PROPOSAL PENELITIAN
MEMAHAMI DISPARITAS PUTUSAN PRA
PERADILAN
(SEBUAH TINJAUAN YURIDIS NORMATIF)
A.
Latar
Belakang
Sebagai bagian dari warga negara yang sadar dan taat
kepada hukum, tentunya akan membuat setiap individu di dalam masyarakat akan
mengedepankan penyelesaian setiap sengketa atau perkara dengan cara yang damai
dengan selalu mengutamakan asas musyawarah untuk mufakat. Meski demikian, akan
selalu terdapat suatu perkara atau sengketa yang tidak bisa diselesaikan dengan
cara musyawarah untuk mufakat, sehingga harus diselesaikan di muka persidangan.
Penyelesaian suatu perkara melalui persidangan
tentunya membutuhkan teknik pembuktian yang jitu sehingga apa yang diinginkan
dapat dikabulkan oleh Pengadilan. Bagi para pencari keadilan, segala macam cara
pembuktian tentu akan dilakukan, dengan tujuan apa yang didalilkan menjadi
terbukti dan bisa mendapatkan apa yang diminta atau dituntutnya. Kecermatan di
dalam pembuktian dalil dalam suatu perkara, mutlak diperlukan, sehingga tidak
membuang waktu dan tenaga dengan sia-sia.
Proses hukum secara
garis besar dapat dipandang sebagai penyelarasan berbagai kepentingan dalam
masyarakat dan hasilnya adalah keadilan atau hukum yang adil. Hukum yang baik
yaitu hukum yang adil dan benar, memiliki keabsahan dan mengikat, mewajibkan
dan dapat dipaksakan untuk dijalankan untuk mewujudkan rasa keadilan, harmoni
dan kebaikan umum yang menjadi tujuan hukum itu sendiri.
Pengaturan mengeni
tata cara proses penegakan hukum pidana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang telah mengatur secara terperinci tugas
masing-masing dari Aparat Penegak Hukum, dimulai sejak adanya laporan
kepolisian maupun adanya aduan atas tindak pidana aduan sampai dengan proses
eksekusi atas putusan Hakim oleh pihak Kejaksaan sebagai eksekutor putusan
Hakim dan pelaksanaan pemidanaan oleh pihak Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS).
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah menjabarkan secara
terperinci mengenai tugas-tugas dari masing-masing Aparat Penegak Hukum dan
juga dijelaskan mengenai hak-hak maupun kewajiban dari tersangka / terdakwa
ataupun hak-hak dan kewajiban dari saksi / korban. Hal ini bertujuan untuk memperlancar
proses penegakan hukum (pro justisia) yang dimulai dari penyelidikan sampai
dengan pelaksanaan putusan Hakim.
Salah satu proses
penegakan hukum yang saat ini menjadi perhatian masyarakat, yaitu mengenai PRA
PERADILAN. Keberadaan pra peradilan ini sebenarnya berguna sebagai alat
introspeksi bagi aparat penegak hukum, khususnya pihak Kepolisian dan Kejaksaan
di dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya sebagai lembaga yang memiliki
kewenangan melakukan penyidikan dan penuntutan suatu tindak pidana. Pada saat
ini, penyidikan tidak hanya dilakukan oleh pihak Kepolisian, akan tetapi juga
dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang juga memiliki kewenangan
untuk melakukan penuntutan, maka secara tidak langsung ketentuan pasal 77 KUHAP
mengenai pra peradilan juga ditujukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK).
Munculnya
putusan-putusan pra peradilan pada saat ini yang berkesan saling bertentangan
antara satu putusan dengan putusan yang lain, menimbulkan kesan pada masyarakat
bahwa putusan pra peradilan “dapat dibeli” sesuai dengan pesanan dari pihak
pemohon para peradilan dengan memandang pangkat atau juga jabatan pemohon. Bahkan
dengan adanya putusan pra peradilan yang dikeluarkan oleh Hakim Sarpin Rizaldi,
Hakim Jakarta Selatan, menyebabkan Hakim
kontroversial Sarpin Rizaldi dilaporkan ke Mahkamah Agung (MA) oleh koalisi
masyarakat sipil antikorupsi atas putusannya mengabulkan gugatan praperadilan
Komjen Budi Gunawan. Koalisi berharap, MA akan memberikan sanksi tegas kepada
hakim Sarpin, seperti kasus-kasus serupa sebelumnya.[1] Putusan Hakim Sarpin Rizaldi, juga
menginspirasi terdakwa-terdakwa korupsi lainnya untuk mengajukan pra
peradialan, salah satunya adalah Mukti Ali, pedagang sapi asal Banyumas,
mengajukan gugatan praperadilan terhadap Kepolisian Resor Banyumas yang
dijadikan tersangka dalam kasus dugaan korupsi bantuan sosial dan alasan
Gugatan praperadilan ini berdasar pada yurisprudensi putusan hakim Sarpin
Rizaldi dalam kasus Budi Gunawan alias BG yang digelar di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan. [2]
Hal inilah yang kemudian
harus dikaji secara ilmiah bahwa masing-masing putusan peradilan telah memuat
pertimbangan dari Hakim yang menyidangkannya sebagai dasar dari putusan
tersebut.
Secara umum pra
peradilan diatur di dalam pasal 77 – 83 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
yang menyebutkan. Pasal 77 menyebutkan, “Pengadilan
Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam Undang-Undang ini tentang :
a.
Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,
penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan ;
b.
Ganti rugi dan atau rehabilitasi bagi seorang
yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.”
Penjelasan pasal 77 KUHAP ini hanya
menyebutkan mengenai penghentian penuntutan, dengan menyatakan, “Yang dimaksud dengan penghentian penuntutan
tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi
wewenang Jaksa Agung.” Penjelasan ini tentunya dapat menimbulkan penafsiran
yang berbeda-beda, sehingga seharusnya terdapat penjelasan bahwa mengenai
istilah penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan serta ganti rugi atau rehabilitasi menunjuk pada KETENTUAN UMUM
sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 KUHAP.
Secara
singkat dapat dikatakan bahwa kewenangan Hakim dalam persidangan pra peradilan jika
didasarkan pada ketentuan pasal 77 KUHAP, hanya pada 4 (empat) hal saja yaitu :
1) Sah
atau tidaknya penangkapan ;
2) Sah
atau tidaknya penahanan ;
3) Sah
atau tidaknya penghentian penyidikan dan ;
4) Sah
atau tidaknya penuntutan.
Adanya
proses pra peradilan ini kiranya perlu mendapat perhatian yang serius dari
Mahkamah Agung Republik Indonesia, melalui Pusat Penelitian dan Pengembangan
untuk melakukan pengkajian secara sistematis dan menyeluruh. Pengkajian ini
disamping untuk analisis putusan-putusan pra peradilan yang telah ada saat ini
juga untuk memperbaharui wawasan para hakim bahwa obyek pra peradilan juga
telah diperluas dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor :
21/PUU-XII/2014 Tahun 2014 tentang Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan
Penyitaan serta putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor : 41/PUU-XIII/2015 Tahun 2015 tentang Pembatasan Pengertian dan
Obyek Pra Peradilan, sehingga kiranya pedoman pra peradilan sebagaimana
tercantum dalam pasal 77 KUHAP juga mengalami perluasan. Mahkamah Agung
Republik Indonesia sebagai pemegang kekuasaan yudikatif tertinggi, mempunyai
kewenangan penuh untuk melakukan pengawasan terhadap proses persidangan dan
putusan pra peradilan, sehingga tujuan terciptanya keadilan dalam masyarakat
dan kepastian hukum dapat tercapai.
B.
Permasalahan
Berdasarkan
uraian latar belakang masalah sebagaimana tersebut di atas, maka dapat
diidentifikasikan beberapa permasalahan dalam pengkajian tentang putusan pra
peradilan, yaitu ;
1. Bagaimana
eksistensi pra peradilan dalam sistim hukum acara pidana di Indonesia ?
2. Bagaimana
penafsiran Hakim dalam putusan-putusannya terhadap ketentuan pra peradilan
dalam KUHAP ?
3. Bagaimana
efek perluasan obyek pra peradilan di Indonesia beradasarkan putusan Mahkamah
Konstitusi ?
C.
Tujuan
Penelitian
Berkaitan
dengan permasalahan di atas, pengkajian tentan putusan pra peradilan ini
mempunyai tujuan penelitian sebagai berikut :
1. Untuk
mengetahui, mendeskripsikan dan menganalisis eksistensi putusan pra peradilan
dalam sistem hukum acara pidana di Indoensia.
2. Untuk
mengetahui, mendeskripsikan dan menganalisis penafsiran Hakim terhadap
ketentuan pra peradilan dalam KUHAP.
3. Untuk
mengetahui, mendeskripsikan dan menganalisis efek perluasan obyek pra peradilan
di Indonesia berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi.
D.
Kegunaan
Penelitian
Pengkajian
tentang putusan pra peradilan ini mempunyai kegunaan yang terdiri dari kegunaan
teoritis dan kegunaan praktis. Secara terperinci dapat diuraikan sebagai
berikut :
1. Kegunaan
Teoritis dari hasil pengkajian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran
secara teoritis terhadap pengembangan disiplin ilmu hukum dan khususnya terkait
dengan putusan pra peradilan ;
2. Kegunaan
Praktis, diharapkan pengkajian ini mampu memberikan kontribusi praktis bagi
para akademisi, pengambil kebijakan, pembuat undang-undang, praktisi hukum,
aparatur pemegak hukum khususnya Hakim yang berhadapan langsing dengan masalah
putusan pra peradilan.
E.
Kerangka
Pemikiran
Hans
Kelsen mengatakan bahwa teori hukum murni merupakan teori hukum positif karena
teori hukum murni ini berupaya menjawab pertanyaan apa itu hukum dan bagaimana
ia ada, bukan bagaimana ia semestinya ada, sehingga teori hukum murni merupakan
ilmu hukum (Jurisprudence) bukan
politik hukum.[3]
Lebih
lanjut Hans Kelsen mengatakan bahwa obyek ilmu hukum adalah norma hukum dan
karenanya nilai-nilai hukum juga dibentuk oleh norma-norma ini, namun aturan
hukum merupakan uraian yang bebas nilai mengenai obyeknya, oleh karena itu pra
peradilan menjadi suatu obyek berupa aturan hukum yang merupakan uraian yang
bebas nilai mengenai obyeknya.[4]
Dalam
bukunya yang lain, Hans Kelsen mengatakan bahwa jika norma itu mempunyai suatu
sifat umum (general character), maka
ia adalah sebuah aturan normatif.[5]
Membahas
mengenai pra peradilan, maka sepintas hukum pra
peradilan di Indonesia mirip dengan pre-trial dalam sistem hukum yang dianut di
Amerika Serikat atau negara penganut sistem common
law lainnya, bahkan hukum
praperadilan Indonesia bisa dikatakan adopsi dari
sistem hukum di sana. Di negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon, dikenal dengan adanya
istilah Hakim Investigasi (Investigating
Judge) yang merupakan salah satu aktor yang menjadi tumpuan harapan, agar
terjamin tidak ada pelanggaran hak tersangka dan korban dalam tahap pra
persidangan (pre trial justice).[6]
Sedangkan dalam sistem hukum di
Indonesia yang mengadopsi sistem hukum Continental
Law, belum ada pengaturan mengenai Hakim Investigasi atau yang di dalam
Rancangan Undang-Undang Hukum Acara yang baru disebut sebagai Hakim Pemeriksa Pendahuluan,
salah satunya sebagaimana diatur dalam pasal 58 ayat (2) Rancangan
Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana.[7]
Momentum bersejarah peralihan dari
sistem hukum acara pidana kolonial ke sistem hukum acara pidana Indonesia
merdeka terletak dari perubahan pandangan terhadap status seseorang yang
terlibat ke dalam sistem peradilan pidana.[8] Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana / KUHAP sebagai produk nasional
Indonesia, sebenarnya merupakan penerusan asas-asas hukum acara pidana yang ada
dalam HIR ataupun dalam Ned Strafvoerdering
1926 yang lebih modern.[9]
Lebih lanjut, Andi Hamzah mengatakan
bahwa meskipun di dalam Ned Strafvoerdering
mengenal adanya Hakim Komisaris, akan tetapi pengertian Hakim Komisaris tidak
dikenal di dalam HIR dan KUHAP mengikutinya dengan nama pra peradilan yang
mirip dengan fungsi hakim komisaris.[10]
Dengan adanya KUHAP, maka hukum acara
pidana di Indonesia, sepenuhnya tunduk pada ketentuan-ketentuan yang diatur di
dalam KUHAP, oleh karenanya KUHAP dapat dikatakan sebagai perintah yang
memaksa, sebagaimana dikemukakan oleh Hans Kelsen yang menyatakan, “Hukum
adalah a coercive order, yang
merupakan elemen umum yang dapat dipahami pada penggunaan kata hukum di
berbagai tata hukum di dunia sehingga merupakan terminologi yang dapat
dibenarkan serta merupakan konsep yang sangat signifikan bagi kehidupan
sosial.”[11] Lebih lanjut Hans Kelsen mengatakan
bahwa hukum bukanlah pemaksa dalam artian bahwa ia menetapkan pemaksaan psikis,
namun dalam artian bahwa ia menetapkan tindakan paksa yakni pencabutan nyata,
kebebasan, perekonomian dan nilai-nilai lain secara paksa sebagai konsekuensi
dari kondisi tertentu.[12]
Dengan demikian maka apabila mengacu
kepada pendapat Hans Kelsen tersebut, ketentuan-ketentuan dalam KUHAP
seharusnya menjadi aturan yang harus dipatuhi di dalam setiap proses penegakan
hukum, tidak terkecuali dalam hal pra peradilan.
Sebagai perbandingan, di Eropa dikenal
lembaga semacam pra peradilan, tetapi fungsinya memang benar-benar melakukan
pemeriksaan pendahuluan, jadi fungsi hakim komisaris (rechter commisaris) di Belanda dan Jugde d’ Instruction di Perancis benar-benar dapat disebut pra
peradilan, karena selain menentukan sah tidaknya penangkapan, penahanan,
penyitan, juga melakukan pemeriksaan pendahuluan atas suatu perkara.[13]
Terhadap keberadaan Hakim Komisaris di
belanda, Van Bemmelen mengatakan bahwa hakim komisaris itu memerlukan
pengetahuan yang luas, di samping pengetahuan yuridisnya seperti bagaimana
caranya memeriksa saksi dan terdakwa sehingga diperlukan pengetahuan psikologi
untuk semua itu.[14]
Andi Hamzah mengatakan bahwa KUHAP 1981
memperkenalkan proses pra peradilan yang apabila disimak benar-benar, arti
harfiah dan maksud istilah tersebut tidak selaras, yaitu secara arti harfiah
adalah tahapan pra persidangan (pre trial
phase), padahal lembaga pra peradilan adalah proses yang dimaksudkan untuk
memeriksa (1) apakah suatu penangkapan/penahanan sah atau tidak, (2) apakah
suatu penghentian penyidikan/penghentian penuntutan sah atau tidak serta pra
peradilan dimaksudkan juga untuk memeriksa permintaan ganti rugi dan atau
rehabilitasi akibat penangkapan/penahanan yang tidak sah atau akibat
penghentian penyidikan yang sah.[15]
Pra peradilan di Indonesia adalah
merupakan gagasan awal Adnan Buyung Nasution bersama-sama dengan pakar hukum
antara lain Gregory Churchill, lawyer Amerika Serikat yang sedang menjadi dosen
di Universitas Indonesia, yang kemudian Adnan Buyung Nasution merumuskannya
menjadi pra peradilan yang dikenal dalam KUHAP.[16]
Menurut KUHAP Indonesia, pra peradilan
tidak mempunyai wewenang seluas itu, yaitu Hakim Komisaris selain berwenang
untuk menilai sah tidaknya suatu penangkapan, penahanan seperti pra peradilan,
juga menilai sah atau tidaknya sebuah penyitaan yang dilakukan oleh jaksa,
dalam KUHAP tidak ada ketentuan di mana hakim pra peradilan melakukan
pemeriksaan pendahuluan, penggeledahan, penyitaan dan seterusnya yang bersifat
pemeriksaan pendahuluan, tidak juga menentukan apakah perkara cukup alasan
ataukah tidak untuk diteruskan ke pemeriksaan sidang pengadilan.[17]
M. Yahya Harahap mengatakan bahwa
sepintas lalu pasal 77 KUHAP bersumber dari pasal-pasal mengenai kewenangan pra
peradilan, akan tetapi ada kewenangan lain dari pra peradilan yaitu memeriksa
dan memutus tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana diatur dalam
pasal 95 dan 97 KUHAP.[18]
Andi Hamzah mengatakan bahwa harus
diakui bahwa tugas pra peradilan di Indonesia terbatas. Hal ini dapat dilihat
dari ketentuan pasal 78 KUHAP yang berhubungan langsung dengan pasal 77 KUHAP
yang mengatakan bahwa yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri memeriksa
dan memutus tentang berikut :
a.
Sah
tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan ;
b.
Ganti
kerugian dan / atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan
pada tingkat penyidikan atau penuntutan adalah pra peradilan. Pra peradilan
dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri dan
dibantu oleh seorang Panitera.[19]
Lebih lanjut, Andi
Hamzah mengatakan bahwa, dalam pasal 79, 80 dan 81 KUHAP diperinci tugas pra
peradilan itu yang meliputi 3 (tiga) hal pokok, yaitu sebagai berikut :
a)
Permintaan
pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan yang
diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri
dengan menyebutkan alasannya ;
b)
Permintaan
untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan
dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum, pihak ketiga yang
berkepentingan kepada ketua pengadilan pengadilan negeri dengan menyebutkan
alasannya ;
c)
Permintaan
ganti kerugian dan/atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan dan/atau
penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan
oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan
negeri dengan menyebutkan alasannya.[20]
Secara lebih terperinci, M. Yahya Harahap
menjelaskan mengenai wewenang pra peradilan, yaitu :[21]
1)
Memeriksa
dan memutus Sah atau Tidaknya Upaya Paksa :
Yaitu tersangka yang
dikenakan tindakan penangkapan, penahanan, penggeledahan atau penyitaan dapat
meminta kepada pra peradilan untuk memeriksa sah atau tidaknya tindakan yang
dilakukan penyidik kepadanya ;
2)
Memeriksa
Sah atau Tidaknya Penghentian Penyidikan atau Penghentian Penuntutan ;
Yaitu bahwa penyidik
dan penuntut umu berwenang menghentikan pemeriksaan penyidikan atau penuntutan
