qwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnm
|
MEMBUMIKAN BAHASA HUKUM
(SEBUAH PEMIKIRAN PEMBAHARUAN)
DISUSUN OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH
HAKIM YUSTISIAL PADA MAHKAMAH AGUNG RI
|
MEMBUMIKAN BAHASA
HUKUM
(SEBUAH PEMIKIRAN
PEMBAHARUAN)
OLEH
: H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH[1]
A.
PENDAHULUAN
Dunia
peradilan saat ini sedang mengalami masa pancaroba, yaitu dengan menurunnya
tingkat kepercayaan masyarakat sebagai pencari keadilan terhadap kinerja
aparatur pengadilan. Tidak hanya badan peradilan umum yang menjadi sorotan,
akan tetapi juga badan peradiln yang laain seperti badapan peradilan agama,
badan peradilan tata usaha negara dan badan peradilan militer.
Ketidakpercayaan
tersebut tidak hanya disebabkan karena tingkah laku aparat pengadilan akan
tetapi juga dikarenakan sulitnya memahami BAHASA HUKUM di dalam setiap produk
hukum, baik itu, produk perundang-undangan maupun juga produk putusan Hakim.
Pemahaman mengenai bahasa hukum seringkali sangat sulit dilakukan oleh
orang-orang yang tidak mempelajari hukum secara utuh. Bahasa hukum seakan-akan
menjadi suatu bahasa asing yang hanya dipahami oleh segelintir orang saja.
Keberadaan
hukum nasional di Indonesia, yang merupakan peninggalan hukum kolonial Belanda,
mempunyai pengaruh langsung terhadap pemahaman hukum bagi masyarakat awam.
Penerjemahan langsung dari bahasa Belanda menjadi bahasa Indonesia, membuat
kosa kata dalam perumusan suatu Undang-Undang peninggalan kolonial Belanda
menjadi terdengar asing dalam bahasa Indonesia. Masih terlalu banyak
istilah-istilah bahasa Belanda yang belum memilki padanan yang tepat dalam
bahasa Indonesia.
Hal
ini berimbas juga pada penyusunan produk hukum baik dalam bentuk peraturan
perundang-undangan maupun dalam redaksi putusan Hakim.
B.
Bahasa
Hukum adalah bahasa yang sulit dipahami
Hukum adalah suatu sistem yang terpenting
dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. Hukum akan
menjadi berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan apabila
masyarakat menggunakan hukum menuruti perilakunya. Hukum itu
sendiri terbagi menjadi beberapa bidang, yaitu hukum pidana atau hukum publik,
hukum perdata atau hukum pribadi, dan hukum acara, hukum tata Negara, hukum
administrasi Negara atau hukum tata usaha Negara, hukum internasional, hukum
adat, hukum islam, hukum agraria, hukum bisnis, dan hukum lingkungan. Dari
hukum-hukum tersebut masing-masing mempunyai tujuan yang sama, yaitu bertujuan
menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula
berdasar pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat.[2]
Hidup masyarakat tidak akan terlepas dari
adanya hukum yang di Indonesia merupakan peninggalan dari pemerintah kolonial
Belanda yang keberadaannya masih berlaku hingga saat ini. Oleh sebab itu sangat
penting di kemudian hari bangsa Indonesia membuat produk hukum sendiri yang memiliki
karakteristik bahasa Indonesia yang dapat dipahami oleh masyarakat.
Pengertian bahasa hukum, bahasa hukum adalah bahasa
atau alat komunikasi yang digunakan oleh para ahli hukum untuk menyatakan
pikirannya dalam bidang hukum yang berkaitan dengan profesinya dan tujuan
penggunaan bahasa hukum adalah untuk mencapai keseragaman dalam pengertian dan
pemakaian bahasa/istilah-istilah hukum, sehingga dapat tercapai suatu kepastian
hukum.[3] Selain
itu, meskipun dunia
peradilan dan perundang-undangan sudah lama ada, terbilang sedikit sekali
perhatian pada bahasa
hukum. Dalam skala
luas, Simposium Bahasa dan Hukum di Prapat, Sumatera Utara, November 1974, layak
disebut, tetapi sedikit yang menulis tentang bahasa hukum.[4]
Dari segi bahasa, struktur Bahasa Hukum terbagi menjadi dua kategori yaitu
1.Bahasa yang didasarkan pada kaidah bahasa Indonesia umum; 2.Bahasa yang
didasarkan pada kesepakatan bersama. Kesepakatan tersebut umumnya dibuat oleh
para pembentuk UU, masyarakat hukum, dan ahli hukum sehingga bahasa hukum
memiliki karekteristik kejelasan makna, kepaduan pikiran, kelugasan dan
keresmian.[5]
Konstruksi hukum (rechtsconstructie)
adalah alat-alat yang digunakan untuk menyusun bahan hukum yang dilakukan
secara sistematis dalam bentuk bahasa dan istilah yang baik. Istilah pencurian
adalah suatu konstruksi hukum yg berarti “semua perbuatan mengambil barang
orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum.[6]
Ketika bahasa hukum yang berbasis bahasa Indonesia
berkembang selepas Indonesia merdeka, para ahli hukum kita berlomba-lomba
memperkenalkan terminologi yang menurut mereka paling proporsional untuk
menamakan suatu konsep (atau konstruk) hukum yang semula berbahasa asing.[7]
Ketiadaan kesatuan pendapat, terutama dari para ahli hukum, menyebabkan
ketidaksamaan dalam hal memberikan arti terhadap suatu istilah hukum yang
berasal dari bahasa asing, khususnya bahasa Belanda. Harus diakui bahwa sampai
saat ini belum terdapat ahli di bidang yurist linguistik atau ahli bahasa hukum
yang dapat membuat atau memberikan penjelasan atau mengartikan suatu istilah
hukum dari bahasa asing. Hal ini tidak terlepas dari ketentuan bahwa bahasa
hukum rupanya harus tunduk juga pada hukum bahasa, sehingga sama seperti
fenomena terminologi pada bahasa pada umumnya, terbukti preferensi
penggunaan suatu kata di dalam bahasa, jarang bisa dipaksakan.[8]
Dalam menyusun peraturan perundang-undangan, menurut Bob
Robert Seidman, bahwa peranan seorang perancang (drafter) akan terlihat
dalam proses penyusunan rancangan peraturan, walaupun sistem pembuatan
peraturan berbeda di setiap negara, selanjutnya beliau mengatakan bahwa hal
yang penting adalah bahwa penulis peraturan perundang-undangan harus
benar-benar bertujuan agar pembaca memahami apa yang diperintahkan dan apa yang
dilarang oleh undang-undang.[9]
Bahasa hukum memiliki kekhasasn tersendiri
dibandingkan bahasa ilmu pengetahuan yang lainnya, yang selama ini hanya dapat
dipahami oleh orang-orang yang mempelajari dan mendalami bidang hukum. Bahkan
tidak jarang terjadi, ketika seseorang dinyatakan lulus sebagai seorang sarjana
hukum, belum tentu yang bersangkutan dapat dan mampun mengaplikasikan ilmu
hukum yang dikuasainya ke dalam bahasa hukum pada praktek sehari-hari.
Saat ini seorang sarjana hukum tidak dipersiapkan
secara matang untuk bisa menjadi seorang legal drafter (penyusun rancangan
hukum) baik dalam bentuk rancangan undang-undang maupun rancangan putusan hakim
atau rancangan akta otentik dan lain sebagainya. Dilihat dari materi mata
kuliah hukum pada tingkat Strata 1, belum dibakukan adanya pelatihan dan
pendidikan seorang calon sarjana hukum untuk siap menjadi seorang legal drafter
secara mendalam. Hal tersebut tercermin ketika seorang sarjana hukum yang baru
lulus, akan kebingungan menghadapi materi pekerjaan yang mengahruskannya
membuat sebuah rancangan hukum, bahkan hanya untuk membuat sebuat surat
perjanjian sekalipun, belum tentu seorang sarjana hukum yang baru lulus dapat melakukannya.
Pada tataran yang lebih luas, ketika seorang sarjana
hukum saja masih kesulitan di dalam memahami bahasa hukum apalagi bagi
masyarakat awam yang tidak secara khusus mempelajari hukum. Hal ini yang
menyebabkan kurangnya pemahaman masyarakat awam terhadap pengertian hukum baik
dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun putusan hakim dan lain
sebagainya.
Pada tataran praktis,
pelatihan-pelatihan legislasi yang dilakukan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan
Indonesia (PSHK), atau ‘suncang’ yang dilakukan Direktorat
Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM, menyajikan
topik bahasa hukum dalam sesi khusus akan tetapi dalam bentuk karya cetak,
telaah bahasa hukum mungkin terbilang dengan jari.[10]
Karakteristik bahasa hukum Indonesia
terletak pada istilah-istilah, komposisi serta gaya bahasanya yang khusus dan
kandungan artinya yang khusus, yaitu bahasa hukum yang kita pergunakan sekarang
masih bergaya orde lama, masih banyak yang kurang sempurna semantik kata,
bentuk dan komposisi kalimatnya, masih terdapat istilah-istilah yang tidak
tetap dan kurang jelas, hal mana dikarenakan para sarjana hukum di masa yang
lalu, tidak pernah mendapatkan pelajaran bahasa hukum yang khusus dan tidak
pula memperhatikan dan mempelajari syarat-syarat dan kaidah-kaidah bahasa
Indonesia.[11]
Secara garus besar,
terdapat ciri-ciri yang harus dimiliki oleh bahasa hukum, yaitu :[12]
1) Mempunyai
bentuk tertentu ;
2) Menggunakan
istilah-istilah yang sudah baku, yaitu harus tepat, tegas, jitu, teliti, tidak
mengandung arti ganda ;
3) Tidak
memberi peluang untuk diterjemahkan atau dikatakan lain ;
4) Tidak
meragukan ;
5) Harus
berasio, logis atau nalar ;
6) Harus
efisien ;
7) Harus
Abstrak ;
8) Harus
bersahaja atau mudah dimengerti oleh orang, baik kata-kata maupun susunan
kalimatnya ;
9) Sebanyak
mungkin dihindari pemakaian akronim atau singkatan-singkatan ;
10) Tunduk
kepada aturan-aturan atau norma-norma bahasa Indonesia atau tata bahasa
Indonesia ;
11) Menggunakan
ejaan bahasa Indonesia yang diperbaharui.
Meskipun telah ada
ciri-ciri yang harus dimiliki oleh bahasa hukum, akan tetapi terhadap bahasa
hukum yang merupakan saduran ataupun terjemahan dari bahasa asing, masih sering
ditemukan ketidaksamaan bahasa. Sebagai contoh adalah kata strafbaarfeit, misalnya,
dipopulerkan menjadi beberapa alternatif terma: peristiwa pidana, perbuatan
pidana, atau tindak pidana.[13] Dari
satu kata tersebut saja terdapat banyak terjemahan atau arti, sedangkan di
dalam bahasa hukum di Indonesia masih sangat banyak bahasa hukum yang merupakan
terjemahan atau saduran dari bahasa asing.
Apabila kita cermati, di kalangan masyarakat awampun
masih belum bisa membedakan perbedaan antara Hukum Pidana dengan Hukum Perdata.
Dalam benak masyarakat awam, semua perkara yang disidangkan di pengadilan,
khususnya di pengadilan negeri adalah sama, yaitu siapapun yang disidangkan
harus mendapatkan hukuman. Tentunya hal ini bukan karena salah bunda
mengandung, akan tetapi sejak jaman kolonial masyarakat kita sudah dikondisikan
sebagai masyarakat yang tidak berpendidikan. Faktanya hanya segelintir orang
saja yang mempunyai kesempatan mendapatkan pendidikan tinggi, terutama di
bidang hukum. Pengkotak-kotakan masyarakat pada masa kolonial benar-benar
membuat masyarakat Indonesia bukan sebagai masyarakat yang terdidik, hal ini
tentunya mempermudah pihak kolonial dalam melakukan eksploitasi bangsa
Indonesia.
Setelah era kemerdekaan, telah banyak usaha dilakukan
untuk dapat membentuk hukum nasional Indonesia yang dijiwai oleh nilai-nilai
kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Meskipun belum sempurna,
namun terbentuknya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, merupakan
momentum berharga bagi bangsa Indonesia di dalam membentuk hukum tertulis
Indonesia. Dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 mengakui
keberadaan hukum tidak tertulis yang hidup di tengah-tengah masyarakat
Indonesia, yaitu Hukum Adat.
Meskipun sampai saat ini, usaha untuk membentuk
Undang-Undang yang dijiwai okeh nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat selalu
dilakukan, akan tetapi tidak daat dipungkiri bahwa penggunaan bahasa yang cukup
sulit ydalam setiap peraturan perundang-undangam, menyebabkan masyarakat awam
menjadi sulit memahami isi yang terkandung dalam setiap peraturan
perundang-undangan yang ada.
Pada tataran
praktis, pelatihan-pelatihan legislasi yang dilakukan Pusat Studi Hukum dan
Kebijakan Indonesia (PSHK), atau ‘suncang’ yang dilakukan Direktorat Jenderal
Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM, menyajikan topik bahasa
hukum dalam sesi khusus, tetapi dalam bentuk karya cetak, telaah bahasa hukum
mungkin terbilang dengan jari.[14] Akan tetapi, meskipun kegiatan
pelatihan-pelatihan legislasi yang dilakukan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan
Indonesia (PSHK) atau “suncang” yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal
Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM banyak dilakukan, akan
tetapi sampai saat ini kegiatan ini hanya menjangkau pada tingkat aparatur
penegak hukum baik di Kementerian Hukum dan HAM maupun dari Kejaksaan ataupun
dari pihak dan belum menjangkau pada tingkat masyarakat umum, setidaknya untuk
mengenalkan bagaimana proses pembentukan penyusunan rancangan produk
perundang-undangan maupun penggunaan bahasa di dalam pembentukan produk perundang-undangan.
Pembentukan Hukum pada masa lalu pembentukan hukum
lebih banyak mengandung hal-hal yg bersifat seni, puisi, prosa, lukisan,
lambing, pepatah atau peribahasa, namun saat ini, cara-cara seperti itu sudah
tidak relevan lagi, misalnya: dalam hukum adat Banten dikenal “banteng anut ing
sapi” (sapi jantan mengikuti sapi betina), namun pembentukan hukum pada masa
sekarang ini harus menggunakan istilah dan bahasa hukum yang modern, artinya,
harus dapat dipahami oleh semua orang.[15]
Bahasa yang dipahami oleh semua orang sangat mutlak dibutuhkan dalam setiap
pembentukan hukum utamanya pada hukum yang tertulis, hal ini untuk menghindari
adanya multitafsir dari peraturan perundangan. Penafsiran yang keliru
menyebabkan adanya kerugian bagi seseorang ataupun bagi sekelompok orang
sehingga tujuan dari hukum yaitu keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan
tidak tercapai.
Hambatan yang terjadi pada saat ini adalah ketika
pembuat Undang-Undang yaiitu pada lembaga Legislatif, terdiri dari berbagai
latar belakang pendidikan yang seringkali bukanlah berlatar belakang pendidikan
hukum, sehingga tidak atau kurang memahami esensi dari suatu istilah hukum yang
akan dibentuk dalam sutu Undang-Undang. Selain itu, ahli hukum yang ada di
lembaga Legislatif terdiri dari orang-orang yang berlatar belakang dari
pendidikan hukum dari berbagai negara yang menganut sistem hukum yang berbeda.
Ketika ahli hukum yang berlatar belakang hukum anglo saxon bertemu dengan ahli
hukum yang berlatar belakang hukum kontinental berdiskusi untuk mendefinisikan
suatu istilah hukum dalam suatu Rancangan Undang-Undang (RUU), dapat dipastikan
bahwa akan terdapat ketidaksamaan pendapat diantara keduanya, meskipun disadari
bahwa sistem hukum yang berlaku di Indonesia adalah sistem hukum yang berdasarkan
hukum kontinental yang mempunyai perbedaan-perbedaan dibandingkan dengan sistem
hukum yang berdasarkan hukum anglo saxon.
Menjadi tantangan bagi seorang JURIST untuk dapat
membumikan bahasa hukum yang terdengar begitu rumit dan membingungkan bagi
masyarakat awam menjadi bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat. Menghindari
pemakaian kata-kata “bersayap” yang bersifat multitafsir sangat dianjurkan di
dalam membumikan bahasa hukum sehingga dapat mempermudah bagi masyarakat awam
untuk dapat memahami dan mengerti makna dan arti yang terdapat di dalam suatu
peraturan perundang-undangan.
Hal lain, sering ditemukan di dalam suatu peraturan
perundang-undangan baik itu Undang-Undang, Peraturan Daerah maupun peraturan
perundangan lainnya, di dalam kolom penjelasan pasal-pasalnya, hanya tercantum
keterangan CUKUP JELAS. Kata-kata cukup jelas sebenarnya sangat tidak
menjelaskan terhadap pengertian dari pasal yang dimaksud sehingga pada akhirnya
muncul multitafsir atas pasal tersebut. Apabila kita membandingkan dengan Memorie
van Toetlichting dari Straftrecht van Koophandel, di dalamnya dengan jelas
memberikan penjelasan dengan sejelas-jelasnya pengertian dari pasal-pasal yang
ada. Hal ini membuktikan bahwa masih rendahnya kualitas pembentuk peraturan
perundang-undangan di Indonesia saat ini.
Selain alasan kurangnya jumlah ahli hukum yang
terlibat di dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, hal lain yang
menyebabkannya adalah masih kurangnya pelatihan pembentukan peraturan
perundang-undangan (legal drafting) bagi para pembuat peraturan
perundang-undangan. Bahkan, bagi para mahasiswa Fakultas Hukum sekalipun, mata
kuliah pembentukan peraturan perundang-undangan (legal drafting) masih sangat
kurang jam perkuliahannya, sehingga ketika mahasiswa tersebut lulus dan menjadi
Sarjana Hukum, yang bersangkutan masih memiliki kesulitan ketika mendapatkan
tugas untuk membuat rancangan peraturan perundang-undangan yang kemudian akan
menjadi peraturan perundang-undangan.
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan tentu
saja harus memperhatikan keberadaan hukum dalam masyarakat atau legal
sociologist, dengan mengambil inti dari nilai-nilai hukum dan keadilan yang
hidup dalam masyarakat. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan produk peraturan
perundang-undangan yang sesuai dengan nilai-nilai hukum dan keadilan yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan hasil akhir yang diinginkan adalah
produk perundang-undangan tersebut diterima dan ditaati oleh masyarakat.
Pengabaian terhadap nilai-nilai hukum dan keadilan
yang hidup di dalam masyarakat, menyebabkan sebuah produk peraturan
perundang-undangan ditolak oleh masyarakat, bahkan masyarakat tidak segan-segan
melakukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi atas sebuah atau beberapa
peraturan perundang-undangan yang di dalamnya tidak mengandung nilai-nilai
hukum dan keadilan yang hidup di dalam masyarakat.
Penyusunan suatu produk perundang-undangan kiranya
harus pula memperhatikan metode Konstruksi
Hukum (rechtsconstructie) adalah alat-alat yang digunakan untuk menyusun bahan
hukum yang dilakukan secara sistematis dalam bentuk bahasa dan istilah yang
baik.[16] Hal ini karena Paul
Scholten mengatakan, ’het recht ia er, doch het moet worden govenden’, hukum
itu ada tetapi masih harus ditemukan yaitu hukum harus lebih berorintasi pada
keadilan substantif sehingga ketika teks suatu pasal bersifat kaku dengan ruang
lingkup makna yang ditentukan sebelumnya pada saat teks itu dibentuk, padahal,
masalah sosial bersifat dinamis dan seringkali tidak berjalan secara linier.[17]
Keadaan saat ini barangkali sepadan dengan
pendapat dari Paul Scholten yaitu masih banyak peraturan perundang-undangan
yang isinya masih sulit dimengerti oleh masyarakat awam, bahkan sekalipun
ditafsirkan oleh yang mengerti hukum (ahli hukum). Diperlukan adanya upaya yang
lebih keras lagi dari para pembentuk Undang-Undang, baik pada tingkat pusat
maupun daerah untuk lebih “membumikan” lagi bahasa-bahasa hukum yang sulit
dimengerti oleh masyarakat awam. Saat ini yang terjadi adalah para pembentuk
Undang-Undang sangat jarang yang mendapatkan pembekalan mengenai materi
penyusunan rancangan undang-undang, mereka hanya melakukan tugas-tugasnya
sebagaimana yang harus mereka lakukan tanpa pernah berpikir apakah produk
perundang-undangan yang mereka hasilnya dipahami oleh para konstituennya.
Ketika masyarakat awam tidak paham akan isi dari suatu peraturan
perundang-undangan, tentunya akan menyebabkan ketidaktaatan dari masyarakat
tersebut.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
(Kemenkumham) sebagai aparatur pemerintah yang mempunyai kewenangan sebagai
pihak yang mengajukan suatu rancangan Undang-Undang (stakeholder) seharusnya
berperan lebih aktif di dalam melakukan pembinaan, tidak hanya kepada
aparaturnya akan tetapi juga kepada pihak Legislatif, sebagai “sparring
partner” di dalam membahas dan mengesahkan suatu produk perundang-undangan.
Kegiatan pembinaan dalam usaha membentuk peraturan perundang-undangan tidak
hanya dilakukan di pusat saja tetapi juga harus aktif dilakukan di
daerah-daerah, sehingga pihak Pemerintah Daerah maupun Dewan Perwakilan Rakyat
Daerahpun bisa mendapatkan pemahaman dan penambahan ilmu mengenai cara-cara
menyusun suatu rancangan perundang-undangan daerah (Raperda) sehingga Peraturan
Daerah yang dihasilkan bisa efektif diberlakukan dan juga meningkatkan ketaatan
masyarakat di daerah tersebut akan Peraturan Daerah yang ada.
Ada beberapa faktor yang perlu dicermati sebelum suatu
istilah hukum akan dilahirkan :[18]
Pertama, para pembentuk hukum harus menyimak filosofi di
balik suatu konsep hukum. Istilah strafbaarfeit yang
diterjemahkan menjadi peristiwa pidana tentu berangkat dari
filosofi yang berbeda dengan perbuatan pidana dan tindak
pidana. Dalam konteks ini juga termasuk penelaahan atas latar belakang
keluarga sistem hukum. Konsep ‘mortgage’ dalam sistem Anglo
Sakson tidak bisa serta merta diidentikkan dengan konsep ‘hipotek’ yang ada
dalam sistem hukum Indonesia ;
Kedua, para pembentuk hukum juga harus menyimak
kesesuaian istilah itu dengan kelaziman yang sudah diterima lama dalam doktrin
hukum. Misalnya, kata ‘oneerlijke concurrentie’ atau ‘unfair
competition’ sudah cukup lama dimaknai dalam buku-buku teks hukum
berbahasa Indonesia menjadi ‘persaingan curang’. Entah
mengapa, tiba-tiba dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 muncul istilah
baru: ‘persaingan tidak sehat’ dan ;
Ketiga, pembentuk hukum perlu mempertimbangkan faktor
efisiensi berbahasa sebagaimana diajarkan dalam teknik perundang-undangan.
Kendati hukum dalam satu sisi adalah produk politik, tetapi terkadang
pertimbangan politik yang terlalu menonjol dapat menyebabkan bahasa hukum kita
menjadi tidak tampil elegan di dalam perbendaharaan hukum positif kita.
Sebagai contoh kasus, pernah terjadi dinamika politik yang
membuat pembentuk hukum kita harus memilih apakah akan menggunakan
istilah ‘serikat pekerja’ atau ‘serikat buruh’ sewaktu menyusun peraturan di
bidang ketenagakerjaan. Jalan keluarnya terbilang unik (dan notabene
“sangat Indonesia”), yaitu bahwa setiap kata ‘serikat pekerja’ di dalam
keseluruhan naskah peraturan ketenagakerjaan akan selalu diikuti tanda garis
miring dan ditambah kata ‘serikat buruh’. Pembentukan terma hukum yang boros
seperti ini jelas tidak direkomendasikan dalam teknik perundang-undangan.
Keefektifan
bahasa perundang-undangan dapat
terpenuhi jika hakikat
kalimat efektif itu
telah dipahami secara
sama, yaitu bahwa
kalimat efektif merupakan
kalimat yang mampu
membuat isi atau
maksud yang disampaikan
oleh pembicara (penulis) tergambar lengkap dalam pikiran si pendengar
(pembaca) atau pesan yang diterima oleh
pendengar sama dengan
yang dikehendaki oleh
pembicara. Beberapa ciri
kalimat efektif adalah (1) fokus,
(2) hemat, (3) utuh, (4) terpaut, dan (5) sejajar. Pemfokusan mengisyaratkan bahwa
s esuatu atau hal
yang dipentingkan diletakkan
padabagian awal bukanpada bagian akhir. Penghematan berkenaan dengan pemilihan
kata, terutama kata yang bersinonim
tidak perlu muncul
secara bersama, keutuhan mengharuskan
setiap kata di dalam
kalimat benar-benar merupakan
bagian yang padu (utuh,
kompak, atau bersatu) atau
merupakan satu kesatuan, sedangkan keterpautan
(kohesi) mengharuskan unsur yang satu
dan yang lain menjalin hubungan yang serasi, yaitu logis
dan jelas bagi
pembaca/pendengar, sementara itu, kesejajaran berkenaan dengan
keparalelan bentuk (terutama penggunaan imbuhan) dan keparalelan struktur
(terutama kalimat majemuk setara).
Kaidah-kaidah tersebut kiranya dapat menjadi
pedoman bagi para pembuat peraturan perundang-undangan (legal drafter) sehingga
dapat menghasilkan produk perundang-undangan yang mudah dipahami oleh
masyarakat dari segi bahasa dan juga bisa menimbulkan rasa ketaatan bagi
masyarakat terhadap produk perundang-undangan yang baru.
Pada level akademis, kiranya pihak kampus
yaitu dari masing-masing Fakultas Hukum dapat menambah jumlah jam pemberian
materi penyusunan peraturan perundang-undangan kepada mahasiswanya dan juga
tidak menjadikan materi penyusunan peraturan perundang-undangan hanya sebagai
materi tambahan atau sebagai mata kuliah pilihan bagi mahasiswa senior tetapi
harus menjadi mata kuliah wajib bagi setiap mahasiswa. Setidaknya, hasil yang
diinginkan dari mahasiswa yang telah mempelajari mata kuliah penyusunan
perundang-undangan (legal drafter) memiliki kemampuan dasar terhadap materi
penyusunan peraturan perundang-undangan.
Akan tetapi dari keseluruhan uraian tersebut
di atas, yang paling penting adalah adanya upaya sosialisasi secara terus
menerus (secara masif) dari peraturan perundang-undangan yang telah dihasilkan
kepada masyarakat sehingga masyarakat paham dan mengerti akan keberadaan
peraturan perundang-undangan yang baru sehingga adegium bahwa setiap orang
telah mengerti akan adanya peraturan perundangan yang baru apabila sebuah
Undang-Undang telah diundangkan dan dicantumkan dalam Lembaran Negara maupun
dalam Berita Negara.
C.
Kesimpulan
Dari
uraian mengenai Membumikan Bahasa Hukum, dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut :
1. Perlu
adanya pelatihan yang lebih mendalam dalam upaya menyusun rancangan peraturan
perundang-undangan yang hasilnya dapat dipahami oleh masyarakat awam ;
2. Inisatif
dalam pembentukan rancangan perundang-undangan ada di tangan Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia yang sudah seharusnya menjadi pelopor dalam melakukan
pelatihan-pelatihan kepada para pembuat undang-undang (legal drafter) ;
3. Pihak
kampus, yaitu Fakultas Hukum harus menjadikan materi kuliah penyusunan
perundang-undangan sebagai mata kuliah wajib bagi setiap mahasiswanya dan bukan
sebagai mata kuliah pilihan bagi mahasiswa senior ;
4. Perlunya
upaya sosialisasi secara terus menerus terhadap peraturan perundang-undangan
yang baru ;
D.
SUMBER
BACAAN
1. http://eprints.ums.ac.id/346/1/2._ZUDAN.pdf.
2. http://eprints.ums.ac.id/346/1/2._ZUDAN.pdf.
3. http://rikapuspita41.blogspot.co.id/2011/06/bahasa-hukum.html,
diunduh tanggal 06 Januari 2016 ;
4. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt53c489209fd8e/panduan-memahami-laras-bahasa-hukum,
dunduh tanggal 06 Januari 2016 ;
5. http://slideplayer.info/slide/4880697/,
diunduh tanggal 05 Januari 2016 ;
6. http://business-law.binus.ac.id/2015/08/26/bahasa-hukum-dan-hukum-bahasa/,
diunduh tanggal 05 Januari 2016 ;
7. http://muhammadsood.blogspot.co.id/2013/01/bahasa-hukum.html,
diunduh tanggal 06 Januari 2016 ;
8.
http://zriefmaronie.blogspot.co.id/2013/03/pengertian-kegunaan-bahasa-hukum.html,
diunduh tanggal 06 Januari 2016 ;
9.
http://zriefmaronie.blogspot.co.id/2013/03/pengertian-kegunaan-bahasa-hukum.html,
diunduh tanggal 06 Januari 2016 ;
[1] Hakim Yustisial pada Mahkamah
Agung RI, Mahasiswa Program Doktoral pada Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH)
Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung, Semarang ;
[2] http://eprints.ums.ac.id/346/1/2._ZUDAN.pdf.
[3] http://rikapuspita41.blogspot.co.id/2011/06/bahasa-hukum.html,
diunduh tanggal 06 Januari 2016 ;
[4]http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt53c489209fd8e/panduan-memahami-laras-bahasa-hukum,
dunduh tanggal 06 Januari 2016 ;
[7] http://business-law.binus.ac.id/2015/08/26/bahasa-hukum-dan-hukum-bahasa/, diunduh
tanggal 05 Januari 2016 ;
[8] http://business-law.binus.ac.id/2015/08/26/bahasa-hukum-dan-hukum-bahasa/, diunduh
tanggal 05 Januari 2016 ;
[10]http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt53c489209fd8e/panduan-memahami-laras-bahasa-hukum,
dunduh tanggal 06 Januari 2016 ;
[11]http://zriefmaronie.blogspot.co.id/2013/03/pengertian-kegunaan-bahasa-hukum.html,
diunduh tanggal 06 Januari 2016 ;
[12] http://rikapuspita41.blogspot.co.id/2011/06/bahasa-hukum.html, diunduh tanggal 06 Januari 2016
;
[13] http://business-law.binus.ac.id/2015/08/26/bahasa-hukum-dan-hukum-bahasa/, diunduh
tanggal 05 Januari 2016 ;
[14]http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt53c489209fd8e/panduan-memahami-laras-bahasa-hukum,
dunduh tanggal 06 Januari 2016 ;
[16] http://slideplayer.info/slide/4880697/,
diunduh tanggal 05 Januari 2016 ;
[17] http://slideplayer.info/slide/4880697/,
diunduh tanggal 05 Januari 2016 ;
[18] http://business-law.binus.ac.id/2015/08/26/bahasa-hukum-dan-hukum-bahasa/,
diunduh tanggal 05 Januari 2016 ;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar