Kamis, 28 Mei 2015

FLYING WITHOUT WINGS

Renungan Akhir Pekan (28052015) :
    FLYING WITHOUT WINGS
Penugasan seorang Hakim pada suatu wilayah di seluruh Indonesia tidak menutup kemungkinan Hakim tersebut akan tinggal berjauhan dengan keluarganya, meskipun banyak juga Hakim yang selalu membawa keluarga ke tempat tugas yang baru. Di samping itu mengingat rentang jarak dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sedekian luas, terbentang dari Sabang sampai Merauke, membuat penugasan para Hakim harus mengandalkan sarana transportasi udara demi menghemat waktu meskipun belum tentu menghemat biaya.
Dapat dibayangkan betapa jauhnya jarak apabila seorang Hakim yang berasal dari Pulau Sumatera yang harus bertugas di wilayah Indonesia timur, demikian pula sebaliknya, sehingga kiranya sarana transportasi udara menjadi pilihan utama bagi sebagian besar Hakim yang akan menjalankan tugas di tempat tugas yang baru.
Pekan ini telah terbit pemutasian dan promosi bagi Hakim-Hakim Indonesia, yang secara tidak langsung dapat dikatakan akan terjadi "EKSODUS" besar-besaran dari para Wakil Tuhan menuju tempat tugas yang baru, mengingat ada sekitar 300 Hakim yang mendapatkan mutasi dan promosi di tempat yang baru.
Penggunaan transportasi udara bagi para Wakil Tuhan tersebut membuat para Hakim bagaikan TERBANG TANPA SAYAP (FLYING WITHOUT WINGS) mengingat jauhnya jarak tempat tugas yang lama menuju tempat tugas yang baru demi menghemat waktu atau jauhnya jarak tempat tugas dengan tempat kediaman keluarga para Hakim tersebut.
Meski demikian pengorbanan para Yang Mulia tersebut kiranya perlu mendapat perhatian dari para pemimpin Negara, dalam hal ini adalah dari senior-senior kita yang ada di Mahkamah Agung. Perhatian tersebut dapat berbentuk besarnya nominal uang jalan bagi proses mutasi dan promosi tersebut dan juga pertimbangan agar Hakim yang mendapatkan mutasi dan promosi tersebut dapat melakukannya bersama-sama dengan keluarganya, atau setidak-tidaknya pemindahan dan promosi Hakim tersebut tidak terlalu jauh dari keluarga yang dicintainya. Hal lain yang harus mendapat perhatian adalah kesempatan bagi putra-putri para Hakim tersebut untuk bisa mendapatkan kesempatan bersekolah di sekolah dengan kualitas yang baik di tempat yang baru, sehingga kiranya IKAHI dapat menjembatani hal tersebut dengan membuat MOU atau sejenisnya dengan Kementrian Pendidikan Dasar dan Menengah demi mengatasi kesenjangan pendidikan bagi putra-putri para Hakim dan berpindah tugas dan mendapatkan promosi.
Akhirul kalam, selamat bertugas bagi rekan-rekan Hakim yang mendapatkan mutasi dan promosi semoga menjadi barokah bagi rekan-rekan Hakim semua, Amin.

Senin, 25 Mei 2015

JURUMETRI

Renungan Awal Pekan (25052015) :
 PENGGUNAAN JURIMETRI DALAM BIDANG HUKUM
Sebuah tulisan menarik dari makalah dari RONNI HANITIJO SOEMITRO, SH, dalam bukunya PERMASALAHAN HUKUM DI DALAM MASYARAKAT, Penerbt Alumni Bandung Tahun 1984 tentang JURIMETRI yang mulai diperkenalkan pada tahun 1949 oleh Lee Loevinger. Jurimetri ini yang dimaksud adalah penyelidikan ilmia (scientific investigation) mengenai persoalan-persoalan hukum yang dipusatkan pada 3 masalah pokok yaitu : 1. penyimpanan dan penemuan kembali data hukum secara elektronik ; 2. Analisa secara elektronis terhadap dokumen-dokumen hukum, pelaksanaan administrasi hukum secara elektronik dan analisa tingkah laku terhadap cara-cara menetapkan keputusan hukum dan 3. Penggunaan metode kwantitatif di dalam pelaksanaan hukum termasuk di dalamnya di dalamnya penggunaan statistik, model-model matematik dan simulasi.
Lebih lanjut disebutkan bahwa pengolahan data secara elektronis berkembang sebagai akibat dari sangat cepat bertambahnya bahan-bahan yang harus diolah dan dianalisa sehingga tidak memungkinkan lagi untuk melaksanakannya dengan cara yang biasa dilakukan.
Di Indonesia, meskipun tidak secara keseluruhan, akan tetapi Mahkamah Agung Republik Indonesia telah melakukan penggunaan jurumetri di dalam sistem administrasi di Kantor Pengadilan, mulai dari tingkat Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi sampai ke Pengadilan Tingkat Pertama di 4 lingkungan peradilan yang ada. Apabila kita cermati di dalam CETAK BIRU PEMBARUAN PERADILAN 2010 - 2035 yang disusun oleh Mahkamah Agng Republik Indonesia pada tahun 2010, telah melaksanakan sistem jurumetri di dalam pelaksanaan proses persidangan dalam rangka pengawasan yang leboh optimal, sebagaimana tercantum di dalam angka 10 upaya-upaya perbaikan untuk mewujudkan badan peradilan Indonesia yang Agung, yang menyebutkan, "MODERN DENGAN BERBASIS TI (TEKHNOLOGI INFORMASI) TERPADU."
Penggunaan TI mau tidak mau harus dilakukan mengingat beban kerja di lingkunganus di peradilan di Indonesia begitu menumpuk dan akan selalu bertambah dari hari ke hari. Belum lagi kualitas sumber daya manusia maupun kualitas dan kuantitas yang ada yang juga harus ditingkatkan. Meskipun juga harus dipahami pula, bahwa penggunaan TI tidak secara otomatus meningkatkan kualitas kerja dari penggunanya (user) akan tetapi keberadaan TI semakin dibutuhkan demi meringankan beban kerja yang ada.
Dari Cetak Biru Pembaruan Peradilan tersebut sebetulnya dapat digarisbawahi bahwa Mahkamah Agung menghendaki kiranya dalam tempo 25 tahun segala urusan administrasi di pengadilan dilakukan tanpa menggunakan kertas (paperless) sehingga dapat menghemat penggunaan anggaran DIPA yang peruntukannya dapat digunakan untuk keperluan lain, selain juga mengurangi beban kerja dari petugas pengadilan, baik itu pegawai yang bertugas mengisi segala macam resgister, maupun panitera pengganti dan juga Hakim yang melakukan proses persidangan. Mungkin, di masa depan, putusan Hakim hanya berbentuk CD atau alat yang lain yang tidak perlu menggunakan kertas, demikian juga Berita Acara Sidang yang hanya menggunakan aplikasi TI, sehingga berkas suatu perkara tidak berbentuk tumpukan kertas, yang belum tentu akan dibaca secara menyeluruh.
Kiranya, upaya Mahkamah Agung Republik Indonesia perlu kita dukung dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat khususnya bagi masyarakat pencari keadilan.

Kamis, 21 Mei 2015

HUMANITY AND HUMAN RIGHTS

Renungan Akhir Pekan (21052015)
   HUMANITY ABOVE THE LAW
Sebagaimana kita telah ketahui bersama bahwa salah satu tujuan hukum adalah keadilan bagi masyarakat, tentunya kita juga harus memahami bahwa tidak semua persoalan harus diselesaikan melalui ranah hukum. Saat ini dunia (termasuk Indonesia, tengah dihebohkan dengan mengalirnya "manusia perahu" jilid II, yang merupakan pelarian dari masyarakat Rohingya dari Myanmar. Mereka disebut sebagai manusia perahu mengingat jalan pelarian mereka dari negara asal adalah dengan menggunakan kapal-kapal kecil, yang tidak semestinya digunakan untuk berlayar dalam jangka waktu yang lama dan jarak yang sedemikian jauh, ditambah dengan jumlah penumpang dari kapal-kapa kecil tersebut yang "overload" atau melebihi kapasitas yang seharusnya dapat ditampung dalam kapal tersebut.
Apabila kita menerapkan secara kaku ketentuan-ketentuan dalam UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, tentunya Indonesia mempunyai hak untuk menolak menerima dan menampung "manusia perahu" tersebut. Dalam pasal 1 angka 1 UU Nomor 6 Tahun 2011 disebutkan "Keimigrasian  adalah  hal  ihwal  lalu  lintas  orang  yang
masuk  atau  keluar  Wilayah  Indonesia  serta pengawasannya  dalam  rangka  menjaga  tegaknya kedaulatan negara". Pada pasal 1 angka 3 lebih ditegaskan lagi mengenai fungsi keimigrasian yaitu "Fungsi  Keimigrasian  adalah  bagian  dari  urusan pemerintahan  negara  dalam  memberikan   pelayanan Keimigrasian,  penegakan  hukum,  keamanan  negara, dan  fasilitator  pembangunan  kesejahteraan masyarakat". Dari ketentuan-ketentuan tersebut apabila kita bertindak secara "letterlijk" atau kaku sesuai aturan perundang-undangan, maka Indonesia memiliki hak yang mutlak untuk menolak kedatangan "manusia perahu" tersebut dan mengirimnya kembali ke perairan internasional, sebab kedatangan mereka tanpa dilengkapi dengan dokumen keimigrasian dari negara asal dan tanpa adanya izin untuk memasuki wilayah negara lain. Akan tetapi keberadaan hukum ini "sedikit" dapat dikesampingkan apabila kita mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan yang sudah menjadi nilai-nilai universal yang diakui dalam Piagam PBB dimana Indonesia menjadi salah satu anggotanya yang mengakui dan melindungi hak asasi manusia tanpa memandang suku, agama, ras, bahasa dan jenis kelamin.
Keberadaan "manusia perahu" dari Myamnar tersebut tentu bukan tanpa sebab, akan tetapi apapun sebab yang mengakibatkan mereka melakukan pelarian sampai di negara lain, memunculkan kewajiban bagi negara yang didatangi, baik sebagai negara persinggahan maupun negara tujuan. Selama ini Indonesia lebih sering dijadikan negara persinggahan dari masyarakat dari negara lain yang melakukan pelarian atau pengungsian, sebagaimana kita ingat kejadian :"manusia perahu" jilid I yaitu masyarakat dari Vietnam yang melarikan diri akibat terjadinya perang di negaranya di sekitar tahun 1970 - 1980 dan Indonesia menyedikan Pulau Galang sebagai tempat penampungan sementara. Kejadian berulang saat ini dan sudah selayaknya Indonesia memberikan bantuan yang dibutuhkan setidaknya sampai orang-orang tersebut dapat berpikir secara jernih untuk mencari penghidupan yang baru. Ketiadaan dokumen keimigrasian untuk sementara dapat dikesampingkan demi keselamatan "manusia perahu" tersebut. Kiranya memang harus dipahami bahwa nilai-nilai kemanusian, dalam hal-hal tertentu harus dikedepankan daripada penegakan hukum secara kaku yang hanya akan mengakibatkan sirnanya kemanfaatan dari adanya hukum. Hukum memang harus tetap ditegakkan, dalam hal ini adalah mengenai keimigrasian, tetapi dalam keadaan "force majeur" penegakan hukum harus diselaraskan dengan keadaan yang ada. Keberadaan "manusia perahu" dari Myanmar di Indonesia bukanlah karena kehendak mereka untuk datang beramai-ramai ke Indonesia tanpa dokumen keimigrasian, akan tetapi karena adanya keadaan yang memaksa di negaranya yang membuat mereka harus melarikan diri dari negaranya dan terkatung-katung selama berhari-hari di tengah laut dan secara kebetulan perahu-perahu mereka mendekat dan memasuki perairan Indonesia.
Oleh karena itu para penegak hukum, dalam hal ini aparat keimigrasian harus memiliki kepekaan yang mendalam mengenai nilai-nilai kemanusiaan sehingga dapat memberikan pelayanan di dalam melindungi hak asasi manusia tanpa harus mengorbankan kedaulatan dan hukum negara.

Senin, 18 Mei 2015

PENAFSIRAN UNDANG-UNDANG

Renungan Awal Pekan (18052015) :
    CUKUP JELAS
Sebuah kalimat yang sering terbaca di dalam penjelasan sebuah Undang-Undang, yang seringkali kali membuat kita "mengerinyitkan dahi" ketika kita harus memahami arti dari sebuah pasal yang ada di dalam Undang-Undang tersebut.
Apabila kita cermati, maka akan tampak jelas, bahwa produk Undang-Undang hasil karya bangsa Indonesia selalu memuat kata CUKUP JELAS di dalam penjelasan atas Undang-Undang tersebut. Hal ini berakibat bukan hanya bisa membingungkan terhadap setiap orang yang membacanya namun juga membuka peluang MULTI TAFSIR atas sebuah atau beberapa pasal yang termuat dalam sebuah Undang-Undang yang hanya mencantumkan kata CUKUP JELAS. Apabila hanya membuat bingung pembacanya, tentu pembaca tersebut bisa menanyakan kepada orang yang memahami Undang-Undang, akan tetapi apabila kata CUKUP JELAS akan menimbulkan MULTI TAFSIR, utamanya dari para Ahli Hukum, bisa berakibat visi dan misi dari dibuatnya sebuat Undang-Undang tidak tercapai sehingga bukan hanya kepastian hukum yang akan dikorbankan akan tetapi juga rasa keadilan dalam masyarakat juga ikut dipertaruhkan. Hal tersebut dikarenakan sebuah Undang-Undang yang memuat kata CUKUP JELAS di dalam penjelasannya dapat digunakan atau diartikan hanya yang menguntungkan bagi pihak-pihak tertentu saja dengus dan mengabaikan hak-hak dari pihak lain yang dirugikan atas perbuatannya.
Sedkit menengok ke belakang, kita dapat membaca (salah satunya) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang harus diakui sebagai "produk impor" dari pemerintahan Kolonial Belanda. Tidak perlu membaca keseluruhan dari yang ada dalam KUHP tersebut, kiranya cukup kita membaca ketentuan pasal 351 ayat (1) sebagai perbandingan. Di dalam Memorie van Toetlichting (penjelasan) dalam pasal 351 ayat (1) tidak menyebutkan arti dari PENGANIAYAAN (MISHANDELING) tetapi MvT dari pasal tersebut menunjuk kepada Yurisprudensi yang telah mengatur mengenai pengertian PENGANIAYAAN. Dari hal tersebut kiranya jelas bagi kita bahwa pembentuk Undang-Undang, dalam hal ini adalah KUHP, tidak melakukan "CUCI TANGAN" terhadap apa yang telah dibuatnya tetapi tetap mengacu kepada pengertian secara akademik yang tercantum di dalam Yusrisprudensi. Hal lain yang terlihat adalah bahwa para pembentuk Undang-Undang di masa lampau selalu mempelajari terlebih dahulu apakah kiranya suatu peraturan telah diatur atau disebutkan sebelumnya, baik dalam peraturan perundang-undangan maupun di dalam yurisprudensi maupun di dalam doktrin (teori), sehingga produk yang dihasilkan terbaca dengan jelas maksud dan tujuannya.Disinilah terlihat jelas kualitas pembentuk Undang-Undang di masa lampau, khususnya di era kolonial Belanda dengan para pembentuk Undang-Undang setelah kemerdekaan, meski tetap harus diapresiasi segala produk perundang-undangan yang telah dihasilkan.
Kemudian, apabila sebuah atau beberapa pasal dalam sebuah Undang-Undang di dalam penjelasannya hanya menyebutkan CUKUP JELAS sehingga menimbulkan MULTI TAFSIR, maka kiranya Hakim dapat menjadi rujukan dalam bentuk PUTUSAN yang baik sehingga suatu saat nanti PUTUSAN tersebut dapat menjadi YURISPRUDENSI dalam rangka mengisi kekosongan penafsiran terhadap suatu Undang-Undang. Sedangkan bagi Hakim sendiri kiranya harus tetap mendalami seluruh doktri atau teori hukum yang ada sehingga dapat MENJAWAB kekosongan penafsiran dari suatu Undang-Undang, mengingat Hakim dianggap sebagai orang yang paham hukum (dalam hal ini adalah Undang-Undang) meskipun Hakim tersebut belum membaca Undang-Undang yang menjadi sengketa suatu perkara, baik pidana maupun perdata. Diperlukan kecermatan dan kehati-hatian dari Hakim di dalam menganalisa suatu Undang-Undang sehingga bisa menghasilkan suatu PUTUSAN yang dapat menjawab kekosongan penafsiran suatu Undang-Undang.


Rabu, 13 Mei 2015

TERTIB ADMINISTRASI

Sudah selesaikah minutasi perkara anda?
Sekedar mengingatkan bahwa akhir bulan dan akhir tahun telah menjelang, sehingga terhadap perkara-perkara yang belum selesai minutasinya, harus disegerakan, sehingga tidak mengganjal dalam laporan bulanan maupun laporan tahunan.
Tertib administrasi adalah salah satu dari catur tertib yang dicanangkan oleh mendiang mantan Menteri Kehakiman era 90an, kiranya masih relevan apabila diterapkan sampai saat ini, sehingga menjadi badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung benar-benar mewujudkan Peradilan Yang Agung sebagaimana visi dari Mahkamah Agung itu sendiri.

PUTUSAN ADALAH MAHKOTA HAKIM

Tentu tidak mudah bagi para pencari keadilan untuk menerima setiap putusan Hakim, akan tetapi sepanjang putusan Hakim tersebut didasari oleh pertimbangan-pertimbangan berdasarkan fakta yang ditemukan selama persidangan kemudian didasarkan pada peraturan perundangan yang menjadi dasar penjatuhan putusan, tentunya putusan tersebut dapat dipertanggungjawabkan, meskipun ada upaya hukum baik itu banding, kasasi maupun peninjauan kembali.
yang tidak kalah penting adalah hati nurani Hakim tersebut di dalam menjatuhkan putusan sehingga menjadikan suatu putusan bisa menjadi MAHKOTA bagi Hakim tersebut.

HUKUM & MASYARAKAT (PENUTUP)

Renungan Akhir Pekan (13052015) :
   HUKUM & MASYARAKAT (Penutup)
Membicarakan mengenai Hukum dan Masyarakat tentunya akan termasuk di dalamnya adalah dinamika perkembangan masyarakat yang selalu berubah. Pola pemikiran dan pemahaman masyarakat terhadap hukum juga dengan sendirinya akan berubah atau setidaknya mengalami perubahan seiring dengan perubahan masyarakat itu sendiri.
Rakyat Indonesia yang pada 17 Agustus 1945 telah mengikatkan diri, yang bisa disebut sebagai KONTRAK SOSIAL (du contract sociale) sebagai satu kesatuan di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, telah menyatakan sebagai bangsa dan negara yang merdeka, termasuk di dalamnya adalah kemerdekaan dan kemandirian di bidang Hukum. Walaupun dalam kenyataannya (de facto) bahwa masih banyak peraturan perundang-undangan yang merupakan produk pemerintahan Kolonial Belanda, namun sudah saatnya masyarakat Indonesia memiliki dan membuat peraturan perundang-undangan di dalam suatu SISTEM HUKUM yang didasarkan kepada PANCASILA, yang merupakan GRUNDNORM atau NORMA DASAR dari setiap peraturan yang ada di Indonesia. PANCASILA sebagai kristalisasi dari nilai-nilai filosofis bangsa Indonesia seharusnya menjadi JIWA dari setiap peraturan hukum, khususnya hukum tertulis yang ada di Indonesia, namun sangat disayangkan bahwa banyak peraturan hukum tertulis yang dibuat pada saat ini lebih mengedepankan pada nilai-nilai yang berasal dari luar. Pembuat Undang-Undang lebih banyak MENYADUR nilai-nilai LIBERALISME dan/atau nilai-nilai yang dianut oleh negara-negara barat. Segala yang ada di negara barat dianggap sebagai sesuatu yang harus selalu diikuti, meskipun sejatinya nilai-nilai tersebut sangat bertentangan dengan nilai-nilai dalam PANCASILA.
Harus dipahami juga bahwa semakin maju peradaban manusia, dimungkinkan terdapat KEMUNDURAN, setidaknya dalam hal MORAL, AKHLAK dan PERILAKU, sehingga segala hal yang terjadi di luar Indonesia, tidak otomatis harus diterapkan di Indonesia. Akan tetapi mirisnya hal tersebut sudah sering terjadi, utamanya di dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Dengan dalih kebebasan persaingan usaha, akhirnya menyebabkan UU yang mengaturnya mematikan perekonomian masyarakat menengah ke bawah, dengan dalih HAM, ramai-ramai MENOLAK pidana mati para bandar narkotika, meskipun hak hidup dan kehidupan merupakan hak setiap manusia, akan tetapi apakah para bandar narkotika tersebut pernah memikirkan akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya ? Rasanya tidak, karena yang ada dalam otak mereka hanyalah keuntungan besar yang bersifat sesaat tanpa memikirkan orang lain yang menggunakan narkotika yang mereka edarkan, tanpa mereka memikirkan sedih, tangis dan susah payahnya para orang tua dan keluarga yang anggota keluarganya menjadi pecandu narkotika, mereka juga tidak pernah memikirkan besarnya biaya yang harus Negara tanggung untuk melakukan rehabilitasi bagi pecandu narkotika. Sekali lagi, para bandar dan pengedar narkotika TIDAK PERNAH MEMIKIRKAN hal-hal tersebut, yang ada hanyalah keuntungan duniawi sesaat. Demikian juga dengan pelaku TIPIKOR, demi alasan persamaan di muka hukum, mereka masih berani tersenyum di depan media, meskipun itu juga merupakan hak bagi mereka, akan tetapi hasil dari TIPIKOR yang mereka lakukan menyebabkan kelumpuhan bagi bangsa ini yang sedang membangun. Dapat dibayangkan apabila 1 orang melakukan korupsi, tidak usah terlalu besar, 1 Milyar rupiah saja, berapa banyak gedung sekolah yang dapat diperbaiki dengan uang tersebut atau berapa banyak perbaikan jalan yang dapat dilakukan, oleh karenanya dalam pandangan penulis, korupsi lebih berbahaya daripada terorisme karena terorisme paling banyak hanya membunuh ratusan orang tetapi korupsi, bisa membunuh (secara tidak langsung) hak dan kehidupan dari ribuan orang.
Jadi kiranya mulai saat ini masyarakat kembali harus disadarkan bahwa bangsa kita memiliki nilai-nilai yang luhur ang tercantum di dalam PANCASILA karena pendiri bangsa ini sangat mencintai negara ini dan sangat menginginkan peri kehidupan kebangsaan yang semakin sejahtera. Hal ini salah satunya dapat dilakukan dengan membentuk peraturang perundang-undangan yang mengatur peri kehidupan kebangsaan Indonesia, dengan mendasarkan dan dijiwai oleh nilai-nilai dalam PANCASILA, setidaknya salah satu dari kelima sila dala PANCASILA dapat teraplikasikan di dalam peraturang perundang-undangan yang dibentuk sehingga peraturan perundang-undangan tersebut dapat menggantikan kedudukan peraturan perundang-undangan WARISAN dari pemerintah Kolonial Belanda, yang tentu saja nilai-nilai fislosofisnya tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam PANCASILA.

Senin, 11 Mei 2015

ANGER MANAGEMENT

ANGER MANAGEMENT
Maaf kalau saya salah menuliskan kalimatnya karena saya juga belum paham betul tentang bahasa inggeris. Saya berpikir ulang setelah menyaksikan tayangan Indonesia Lawak Klub (ILK) tadi malam di salah satu televisi swasta kita, maaf kalau saya lebih suka nonton Indonesia Lawak Klub (ILK) daripada Indonesia Lawyers Club (ILC).
Yang menjadi poin pembahasan adalah tentang ANGER MANAGEMENT, mungkin merupakan suatu hal yang agak baru bagi para Hakim, tetapi sesungguhnya telah lama kita praktekan.
Dalam bahasa yang mudah ANGER MANAGEMENT adalah mengatur kemarahan atau mengatur emosi.
Dalam prakrek persidangan, seringkali Majelis Hakim / Hakim berhadapan dengan pihak-pihak yang hanya mau menangnya sendiri tanpa memperdulikan apakah pendapatnya tersebut benar atau salah atau terkadang (dalam perkara pidana) menghadapi Terdakwa yang "keukeuh" menyatakan dirinya tidak bersalah dan seluruh proses persidangan atas dirinya adalah rekayasa dari pihak kepolisian dan kejaksaan.
Tentunya tidak mudah menghadapi hal yang demikian, para Hakim tentunya sering menjadi EMOSI tetapi disitulah seninya menjadi HAKIM, karena seorang Hakim dituntut tidak hanya tinggi ilmunya (terutama ilmu hukum) tetapi juga tinggi tingkat penguasaan emosi.
Pada dasarnya, emosi pada saat persidangan justru lebih banyak merugikan bagi Hakim itu sendiri karena tidak akan didapat fakta hukum yang sebenarnya dari suatu peristiwa hukum yang terjad, sehingga menjadikan putusan menjadi jauh dari kebenaran dan keadilan.
Saya jadi punya keinginan (mungkin cuma mimpi), seandainya ketika bersidang, di ruang sidang ada suara musik instrumental yang lembut menjadikan ruangan sidang menjadi relax dan santai, sehingga para pihak yang berperkara baik pidana maupun perdata tidak menjadi tegang dan takut serta memiliki kemauan dan keinginan untuk membeberkan kejadian yaang sebenarnya tanpa perlu adanya paksaan atau tekanan dari masing-masing pihak terutama dari Hakim.
Intinya, bagaimana Hakim mampu mengendalikan dirinya dan emosinya dalam setiap persidangan karena persidangan apalagi putusan Hakim menjadi dambaan dari para pencari keadilan. SEMOGA.

E - COURT

MUNGKINKAH DILAKUKAN E-COURT?
Bagi para praktisi hukum tentunya sudah mahfum apabila proses persidangan seringkali begitu lama dan melelahkan. Bukan hanya karena membutuhkan kecermatan di dalam setiap pemeriksaan berkas perkara akan tetapi juga sering diakibatkan oleh gagal hadirnya saksi atau (bahkan) Terdakwa di persidangan dengan berbagai macam alasan (pembenarannya).
Dalam hal ini, hanya akan dibatasi pembahasannya dalam bidang hukum pidana saja yang memang telah memiliki dasar hukum dari pelaksanaan Hukum Acara, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Khusus mengenai persidangan mulai diatur dalam Bab XVI tentang Pemeriksaan di Sidang Pengadilan.
Pasal 153 menyatakan, "Pada hari yang ditentukan menurut Pasal 152, Pengadilan bersidang," meskipun dalam Penjelasan Pasal 153 tersebut hanya disebutkan CUKUP JELAS, namun secara tersirat dapat diartikan bahwa persidangan dilakukan di Kantor Pengadilan Negeri, di dalam ruangan sidang yang diperuntukan untuk itu dengan segala atribut persidangan yang ada termasuk penggunaan TOGA bagi Hakim, JPU dan Penasihat Hukum, akan tetapi (mohon maaf) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tersebut tidak memberikan ketegasan bahwa untuk persidangan harus dilakukan di Kantor Pengadilan Negeri, tidak ada satu pasalpun yang menyatakan bahwa persidangan harus dilakukan di Kantor Pengadilan Negeri.
Pengertian dari Pasal 153 tersebut seakan-akan hanya berdasarkan sebuah analogi bahwa persidangan HARUS dilakukan di Kantor Pengadilan Negeri, sehingga apabila benar demikian, maka tentunya ANALOGI tersebut sangat bertentangan dengan doktrin ilmu hukum yang menyatakan bahwa di dalam hukum pidana tidak boleh dilakukan ANALOGI.
Apabila kita membaca ketentuan Pasal 84 ayat (1) hanya menyebutkan, "Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya," yang dalam penjelasannya juga disebutkan CUKUP JELAS, sehingga tidak menjelaskan pula bahwa proses persidangan harus dilakukan di Kantor Pengadilan Negeri dan di dalam ruang sidang.
Dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman hanya disebutkan, "Pengadilan memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana dengan kehadiran Terdakwa, kecuali undang-undang menentukan lain," yang dalam penjelasannya disebutkan ketentuan ini berlaku bagi pengadilan tingkat pertama, sehingga dari ketentuan pasal tersebut tidak juga ada penegasan bahwa persidangan haarus dilakukan di ruang sidang di Kantor Pengadilan Negeri.
Oleh karenanya, apabila ANALOGI diterapkan dalam ketentuan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tersebut, maka dapat pula di ANALOGI kan apabila sidang dilakukan oleh Majelis Hakim dengan dibantu oleh seorang Panitera Pengganti, dilakukan di rumah masing-masing dengan Terdakwa tetap berada dalam tahanan di RUTAN dan persidangan menggunakan peralatan elektronik (internet) yang saling terhubung satu sama lain atau dapat dikatakan dengan cara teleconference atau juga menggunakan media yang sejenis, termasuk di dalamnya adalah ketika melakukan pemeriksaan saksi.
Tentunya pada tahap awal, akan membutuhkan biaya besar untuk pengadaan peralatannya akan tetapi di kemudian hari tentu akan menghemat anggaran lebih besar dan keamanan yang lebih terjamin, karena pengadaan peralatan yang hanya sekali tetapi bisa digunakan sampai jangka wajtu yang lama dan keamanan lebih terjamin karena Terdakwa tetap berada dalam tempat penahanannya yaitu di dalam RUTAN, sedangkan terhadap saksi akan teringankan biayanya karena tidak perlu jauh-jauh hadir di Kantor Pengadilan Negeri, demikian pula dengan Penasihat Hukum.
Mungkin ini hanya ide gila penulis, yang entah kapan bisa terealisasikan akan tetapi mengingat begitu luasnya wilayah NKRI, tentunya (mungkin) bisa menjadi pertimbangan untuk dilakukan di masa mendatang. Namun yang lebih penting adalah penyempurnaan KUHAP dengan mencantumkan pasal yang mengatur bahwa persidangan dapat dilakukan dari jarak jauh sehingga persidangan yang sedehana, cepat dan biaya ringan dapat terwujud.

SISTEM HUKUM YANG BAIK

SISTEM HUKUM YANG BAIK
Berbicara tentang HUKUM tentunya tidak akan terlepas dari SISTEM HUKUM yang diterapkan dari suatu negara. Lalu, apakah yang dimaksud dengan SISTEM ?
Secara umum SISTEM diartikan adalah "Suatu struktur yang tersusun dari bagian-bagian." Dari pengertian ini, SHORDE & VOICH mempertajam pengertian tersebut menjadi, "Sistem adalah suatu rencana, metoda atau prosedur untuk mengerjakan sesuatu."
Masyarakat tentunya hanya mengetahui bahwa SISTEM adalah "Suatu kesatuan yang bersifat kompleks yang terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain," akan tetapi pengertian tersebut dilengkapi oleh SHORDE & VOICH menjadi, "Bagian-bagian tersebut bekerja sama secara aktif untuk mencapai tujuan pokok darin kesatuan tersebut," sehingga suatu SISTEM memiliki ciri-ciri : 1. Berorientasi kepada tujuan, 2. Keseluruhan adalah lebih dari sekedar jumlah dari bagian-bagiannya (Wholism), 3. Berinteraksi dengan sistem yang lebih besar yaitu lingkungannya (keterbukaan sistem), 4. Bekerjanya bagian-bagian dari sistem itu menciptakan sesuatu yang berharga (transformasi), 5. Masing-masing bagian harus cocok satu sama lain (keterhubungan), 6. Ada kekuatan pemersatu yang mengikat sistem itu (mekanisme kontrol).
Setelah mengetahui sedikit banyak mengenai pengertian SISTEM, maka apabila HUKUM ingin dikatakan sebagai suatu SISTEM maka harus memenuhi (setidaknya) syarat-syarat sebagaimana disebutkan di atas.
Apabila HUKUM telah memenuhi persyaratan sebagai suatu SISTEM, tentunya ketika SISTEM HUKUM diaplikasikan dalam masyarakat harus merupakan SISTEM HUKUM yang baik. Banyak pendapat mengenai ciri-ciri SISTEM HUKUM yang baik, penulis hanya akan mengutip sedikit dari pendapatnya FULLER dalam bukunya THE MORALITY OF LAW, cetakan Tahun 1971, yang menyebutkan bahwa SISTEM HUKUM yang baik harus memiliki 8 (delapan) asas yang dinamakan PRINCIPLES OF LEGALITY, yaitu :
1. Suatu skstem hukum harus mengandung peraturan-peraturan, yaitu tidak boleh mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat AD HOC ;
2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan ;
3, Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut karena membolehkan pengaturan berlaku surut berarti merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku bagi waktu yang akan datang ;
4. Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti ;
5. Suatu sistem tidak boleh mengadung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain ;
6. Peraturan-peraturan tidak bole mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan ;
7. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan sehingga menyebabkan seseorang akan kehilangan orientasi ;
8. Harus ada kecocokan antara peraturan-peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari ;
Apabila kita cermati kedelapan syarat tersebut, (sepintas) kita akan berpandangan bahwa syarat tersebut bersifat LEGALISTIK, yaitu terhadap pemberlakuan HUKUM baru ada setelah ditetapkan atau diberlakukan dan berlaku tanpa memandang terhadap siapa HUKUM tersebut akan dibelakukan, namun memang demikianlah sifat dari HUKUM itu sendiri, yang apabila sudah menjadi suatu produk hukum berupa (salah satunya) peraturan perundangan, akan bersifat RIGID (kaku) dan berlaku terhadap setiap orang / badan hukum dalam suatu masyarakat.
Oleh karena itu diperlukan ketelitian, kehati-hatian dan kecermatan yang lebih mendalam ketika kita akan membuat suatu produk hukum. Khususnya bagi kita para HAKIM, yang produknya adalah PUTUSAN, yang merupakan salah satu dari SUMBER HUKUM, yaitu YURISPRUDENSI, perlu ketelitian, kehati-hatian dan kecermatan dalam penyusunannya. Apabila putusan HAKIM yang dibuat berdasarkan fakta persidangan, tentu tidak akan terbantahkan, meskipun ada upaya hukum dari para pencari keadilan. SEMOGA.

THE JUGDE MAKES LAW

THE JUGDE MAKES LAW
Sebagaimana kita telah pahami bahwa salah satu SUMBER HUKUM adalah JURISPRUDENSI (Putusan Pengadilan) dan HAKIM merupakan SUBYEK dari setiap Putusan Pengadilan, tentunya tidak setiap PUTUSAN bisa dijadikan Jurisprudensi, hanya putusan-putusan yang berisikan pertimbangan-pertimbangan yang baik dan memenuhi rasa keadilanlah yang dapat dijadikan JURISPRUDENSI.
Di Indonesia, kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur di dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan, "Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan," sehingga demgan demikian telah jelas bahwa HAKIM memilki payung hukum di dalam pelaksanaan tugasnya, utamanya adalah dalam pembuatan PUTUSAN.
Oleh sebab itu, maka dituntut kemandirian dan juga kecakapan dari HAKIM itu sendiri untuk menganalisa setiap perkara yang disidangkannya, sebab meskipun HAKIM diberi kebebasan di dalam setiap putusannya, akan tetapi HAKIM juga harus memahami ketentuan Pasal 68 A Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan :
(1) Dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim harus bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya ;
(2) Penetapan dan putusan sebagaimana dimakud pada ayat (1) harus memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar ;
Dengan demikian, pada dasarnya, putusan yang baik adalah putusan yang didasarkan pada fakta persidangan dan didasarkan pula pada daar hukum yang benar dan tepat, sehingga Hakim tidak dapat menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada dasar hukumnya.
Harus diingat pula bahwa dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menyebutkan, "Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat," sehingga tidak ada alasan bagi hakim untuk menolak perkara.
Kiranya apabila suatu PUTUSAN HAKIM telah berdasarkan pada fakta persidangan dan dasar hukum yang benar dan tepat, akan menjadikan PUTUSAN HAKIM tersebut bisa menjadi suatu YURISRUDENSI, dan meskipun sistem hukum Indonesia tidak menganut ketaatan pada suatu yurisprudensi yang harus selalu diikuti, tetapi setidaknya putusan hakim terdahulu (yang baik) dalam perkara yang serupa dapat menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan.

TENTANG KEADILAN

                                     HUKUM, HAKIM dan RASA KEADILAN
Sudah jamak terjadi, bahwa di setiap masyarakat, pasti akan muncul HUKUM baik yang tertulis maupun tidak tertulis. HUKUM akan selalu muncul dalam setiap kehidupan masyarakat, baik itu masyarakat yang masih primitif, cara hidup dan kehidupannya, maupun pada masyarakat modern seperti pada saat ini.
Penegakan HUKUM tentunya membutuhkan seseorang yang bertindak sebagai pengadil, yang akan menentukan kadar kesalahan seseorang, baik di yang berhubungan dengan kepentingan umum maupun yang berhubungan dengan kepentingan pribadi perorangan, serta menentukan hukuman yang akan ditimpakan atau dikenakan kepada orang yang telah terbukti melakukan kesalahan.ataupun menimbulkan kerugian bagi kepentingan umum.
Di masa lalu, pengadil ini selalu berada di tangan seorang Raja, apabila suatu masyarakat berbentuk kerajaan, ataupun di tangaan seorang Kepala Suku atau beberapa orang yang dituakan dalam sebuah suku, ataupun seperti yang banyak terjadi di daratan Eropa pada Abad Pertengahan, seorang pengadil adalah selalu seorang Pemimpin Agama (Gereja). Akan tetapi dengan berkembangnya HUKUM dan masyarakat, maka kemudian tugas pengadil ini diserahkan kepada seseorang yang dianggap memilki kemampuan baik dalam bidang ilmu hukum maupun memiliki kelebihan di dalam mempertimbangkan setiap permasalahan hukum yang timbul, yang kemudian disebut sebagai HAKIM. Bahkan di dalam Al Qur'an pun disebutkan betapa beratnya tugas menjadi HAKIM, sehingga digambarkan bahwa di dalam melaksanakan tugasnya, satu kaki seorang HAKIM sudah berada di NERAKA dan kaki yang satunya berada di SURGA. Penggambaran ini menunjukkan betapa HAKIM harus selau berada di TENGAH, mendengarkan pihak-pihak yang beroerakar, mempertimbangkan dengan menggunakan hati nuraninya dan memutuskan tanpa memihak.Putusan HAKIM itulah yang seharusnya menggambarkan adanya KEADILAN bagi para pencari keadilan.Kiranya semua telah paham bahwa HAKIM dalam melaksanakan fungsi peradilan adalah merupakan BENTENG TERAKHIR dari KEADILAN namun juga perlu dipahami bahwa HAKIM adalah seorang manusia belaka, maka dalam memberikan putusannya untuk mencari kebenaran, tidaklah berarti bahwa apa yang telah diyakininya itu telah benar secara mutlak. Atmadja, di dalam Majalah Hukum dan Keadilan, Fakultas Hukum Udayana, pada tahun 1977 menyebutkan bahwa Hakim sebagai pejabat yang melaksanakan fungsi peradilan terikat oleh hukum yang berlaku sedangkan KEADILAN merupakan dasar dari segala hukum.
Oleh karenanya KEADILAN berhubungan dengan RASA dimana penerimaan RASA dari setiap orang tidak sama, maka KEADILAN yang terwujud di dalam setiap putusan HAKIM tidaklah mungkin dapat memenuhi RASA KEADILAN dari semua orang. Hanya KEADILAN dari Tuhan Yang Maha Esa kiranya yang dapat memenuhi RASA KEADILAN dari semua orang. Meski demikian, HAKIM tetap dituntut untuk selalu menggunakan HATI NURANI ketika akan menjatuhkan PUTUSAN, sebab HATI NURANI tidak pernah berbohong dan HATI NURANI merupakan titipan ILLAHI yang berfungsi untuk menyaring antara KEBENARAN dan KESALAHAN. Semoga kita, para HAKIM tetap ISTIQOMAH (berpegang teguh) menggunakan HATI NURANI kita di dalam setiap persidangan sehingga PUTUSAN yang dikeluarkan dapat dipertanggungjawabkan, terutama kepada TUHAN YANG MAHA ESA, sebagaimana irah-irah (kepala) PUTUSAN, yaitu "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".

MASYARAKAT DAN HUKUM

Renungan Awal Pekan (11052015) :
MASYARAKAT & HUKUM
Apabila kita cermati, secara singkat maka akan terlihat jelas bahwa sebenarnya pada mulanya hukum hanya ada satu, yang terbentuk ketika sekelompok orang berkumpul dan bermasyarakat. Saat sekelompok orang berkumpul dan berinteraksi bersama di dalam sebuah bentuk yang disebut masyarakat, makaorang-orang tersebut membutuhkan sebuah aturan untuk mengatur tata kehidupan mereka yang memiliki sanksi bagi yang melanggarnya. Ketentuan tersebut akhirnya menjadi sebuah Hukum Pidana tidak tertulis bagi mereka yang mengatur hal-hal yang boleh dilakukan dan hal-hal yang dilarang dan mewajibkan mereka untuk mematuhinya.
Ketika suatu masyarakat tumbuh besar, dalam arti semakin banyak anggotanya dan semakin luas wilayah yang diperlukan untuk tempat tinggal dan tempat berusaha, maka masyarakat tersebut membutuhkan seseorang atau beberapa orang yang ditunjuk sebagai pemimpin mereka dan mewakili seluruh kepentingan masyarakat tersebut, utamanya ketika berhubungan dengan kelompok masyarakat yang lain. Kehadiran pemimpin dan orang-orang yang mewakili masyarakat tersebut menjadikan masyarakat tersebut memberikan kepercayaan penuh kepada pemimpin dan orang-orang yang mewakili mereka, sehingga kemudian muncul apa yang disebut dengan Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Administrasi Negara, yang keduanya diharapkan akan menjadi sarana bagi terciptanya pelayannan yang optimal dari para pemegang kekuasaan dan kepercayaan dari masyarakat tersebut.
Keberadaan masayarakat juga menimbulkan interaksi antar individu baik di antara mereka maupun dengan individu dari kelompok masyarakat yang lain, baik dalam bentuk perdagangan, pernikahan maupun bentuk interaksi yang bersifat individu lainnya. Hal ini yang kemudian memunculkan Hukum Perdata yang bersifat mengatur hubungan antar individu dari suatu masyarakat.
Pemimpin ataupun orang-orang yang diberikan kepercayaan dari masyarakat untuk mewakili masyarakat tersebut kemudian merumuskan hukum yang ada di dalam masyarakat tersebut dan membuatnya menjadi Hukum Tertulis, yang harus ditaati dan dipatuhi oleh setiap individu dalam masyarakat tersebut, termasuk di dalamnya adalah para pemimpin masyarakat itu sendiri.
Dari uraian singkat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Hukum dan Masyarakat merupakan dua komponen yang tidak terpisahkan, bagaikan dua sisi mata uang logam yang merupakan satu kesatuan. Hukum tidak mungkin ada tanpa ada masyarakat dan masyarakat membutuhkan Hukum yang mengatur tata kehidupannya. Oleh karena itu diperlukan kepedulian dari masyarakat untuk mengawal keberadaan hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang hdiup dan berkembang pada masyarakat tersebut.

Kamis, 07 Mei 2015

5 W & 1 H (Penutup)

Renungan Akhir Pekan (07052015)
    5 W & 1 h (Penutup)
Terhadap pembuktian dan pembuatan putusan dengan metode 5 H & 1 H, mengkin perlu dicermati dri masing-masing bidang, khususya dalam lingkup perkara pidana dan perdata.

1. PERKARA PIDANA :
 - Perkara pidana dapat diadili apabila terdapat adanya Surat Dakwaan dari Penuntut Umum, yang berdasarkan Pasal 143 ayat (2) berisi : a. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka DAN b. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan ;
- Berdasarkan Pasal 143 ayat (3) KUHAP, Surat Dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf b, batal demi hukum ;
- Dari uraian lengkap dalam Surat Dakwaan tersebut sebenarnya sudah memenuhi metode 5 W & 1 H, yaitu ada identitas Terdakwa serta uraian mengenai tindak pidana yang dilakukan secara jelas ;
- Tugas Hakim atas Surat Dakwaan tersebut adalah mencari kebenaran materiil melalui pembuktian di persidangan yang di dalam putusan tetap mengacu kepada ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP ;
- Yang sering terlewatkan atau terlupakan adalah mengenai alasan dilakukannya tindak pidana (WHY). Banyak hal yang dapat dijadikan pertimbangan sebagai alasan pembenar maupun pemaaf, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 44 s/d Pasal 52 KUHP mengenai Pengecualian, Pengurangan dan Penambahan Hukuman, maka Hakim harus secara cermat mempertimbangkan sifat dari tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa, yaitu apakah tindak pidana tersebut dilakukan dengan SENGAJA ataukah ada KEALPAAN atau alasan yang membuat Terdakwa tidak mempunyai pilihan lain dan harus melakukan tindak pidana. Hal ini perlu dikedepankan mengingat Hakim juga harus mempertimbangkan aspek psikologis dari Terdakwa tersebut dan juga harus mempertimbangkan akibat dari dilakukannya tindak pidana oleh Terdakwa yang menyebabkan kerugian bagi pihak korban.
- Seringkali Hakim juga kurang teliti ketika memeriksa identitas Terdakwa yang "beda-beda tipis" usianya antara DEWASA dengan ANAK, mengingat TERDAKWA ANAK harus mendapat perlakuan yang berbeda dari Terdakwa Dewasa.
2. PERKARA PERDATA
- Pada prinsipnya, setiap orang yang merasa dirugikan atas perbuatan orang lain DAPAT mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri, yang tidak lain merupakan implementasi dari ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata ;
- Setiap orang merupakan Subyek Hukum yang dilindungi segala kepentingannya oleh UU sebagaimana diatur dalam Pasal 2 KUH Perdata ;
- Dalam perkembangannya, Subyek Hukum tidak hanya orang perorangan akan tetapi juga Badan Hukum, Partai Politik bahkan Negara ;
- Terhadap pembuktian dalam perkara perdata, Hakim hendaknya mencermati kembali ketentuan Pasal 1865 KUH Perdata yang pada intinya menyebutkan bahwa siapa yang mendalilkan sesuatu hak haruslah membuktikannya dan ketentuan Pasal 1866 KUH Perdata tentang Alat Bukti dalam perkara perdata.

Selanjutnya, apabila Hakim telah benar-benar mempertimbangkan sebagaimana uraian tersebut di atas maka tentunya akan didapatkan fakta hukum yang sebenarnya dari suatu perkara dan metode pembuktian dengan 5 W & 1 H dapat membantu Hakim di dalam melakukan proses pembuktian.

Senin, 04 Mei 2015

5 W & 1 H

Renungan Awal Pekan (06052015) :
   5 W & 1 H
Sebelumnya mohon maaf sudah vakum selama kurang lebih 2 minggu tidak memposting Renungan tiap Awal Pekan dan Akhir Pekan. Hari ini sejenak kita merenungkan bahwa sebenarnya ada persamaan antara pembuatan sebuah putusan dengan penulisan jurnalistik, yaitu sama-sama menggunakan metode penulisan berdasarkan 5 W dan 1 H, yaitu WHO, WHAT, WHEN, WHERE, WHY dan HOW.
1. WHO, setiap putusan baik itu perdata maaupun pidana, pada pokoknya memuat identitas dari pihak yang bersengketa dalam perkara perdata maupun identitas Terdakwa dalam perkara pidana. Ketika seorang Hakim tidak mempertimbangkan mengenai identitas ini yang dalam istilah asing disebut dengan WHO, maka dapat dipastikan bahwa Hakim tersebut kurang cermat dalam membuat pertimbangan dalam putusan yang dapat menyebabkan ERROR IN PERSONA atas putusan yang dibuatnya sehingga (dalam perkara pidana) sesuai dengan pasal 197 ayat (2) dapat menyebabkan putusan batal demi hukum dan apabila seorang Hakim dianggap kurang cernat di dalam mempertimbangkan identitas yang ada dalam putusannya maka dapat dikatakan bahwa Hakim tersebut tidak profesional di dalam melakukan tugas-tugasnya. Oleh sebab itu, maka dipelukan kehati-hatian dan kecermatan dari Hakim di dalam mempertimbangkannya.
2. WHAT,  dapat diartikan sebagai apa yang terjadi sehingga terjadi suatu tindak pidana atau suatu perbuatan melawan hukum. Dalam perkara pidana, akan terpapar dalam Dakwaan Penuntut Umum sedangkan dalam perkara pidana akan dijabarkan dalam Surat Gugatan Penggugat. Hakim harus cermat dan jeli melakukan analisa yang dituangkan dalam putusananya, dengan melihat fakta yang terungkap dalam persidangan.
3. WHEN, diartikan sebagai waktu kejadian (tempus delicti) dari tindak pidana atau perbuatan melawan hukum. Fakta persidangan akan membuktikan apakah benar dalil tempus delicti adalah sama dengan yang ada dalam Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum atau Surat Gugatan Penggugat.
4. WHERE, diartikan sebagai tempat kejadian (locus delicti) dari tindak pidana atau perbuatan melawan hukum. Fakta persidangan akan membuktikan apakah benar dalil locus delicti adalah sama dengan yang ada dalam Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum atau Surat Gugatan Penggugat.
5.WHY, adalah alasan kenapa Terdakwa melakukan tindak pidana atau Tergugat melakukan perbuatan yang merugikan Penggugat. Kebenaran pembuktiannya akan sangat tergantung dari penilai Hakim yang menyidangkannya.
6. HOW, yaitu bagaimana cara suatu tindak pidana dilakukan oleh Terdakwa atau suatu perbuatan yang merugikan Penggugat dilakukan oleh Tergugat.
Pembuktian keenam unsur tersebut membutuhkan kejelian, kecermatan dan kehati-hatian dari Hakim yang menyidangkannya, mengingat nasib para pencari keadilan ada di tangan Hakim sebagai representasi Negara di dalam menegakan hukum dan keadilan.

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...