akan tetapi diperlukan lembaga yang berwenang memeriksa dan menilai sah atau
tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan tersebut supaya tindakan
tersebut tidak bertentangan dengan hukum dan kepentingan umum maupun untuk
mengawasi tindakan penyalahgunaan wewenang (abuse
of authority) ;
3)
Berwenang
Memeriksa Tuntutan ganti Rugi :
Yaitu diatur dalam
pasal 95 KUHAP yang menentukan tuntutan ganti kerugian diajukan tersengka
berdasarkan alasan :
- Karena
penangkapan atau penahanan yang tidak sah ;
- Atau
oleh karena penggeledahan atau penyitaan yang bertentangan dengan ketentuan
hukum dan undang-undang ;
- Karena
kekeliruan mengenai orang yang sebenarnya mesti ditangkap, ditahan atau
diperiksa ;
4)
Memeriksa
Permintaan Rehabilitasi :
Yaitu memeriksa dan
memutus permintaan rehabilitasi yang diajukan tersangka, keluarganya atau
penasihat hukumnya atas penangkapan atau penahanan tanpa dasar hukum yang
ditentukan undang-undang atau rehabilitasi atas kekeliruan mengenai orang atau
hukum yang diterapkan yang perkaranya tidak diajukan ke sidang pengadilan ;
5)
Pra
peradilan Terhadap Tindakan Penyitaan ;
Yaitu pada dasarnya
setiap upaya paksa (enforcement)
dalam penegakan hukum mengandung nilai Hak Asasi Manusia, oleh karena itu harus
dilindungi dengan seksama dan hati-hati sehingga perampasan atasnya harus
sesuai dengan “acara yang berlaku” (due
process) dan hukum yang berlaku (due
the law) ;
Hal
berikutnya yang perlu dicermati adalah pihak-pihak yang berhak mengajukan
permohonan pra peradilan. M. Yahya
Harahap mengatakan bahwa yang berhak mengajukan permohonan pra peradilan adalah
:[22]
a)
Tersangka,
Keluarganya atau Kuasanya :
Dalam ketentuan pasal
79 KUHAP menyebutkan bahwa yang berhak mengajukan permintaan pemeriksaan
tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, bukan hanya tersangka
saja tetapi dapat diajukan oleh keluarganya atau penasihat hukumya. Namun
ketentuan ini tidak termasuk pengajuan permintaan tentang sah atau tidaknya
penggeledahan, penyitaan atau pemasukan rumah ;
b)
Penuntut
Umum dan Pihak Ketiga yang Berkepentingan :
Yaitu menurut pasal 80
KUHAP, penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan
permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan dan
secara umum, pihak ketiga yang berkepentingan dalam pemeriksaan perkara pidana,
ialah saksi yang menjadi korban dalam peristiwa pidana yang bersangkutan ;
c)
Penyidik
atau Pihak Ketiga yang Berkepentingan :
Dalam hal penghentian
penuntutan, penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan
permohonan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penghentian penuntutan dan
secara umum, pihak ketiga yang berkepentingan dalam pemeriksaan perkara pidana,
ialah saksi yang menjadi korban dalam peristiwa pidana yang bersangkutan
d)
Tersangka,
Ahli Warisnya atau Kuasanya :
Sesuai dengan ketentuan
pasal 95 ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwa tersangka, ahli warisnya atau
kuasanya dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada pra peradilan dengan
alasan :
-
Penangkapan atau penahanan yang tidak
sah ;
-
Penggeledahan atau penyitaan tanpa
alasan yang sah atau ;
-
Karena kekeliruan mengenai orang atau
hukum yang diterapkan yang perkaranya tidak diajukan ke sidang pengadilan ;
e)
Tersangka
atau Pihak Ketiga yang Berkepentingan Menuntut Ganti Rugi :
Yaitu sesuai dengan
ketentuan pasal 81 KUHAP, tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat
mengajukan permohonan ganti kerugian kepada pra peradilan atas alasan sahnya
penghentian penyidikan atau sahnya penghentian penuntutan.
keberadaan
pasal 77 KUHAP sebenarnya merupakan pijakan bagi para praktisi hukum, terutama
bagi Hakim yang akan menyidangkannya. Akan tetapi mengingat bahwa
ketentuan-ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) masih memberikan peluang terhadap
adanya penafsiran, utamanya dari para Hakim di dalam menafsirkan obyek pra
peradilan, menyebabkan saat ini terdapat putusan-putusan pra peradilan yang
memeriksa obyek pra peradilan diluar dari yang diatur di dalam KUHAP.
Beragamnya putusan pra peradilan ini menimbulkan disparitas antara putusan pra
peradilan yang satu dengan putusan pra peradilan yang lain. Disparitas sendiri
sebenarnya lebih dikenal dalam putusan pemidanaan dalam perkara pidana pada
Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi, akan tetapi secara nyata terlihat
dalam lingkup pra peradilan, saat ini terdapat disparitas dalam
putusan-putusannya.
Hal
ini disebabkan karena Hakim memiliki
kemerdekaan di dalam menjatuhkan putusan maka dalam perkara pidana yang sama kemungkinan Hakim
akan menjatuhkan putusan yang bervariasi, termasuk diantaranya
pada putusan pra peradilan. Keberadaan adanya disparitas pada putusan,
sebenarnya pernah dikemukakan oleh Englis, sebagaimana dikutip oleh Hans Kelsen
yang mengatakan,”Dengan penyangkalan dari
keputusan dihasilkan dihasilkan dua keputusan yang saling berkontradiksi,
tentang hal mana yang harus benar (betul) dan yang lainnya salah (tidak betul,
palsu).”[23]
Disparitas pada putusan pra
peradilan ini membawa
problematika tersendiri dalam penegakan hukum di Indonesia. Di satu sisi putusan
pra peradilan yang berbeda
/ disparitas pidana merupakan bentuk dari diskresi hakim
dalam menjatuhkan putusan, tapi di sisi lain putusan pra
peradilan yang berbeda
/ disparitas pidana ini pun membawa ketidakpuasan bagi
terpidana bahkan masyarakat pada umumnya. Muncul pula kecemburuan sosial dan
juga pandangan negatif oleh masyarakat pada institusi peradilan, yang kemudian
diwujudkan dalam bentuk ketidakpedulian pada penegakan hukum dalam masyarakat.
Kepercayaan masyarakat pun semakin lama semakin menurun pada peradilan,
sehingga terjadilah kondisi dimana peradilan tidak lagi dipercaya atau dianggap
sebagai rumah keadilan bagi mereka atau dengan kata lain terjadi kegagalan dari
sistem peradilan pidana. Main hakim sendiri pun menjadi sesuatu yang lebih baik
dan lebih memenuhi rasa keadilan daripada mengajukan perkara mereka ke
pengadilan. Keadaan ini tentu menimbulkan inkonsistensi putusan peradilan dan
juga bertentangan dengan konsep rule of law yang dianut oleh Negara
kita, dimana pemerintahan diselenggarakan berdasarkan hukum dan didukung dengan
adanya lembaga yudikatif yakni institusi peradilan untuk menegakkan hukum, apa
jadinya jika masyarakat tidak lagi percaya pada penegakan hukum di Indonesia.
Dalam
kaitan pembangunan hukum
yang sedang berlangsung diperlukan kecermatan dalam penggunaan istilah-istilah
hukum. Mengenai kata putusan yang diterjemahkan dengan kata vonnis adalah hasil akhir dari
pemeriksaan perkara di sidang pengadilan. Ada juga yang disebut dengan interlocutoire yang diterjemahkan dengan
keputusan antara atau keputusan sela dalam preparatoire
yang diterjemahkan dengan keputusan pendahuluan/keputusan persiapan serta
keputusan provisionele yang
diterjemahkan dengan keputusan untuk sementara.
Muladi menyatakan bahwa disamping hal-hal yang bersumber
pada hukum, maka ada hal-hal lain yang menyebabkan disparitas pada putusan, yaitu faktor-faktor yang bersumber dari diri hakim
sendiri, baik yang bersifat internal maupun eksternal yang tidak bisa
dipisahkan karena sudah terpaku sebagai atribut seseorang yang disebut sebagai human
equation (insan peradilan) atau personality of judge dalam arti luas
yang menyangkut pengaruh pengaruh latar belakang sosial, pendidikan agama, pengalaman dan perilaku sosial.[24]
Keberadaan
disparitas pada putusan pra peradilan, harus mendapat perhatian serius dari
Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai pemegang kekuasan tertinggi dalam
bidang yudisial. Hal ini harus dilakukan sebab munculnya disparitas putusan pra
peradilan akan menyebabkan masyarakat menjadi tidak percaya lagi kepada
institusi pengadilan dan menganggap putusan pra peradilan di pengadilan dapat
“dipesan” sesuai dengan keinginan pemohon pra peradilan. Menjadi tugas dari
Mahkamah Agung untuk menjaga marwah badan peradilan khususnya dalam membina
Hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara permohonan pra peradilan.
Oleh
karena itu, diperlukan sebuah penelitian dan penelaahan secara mendalam
mengenai penyebab terjadinya disparitas pada putusan pra peradilan. Dengan
diketahuinya penyebabnya, maka Mahkamah Agung dapat mencari solusi terhadap
masalah terjadinya disparitas pada putusan pra peradilan. Akan tetapi yang
paling utama dari solusi yang diberikan oleh Mahkamah Agung adalah dalam rangka
mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada badan peradilan, khususnya bagi
para pencari keadilan, sehingga badan peradilan sebagai benteng terakhir dapat
memberikan rasa keadilan sebagaimana dharapkan oleh para pencari keadilan.
F.
Metode
Penelitian
G.
Pada hakekatnya, penelitian hukum
senantiasa harus diserasikan dengan disiplin hukum yang merupakan suatu sistem
yang mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten
dengan mengadakan analisa dan konstruksi.[25]
Pengkajian tentang putusan pra peradilan
ini menggunakan penelitian hukum normatif.
Adapun metode pendekatan yang diterapkan adalah melalui pendekatan
perundangan-undangan (Statute Approach) dan
pendekatan kasus (case approach). Sedangkan
jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Adapun
sumber data sekunder berasal dari penelitian kepustakaan (library reserach) terhadap pelbagai macam sumber bahan hukum yang
dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu: [26]
1. Bahan
hukum primer (primary resource atau authoritative records), berupa UUD 1945,
Ketetapan MPR, peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaannya.
2. Bahan
hukum sekunder (secondary resource atau
not authoritative records),
berupa bahan-bahan hukum
yang dapat memberikan
kejelasan terhadap bahan hukum primer, seperti literatur,
hasil-hasil penelitian, makalah-makalah dalam seminar, artikel-artikel dan lain
sebagainya; dan
3. Bahan
hukum tersier (tertiary resource), berupa
bahan-bahan hukum yang dapat memberi petunjuk dan kejelasan terhadap bahan
hukum primer maupun bahan hukum sekunder seperti berasal dari kamus/leksikon,
ensiklopedia dan sebagainya.
Penelitian hukum normatif atau
kepustakaan tersebut, mencakup antara lain adalah :[27]
1)
Penelitian terhadap asas-asas hukum ;
2)
Penelitian terhadap sistematika hukum ;
3)
Penelitian terhadap taraf sinkronisasi
vertikal dan horizontal ;
4)
Perbandingan hukum ;
5)
Sejarah hukum ;
Data kepustakaan yang merupakan data
utama penelitian ini dikumpulkan melalui metode sistematis guna memudahkan analisis permasalahan.
Adapun bahan-bahan tersebut yang dicatat dalam kartu antara lain
permasalahannya, asas-asas, argumentasi, implementasi yang ditempuh, alternatif
pemecahannya dan lain sebagainya. Kemudian mengenai kepustakaan yang dominan
dipergunakan adalah kepustakaan dalam bidang hukum pidana khususnya mengenai
putusan pemidanaan lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum ini. Adapun lokasi penelitian kepustakaan dilakukan di beberapa tempat antara lain di
Perpustakaan Balitbangdiklat Kumdil Mahkamah Agung RI, Perpustakaan Mahkamah
Agung RI, Perpustakan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Universitas
Indonesia serta perpustakaan lain yang menyediakan data sekunder yang sesuai
dan diperlukan dalam penelitian ini.
Pada penelitian hukum
normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam ilmu penelitian
digolongkan sebagai data sekunder dan data sekunder tersebut mempunyai ruang
lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi surat-surat pribadi, buku-buku
harian sampai pada dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh Pemerintah.[28]
Sebagai akhir dari pengolahan data, data
sekunder yang diperoleh dalam penelitian dideskripsikan sesuai dengan pokok
permasalahan yang dikaji secara yuridis kualitatif. Deskripsi dilakukan terhadap
“isi maupun struktur hukum positif”[29]
yang berkaitan putusan pemidanaan lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut
Umum. Data yang telah dideskripsikan
selanjutnya ditentukan maknanya melalui metode interpretasi dalam usaha
memberikan penjelasan atas kata atau istilah yang kurang jelas maksudnya dalam
suatu bahan hukum terkait pokok permasalahan yang diteliti sehingga orang lain
dapat memahaminya.[30]
DAFTAR
PUSTAKA
Andi Hamzah – RM Surachman, Pre-Trial Justice Discretionary Justice
Dalam KUHAP Berbagai Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2015 ;
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta,
2008 ;
Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan
Berkeadilan, UII Press, Yogyakarta, 2006 ;
Hans
Kelsen, Teori Hukum Murni, Penerbit
Nusa Media, Bandung, 2008 ;
Hans
Kelsen, Hukum dan Logika, Penerbit
PT. Alumni, Bandung, 2011 ;
Hans Kelsen, Teori Tentang Hukum, Konstitusi Press, Jakarta, 2012 ;
Philipus M. Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), dalam Yuridika, Nomor 6
Tahun IX, Nopember-Desember 1994 ;
Sudarto, Asas-asas Hukum Pidana. FGH UNDIP Semarang , 1980 ;
Soerjono
Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian
Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006 ;
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers,
Jakarta, 2012
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali), Sinar Grafika,
Jakarta, 2005 ;
DAFTAR
LINK INTERNET
http://news.detik.com/berita/2838384/ma-diminta-jatuhkan-sanksi-ke-hakim-sarpin-karena-melanggar-kuhap,
diunduh tanggal 10 Maret 2016 ;
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/02/25/058645060/terinspirasi-kasus-bg-pedagang-sapi-menggugat-praperadilan,
diunduh tanggal 10 Maret 2016 ;
http://s-hukum.blogspot.co.id/2015/02/opini-hukum-praperadilan-di-indonesia.html,
diunduh tanggal 23 Pebruari 2016 ;
https://slissety.wordpress.com/ruu-kuhap-2015/, diunduh
tanggal 26 Pebruari 2016 ;
DAFTAR
PUTUSAN
Putusan Pengadilan Nomor
04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Pst a/n. BUDI GUNAWAN
Putusan Pengadilan Nomor 36/Pid/Prap/2015/PN.Jkt.Sel a/n. HADI
Putusan Pengadilan Nomor 36/Pid/Prap/2015/PN.Jkt.Sel a/n. HADI
POERNOMO
Putusan Pengadilan Nomor 03/Pid.Pra/2015/PN.Kla a/n. SITI ZULAIKHA
Putusan Pengadilan Nomor 118/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel a/n. YEUNG MAN FUNG
Putusan Pengadilan Nomor 1/Pid.Prap/2015/PN.Pdg a/n. H. BUDI SATRIADI,
Putusan Pengadilan Nomor 03/Pid.Pra/2015/PN.Kla a/n. SITI ZULAIKHA
Putusan Pengadilan Nomor 118/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel a/n. YEUNG MAN FUNG
Putusan Pengadilan Nomor 1/Pid.Prap/2015/PN.Pdg a/n. H. BUDI SATRIADI,
SKM
Putusan Pengadilan Nomor 2/Pra.Per/2016/PN.Sby a/n. A. POEDJI BUDI
Putusan Pengadilan Nomor 2/Pra.Per/2016/PN.Sby a/n. A. POEDJI BUDI
SANTOSO
Putusan Pengadilan Nomor 2/Pid.Prap/2015/PN.Kfa a/n. ONGKYSYAHRUL
Putusan Pengadilan Nomor 2/Pid.Prap/2015/PN.Kfa a/n. ONGKYSYAHRUL
RAMADHONA
Putusan Pengadilan Nomor 1/Pid.Prap/2016/PN.Kfa a/n. JHON LAUW
Putusan Pengadilan Nomor 01/PID.Prap/2016/PN.PAL a/n. H. SUDIRMAN
Putusan Pengadilan Nomor 1/Pid.Prap/2016/PN.Kfa a/n. JHON LAUW
Putusan Pengadilan Nomor 01/PID.Prap/2016/PN.PAL a/n. H. SUDIRMAN
MUHAMADIN A. MELE
Putusan Pengadilan Nomor 11/Pra.Per/2015/PN.Jkt.Ut a/n. OMAY
Putusan Pengadilan Nomor 11/Pra.Per/2015/PN.Jkt.Ut a/n. OMAY
CHUSMAYADI dkk
[1]http://news.detik.com/berita/2838384/ma-diminta-jatuhkan-sanksi-ke-hakim-sarpin-karena-melanggar-kuhap,
diunduh tanggal 10 Maret 2016 ;
[2] http://nasional.tempo.co/read/news/2015/02/25/058645060/terinspirasi-kasus-bg-pedagang-sapi-menggugat-praperadilan,
diunduh tanggal 10 Maret 2016 ;
[3] Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Penerbit Nusa Media, Bandung, 2008, h. 1 ;
[4] Ibid h. 90 ;
[5] Hans Kelsen, Hukum dan Logika, Penerbit PT. Alumni,
Bandung, 2011, h.22 ;
[6] Andi Hamzah – RM Surachman, Pre-Trial Justice Discretionary Justice
Dalam KUHAP Berbagai Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, h.viii ;
[8]
http://s-hukum.blogspot.co.id/2015/02/opini-hukum-praperadilan-di-indonesia.html,
diunduh tanggal 23 Pebruari 2016 ;
[9]Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta,
2008, h. 49 ;
[10] Ibid, h.49 ;
[11] Hans Kelsen, Teori Tentang Hukum, Konstitusi Press,
Jakarta, 2012, h. 25 ;
[12] Hans Kelsen, op cit, h. 40 ;
[13] Andi Hamzah, op cit, h. 187 ;
[14] Andi Hamzah, op cit h. 189 ;
[15]
Andi Hamzah – RM Surachman,
op cit, h. 106 ;
[16] Ibid, h.106 – 107 ;
[17] Andi Hamzah, Ibid, h. 188 - 189
;
[18] Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali), Sinar
Grafika, Jakarta, 2005, h. 4 ;
[19] Andi Hamzah, op. cit. h. 189 –
190 ;
[20] Ibid, h. 190 ;
[21] M. Yahya Harahap, op. cit, h. 5
– 9 ;
[22] Ibid, h. 8 – 10 ;
[23] Hans Kelsen, Hukum dan Logika, op cit, h. 78 ;
[24]
Sudarto, Asas-asas Hukum Pidana. FGH
UNDIP Semarang , 1980, h. 98 ;
[25] Soerjono Soekanto
dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum
Normatif, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2006, h.. 20 ;
[26]
Ibid, h.13 ;
[27]
Soerjono Soekanto, Penelitian
Hukum Normatif, suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, 2012, h. 14
;
[28] Soerjono Soekanto, Ibid, h. 24 ;
[29]
Philipus M.
Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik
(Normatif), dalam Yuridika, Nomor 6 Tahun IX, Nopember-Desember 1994, hlm.
6.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar