Renungan Akhir Pekan (21052015)
HUMANITY ABOVE THE LAW
Sebagaimana kita telah ketahui bersama bahwa salah satu tujuan hukum adalah keadilan bagi masyarakat, tentunya kita juga harus memahami bahwa tidak semua persoalan harus diselesaikan melalui ranah hukum. Saat ini dunia (termasuk Indonesia, tengah dihebohkan dengan mengalirnya "manusia perahu" jilid II, yang merupakan pelarian dari masyarakat Rohingya dari Myanmar. Mereka disebut sebagai manusia perahu mengingat jalan pelarian mereka dari negara asal adalah dengan menggunakan kapal-kapal kecil, yang tidak semestinya digunakan untuk berlayar dalam jangka waktu yang lama dan jarak yang sedemikian jauh, ditambah dengan jumlah penumpang dari kapal-kapa kecil tersebut yang "overload" atau melebihi kapasitas yang seharusnya dapat ditampung dalam kapal tersebut.
Apabila kita menerapkan secara kaku ketentuan-ketentuan dalam UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, tentunya Indonesia mempunyai hak untuk menolak menerima dan menampung "manusia perahu" tersebut. Dalam pasal 1 angka 1 UU Nomor 6 Tahun 2011 disebutkan "Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang
masuk atau keluar Wilayah Indonesia serta pengawasannya dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan negara". Pada pasal 1 angka 3 lebih ditegaskan lagi mengenai fungsi keimigrasian yaitu "Fungsi Keimigrasian adalah bagian dari urusan pemerintahan negara dalam memberikan pelayanan Keimigrasian, penegakan hukum, keamanan negara, dan fasilitator pembangunan kesejahteraan masyarakat". Dari ketentuan-ketentuan tersebut apabila kita bertindak secara "letterlijk" atau kaku sesuai aturan perundang-undangan, maka Indonesia memiliki hak yang mutlak untuk menolak kedatangan "manusia perahu" tersebut dan mengirimnya kembali ke perairan internasional, sebab kedatangan mereka tanpa dilengkapi dengan dokumen keimigrasian dari negara asal dan tanpa adanya izin untuk memasuki wilayah negara lain. Akan tetapi keberadaan hukum ini "sedikit" dapat dikesampingkan apabila kita mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan yang sudah menjadi nilai-nilai universal yang diakui dalam Piagam PBB dimana Indonesia menjadi salah satu anggotanya yang mengakui dan melindungi hak asasi manusia tanpa memandang suku, agama, ras, bahasa dan jenis kelamin.
Keberadaan "manusia perahu" dari Myamnar tersebut tentu bukan tanpa sebab, akan tetapi apapun sebab yang mengakibatkan mereka melakukan pelarian sampai di negara lain, memunculkan kewajiban bagi negara yang didatangi, baik sebagai negara persinggahan maupun negara tujuan. Selama ini Indonesia lebih sering dijadikan negara persinggahan dari masyarakat dari negara lain yang melakukan pelarian atau pengungsian, sebagaimana kita ingat kejadian :"manusia perahu" jilid I yaitu masyarakat dari Vietnam yang melarikan diri akibat terjadinya perang di negaranya di sekitar tahun 1970 - 1980 dan Indonesia menyedikan Pulau Galang sebagai tempat penampungan sementara. Kejadian berulang saat ini dan sudah selayaknya Indonesia memberikan bantuan yang dibutuhkan setidaknya sampai orang-orang tersebut dapat berpikir secara jernih untuk mencari penghidupan yang baru. Ketiadaan dokumen keimigrasian untuk sementara dapat dikesampingkan demi keselamatan "manusia perahu" tersebut. Kiranya memang harus dipahami bahwa nilai-nilai kemanusian, dalam hal-hal tertentu harus dikedepankan daripada penegakan hukum secara kaku yang hanya akan mengakibatkan sirnanya kemanfaatan dari adanya hukum. Hukum memang harus tetap ditegakkan, dalam hal ini adalah mengenai keimigrasian, tetapi dalam keadaan "force majeur" penegakan hukum harus diselaraskan dengan keadaan yang ada. Keberadaan "manusia perahu" dari Myanmar di Indonesia bukanlah karena kehendak mereka untuk datang beramai-ramai ke Indonesia tanpa dokumen keimigrasian, akan tetapi karena adanya keadaan yang memaksa di negaranya yang membuat mereka harus melarikan diri dari negaranya dan terkatung-katung selama berhari-hari di tengah laut dan secara kebetulan perahu-perahu mereka mendekat dan memasuki perairan Indonesia.
Oleh karena itu para penegak hukum, dalam hal ini aparat keimigrasian harus memiliki kepekaan yang mendalam mengenai nilai-nilai kemanusiaan sehingga dapat memberikan pelayanan di dalam melindungi hak asasi manusia tanpa harus mengorbankan kedaulatan dan hukum negara.
HUMANITY ABOVE THE LAW
Sebagaimana kita telah ketahui bersama bahwa salah satu tujuan hukum adalah keadilan bagi masyarakat, tentunya kita juga harus memahami bahwa tidak semua persoalan harus diselesaikan melalui ranah hukum. Saat ini dunia (termasuk Indonesia, tengah dihebohkan dengan mengalirnya "manusia perahu" jilid II, yang merupakan pelarian dari masyarakat Rohingya dari Myanmar. Mereka disebut sebagai manusia perahu mengingat jalan pelarian mereka dari negara asal adalah dengan menggunakan kapal-kapal kecil, yang tidak semestinya digunakan untuk berlayar dalam jangka waktu yang lama dan jarak yang sedemikian jauh, ditambah dengan jumlah penumpang dari kapal-kapa kecil tersebut yang "overload" atau melebihi kapasitas yang seharusnya dapat ditampung dalam kapal tersebut.
Apabila kita menerapkan secara kaku ketentuan-ketentuan dalam UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, tentunya Indonesia mempunyai hak untuk menolak menerima dan menampung "manusia perahu" tersebut. Dalam pasal 1 angka 1 UU Nomor 6 Tahun 2011 disebutkan "Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang
masuk atau keluar Wilayah Indonesia serta pengawasannya dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan negara". Pada pasal 1 angka 3 lebih ditegaskan lagi mengenai fungsi keimigrasian yaitu "Fungsi Keimigrasian adalah bagian dari urusan pemerintahan negara dalam memberikan pelayanan Keimigrasian, penegakan hukum, keamanan negara, dan fasilitator pembangunan kesejahteraan masyarakat". Dari ketentuan-ketentuan tersebut apabila kita bertindak secara "letterlijk" atau kaku sesuai aturan perundang-undangan, maka Indonesia memiliki hak yang mutlak untuk menolak kedatangan "manusia perahu" tersebut dan mengirimnya kembali ke perairan internasional, sebab kedatangan mereka tanpa dilengkapi dengan dokumen keimigrasian dari negara asal dan tanpa adanya izin untuk memasuki wilayah negara lain. Akan tetapi keberadaan hukum ini "sedikit" dapat dikesampingkan apabila kita mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan yang sudah menjadi nilai-nilai universal yang diakui dalam Piagam PBB dimana Indonesia menjadi salah satu anggotanya yang mengakui dan melindungi hak asasi manusia tanpa memandang suku, agama, ras, bahasa dan jenis kelamin.
Keberadaan "manusia perahu" dari Myamnar tersebut tentu bukan tanpa sebab, akan tetapi apapun sebab yang mengakibatkan mereka melakukan pelarian sampai di negara lain, memunculkan kewajiban bagi negara yang didatangi, baik sebagai negara persinggahan maupun negara tujuan. Selama ini Indonesia lebih sering dijadikan negara persinggahan dari masyarakat dari negara lain yang melakukan pelarian atau pengungsian, sebagaimana kita ingat kejadian :"manusia perahu" jilid I yaitu masyarakat dari Vietnam yang melarikan diri akibat terjadinya perang di negaranya di sekitar tahun 1970 - 1980 dan Indonesia menyedikan Pulau Galang sebagai tempat penampungan sementara. Kejadian berulang saat ini dan sudah selayaknya Indonesia memberikan bantuan yang dibutuhkan setidaknya sampai orang-orang tersebut dapat berpikir secara jernih untuk mencari penghidupan yang baru. Ketiadaan dokumen keimigrasian untuk sementara dapat dikesampingkan demi keselamatan "manusia perahu" tersebut. Kiranya memang harus dipahami bahwa nilai-nilai kemanusian, dalam hal-hal tertentu harus dikedepankan daripada penegakan hukum secara kaku yang hanya akan mengakibatkan sirnanya kemanfaatan dari adanya hukum. Hukum memang harus tetap ditegakkan, dalam hal ini adalah mengenai keimigrasian, tetapi dalam keadaan "force majeur" penegakan hukum harus diselaraskan dengan keadaan yang ada. Keberadaan "manusia perahu" dari Myanmar di Indonesia bukanlah karena kehendak mereka untuk datang beramai-ramai ke Indonesia tanpa dokumen keimigrasian, akan tetapi karena adanya keadaan yang memaksa di negaranya yang membuat mereka harus melarikan diri dari negaranya dan terkatung-katung selama berhari-hari di tengah laut dan secara kebetulan perahu-perahu mereka mendekat dan memasuki perairan Indonesia.
Oleh karena itu para penegak hukum, dalam hal ini aparat keimigrasian harus memiliki kepekaan yang mendalam mengenai nilai-nilai kemanusiaan sehingga dapat memberikan pelayanan di dalam melindungi hak asasi manusia tanpa harus mengorbankan kedaulatan dan hukum negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar