hukum mu’amalah (hubungan horizontal). Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan lingkungan sosial para imam madzhab fiqh tersebut. Maka lahirlah Imam-Imam madzhab seperti Imam Abu Hanifah yang terkenal sebagai sosok rasionalis (menggunakan rasio dengan porsi yang lebih banyak) karena beliau hidup di tengah-tengah masyarakat yang heterogen. Sedangkan Imam Malik yang tinggal di tempat dimana hadits bersumber menjadi sosok yang tekstualis. Namun demikian, mereka tidak sedikitpun memonopoli penafsiran wahyu Allah, bahkan membuka pintu seluas-luasnya untuk memahami dan menafsirkan syari’ah.
Persoalan hukum Islam merupakan persoalan yang sangat diminati oleh banyak kalangan akademisi, karena di dalamnya selalu saja melahirkan persoalan yang debatable dan berakibat lahirnya argumentasi rasional dari kalangan yang berbeda pandangan. Ini bukanlah sesuatu yang baru, karena berkembangnya pertumbuhan umat Islam. Apalagi Jumlah mereka tidak terbatas pada angka tertentu. Di sisi lain, mereka pun akan mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang diakibatkan perubahan pola fikir yang terkooptasi oleh kemajuan zaman yang pastinya berakibat pada munculnya persoalan-persoalan baru, maka dari itu menjadi wajar ketika mayoritas ulama’ dan pemikir mengakui perlunya penyegaran ajaran agama yang diistilahkan dalam satu riwayat dengan tajdid, yakni dengan jalan ijtihad.
Sungguh suatu kekeliruan besar dari ulama dan cendekiawan kontemporer apabila mereka ber-taqlid atau meniru secara utuh, ini merupakan langkah yang mencederai tradisi ilmiah. Karena yang pasti product hukum yang dilahirkan oleh ulama’ terdahulu merupakan hasil kajian kontekstual berdasarkan objek yang mereka lihat, yang kemungkinan besar sangat berbeda dengan konteks yang terjadi saat ini.
Quraish Shihab dalam bukunya Menabur Pesan Illahi, Al-Qur’an dan Dinamika kehidupan Masyarakat, menjelaskan bahwa masa merupakan arus deras dan melaju tanpa dapat dibendung. Perubahan adalah keniscayaan. Manusia hanya mempunyai dua pilihan, mandek hingga tergilas dan mati atau maju bersamanya tanpa melepaskan pelampung yang melindunginya.[i] Maksud dari pilihan yang kedua ini adalah bukan berarti meninggalkan sama sekali apa yang telah dihasilkan oleh para pendahulu, tetapi tetap mempertahankan metode yang telah mereka ciptakan walau dengan sedikit revisi.
Memang sangat disayangkan ketika arus globalisasi semakin menggelora, masih saja didapatkan aliran-aliran radikal ataupun fundamentalis yang selalu saja menjadi penyakit penghambat untuk berkembangnya pola fikir yang merdeka dan bertoleransi. Aliran ini sangatlah intoleran dan eksklusif [ii] terhadap pemikiran-pemikiran baru, dan selalu saja melahirkan produk hukum (meminjam istilah Khaled M, Abu el-Fadl) yang otoriter.[iii] Ini sangat bertentangan dengan Alqur’an sebagai kitab suci umat Islam, walaupun taken for granted[iv] tapi Alqur’an merupakan fundamen toleransi.[v] Artinya, umat Islam adalah umat pilihan Tuhan yang diperintahkan agar menjadikan toleransi sebagai nilai fundamental. Bila umat Islam berhasil membangun, maka akan mampu membangun peradaban kemanusiaan yang berdasarkan dialog dan saling pengertian. Sebaliknya, bilamana umat Islam menebarkan kekerasan dan claim-claim otoriter atas nama Tuhan, maka yang akan terjadi adalah kehancuran dan kegagalan.
Islam merupakan agama yang mengakomodir pelbagai kebutuhan manusia serta tidak memberikan kesulitan bagi semua pengikutnya dalam melarapkan hukum-hukmnya sebagaimana disinyalir dalam Al-Qur’an وماجعل عليكم في الدين من حرج (dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama kesempitan). Dengan kata lain, Islam menghendaki terciptanya kemaslahatan seluruh umat manusia tak terkecuali hanya yang membedakan mungkin dari sisi konsekuensi (balasan) dan perlakuan terhadap orang-orang di luar Islam.[vi]
Selain itu, Tujuan dari tasyrî Islam adalah merealisasikan mashlahah umat di dunia dan akhirat. Oleh karenanya syari’at Islam ditegaskan oleh Allah sebagai rahmat bagi manusia; ”Wahai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang   yang beriman.”(Q.S. Yunus: 57) Maka tepatlah apa yang dikatakan oleh Ibnu al Qayyim bahwasanya syari’ah merupakan keadilan, rahmat, mashlahah dan hikmah secara universal.[vii] Jika ada hal-hal yang menyimpang dari kriteria tersebut maka bukan merupakan syari’ah. Nilai-nilai Islam yang dimaksudkan adalah terimplementasinya maqâ shid syarî ah al-khamsah yang merupakan metode filsafat hukum Islam sebagaimana yang akan dijelaskan dalam tulisan ini.
 II. Pengetian Filsafat Hukum Islam
Secara etimologi tiap kata pada filsafat hukum Islam memiliki arti dan makna tersendiri. Untuk kata filsafat sendiri ketika digabungkan dengan kata hukum akan bermakana pengetahuan tentang pemikiran mendalam, sistematis, logis dan radikal tentang berbagai aturan yang berlaku dalam kehidupan manusia, baik aturan bermasyarakat maupun aturan bernegara. Dalam filsafat hukum dibicarakan hal-hal yang berhubungan dengan hakikat hukum, sumber hukum dan manfaat atau fungsi hukum dalam masyarakat.[viii]
Hukum secara etimologis seperti yang dijelaskan oleh Ibn Mandzur, berasat dari bahasa Arab, al-hukm berarti al-‘ilm wa al-fiqh. Juga berarti al-‘adl. Fi’il muta’addinya yaitu kata ahkama mempunyai arti atqana (berpegang dengan teguh). Al-hukm juga berarti al-qada’ (ketetapan) dan al-man’ (pencegahan). Sedangkan secara terminology, hukum adalah sekumpulan aturan-aturan, baik berasal dari aturan formal maupun adat, yang diakui oleh masyarakat dan bangsa tertentu sebagai pengikat bagi anggotanya. Oleh karena itu, hukum Islam menurut Abu Zahrah adalah titah (khitab) pembuat shara’ yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan atau penetapan. Definisi ini lebih mendekati makana shari’ah. Sedang menurut Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy adalah koleksi daya upaya fuqaha’ dalam menerapkan shari’ah Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Definisi ini lebih mendekati makna fiqh.[ix]
Dari beberapa penjelasan di atas dapat didefinisiskan bahwa filsafat hukum Islam adalah kajian filosofis tentang hakikat hukum Islam, sumber asal muasal hukum Islam dan prinsip penerapannya, serta fungsi dan manfaat hukum islam bagi kehidupan masyarakat yang melaksanakannya. Dengan kata lain kajian ini berupaya menjawab persoalan-persoalan hukum Islam secara kontemplatif, sistematif, logis dan radikal. Atau juga filsafat hukum Islam dapat diartikan setiap kaidah, asas atau mabda’, aturan-aturan pengendalian masyarakat   pemeluk agama Islam. Kaidah-kaidah itu dapat berupa Alqur’an, hadist, pendapat sahabat dan thabiin, ijma’ ulama’ dan fatwa lembaga keagamaan. Al-jurjani dalam bukunya Hikmah Al-Tasyri wa Falsafatuh juga menjelaskan bahwa filsafat hukum Islam diistilahkan hikmah at-tasyri’[x] Filsafat hukum Islam sendiri dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
-  Falsafah asy-syari’ah, yang mengungkapkan masalah ibadah, muammalah, jinayah dan ‘uqabah dari materi hukum Islam. Falsafah syari’ah mencakup asrar al-ahkam, khasha’ilah al-ahkam, mahasin al-ahkam dan thawabi’ al-ahkam.
