Dengan diratifikasikannya sebuah Konvensi Internasional dalam sebuah Undang-Undang, tidak secara otomatif ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Internasional tersebut langsung berlaku sebagai hukum positif di Indonesia. Hal ini disebabkan Undang-Undang yang berisi ratifikasi atas suatu Konvensi Internasional bukan merupaka Undang-Undang yang bersifat aplikatif, sehingga oleh karenanya pemberlakuan suatu Konvensi Internasional dibutuhkan sebuah Undang-Undang yang bersifat aplikatif, yang berisi penjabaran dari ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Konvensi Internasional tersebut. Kesalahan pemahaman ini yang menyebabkan setiap orang beranggapan bahwa setelah sebuah Konvensi Internasional dirafikasi maka secara otomatis langsung diberlakukan tanpa perlu dibuatkan peraturan yang berisi penjabarannya, yaitu dalam bentuk Undang-Undang. Kenapa perlu dibuat sebuah Undang-Undang atas sebuah Konvensi Internasional yang telah diratifikasi ? Hal ini tidak lain sebagai sarana penjabaran dan penjelasan tentang apa saja yang daitur dalam Konvensi Internasional tersebut dan sebagai alat ukur apakah seluruh ketentuan dalam Konvensi Internasional tersebut sudah sesuai dengan nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu, untuk ke depannya, kita perbaiki terlebih dahulu pemahaman atas dirafikasikannya sebuah Konvensi Internasional.
Rabu, 31 Mei 2017
Selasa, 30 Mei 2017
BIJAK BERINTERNET
Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, bahwa setiap jejak digital akan sangat mudah terlacak, sekalipun telah dihapus,, maka sebaiknya kita semua lebih bijak dalam berkomunikasi melalui media sosial. Perilaku penyalahgunaan media sosial sebagai sarana penghasutan, ujaran kebencian dan semacamnya telah diatur dalam dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undnag Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Harus disadari bahwa tidak setiap informasi yang kita terima, termasuk dari jaringan internet (online) merupakan informasi yang benar, sehingga kita harus selalu melakukan pengecekan ulang (croos check) terhadap setiap informasi yang kita terima. Termasuk di dalamnya adalah ketika kita akan membagikan suatu informasi, kita harus yakin terlebih dahulu bahwa informasi yang akan kita bagi tersebut merupakan informasi yang benar dan disampaiakn dengan bahasa yang sopan sehingga menghindari kesalahpahaman atau ketersinggungan dari pihak lain. Sekiranya kita semakin dewasa dan bijak dan menerima dan membagi infomasi, khususnya melalui jaringan internet, karena sekali kita membagi informasi yang tidak benar, maka selamanya jejak digital yang kita buat tidak akan bisa terhapuskan.
NO SARA
https://www.change.org/p/lukmanedy-hm-larang-penggunaan-sara-sbg-materi-kampanye-tjahjo-kumolo?recruiter=510338204&utm_source=share_petition&utm_medium=copylink&utm_campaign=share_petition
Senin, 29 Mei 2017
PEREDARAN NARKOTIKA
Salah satu strategi melemahkan suatu negara adalah melalui peredaran narkotika dan bahan adiktif berbahaya lainnya, sebab peredaran narkotika dan sejenisnya dapat merusak generasi penerus bangsa sehingga ketika generasi penerus bangsa tersebut sudah lemah maka akan mudah menguasai negara tersebut di kemudian hari. oleh karenanya peran serta masyarakat wajib dilakukan dalam upaya mencegah dan menanggulangi peredaran narkotika, sebab tanpa adanya peran serta masyarakat maka tidak akan mungkin dilakukan upaya mencegah dan menanggulangi peredaran narkotika tersebut. Hal ini dikarenakan peredaran narkotika tersebut melalui jaringan terputus yang tidak saling mengenal antara pengedar yang satu dengan pengedar yang lainnya. Dan, lingkup merekapun sangat tertutup, tidak sembarang orang dapat masuk dalam lingkaran peredaran narkotika tanpa dikenal oleh anggota yang sudah ada di dalamnya. Kita sebagai anggota masyarakat perlu mewaspadai tingkah laku ganjil dari seseorang maupun sekelompok orang yang berbuat sesuatu yang mencurigakan. Peran serta masyarakat dengan saling mengenal satu dengan yang lainnya akan mempersempit ruang gerak pelaku peredaran narkotika sehingga di kemudian hari peredaran narkotika dapat dikurangi bahkan diberantas. Semoga.
Rabu, 24 Mei 2017
RADIKALISME HUKUM
Disadari atau tidak, sebenarnya, dalam ilmu hukum (pidana), terdapat juga yang disebut RADIKALISME HUKUM. Secara singkat pengertian radikalisme hukum itu dapat diartikan sebagai pemahaman terhadap hukum yang tertulis (undang-undang) secara mutlak. Di kalangan hakim sendiri, radikalisme hukum ini dikenal dengan istilah HAKIM ADALAH CORONG UNDANG-UNDANG. Sebuah istilah yang bersifat eufimisme (sindiran) terhadap para hakim yang selalu (dan selalu) hanya berdasarkan ketentuan yang ada dalam undang-undang secara "sakelijk" atau mutlak dan beranggapan bahwa apa yang tercantum dalam undang-undang tersebut adalah benar, sehingga menyimpangi undang-undang berarti merupakan suatu pelanggaran hukum. Pemahaman yang demikian ini menyebabkan seorang (atau beberapa) hakim seakan menutup diri terhadap hukum dan rasa keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, sehingga menafikan bahwa hukum adalah sesuatu ilmu pengetahuan yang akan terus berkembang, sejalan dengan perkembangan jaman. Hukum (tertulis) yang dibuat lebih dari 50 tahun yang lalu tentunya sudah tidak akan sesuai keadaan masa sekarang, oleh karenanya bagi seorang SARJANA HUKUM khususnya para HAKIM hendaknya tidak "menutup mata dan telinga" terhadap perkembangan sosial disekitarnya yang sangat mungkin akan mempengaruhi hukum dan rasa keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Pengungkungan diri seorang SARJANA HUKUM (baca juga sebagai HAKIM) hanya akan menimbulkan suatu RADIKALISME dan pemahaman yang sempit terhadap suatu kejadian yang berakibat timbulnya kejahatan atau pelanggaran terhadap hukum. Seorang SARJANA HUKUM harus terus mengasah diri, baik secara formal maupun informal dengan tujuan untuk selalu meningkatkan kualitas keilmuannya sehingga semakin terbuka wawasan dan ilmu yang dimilikinya, sehingga bisa terhindarkan dari timbulnya suatu RADIKALISME HUKUM. SEMOGA.
Selasa, 23 Mei 2017
SARJANA HUKUM
Belajar mengenal hukum bisa melalui media apapun akan tetapi untuk dapat menjadi seorang praktisi di bidang hukum, termasuk juga menjadi seorang pengajar bidang hukum, satu-satunya jalan adalah dengan kuliah di Fakultas Hukum dan mendapatkan gelar SARJANA HUKUM. Gelar tersebut menjadi syarat mutlak bagi seseorang yang ingin menjadi seorang praktisi hukum, sedangkan seorang SARJANA HUKUM untuk dapat meningkatkan kualitas pendidikannya dapat melanjutkan pendidikan formalnya di Pendidikan Pasca Sarjana di Fakultas Hukum, baik itu untuk tingkat Strata 2 (S2/Magister Hukum) maupun Strata 3 (S3/Doktor Bidang Hukum). sedangkan untuk meningkatkan kualitas secara informal dapat dilakukan dengan mengikuti berbagai macam pelatihan di bidang hukum. Khusus di bidang Kenotariatan (Notaris), saat ini seorang SARJANA HUKUM yang ingin menjadi seorang Notaris, diwajibkan mengambil kuliah S2 bidang Kenotariatan, yang setelah lulus pendidikan dan mendapatkan gelar MKn (Magister Kenotariatan) diwajibkan menjalani magang selama kurang lebih 2 (dua) tahun di Kantor Notaris di tempat Calon Notaris tersebut bertempat tinggal. Dan setelah Kementerian Hukum dan HAM mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Notaris atas nama yang berangkutan, maka Calon Notaris tersebut akan dilantik di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM di wilayah Calon Notaris tersebut ditempatkan sesuai dengan SK Pengangkatan dan kemudian yang bersangkutan dapat membuka Kantor Notaris sendiri. Sedangkan terhadap seorang SARJANA HUKUM yang ingin menjadi ADVOKAT, maka yang bersangkutan diwajibkan mengikuti pendidikan yang dilakukan oleh Asosiasi Advokat dan setelah lulus dari pendidikan