Senin, 25 Januari 2016

BAHASA HUKUM



qwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnm

MEMBUMIKAN BAHASA HUKUM
(SEBUAH PEMIKIRAN PEMBAHARUAN)

DISUSUN OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH

HAKIM YUSTISIAL PADA MAHKAMAH AGUNG RI





MEMBUMIKAN BAHASA HUKUM
(SEBUAH PEMIKIRAN PEMBAHARUAN)

OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH[1]

A.     PENDAHULUAN
Dunia peradilan saat ini sedang mengalami masa pancaroba, yaitu dengan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat sebagai pencari keadilan terhadap kinerja aparatur pengadilan. Tidak hanya badan peradilan umum yang menjadi sorotan, akan tetapi juga badan peradiln yang laain seperti badapan peradilan agama, badan peradilan tata usaha negara dan badan peradilan militer.
Ketidakpercayaan tersebut tidak hanya disebabkan karena tingkah laku aparat pengadilan akan tetapi juga dikarenakan sulitnya memahami BAHASA HUKUM di dalam setiap produk hukum, baik itu, produk perundang-undangan maupun juga produk putusan Hakim. Pemahaman mengenai bahasa hukum seringkali sangat sulit dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempelajari hukum secara utuh. Bahasa hukum seakan-akan menjadi suatu bahasa asing yang hanya dipahami oleh segelintir orang saja.
Keberadaan hukum nasional di Indonesia, yang merupakan peninggalan hukum kolonial Belanda, mempunyai pengaruh langsung terhadap pemahaman hukum bagi masyarakat awam. Penerjemahan langsung dari bahasa Belanda menjadi bahasa Indonesia, membuat kosa kata dalam perumusan suatu Undang-Undang peninggalan kolonial Belanda menjadi terdengar asing dalam bahasa Indonesia. Masih terlalu banyak istilah-istilah bahasa Belanda yang belum memilki padanan yang tepat dalam bahasa Indonesia.
Hal ini berimbas juga pada penyusunan produk hukum baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun dalam redaksi putusan Hakim.
B.    Bahasa Hukum adalah bahasa yang sulit dipahami
Hukum adalah suatu sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. Hukum akan menjadi berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan apabila masyarakat menggunakan hukum menuruti perilakunya. Hukum itu sendiri terbagi menjadi beberapa bidang, yaitu hukum pidana atau hukum publik, hukum perdata atau hukum pribadi, dan hukum acara, hukum tata Negara, hukum administrasi Negara atau hukum tata usaha Negara, hukum internasional, hukum adat, hukum islam, hukum agraria, hukum bisnis, dan hukum lingkungan. Dari hukum-hukum tersebut masing-masing mempunyai tujuan yang sama, yaitu bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula berdasar pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat.[2]
Hidup masyarakat tidak akan terlepas dari adanya hukum yang di Indonesia merupakan peninggalan dari pemerintah kolonial Belanda yang keberadaannya masih berlaku hingga saat ini. Oleh sebab itu sangat penting di kemudian hari bangsa Indonesia membuat produk hukum sendiri yang memiliki karakteristik bahasa Indonesia yang dapat dipahami oleh masyarakat.
Pengertian bahasa hukum, bahasa hukum adalah bahasa atau alat komunikasi yang digunakan oleh para ahli hukum untuk menyatakan pikirannya dalam bidang hukum yang berkaitan dengan profesinya dan tujuan penggunaan bahasa hukum adalah untuk mencapai keseragaman dalam pengertian dan pemakaian bahasa/istilah-istilah hukum, sehingga dapat tercapai suatu kepastian hukum.[3] Selain itu, meskipun dunia peradilan dan perundang-undangan sudah lama ada, terbilang sedikit sekali perhatian pada bahasa hukum. Dalam skala luas, Simposium Bahasa dan Hukum di Prapat, Sumatera Utara, November 1974, layak disebut, tetapi sedikit yang menulis tentang bahasa hukum.[4]
Dari segi bahasa, struktur Bahasa Hukum terbagi menjadi dua kategori yaitu 1.Bahasa yang didasarkan pada kaidah bahasa Indonesia umum; 2.Bahasa yang didasarkan pada kesepakatan bersama. Kesepakatan tersebut umumnya dibuat oleh para pembentuk UU, masyarakat hukum, dan ahli hukum sehingga bahasa hukum memiliki karekteristik kejelasan makna, kepaduan pikiran, kelugasan dan keresmian.[5]
Konstruksi hukum (rechtsconstructie) adalah alat-alat yang digunakan untuk menyusun bahan hukum yang dilakukan secara sistematis dalam bentuk bahasa dan istilah yang baik. Istilah pencurian adalah suatu konstruksi hukum yg berarti “semua perbuatan mengambil barang orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum.[6]
Ketika bahasa hukum yang berbasis bahasa Indonesia berkembang selepas Indonesia merdeka, para ahli hukum kita berlomba-lomba memperkenalkan terminologi yang menurut mereka paling proporsional untuk menamakan suatu konsep (atau konstruk) hukum yang semula berbahasa asing.[7] Ketiadaan kesatuan pendapat, terutama dari para ahli hukum, menyebabkan ketidaksamaan dalam hal memberikan arti terhadap suatu istilah hukum yang berasal dari bahasa asing, khususnya bahasa Belanda. Harus diakui bahwa sampai saat ini belum terdapat ahli di bidang yurist linguistik atau ahli bahasa hukum yang dapat membuat atau memberikan penjelasan atau mengartikan suatu istilah hukum dari bahasa asing. Hal ini tidak terlepas dari ketentuan bahwa bahasa hukum rupanya harus tunduk juga pada hukum bahasa, sehingga sama seperti fenomena terminologi pada bahasa pada umumnya, terbukti preferensi penggunaan suatu kata di dalam bahasa, jarang bisa dipaksakan.[8]
Dalam menyusun peraturan perundang-undangan, menurut Bob Robert Seidman, bahwa peranan seorang perancang (drafter) akan terlihat dalam proses penyusunan rancangan peraturan, walaupun sistem pembuatan peraturan berbeda di setiap negara, selanjutnya beliau mengatakan bahwa hal yang penting adalah bahwa penulis peraturan perundang-undangan harus benar-benar bertujuan agar pembaca memahami apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang oleh undang-undang.[9]
Bahasa hukum memiliki kekhasasn tersendiri dibandingkan bahasa ilmu pengetahuan yang lainnya, yang selama ini hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang mempelajari dan mendalami bidang hukum. Bahkan tidak jarang terjadi, ketika seseorang dinyatakan lulus sebagai seorang sarjana hukum, belum tentu yang bersangkutan dapat dan mampun mengaplikasikan ilmu hukum yang dikuasainya ke dalam bahasa hukum pada praktek sehari-hari.
Saat ini seorang sarjana hukum tidak dipersiapkan secara matang untuk bisa menjadi seorang legal drafter (penyusun rancangan hukum) baik dalam bentuk rancangan undang-undang maupun rancangan putusan hakim atau rancangan akta otentik dan lain sebagainya. Dilihat dari materi mata kuliah hukum pada tingkat Strata 1, belum dibakukan adanya pelatihan dan pendidikan seorang calon sarjana hukum untuk siap menjadi seorang legal drafter secara mendalam. Hal tersebut tercermin ketika seorang sarjana hukum yang baru lulus, akan kebingungan menghadapi materi pekerjaan yang mengahruskannya membuat sebuah rancangan hukum, bahkan hanya untuk membuat sebuat surat perjanjian sekalipun, belum tentu seorang sarjana hukum yang baru lulus dapat melakukannya.
Pada tataran yang lebih luas, ketika seorang sarjana hukum saja masih kesulitan di dalam memahami bahasa hukum apalagi bagi masyarakat awam yang tidak secara khusus mempelajari hukum. Hal ini yang menyebabkan kurangnya pemahaman masyarakat awam terhadap pengertian hukum baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun putusan hakim dan lain sebagainya.
Pada tataran praktis, pelatihan-pelatihan legislasi yang dilakukan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), atau ‘suncang’ yang dilakukan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM, menyajikan topik bahasa hukum dalam sesi khusus akan tetapi dalam bentuk karya cetak, telaah bahasa hukum mungkin terbilang dengan jari.[10]
Karakteristik bahasa hukum Indonesia terletak pada istilah-istilah, komposisi serta gaya bahasanya yang khusus dan kandungan artinya yang khusus, yaitu bahasa hukum yang kita pergunakan sekarang masih bergaya orde lama, masih banyak yang kurang sempurna semantik kata, bentuk dan komposisi kalimatnya, masih terdapat istilah-istilah yang tidak tetap dan kurang jelas, hal mana dikarenakan para sarjana hukum di masa yang lalu, tidak pernah mendapatkan pelajaran bahasa hukum yang khusus dan tidak pula memperhatikan dan mempelajari syarat-syarat dan kaidah-kaidah bahasa Indonesia.[11]
Secara garus besar, terdapat ciri-ciri yang harus dimiliki oleh bahasa hukum, yaitu :[12]
1)     Mempunyai bentuk tertentu ;
2)     Menggunakan istilah-istilah yang sudah baku, yaitu harus tepat, tegas, jitu, teliti, tidak mengandung arti ganda ;
3)     Tidak memberi peluang untuk diterjemahkan atau dikatakan lain ;
4)     Tidak meragukan ;
5)     Harus berasio, logis atau nalar ;
6)     Harus efisien ;
7)     Harus Abstrak ;
8)     Harus bersahaja atau mudah dimengerti oleh orang, baik kata-kata maupun susunan kalimatnya ;
9)     Sebanyak mungkin dihindari pemakaian akronim atau singkatan-singkatan ;
10)  Tunduk kepada aturan-aturan atau norma-norma bahasa Indonesia atau tata bahasa Indonesia ;
11)  Menggunakan ejaan bahasa Indonesia yang diperbaharui.
Meskipun telah ada ciri-ciri yang harus dimiliki oleh bahasa hukum, akan tetapi terhadap bahasa hukum yang merupakan saduran ataupun terjemahan dari bahasa asing, masih sering ditemukan ketidaksamaan bahasa. Sebagai contoh adalah kata strafbaarfeit, misalnya, dipopulerkan menjadi beberapa alternatif terma: peristiwa pidana, perbuatan pidana, atau tindak pidana.[13] Dari satu kata tersebut saja terdapat banyak terjemahan atau arti, sedangkan di dalam bahasa hukum di Indonesia masih sangat banyak bahasa hukum yang merupakan terjemahan atau saduran dari bahasa asing.
Apabila kita cermati, di kalangan masyarakat awampun masih belum bisa membedakan perbedaan antara Hukum Pidana dengan Hukum Perdata. Dalam benak masyarakat awam, semua perkara yang disidangkan di pengadilan, khususnya di pengadilan negeri adalah sama, yaitu siapapun yang disidangkan harus mendapatkan hukuman. Tentunya hal ini bukan karena salah bunda mengandung, akan tetapi sejak jaman kolonial masyarakat kita sudah dikondisikan sebagai masyarakat yang tidak berpendidikan. Faktanya hanya segelintir orang saja yang mempunyai kesempatan mendapatkan pendidikan tinggi, terutama di bidang hukum. Pengkotak-kotakan masyarakat pada masa kolonial benar-benar membuat masyarakat Indonesia bukan sebagai masyarakat yang terdidik, hal ini tentunya mempermudah pihak kolonial dalam melakukan eksploitasi bangsa Indonesia.
Setelah era kemerdekaan, telah banyak usaha dilakukan untuk dapat membentuk hukum nasional Indonesia yang dijiwai oleh nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Meskipun belum sempurna, namun terbentuknya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, merupakan momentum berharga bagi bangsa Indonesia di dalam membentuk hukum tertulis Indonesia. Dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 mengakui keberadaan hukum tidak tertulis yang hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia, yaitu Hukum Adat.
Meskipun sampai saat ini, usaha untuk membentuk Undang-Undang yang dijiwai okeh nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat selalu dilakukan, akan tetapi tidak daat dipungkiri bahwa penggunaan bahasa yang cukup sulit ydalam setiap peraturan perundang-undangam, menyebabkan masyarakat awam menjadi sulit memahami isi yang terkandung dalam setiap peraturan perundang-undangan yang ada.
Pada tataran praktis, pelatihan-pelatihan legislasi yang dilakukan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), atau ‘suncang’ yang dilakukan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM, menyajikan topik bahasa hukum dalam sesi khusus, tetapi dalam bentuk karya cetak, telaah bahasa hukum mungkin terbilang dengan jari.[14] Akan tetapi, meskipun kegiatan pelatihan-pelatihan legislasi yang dilakukan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) atau “suncang” yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM banyak dilakukan, akan tetapi sampai saat ini kegiatan ini hanya menjangkau pada tingkat aparatur penegak hukum baik di Kementerian Hukum dan HAM maupun dari Kejaksaan ataupun dari pihak dan belum menjangkau pada tingkat masyarakat umum, setidaknya untuk mengenalkan bagaimana proses pembentukan penyusunan rancangan produk perundang-undangan maupun penggunaan bahasa di dalam pembentukan produk perundang-undangan.
Pembentukan Hukum pada masa lalu pembentukan hukum lebih banyak mengandung hal-hal yg bersifat seni, puisi, prosa, lukisan, lambing, pepatah atau peribahasa, namun saat ini, cara-cara seperti itu sudah tidak relevan lagi, misalnya: dalam hukum adat Banten dikenal “banteng anut ing sapi” (sapi jantan mengikuti sapi betina), namun pembentukan hukum pada masa sekarang ini harus menggunakan istilah dan bahasa hukum yang modern, artinya, harus dapat dipahami oleh semua orang.[15] Bahasa yang dipahami oleh semua orang sangat mutlak dibutuhkan dalam setiap pembentukan hukum utamanya pada hukum yang tertulis, hal ini untuk menghindari adanya multitafsir dari peraturan perundangan. Penafsiran yang keliru menyebabkan adanya kerugian bagi seseorang ataupun bagi sekelompok orang sehingga tujuan dari hukum yaitu keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan tidak tercapai.
Hambatan yang terjadi pada saat ini adalah ketika pembuat Undang-Undang yaiitu pada lembaga Legislatif, terdiri dari berbagai latar belakang pendidikan yang seringkali bukanlah berlatar belakang pendidikan hukum, sehingga tidak atau kurang memahami esensi dari suatu istilah hukum yang akan dibentuk dalam sutu Undang-Undang. Selain itu, ahli hukum yang ada di lembaga Legislatif terdiri dari orang-orang yang berlatar belakang dari pendidikan hukum dari berbagai negara yang menganut sistem hukum yang berbeda. Ketika ahli hukum yang berlatar belakang hukum anglo saxon bertemu dengan ahli hukum yang berlatar belakang hukum kontinental berdiskusi untuk mendefinisikan suatu istilah hukum dalam suatu Rancangan Undang-Undang (RUU), dapat dipastikan bahwa akan terdapat ketidaksamaan pendapat diantara keduanya, meskipun disadari bahwa sistem hukum yang berlaku di Indonesia adalah sistem hukum yang berdasarkan hukum kontinental yang mempunyai perbedaan-perbedaan dibandingkan dengan sistem hukum yang berdasarkan hukum anglo saxon.
Menjadi tantangan bagi seorang JURIST untuk dapat membumikan bahasa hukum yang terdengar begitu rumit dan membingungkan bagi masyarakat awam menjadi bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat. Menghindari pemakaian kata-kata “bersayap” yang bersifat multitafsir sangat dianjurkan di dalam membumikan bahasa hukum sehingga dapat mempermudah bagi masyarakat awam untuk dapat memahami dan mengerti makna dan arti yang terdapat di dalam suatu peraturan perundang-undangan.
Hal lain, sering ditemukan di dalam suatu peraturan perundang-undangan baik itu Undang-Undang, Peraturan Daerah maupun peraturan perundangan lainnya, di dalam kolom penjelasan pasal-pasalnya, hanya tercantum keterangan CUKUP JELAS. Kata-kata cukup jelas sebenarnya sangat tidak menjelaskan terhadap pengertian dari pasal yang dimaksud sehingga pada akhirnya muncul multitafsir atas pasal tersebut. Apabila kita membandingkan dengan Memorie van Toetlichting dari Straftrecht van Koophandel, di dalamnya dengan jelas memberikan penjelasan dengan sejelas-jelasnya pengertian dari pasal-pasal yang ada. Hal ini membuktikan bahwa masih rendahnya kualitas pembentuk peraturan perundang-undangan di Indonesia saat ini.
Selain alasan kurangnya jumlah ahli hukum yang terlibat di dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, hal lain yang menyebabkannya adalah masih kurangnya pelatihan pembentukan peraturan perundang-undangan (legal drafting) bagi para pembuat peraturan perundang-undangan. Bahkan, bagi para mahasiswa Fakultas Hukum sekalipun, mata kuliah pembentukan peraturan perundang-undangan (legal drafting) masih sangat kurang jam perkuliahannya, sehingga ketika mahasiswa tersebut lulus dan menjadi Sarjana Hukum, yang bersangkutan masih memiliki kesulitan ketika mendapatkan tugas untuk membuat rancangan peraturan perundang-undangan yang kemudian akan menjadi peraturan perundang-undangan.
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan tentu saja harus memperhatikan keberadaan hukum dalam masyarakat atau legal sociologist, dengan mengambil inti dari nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan produk peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan nilai-nilai hukum dan keadilan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan hasil akhir yang diinginkan adalah produk perundang-undangan tersebut diterima dan ditaati oleh masyarakat.
Pengabaian terhadap nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup di dalam masyarakat, menyebabkan sebuah produk peraturan perundang-undangan ditolak oleh masyarakat, bahkan masyarakat tidak segan-segan melakukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi atas sebuah atau beberapa peraturan perundang-undangan yang di dalamnya tidak mengandung nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup di dalam masyarakat.
Penyusunan suatu produk perundang-undangan kiranya harus pula memperhatikan metode Konstruksi Hukum (rechtsconstructie) adalah alat-alat yang digunakan untuk menyusun bahan hukum yang dilakukan secara sistematis dalam bentuk bahasa dan istilah yang baik.[16] Hal ini karena Paul Scholten mengatakan, ’het recht ia er, doch het moet worden govenden’, hukum itu ada tetapi masih harus ditemukan yaitu hukum harus lebih berorintasi pada keadilan substantif sehingga ketika teks suatu pasal bersifat kaku dengan ruang lingkup makna yang ditentukan sebelumnya pada saat teks itu dibentuk, padahal, masalah sosial bersifat dinamis dan seringkali tidak berjalan secara linier.[17]
Keadaan saat ini barangkali sepadan dengan pendapat dari Paul Scholten yaitu masih banyak peraturan perundang-undangan yang isinya masih sulit dimengerti oleh masyarakat awam, bahkan sekalipun ditafsirkan oleh yang mengerti hukum (ahli hukum). Diperlukan adanya upaya yang lebih keras lagi dari para pembentuk Undang-Undang, baik pada tingkat pusat maupun daerah untuk lebih “membumikan” lagi bahasa-bahasa hukum yang sulit dimengerti oleh masyarakat awam. Saat ini yang terjadi adalah para pembentuk Undang-Undang sangat jarang yang mendapatkan pembekalan mengenai materi penyusunan rancangan undang-undang, mereka hanya melakukan tugas-tugasnya sebagaimana yang harus mereka lakukan tanpa pernah berpikir apakah produk perundang-undangan yang mereka hasilnya dipahami oleh para konstituennya. Ketika masyarakat awam tidak paham akan isi dari suatu peraturan perundang-undangan, tentunya akan menyebabkan ketidaktaatan dari masyarakat tersebut.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) sebagai aparatur pemerintah yang mempunyai kewenangan sebagai pihak yang mengajukan suatu rancangan Undang-Undang (stakeholder) seharusnya berperan lebih aktif di dalam melakukan pembinaan, tidak hanya kepada aparaturnya akan tetapi juga kepada pihak Legislatif, sebagai “sparring partner” di dalam membahas dan mengesahkan suatu produk perundang-undangan. Kegiatan pembinaan dalam usaha membentuk peraturan perundang-undangan tidak hanya dilakukan di pusat saja tetapi juga harus aktif dilakukan di daerah-daerah, sehingga pihak Pemerintah Daerah maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerahpun bisa mendapatkan pemahaman dan penambahan ilmu mengenai cara-cara menyusun suatu rancangan perundang-undangan daerah (Raperda) sehingga Peraturan Daerah yang dihasilkan bisa efektif diberlakukan dan juga meningkatkan ketaatan masyarakat di daerah tersebut akan Peraturan Daerah yang ada.
Ada beberapa faktor yang perlu dicermati sebelum suatu istilah hukum akan dilahirkan :[18]
Pertama,  para pembentuk hukum harus menyimak filosofi di balik suatu konsep hukum. Istilah strafbaarfeit yang diterjemahkan menjadi peristiwa pidana tentu berangkat dari filosofi yang berbeda dengan perbuatan pidana dan tindak pidana. Dalam konteks ini juga termasuk penelaahan atas latar belakang keluarga sistem hukum. Konsep ‘mortgage’ dalam sistem Anglo Sakson tidak bisa serta merta diidentikkan dengan konsep ‘hipotek’ yang ada dalam sistem hukum Indonesia ;
Kedua,  para pembentuk hukum juga harus menyimak kesesuaian istilah itu dengan kelaziman yang sudah diterima lama dalam doktrin hukum. Misalnya, kata ‘oneerlijke concurrentie’ atau ‘unfair competition’ sudah cukup lama dimaknai dalam buku-buku teks hukum berbahasa Indonesia menjadi ‘persaingan curang’. Entah mengapa, tiba-tiba dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 muncul istilah baru: ‘persaingan tidak sehat’ dan ;
Ketiga, pembentuk hukum perlu mempertimbangkan faktor efisiensi berbahasa sebagaimana diajarkan dalam teknik perundang-undangan. Kendati hukum dalam satu sisi adalah produk politik, tetapi terkadang pertimbangan politik yang terlalu menonjol dapat menyebabkan bahasa hukum kita menjadi tidak tampil elegan di dalam perbendaharaan hukum positif kita. Sebagai contoh kasus, pernah terjadi dinamika politik yang membuat pembentuk hukum kita harus memilih apakah akan menggunakan istilah ‘serikat pekerja’ atau ‘serikat buruh’ sewaktu menyusun peraturan di bidang ketenagakerjaan. Jalan keluarnya terbilang unik (dan notabene “sangat Indonesia”), yaitu bahwa setiap kata ‘serikat pekerja’ di dalam keseluruhan naskah peraturan ketenagakerjaan akan selalu diikuti tanda garis miring dan ditambah kata ‘serikat buruh’. Pembentukan terma hukum yang boros seperti ini jelas tidak direkomendasikan dalam teknik perundang-undangan.
Keefektifan  bahasa  perundang-undangan  dapat  terpenuhi  jika  hakikat  kalimat  efektif  itu  telah  dipahami  secara  sama,  yaitu  bahwa  kalimat  efektif  merupakan  kalimat  yang  mampu  membuat  isi  atau  maksud  yang  disampaikan  oleh pembicara (penulis) tergambar lengkap dalam pikiran si pendengar (pembaca) atau pesan  yang  diterima  oleh  pendengar  sama  dengan  yang  dikehendaki  oleh  pembicara.  Beberapa  ciri  kalimat efektif  adalah (1)  fokus,  (2) hemat,  (3) utuh, (4)  terpaut, dan (5) sejajar. Pemfokusan  mengisyaratkan  bahwa  s esuatu  atau  hal  yang  dipentingkan diletakkan padabagian awal bukanpada bagian akhir. Penghematan berkenaan dengan  pemilihan  kata,  terutama  kata  yang  bersinonim  tidak  perlu  muncul  secara bersama, keutuhan mengharuskan  setiap kata  di  dalam  kalimat  benar-benar merupakan bagian yang  padu  (utuh,  kompak, atau  bersatu) atau merupakan satu kesatuan, sedangkan keterpautan  (kohesi)  mengharuskan unsur  yang satu  dan  yang lain menjalin  hubungan yang serasi, yaitu  logis  dan  jelas  bagi  pembaca/pendengar, sementara itu, kesejajaran berkenaan dengan keparalelan bentuk  (terutama  penggunaan imbuhan) dan keparalelan struktur (terutama kalimat majemuk setara).
Kaidah-kaidah tersebut kiranya dapat menjadi pedoman bagi para pembuat peraturan perundang-undangan (legal drafter) sehingga dapat menghasilkan produk perundang-undangan yang mudah dipahami oleh masyarakat dari segi bahasa dan juga bisa menimbulkan rasa ketaatan bagi masyarakat terhadap produk perundang-undangan yang baru.
Pada level akademis, kiranya pihak kampus yaitu dari masing-masing Fakultas Hukum dapat menambah jumlah jam pemberian materi penyusunan peraturan perundang-undangan kepada mahasiswanya dan juga tidak menjadikan materi penyusunan peraturan perundang-undangan hanya sebagai materi tambahan atau sebagai mata kuliah pilihan bagi mahasiswa senior tetapi harus menjadi mata kuliah wajib bagi setiap mahasiswa. Setidaknya, hasil yang diinginkan dari mahasiswa yang telah mempelajari mata kuliah penyusunan perundang-undangan (legal drafter) memiliki kemampuan dasar terhadap materi penyusunan peraturan perundang-undangan.
Akan tetapi dari keseluruhan uraian tersebut di atas, yang paling penting adalah adanya upaya sosialisasi secara terus menerus (secara masif) dari peraturan perundang-undangan yang telah dihasilkan kepada masyarakat sehingga masyarakat paham dan mengerti akan keberadaan peraturan perundang-undangan yang baru sehingga adegium bahwa setiap orang telah mengerti akan adanya peraturan perundangan yang baru apabila sebuah Undang-Undang telah diundangkan dan dicantumkan dalam Lembaran Negara maupun dalam Berita Negara.
C.    Kesimpulan
Dari uraian mengenai Membumikan Bahasa Hukum, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.      Perlu adanya pelatihan yang lebih mendalam dalam upaya menyusun rancangan peraturan perundang-undangan yang hasilnya dapat dipahami oleh masyarakat awam ;
2.      Inisatif dalam pembentukan rancangan perundang-undangan ada di tangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang sudah seharusnya menjadi pelopor dalam melakukan pelatihan-pelatihan kepada para pembuat undang-undang (legal drafter) ;
3.      Pihak kampus, yaitu Fakultas Hukum harus menjadikan materi kuliah penyusunan perundang-undangan sebagai mata kuliah wajib bagi setiap mahasiswanya dan bukan sebagai mata kuliah pilihan bagi mahasiswa senior ;
4.      Perlunya upaya sosialisasi secara terus menerus terhadap peraturan perundang-undangan yang baru ;

D.    SUMBER BACAAN
1.  http://eprints.ums.ac.id/346/1/2._ZUDAN.pdf.
2.  http://eprints.ums.ac.id/346/1/2._ZUDAN.pdf.
3.  http://rikapuspita41.blogspot.co.id/2011/06/bahasa-hukum.html, diunduh tanggal 06 Januari 2016 ;
5.  http://slideplayer.info/slide/4880697/, diunduh tanggal 05 Januari  2016 ;
7.  http://muhammadsood.blogspot.co.id/2013/01/bahasa-hukum.html, diunduh tanggal 06 Januari  2016 ;
8.         http://zriefmaronie.blogspot.co.id/2013/03/pengertian-kegunaan-bahasa-hukum.html, diunduh tanggal 06 Januari 2016 ;
9.         http://zriefmaronie.blogspot.co.id/2013/03/pengertian-kegunaan-bahasa-hukum.html, diunduh tanggal 06 Januari 2016 ;


[1] Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung RI, Mahasiswa Program Doktoral pada Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung, Semarang ;
[2] http://eprints.ums.ac.id/346/1/2._ZUDAN.pdf.
[5] http://slideplayer.info/slide/4880697/, diunduh tanggal 05 Januari 2016 ;
[6] http://slideplayer.info/slide/4880697/, diunduh tanggal 05 Januari 2016 ;

[15] http://slideplayer.info/slide/4880697/, diunduh tanggal 05 Januari 2016 ;
[16] http://slideplayer.info/slide/4880697/, diunduh tanggal 05 Januari 2016 ;
[17] http://slideplayer.info/slide/4880697/, diunduh tanggal 05 Januari 2016 ;

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...