KAJIAN YURIDIS DISPARITAS PIDANA TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN
NEGERI TEGAL TENTANG TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur perbuatan dan
tindakan yang bertentangan dengan hukum sekaligus sanksi yang dikenakan kepada
siapa saja yang melakukannya sehingga dapat dikatakan bahwa hukum pidana
memiliki fungsi ganda yakni sebagai sarana penanggulangan kejahatan dan sebagai
sarana pengaturan tentang kontrol sosial baik secara spontan maupun secara
tertulis oleh negara dengan alat perlengkapannya. Hukum pidana adalah merupakan
hukum yang memiliki sifat khusus, yakni dalam hal sanksinya. Setiap kita
berhadapan dengan hukum, pikiran kita menuju ke arah sesuatu yang mengikat
perilaku seseorang di dalam masyarakat. Di dalamnya terdapat ketentuan tentang
apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan serta akibatnya.
Yang disebut akibat adalah sanksi yang bersifat negatif yang disebut sebagai
pidana (hukuman)[1]
Hukum pidana dan pelaksanaan hukum pidana merupakan objek
beberapa ilmu pengetahuan. Jika ditinjau dari segi metodenya maka dalam ilmu
pengetahuan hukum pidana yang sistematis terbagi menjadi dua yakni hukum pidana
(hukum pidana materiil) dan hukum acara pidana (hukum pidana formal).[2]
Hukum acara pidana berhubungan erat dengan diadakannya hukum pidana, oleh
karena itu, merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana
badan-badan pemerintah yang berkuasa yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan
harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.[3]
Titik tolak hakim menjatuhkan putusan pemidanaan didasarkan pada
ancaman yang disebutkan dalam pasal pidana yang didakwakan. Penilaian tentang seberapa beratkah hukuman pidana yang pantas dijatuhkan
kepada terdakwa sesuai dengan berat ringannya kesalahan terdakwa dalam
perbuatan tindak pidana yang dilakukannya berada pada Hakim.
Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman menyebutkan : “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan kemudian diubah dengan Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, yang
dalam Pasal 1 angka 1 menyebutkan : “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan
negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.”
Oleh karena Hakim / Majelis Hakim memiliki
kemerdekaan di dalam menjatuhkan pemidanaan maka dalam perkara pidana yang sama
kemungkinan Hakim / Majelis Hakim akan menjatuhkan pemidanaan yang bervariasi
terhadap terdakwa, inilah yang disebut sebagai disparitas pidana.
Disparitas pidana sendiri merupakan
penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama atau terhadap
tindak pidana yang sifat bahayanya dapat diperbandingkan tanpa dasar pembenaran
yang jelas[4].
Disparitas pidana ini pun membawa
problematika tersendiri dalam penegakan hukum di Indonesia. Di satu sisi
pemidanaan yang berbeda/ disparitas pidana merupakan bentuk dari diskresi hakim
dalam menjatuhkan putusan, tapi di sisi lain pemidanaan yang berbeda/disparitas
pidana ini pun membawa ketidakpuasan bagi terpidana bahkan masyarakat pada
umumnya. Muncul pula kecemburuan sosial dan juga pandangan negatif oleh
masyarakat pada institusi peradilan, yang kemudian diwujudkan dalam bentuk
ketidakpedulian pada penegakan hukum dalam masyarakat. Kepercayaan masyarakat
pun semakin lama semakin menurun pada peradilan, sehingga terjadilah kondisi
dimana peradilan tidak lagi dipercaya atau dianggap sebagai rumah keadilan bagi
mereka atau dengan kata lain terjadi kegagalan dari sistem peradilan pidana.
Main hakim sendiri pun menjadi sesuatu yang lebih baik dan lebih memenuhi rasa
keadilan daripada mengajukan perkara mereka ke pengadilan. Keadaan ini tentu
menimbulkan inkonsistensi putusan peradilan dan juga bertentangan dengan konsep
rule of law yang dianut oleh Negara kita, dimana pemerintahan
diselenggarakan berdasarkan hukum dan didukung dengan adanya lembaga yudikatif
yakni institusi peradilan untuk menegakkan hukum, apa jadinya jika masyarakat
tidak lagi percaya pada penegakan hukum di Indonesia.
Disparitas pidana timbul karena adanya
penjatuhan hukuman yang berbeda terhadap tindak pidana yang sejenis. Penjatuhan
pidana ini tentunya adalah hukuman yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku
tindak pidana sehingga dapatlah dikatakan bahwa figur hakim di dalam hal
timbulnya disparitas pemidanaan sangat menentukan. Lebih spesifik dari pengertian
itu, menurut Harkristuti Harkrisnowo disparitas pidana dapat terjadi dalam
beberapa kategori yaitu:
1.
Disparitas antara tindak tindak pidana
yang sama
2.
Disparitas antara tindak tindak pidana
yang mempunyai tingkat keseriusan yang sama
3.
Disparitas pidana yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim
4.
Disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim
yang berbeda untuk tindak pidana yang sama[5]
Sementara itu dari perspektif ilmu
pemidanaan, Paulus Hadisuprapto (2003) meyakini bahwa penjatuhan pidana terhadap
anak nakal (delinkuen) cenderung merugikan perkembangan jiwa anak di
masa mendatang. Kecenderungan merugikan ini akibat dari efek penjatuhan pidana
terutama pidana penjara, yang berupa stigma (cap jahat). Dikemukakan juga oleh
Barda Nawawi Arief, 1994, pidana penjara dapat memberikan stigma yang
akan terbawa terus walaupun yang bersangkutan tidak melakukan kejahatan lagi.
Akibat penerapan stigma bagi anak akan membuat mereka sulit untuk kembali
menjadi anak ”baik”.[6]
Pada Putusan Pengadilan Negeri Tegal di mana pelakunya adalah
anak-anak, majelis hakim menjatuhkan hukuman/pemidanaan yang berbeda-beda
meskipun putusan tersebut mengenai tindak pidana yang sama dan dilakukan oleh
anak. Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk meneliti mengenai disparitas
pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana ini dalam sebuah penelitian.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana kajian yuridis
disparitas pidana terhadap Putusan Pengadilan Negeri Tegal tentang tindak
pidana yang dilakukan oleh anak ?
2.
Bagaimana pertimbangan hakim
sehingga terjadi disparitas pidana di dalam putusan Pengadilan Negeri Tegal
terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
SISTEM HUKUM PIDANA DAN PEMIDANAAN
A.I. SISTEM HUKUM
PIDANA
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur perbuatan dan tindakan yang
bertentangan dengan hukum sekaligus sanksi yang dikenakan kepada siapa saja
yang melakukannya sehingga dapat dikatakan bahwa hukum pidana memiliki fungsi
ganda yakni sebagai sarana penanggulangan kejahatan dan sebagai sarana
pengaturan tentang kontrol sosial baik secara spontan maupun secara tertulis
oleh negara dengan alat perlengkapannya. Hukum pidana adalah merupakan hukum
yang memiliki sifat khusus, yakni dalam hal sanksinya yaitu pemidanaan.
Di Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, WvS
(Wetboek van Strafrecht) dinasionalisasi menjadi
Hukum Pidana Nasional dalam bentuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang
merupakan warisan peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda dan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958, WvS atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia .
Pemberlakuan tersebut sesuai dengan Ketentuan Pasal II Aturan Peralihan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang masih
memberlakukan peraturan-peraturan peninggalan Kolonial Belanda selama belum ada
penggantinya.
Peraturan perundang-undangan merupakan salah satu unsur dari adanya
Sistem Hukum di suatu Negara. Friedman mengatakan, “Suatu sistem hukum adalah
organisasi yang kompleks dimana terjadi interaksi antara struktur, substansi
dan budaya. Struktur Hukum adalah sistem peradilan, Substansi Hukum adalah
peraturan dan yang dimaksud Budaya Hukum adalah unsur-unsur dari perilaku
sosial dan nilai-nilai dalam masyarakat”.[39]
Romli Atmasasmita, mengatakan bahwa, “Sistem Peradilan Pertama (SPP)
untuk pertama kali diperkenalkan oleh pakar hukum pidana dan para ahli dalam criminal
justice science di Amerika Serikat, sejalan dengan ketidakpuasan
terhadap mekanisme kerja aparatut penegak hukum dan institusi penegakan hukum”.[40]
Sudarto berpendapat bahwa, “Yang
dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang
yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu”, sedangkan
Roeslan Saleh menyatakan bahwa, “Pidana
adalah reaksi atas delik dan ini berujud suatu nestapa yang dengan sengaja
ditimpakan Negara kepada pembuat delik itu”.[41]
Pengertian HAKIM adalah sebagaimana
termuat dalam Pasal 1 angka 5, 6, 7 dan 9 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasan Kehakiman. Pasal 1 angka 5 menyebutkan, “Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan
peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkunganperadilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan
tersebut”, Pasal 1 angka 6 menyebutkan,
“Hakim Agung adalah hakim pada Mahkamah Agung”, Pasal 1 angka 7 menyebutkan,
“Hakim Konstitusi adalah hakim pada Mahkamah Konstitusi”, dan Pasal 1 angka 9
menyebutkan, “Hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki
keahlian dan pengalaman dibidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang”.[42]
Profesi Hakim adalah profesi dengan
pekerjaan kemanusiaan yang tidak boleh jatuh kedalam dehumanizing yang bersifat
logic mechanical hingga dapat terperosok pada jurang alienasi hukum dari
manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Hakim bertanggung jawab untuk
mengembalikan hukum kepada pemilik hukum itu yaitu manusia. Hukum untuk manusia
sebagai alat untuk mewujudkan kesejahteraan manusia, bukan hukum untuk hukum
itu sendiri.
A.2.
PEMIDANAAN
Pada dasarnya,
aspek pemidanaan merupakan “puncak” dari Sistem Peradilan Pidana yaitu dengan
dijatuhkan putusan hakim. Secara teoritik, dalam kepustakaan baik menurut ruang
lingkup sistem Anglo-Saxon maupun Eropa Kontinental terminologi
peradilan pidana sebagai sebuah sistem relatif masih diperdebatkan.[43]
Pemindanaan
utamanya ditujukan kepada orang yang melakukan kesalahan, sedangkan Mezger
mendefinisikan kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk
adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat tindak pidana.[44]
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 menyebutkan,“Peradilan
dilakukan DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.[45]
Hal ini menunjukkan bahwa dalam proses peradilan sepenuhnya terdapat unsur
rohaniah, yang akan senantiasa menjaga keluhuran harkat dan martabat Para
Aparat Penegak Hukum di dalam menjalankan tugas-tugasnya.Terutama bagi para
HAKIM yang bertugas untuk menerima, memeriksa dan memutus suatu perkara tanpa
memandang status sosial dan keadaan lainnya dari para pencari keadilan.
Kebijakan hukum pidana hakikatnya
merupakan “usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana agar
sesuai dengan keadaan pada waktu tertentu dan masa mendatang (ius
constituendum)”.[46]
Hakekat kebebasan hakim adalah jika
seorang hakim dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dalam menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat serta
bebas dari berbagai pengaruh dan berbagai kepentingan baik dari dalam maupun
dari luar, termasuk kepentingan dirinya sendiri demi tegaknya hukum dan
keadilan. Misi hukum yang diemban oleh hakim sebagaimana tesis Gustav Radbruch
adalah hakim berada dalam ranah ideal (das sollen) dan ranah empirik (das
sein). Adapun tugas hakim adalah menarik ranah ideal ke dalam ranah empirik
seakan-akan hukum yang ada di dunia kenyataan dihimbau untuk mengikuti hukum
yang ada di dunia ide sebagaimana yang dimaksudkan hukum alam.Sebagai suatu
proses, penegakan hukum tidak pernah selesai karena salah satu yang ditegakkan
adalah keadilan yang merupakan nilai yang tidak dapat dimaknai secara
subyektif.[47]
Undang-Undang juga telah secara tegas
memberikan perlindungan kepada Hakim dalam melaksanankan tugas-tugasnya
meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa Hakim harus dianggap tahu terhadap
seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia .
Mendasarkan pada fungsi peradilan di
atas, maka perilaku jajaran aparat penegak hukum, khususnya Integrated Kriminal
Justice Sistem dan lebih khusus lagi adalah perilaku Hakim menjadi salah satu
barometer utama dari suatu Negara hukum untuk mengukur tegak tidaknya hukum dan
undang-undang. Aparat penegak hukum menjadi titik sentral dalam proses
penegakan hukum (Law enforcement prosess) yang harus memberikan teladan dan konsekwen
dalam menjalankan hukum dan undang-undang. [48]
Noyon-Langemeyer sebagaimana dikutip
oleh MR. Roeslan Saleh, berpendapat, “Dengan jalan menyatakan sesuatu perbuatan
dapat dipidana, maka pembentuk Undang-Undang memberitahukan, bahwa dia
memandang perbuatan itu sebagai bersifat melawan hukum, atau selanjutnya akan
dipandangnya seperti demikian. Dipidananya sesuatu yang tidak bersifat melawan
hukum tidak ada artinya”.[49]Selanjutnya
Roeslan Saleh menambahkan bahwa, “Aturan Pidana itu adalah aturan hukum yang
berisikan penilaian, bahwa kelakuan-kelakuan yang berhubungan dengan aturan
hukum itu adalah baik dan jelek bagi masyarakat dan karenanya sepatutnyalah
jikalau kelakuan demikian boleh dilakukan ataupun tidak boleh dilakukan dalam
kehidupan masyarakat”.[50]
Sejalan dengan Sosiological Jurisprudence sebagaimana diungkapkan oleh Sudarto, yang
mengatakan bahwa, “Di dalam ajaran hukum yang fungsionil, hukum dipandang
sebagai instrument untuk pengaturan masyarakat (as tool for social engineering)”.[51]Pandangan
serupa diutarakan oleh Mochtar Kususatmaja, yang menyebutkan, “Hukum merupakan
suatu lat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat mengingat fungsinya,
hukum pada dasarnya adalah konservatif, yang berarti hukum memelihara dan
mempertahankan yang telah tercapai. Fungsi demikian diperlukan dalam setiap
masyarakat, termasuk masyarakat yang sedang membangun. Karena disinilah adal
hasil-hasil yang harus dipelihara, dilindungi dan diamankan. Akan tetapi
masyarakat yang sedang membaangun atau sedang berubah cepat, hukum tidak cukup
memiliki fungsi demikain saja. Ia juga harus dapat membantu proses perubahan
masyarakat”.[52]
Herbert L. Packer pernah mengingatkan bahwa penggunaan sanksi
pidana secara sembarangan/tidak pandang bulu/menyamaratakan dan digunakan
secara paksa (coercively) akan menyebabkan sarana pidana itu menjadi
suatu “pengancam yang utama” (prime threatener)[53]
Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan, “Tiada suatu perbuatan dapat dihukum kecuali
didasarkan pada ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah diadakan
lebih dulu”. Azas ini dikenal dengan AZAS LEGALITAS dan menurut Drs. P.A.F.
Lamintang, SH dan C. DJISMAN SAMOSIR, SH, “Dalam HR 12 Nopember 1900 W.7525
disebutkan bahwa penafsiran terhadap ketentuan yang telah dinyatakan dengan
tegas tidaklah boleh menyimpang dari maksud pembuat undang-undang, sedangkan
dalam HR 21 Juni 1943 No.559 disebutkan bahwa suatu pengertian atau perkataan
di dalam undang-undang itu kadang-kadang sesuai dengan perkembangan jaman,
berubah artinya atau maksud yang sebenarnya, sehingga terdapat perbuatan yang
semula tidak termasuk ke dalam suatu pengertian, kemudian masuk ke dalamnya.
Karenanya Hakim dapat memutuskannya dengan memperhatikan kesadaran yang hidup
di dalam masyarakat mengenai pantas atau tidaknya sesuatu perbuatan itu
dipandang sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum”.[54]
Lebih lanjut, Lamintang mengemukakan,
“Pasal 1 ayat (1) KUHP memuat dua azas
yang sangat penting yaitu :nulla poena
sine lege yang berarti tiada orang dapat dihukum tanpa kesalahan dan
bahwa kesalahan tersebut haruslah telah dicantumkan terlebih dahulu di dalam
undang-undang sebagai suatu sikap atau perbuatan yang dilarang atau diancam
dengan hukuman oleh undang-undang, daripada terjadinya sikap atau perbuatan
yang melanggar larangan undang-undang tersebut. Asas kedua adalah larangan untuk mempergunakan
penafsiran secara analogi di dalam lapangan hukum pidana”.[55]
Ketua Mahkamah Agung periode 2009 – 20012,
Harifin Tumpa, pernah menyatakan sebagaimana dikutip dalam media online, “Pasal
22 AB menyatakan bahwa “Hakim yang menolak untuk menyelesaikan suatu perkara
dengan alasan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menyebutkan,
tidak jelas, atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut untuk dihukum, karena
menolak mengadili.”[56] Hal senada, Pasal 16 ayat (1) UU 4/2004
menegaskan,“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”Berdasarkan
ketentuan ini, maka terhadap kasus-kasus konkret ketika diajukan ke pengadilan
yang ketentuan perundang-undangannya belum ada, kurang jelas, atau tidak
lengkap, hakim harus tetap menjalankan fungsi pembentukan hukum dengan cara “menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat” (Pasal 28 ayat (1) UU 4/2004)”.[57]
Lebih lanjut, Bismar Siregar, berpendapat
sebagai berikut, “Yang pertama-tama patut diperhatikan dalam pemberian pidana,
bagaimana caranya agar hukuman badaniah mencapai sasaran, mengembalikan
kepseimbangan yang telah terganggu akibat perbuatan si tertuduh, karena tujuan
penghukuman tiada lain mewujudkan kedamaian dalam kehidupan manusia”.[58]
Menurut Martadha Muthahari, “Maksud pokok hukuman adalah untuk
memelihara dan menciptakan kemaslahatan manusia dan menjaga mereka dari hal-hal
yang mafsadah, karena Islam sebagai rahmatan lil’alamin, untuk memberi
pelajaran dan petunjuk kepada manusia. Maka hukuman ditetapkan utnuk memperbaiki
individu, menjaga masyarakat dan tertib sosial”.[59]
Bahwa seorang Hakim sudah seharusnya tidak hanya sebagai corong undang-undang yaitu hanya
berpedoman pada hukum yang tertulis saja yaitu undang-undang, akan tetapi Hakim
juga harus mengerti dan memahami akan hukum yang tidak tertulis yang hidup
dalam masyarakat.
A.3. DISPARITAS
PUTUSAN PIDANA
Meskipun jenis-jenis tindak pidana maupun jenis-jenis pidana yang
dapat dijatuhkan telah diatur sedemikian rupa, akan tetapi tidak menutup
kemungkinan timbul adanya disparitas dari putusan Hakim terhadap tindak pidana
yang sejenis ataupun tindak pidana yang mempunyai kualifikasi yang sama. Telah
banyak sarjana hukum yang memberikan pengertian dari diparitas putusan itu dan
sebab-sebab timbulnya disparitas putusan terhadap perkara pidana.
Sebelum membahas mengenai disparitas terhadap putusan pidana, perlu
kiranya kita cermati pendapat dari Jimly Asshidiqie, “Sistem hukum Indonesia sangat dipengaruhi oleh pemikiran
hukum barat tetapi falsafah hukum dan budaya hukum Indonesia menuntut watak hukum yang
berbeda dari watak hukum barat”.[60]
Muladi berpendapat bahwa keputusan di
dalam pemidanaan akan mempunyai konsekuensi yang luas, baik yang menyangkut
langsung pelaaku tindak pidana maupun masyarakat luas.[61]
Hakim sebagai salah satu Aparat Penegak Hukum, memiliki kebebasan
untuk menjatuhkan pidana terhadap perkara pidana yang disidangkannya. Sebagai
akibatnya, akan menimbulkan adanya disparitas
putusan terhadap perkara-perkara yang mempunyai kualifikasi yang sama
maupun sejenis.
Yang dimaksud dengan disparitas pidana dalam hal ini tidak hanya
meliputi penerapan pidana yang tidak sama untuk tindak – tindak pidana yang
sama tanpa dasar pembenaran yang jelas, tetapi juga untuk tindak – tindak
pidana yang “comparable seriousness”.[62]
Pendapat lain mengatakan “Disparitas Pidana adalah penerapan pidana
yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama atau terhadap tindak-tindak
pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan tanpa dasar pembenaran
yang jelas”.[63]
Mahkamah Agung Republik Indonesia memberikan komentar mengenai
disparitas pidana, yaitu, “Disparitas putusan-putusan hakim dikarenakan, sistem
hukum Indonesia
sampai detik ini sebagian besar masih meresepsikan sistem hukum eropa
kontinental, dimana hakim diberi kebebasan sepenuhnya memutus perkara
didasarkan atas fakta, bukti serta terakhir didasarkan kepada nuraninya
sendiri. Berbeda dengan hakim-hakim di negara-negara yang menganut sistem anglo
saxon yang lebih mendasarkan putusan-putusan pengadilan kepada preseden
hakim-hakim terdahulu yang pernah memutus perkara yang sama”.[64].
Disparitas putusan pidana, baik
secara langsung maupun tidak langsung, juga membawa dampak bagi masyarakat
yaitu bahwa masyarakat cenderung akan menjadi skeptis dan apatis terhadap
hukum. Dalam upaya penanggulangan timbulnya disparitas pidana dalam putusan,
maka setidaknya pendekatan yang harus dilakukan secara kontinyu dan konsisten
yaitu dengan memperkecil disparitas putusan pidana itu sendiri sehingga
memperkecil pengaruh atau dampak negatif dari disparitas putusan pidana
tersebut. Dengan demikian, timbulnya disparitas pidana akan dapat dicegah
sedini mungkin dan akibat-akibat yang ditimbulkannya juga akan dapat
ditanggulangi.[65]
Hakekat kebebasan hakim adalah jika
seorang hakim dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dalam menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat serta
bebas dari berbagai pengaruh dan berbagai kepentingan baik dari dalam maupun
dari luar, termasuk kepentingan dirinya sendiri demi tegaknya hukum dan
keadilan. Misi hukum yang diemban oleh hakim sebagaimana tesis Gustav Radbruch
adalah hakim berada dalam ranah ideal (das sollen) dan ranah empirik (das
sein).[66]
Pandangan
lain juga muncul terhadap disparitas pidana, yaitu “Disparitas pidana ini pun
membawa problematika tersendiri dalam penegakan hukum di Indonesia. Di satu
sisi pemidanaan yang berbeda/ disparitas pidana merupakan bentuk dari diskresi
hakim dalam menjatuhkan putusan, tapi di sisi lain pemidanaan yang
berbeda/disparitas pidana ini pun membawa ketidakpuasan bagi terpidana bahkan
masyarakat pada umumnya”[67].
Berkaitan
dengan disparitas pidana, Muladi berpendapat bahwa disparitas pemidanaan
mempunyai dampak yang dalam karena terkandung perimbangan konstitusional antara
kebebasan individu dan hak negara untuk memidana.[68]
Lebih lanjut lagi Muladi mengatakan bahwa, “Sesuatu yang tidak diharapkan akan
terjadi bilaman disparitas pidana tersebut tidak dapat diatasi, yakni timbulnya
demoralisasi dan sikap anti rehabilitasi di kalangan terpidana yang dijatuhi
pidana yang lebih berat daripada yang lain di dalam kasus yang sebanding”.[69]
Muladi,
juga mengatakan, “Di dalam hukum positif Indonesia, hakim mempunyai kebebasan
yang sangat luas untuk memilih jenis pidana (strafsoort) yang dikehendaki,
sehubungan dengan penggunaan sistem alternatif di dalam pengancaman pidana di
dalam undang-undang”.[70]
Salah satu
penyebab dari timbulnya disparitas pemidanaan adalah sebagaimana diuraikan oleh
Sudarto, “KUHP kita tidak memuat pedoman pemberian pidana (straftoemetingsleiddraad)
yang umum, ialah suatu pedoman yang dibuat oleh pembentuk undang-undang yang
memuat asas-asas yang perlu diperhatikan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana,
yang ada hanya aturan pemberian pidana”.[71]
B. TINDAK PIDANA YANG
DILAKUKAN OLEH ANAK
B.1. PENGERTIAN
ANAK
Sampai saat ini masih belum ada
kesepakatan mengenai pengertian dan batas usia seorang anak. Akan tetapi
penegertian ANAK adalah sebagaimana dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Peradilan Anak yang menyatakan “Anak adalah orang yang dalam
perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) Tahun tetapi belum mencapai
umur 18 (delapan belas tahun) dan belum pernah kawin”. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Anak dalam Pasal 1 angka 3 menyebutkan, “Bahwa anak yang berkonflik
dengan Hukum yang selanjutnya disebut ANAK adalah anak yang telah berumur 12
(dua belas) Tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) Tahun yang diduga
melakukan tindak pidana”.
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor
23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, disebutkan bahwa, “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), anak adalah keturunan kedua, sedangkan dalam konsideran
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dikatakan bahwa
anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat
harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.[72]
Ketentuan Pasal 2
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tersebut, telah nyata bahwa Pemerintah
Republik Indonesia
sangat memperhatikan kesejahteraan anak, sebab anak adalah masa depan bagi
suatu bangsa, sebagaimana Kalifah Umar RA pernah berkata, “Barangsiapa ingin
menggengam nasib suatu bangsa, maka genggamlah para pemudanya”.[73]
B.2.
KENAKALAN ANAK DAN TINDAK PIDANA ANAK
Selanjutnya, apa yang dimaksud dengan
KENAKALAN ? Dalam penjelasan Pasal
489 KUHP sebagaimana diutarakan oleh R. SOESILO, bahwa KENAKALAN (BALDADIGHEID) adalah “Semua
perbuatan orang, berlawanan dengan ketertiban umum, ditujukan pada orang,
binatang dan barang yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian atau kesusahan yang
tidak dapat dikenakan salah satu pasal khusus dalam KUHP”.[74]
Secara tradisonal, para ahli sosiologi di Amerika memasukkan KENAKALAN (ANAK)
ke dalam Konsepsi Perilaku Menyimpang, selain perbuatan kriminal, prostitusi,
penggunaan dan ketergantungan obat dan lain sebagainya.[75]
M. Nasir Djamil memandang, bahwa ada
2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia harus berhadapan dengan
hukum, yaitu :[76]
1)
Status Offence, adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh
orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos
sekolah atau kabur dari rumah ;
2)
Juveile Deliquency, adalah perilaku
kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau
pelanggaran hukum.
Sebagaimana Rasulullah SAW pernah
bersabda, “Dihapuskan ketentuan hukum dari tiga orang yang tidur sampai ia
bangun dan dari orang gila sampai ia sembuh serta dari anak kecil samapi ia
dewasa”.[77]
C.
DISPARITAS PUTUSAN PIDANA ANAK PADA
PUTUSAN PENGADILAN NEGERI TEGAL
Pasal 11
ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak menyebutkan
bahwa, “Hakim memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat pertama sebagai
hakim tunggal.”. Sedangkan Pasal 11 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak menyebutkan, “Dalam hal
tertentu dan dipandang perlu, Ketua Pengadilan Negeri dapat menetapkan
pemeriksaan perkara anak dilakukan dengan Hakim Majelis”.[78]
Pada Putusan Pengadilan Negeri Tegal yaitu
adalah putusan pemidanaan terhadap perkara pidana yang dilakukan oleh anak,
yaitu Putusan Nomor : 1/Pid.Sus/2013/PN.Tgl atas nama Terdakwa FREDIAWAN Bin
SOHIDIN dan Putusan Nomor : 28/Pid.Sus/2013/PN.Tgl atas nama Terdakwa MOHAMAD
ABDUL AZIS Bin SARDIYAN yang kedua Terdakwanya adalah Terdakwa Anak, Pengadilan
Negeri tegal telah menjatuhkan putusan yang berbeda meskipun dengan kualifikasi
tindak pidana yang sama. Hal ini dikarenakan adanya pemahaman yang berbeda dan
juga latar belakang yang berbeda dari Hakim yang menyidangkannya, yaitu pada
Putusan Nomor 1/Pid.Sus/2013/PN.Tgl, Hakim menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa
dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan sedangkan dalam Putusan Nomor 28/Pid./Sus/2013/PN.Tgl,
Hakim menjatuhkan pidana berupa pidana penjara selama 5 (lima ) bulan.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Dari uraian-uraian
sebagaimana tersebut di atas, maka dapat kita ambil kesimpulan, bahwa
terjadinya Disparitas Putusan Pengadilan Negeri Tegal tentang tindak pidana
yang dilakukan oleh Anak adalah karena :
¨
Di dalam hukum positif Indonesia ,
Hakim mempunyai kebebasan yang sangat luas untuk memilih jenis pidana
(strafsoort) yang dikehendaki, sehubungan dengan penggunaan sistem alternatif
di dalam pengancaman pidana di dalam undang-undang ;
¨
Sistem hukum Indonesia
sampai detik ini sebagian besar masih meresepsikan sistem hukum eropa
kontinental, dimana hakim diberi kebebasan sepenuhnya memutus perkara
didasarkan atas fakta, bukti serta terakhir didasarkan kepada nuraninya
sendiri. Berbeda dengan hakim-hakim di negara-negara yang menganut sistem anglo saxon yang lebih mendasarkan
putusan-putusan pengadilan kepada preseden hakim-hakim terdahulu yang pernah
memutus perkara yang sama
¨
KUHP kita tidak memuat pedoman
pemberian pidana (straftoemetingsleiddraad)
yang umum, ialah suatu pedoman yang dibuat oleh pembentuk undang-undang yang
memuat asas-asas yang perlu diperhatikan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana,
yang ada hanya aturan pemberian pidana ;
¨ Latar belakang dari Hakim itu sendiri
maupun kondisi sosial budaya di tempat Hakim tersebut bertugas ;
¨
Disparitas juga diatur di dalam
Undang-Undang yaitu berdasarkan UU Kekuasaan Kehakiman No.48/2009 (yang
mencabut UU No.4/2004 jo. UU No.14/1970 jo. UU No.35/1999), dalam Pasal 5 ayat (1) menyatakan Hakim dan Hakim
Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat ;
B. SARAN
Uraian-uraian tersebut di atas, maka
kami memberanikan diri untuk memberikan saran terutama untuk mengurangi adanya
disparitas pemidanaan khususnya dalam perkara pidana yang dilakukan oleh anak,
yaitu sebagai berikut :
1)
Diperlukan adanya ketentuan
batas minimum dan maksimum bagi anak yang melakukan tindak pidana ;
2)
Sebagai langkah preventif,
perlunya pembinaan kesadaran mental masyarakat berupa kesadaran beragama, dan
hidup rumah tangga yang harmonis, yang diharapkan dapat mencegah seorang anak
melakukan tindak pidana yang pada akhirnya akan merugikan anak tersebut, maupun
keluarga dan lingkungannya ;
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Achmad Ali, 2008, Menguak
Tabir Hukum, Edisi Kedua, Bogor ,
Ghalia.
Ali Mansyur, HM, 2010, Aneka
Persoalan Hukum, Masalah Perjanjian, Konsumen & Pembaharuan Hukum, Semarang,
Unissula Press.
Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana, Edisi Kedua, Jakarta, Sinar Grafika.
Bagir Manan dkk, 1997, Pengadilan Anak di Indonesia, Cetakan
Pertama, Bandung, Mandar Maju.,
Barda Nawawi, 2012, Kapita Selekta Hukum Pidana, Cetakan Ketiga, Semarang, PT. Citra
Adtya Bakti.
Budi Kusumohamidjojo, 2011, Filsafat Hukum, Problematik Ketertiban Yang
Adil, Cetakan Pertama, Bandungm CV. Mandar Maju.
L & J Law Firm. 2009. Bila
Anda Menghadapi Masalah Hukum. Hak Anda saat Digeledah, Disita,
Ditangkap, Ditahan, Didakwa dan Dipenjara. Jakarta. Forum Sahabat
Leden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktik
Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika
-----------------. 2010. Proses Penanganan Perkara Pidana. Jakarta : Sinar Grafika.
M. Nasir Djamil, 2013, Anak Bukan Untuk Dihukum, Cetakan Kedua, Jakarta, Sinar Grafika.
Moeljatno,
1983, Asas-asas hukum Pidana, Jakarta : PT. Bina Aksara
Muladi dan Barda Nawawi, 2005, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung
Peter
Mahmud Marzuki. 2006.Penelitian
Hukum. Kencana Prenada Media Group. Jakarta
R.
Soesilo, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta
Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Penerbit Politeia – Bogor
Romly Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme,
Bandung, Bina Cipta.
Romly Atmasasmita, 2012, Teori Hukum Progresif, Cetakan Kedua, Yogyakarta, Genta Publishing.
Ronny
Hanitijo Soemitro, 1979, Permasalahan Hukum Di Dalam Masyarakat, Bandung , Alumni.
Roeslan
Saleh, 1981, Sifat Melawan Hukum dari
Perbuatan Pidana, Jakarta ,
Aksara Baru.
Setya Wahyudi, 2011, Implementasi
Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Hukum Peradilan Anak Di Indonesia, Yogyakarta,
Genta Publishing
Steven Allen, Kata Pengantar, dalam Purnianti, Mamik Sri
Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, 2003, Analisa Situasi Sistem Peradilan
Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia, UNICEF, Indonesia
Sudarto, 1980, Asas-asas Hukum Pidana. FH UNDIP Semarang
Sudarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat,
Kajian Terhadapa Pembaharuan Hukum Pidana, Bandung , Sinar Baru.
Sri Endah
Wahyuningsih, 2013, Perbandingan Hukum
Pidana Dari Perspektif religious Law System,Semarang , Unssula Press.
Sri Endah
Wahyuningsih, 2013, Prinsip-Prinsip
Individualisasi Pidana Dalam Hukum
Pidana Islam dan Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia ,
Semarang ,
Unissula Press.
Teguh Prasetyo, 2010, Hukum
Pidana, Yogyakarta: RajaGrafindo Perkasa
Tirtaadmidjaja,
1953. Kedudukan Hakim dan Jaksa. Jakarta : Fasco.
Thomat
E.Davitt, 2012, Nilai-Nilai Dasar Di
Dalam Hukum, Menganalisa Implikasi-Implikasi Psikologi dan Antropologi bagi
Lahirnya Hukum, Cetakan Pertama, Yogyakarta, Pallmal.
Tolib Effendi, 2013, Sistem
Peradilan Pidana, Perbandingan Komponen dan Proses Sistem Peradilan Pidana di
Beberapa Negara, Cetakan Pertama, Jakarta, PT. Buku Seru.
Wirjono Prodjodikoro, 1986, Tindak-tindak Pidana tertentu di Indonesia, Bandung, Eresco
Yahya Harahap,
2003, Pembahasan Permasalahan dan
Penerapan KUHAP, Jakarta :
Sinar Grafika
Perundang-undangan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Putusan Pengadilan
Negeri Tegal tentang tindak pidana yang dilakukan oleh anak
Internet
http://www://harkristutiharkrisnowo.com/disparitas
http://www//praditaadnan.wordpress.com/2008/04/11/halo-dunia
http://manunggalkusumawardaya.wordpress.com/2010/07/07/perlindungan-terhadap-anak-yang-melakukan-tindak-pidana/
http://adl.aptik.or.id/default.aspx?tabID=61&src=k&id=591169
http://appehutauruk.blogspot.com/2013/04/disparitas-pidana-suatu-conclusie.html
http://abdulaffandi.wordpress.com/2012/01/03/keadilan-kepastian-atau-kemanfaatan-hukum/
http://www.yasni.com/ext.php?url=http%3A%2F%2Fbadilag.net%2Fdata%2FARTIKEL%2FWACANA%2520HUKUM%2520ISLAM%2FPerspektif%2520filsafat%2520hukum.pdf&name=Hakim+Net+Keadilan&cat=document&showads=1
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18596/yusti-probowati-rahayu-kalau-sedang-tidak-imoodi-hakim-jangan-ambil-putusan
http://alumni.unair.ac.id/kumpulanfile/6512839034_abs.pdf
http://devidarmawan.wordpress.com/2010/10/07/problematika-disparitas-pidana-dalam-penegakan-hukum-di-indonesia/
http://pta-mataram.go.id/berita/berita-utama/yurisprudensi-mengurangi-disparitas-putusan-pengadilan.html
[39] Romli Atmasasmita,Tahun 2012, Teori
Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Hukum Pembangunan dan Pembangunan Hukum
Progresif, Yogyakarta, Penerbit Genta Publishing, h.60.
[40] Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif
Eksistensi dan Abolisionisme, Bandung, Penerbit Binacipta, h.7.
[41] Sri Endah Wahyuningsih, 2013, Prinsip-Prinsip
Individualisasi Pidana Dalam Hukum Islam, Semarang ,
Badan Penerbit UNDIP, h.116..
[42] www.hukumonline.com., 20 Agustus 2013 ;
[44] Sri Endah Wahyuningsih,SH.M.Hum, Op.Cit., h.16.
[45] www.hukumonline.com.
[46]http://pnkepanjen.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=113:pergeseran-perspektif-dan-praktik-dari-mahkamah-agung-republik-indonesia-mengenai-putusan-pemidanaan&catid=23:artikel&Itemid=36,
18 Agustus 2013 ;
[47]http://www.yasni.com/ext.php?url=http%3A%2F%2Fbadilag.net%2Fdata%2FARTIKEL%2FWACANA%2520HUKUM%2520ISLAM%2FPerspektif%2520filsafat%2520hukum.pdf&name=Hakim+Net+Keadilan&cat=document&showads=1,
19 Agustus 2013, 19 Agustus 2013 ;
[49] Roeslan Saleh, 1981, Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Pidana, Cetakan Ketiga, Yogyakarta,
Aksara Baru, h.7.
[50] Ibid.
[51] Sudarto, Hukum Pidana Dan
Perkembangan Masyarakat, Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, 1983, Bandung , Sinar Baru, h.5.
[52] Ibid, h.10.
[53] Herbert L. Packer, 1968, The Limits of the
Criminals Sanctions, Stanford University
Press, California, h.87
[54] P.A.F. Lamintang, dan C. Djisman Samosir, 1983, Hukum Pidana Indonesia, Cetakan I,
Bandung, h.1.
[55] Ibid, h.3.
[56] http://www.pilar-yuris.com/main.php?q=1&r=8,
20 Agustus 2013 ;
[59] Sri Endah Wahyuningsih, Op. Cit, h. 79.
[60] Sri Endah Wahyuningsih, Op.Cit.,h.36-37.
[64]http://pta-mataram.go.id/berita/berita-utama/yurisprudensi-mengurangi-disparitas-putusan-pengadilan.html,
20 Agustus 2013 ;
[66]http://www.yasni.com/ext.php?url=http%3A%2F%2Fbadilag.net%2Fdata%2FARTIKEL%2FWACANA%2520HUKUM%2520ISLAM%2FPerspektif%2520filsafat%2520hukum.pdf&name=Hakim+Net+Keadilan&cat=document&showads=1,
20 Agustus 2013 ;
[67]http://devidarmawan.wordpress.com/2010/10/07/problematika-disparitas-pidana-dalam-penegakan-hukum-di-indonesia/,
20 Agustus 2013 ;
[70] Ibid, h.56.
[71] Ibid,h.57.
[72] M. Nasir Djamil, Op.Cit.,h.8.
[73] M. Nasir Djamil, Op.Cit.,h.4.
[74]R. Soesilo, 1996, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi
Pasal, Bogor ,
Politeia, h.320 ;
[75]Saparinah Sadli, 1976, Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Menyimpang,
Jakarta, Bulan Bintang, h.33.
[76] M. Nasir Djamil, Op.Cit.,h.33.
[77] Ibid, h.4.
[78] Ibid.
[1] L & J Law Firm. 2009. Bila Anda Menghadapi Masalah Hukum. Hak Anda saat Digeledah, Disita, Ditangkap, Ditahan,
Didakwa dan Dipenjara. Jakarta. Forum Sahabat, h. 2-3
[3] Leden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana,
Jakarta: Sinar Grafika, h. 2-3
[4] www://harkristutiharkrisnowo.com/disparitas, diakses 11 Oktober
2013 ;
[5] www://harkristutiharkrisnowo.com/disparitas, diakses 11 Oktober 2013
;
[6]http://manunggalkusumawardaya.wordpress.com/2010/07/07/perlindungan-terhadap-anak-yang-melakukan-tindak-pidana/,
11 Oktober 2013 ;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar