HUKUM, HAKIM dan RASA KEADILAN
Sudah jamak terjadi, bahwa di setiap masyarakat, pasti akan muncul HUKUM baik yang tertulis maupun tidak tertulis. HUKUM akan selalu muncul dalam setiap kehidupan masyarakat, baik itu masyarakat yang masih primitif, cara hidup dan kehidupannya, maupun pada masyarakat modern seperti pada saat ini.
Penegakan HUKUM tentunya membutuhkan seseorang yang bertindak sebagai pengadil, yang akan menentukan kadar kesalahan seseorang, baik di yang berhubungan dengan kepentingan umum maupun yang berhubungan dengan kepentingan pribadi perorangan, serta menentukan hukuman yang akan ditimpakan atau dikenakan kepada orang yang telah terbukti melakukan kesalahan.ataupun menimbulkan kerugian bagi kepentingan umum.
Di masa lalu, pengadil ini selalu berada di tangan seorang Raja, apabila suatu masyarakat berbentuk kerajaan, ataupun di tangaan seorang Kepala Suku atau beberapa orang yang dituakan dalam sebuah suku, ataupun seperti yang banyak terjadi di daratan Eropa pada Abad Pertengahan, seorang pengadil adalah selalu seorang Pemimpin Agama (Gereja). Akan tetapi dengan berkembangnya HUKUM dan masyarakat, maka kemudian tugas pengadil ini diserahkan kepada seseorang yang dianggap memilki kemampuan baik dalam bidang ilmu hukum maupun memiliki kelebihan di dalam mempertimbangkan setiap permasalahan hukum yang timbul, yang kemudian disebut sebagai HAKIM. Bahkan di dalam Al Qur'an pun disebutkan betapa beratnya tugas menjadi HAKIM, sehingga digambarkan bahwa di dalam melaksanakan tugasnya, satu kaki seorang HAKIM sudah berada di NERAKA dan kaki yang satunya berada di SURGA. Penggambaran ini menunjukkan betapa HAKIM harus selau berada di TENGAH, mendengarkan pihak-pihak yang beroerakar, mempertimbangkan dengan menggunakan hati nuraninya dan memutuskan tanpa memihak.Putusan HAKIM itulah yang seharusnya menggambarkan adanya KEADILAN bagi para pencari keadilan.Kiranya semua telah paham bahwa HAKIM dalam melaksanakan fungsi peradilan adalah merupakan BENTENG TERAKHIR dari KEADILAN namun juga perlu dipahami bahwa HAKIM adalah seorang manusia belaka, maka dalam memberikan putusannya untuk mencari kebenaran, tidaklah berarti bahwa apa yang telah diyakininya itu telah benar secara mutlak. Atmadja, di dalam Majalah Hukum dan Keadilan, Fakultas Hukum Udayana, pada tahun 1977 menyebutkan bahwa Hakim sebagai pejabat yang melaksanakan fungsi peradilan terikat oleh hukum yang berlaku sedangkan KEADILAN merupakan dasar dari segala hukum.
Oleh karenanya KEADILAN berhubungan dengan RASA dimana penerimaan RASA dari setiap orang tidak sama, maka KEADILAN yang terwujud di dalam setiap putusan HAKIM tidaklah mungkin dapat memenuhi RASA KEADILAN dari semua orang. Hanya KEADILAN dari Tuhan Yang Maha Esa kiranya yang dapat memenuhi RASA KEADILAN dari semua orang. Meski demikian, HAKIM tetap dituntut untuk selalu menggunakan HATI NURANI ketika akan menjatuhkan PUTUSAN, sebab HATI NURANI tidak pernah berbohong dan HATI NURANI merupakan titipan ILLAHI yang berfungsi untuk menyaring antara KEBENARAN dan KESALAHAN. Semoga kita, para HAKIM tetap ISTIQOMAH (berpegang teguh) menggunakan HATI NURANI kita di dalam setiap persidangan sehingga PUTUSAN yang dikeluarkan dapat dipertanggungjawabkan, terutama kepada TUHAN YANG MAHA ESA, sebagaimana irah-irah (kepala) PUTUSAN, yaitu "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".
Sudah jamak terjadi, bahwa di setiap masyarakat, pasti akan muncul HUKUM baik yang tertulis maupun tidak tertulis. HUKUM akan selalu muncul dalam setiap kehidupan masyarakat, baik itu masyarakat yang masih primitif, cara hidup dan kehidupannya, maupun pada masyarakat modern seperti pada saat ini.
Penegakan HUKUM tentunya membutuhkan seseorang yang bertindak sebagai pengadil, yang akan menentukan kadar kesalahan seseorang, baik di yang berhubungan dengan kepentingan umum maupun yang berhubungan dengan kepentingan pribadi perorangan, serta menentukan hukuman yang akan ditimpakan atau dikenakan kepada orang yang telah terbukti melakukan kesalahan.ataupun menimbulkan kerugian bagi kepentingan umum.
Di masa lalu, pengadil ini selalu berada di tangan seorang Raja, apabila suatu masyarakat berbentuk kerajaan, ataupun di tangaan seorang Kepala Suku atau beberapa orang yang dituakan dalam sebuah suku, ataupun seperti yang banyak terjadi di daratan Eropa pada Abad Pertengahan, seorang pengadil adalah selalu seorang Pemimpin Agama (Gereja). Akan tetapi dengan berkembangnya HUKUM dan masyarakat, maka kemudian tugas pengadil ini diserahkan kepada seseorang yang dianggap memilki kemampuan baik dalam bidang ilmu hukum maupun memiliki kelebihan di dalam mempertimbangkan setiap permasalahan hukum yang timbul, yang kemudian disebut sebagai HAKIM. Bahkan di dalam Al Qur'an pun disebutkan betapa beratnya tugas menjadi HAKIM, sehingga digambarkan bahwa di dalam melaksanakan tugasnya, satu kaki seorang HAKIM sudah berada di NERAKA dan kaki yang satunya berada di SURGA. Penggambaran ini menunjukkan betapa HAKIM harus selau berada di TENGAH, mendengarkan pihak-pihak yang beroerakar, mempertimbangkan dengan menggunakan hati nuraninya dan memutuskan tanpa memihak.Putusan HAKIM itulah yang seharusnya menggambarkan adanya KEADILAN bagi para pencari keadilan.Kiranya semua telah paham bahwa HAKIM dalam melaksanakan fungsi peradilan adalah merupakan BENTENG TERAKHIR dari KEADILAN namun juga perlu dipahami bahwa HAKIM adalah seorang manusia belaka, maka dalam memberikan putusannya untuk mencari kebenaran, tidaklah berarti bahwa apa yang telah diyakininya itu telah benar secara mutlak. Atmadja, di dalam Majalah Hukum dan Keadilan, Fakultas Hukum Udayana, pada tahun 1977 menyebutkan bahwa Hakim sebagai pejabat yang melaksanakan fungsi peradilan terikat oleh hukum yang berlaku sedangkan KEADILAN merupakan dasar dari segala hukum.
Oleh karenanya KEADILAN berhubungan dengan RASA dimana penerimaan RASA dari setiap orang tidak sama, maka KEADILAN yang terwujud di dalam setiap putusan HAKIM tidaklah mungkin dapat memenuhi RASA KEADILAN dari semua orang. Hanya KEADILAN dari Tuhan Yang Maha Esa kiranya yang dapat memenuhi RASA KEADILAN dari semua orang. Meski demikian, HAKIM tetap dituntut untuk selalu menggunakan HATI NURANI ketika akan menjatuhkan PUTUSAN, sebab HATI NURANI tidak pernah berbohong dan HATI NURANI merupakan titipan ILLAHI yang berfungsi untuk menyaring antara KEBENARAN dan KESALAHAN. Semoga kita, para HAKIM tetap ISTIQOMAH (berpegang teguh) menggunakan HATI NURANI kita di dalam setiap persidangan sehingga PUTUSAN yang dikeluarkan dapat dipertanggungjawabkan, terutama kepada TUHAN YANG MAHA ESA, sebagaimana irah-irah (kepala) PUTUSAN, yaitu "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar