MAQĀSID
ASY-SYARĪ’AH; SEBUAH TINJAUAN FILSAFAT HUKUM ISLAM
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH[1]
I. Pendahuluan
Islam sebagai ad-din tentu sarat dengan ajaran-ajaran yang universal
dan abadi. Ajaran-ajaran itu tertuang dalam dua sumber resmi, yaitu al-Qur’an
dan al-Hadis} yang isinya mencakup berbagai aspek. Salah satu aspek yang
terdapat dalam ajaran Islam tersebut adalah hukum Islam yang merupakan bagian
penting ajaran Islam.
Tidak dipungkiri bahwa saat ini perkembangan jumlah umat Islam di
dunia sudah sangat banyak dan terdiri dari berbagai macam suku bangsa maupun
Negara, akan tetapi yang menjadi pegangan hidup tetaplah Al Qur’an dan Al
Hadist.
Hukum Islam memiliki daya lentur yang tampak dari minimnya ayat-ayat
hukum (ayat al-ah kam) dalam Qur’an dan hadis-hadis hukum (hadis} al-ah kam).
Di sini terlihat bahwa ada peluang adaptabilitas hukum Islam.
A. SYARI’AH (SHARI’AH)
Kata syari’ah berasal dari bahasa Arab, yaitu شرع – يشرع – شرعا.
Sedangkan kata at-tashri’ yang merupakan masdar dari شَرَّعَ, yang diadopsi
dari syari’ah ini secara etimologi mempunyai dua arti , yaitu:
1.
مورد الماء الجاري الذى يقصد
للشرب yang artinya aliran air yang digunakan untuk minum. Dikatakan demikian
karena sumber/aliran air merupakan sumber kehidupan dan kesehatan bagi tubuh.
2.
الطريقة المستقيمة (jalan yang
lurus) seperti firman Allah SWT, yang artinya :
Kemudian Kami jadikan kamu
berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah
syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.
Syari’ah itu dikatakan sebagai jalan yang lurus karena ia merupakan petunjuk bagi umat manusia kepada kebaikan, baik kebaikan jiwa maupun akal mereka.
Syari’ah itu dikatakan sebagai jalan yang lurus karena ia merupakan petunjuk bagi umat manusia kepada kebaikan, baik kebaikan jiwa maupun akal mereka.
Syari’ah itu dikatakan sebagai jalan yang lurus karena ia merupakan
petunjuk bagi umat manusia kepada kebaikan, baik kebaikan jiwa maupun akal
mereka.
Kata syari'ah (Ar: ash-shari'ah) secara etimologis berarti sumber atau aliran air yang digunakan untuk minum dalam perkembangannya, digunakan orang Arab untuk mengacu kepada jalan (agama) yang lurus (at-tariqah al-mustaqimah), karena kedua makna tersebut mempunyai keterkaitan makna. Jika sumber atau aliran air merupakan kebutuhan pokok manusia untuk memelihara keselamatan jiwa dan tubuh mereka, maka at}-t}ari>qah al-mustaqi>mah merupakan kebutuhan pokok yang akan menyelamatkan dan membawa kebaikan bagi umat manusia. Dari akar kata ini, syari'ah diartikan sebagai agama yang lurus yang diturunkan Allah SWT bagi umat manusia.
Secara terminologis, ada beberapa pendapat para ulama tentang definisi atau pengertian syari'ah, yaitu:
Kata syari'ah (Ar: ash-shari'ah) secara etimologis berarti sumber atau aliran air yang digunakan untuk minum dalam perkembangannya, digunakan orang Arab untuk mengacu kepada jalan (agama) yang lurus (at-tariqah al-mustaqimah), karena kedua makna tersebut mempunyai keterkaitan makna. Jika sumber atau aliran air merupakan kebutuhan pokok manusia untuk memelihara keselamatan jiwa dan tubuh mereka, maka at}-t}ari>qah al-mustaqi>mah merupakan kebutuhan pokok yang akan menyelamatkan dan membawa kebaikan bagi umat manusia. Dari akar kata ini, syari'ah diartikan sebagai agama yang lurus yang diturunkan Allah SWT bagi umat manusia.
Secara terminologis, ada beberapa pendapat para ulama tentang definisi atau pengertian syari'ah, yaitu:
a.
Manna' al-Qattan (ahli fiqh
dari Mesir) mendefinisikan syari'ah sebagai segala ketentuan Allah SWT bagi
hamba-Nya yang meliputi masalah akidah, ibadah, akhlak dan tata kehidupan umat
manusia untuk mencapai kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat.
b.
Imam asy-Syatibi menyatakan
bahwa syariat sama dengan agama.
c.
Fathi ad-Duraini memeberikan
definisi syari'ah sebagai berikut: syari'ah adalah segala yang diturunkan Allah
SWT kepada Nabi Muhammad SAW berupa wahyu, baik yang terdapat dalam Al-Qur'an
maupun dalam sunnah Nabi SAW yang diyakini kesahihannya. Lebih lanjut ia
mengatakan bahwa syari'ah adalah an-nusus al-muqaddasah (teks-teks suci) yang
dikandung oleh Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW.
d.
Menurut sebagian besar para
fuqaha' merupakan hukum-hukum yang telah disyari'atkan Allah SWT kepada
hamba-hambanya melalui lisan nabi-nabi-Nya.
Jika kita melihat beberapa definisi yang telah disebutkan, ternyata
ada yang mendefinisikan makna syari'ah secara ijmal (global, seperti definisi
yang diberikan oleh as-Syathibi, Manna' al-Qaththan dan para fuqaha. Sedangkan
definisi yang diberikan Fathi ad-Duraini merupakan pengertian syari'ah secara
khusus, yaitu syari'ah Islamiyah (syari'at Islam).
Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa syari'ah itu sebenarnya
adalah agama. Sebab agama itu tentunya memiliki ajaran-ajarannya, yang dalam
konteks ini merupakan agama yang berasal dari Allah SWT, yang berisi
ketentuan-ketentuan-Nya kepada hamba-hambanya yang wahyukan kepada para Rasul.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa pengertian syari'ah di atas merupakan pengertian syari'ah secara umum. Bagaimana dengan syari'ah Islamiyah (syari'at Islam)? Jika kita ingin mendefinisikan pengertian syari'ah Islamiyah, kita dapat mengambil definisi yang diberikan oleh Fathi ad-Duraini, seperti yang disebutkan pada poin b. Definisi syari'ah Islamiyah juga disebutkan oleh Muhammad Must}afa Shalabi> : syari'ah Islamiyah atau Islam adalah majmu'ah al-ahkam (kumpulan hukum-hukum) yang diturunkan Allah SWT dengan perantaran wahyu yang diberikan kepada Nabi Muhammad ibn Abdillah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Jika kita memperhatikan lebih lanjut definisi-definisi dari syari'ah, maka kita akan mengetahui bahwa syari'ah itu terdiri terdiri dari dua unsur (berasal dari dua sumber), yaitu al-Qur'an yang merupakan kitab suci kita umat Islam, dan as-Sunnah (al-Hadis) yang merupakan perkataan, tingkah laku dan ketetapan Nabi kita Muhammad SAW.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa pengertian syari'ah di atas merupakan pengertian syari'ah secara umum. Bagaimana dengan syari'ah Islamiyah (syari'at Islam)? Jika kita ingin mendefinisikan pengertian syari'ah Islamiyah, kita dapat mengambil definisi yang diberikan oleh Fathi ad-Duraini, seperti yang disebutkan pada poin b. Definisi syari'ah Islamiyah juga disebutkan oleh Muhammad Must}afa Shalabi> : syari'ah Islamiyah atau Islam adalah majmu'ah al-ahkam (kumpulan hukum-hukum) yang diturunkan Allah SWT dengan perantaran wahyu yang diberikan kepada Nabi Muhammad ibn Abdillah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Jika kita memperhatikan lebih lanjut definisi-definisi dari syari'ah, maka kita akan mengetahui bahwa syari'ah itu terdiri terdiri dari dua unsur (berasal dari dua sumber), yaitu al-Qur'an yang merupakan kitab suci kita umat Islam, dan as-Sunnah (al-Hadis) yang merupakan perkataan, tingkah laku dan ketetapan Nabi kita Muhammad SAW.
Dengan demikian syari'ah itu bersifat sabat (tepat sepanjang zaman),
tidak berubah meski ditelan waktu dan zaman, di manapun dan kapan pun. Dengan
sifat tsabat tersebut syari'at Allah SWT akan tetap berlaku sepanjang masa dan
tidak seorang pun yang mampu untuk menggantikannya.
Syari'ah datang untuk membina, membangun, mengatur kehidupan
manusia, serta menuntun manusia ke jalan yang benar (jalan Allah) agar ia
selamat, baik di dunia maupun di akherat.
B. FIQIH
Kata fiqih (Ar. al-fiqh) secara etimologi berarti al-fahm atau
pemahaman, yang dalam hal ini adalah pemahaman yang mendalam, al-'ilm dan
al-fat}anah (kecerdasan). Sedangkan pengertian fiqih secara terminologi ada
beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ulama' fiqih sesuai dengan
masanya (sesuai dengan perkembangan arti fiqih tersebut), yaitu:
a.
Menurut Imam Abu Hanifah, fiqih
adalah ma'rifat an-nafs ma laha wa ma 'alaiha (pengetahuan tentang diri
terhadap segala yang berkaitan dengan akidah maupun amaliyah). Definisi
meliputi aqidah, akhlak, ibadah dan mu'amalah.
b.
Menurut Imam Syafi'i, fiqih
adalah ilmu/pengetahuan tentang hukum-hukum syara' yang 'amaliyah yang
diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci.
c.
Menurut al-Baji, fiqih itu
adalah ilmu/pengetahuan tentang hukum-hukum syara'.
d.
Imam Haramain mendefinisikan
fiqih sebagai ilmu/pengetahuan tentang hukum-hukum taklif.
e.
Imam Al-Amidi menjelaskan bahwa
fiqih merupakan pengetahuan (ilmu) tentang hukum syara' yang furu>' yang
dihasilkan dengan naz}ar dan istid}lal.
f.
Fathi ad-Duraini menyatakan
bahwa fiqih merupakan suatu upaya memperoleh hukum syara' melalui kaidah dan
metode ushul fiqh.
Dari beberapa pengertian fiqih di atas pengertian yang paling
masyhur, seperti yang disebutkan oleh Wahbah al-Zuhailiy, adalah definisi yang
diberikan oleh Imam Syafi'i, yaitu ilmu/pengetahuan tentang hukum-hukum syara'
yang 'amaliyah yang diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci. Dikatakan
'amaliyah sebab sebagian besar fiqih itu mengatur hal-hal yang bersifat
'amaliyah meski ada juga yang nadzariy ikhtilaf ad-din (beda agama) menyebabkan
tidak boleh saling mewarisi.
Dari sini diketahui bahwa fiqih lebih khusus daripada syari'ah. Syari'ah merupakan sumber dari fiqh. Alasannya, fiqh merupakan pemahaman yang mendalam terhadap an-nusus al-muqaddasah dan merupakan upaya mujtahid dalam menangkap makna serta illat yang dikandung oleh an-nusus al-muqaddasah tersebut. Dengan demikian, fiqh merupakan hasil ijtihad ulama terhadap ayat Al-Qur'an atau sunnah Nabi SAW.
Dari sini diketahui bahwa fiqih lebih khusus daripada syari'ah. Syari'ah merupakan sumber dari fiqh. Alasannya, fiqh merupakan pemahaman yang mendalam terhadap an-nusus al-muqaddasah dan merupakan upaya mujtahid dalam menangkap makna serta illat yang dikandung oleh an-nusus al-muqaddasah tersebut. Dengan demikian, fiqh merupakan hasil ijtihad ulama terhadap ayat Al-Qur'an atau sunnah Nabi SAW.
Menurut Fathi ad-Duraini, sebelum dimasuki oleh pemikiran manusia,
syariat selamanya bersifat benar. Sedangkan fiqh, karena sudah merupakan hasil
pemikiran manusia, bisa salah dan bisa benar. Namun demikian, menurut Muhammad
Yusuf Musa (ahli fiqh dari Mesir) syariat dan fiqh mempunyai keterkaitan yang
erat, karenanya fiqh tidak bisa dipisahkan dari syariat.
Dengan demikian, fiqh merupakan interpretasi keagamaan yang mencoba
merasionalisasikan syari’ah. Hal ini terbukti dengan terjadinya perbedaan
pemahaman dalam syari’at sehingga menghasilkan interpretasi yang berbeda. Hal
ini menimbulkan munculnya madzhab-madzhab dalam bidang fiqh. Perbedaan ini
terlihat jelas khususnya pada hukum mu’amalah (hubungan horizontal). Perbedaan
ini disebabkan oleh perbedaan lingkungan sosial para imam madzhab fiqh
tersebut. Maka lahirlah Imam-Imam madzhab seperti Imam Abu Hanifah yang
terkenal sebagai sosok rasionalis (menggunakan rasio dengan porsi yang lebih
banyak) karena beliau hidup di tengah-tengah masyarakat yang heterogen.
Sedangkan Imam Malik yang tinggal di tempat dimana hadits bersumber menjadi
sosok yang tekstualis. Namun demikian, mereka tidak sedikitpun memonopoli
penafsiran wahyu Allah, bahkan membuka pintu seluas-luasnya untuk memahami dan
menafsirkan syari’ah.
Persoalan hukum Islam merupakan persoalan yang sangat diminati oleh
banyak kalangan akademisi, karena di dalamnya selalu saja melahirkan persoalan
yang debatable dan berakibat lahirnya argumentasi rasional dari
kalangan yang berbeda pandangan. Ini bukanlah sesuatu yang baru, karena
berkembangnya pertumbuhan umat Islam. Apalagi Jumlah mereka tidak terbatas pada
angka tertentu. Di sisi lain, mereka pun akan mengalami perkembangan dan
pertumbuhan yang diakibatkan perubahan pola fikir yang terkooptasi oleh
kemajuan zaman yang pastinya berakibat pada munculnya persoalan-persoalan baru,
maka dari itu menjadi wajar ketika mayoritas ulama’ dan pemikir mengakui
perlunya penyegaran ajaran agama yang diistilahkan dalam satu riwayat dengan tajdid,
yakni dengan jalan ijtihad.
Sungguh suatu kekeliruan besar dari ulama dan cendekiawan
kontemporer apabila mereka ber-taqlid atau meniru secara utuh, ini
merupakan langkah yang mencederai tradisi ilmiah. Karena yang pasti product
hukum yang dilahirkan oleh ulama’ terdahulu merupakan hasil kajian kontekstual
berdasarkan objek yang mereka lihat, yang kemungkinan besar sangat berbeda
dengan konteks yang terjadi saat ini.
Quraish Shihab dalam bukunya Menabur Pesan Illahi, Al-Qur’an dan
Dinamika kehidupan Masyarakat, menjelaskan bahwa masa merupakan arus deras
dan melaju tanpa dapat dibendung. Perubahan adalah keniscayaan. Manusia hanya
mempunyai dua pilihan, mandek hingga tergilas dan mati atau maju bersamanya
tanpa melepaskan pelampung yang melindunginya.[i]
Maksud dari pilihan yang kedua ini adalah bukan berarti meninggalkan sama
sekali apa yang telah dihasilkan oleh para pendahulu, tetapi tetap
mempertahankan metode yang telah mereka ciptakan walau dengan sedikit revisi.
Memang sangat disayangkan ketika arus globalisasi semakin
menggelora, masih saja didapatkan aliran-aliran radikal ataupun fundamentalis
yang selalu saja menjadi penyakit penghambat untuk berkembangnya pola fikir
yang merdeka dan bertoleransi. Aliran ini sangatlah intoleran dan eksklusif [ii]
terhadap pemikiran-pemikiran baru, dan selalu saja melahirkan produk hukum
(meminjam istilah Khaled M, Abu el-Fadl) yang otoriter.[iii]
Ini sangat bertentangan dengan Alqur’an sebagai kitab suci umat Islam, walaupun
taken for granted[iv]
tapi Alqur’an merupakan fundamen toleransi.[v]
Artinya, umat Islam adalah umat pilihan Tuhan yang diperintahkan agar
menjadikan toleransi sebagai nilai fundamental. Bila umat Islam berhasil
membangun, maka akan mampu membangun peradaban kemanusiaan yang berdasarkan
dialog dan saling pengertian. Sebaliknya, bilamana umat Islam menebarkan
kekerasan dan claim-claim otoriter atas nama Tuhan, maka yang akan
terjadi adalah kehancuran dan kegagalan.
Islam merupakan agama yang mengakomodir pelbagai kebutuhan manusia
serta tidak memberikan kesulitan bagi semua pengikutnya dalam melarapkan
hukum-hukmnya sebagaimana disinyalir dalam Al-Qur’an وماجعل عليكم في
الدين من حرج (dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu
dalam agama kesempitan). Dengan kata lain, Islam menghendaki terciptanya
kemaslahatan seluruh umat manusia tak terkecuali hanya yang membedakan mungkin
dari sisi konsekuensi (balasan) dan perlakuan terhadap orang-orang di luar
Islam.[vi]
Selain itu, Tujuan dari tasyrî Islam adalah merealisasikan mashlahah
umat di dunia dan akhirat. Oleh karenanya syari’at Islam ditegaskan oleh
Allah sebagai rahmat bagi manusia; ”Wahai manusia sesungguhnya telah datang
kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang
berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang
beriman.”(Q.S. Yunus: 57) Maka tepatlah apa yang dikatakan oleh Ibnu al
Qayyim bahwasanya syari’ah merupakan keadilan, rahmat, mashlahah dan hikmah
secara universal.[vii]
Jika ada hal-hal yang menyimpang dari kriteria tersebut maka bukan merupakan
syari’ah. Nilai-nilai Islam yang dimaksudkan adalah terimplementasinya maqâ
shid syarî ah al-khamsah yang merupakan metode filsafat hukum Islam
sebagaimana yang akan dijelaskan dalam tulisan ini.
II.
Pengetian Filsafat Hukum Islam
Secara etimologi tiap kata pada filsafat hukum Islam memiliki arti
dan makna tersendiri. Untuk kata filsafat sendiri ketika digabungkan dengan
kata hukum akan bermakana pengetahuan tentang pemikiran mendalam, sistematis,
logis dan radikal tentang berbagai aturan yang berlaku dalam kehidupan manusia,
baik aturan bermasyarakat maupun aturan bernegara. Dalam filsafat hukum
dibicarakan hal-hal yang berhubungan dengan hakikat hukum, sumber hukum dan
manfaat atau fungsi hukum dalam masyarakat.[viii]
Hukum secara etimologis seperti yang dijelaskan oleh Ibn Mandzur,
berasat dari bahasa Arab, al-hukm berarti al-‘ilm wa al-fiqh.
Juga berarti al-‘adl. Fi’il muta’addinya yaitu kata ahkama
mempunyai arti atqana (berpegang dengan teguh). Al-hukm juga
berarti al-qada’ (ketetapan) dan al-man’ (pencegahan).
Sedangkan secara terminology, hukum adalah sekumpulan aturan-aturan, baik
berasal dari aturan formal maupun adat, yang diakui oleh masyarakat dan bangsa
tertentu sebagai pengikat bagi anggotanya. Oleh karena itu, hukum Islam menurut
Abu Zahrah adalah titah (khitab) pembuat shara’ yang berkaitan dengan
perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan atau
penetapan. Definisi ini lebih mendekati makana shari’ah. Sedang
menurut Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy adalah koleksi daya upaya fuqaha’
dalam menerapkan shari’ah Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Definisi ini lebih mendekati makna fiqh.[ix]
Dari beberapa penjelasan di atas dapat didefinisiskan bahwa filsafat
hukum Islam adalah kajian filosofis tentang hakikat hukum Islam, sumber asal
muasal hukum Islam dan prinsip penerapannya, serta fungsi dan manfaat hukum
islam bagi kehidupan masyarakat yang melaksanakannya. Dengan kata lain kajian
ini berupaya menjawab persoalan-persoalan hukum Islam secara kontemplatif,
sistematif, logis dan radikal. Atau juga filsafat hukum Islam dapat diartikan
setiap kaidah, asas atau mabda’, aturan-aturan pengendalian
masyarakat pemeluk agama Islam. Kaidah-kaidah itu dapat berupa
Alqur’an, hadist, pendapat sahabat dan thabiin, ijma’ ulama’ dan fatwa lembaga
keagamaan. Al-jurjani dalam bukunya Hikmah Al-Tasyri wa Falsafatuh
juga menjelaskan bahwa filsafat hukum Islam diistilahkan hikmah at-tasyri’[x]
Filsafat hukum Islam sendiri dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
-
Falsafah asy-syari’ah,
yang mengungkapkan masalah ibadah, muammalah, jinayah dan ‘uqabah dari materi
hukum Islam. Falsafah syari’ah mencakup asrar al-ahkam, khasha’ilah
al-ahkam, mahasin al-ahkam dan thawabi’ al-ahkam.
-
Falsafah Tasyri’,
yaitu filsafat yang memancarkan hukum islam, menguatkan dan memeliharanya. Falsafah
tasyri’ meliputi ushul al-ahkam, maqasid al-ahkam dan qawa’id
al-ahkam.
- Hikmah at-Tasyri wa Falsafatuh, yaitu kajian mendalam dan
radikal tentang prilaku mukallaf dalam mengamalkan hukum Islam sebagai
undang-undang dan jalan kehidupan yang lurus.[xi]
III.
Maqashid Syari’ah dalam Wacana Global
Al-Qur’â n dan al-Sunnah banyak meyinggung tentang maqâ shid baik
dalam ibadah, muâ malah, sosial dan sebagainya. Keduanya merupakan sumber
otentik syari’ah Islam telah memberikan alternatif dalam setiap pembahasan yang
berkaitan dengan dimensi kehidupan. Sedangkan syari’ah Islam datang untuk
menghilangkan kesusahan dan kesusahan manusia, meminimalisir bahaya dan mencari
nilai mashlahah bagi manusia. Kalau ada orang yang mengatakan bahwa
syari’at Islam itu, hanya membahas tentang akhirat saja, sebenarnya mereka lupa
bahwa syari’at Islam juga mengatur tentang siklus kehidupan manusia di dunia,
sebagaimana firman Allah swt: “Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu
(dengan mengerjakan) apa yang aku larang kamu dari padanya. Aku tidak
bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih
berkesanggupan.” (QS.Hud:88) . Dari sini nampak jelas bahwa tasyrî’ hukum
senantiasa memperhatikan mashlahah manusia, yang diimplementasikan
lewat maqâ shid syari’ah tadi.
1. Definisi Maqashid Syari’ah
Secara etimologis, maqashid berasal dari kata qasada
yang berarti menghadap pada sesuatu. Sedangkan secara terminologis adalah
sasaran-sasaran yang dituju oleh syari’at dan rahasia-rahasia yang diinginkan
oleh Syâ ri’ dalam setiap hukum-hukum-Nya untuk menjaga kemaslahatan
manusia. Sebagian ulama memberikan definisi dengan membagi maqâ shid dalam
beberapa bagian, diantaranya:
a. Imam Syatibi. Menurutnya maqâ shid syarî ah terbagi menjadi tiga
bagian, yaitu:
1. Kemauan taklîf, maknanya
adalah kemauan seorang mukallaf dalam mengerjakan beban yang telah
ditentukan oleh Syâri’. Selanjutnya as-Syatibi mengatakan bahwa perkara yang
maklum adalah yang sesuai dengan perbuatan mukallaf. Sedangkan keterkaitan
antara perbuatan dengan perkara tersebut, itulah yang dimaksud oleh Syâri’.
2. Maqâshid sebagai dalalah dari khithâb
syara’ atau menurut ahli ushûl adalah nash.
3. Maqâshid syari’ah dari hukum, yaitu menarik
kemaslahatan dan menghindari kesusahan.[xii]
b. Imam
Muhammad at-Thâhir ibn Ashûr. Menurutnya maqâ shid terbagi
menjadi dua bagian, yaitu:
1. Maqashid al syarî’ah al ‘ammah adalah
makna-makna dan hukum yang telah didiskripsikan oleh Syâ ri’ dalam
segenap permasalahan syara’ tanpa mengkhususkan pada hal-hal tertentu.
Pembahasannya meliputi: Karakteristik syari’ah, Tujuannya secara umum,
makna-makna yang mempunyai korelasi dengan pensyari’atan dan sebagainya.
2. Maqâ shid al syarî’ah al khã shah adalah
tata cara yang dimaksudkan oleh syara’ untuk merealisasikan maqâ shid manusia
yang mempunyai nilai kemanfaatan atau untuk menjaga mashlahah manusia
dalam aktifitasnya.[xiii]
Lebih spesifik lagi, sasaran maqâ shid syariî’ah adalah
melestarikan tatanan dunia dengan jaminan hak-hak asasi manusia, sebagai subyek
dalam pelestarian dan pemakmuran alam. Perspektif ini berusaha untuk memelihara
hak-hak manusia yang pada implementasinya terarah pada akidah, mengekspresikan
amal dan juga status sosial individu di tengah masyarakat. Karena reformasi
yang dicita-citakan oleh Islam adalah perbaikan yang menyeluruh pada setiap
permasalahan umat manusia. Kreatifitas seseorang sangat di pengaruhi oleh
keleluasaannya dalam mengaplikasikan hak-haknya, dan kesalehannya sangat
dipengaruhi oleh kelurusan akidah sebagai sumber etika dan pemikiran. Adapun
pemberdayaan sosial diawali oleh kesalehan individu plus aturan syari’at dan
lingkungan yang mempengaruhinya.
2. Pembagian Maqâshid Syari’ah
Inti dari tasyrî’ Islam adalah jalbu
al-mashâ lih dan dar’u al-mafsadah. Inilah yang dimaksud dengan
pelestarian tatanan dunia dan pengaturan perilaku manusia sehingga terhindar
dari tindakan-tindakan destruktif. Akan tetapi, mashlahah ini terkait oleh
besar atau kecilnya pengaruh dari kesalehan ummah atau jamaah. Tinjauan
mashlahah dari sisi pengaruh ini terbagi kedalam dlarû riyah, hâ
jjiyah dan tahsî niyah.
Secara garis besar maqâ shid syarî’ah terbagi
dua bagian: Pertama, maqâ shid yang dikembalikan kepada maksud syâri’.
Syâri’ menurunkan hukum bagi makhluknya dengan satu illat yaitu
kemaslahatan manusia, baik kemaslahatan duniawi, maupun kemaslahatan ukhrawi. Kedua,
hukum syari’ah yang dikembalikan kepada maksud mukallaf. Hal ini dapat
diimplementasikan dalam tiga visi; dlarû riyah, hâ jjiyah dan
tahsî niyah.[xiv]
Menjaga maqshâ shid syarî’ah sebagaimana yang
digariskan oleh ahli Ushul Fiqh terbagi kepada tiga tingkatan: dlarû riyah,
hâ jjiyah dan tahsî niyah. Dalam fiqh aulawiyâ t kita
dituntut untuk mendahulukan dlarû riyah dari pada yang hâ jjiyah.
Demikian halnya jika terjadi pergesekan antara hâ jjiyah dan tahsî
niyah, kita dituntut untuk mendahulukan hâ jjiyah daripada tahsî
niyah. Pertama, dlarû riyah adalah bentuk kemaslahatan primer
yang mendesak untuk dipenuhi oleh masyarakat baik secara kolektif maupun oleh
masing-masing individu. Sekiranya terabaikan maka akan mengakibatkan destruktif
bagi manusia sendiri atau tatanan yang telah mapan.
Dalam kaitannya dengan dlarû riyah ini —
sebagaimana yang akan dirinci nanti dibagi menjadi lima bagian—hifdz al dîn lebih
diprioritaskan daripada hifdz al nafs, dan hifdz al nafs lebih
diprioritaskan daripada hifz al ‘aql dan begitu seterusnya.
Kedua, hâjjiyah adalah
kemaslahatan yang diperlukan oleh masyarakat demi peningkatan kestabilan
tatanan hidup, atau guna terciptanya kondisi yang lebih baik. Jika mashlahah
ini terabaikan bahayanya tidak sampai mengganggu kemapanan yang ada, hanya
terjadi kekurang serasian hidup. Seperti pensyari’atan rukhshah (keringanan)
dalam hifdz al din, dan hifdz nashl menasabkan anak hasil
adopsi kepada orang tua asli dan diperbolehkannya berbuka puasa bagi musafir
serta yang sakit. Termasuk dalam hal ini penciptaan cara-cara lain sebagai sad
al dzarâi’.
Ketiga, tahsî niyât adalah
hal-hal yang dibutuhkan untuk menumbuhkan sikap kepribadian dan kemuliaan
akhlaq, berorientasi pada legitimasi sosial yang tidak kontradiktif dengan
syari’at. Kemashlahatan tahsnî yât melahirkan kondisi umat yang
mendekati kesempurnaan, sehingga bisa menarik simpati dari umat lain terhadap
masyarakat Islam. Seperti disyari’atkannya menjaga kebersihan, berhias
dan dalam mu’amalah terdapat pelarangan menjual barang najis dan kotoran yang
membahayakan kesehatan umum.
Lebih terperinci lagi, maqâ shid syari’ah dalam visi dlarû
riyah terbagi menjadi lima
yang kemudian lebih dikenal dengan al-kulliyâ t al-khams, diantaranya:
Pertama, hifdz al dî n; (Perlindungan
terhadap keyakinan agama). Shari’ah Islam mengajarkan untuk menciptakan sikap
hormat dan menjaga keyakinan yang ada, agar dalam masyarakat yang berada di
dalam naungan shari’ah Islamiyyah, agama yang bervariasi dapat hidup
berdampingan secara damai, saling menjaga dan menghormati, tidak terjadi saling
intervensi dan interpolasi ajaran[xv],
sehingga keyakinan masing-masing tergambar jelas, (QS. Al-Kafirun 109: 1-6).
Shari’ah Islam juga melarang ada pemaksaan untuk memeluk agama di luar
keyakinannya (QS. Al-Baqarah 2: 256). Dampaknya adalah membuahkan kerjasama
yang seimbang antara ummat beragama dalam kegiatan social, ekonomi, pertahanan,
keamanan, lingkungan hidup dan lain sebagainya. Yang digambarkan oleh QS.
Al-Mumtahanah 60: 8.
Kedua, hifdz al nafs (Perlindungan
terhadap keselamatan jiwa); Islam mengajarkan untuk memelihara dan
menghormati keamanan dan keselamatan diri manusia, dan menjadi tetap
dihormatinya kemuliaan, martabat manusia sebagai anugrah dari Alah SWT.
Dampaknya adalah terjaminnya ketentraman dan kondisi masyarakat yang santun dan
beradab (masyarakat madani/civil society), (QS. Al-an’am 6: 151), (al-Baqarah
2: 179).
Ketiga, hifdz al áql (Perlindungan
terhadap eksistensi akal); akal adalah dimensi paling penting dalam
kehidupan manusia. Keberadaanya menjadi pembeda utama dengan makhluk lain serta
menjadi alas an mengapa Allah menetapkan kewajiban-kewajiban-Nya kepada
manusia. Akal juga amat menentukan baik buruknya perilaku hidup dan peradaban.
Oleh karena itu, shari’ah Islam mengajarkan untuk memelihara dan mengembangkan
kejernihan apemikiran manusia serta amannya produk pemikiran manusia, sehingga
tidak mudah kegalauan dan kebingungan yang dapat menimbulkan keberingasan. Oleh
karena itu apapun yang dapat merugikan fungsi pemikiran, baik dalam bentuk
fisik maupun non fisik, dicegat oleh shari’at Islam.Perlindungan terhadap
kerusakan pemikiran maupun fungsi aqliyah manusia merupakan kebutuhan
yang sangat vital bagi masyarakat yang menginginkan kemajuan, sebab hal ini
merupakan kebutuhan semua orang tanpa memandang suku, bangsa ataupun agama.
(QS. Al-Maidah 5: 90).
Keempat, Hifdz al nasl (Perlindungan
terhadap keturunan); Islam mengajarkan untuk memelihara dan menghormati system
keluarga (keturunan), sehingga masing-masing orang mempunyai nisbah dan garis
keluarga yang jelas demi kepentingan di dalam masyarakat guna mewujudkan
kehidupan yang tenteram dan tenang. (QS. Al-Rum 30: 21).
Kelima, Hifdz al mâl (Perlindungan
terhadap harta); Islam mengajarkan untuk menjamin perkembangan ekonomi
masyarakat yang saling menguntungkan, menghormati dan menjaga kepemilikan yang
sah sehingga akan tercipta dinamika ekonomi yang santun dan beradab (economical
civility). Untuk itu Islam mengajarkan tata cara memperoleh harta, seperti
hukum bolehnya jual beli disertai persyaratan keridlaan dua belah pihak dan
tidak ada praktik riba dan monopoli, (QS. Al-Baqarah 2: 275), (QS. An.Nisa 4:
29) [xvi]
IV.
Maqashid Syari’ah dalam konteks ke Indonesiaan.
Dan semua itu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan tujuan
diturunkannya al-Qur’an. Al-Qur’an diturunkan kepada Rosulullah saw, di tengah
semrawutnya tatanan kehidupan masyarakat ketika itu di mana struktur
social budayanya patriarki, system ekonominya opresif, politiknya
despotic dan juga koruptif. Di tengah system sedemikian rupa kehidupan tidak
lagi berharga. Perbudakan merajalela, perempuan dimarjinalkan dan dijadikan
barang mainan, para kapitalis berkuasa sementara kaum miskin akan terus hidup
menderita. Al-Qur’an turun untuk memperbaiki kerusakan itu, kembali mengangkat
jati diri manusia dari penindasan dan kesengsaraan dan menciptakan sebuah
masyarakat yang adil (al-‘adalah), egaliter (musawah),
merdeka (al-huriyah), serta damai dan rukun (as-salamah,
al-mashlahah).[xvii]
Dalam konteks inilah Allah melalui al-Qur’an menetapkan bahwa riba
adalah haram, sementara jual beli itu halal, poligami halal, tetapi gonta ganti
pasangan haram, tabarruj (bersolek) haram, akan tetapi berjilbab wajib
bagi kaum perempuan, hudud dikenakan bagi pelaku tindak kriminalitas
dan rajam bagi pezina, dan begitulah seterusnya. Hukum-hukum ini yang dalam
perkembangan selanjutnya dielaborasi secara rinci oleh fuqaha dan mufassirin,
sehingga melahirkan disiplin ilmu yang dikenal dengan fiqh, ushul fiqh
dan tafsir. Inilah yang dimaksudkan Fazlur Rahman dalam
tulisannya “(pewahyuan) al-Qur’an merupakan respon ilahiah pada waktu al-Qur’an
diturunkan, yang menembus nalar nabi Muhammad, terkait dengan situasi
moral-sosial kawasan Arabia tempat Nabi
tinggal.
Dengan nada yang sama Abdullah Ahmed An-Na’im , ketika mengomentari
hukum Islam yang berhubungan dengan urusan public seperti hudud, qishas
dan sejenisnya mengatakan “hukum public yang terkandung dalam shari’ah
adalah sepenuhnya dapat dijadikan landasan dan konsisten dengan konteks
historisnya. Akan tetapi tidak dapat dijadikan alasan dan tidak secara
konsisten bersesuaian dengan konteks kekinian”. Nasr Hamid abu Zaid
meringkas dengan mengatakan al-Qur’an sebagai muntaj tsaqafi (Produk
budaya). Apa yang tersirat dalam masalah ini adalah hukum-hukum al-Qur’an
sangat dipengaruhi nuansa social-budaya, ekonomi, politik masyarakat Arab
diabad ke tujuh. Oleh sebab itu, bukanlah sikap yang bijak ketika mengadopsi
apa yang ditetapkan dalam nash secara literal dan formal legalistic
tanpa lebih jauh mengapresiasi tujuan serta hikmah terdalam dari hukum
tersebut.[xviii]
Karena setiap hukum yang lahir pasti bertujuan mencari kemaslahatan dan ini
sangatlah sesuai dengan prinsip Maqashidus syari’ah, maka
hukum pun harus menyesuaikan pada waktu dan tempat.
V.
Kesimpulan
Imam al-Syatibi membagi kemaslahatan dalam tiga tingkatan, yaitu
pertama, Kemaslahatan yang bersifat primer (al-dharuriyyat), yaitu
kemaslahatan yang mesti menjadi acuan utama bagi implementasi syari’at. sebab
jika tidak, maka akan terjadi ketimpangan dan ketidakadilan yang mengakibatkan
ambruknya tatanan social. Kemaslahatan dalam kategori menjadi penyeimbang dan
mediasi antara kecenderungan ukhrawi dan duniawi. Titik temunya terletak pada
upaya pembumian nilai-nilai yang diidealkan Tuhan untuk kemanusiaan universal.
Yang dimaksud kemaslahatan primer yaitu perlunya perlindungan agama
(hifzh al-din, melindungi jiwa (hifzh al-nafs), melindungi akal (hifzh
al-‘aql), melindingi keturunan (hifzh nasaab) dan melindungi harta (hifzh
al-mal). Setiap manusia mesti menghargai keberagamaan orang lain,
menghormati jiwa, menghargai kebebasan berfikir dan berpendapat, menjaga
keturunan (hak reproduksi) serta menghargai kepemilikan harta setiap orang.
Imam Syatibi menegaskan, bahwa kemaslahatan yang bersifat primer tersebut
merupakan inti semua agama dan ajaran.
Kedua, kemaslahatan yang bersifat sekunder (al-hajiyat),
yaitu kemaslahatan yang tidak menyebabkan ambruknya tatanan social dan hukum.
Misalnya dalam hal ibadah, bahwa dalam praktek peribadatan diberikan dispensasi
(al-rukhash al-mukhaffafah) apabila dal;am pelaksanaannya terdapat
kesulitan. Bagi mereka yang melakukan perjalanan jauh, sakit dan orang tua
renta diberikan keringanan yang diatur dalam fiqih. Kemaslahatan sekunder ingin
memberikan pesan, bahwa dalam pelaksanaan peribadatan pun diberikan beberapa
keringanan dalam rangka memberikan kemaslahatan dan kenyamanan bagi pemeluknya,
sehingga beragama dan beribadah tidak merasa adanya keberatan dan keterpaksaan.
Ketiga, kemaslahatan yang bersifat suplementer (al-tahsiniyat),
yaitu kemaslahatan yang memberikan perhatian pada masalah estetika dan etiket.
Misalnya, ajaran tentang kebersihan, berhias, shadaqah dan bantuan kemanusiaan.
Kemaslahatan ini juga menjadi penting dalam rangka menyempurnakan kemaslahatan primer
dan sekunder.
[1] Hakim Yustisial pada
Mahkamah Agung RI, Mahasiswa Program Doktoral pada Program Doktoral Ilmu Hukum
(PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA), Semarang ;
[i] Quraish
Shihab, “Menabur Pesan Illahi, Al-Qur’an dan Dinamika kehidupan Masyarakat”
(Jakarta ;
Lentera Hati, 2006) hlm. 241.
[ii] Edi
Susanto, “Pendidikan Agama Berbasis Multikultural: Upaya Strategis
Menghindari Radikalisme” dalam KARSA: Jurnal Studi Keislaman, Vol. IX No.
I April 2006, (Pamekasan: STAIN Pamekasan 2006) hlm.783
[iii] Khaled M. Abou El Fadl, “Atas nama Tuhan; dari Fikih Otoriter
ke Fikih Otoritatif” terjemahan R. cecep Lukman yasin (Jakarta ; Serambi Ilmu Semesta, 2004) hlm.
204.
[iv] William
A. Graham, “Al-Qur’an sebagai kata terucap; Konstribusi Islam untuk
Memahami Kitab Suci”, dalam Richard C. Martin (ed.) “Pendekatan dalam
kajian Islam dalam studi Agama” (terj. Zakiyuddin Bhaidhawi, Muhammadiyah
University Press, 2002), hlm 27
[v] Ahmad
Syafi’I Maarif, “Al-Qur’an sebagai Fundamen Toleransi”, Pengantar
dalam Zuhairi Misrawi, “Al-Qur’an Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme
dan Multikulturalisme”, (Jakarta ;
Fitrah, 2007) hlm. xxxi
[vi] Agnan
Nasution, “Mashalihul Mursalah; Implementasi
Maqâshid Syarî’ah” (makalah tidak diterbitkan, Tulisan ini disharingkan
pada sidang Lembaga Buhuts Islamiyah Divisi Syariah pada hari Sabtu, 17
Februari 2007 di Rumah Pwk Persis Mesir)
[vii] Abdurrahman
Kasdi, “Maqashid Syariah dan Hak Asasi Manusia; Study Komparatif antara HAM
Perspektif Islam dan Perundang-undangan Modern” (makalah tidak
diterbitkan) hlm., 3
[ix] Definisi
ini penulis dapatkan dalam catatan kaki no 9 dalam tulisan Moh. Zahid , “Islam
Kāffah dan Implementasinya (mencari Benang Merah Tindak Kekerasan atas nama
Islam)” dalam KARSA: Jurnal Studi Keislaman, Vol. IX No. I April
2006, (Pamekasan: STAIN Pamekasan 2006) hlm. 810
[xiv] Mun’im
A Sirry (Ed), “Fiqih Lintas Agama; Membangun Masyarakat Inklusif Pluralis”
(Jakarta ;
Paramadina, cet IV, 2004), hlm., 10-11
[xvi] Moh.
Zahid , “Islam Kāffah dan Implementasinya (mencari Benang Merah Tindak
Kekerasan atas nama Islam)” dalam KARSA: Jurnal Studi Keislaman,
Vol. IX No. I April 2006, (Pamekasan: STAIN Pamekasan 2006) hlm.,
814-815.
[xvii] Nirwan
Syafrin Arma, “Syari’at Islam: antara ketetapan Nash dan Maqashid Syari’ah
“ dalam Adian Husaini, “Islam Liberal, Pluralisme Agama &
Diabolisme Intelektual” , (Surabaya; Risalah Gusti, 2005) hlm. 176.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar