b. Peninjauan kembali. Dalam Undang-Undang No. 13 tahun 1965 pasal 52 disebutkan bahwa: "Terhadap putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dapat dimohon peninjauan kambali, hanya apabila terdapat hal-hal atau keadaankeadaan yang ditentukan dengan Undang-Undang".Kemudian dalam pasal 21 Undang-Undang No. 14 tahun 1970 lebih jelas diatur sebagai berikut: "Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan Undang-Undang, terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuasan hukum yang tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang berkepentingan".
c. Hak Uji (Toetsingsrecht). Hak menguji Mahkamah Agung ini sangat erat hubungannya dengan fungsi peradilan. Mengapa? Karena hak uji atau "toetsingsrecht" Hakim terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari UndangUndang hanya formil saja dan melalui putusan kasasi. Sesungguhnya hak menguji hakim tersebut tidak dijelaskan maksudnya secara tegas dan menyeluruh.
Dalam Undang-Undang No. 14 tahun 1970 pasal 26 yang berbunyi sebagai berikut:
(1). Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari Undang-Undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
(2). Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi. Pencabutan dari peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah tersebut dilakukan oleh instansi yang bersangkutan.
Menurut Bapak Prof. Soebekti, SH dalam karangannya tentang """Pokok-pokok pemikiran tentang hubungan Mahkamah Agung dengan Badan Peradilan Umum" menyatakan bahwa sesungguhnys "toetsingsrecht" itu ada 2 (dua) macam:
1. "Formiele toetsingsrecht" yaitu hak untuk menguji atau meneliti apakah suatu peraturan dibentuk secara sah dan dikeluarkan oleh penguasa atau instansi yang berwenang mengeluarkan peraturan itu.
2. "Materiele toetsingrecht" yaitu hak untuk menguji atau menilai apakah suatu peraturan dari segi isinya (materinya) mengandung pertentangan dengan peraturan lain dari tingkat yang lebih tinggi atau menilai tentang adil tidaknya isi peraturan itu. dan spabila terdapat pertentangan tersebut atau apabila isi peraturan itu dianggapnya tidak adil, tidak mengetrapkan, artinya menyisihkan atau menyingkirkan peraturan itu. (to set aside).
2. Fungsi Pengawasan.Fungsi Pengawasan diberikan oleh Undang-Undang No. 14 tahun 1970 yaitu dalam Bab II pasal 10 ayat 4 yang berbunyi: "Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi alas perbuatan Pengadilan yang lain, menurut ketentuan yang ditetapkan dengan Undang-Undang". Dan di samping itu mengingat masih belum ada peraturan pelaksanaan yang mengatur, Mahkamah Agung dalam prakteknya masih bersandar pada pasal 47 Undang-Undang No. 13 tabun 1965 yang berbunyi sebagai berikut:
Mahkamah Agung sebagai puncak semua peradilan dan sebagai Pengadilan Tertinggi untuk semua lingkungan peradilan memberi pimpinan kepada Pengadilan-Pengadilan yang bersangkutan.
Mahkamah Agung melakukm pengawasan tertinggi terhadap jalannya peradilan diselenggarakan dengan seksama dan sewajamya.
Perbuatan-perbuatan Hakim di semua lingkungan peradilan diawasi dengan cermat oleh Mahkamah Agung.
Untuk kepentingan negara dan keadilan Mahkamah Agung memberi peringatan, tegoran dan petunjuk yang dipandang perlu baik dengan surat tersendiri maupun dengan Surat Edaran.
Mahkamah Agung berwenang minta keterangan dari semua Pengadilan dalam semua lingkungan peradilan. Mahkamah Agung dalam hal itu dapat memerintahkan disampaikannya berkas-berkas perkara dan surat-surat untuk dipertimbangkan.
Pengawasan Mahkamah Agung menurut pasal 47 Undang-Undang Nomor 13 tahun 1965 adalah terhadap jalannya peradilan (Bahasa Belanda: Rechtsgang), dengan tujuan agar Pengadilan-pengadilan tersebut berjalan secara seksama dan sewajamya. Jalannya peradilan atau "rechtsgang" tersebut menurut hemat kami terdiri dari:
a). jalannya peradilan yang bersifat tehnis peradilan atau tehnis yustisial.
b). jalannya peradilan yang bersegi administrasi peradilan
Adapun yang dimaksud dengan "tehnis peradilan" adalah segala sesuatu yang menjadi tugas pokok Hakim yaitu menerima, memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara yang diterimakan kepadanya. Dalam kaitan ini termasuk pula bagaimana pelaksanaan putusan tersebut dilakukan.,
Sedang yang dimaksud dengan "administrasi peradilan" adalah segala sesuatu yang menjadi tugas pokok darl Kepaniteraan lembaga Pengadilan. (Pengadilan tingkat pertama dan banding dan lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer dan Mahkamah Agung).
Administrasi peradilan harus dipisahkan dengan administrasi dalam arti mumi yang tidak ada sangkut pautnya dengan suatu perkara di lembaga Pengadilan tersebut. Administrasi peradilan perlu memperoleh pengawasan pula dari Mahkamah Agung, oleh karena sangat erat kaitannya terhadap tehnis peradilan. Suatu putusan pengadilan tidak akan sempurna apabila masalah administrasi peradilan diabaikan. Pembuatan agenda/register perkara, pencatatan setiap parkara yang berjalan/berproses, formulir-formulir putusan, formulir panggilan, formulir laporan kegiatan Hakim dan lain sebagainya adalah tidak luput dari kewenangan pengawasan Mahkamah Agung..Dalam praktek selama ini Mahkamah Agung dalam melakukan pengawasan telah mendelegasikan kepada para Ketua Pengadilan tingkat banding, baik dari lingkungan Peradilan Umum maupun dalam lingkungan Peradilan Agama. .Disamping itu pula yang termasuk kewenangan pengawasan Mahkamah Agung adalah semua perbuatan-perbuatan Hakim. Pengadilan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung ini bersifat tertinggi yaitu meliputi keempat lingkungan Peradilan. Pengawasan terhadap lingkungan Peradilan Agama lebih effektif dilakukan setelah adanya Surat Keputusan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung dengan Menteri Agama No. 1, 2, 3 dan 4 tahun 1983 tangga17 Januarl 1983.
Sedang pengawasan sebelum tahun 1983 tersebut hanya terbatas pada pengawasan teknis melalui permohonan kasasi yang dimungkinkan oleh Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1977.
Terhadap Pengacara dan Notaris termasuk pula di bawah pengawasan Mahkamah Agung. Demi keterpaduan pengawasan terhadap para Pengara dan Notaris ini, sudah diputuskan dalam Rapat-rapat kerja antara Mahkamah Agung dengan Departemen Kehakiman pada tahun 1982 yang dikukuhkaa lagi tahun 1983, Bahkan terhadap Notaris, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran No. 2 tahun 1984 tanggal 1 Maret 1984.
3. Fungsi Pengawasan (Regerende functie).Fungsi Pengaturan ini bagi Mahkamah Agung adalah bersifat sementara yang artinya bahwa selama Undang-Undang tidak mengaturnya, Mahkamah Agung dapat "mengisi" kekosongan tersebut sampai pada suatu saat Undang-undang mengaturnya. Pasal 131 Undang-Undang No. 1 tahun 1950 memberikan kesempatan bagi Mahakamah Agung untuk membuat peraturan secara sendiri bilamana dianggap perlu untuk melengkapi Undang-Undang yang sudah ada. Hal tersebut menurut Prof. Soebekti, SH, Mahkamah Agung memiliki sekelumit kekuasaan legislatif, yang dianggap merupakan suatu pelimpahan kekuasaan dari pembuat Undang-Undang.
Contoh:
- Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1963 yang menentukan bahwa permohonan kasasi juga dapat diajukan di Pengadilan tingkat pertama (yang dalam hal ini. Pengadilan Negeri). Dengan demikian peraturan tersebut merupakan perluasan terhadap pasal 113 (perkara perdata) yang mengatur agar permohonan kasasi diajukan kepada Pengadilan yang putusannya dimohonkan kasasi (pada umumnya adalah Pengadilan Tinggi).
- Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahm 1959 tanggal 20 April 1959 yang isinya antara lain mengatur:
- Biaya kasasi dibayar tunai pada Pengadilan yang bersangkutan.
- Permohonan untuk pemeriksaan kasasi dalam perkara perdata tidak boleh diterima, jika tidak disertai dengan pembayaran biaya perkara.
- Panitera Mahkamah Agung tidak diharuskan mendaftarkan permohonan kasasi apabila biaya perkara tersebut belum diterima meskipun berkas perkara yang bersangkutan telah diterima di kepaniteraan Mahkamah Agung.
- yang dianggap sebagai tanggal permohonan kasasi ialah tanggal pada waktu biaya perkara tersebut diterima di Pengadilan Negeri.
- Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1977 maggal 26. Nopember 1977 yang isinya antara lain mengatur: "jalan pengadilan dalam pemeriksaan kasasi dalam perkara Perdata dan perkara Pidana oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Militer".
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1980 tanggal 1 Desember 1980 tentang Peninjauan kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap yang diperbaiki lagi dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1982 tanggal 11 Maret 1982 tentang Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1980 yang disempurnakan.
4. Fungsi Pembmian Nmehat (advieserende functie).Semula fungsi ini diatur dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1950 pasal 132 yang mengatakan bahwa: "Mahkamah Agung wajib memberi laporan atau pertimbangan tentang soalsoal yang berhubungan dengan hukum, apabila hal itu diminta oleh Pemerintah". Kemudian oleh Undang-Undang No. 13 tahun 1965 pasal 53 mengatur pula kewenangan yang sama. Pasal 53 berbunyi sebagai berikut:
"Mahkamah Agung memberi keterangan pertimbangan dan nasehat tentang soal-soal yang berhubungan dengan hukum, apabila hal itu diminta oleh Pemerintah".
Demikian pula Undang-Undang No. 14 tahun 1970 yang tercantum dalam pasal 25;
"Semua pengadilan dapat memberi keterangan, pertimbangan dan nasehat-nasehat tentang soal-soal hukum pada Lembaga Negara lainnya apabila diminta".
Rupa-rupanya pertembangan hukum yang memberi kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk memberi pertimbangan hukum diperluas lagi oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. III/MPR/1978 yo TAP MPR No. VVMPR/1973 pasal 11 ayat (2) di mana Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum, baik diminta maupun tidak, kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara
Sebagai contoh pelaksanaan ketentuan. Undang-Undang tersebut adalah kewenangan Mahkamah Agung memberi pertimbangan-pertimbangan hukum terhadap pennohonan-permohonan grasi kepada Presiden/Kepata Negam melalui Menten Kehakiman.
Dalam praktek Mahkamah Agung pemah pada tahun 1965 diminta nasehat oleh Permerintah dalam masalah pembubaran partai politik Masyumi (masa pra-Gestapu), sehingga dalam putusan Presiden waktu itu disebut: "Mendengar nasehat Mahkamah Agung"""".
Pada masa itu Kekuasaan Kehakiman telah kehilangan kebebasannya, dengan duduknya Ketua Mahkamah Agung sebagai Menteri dalam Kabinet. Bahkan dalam Undang-undang No. 19 tahun 1964 dicantumkan adanya "Campur tangan Presiden dalam dalam Pengadilan".
Dalam kaitan ini Bapak Prof. Soebekti, SH menyatakan bahwa beliau tidak kebaratan Pengadilan diminta nasehat oleh Pemerintah atau Lembaga Tinggi Negara lainnya, asal itu tidak mengurangi kebebasan Pengadilan.
5. Fungsi Administrasi (administrative functie).Dalam Undang-Undang No. 14 tahun 1970 pasal 11 berbunyi sebagai berikut:
(1). Badan-badan yang melakukan peradilan tersebut pasal 10 ayat (1) organisatoris, administratif dan finansiil ada dibawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan.
(2). Mahkamah Agung mempunyai organisasi, administrasi dan keuangan tersendiri.
Dari kalimat "administrasi" dalam pasal tersebut di atas, kiranya dapat dibedakan dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas di sini adalah meliputi segala aktifitas dalam hal "tehnis operasional" (misalnya monitoring perkara yang lelah diucapkan Hakim, pembuatan laporan kegiatan Hakim/laporan bulanan dan lain sebagainya).
Sedangkan "administrasi" yang diartikan oleh pasal 11 tersebut adalah dalam arti sempit. Seolah-olah timbul dualisme pimpinan dimana sepanjang mengenai administrasi dalam arti luas oleh Mahkamah Agung sedang administrasi dalam arti sempit diselenggarakan oleh Departeman masing-masing.
Namun menumt Prof. Soebekti, SH. pandangan yang sedemikian tersebut adalah keliru, beliau berpendapat pimpinan hanya ada satu yaitu Mahkamah Agung - RI, sedang Departemen hanya melaksanakan "dienende functie".
Dalam pedajanan sejarah Mahkamab Agung sejak tahun 1945 yaitu pada saat berlakunya UU.D..1945 tanggal 18 Agustus 1945 mmpai sekarang, mengalami pergeseran-pergeseran mengikuti perkembangan sistim Pemerintahan pada waktu itu, baik yang menyangkut kedudukannya maupun susunannya, walaupun fungsi Mahkmah Agung tidak mengalami pergeseran apapun.
Pada waktu terjadi susunan Kabinet 100 Menteri, kedudukan Mahkmah Agung agak bergeser di mana Ketua Mahkmah Agung dijadikan Menteri Koordinator yang mengakibatkan tidak tegaknya cita-cita Undang-Undang Daer 1945 yaitu sebagai pemegang Kekuasaan Kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasan Pemerintah.
Dengan tekad Pemerintah Orde Baru, kembalilah Mahkamah Agung dalam kedudukannya semula sesuai dengan kehendak Undang-Undang Dasar 1945. Akhimya dengan berlakunya Undang-Undang No. 14 tahun 1970 mendudukan Mahkmah Agung sebagai puncak dari ke-empat lingkungan peradilan
SUSUNAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA.
KURUN WAKTU TAHUN 1950 - 1952.Ketua:Mr. Dr. Kusumah Atmadja
(beliau mengoper gedung dan personil beserta pakerjaan Hooggerechtshof pada bulan Januari 1950 setelah Mahkamah Agung kembali dari pengungsiannya di Jogyakarta selama 3 1/2 tahun)
Wakil Ketua:
Mr. Satochid Kartanegara
Hakim Agung:Mr. Wirjono Prodjodikoro
Mr. Husen Tirtamidjaja
Panitera:Mr. Soebekt
Wakil PaniteraRanoeatmadja
Bulan September 1952 Dr. Mr. Kusumah Atmadja Meninggal dunia. Sejak itu kedudukan Ketua Mahkamah Agung menjadi lowong.
Dr. Mr. Kusumah Atmadja Ketua Mahkamah Agung Pertama Periode Juli 1946 – Januari 1950
|
Mr. Satochid Kertanegara Wakil Ketua Mahkamah Agung Periode Juli 1946 – Januari 1950
|
Mr. Wijono Prodjodikoro Hakim Agung Mahkamah Agung Periode Juli 1946 – Januari 1950
|
Mr. Soebekti Panitera Mahkamah Agung Periode Juli 1946 – Januari 1950
|
KURUN WAKTU TAHUN 1952 - 1966
Untuk jabatan Ketua Mahkamah Agung diminta calon 2 orang atau lebih yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, demikian pula untuk jabatan Wakil Ketua Mahkamah Agung. Untuk Jabatan Katua Mahkamah Agung yang dicalonkan oleh DPR adalah 2 orang yaitu: Mr. Wirjono Prodjodikoro dan Mr. Tirtawinata bekas Jaksa Agung. Sedang untuk Wakil Ketua Mahkamah Agung DPR mencalonkan: Mr. R. Satochid Kartanegara sebagai satu-satunya calon.
Kemudian dengan keputusan Presiden Republik Indonesia pada tanggal 13 Oktober 1952 diangkat
Ketua: Mr. Wiijono Prodjodikoro
Wakil Ketua: Mr. R. Satochid Kartanegara.
Hakim Agung:
Prof. Mr. R. Soekardono.Sutan Kali Mahkul Adil. Mr. Husen Tirtamidjaja. Mr. R. Surjopokro.Mr. Sutan Abdul Hakim.Mr. Wirjono Kusumo. Mr. A. Abdurrachman.Panitera:
R. Ranuatmadja.J. Tamara
Moeh. Ishak Soemosmidjojo, SH
Susunan majelis:
hanya ada satu majelis.
Di samping perkara yang masuk tidak terlalu padat, pula duduk sebagai Ketua Majelis dimungkinkan bergantian antara Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung. Untuk memperlancar penyelesaian perkara pada waktu itu, Mahkamah Agung sudah mengenal pembidangan tanggungjawab, seperti bidang Perdata dipimpin oleh Ketua Mahkamah Agung sendiri, dan bidang Pidana dipimpin oleh Wakil Ketua Mahkamah Agung, dan sekaligus mengetuai sidang-sidang yang bersangkutan. Sedangkan para Hakim Agung tetap memeriksa baik perkara perdata maupun perkara pidana. Adanya Forum "Privilegiatum" yang dimungkinkan oleh Undang. undang yang berlaku pada waktu itu, Mahkamah Agung mengadili dalam tingkat pertama dan terakhir.
Tokoh politik: Sultan Abdul Hamid yang mengaku terus terang ingin menggunakan tenaga Westerling untuk mempersiapkan pembarontakan terhadap Pemerintah Republik Indonesia, yaitu akan membunuh: Sri Sultan Hamengku Buwono ke IX, Kol. Simatupang dan Ali Budihardjo, SH Pada tanggal 8 April 1953 dijatuhi hukuman 10 tahun penjara.
Mr. Wirjono Prodjodikoro Ketua Mahkamah Agung (Periode 1952 – 1966)
|
M. R. Satochid Kertanegara WakilKetua Mahkamah Agung (Periode 1952 – 1966)
|