-  Falsafah Tasyri’, yaitu filsafat yang memancarkan hukum islam, menguatkan dan memeliharanya. Falsafah tasyri’ meliputi ushul al-ahkam, maqasid al-ahkam dan qawa’id al-ahkam.
-  Hikmah at-Tasyri wa Falsafatuh, yaitu kajian mendalam dan radikal tentang prilaku mukallaf dalam mengamalkan hukum Islam sebagai undang-undang dan jalan kehidupan yang lurus.[xi]
 III. Maqashid Syari’ah dalam Wacana Global
Al-Qur’â n dan al-Sunnah banyak meyinggung tentang maqâ shid baik dalam ibadah, muâ malah, sosial dan sebagainya. Keduanya merupakan sumber otentik syari’ah Islam telah memberikan alternatif dalam setiap pembahasan yang berkaitan dengan dimensi kehidupan. Sedangkan syari’ah Islam datang untuk menghilangkan kesusahan dan kesusahan manusia, meminimalisir bahaya dan mencari nilai mashlahah bagi manusia. Kalau ada orang yang mengatakan bahwa syari’at Islam itu, hanya membahas tentang akhirat saja, sebenarnya mereka lupa bahwa syari’at Islam juga mengatur tentang siklus kehidupan manusia di dunia, sebagaimana firman Allah swt: “Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang kamu dari padanya. Aku tidak bermaksud  kecuali (mendatangkan) perbaikan  selama aku masih berkesanggupan.” (QS.Hud:88) . Dari sini nampak jelas bahwa tasyrî’ hukum senantiasa memperhatikan mashlahah manusia, yang diimplementasikan lewat maqâ shid syari’ah tadi.
1. Definisi Maqashid Syari’ah
Secara etimologis, maqashid berasal dari kata qasada yang berarti menghadap pada sesuatu. Sedangkan secara terminologis adalah sasaran-sasaran yang dituju oleh syari’at dan rahasia-rahasia yang diinginkan oleh Syâ ri’ dalam setiap hukum-hukum-Nya untuk menjaga kemaslahatan manusia. Sebagian ulama memberikan definisi dengan membagi maqâ shid dalam beberapa bagian, diantaranya:
a. Imam Syatibi. Menurutnya maqâ shid syarî ah terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Kemauan taklîf, maknanya adalah kemauan seorang mukallaf dalam mengerjakan beban yang telah ditentukan oleh Syâri’. Selanjutnya as-Syatibi mengatakan bahwa perkara yang maklum adalah yang sesuai dengan perbuatan mukallaf. Sedangkan keterkaitan antara perbuatan dengan perkara tersebut, itulah yang dimaksud oleh Syâri’.
2.  Maqâshid sebagai dalalah dari khithâb syara’ atau menurut ahli ushûl adalah nash.
3. Maqâshid syari’ah dari hukum, yaitu menarik kemaslahatan dan menghindari  kesusahan.[xii]
 b. Imam Muhammad at-Thâhir  ibn Ashûr. Menurutnya maqâ shid terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
1.  Maqashid al syarî’ah al ‘ammah adalah makna-makna dan hukum yang telah didiskripsikan oleh Syâ ri’ dalam segenap permasalahan syara’ tanpa mengkhususkan pada hal-hal tertentu. Pembahasannya meliputi: Karakteristik syari’ah, Tujuannya secara umum, makna-makna yang mempunyai korelasi dengan pensyari’atan dan sebagainya.
2.  Maqâ shid al syarî’ah al khã shah adalah tata cara yang dimaksudkan oleh syara’ untuk merealisasikan maqâ shid manusia yang mempunyai nilai kemanfaatan atau untuk menjaga mashlahah manusia dalam aktifitasnya.[xiii]
Lebih spesifik lagi, sasaran maqâ shid syariî’ah adalah melestarikan tatanan dunia dengan jaminan hak-hak asasi manusia, sebagai subyek dalam pelestarian dan pemakmuran alam. Perspektif ini berusaha untuk memelihara hak-hak manusia yang pada implementasinya terarah pada akidah, mengekspresikan amal dan juga status sosial individu di tengah masyarakat. Karena reformasi yang dicita-citakan oleh Islam adalah perbaikan yang menyeluruh pada setiap permasalahan umat manusia. Kreatifitas seseorang sangat di pengaruhi oleh keleluasaannya dalam mengaplikasikan hak-haknya, dan kesalehannya sangat dipengaruhi oleh kelurusan akidah sebagai sumber etika dan pemikiran. Adapun pemberdayaan sosial diawali oleh kesalehan individu plus aturan syari’at dan lingkungan yang mempengaruhinya.
 2. Pembagian Maqâshid Syari’ah
Inti dari tasyrî’ Islam adalah jalbu al-mashâ lih dan dar’u al-mafsadah. Inilah yang dimaksud dengan pelestarian tatanan dunia dan pengaturan perilaku manusia sehingga terhindar dari tindakan-tindakan destruktif. Akan tetapi, mashlahah ini terkait oleh besar atau kecilnya pengaruh dari kesalehan ummah atau jamaah. Tinjauan mashlahah dari sisi pengaruh ini terbagi kedalam dlarû riyah, hâ jjiyah dan tahsî niyah.
Secara garis besar maqâ shid syarî’ah terbagi dua bagian: Pertama, maqâ shid yang dikembalikan kepada maksud syâri’. Syâri’ menurunkan hukum bagi makhluknya dengan satu illat yaitu kemaslahatan manusia, baik kemaslahatan duniawi, maupun kemaslahatan ukhrawi. Kedua, hukum syari’ah yang dikembalikan kepada maksud mukallaf. Hal ini dapat diimplementasikan dalam tiga visi; dlarû riyah, hâ jjiyah dan tahsî niyah.[xiv]
Menjaga maqshâ shid syarî’ah sebagaimana yang digariskan oleh ahli Ushul Fiqh terbagi kepada tiga tingkatan: dlarû riyah, hâ jjiyah dan tahsî niyah. Dalam fiqh aulawiyâ t kita dituntut untuk mendahulukan dlarû riyah dari pada yang hâ jjiyah. Demikian halnya jika terjadi pergesekan antara hâ jjiyah dan tahsî niyah, kita dituntut untuk mendahulukan hâ jjiyah daripada tahsî niyah. Pertama, dlarû riyah adalah bentuk kemaslahatan primer yang mendesak untuk dipenuhi oleh masyarakat baik secara kolektif maupun oleh masing-masing individu. Sekiranya terabaikan maka akan mengakibatkan destruktif bagi manusia sendiri atau tatanan yang telah mapan.
Dalam kaitannya dengan dlarû riyah ini — sebagaimana yang akan dirinci nanti dibagi menjadi lima bagian—hifdz al dîn lebih diprioritaskan daripada hifdz al nafs, dan hifdz al nafs lebih diprioritaskan daripada hifz al ‘aql dan begitu seterusnya.
Kedua, hâjjiyah adalah kemaslahatan yang diperlukan oleh masyarakat demi peningkatan kestabilan tatanan hidup, atau guna terciptanya kondisi yang lebih baik. Jika mashlahah ini terabaikan bahayanya tidak sampai mengganggu kemapanan yang ada, hanya terjadi kekurang serasian hidup. Seperti pensyari’atan rukhshah (keringanan) dalam hifdz al din, dan hifdz nashl menasabkan anak hasil adopsi kepada orang tua asli dan diperbolehkannya berbuka puasa bagi musafir serta yang sakit. Termasuk dalam hal ini penciptaan cara-cara lain sebagai sad al dzarâi’.
Ketiga, tahsî niyât adalah hal-hal yang dibutuhkan untuk menumbuhkan sikap kepribadian dan kemuliaan akhlaq, berorientasi pada legitimasi sosial yang tidak kontradiktif dengan syari’at. Kemashlahatan tahsnî yât melahirkan kondisi umat yang mendekati kesempurnaan, sehingga bisa menarik simpati dari umat lain terhadap masyarakat Islam. Seperti disyari’atkannya menjaga kebersihan,  berhias dan dalam mu’amalah terdapat pelarangan menjual barang najis dan kotoran yang membahayakan kesehatan umum.
Lebih terperinci lagi, maqâ shid syari’ah dalam visi dlarû riyah terbagi menjadi lima yang kemudian lebih dikenal dengan al-kulliyâ t al-khams, diantaranya:
Pertama, hifdz al dî n; (Perlindungan terhadap keyakinan agama). Shari’ah Islam mengajarkan untuk menciptakan sikap hormat dan menjaga keyakinan yang ada, agar dalam masyarakat yang berada di dalam naungan shari’ah Islamiyyah, agama yang bervariasi dapat hidup berdampingan secara damai, saling menjaga dan menghormati, tidak terjadi saling intervensi dan interpolasi ajaran[xv], sehingga keyakinan masing-masing tergambar jelas, (QS. Al-Kafirun 109: 1-6). Shari’ah Islam juga melarang ada pemaksaan untuk memeluk agama di luar keyakinannya (QS. Al-Baqarah 2: 256). Dampaknya adalah membuahkan kerjasama yang seimbang antara ummat beragama dalam kegiatan social, ekonomi, pertahanan, keamanan, lingkungan hidup dan lain sebagainya. Yang digambarkan oleh QS. Al-Mumtahanah 60: 8.
Kedua, hifdz al nafs (Perlindungan terhadap keselamatan jiwa); Islam mengajarkan untuk memelihara dan menghormati keamanan dan keselamatan diri manusia, dan menjadi tetap dihormatinya kemuliaan, martabat manusia sebagai anugrah dari Alah SWT. Dampaknya adalah terjaminnya ketentraman dan kondisi masyarakat yang santun dan beradab (masyarakat madani/civil society), (QS. Al-an’am 6: 151), (al-Baqarah 2: 179).
Ketiga, hifdz al áql (Perlindungan terhadap eksistensi akal); akal adalah dimensi paling penting dalam kehidupan manusia. Keberadaanya menjadi pembeda utama dengan makhluk lain serta menjadi alas an mengapa Allah menetapkan kewajiban-kewajiban-Nya kepada manusia. Akal juga amat menentukan baik buruknya perilaku hidup dan peradaban. Oleh karena itu, shari’ah Islam mengajarkan untuk memelihara dan mengembangkan kejernihan apemikiran manusia serta amannya produk pemikiran manusia, sehingga tidak mudah kegalauan dan kebingungan yang dapat menimbulkan keberingasan. Oleh karena itu apapun yang dapat merugikan fungsi pemikiran, baik dalam bentuk fisik maupun non fisik, dicegat oleh shari’at Islam.Perlindungan terhadap kerusakan pemikiran maupun fungsi aqliyah manusia merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi masyarakat yang menginginkan kemajuan, sebab hal ini merupakan kebutuhan semua orang tanpa memandang suku, bangsa ataupun agama. (QS. Al-Maidah 5: 90).
Keempat, Hifdz al nasl (Perlindungan terhadap keturunan); Islam mengajarkan untuk memelihara dan menghormati system keluarga (keturunan), sehingga masing-masing orang mempunyai nisbah dan garis keluarga yang jelas demi kepentingan di dalam masyarakat guna mewujudkan kehidupan yang tenteram dan tenang. (QS. Al-Rum 30: 21).
Kelima, Hifdz al mâl (Perlindungan terhadap harta); Islam mengajarkan untuk menjamin perkembangan ekonomi masyarakat yang saling menguntungkan, menghormati dan menjaga kepemilikan yang sah sehingga akan tercipta dinamika ekonomi yang santun dan beradab (economical civility). Untuk itu Islam mengajarkan tata cara memperoleh harta, seperti hukum bolehnya jual beli disertai persyaratan keridlaan dua belah pihak dan tidak ada praktik riba dan monopoli, (QS. Al-Baqarah 2: 275), (QS. An.Nisa 4: 29) [xvi]
 IV. Maqashid Syari’ah dalam konteks  ke Indonesiaan.
Indonesia merupakan Negara dengan kemajemukan yang sangat banyak. Berbagai macam suku, ras, budaya, bahasa dan agama berkeliaran di negeri ini. Maka menjadi keniscayaan ketika perbedaan-perbedaan itu tidak lagi melahirkan konflik. Para funding father memiliki cita-cita mulia ketika membuat landasan bangsa kita.  perdamaian, kesetaraan dan saling menghargai adalah kunci untuk mewujudkan cita-cita tersebut, maka lahirlah Pancasila yang akhirnya hingga kini menjadi ideology Negara kita. Dengan lambang garuda yang bertuliskan Bhinneka tunggal Ika, dan semua itu bukanlah diciptakan hanya untuk menjadi symbol atau formalitas belaka. Sungguh sangat disayangkan ketika masih saja terjadi kekerasan dan peperangan yang dimulai karena perbedaan. Apalagi Negara ini adalah Negara demokrasi, maka semangat demokrasi seharusnya menjadi semangat untuk menjadi mediasi perbedaan yang ada pada masyarakat, mempromosikan pluralisme, menghormati minoritas serta perbedaan etnis dan agama.
Dan semua itu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan tujuan diturunkannya al-Qur’an. Al-Qur’an diturunkan kepada Rosulullah saw, di tengah semrawutnya tatanan kehidupan masyarakat ketika itu di mana struktur social  budayanya patriarki, system ekonominya opresif, politiknya despotic dan juga koruptif. Di tengah system sedemikian rupa kehidupan tidak lagi berharga. Perbudakan merajalela, perempuan dimarjinalkan dan dijadikan barang mainan, para kapitalis berkuasa sementara kaum miskin akan terus hidup menderita. Al-Qur’an turun untuk memperbaiki kerusakan itu, kembali mengangkat jati diri manusia dari penindasan dan kesengsaraan dan menciptakan sebuah masyarakat yang adil (al-‘adalah), egaliter (musawah), merdeka (al-huriyah), serta damai dan rukun (as-salamah, al-mashlahah).[xvii]
Dalam konteks inilah Allah melalui al-Qur’an menetapkan bahwa riba adalah haram, sementara jual beli itu halal, poligami halal, tetapi gonta ganti pasangan haram, tabarruj (bersolek) haram, akan tetapi berjilbab wajib bagi kaum perempuan, hudud dikenakan bagi pelaku tindak kriminalitas dan rajam bagi pezina, dan begitulah seterusnya. Hukum-hukum ini yang dalam perkembangan selanjutnya dielaborasi secara rinci oleh fuqaha dan mufassirin, sehingga melahirkan disiplin ilmu yang dikenal dengan fiqh, ushul fiqh dan tafsir. Inilah  yang dimaksudkan Fazlur Rahman dalam tulisannya “(pewahyuan) al-Qur’an merupakan respon ilahiah pada waktu al-Qur’an diturunkan, yang menembus nalar nabi Muhammad, terkait dengan situasi moral-sosial kawasan Arabia tempat Nabi tinggal.
Dengan nada yang sama Abdullah Ahmed An-Na’im , ketika mengomentari hukum Islam yang berhubungan dengan urusan public seperti hudud, qishas dan sejenisnya mengatakan “hukum public yang terkandung dalam shari’ah adalah sepenuhnya dapat dijadikan landasan dan konsisten dengan konteks historisnya. Akan tetapi tidak dapat dijadikan alasan dan tidak secara konsisten bersesuaian dengan konteks kekinian”.  Nasr Hamid abu Zaid meringkas dengan mengatakan al-Qur’an sebagai muntaj tsaqafi (Produk budaya). Apa yang tersirat dalam masalah ini adalah hukum-hukum al-Qur’an sangat dipengaruhi nuansa social-budaya, ekonomi, politik masyarakat Arab diabad ke tujuh. Oleh sebab itu, bukanlah sikap yang bijak ketika mengadopsi apa yang ditetapkan dalam nash secara literal dan formal legalistic tanpa lebih jauh mengapresiasi tujuan serta hikmah terdalam dari hukum tersebut.[xviii] Karena setiap hukum yang lahir pasti bertujuan mencari kemaslahatan dan ini sangatlah sesuai dengan prinsip Maqashidus syari’ah, maka hukum pun harus menyesuaikan pada waktu dan tempat.
 V. Kesimpulan
Imam al-Syatibi membagi kemaslahatan dalam tiga tingkatan, yaitu pertama, Kemaslahatan yang bersifat primer (al-dharuriyyat), yaitu kemaslahatan yang mesti menjadi acuan utama bagi implementasi syari’at. sebab jika tidak, maka akan terjadi ketimpangan dan ketidakadilan yang mengakibatkan ambruknya tatanan social. Kemaslahatan dalam kategori menjadi penyeimbang dan mediasi antara kecenderungan ukhrawi dan duniawi. Titik temunya terletak pada upaya pembumian nilai-nilai yang diidealkan Tuhan untuk kemanusiaan universal.
Yang dimaksud kemaslahatan primer yaitu perlunya perlindungan agama (hifzh al-din, melindungi jiwa (hifzh al-nafs), melindungi akal (hifzh al-‘aql), melindingi keturunan (hifzh nasaab) dan melindungi harta (hifzh al-mal). Setiap manusia mesti menghargai keberagamaan orang lain, menghormati jiwa, menghargai kebebasan berfikir dan berpendapat, menjaga keturunan (hak reproduksi) serta menghargai kepemilikan harta setiap orang. Imam Syatibi menegaskan, bahwa kemaslahatan yang bersifat primer tersebut merupakan inti semua agama dan ajaran.
Kedua, kemaslahatan yang bersifat sekunder (al-hajiyat), yaitu kemaslahatan yang tidak menyebabkan ambruknya tatanan social dan hukum. Misalnya dalam hal ibadah, bahwa dalam praktek peribadatan diberikan dispensasi (al-rukhash al-mukhaffafah) apabila dal;am pelaksanaannya terdapat kesulitan. Bagi mereka yang melakukan perjalanan jauh, sakit dan orang tua renta diberikan keringanan yang diatur dalam fiqih. Kemaslahatan sekunder ingin memberikan pesan, bahwa dalam pelaksanaan peribadatan pun diberikan beberapa keringanan dalam rangka memberikan kemaslahatan dan kenyamanan bagi pemeluknya, sehingga beragama dan beribadah tidak merasa adanya keberatan dan keterpaksaan.
Ketiga, kemaslahatan yang bersifat suplementer (al-tahsiniyat), yaitu kemaslahatan yang memberikan perhatian pada masalah estetika dan etiket. Misalnya, ajaran tentang kebersihan, berhias, shadaqah dan bantuan kemanusiaan. Kemaslahatan ini juga menjadi penting dalam rangka menyempurnakan kemaslahatan primer dan sekunder.





[1] Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung RI, Mahasiswa Program Doktoral pada Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA), Semarang ;


[i] Quraish Shihab, “Menabur Pesan Illahi, Al-Qur’an dan Dinamika kehidupan Masyarakat” (Jakarta; Lentera Hati, 2006) hlm. 241.
[ii] Edi Susanto, “Pendidikan Agama Berbasis Multikultural: Upaya Strategis Menghindari Radikalisme” dalam KARSA: Jurnal Studi Keislaman, Vol. IX No. I April 2006, (Pamekasan: STAIN Pamekasan 2006) hlm.783
[iii] Khaled M. Abou El Fadl, “Atas nama Tuhan; dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif” terjemahan R. cecep Lukman yasin (Jakarta; Serambi Ilmu Semesta, 2004) hlm. 204.
[iv] William A. Graham, “Al-Qur’an sebagai kata terucap; Konstribusi Islam untuk Memahami Kitab Suci”, dalam Richard C. Martin (ed.) “Pendekatan dalam kajian Islam dalam studi Agama” (terj. Zakiyuddin Bhaidhawi, Muhammadiyah University Press, 2002), hlm 27
[v] Ahmad Syafi’I Maarif, “Al-Qur’an sebagai Fundamen Toleransi”, Pengantar dalam Zuhairi Misrawi, “Al-Qur’an Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme”, (Jakarta; Fitrah, 2007) hlm. xxxi
[vi] Agnan Nasution, “Mashalihul Mursalah; Implementasi Maqâshid Syarî’ah” (makalah tidak diterbitkan, Tulisan ini disharingkan pada sidang Lembaga Buhuts Islamiyah Divisi Syariah pada hari Sabtu, 17 Februari 2007 di Rumah Pwk Persis Mesir)
[vii] Abdurrahman Kasdi, “Maqashid Syariah dan Hak Asasi Manusia; Study Komparatif antara HAM Perspektif Islam dan Perundang-undangan Modern” (makalah tidak diterbitkan) hlm., 3
[viii] Tajul Arifin, “Filsafat Hukum Islam” (Bandung; Pustaka Setia. 2008)  hlm. 54
[ix] Definisi ini penulis dapatkan dalam catatan kaki no 9 dalam tulisan Moh. Zahid , “Islam Kāffah dan Implementasinya (mencari Benang Merah Tindak Kekerasan atas nama Islam)” dalam  KARSA: Jurnal Studi Keislaman, Vol. IX No. I April 2006, (Pamekasan: STAIN Pamekasan 2006)  hlm. 810
[x] Tajul Arifin, “Filsafat Hukum…” hlm. 55
[xi] Ibid., hlm. 56
[xii] Abdurrahman  Kasdi, “Maqashid dan  hak asasi manusia……” ibid., hal., 2
[xiii] Ibid.,
[xiv] Mun’im A Sirry (Ed), “Fiqih Lintas Agama; Membangun Masyarakat Inklusif Pluralis” (Jakarta; Paramadina, cet IV, 2004), hlm., 10-11
[xv] Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, “Maqashid Syari’ah”, (Jakarta; Amzah, 2009) hlm, 14-20
[xvi] Moh. Zahid , “Islam Kāffah dan Implementasinya (mencari Benang Merah Tindak Kekerasan atas nama Islam)” dalam  KARSA: Jurnal Studi Keislaman, Vol. IX No. I April 2006, (Pamekasan: STAIN Pamekasan 2006)  hlm., 814-815.
[xvii] Nirwan Syafrin Arma, “Syari’at Islam: antara ketetapan Nash dan Maqashid Syari’ah “ dalam  Adian Husaini, “Islam Liberal, Pluralisme Agama & Diabolisme Intelektual” ,  (Surabaya; Risalah Gusti, 2005) hlm. 176.
[xviii] Ibid., 177-178





































Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...