tersebut, maka diwajibkan magang selama kurang lebih 2 (dua) tahun di Kantor Advokat di tempat Calon Advokat tersebut bertempat tinggal. Pelantikan menjadi advokat dilakukan oleh Ketua Pengadilan Tinggi setempat dimana yang bersangkutan bertempat tinggal. Setelah dilantik, maka yang bersangkutan dapat beraktivitas sebagai Advokat / Lawyer dalam persidangan di pengadilan, baik pengadilan negeri, pengadilan agama maupun pengadilan tata usaha negara. Sedangkan bagi seorang SARJANA HUKUM yang ingin menjadi HAKIM, dapat mendaftarkan dirinya ketika Mahkamah Agung membuka pendaftaran Penerimaan CALON HAKIM, yang sayangnya sampai saat ini masih belum ada tanda-tanda penerimaan tersebut. Khusus untuk peradilan militer ditambah persyaratan yaitu telah aktif sebagai anggota militer. Setelah mendaftar, kemudian melalui tahapan pemeriksaan administrasi berupa pengecekan surat-surat yang berkaitan dengan syarat pendaftaran, kemudian yang persyaratan telah memenuhi syarat maka akan dipanggil untuk mengikuti rangkaian tes penerimaan yang terdiri dari tes tertulis dan tes wawancara. Bagi yang lulus tes penerimaan, maka akan ditempatkan di kantor pengadilan selama kurang lebih 2 (dua) tahun sebagai CALON HAKIM dan kemudian diikutsertakan dalam Pelatihan CALON HAKIM selama kurang lebih 6 (enam) bulan. Selesai pendidikan, maka akan dikembalikan lagi ke kantor pengadilan selama kurang lebih 2 (dua) tahun lagi. Setelah Surat Keputusan (SK) Pengangkatan sebagai HAKIM dikeluarkan dan ditandatangani oleh Presiden RI, maka CALON HAKIM tersebut akan ditempatkan sesuai dengan SK tersebut dan dilantik oleh Ketua Pengadilan setempat, baik itu pengadilan negeri, pengadilan agama, pengadilan tata usaha negara maupun pengadilan militer untuk selanjutnya berkarir secara aktif sebagai HAKIM. Demikian kurang lebih penjelasan apabila seseorang ingin berkarir di bidang hukum, tentu saja masih banyak bidang lain yang dapat diperankan oleh seorang SARJANA HUKUM.
Senin, 22 Mei 2017
POTONGAN PUZZLE
Proses penegakan hukum (PRO JUSTISIA) perkara pidana itu bagaikan menyusun kembali potongan PUZZLE yang terpisah satu sama lain. Dibutuhkan ketelitian dan kesabaran di dalam melakukannya sehingga tidak akan terlewat satupun puzzle yang ada. Ketidaktelitian menyebabkan terjadinya kesalahan dalam meletakkan puzzle tidak pada tempatnya sedangkan ketidaksabaran hanya akan membuat penyusunan puzzle tersebut tidak akan bisa berhasil. Oleh karena itu, dalam upaya penegakan hukum, dibutuhkan profesionalisme tingkat tinggi dari Aparatur Penegak Hukum, baik dari pihak Kepolisian, Kejaksaan, Hakim, maupun juga Advokat. Dan harus diingat bahwa Hakim bertugas untuk menggali dan menemukan hukum yang hidup dalam masyarakat dalam menyidangkan setiap perkara yang diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum berdasarkan pembuktian dan fakta hukum yang ditemukan dalam persidangan, sehingga dengan demikian kerja keras dari pihak Kepolisian dalam mengumpulkan bukti-bukti atas suatu perkara menjadi hal yang mutlak, yang kemudian bukti-bukti tersebut akan dibawa oleh Jaksa/Penuntut Umum di dalam persidangan untuk membuktikan terjadinya suatu tindak pidana. Peranan aktif dari Advokat dalam mendampingi tersangka di tingkat pemeriksaan di Kepolisian maupun Kejasaan dan mendampingi selama proses persidangan, terutama bagi tersangka maupun terdakwa yang tidak mampu secara financial, sangat dibutuhkan, demi membantu tersangka maupun terdakwa di dalam memahami pasal yang disangkakan maupun didakwakan terhadapnya. Inilah yang disebut bahwa proses penegakan hukum, khususnya hukum pidana, bagaikan menyusun potongan puzzle yang terpisah.
Kamis, 18 Mei 2017
KEKERASAN DI MUKA UMUM
Perihal kekerasan di muka umum telah diatur dalam ketentuan pasal 170 KUHP yang menyebutkan :
(1) Barangsiapa yang dimuka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan ;
(2) Tersalah dihukum :
1e. Dengan penjara selama-lamanya tujuh tahun, jika ia dengan sengaja merusakkan barang atau jika kekerasan yang dilakukannya itu menyebabkan luka ;
2e. Dengan penjara selama-lamanya sembilan tahun, jika kekerasana itu menyebabkan luka berat pada tubuh ;
3e. Dengan penjara selama-lamanya dua belas tahun, jika kekerasan itu menyebabkan matinya orang.
Penjelasan pasal ini secara singkat adalah sebagai berikut :
1. Yang dilarang dalam pasal ini ialah "Melakukan kekerasan". Apa yang dimaksudkan dengan KEKERASAN lihat catatan pada pasal 89 KUHP. Kekerasan yang dilakukan ini biasanya terdiri dari MERUSAK BARANG" atau "PENGANIAYAAN" akan tetapi dapat pula kurang daripada itu, sudah cukup misalnya bila orang-orang melemparkan batu kepada orang lain atau rumah, atau membuang-buang barang dagangan sehingga berantakan, meskipun tidak ada maksud yang tentu untuk menyakiti orang atau merusak barang itu ; "Melakukan kekerasan" dalam pasal ini bukan merupakan suatu alat atau daya upaya untuk mencapai sesuatu seperti halnya dalam pasal 146, 211, 212 KUHP dan lain-lainnya, akan tetapi merupakan suatu TUJUAN. Disamping itu TIDAK PULA MASUK KENAKALAN dalam pasal 489 KUHP, PENGANIAYAAN dalam pasal 351 KUHP dan merusak barang dalam pasal 406 KUHP dan sebagainya.
2. Kekerasan itu harus dilakukan BERSAMA-SAMA, artinya oleh sedikit-dikitnya DUA ORANG ATAU LEBIH. Orang-orang yang hanya mengikuti dan tidak benar-benar turut melakukan kekerasan tidak dapat dikenakan pasal ini.
3. Kekerasan itu ditujukan kepada ORANG atau BARANG. Hewan atau binatang masuk pula dalam pengertian barang. Pasal ini tidak membatasi bahwa orang (badan) atau barang itu harus KEPUNYAAN ORANG LAIN, sehingga MILIK SENDIRI masuk pula dalam pasal ini, meskipun tidak akan terjadi orang melakukan kekerasan terhadap diri atau barangnya sendiri sebagai tujuan, kalau sebagai ALAT atau DAYA UPAYA untuk mencapai suatu hal, mungkin bisa juga terjadi.
4. Kekerasan itu hasru dilakukan DIMUKA UMUM, karena kejahatan ini memang dimasukkan ke dalam golongan KEJAHATAN KETERTIBAN UMUM. Arti DIMUKA UMUM adalah DI TEMPAT PUBLIK DAPAT MELIHATNYA.
Senin, 15 Mei 2017
SERANGAN SIBER
Siapkah undang-undang ITE kita mengantisipasi serangan siber dari negara lain ? Pertanyaan tersebut harus bisa menjadi pemicu atau trigger terhadap upaya pemerintah dalam melindungi warga negaranya yang biasa menggunakan perangkat IT yang terkoneksi ke jaringan internet, sebab masih banyak lubang di dalam undang-undang ITE kita yang memungkinkan seseorang melakukan serangan siber dari luar wilayah hukum Indonesia. Harapan masyarakat sebenarnya mudah saja yaitu terlindunginya jaringan internet yang mereka gunakan dari berbagai macam serangan siber baik berupa virus maupun malware yang seringkali belum dipahami karena keterbatasan informasi dari pemerintah sebagai regulator penyelenggaraan jaringan internet di Indonesia. Pemerintah harus lebih aktif lagi dengan memperbaiki undang-undang yang ada, juga dengan aktif memberikan sosialisasi terhadap kemungkinan munculnya berbagai macam serangan siber dan aktif membantu masyarakat yang membutuhkan bantuan berupa pelindungan dalam penggunaan internet. Ini semua menjadi tantangan yang tidak mudah bagi pemerintah namun kita sebagai warga negara juga harus mendukung upaya pemerintah tersebut dengan ikut memperkuat dan memperbaiki jaringan internet yang kita miliki dan kita gunakan. Jangan mudah terprovokasi dengan berbagai informasi yang tidak jelas dan menyesatkan, lebih baik kita men "setting" hardware maupun software dari perangkat digital yang kita miliki dengan berbagai perlindungan dari serangan siber, misalnya dengan selalu meng "upgrade" baik software maupun anti virus yang kita miliki, sekaligus melaporkan apabila ada perilaku "daring" yang membahayakan perangkat-perangkat digital kita. Semoga apa yang kita lakukan bisa bermanfaat bagi kita sendiri dan juga mendorong pemerintah melakukan upaya seoptimal mungkin dalam perlindungan jaringan internet di Indonesia.
Selasa, 09 Mei 2017
HAPUSNYA HUKUMAN
Hapusnya hukuman adalah sebagaimana diatur dalam pasal 83 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyebutkan : "Hak menjalankan hukuman hapus karena si terhukum meninggal dunia."
Secara singkat penjelasan pasal ini adalah "Disini yang hapus adalah hak menjalankan hukuman (strafexecutie). Jika orang setelah dengan vonis dijatuhi pidana kemudian meninggal dunia, maka hukuman itu tidak dijalankan lagi kecuali dalam hal pelanggaran tentang penghasilan Negara dan cukai, dalam hal denda, perampasan barang dan ongkos perkara yang ada dapat ditagihkan kepada ahli warisnya."
Pasal ini secara eksplisit mengatur bahwa dengan meninggalnya seorang Terpidana, maka hapus pula pidana yang ditanggungnya, akan tetapi terhadap pidana tambahan berupa denda, perampasan harta atau uang pengganti (dalam perkara tindak pidana korupsi) dapat ditagihkan kepada ahli warisnya melalui mekanisme gugatan perdata.
Secara singkat penjelasan pasal ini adalah "Disini yang hapus adalah hak menjalankan hukuman (strafexecutie). Jika orang setelah dengan vonis dijatuhi pidana kemudian meninggal dunia, maka hukuman itu tidak dijalankan lagi kecuali dalam hal pelanggaran tentang penghasilan Negara dan cukai, dalam hal denda, perampasan barang dan ongkos perkara yang ada dapat ditagihkan kepada ahli warisnya."
Pasal ini secara eksplisit mengatur bahwa dengan meninggalnya seorang Terpidana, maka hapus pula pidana yang ditanggungnya, akan tetapi terhadap pidana tambahan berupa denda, perampasan harta atau uang pengganti (dalam perkara tindak pidana korupsi) dapat ditagihkan kepada ahli warisnya melalui mekanisme gugatan perdata.
Senin, 08 Mei 2017
PENGERTIAN PENYIDIK
Pengertian Penyidik adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyebutkan :
"Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan."
Dari ketentuan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa selain pejabat kepolisian negara Republik Indonesia, maka pejabat pegawai negeri sipil tertentu dapat diberikan tugas berdasarkan undang-undang dapat melakukan penyidikan. Contoh mudah dari ketentuan ini adalah Jaksa, yang dalam perkara-perkara tertentu juga diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan, misalkan dalam perkara tindak pidana korupsi, sehingga dalam upaya pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), para penyidiknya terdiri dari unsur kepolisian dan kejaksaan yang diperbantukan menjalankan tugas-tugas KPK. Sampai saat ini KUHAP tidak memberikan ruang bagi penyidik swasta sebagaimana banyak dilakukan pada sistem hukum acara di beberapa negara, sebab tugas-tugas penyidikan merupakan tugas yang berat dalam upaya mencari alat bukti terhadap suatu tindak pidana yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di persidanga, sehingga dibutuhkan kinerja yang dapat dipertanggungjawabkan.
Kamis, 04 Mei 2017
5 W & 1 H
5 W & 1 H
Hari ini sejenak kita merenungkan bahwa sebenarnya ada persamaan antara pembuatan sebuah putusan dengan penulisan jurnalistik, yaitu sama-sama menggunakan metode penulisan berdasarkan 5 W dan 1 H, yaitu WHO, WHAT, WHEN, WHERE, WHY dan HOW.
1. WHO, setiap putusan baik itu perdata maaupun pidana, pada pokoknya memuat identitas dari pihak yang bersengketa dalam perkara perdata maupun identitas Terdakwa dalam perkara pidana. Ketika seorang Hakim tidak mempertimbangkan mengenai identitas ini yang dalam istilah asing disebut dengan WHO, maka dapat dipastikan bahwa Hakim tersebut kurang cermat dalam membuat pertimbangan dalam putusan yang dapat menyebabkan ERROR IN PERSONA atas putusan yang dibuatnya sehingga (dalam perkara pidana) sesuai dengan pasal 197 ayat (2) dapat menyebabkan putusan batal demi hukum dan apabila seorang Hakim dianggap kurang cernat di dalam mempertimbangkan identitas yang ada dalam putusannya maka dapat dikatakan bahwa Hakim tersebut tidak profesional di dalam melakukan tugas-tugasnya. Oleh sebab itu, maka dipelukan kehati-hatian dan kecermatan dari Hakim di dalam mempertimbangkannya.
2. WHAT, dapat diartikan sebagai apa yang terjadi sehingga terjadi suatu tindak pidana atau suatu perbuatan melawan hukum. Dalam perkara pidana, akan terpapar dalam Dakwaan Penuntut Umum sedangkan dalam perkara pidana akan dijabarkan dalam Surat Gugatan Penggugat. Hakim harus cermat dan jeli melakukan analisa yang dituangkan dalam putusananya, dengan melihat fakta yang terungkap dalam persidangan.
3. WHEN, diartikan sebagai waktu kejadian (tempus delicti) dari tindak pidana atau perbuatan melawan hukum. Fakta persidangan akan membuktikan apakah benar dalil tempus delicti adalah sama dengan yang ada dalam Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum atau Surat Gugatan Penggugat.
4. WHERE, diartikan sebagai tempat kejadian (locus delicti) dari tindak pidana atau perbuatan melawan hukum. Fakta persidangan akan membuktikan apakah benar dalil locus delicti adalah sama dengan yang ada dalam Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum atau Surat Gugatan Penggugat.
5.WHY, adalah alasan kenapa Terdakwa melakukan tindak pidana atau Tergugat melakukan perbuatan yang merugikan Penggugat. Kebenaran pembuktiannya akan sangat tergantung dari penilai Hakim yang menyidangkannya.
6. HOW, yaitu bagaimana cara suatu tindak pidana dilakukan oleh Terdakwa atau suatu perbuatan yang merugikan Penggugat dilakukan oleh Tergugat.
Pembuktian keenam unsur tersebut membutuhkan kejelian, kecermatan dan kehati-hatian dari Hakim yang menyidangkannya, mengingat nasib para pencari keadilan ada di tangan Hakim sebagai representasi Negara di dalam menegakan hukum dan keadilan.
Hari ini sejenak kita merenungkan bahwa sebenarnya ada persamaan antara pembuatan sebuah putusan dengan penulisan jurnalistik, yaitu sama-sama menggunakan metode penulisan berdasarkan 5 W dan 1 H, yaitu WHO, WHAT, WHEN, WHERE, WHY dan HOW.
1. WHO, setiap putusan baik itu perdata maaupun pidana, pada pokoknya memuat identitas dari pihak yang bersengketa dalam perkara perdata maupun identitas Terdakwa dalam perkara pidana. Ketika seorang Hakim tidak mempertimbangkan mengenai identitas ini yang dalam istilah asing disebut dengan WHO, maka dapat dipastikan bahwa Hakim tersebut kurang cermat dalam membuat pertimbangan dalam putusan yang dapat menyebabkan ERROR IN PERSONA atas putusan yang dibuatnya sehingga (dalam perkara pidana) sesuai dengan pasal 197 ayat (2) dapat menyebabkan putusan batal demi hukum dan apabila seorang Hakim dianggap kurang cernat di dalam mempertimbangkan identitas yang ada dalam putusannya maka dapat dikatakan bahwa Hakim tersebut tidak profesional di dalam melakukan tugas-tugasnya. Oleh sebab itu, maka dipelukan kehati-hatian dan kecermatan dari Hakim di dalam mempertimbangkannya.
2. WHAT, dapat diartikan sebagai apa yang terjadi sehingga terjadi suatu tindak pidana atau suatu perbuatan melawan hukum. Dalam perkara pidana, akan terpapar dalam Dakwaan Penuntut Umum sedangkan dalam perkara pidana akan dijabarkan dalam Surat Gugatan Penggugat. Hakim harus cermat dan jeli melakukan analisa yang dituangkan dalam putusananya, dengan melihat fakta yang terungkap dalam persidangan.
3. WHEN, diartikan sebagai waktu kejadian (tempus delicti) dari tindak pidana atau perbuatan melawan hukum. Fakta persidangan akan membuktikan apakah benar dalil tempus delicti adalah sama dengan yang ada dalam Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum atau Surat Gugatan Penggugat.
4. WHERE, diartikan sebagai tempat kejadian (locus delicti) dari tindak pidana atau perbuatan melawan hukum. Fakta persidangan akan membuktikan apakah benar dalil locus delicti adalah sama dengan yang ada dalam Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum atau Surat Gugatan Penggugat.
5.WHY, adalah alasan kenapa Terdakwa melakukan tindak pidana atau Tergugat melakukan perbuatan yang merugikan Penggugat. Kebenaran pembuktiannya akan sangat tergantung dari penilai Hakim yang menyidangkannya.
6. HOW, yaitu bagaimana cara suatu tindak pidana dilakukan oleh Terdakwa atau suatu perbuatan yang merugikan Penggugat dilakukan oleh Tergugat.
Pembuktian keenam unsur tersebut membutuhkan kejelian, kecermatan dan kehati-hatian dari Hakim yang menyidangkannya, mengingat nasib para pencari keadilan ada di tangan Hakim sebagai representasi Negara di dalam menegakan hukum dan keadilan.
Rabu, 03 Mei 2017
PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA PADA TINGKAT KASASI
Pemeriksaan pada tingkat kasasi dalam perkara pidana telah diatur dalam pasal 253 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan materi yang diperiksa oleh Majelis Hakim tingkat kasasi adalah sebagaimana diatur dalam ayat (1) yang menyebutkan :
"Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam pasal 244 dan pasal 248 guna menentukan :
a. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya ;
Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut kententuan undang-undang ;
c. Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya ?
Penjelasan singkat atas ketentuan pasal 253 ayat (1) KUHAP ini adalah sebagai berikut :
* Bahwa Mahkamah Agung sebagai Judex Jurist hanya memeriksa penerapan hukum yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi sebagai Judex Facti ;
* Oleh karena Mahkamah Agung sebagai Judex Jurist, maka Mahkamah Agung tidak lagi memeriksa fakta yang terungkap dalam persidangan, akan tetapi hanya memeriksa apakah ketentuan hukum yang ada telah diterapkan sebagaimana mestinya terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan tersebut ;
* Meski demikian, apabila pemohon kasasi dalam memori kasasinya dapat mendalilkan bahwa terdapat fakta hukum yang terungkap dalam persidangan akan tetapi tidak dipertimbangkan oleh Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi, maka Mahkamah Agung dapat pula mempertimbangkan fakta hukum yang belum dipertimbangkan tersebut.
"Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam pasal 244 dan pasal 248 guna menentukan :
a. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya ;
Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut kententuan undang-undang ;
c. Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya ?
Penjelasan singkat atas ketentuan pasal 253 ayat (1) KUHAP ini adalah sebagai berikut :
* Bahwa Mahkamah Agung sebagai Judex Jurist hanya memeriksa penerapan hukum yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi sebagai Judex Facti ;
* Oleh karena Mahkamah Agung sebagai Judex Jurist, maka Mahkamah Agung tidak lagi memeriksa fakta yang terungkap dalam persidangan, akan tetapi hanya memeriksa apakah ketentuan hukum yang ada telah diterapkan sebagaimana mestinya terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan tersebut ;
* Meski demikian, apabila pemohon kasasi dalam memori kasasinya dapat mendalilkan bahwa terdapat fakta hukum yang terungkap dalam persidangan akan tetapi tidak dipertimbangkan oleh Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi, maka Mahkamah Agung dapat pula mempertimbangkan fakta hukum yang belum dipertimbangkan tersebut.
Langganan:
Postingan (Atom)
DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN
Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...
-
SOAL DAN JAWABAN MATA KULIAH PERBANDINGAN HUKUM PIDANA OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH [1] 1. Jelaskan Sejarah Perkem...
-
PERTANYAAN MENGENAI TEORI HUKUM 1. Antara Teori Hukum dan Filsafat Hukum terdapat kaitan walaupun lingkupnya berbeda, kupa...
-
Renungan Awal Pekan (07042015) MAKALAH HUKUM “FILOSOFI SISTEM HUKUM DI INDONESIA” OLEH : H. SANTHOS WACHJOE PRIJAMBODO, SH.MH BAB I PENDAHU...