Kamis, 30 Maret 2017

PEMIDANAAN

Di dalam pemidanaan terhadap seseorang, dikenal adegium Lebih Baik Membebaskan Seribu Orang Bersalah Daripada Menghukum Satu Orang Yang Tidak Bersalah. Adigium ini menjadikan pengingat bagi Aparat Penegak Hukum untuk mendalami setiap perkara yang ditanganinya dengan memeriksa secara cermat setiap alat bukti yang ditemukan dan diperiksa.

PEMIKIRAN SECARA HUKUM

Pemikiran secara hukum seringkali bertentangan dengan pemikiran secara politik sebab pemikiran hukum berlandaskan pada asas bahwa setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum sedangkan pemikiran secara politik berlandaskan pada pola pikir kepentingan yang akan didahulukan. Oleh sebab itu pemikiran secara hukum tidak akan sinkron dengan pemikiran secara politik.

Senin, 20 Maret 2017

SEMINAR IKAHI

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58ca59984e05c/rayakan-hut-ke-64--ikahi-kpk-gelar-seminar-kejahatan-korporasi

Kamis, 16 Maret 2017

PENEGAKAN HUKUM

PENEGAKAN HUKUM YANG SELARAS DENGAN KEADILAN DALAM MASYARAKAT, SEBAGAI MANIFESTASI SUPREMASI HUKUM
BAB I LATAR BELAKANG
Perkembangan dinamika kehidupan masyarakat menuntut pula perkembangan Hukum yang dinamis, baik itu dari segi system Hukum, aparat Hukum nya maupun peraturan perundang-undangannya. Hukum yang dinamis akan mampu “mengobati” apabila terjadi pergesekan-pergesekan diantara warga masyarakat. Semakin dinamis Hukum yang ada dalam masyarakat, maka Hukum akan semakin dipercaya sebagai “obat” untuk mengatasi berbagai permasalahan yang timbul dalam hidup bermasyarakat.
Prof.DR.H.M. Ali Mansyur, SH.SpN.M.Hum, dalam bukunya ANEKA PERSOALAN HUKUM (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum), menyatakan bahwa “Dalam suatu Negara Hukum, supremasi HUKUM seharusnya memperoleh tempat yang semestinya, fungsi Hukum dalam arti materiil yang berusaha memberikan perlindungan kepada masyarakat dengan memperlaakukan tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan memberikan kedudukan Hukum bagi setiap orang.”
Hukum adalah suatu sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. Hukum akan menjadi berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan apabila masyarakat menggunakan hukum menuruti perilakunya. Hukum itu sendiri terbagi menjadi beberapa bidang, yaitu hukum pidana atau hukum publik, hukum perdata atau hukum pribadi, dan hukum acara, hukum tata Negara, hukum administrasi Negara atau hukum tata usaha Negara, hukum internasional, hukum adat, hukum islam, hukum agraria, hukum bisnis, dan hukum lingkungan. Dari hukum-hukum tersebut masing-masing mempunyai tujuan yang sama, yaitu bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula berdasar pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat.
Sebagaimana telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Amandemen keempat dalam Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” , maka sudah pada tempatnya apabila Negara memperlakukan setiap warga negaranya secara sejajar di muka hukum. Sehingga tdak menimbulkan perilaku yang membeda-bedakan berdasarkan alasan apapun di dalam upaya penegakan hukum.
Sampai saat ini masih sering terjadi, pelaksanaan penegakan hukum yang mencederai rasa keadilan masyarakat. Hal tersebut tidak hanya karena perilaku para aparat penegak hukum tetapi juga karena ketidaktahuan masyarakat akan peraturan yang dilanggarnya. Penegakkan hukum di Indonesia masih sangat tidak adil, karena masih melihat latar belakang dan kedudukan seseorang. Hukum hanya berpihak kepada mereka yang mempunyai kekuasaan, sedangkan bagi yang tidak memiliki kekuasaan, mereka tetaplah tertindas.
Advokad senior, Adnan Buyung Nasution mengatakan bahwa dirinya percaya ada tanggung jawab lebih bagi Perguruan Tinggi untuk tidak sekedar mentransfer ilmu pengetahuan dan mencetak tenaga-tenga ahli pada bidangnya saja, tapi sekaligus juga mengupayakan agar generasi penerus yang akan menjadi cendikiawan dan pemmpin di Indonesia pada giliarannya nanti memiliki intregritas yang kokoh. Oleh karena itu, kaum terpelajar mesti berilmu dan berintregitas. Kaum terpelajar perlu meningkatkan pemahaman konseptualnya terhadap problem-problem kebangsaaan dan kenegaraan kita. Selain itu, yang juga tidak kalah pentingnya, kaum terpelajar harus senantiasa mengasah kepekaannya dan menjaga intregitasnya agar dapat mencegah ataupun mengoreksi penyelewengan-penyelewengan kekuasaan yang mengorbankan rakyat.
Prof.DR.Achmad Ali, SH.MH, dalam bukunya MENGUAK TABIR HUKUM, mengutip pendapat dari Zavenbergen, mengatakan bahwa SUMBER HUKUM adalah sumber terjadinya hukum atau sunber yang menimbulkan hukum. Sumber Hukum inilah yang kemudian menjadi SARANA dalam Penegakan Hukum di suatu Negara.
Dari pendapat beberapa pakar hukum (para sarjana), dapat disimpulkan bahwa terdapat 2 (dua) sumber hukum, yaitu SUMBER HUKUM FORMAL dan SUMBER HUKUM MATERIAL. Sumber Hukum Formal yaitu Undang-Undang, Kebiasaan, Traktat atau Perjanjian Internasional, Yurisprudensi, Doktrin dan Hukum Agama. Sedangkan SUMBER HUKUM MATERIAL adalah Kesadaran Hukum warga masyarakat dari mana dan di mana hukum itu berlaku dan diberlakukan.
Proses Penegakan Hukum pada hakekatnya adalah suatu proses untuk menjalankan suatu produk hukum berupa perundang-undangan, baik itu Undang-Undang maupun peraturan perudangan di bawahnya. Suatu Undang-Undang tidak akan dapat dijalankan dengan baik apabila Aparat Penegak Hukumnya adalah aparat yang tidak memahami esensi dari Undang-Undang yang dijalankannya. Sehingga hal tersebut, membuat perlunya Aparat Penegak Hukum yang benar-benar mumpuni dalam menjalankan tugas-tugasnya.
BAB II. PERMASALAHAN
Dari latar belakang tersebut, maka akan muncul permasalahan, yaitu mengenai PENEGAKAN HUKUM YANG SELARAS DENGAN KEADILAN DALAM MASYARAKAT, SEBAGAI MANIFESTASI SUPREMASI HUKUM. Bagaimana penegakan hukum dapat menjadi selaras dengan keadilan dalam masyarakat Indonesia? Dan dari manakah kita harus membenahi penegakan hukum yang simpang siur seperti yang terjadi saat ini?
BAB III. PEMBAHASAN
Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan” hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistik.
Penegakan hukum di Indonesia adalah merupakan suatu persoalan yang dihadapi setiap masyarakat di Indonesia. Penegakan hukum secara nasional untuk belakangan ini dinilai sangat buruk. Hal ini timbul akibat lemahnya penegakan hukum, seperti kasus dana talangan Bank Century, skandal Nazarudin, kasus Nunun Nurbaeti, aksi kekerasan atas nama suku agama ras dan antargolongan atau yang sering disebut SARA, dan masih banyak lagi kasus-kasus yang timbul dari itu kasus yang kecil maupun besar. Walaupun penegakan hukum untuk belakangan ini sudah mulai dinilai buruk oleh masyarakat, namun masyarakat mempunyai tujuan yang sama, agar di dalam masyarakat tercapai kedamaian sebagai akibat dari penegakan hukum yang formil.
Penegakan Hukum itu harus konsisten supaya masyarakat memahami, mana HUKUM dan mana yang BUKAN HUKUM. Sebagai bagian dari proses sosial, penegakan kepastian hukum itu bertumpu pada 2 (dua) komponen utama, yaitu :
1. Hukum itu harus bisa memberikan kepastian dalam orientasi kepada masyarakat. Dalam hal ini dikenal asas kepastian orientasi yaitu Certitudo atau Orientierungssicherheit, yaitu orang memahami, perilaku yang bagaimana yang diharapkan oleh orang lain daripadanya dan respon yang bagaimana yang dapat diharapkannya dari orang lain baagi perilakunya itu ;
2. Kepastian dalam penerapan hukum oleh penegak hukum, Jangan sampai terjadi bahwa sekali ini suatu ketentuan hukum dilaksanakan, tetapi lain kali ketentuan yang sama tidak dilaksanakan. Terdapat suatu asas yaitu Securitas atau Realisierungssherheit adalah asas kepastian realitas hukum yang memungkinkan orang untuk mengandalkan pada perhitungan, bahwa norma-norma yang berlaku memang dihormati dan dilaksanakan, keputusan-keputusan pengadilan sungguh-sungguh dilaksanakan dan perjanjian-perjanjian ditaati.
Haruslah disadari benar bahwa upaya menegakkan hukum tidaklah semudah membalik telapak tangan. Kejadian-kejadian yang sekarang menimpa lembaga hukum hanyalah satu proses untuk menuju terciptanya wibawa hukum. Sikap mawas diri merupakan langkah terpuji yang seyogyanya dibarengi dengan upaya-upaya yang bersifat sistemik dari lembaga-lembaga hukum mulai kejaksaan, kepolisian, kehakiman, dan organisasi penasehat hukum.
Untuk dapat menjadikan Penegakan Hukum dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan oleh masyrakat, maka diperlukan pula produk hukum yang baik, yang benar-benar menampung aspirasi dari masyarakat, sehingga produk hukum tersebut dapat diterapkan dengan baik di dalam kehidupan masyrakat. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa produk huku berupa peraturan perundang-undangan adalah juga merupakan produk politik dari para pembuatnya yaitu Eksekutif dan Legislatif. Prof.DR. Mahfud MD, mengatakan bahwa “Dalam faaktanya jika hukum dikonsepsikan sebagai undang-undang yang dibuat oleh Legislatif, maka tak seorangpun dapat membantah baha hukum adalah prosuk pilitik sebab ia merupakan kristalisasi, formalisasi atau legalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan baik melalui kompromi politik maupun melalui dominasi oleh kekuatan politik yang terbesar.”
A. PRODUK HUKUM DI INDONESIA
Indonesia telah merdeka selama kurang lebih 67 (enam puluh tujuh) tahun, akan tetapi hingga sekarang ini masih belum bisa menemukan atau membuat Sistem Hukum Nasional sendiri. Masih banyak produk hukum peninggalan penjajah kolonial Belanda yang masih kita pergunakan hingga saat ini.
Sebelum kita membahas mengenai Sistem Hukum yang berlaku di Indonesia, perlu kita mengetahui dahulu apa yang dimaksud dengan HUKUM. Banyak doktrin yang membahas mengenai Apa itu HUKUM, apa manfaat atau tujuan dari adanya HUKUM dan lain sebagainya. Secara garis besar, HUKUM dapat diartikan dari 2 (dua) sisi yang berbeda, yaitu :
1. Hukum sebagai kumpulan kaidah (das Sollen) ;
2. Hukum sebagai gejala masyarakat (das Sein) ;
Kedua sisi dari HUKUM tersebut dikarenakan tiada HUKUM tanpa masyarakat dan tiada masyarakat tanpa HUKUM. Sebagaimana dikemukakan oleh ARISTOTELES, bahwa “Manusia adalah zoon politicon”, maka dengan adanya pergaulan dalam masyarakat tersebut yang akhirnya menimbulkan adanya HUKUM. .
Sangat tidak mudah untuk mengartikan HUKUM, karena banyak aspek, ragam, jenis maupun jumlahnya. Kata HUKUM yang berasal dari istilah asing yaitu RECHT (Inggris), recht (Belanda), Recht (Jerman), Diritto (Italia) maupun Droit (Perancis), yang masing-masing memiliki arti dan pengertian tersendiri, tergantung pada masing-masing masyarakatnya. Dan hal yang penting ialah bahwa SUBYEK dari HUKUM adalah manusia, anggota dari suatu masyarakat.
Prof. Sudikno Mertokusumo mengatakan, “Hukum meliputi seluruh kehidupan manusia dan adanya Hukum untuk menata masyarakat. Sedangkan IImmanuel Kisch menyebutkaan bahwa, “Hukum tidak bisa ditangkap oleh Panca Indera sehingga tidak akan ada definisi yang memuaskan tentang Hukum.” John Austin menyatakan bahwa, “Hukum adalah perintah dari Kekuasaan Politik yang berdaulat dalam suatu Negara’”
Dari berbagai pengertian mengenai HUKUM tersebut akhirnya menimbulkan berbagai Sistem Hukum, yaitu “Suatu susunan atau tatanan teratur dari aturan-aturan hidup, keseluruhannya dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain.”
Ada beberapa SISTEM HUKUM yang telah kita kenal selama ini yang masih berlaku hingga saat ini, yaitu :
1. Sistem Hukum Eropa Kontinental (Civil Law) :
Pada awalnya system ini berasal dari kodifikasi Hukum yang berlaku di Kekaisaran Romawi pada masa Kekaisaran Justianus (Abad VI SM), dimana peraturan-peraturan Hukum nya kumpulan dari kaidah Hukum yang ada sebelum masa Justianus (“Corpus juris civilis”).
Sistem Hukum ini mempunyai prinsip utama yaitu “Hukum memperoleh kekuatan Hukum mengikat, karena diwujudkan dalam peraturan yang berbentuk Undang-Undang dan tersusun secara sistematis di dalam kodifikasi atau kompilasi tertentu.” Sistem ini membagi HUKUM menjadi 2 (dua) yaitu Hukum Publik dan Hukum Privat.
2. Sistem Hukum Anglo Saxon (Anglo Amerika) :
Sistem ini sering pula disebut sebagai Sistem Common Law dan Sistem Unwritten Law. Sumber Hukum pada Sistem Hukum Anglo Saxon ini adakah putusan-putusan Hakim atau Pengadilan (Yudicial Decision), melalui putusan Hakim yang diwujudkan kepastian Hukum , maka prinsip dan kaidah Hukum dibentuk dan menjadi kaaidah yang mengikat.
Dalam system ini, Hakim memiliki peranan yang luas, tidak hanya berfungsi untuk menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan Hukum saja tetaapi mereka juga berwenang untuk menciptakan prinsip-prinsip Hukum baru.
3. Sistem Hukum Adat :
Merupakan system Hukum yang berkembang di wilayah Asia termasuk Indonesia, berasal dari istilah ADATRECHT, yang diperkenalkan oleh Snouck Hurgronje. Sistem ini berkembang dari Hukum Adat yang hidup di tengah masyarakat dimana Hukum tersebut sebagian besar berbentuk tidak tertulis. Pada umumnya Hukum adapt antara satu daerah berbeda dengan Hukum adapt di daerah lain. Menurut Mr. C. Van Vollenhoven, di Indonesia terdapat 19 (sembilaan) belas lingkungan Hukum adat.
4. Sistem Hukum Islam :
Sistem Hukum ini awalnya berkembang di Negara-Negara Arab, kemudian berkembang ke Negara-negara lain seperti Asia, Afrika, Amerika dan Eropa secara individual dan kelompok. Sistem Hukum ini bersumber pada :
a. Al-Qur’an, yaitu Kitab suci dari kaum muslimin yang diwahyukan oleh Allah kepada Rasulnya dengan perantaraan Malaikat Jibril.
b. Hadist/Sunnah Nabi, yaitu cara hidup dari Nabi Muhammad atau hadist mengenai Nabi Muhammad.
c. Ijma, yaitu kesepakatan dari para ulama besar mengenai sesuatu hal.
Hal tersebut sesuai dengan Wasiat Rasulullah yang artinya adalah, “Aku telah meninggalkan pada kalian 2 (dau) perkara. Kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya.
Pelanggaran terhadap kaedah atau norma keagamaan ini akan mendapatkan sanksi dari Tuhan Yang Maha Esa yang berupa siksaan di Neraka. Contoh kaidah kepercayaan atau agama, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an pada Surah An-Nisa ayat 29 dan 30 yaitu :
……Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu (29). Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka….(30).
5. Sistem Hukum Asia Timur :
Yaitu Sistem Hukum yang berkembang di daratan Asia Timur seperti Jepang, Cina dan Korea. Sistem Hukum ini bersumberkan pada Hukum Adat yang dipadukan dengan Hukum Modern.
6. Sistem Hukum Afrika :
Yaitu Sistem Hukum yang berkembang di Negara-Negara Afrika yang bersumberkan pada Hukum Adat dan Hukum Islam.
Bahwa dari Teori-teori tersebut di atas, maka dapat dikemukakan bahwa para ahli Hukum memandang terdapat 2 (dua) sumber Hukum yaitu :
1) Sumber Hukum Formal, yaitu Sumber Hukum yang dirumuskan dalam suatu bentuk sehingga menyebabkan Hukum itu berlaku umum, mengikat dan ditaati ;
2) Sumber Hukum Materiil, yaitu Sumber Hukum yang menentukan isi Hukum itu ;
C.S.T.Kansil meninjau Sumber Hukum dari Segi Materiil dan dari Segi Formal, yaitu :
1. Sumber Hukum Materiil : dapat ditinjau lagi dari pelbagai sudut, misalnya dari sudut sejarah, ekonomi, sosiologi dan filsafaat
2. Sumber Hukum Formal antara lain :
a. Undang-Undang (Statute), yaitu suatu keputusan negara yang tertulis dibuat oleh alat perlengkapan Negara yang berwenang (bersama-sama oleh DPR dan Presiden) dan mengikat masyarakat, dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu :
1) Undang-Undang dalam arti materiil (luas), yaitu yaitu semua peraturan atau keputusan tertulis yang menurut isinya mengikat setiap orang secara umum dan dibuat oleh penguasa (pusat ataupun daerah) yang sah, yang dapat digolongkan menjadi 2 (dua) yaitu :
a) Peraturan Pusat (Algemene Verordening), yakni peraturan tertulis yang dibuat oleh pemerintah pusat yang berlaku di seluruh atau sebagian wilaah Negara ;
b) Peraturan Setempat (Locale Verordening), yaitu peraturan tertulis yang dibuat oleh penguasa setempat dan hanya berlaku di tempat atau daerah itu saja ;
2) Undang-Undang dalam arti formal (sempit), yaitu peraturan tertulis yang dibentuk oleh alat perlengkapan Negara yang berwenang (bersama-sama oleh DPR dan Presiden)
b. Kebiasaan (Custom), yaitu perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama yang merupakan suatu bukti bahwa banyak orang menyukai perbuatan tersebut ;
c. Yurisprudensi, yaitu Keputusan Hakim yang terdahulu yang diikuti dan dijadikan dasar keputusan Hakim kemudian mengenai masalah yang sama ;
d. Traktat (Perjanjian Antar Negara), yaitu Persetujuan (perjanjian) yang dilakukan oleh 2 (dua) Negara atau lebih. Prof. Muchtar Kusumaatmaja mengatakan “Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat Hukum tertentu” ;
e. Doktrin (Pendapat Sarjana Hukum ), yaitu ajaran dari seorang ahli Hukum ;
Dari berbagai Sistem Hukum sebagaimana dijelaskan di atas tersebut, sesungguhnya adalah penjabaran untuk mecapai apa yang menjadi tujuan dari adanya HUKUM itu sendiri. Badan-badan penegak Hukum sebagai pemegang wewenang Hukum harus memahami Hukum yang diterapkannya. Oleh sebab itu, maka beberapa Sarjana memberikan penafsiran mengenai Apa yang menjadi tujuan dari adanya Hukum, sehingga muncul berbagai TEORI mengenai Tujuan Hukum .
Negeri Belanda sebagai bekas jajahan Perancis, sudah tentu menerapkan Sistem Hukum dari negeri penjajahnya, yaitu Perancis dan oleh karena Perancis menganut Sistem Hukum Romawi, yaitu Sistem Hukum Eropa Continental, maka Belanda juga menganut system hukum yang sama, yang kemudian diterapkan pula di Indonesia.
Pasal I Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen keempat menyatakan bahwa “Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetaap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini” , membuat masih banyak peraturan perundang-undangan peninggalan penjajah Belanda masih diberlakukan di Indonesia.
Salah satu bukti bahwa masih berlakunya Sistem Hukum peninggalan Penjajah Belanda adalah masih diberlakukannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagaimana yang diundangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, yang tidak lain adalah isinya hampir sama dengan Kitab Undang-Undang Pidana Belanda dan Sumber Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda adalah Code Penal (KUHP Perancis).
Berlakunya produk perundang-undangan peninggalan penjajah Belanda sudah tentu tidak selaras lagi dengan rasa keadilan dalam masyarakat. Hal tersebut disebabkan karena :
1. Produk Hukum peninggalan penjajah kolonial Belanda berdasarkan keinginan dari pemerintah Kerajaan Belanda yang ingin menguasai Indonesia dan bukan dari keinginan dari bangsa Indonesia ;
2. Perkembangan HUKUM yang semakin pesat yang menuntut perkembangan perundang-undangan yang sesuai dengan keadaan masyarakat pada saat ini ;
3. Semakin sedikit Sarjana Hukum yang menguasai bahasa Belanda sebagai bahasa induk dari produk perundang-undangan peninggalan kolonial Belanda ;
Prof. DR.C.F.G. Sunaryati Hartanto, SH, dalam bukunya Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, mengutip pendapat Roscoe Pound dalam bukunya yang berjudul An Introduction to the Philosophy of Law, menyatakan bahwa “Hukum mulai dipandang sebagai suatu sarana perekayasaan masyarakat (tool of engineering) dan tidak sekedar sebagai alat penerbitan masyarakat semata-mata”.
Dari pendapat Prof.DR.C.F.G. Sunaryati Hartanto, SH, dalam bukunya Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional tersebut dapat disimpulkan bahwa HUKUM dapat menjadi sarana / alat untuk menggapi keadilan bagi warga masyarakatnya. Akan tetapi, HUKUM yang bagaimana yang bisa berperan seperti itu? Bahwa di Eropa terdapat perjalanan sejarah perkembangan HUKUM sebagai berikut :
a. Bahwa HUKUM itu sesungguhnya dapat dan memang sudah digunakan debagai sarana perekayasaan sosial ekonomi dengan memperbaharui asas-asas HUKUM itu sedemikian rupa, sehingga menunjang rencana pembangunan sosial ekonomi jangka panjang (Droit de I’Economie) ;
b. Bahwa sesungguhnya ekonomi yang berdasarkan pasar bebas sudah sejak tahun 1930-an sudah tidak ada lagi sejak politik New Dealnya Presiden Roosevelt ;
c. Bahwa yang kini dimaksudkan dengan Hukum Ekonomi bukan sekedar peraturan-peraturan yang mengatur bidang perekonomian tetapi mencakup keseluruhan peraturan, lembaga, proses dan mekanisme HUKUM baik di bidang Hukum Administrasi Negara, Hukum Tata Negara, tetapi juga di bidang Hukum Perdata, Hukum Perdagangan, Hukum Acara, Hukum Perbankan, Hukum Asuransi bahkan juga di bidang Hukum Perdata Internasional dan perjanjian-perjanjian internasional.
Sampai saat inipun, masih belum banyak peraturan perundang-undangan yang dihasilkan oleh bangsa Indonesia yang benar-benar sesuai dengan kehendak dan rasa keadilan masyarakat Indonesia.
Bangsa Indonesia pernah menghasilkan produk perundang-undangan yang bisa dianggap sebagai MAHA KARYA di bidang perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yaitu Undang-Undang Pokok Agraria, akan tetapi mengingat begitu luasnya bidang keagrariaan, maka sebagaimana diungkapkan oleh Prof.DR.AP.Parlindungan,SH, dalam bukunya KOMENTAR ATAS UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA, Penerbit CV.Mandar Maju – Bandung, Tahun 1998, mengatakan bahwa “Hanya memahami materi-materi dari UUPA, belumlah kita akan dapat memahami seluruh permasalahan, jika kita tidak dapat mengakaitkannya dengan filosofi bangsa Indonesia, pandangan Hukum Adat bangsa Indonesia, teori-teori hukum pada umumnya dan kemudian kerangka-kerangka dari UUPA itu sendiri dan demikian pula bagaimana UUPA in action sebagaimana kita lihat, demikian pula dengan studi komparatif dengan lembaga hak sejenis di Negara lain.”
Demikian pula dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang HUKUM ACARA PIDANA, yang juga dapat dikatakan sebagai MAHA KARYA bangsa Indonesia dalam bidang produk perundang-undangan. Setelah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, maka masih terdapat kekurangan-kekurangan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut. Hal itulah yang menuntut kita untuk selalu siap dengan segala perubahan-perubahan dalam hal perkembangan hukum dan dalam hal penegakan hukum.
B. FAKTA PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA
Hukum di Indonesia menganut sistem hukum campuran dengan sistem hukum utama yaitu sistem hukum Eropa Kontinental, sistem hukum adat, sistem hukum agama.
Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang
terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan ‘law enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan ‘penegakan hukum’ dalam arti luas dan dapat pula digunakan istilah ‘penegakan peraturan’ dalam arti sempit. Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggeris sendiri dengan dikembangkannya istilah ‘the rule of law’ versus ‘the rule of just law’ atau dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ versus istilah ‘the rule by law’ yang berarti ‘the rule of man by law’. Dalam istilah ‘the rule of law’ terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah ‘the rule of just law’. Dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah ‘the rule by law’ yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.
Penegakan hukum di Indonesia adalah merupakan suatu persoalan yang dihadapi setiap masyarakat di Indonesia. Penegakan hukum secara nasional untuk belakangan ini dinilai sangat buruk. Hal ini timbul akibat lemahnya penegakan hukum, seperti kasus dana talangan Bank Century, skandal Nazarudin, kasus Nunun Nurbaeti, aksi kekerasan atas nama suku agama ras dan antargolongan atau yang sering disebut SARA, dan masih banyak lagi kasus-kasus yang timbul dari itu kasus yang kecil maupun besar. Walaupun penegakan hukum untuk belakangan ini sudah mulai dinilai buruk oleh masyarakat, namun masyarakat mempunyai tujuan yang sama, agar di dalam masyarakat tercapai kedamaian sebagai akibat dari penegakan hukum yang formil.
Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan pengertian ‘law enforcement’ dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti luas, dalam arti hukum materiel, diistilahkan dengan penegakan keadilan. Dalam bahasa Inggeris juga terkadang dibedakan antara konsepsi ‘court of law’ dalam arti pengadilan hukum dan ‘court of justice’ atau pengadilan keadilan. Bahkan, dengan semangat yang sama pula, Mahkamah Agung di Amerika Serikat disebut dengan istilah ‘Supreme Court of Justice’.
Pengamat politik Universitas Indonesia (UI) Arbi Sanit mengatakan, politik Indonesia sekarang tidak mampu menjalankan fungsikan pemilu, karena penyalahgunaan kekuasaan, sehingga terjadi korupsi politik yang mendalam dan meluas kemana-mana, mulai ke partai, lembaga negara hingga birokrasi. “Ketiadaan atau lemahnya penegakan hukum yang berasal dari kelembagaan itu pun dikondisikan oleh aturan politik. Begitu juga dengan pemerintahan dengan aturan-aturan sistem main mereka. Semua dikondisikan,” ujarnya. Dengan demikian, penegakan hukum pun sulit ditegakkan, karena terjadi penyalahgunaan kekuasaan dari para pembuat hukum yakni legislatif. Hukum itu sendiri merupakan produk politik yang seharusnya mengena pada subtansi politik negara. Namun pada kenyataannya hal itu tidak terjadi, karena pembuat UU dan pelaksana UU mengkondisikan adanya peluang korupsi.
 Sudah jamak terjadi peristiwa main hakim sendiri terhadap suatu tindak kejahatan. Setiap kali terjadinya aksi kekerasan dan main hakim sendiri oleh masyarakat, polisi sebagai aparatur penegak hukum yang paling banyak direpotkan. Tidak saja saat menghadapi arogansi masyarakat dan amuk massa saat itu, tapi menyangkut proses penegakan hukum atas pelanggaran-pelanggaran yang sering terjadi. Sebab apapun alasannya, masyarakat tidak dibenarkan melakukan kekerasan, penindasan apalagi sampai menghilangkan nyawa orang lain. Salah satu alasan yang menyebabkan aksi kekerasan dan main hakim sendiri oleh masyarakat karena lemahnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat terhadap nilai esensial yang terkandung di dalam hukum. Quid leges sine moribus (Moral merupakan bagian vital dari hukum), oleh karenanya hukum tidak akan memiliki arti kalau tidak dijiwai oleh moralitas. Kepincangan itu akhirnya melahirkan persepsi keliru; yang jelek dianggap benar, kadang yang benar dianggap jelek.
 Eksesnya (peristiwa yg melampaui batas) masyarakat menghakimi pencuri, pencopet atau penjambret seolah-olah melakukan tindakan yang benar. Padahal, memukul hingga luka parah bahkan meninggal, secara hukum dan moral tetap saja salah. Terlepas dari tindak kejahatan yang sudah dikerjakan pelaku, mereka juga manusia biasa yang punya khilaf dan memiliki kesempatan dan hak untuk hidup.
Selain itu, banyaknya kejadian serupa merupakan bentuk frustrasi masyarakat pada proses penegakan hukum selama ini. Akibatnya, anggota masyarakat tidak bisa menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, atau munculnya abnormalitas terhadap hukum.
Sosiolog Imam Prasojo menungkapkan, aksi main hakim sendiri ataupun hakim main sendiri lebih dipengaruhi perasaan frustasi masyarakat Indonesia terhadap kondisi bangsa yang morat marit. Terutama sektor perekonomian yang tak kunjung membaik dan kian menghimpit kehidupan ekonomi masyarakat. Indikatornya, aksi ini banyak dilakukan warga dengan ekonomi kurang mampu. Meskipun pemangku kekuasaan juga tidak luput dari hal itu.
Sudah seharusnya, apabila penegakan hukum tidak memandang bulu terhadap pelakunya, sebagaimana yang diungkapkan oleh - Ketua Fraksi Partai Demokrat MPR RI, Jafar Hafsah mengatakan penegakan hukum telah dilakukan tanpa pandang bulu. Hal ini dibuktikan dengan penangkapan dua hakim adhoc tipikor oleh KPK beberapa hari lalu. "Jadi, itu kan penegakan hukum tidak pandang bulu. Siapapun dia kalau diduga ada pelanggaran maka dia akan diproses, itu kan tanda hukum tidak pilih-pilih," terang Jafar saat ditemui dalam acara Open House di rumahnya di kawasan Jatipadang, Jakarta, Senin (20/8/2012) sore.
Akan tetapi, masyarakat masih merasakan ketidakadilan di dalam penegakan hukum, khususnya apabila menyangkut masyarakat yang secara ekonomi tidak mampu. Marilah kita lihat realita-realita penegakan hukum di Indonesia ini. Misalnya saja kasus yang baru-baru ini terjadi yaitu kasus pencurian sandal jepit. Tersangka dalam kasus ini adalah seorang anak dibawah umur yang berusia 15 tahun berinisial AAL. AAL memang terancam (dan dituntut) hukuman 5 tahun penjara, itu sesuai dengan ketentutan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di negara kita. Pada pasal 362 “Barang siapa mengambil barang, yang semuanya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memilikinya dengan melawan hukum, di hukum karena pencurian dengan hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun“.
Setelah terjadi banyak perbincangan-perbincangan tentang kasus yang sangat menyayangkan dapat terjadi, barulah banyak respon yang muncul. Salah satunya adalah respon dari Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo berjanji bahwa kasus “sandal jepit” yang terjadi di Palu tidak akan terulang kembali.
Hakim Pengadilan Negeri Palu memvonis terdakwa AAL (15) bersalah dalam kasus pencurian Sandal jepit milik seorang anggota kepolisian. Namun demikian, sesuai tuntutan Jaksa Penuntut Umum, AAL tidak dijatuhkan hukuman kurungan penjara melainkan dikembalikan ke orang tua untuk mendapatkan pembinaan.
Dan masih ingat kah dengan “ruang penjara elit” untuk kalanngan elit pula? Layak nya sebuah ruangan di dalam gedung atau perkantoran, yang berada di dalam kompleks rutan tersebut, seharusnya gedung untuk perkantoran petugas rutan, disulap menjadi ruang pribadi mewah yang dipakai beberapa narapidana semacam terpidana kasus suap Arthalyta Suryani dan terpidana seumur hidup kasus narkoba, Limarita. Fasilitas mewah yang ada di setiap ruangan keduanya adalah alat penyejuk ruangan, pesawat televisi layar datar merek terkenal, perlengkapan tata suara dan home theatre, lemari pendingin dan dispenser, serta telepon genggam merek Blackberry. Apakah ini yang di namakan “uang berbicara”? Dan apakan hukum di negeri ini semudah itu menjadi lunak?. Kalau sudah seperti itu Anda pun dapat menilainya sendiri sebenarnya apa yang telah melanda hukum di negeri tercinta kita ini.
C. PENEGAKAN HUKUM YANG IDEAL
Tidak dapat dipungkiri bahwa upaya penegakan hukum terkait pula dengan produk perundang-undangan dalam suatu Negara. Semakin berkualitas suatu produk perundang-undangan, maka semakin baik pula penegakan hukumnya. Akan tetapi dalam proses pembuatan produk perundang-undangan tidak akan terlepas dari politik hukum suatu Negara. Lalu, apakah yang dimaksud dengan POLITIK HUKUM? Secara singkat akan dijabarkan sebagai berikut.
Utrech mengatakan bahwa “Politik Hukum berusaha membuat kaidah-kaidah yang akan menentukan bagaimana seharusnya manusia bertindak. Politik Hukum menyelidiki perubahan-perubahan apa yang harus diadakan dalam hukum yang sekarang berlaku supaya sesuai dengan kenyataan sosial. Politik Hukum meneruskan perkembangan hukum dengan berusaha menlenyapkan sebanyak-banyaknya ketegangan antara posivitas dan realitas sosial. Dan Politik Hukum membuat suatu ius constituendum (hukum yang akan berlaku) dan berusaha agar ius constituendum itu pada hari kemudian berlaku sebagai ius constitum”.
Dari definisi tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Politik Hukum selalu ditentukan oleh sifat negra dan system politik yang dianut.
Dalam Negara Demokratis, karakteristik produk hukumnya bersifat :
a. Populist, yaitu produk hukumnya sama dengan kenyataan sosial atau melenyapkan sebanyak-banyaknya ketegangan antara positivisme dan realitas sosial. Prof.DR. H. Abdul Latif, SH.MH mengutip pendapat Prof. Mahfud MD, mengatakan bahwa “produk hukum yang populis adalah produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses pembuatannya memberikan peranan besar dan pastisipasi penuh kepada kelompok-kelompok sosial atau individu ddi dalam masyarakat, hasilnya bersifat responsif. ;
b. Progressive, yaitu produk hukum yang dihasilkan selalu mengikuti perkembangan jaman. Mahfud MD mengatakan bahwa hukum yang responsif bersifat aspiratif, yaitu memuat materi-materi yang secara umum sesuai dengan aspirasi atau kehendak masyarakat yang dilayaninya.
c. Limited Interpretation, yaitu produk hukum yang dihasilkan tidak diinterpretasikan oleh peraturan yang lebih rendah, yang dapat dilihat dari jumlah pasal yang open interpretation. Mahfud MD lebih lanjut mengatakan bahwa “produk hukum yang dihasilkan memberikan sedikit peluang bagi pemerintah untuk membuat penafsiran sendiri melalui berbagai peraturan pelaksanaan dan peluang yang sempit itupun berlaku untuk hal-hal yang betul-betul teknis.”
 Sedangkan dalam Negara yang Sentralistik, karakteristik produk hukumnya adalah bersifat :
1. Elitist, yaitu produk produk hukum yang dihasilkan lebih didominasi oleh lembaga Negara terutama oleh pemegang kekuasaan eksekutif ;
2. Conservative, yaitu produk hukum yang dihasilkan memuat materi yang lebih merefleksikan visi sosial dan politik pemegang kekuasaan atau memuat materi yang lebih didominasi oleh merupakan alat untk mewujudkan kehendak dan kepentingan pemerintah.
3. Open to Interpretation, yaitu produk hukum yang dihasilkan memuat materi singkat dan pokok-pokoknya saja untuk kemudian memberi peluang yang luas bagi pemerintah untuk mengatur berdasarkan visi dan kekuatan politiknya.
Semakin responsif suatu produk perundaang-undangan, maka akan semakin memudahkan di dalam penegakan hukumnya. Hal ini dikarenakan setiap warga negara merasa terwakili kepentingannya di dalam produk perundang-undangan tersebut, sehingga setiap warga negara akan dengan sadar dan tanpa paksaan akan melaksanakan isi dari produk perundang-undangan tersebut.
Selain tentang produk perundang-undangan, juga berkaitan pula dengan Aparatur Penegak Hukum. Sebagaimana diuraikan oleh Prof.DR. Jimly Asshiddiqie, SH, yang mengatakan, Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana. Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat tiga elemen penting yang mempengaruhi, yaitu: (i) institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya; (ii) budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya, dan (iii) perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materielnya maupun hukum acaranya. Upaya penegakan hukum secara sistemik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata. Namun, selain ketiga faktor di atas, keluhan berkenaan dengan kinerja penegakan hukum di negara kita selama ini, sebenarnya juga memerlukan analisis yang lebih menyeluruh lagi. Upaya penegakan hukum hanya satu elemen saja dari keseluruhan persoalan kita sebagai Negara Hukum yang mencita-citakan upaya menegakkan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu sendiri tidak atau belum mencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja berkenaan dengan upaya penegakan hukum tetapi juga pembaruan hukum atau pembuatan hukum baru. Karena itu, ada empat fungsi penting yang memerlukan perhatian yang seksama, yang yaitu (i) pembuatan hukum (‘the legislation of law’ atau ‘law and rule making’), (ii) sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum (socialization and promulgation of law, dan (iii) penegakan hukum (the enforcement of law). Ketiganya membutuhkan dukungan (iv) adminstrasi hukum (the administration of law) yang efektif dan efisien yang dijalankan oleh pemerintahan (eksekutif) yang bertanggungjawab (accountable). Karena itu, pengembangan administrasi hukum dan sistem hukum dapat disebut sebagai agenda penting yang keempat sebagai tambahan terhadap ketiga agenda tersebut di atas. Dalam arti luas, ‘the administration of law’ itu mencakup pengertian pelaksanaan hukum (rules executing) dan tata administrasi hukum itu sendiri dalam pengertian yang sempit. Misalnya dapat dipersoalkan sejauhmana sistem dokumentasi dan publikasi berbagai produk hukum yang ada selama ini telah dikembangkan dalam rangka pendokumentasian peraturan-peraturan (regels), keputusan-keputusan administrasi negara (beschikkings), ataupun penetapan dan putusan (vonis) hakim di seluruh jajaran dan lapisan pemerintahan dari pusat sampai ke daerah-daerah. Jika sistem administrasinya tidak jelas, bagaimana mungkin akses masyarakat luas terhadap aneka bentuk produk hukum tersebut dapat terbuka? Jika akses tidak ada, bagaimana mungkin mengharapkan masyarakat dapat taat pada aturan yang tidak diketahuinya? Meskipun ada teori ‘fiktie’ yang diakui sebagai doktrin hukum yang bersifat universal, hukum juga perlu difungsikan sebagai sarana pendidikan dan pembaruan masyarakat (social reform), dan karena itu ketidaktahuan masyarakat akan hukum tidak boleh dibiarkan tanpa usaha sosialisasi dan pembudayaan hukum secara sistematis dan bersengaja.
BAB IV. PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian-uraian tersebut di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Upaya penegakan hukum tidak hanya tergantung pada produk perundang-undangan yang baik tetapi juga tersedianya Aparatur Penegak Hukum yang berkualitas ;
2. Selain itu juga diperlukan adanya sosialisasi dan pembudayaan hukum kepada masyarakat secara sistematis dan bersengaja ;
3. Hukum juga bisa berfungsi sebagai alat perubahan sosial (Law as a tool of social engeenering), maka perlu adanya pembudidayaan kehidupan berdasarkan hukum.
B. SARAN
Dari pemaparan dan uraian-uraian tersebut di atas, maka perlu disampaikan saran-saran sebagai berikut :
1. Perlu adanya POLITIK HUKUM yang baik sebagai upaya untuk menghasilkan produk perundang-undangan yang berkualitas ;
2. Peningkatan pendidikan-pendidikan hukum, sehingga bisa menghasilkan SARJANA-SARJANA HUKUM yang baik dan bermoral tinggi yang selanjutnya bisa diharapkan menjadi Aparat Penegak Hukum yang baik dan bermoral ;
3. Peningkatan pembudidayaan kehidupan berdasarkan hukum dengan melakukan sosialisasi-sosialisasi setiap produk perundang-undangan yang dihasilkan, sehingga masyarakat menjadi tahu dan mentaatinya ;

DAFTAR PUSTAKA
I. Daftar Buku Bacaan
1. Prof.DR.H.M. Ali Mansyur, SH.SpN.M.Hum, dalam bukunya ANEKA PERSOALAN HUKUM (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum , Penerbit Unisula bekerjasama dengan Penerbit Teras, Tahun 2010.
2. ARIEF SIDARTA, SH, HUKUM DAN LOGIKA, Penerbit ALUMNI - BANDUNG, Tahun 1992.
3. DR. Soerjono Soekanto, SH.MA, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum , Penerbit Rajawali Pers – Jakarta, Tahun 1980.
4. Ali Zainuddin, Sosiologi Hukum, Palu, Yayasan Masyarakat Indonesia Baru,Tahun 2003.
5. Prof.DR..Indrati Rini, SH.MS, Pengantar Ilmu Hukum – Program Pasca Sarjana MAGISTER ILMU HUKUM Universitas Islam Sultan Agung, Tahun 2012.
6. Ishaq, SH.MH, Dasar-Dasar Ilmu Hukum , Penerbit SInar Grafika – Jakarta, Tahun 2007.
7. Prof.DR..Indrati Rini, SH.MS, Teori Hukum – Program Pasca Sarjana MAGISTER ILMU HUKUM Universitas Islam Sultan Agung, Tahun 2012.
8. Prof. DR. Wahyono, SH.MS, Pengantar Hukum Indonesia – Matrikulasi Program Pasca Sarjana MAGISTER ILMU HUKUM Universitas Islam Sultan Agung, Tahun 2012.
9. Prof.DR.Achmad Ali,Sh.MH, Menguak Tabir Hukum, Penerbit Ghalia, Bogor, Tahun 2011.
10. Curzon L.B, Jurisprudence, M & E Handbook.
11. Prof.DR.H.Abdul Latif,SH.MH dan H.hasbi Ali, SH.MH, Politik Hukum, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Tahun 2011.
12. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Penerbit PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, Tahun 2009.
II. Daftar Link Internet
1. http://uai.ac.id/…/kuliah-umum-pendidikan-hukum-dan-penega…/
2. http://khairunnisafathin.wordpress.com/…/masalah-penegakan…/
3. http://gudangilmuhukum.blogspot.com/…/pranata-hukum-sebuah-…
4. http://www.tempo.co/…/SBY-Jangan-Ada-Intervensi-dalam-Peneg…
5. http://www.suarapembaruan.com/…/penegakan-hukum-sulit…/20394
6. http://1ia17meiliawati.blogspot.com/…/kasus-penegakan-hukum…
7. http://www.pikiran-rakyat.com/node/172284
8. http://www.jakarta-media.com/mahfud-md-politik-intervensi-p…
9. http://jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf
10. http://www.tribunnews.com/…/jafar-hafsah-penegakan-hukum-ta…
11. http://uai.ac.id/…/kuliah-umum-penegakan-hukum-di-indonesi…/
12. http://eprints.ums.ac.id/346/1/2._ZUDAN.pdf
13. http://hukum.kompasiana.com/…/18/demoralisasi-penegakan-hu…/
14. http://khairunnisafathin.wordpress.com/…/masalah-penegakan…/
15. http://news.okezone.com/…/polri-dinilai-ciderai-penegakan-h…

Rabu, 15 Maret 2017

JENIS-JENIS HUKUMAN / PIDANA

Perihal Hukuman-Hukuman dalam KUHP, diatur dalam pasal 10, yang menyebutkan, "Hukuman-hukuman ialah :
a. Hukuman-hukuman pokok :
1e. Hukuman mati ;
2e. Hukuman penjara ;
3e. Hukuman kurungan ;
4e. Hukuman denda ;
b. Hukuman-hukuman tambahan :
1e. Pencabutan beberapa hak yang tertentu ;
2e. Perampasan barang yang tertentu ;
3e. Pengumunan keputusan hakim."
Penjelasan atas apa yang dimaksud dengan hukuman adalah "Suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh Hakim dengan vonis kepada orang yang melanggar undang-undang hukum pidana. Hukuman yang biasa dijatuhkan oleh gurur kepada murid atau hukuman disipliner yang diberikan oleh pejabat kepolisian kepada bawahannya, karena telah melanggar peraturan tata tertib kepolisian, tidak termasuk dalam pengertian ini."
Dalam perkembangannya, khususnya terhadap hukuman-hukuman tambahan mengalami perubahan, misalnya dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, menyebutkan adanya pidana tambahan berupa pembayaran Uang Pengganti yang dalam prakteknya dihitung dari nilai uang negara yang dinikmati oleh Terdakwa tindak pidana korupsi atau dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur pidana tambahan berupa biaya perbaikan lingkungan hidup yang dirusak akibat perbuatan dari tindak pidana lingkungan hidup dan masih banyak contoh lainnya.

BELAJAR HUKUM ITU MUDAH

SILAHKAN BERGABUNG
https://www.facebook.com/belajarhukumitumudah/

Selasa, 14 Maret 2017

PIDANA POKOK TERHADAP BADAN HUKUM

Pidana pokok terhadap korporasi adalah pidana denda sehingga merupakan suatu kesalahan di dalam penyusunan Undang-Undang apabila Undang-Undang tersebut mengatur hukuman pemenjaraan terhadap korporasi sebab korporasi bukanlah subyek hukum orang (naturlijke persoon).

Senin, 13 Maret 2017

PELAKSANAAN PENGGELEDAHAN

Perihal pelaksanaan penggeledahan diatur di dalam pasal 127 ayat (1) dan (2) KUHAP yang menyebutkan :
(1) Untuk keamanan dan ketertiban penggeledahan rumah, penyidik dapat mengadaan penjagaan atau penutupan tempat yang bersangkutan ;
(2) Dalam hal ini, penyidik berhak memerintahkan setiap orang yang dianggap perlu tidak meninggalkan tempat tersebut, selama penggeledahan berlangsung.
Meskipun dalam penjelasan pasal ini dinyatakan CUKUP JELAS, akan tetapi secara singkat dapat dijelaskan bahwa selama penggeledahan, penyidik dapat secara selektif memerintahkan seseorang untuk berada atau tidak berada di tempat penggeledahan supaya dapat menjamin ketertiban pelaksanaan penggeledahan dan juga supaya tidak terlalu banyak orang yang tidak berkaitan dengan perkara yang berada di tempat penggeledahan, demi menghindari hilangnya barang bukti yang ada di tempat penggeledahan, baik sengaja maupun tidak sengaja.

Jumat, 10 Maret 2017

Penjelasan Hukum oleh Hakim

Perihal penjelasan hukum oleh Hakim telah disebutkan dalam pasal 221 KUHAP yang menyebutkan, "Bila dipandang perlu Hakim di di sidang atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan Terdakwa atau penasihatb hukumnya dapat memberikan penjelasan hukum yang berlaku."
Pasal ini memberikan penegasan kepada Hakim bahwa Hakim karena kewenangannya dapat menjelaskan kepada Terdakwa maupun penasihat hukumnya atas pasal -pasal yang didakwakan maupun tutntutan dari jaksa / penuntut umum kepada seorang Terdakwa mengingat sampai hari ini masih banyak masyarakat, utamanya yang dijadikan Terdakwa di persidangan masih buta hukum, sehingga Hakim secara bijak dapat menjelaskannya dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh Terdakwa maupun penasihat hukumnya. Penjelasan Hakim tersebut bukan bermaksud untuk mengarahkan Terdakwa atas kasus yang menjeratnya akan tetapi lebih kepada memberikan pemahaman kepada Terdakwa atas dakwaan maupun tuntutan dari jaksa / penuntut umum dan memberikan pemahaman bahwa sebagai Terdakwa, iapun memiliki hak untuk membela diri dengan mengajukan pembelaan selama persidangan.

Kamis, 09 Maret 2017

PENYIMPANAN PUTUSAN PENGADILAN

Mengenai penyimpanan Putusan Pengadilan diatur dalam pasal 224 KUHAP yang menyebutkan, "Semua surat putusan pengadilan disimpan dalam arsip pengadilan yang mengadili perkara itu pada tingkat pertama dan tidak boleh dipindahkan kecuali undang-undang menentukan lain."
Penjelasan dari pasal ini adalah bahwa penyimpanan surat putusan pengadilan meliputi seluruh berkas mengenai perkara yang bersangkutan.

Rabu, 08 Maret 2017

PERKELAHIAN SATU LAWAN SATU

Perihal perkelahian satu lawan satu, diatur dalam pasal 182 yang menyebutkan :
"Dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan :
1e. Barangsiapa menghasut orang supaya mengajak berkelahi satu lawan satu atau menyuruh orang menerima tantangan itu sehingga karena itu terjadi perkelahian satu lawan satu ;
2e. Barangsiapa dengan sengaja menyampaikan tantangan, sehingga karena itu terjadi perkelahian satu lawan satu."
Keterangan atas pasal ini :
1e. Undang-Undang tidak memberikan definisi apa yang dinamakan "berkelahi satu lawan satu" itu. Menurut pengertian umum, maka "berkelahi satu lawan satu" itu adalah perkelahian dua orang dengan teratur dengan tantangan lebih dahulu, sedangkan tempat, waktu, senjata yang diapaki, siapa saksi-saksinya ditetapkan pula. Perkelahian ini biasanya disebut "DUEL". Perkelahian meskipun antara dua orangh, apabila tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, tidak termasuk dalam pasal ini.
2e. Perbuatan "menghasut" dan "menyampaikan tantangan" dalam pasal ini hanya dapat dihukum apabila perkelahian satu lawan satu itu betul-betul terjadi. "Tantangan" artinya permintaan untuk berkelahi.

Selasa, 07 Maret 2017

PEMBELAAN DIRI

Perihal pembelaan diri diatur secara jelas dalam pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) KUHP yang menyebutkan :
(1) Barangsiapa melakukan perbuatan, yang terpaksa dilakukan untuk mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau orang lain, dari pada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum ;
(2) Melampaui batas pertahanan yang sangat perlu, jika perbuatan itu dengan sekonyong-konyong dilakukan karena perasaan tergoncang dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum.
Keterangan pasal ini menyebutkan bahwa pasal ini biasa disebut "Noodwer" artinya "Pembelaan Darurat" supaya orang dapat mengatakan bahwa dirinya dalam "Pembelaan Darurat" dan tidak dapat dihukum itu, harus dapat dipenuhi 3 syarat, yaitu :
1. Perbuatan yang dilakukan itu harus terpaksa untuk mempertahankan (membela) yang harus amat perlu ;
2.Pembelaan atau pertahanan itu harus dilakukan hanya terhadap kepentingan-kepentingan yang disebut dalam pasal itu, ialah "badan, kehormatan dan barang diri sendiri atau orang lain" ;
3. Harus ada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan sekonyong-konyong atau pada ketika itu juga

Senin, 06 Maret 2017

Larangan menjual makanan atau makanan atau obat palsu

Larangan menjual makanan atau makanan atau obat palsu diatur dalam pasal 386 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyebutkan :
(1) Barangsiapa menjual, menawarkan atau menyerahkan barang makanan atau minuman atau obat, sedang diketahuinya bahwa barang-barang itu dipalsukan dan kepalsuan itu disembunyikan, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun ;
(2) Barang makanan dan minuman atau obat itu dipandang palsu, kalau hargnya atau gunanya menjadi kurang sebabsudah dicampuri dengan zat-zat lain.
Keterangan atas pasal tersebut :
1. Memalsukan barang makanan, minuman atau obat-obatan itu tidak hanya dengan cara membuat barang lain yang hampir serupa, akan tetapi juga dapat dilakukan dengan jalan menyampurinya dengan bahan-bahan lain sehingga dengan demikian, harga, kekuatan, guna atau kemanjurannya menjadi berkurang. Mencampur susu "encer" ke dalam susu "kental" untuk memenuhi pesanan susu "kental" menurut yurisprudensi dipandang sebagai "mencampuri dengan bahan lain" sehingga perbuatan ini dapat dihukum (putusan Hoge Raad 22 Februari 1909). Bahan makanan dan minuman untuk kesenangan (genotmiddelen) seperti tembakau, rokok dsb masuk pula dalam pengertian "bahan makanan dan minuman" akan tetapi bahan makanan bagi hewan tidak masuk disini (putusan Hoge Raad 18 Februari 1907).
2. Menjual bahan makanan dan minuman atau obat-obatan palsu atau dipalsukan itu tidak dihukum apabila tentang kepalsuan itu oleh si penjual dibetahukan kepada si pembeli, sehingga di pembeli itu membelinya memang dengan kemauannya dan tidak tertipu, seperti menjual barang-barang "surrogat" (tiruan) misalnya menjual "margarine" (mentega tiruan), menjual "cichorei" (kopi tiruan) dsb.

Jumat, 03 Maret 2017

PEMERIKSAAN KASASI

Mengenai hal-hal yang diperiksa dalam tingkat kasasi pada perkara pidana, diatur dalam pasal 253 ayat (1), yang menyebutkan, "Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam pasal 244 dan pasal 248 guna menentukan :
a. apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaiamana mestinya ;
b. apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang ;
c. apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenang/"

Kamis, 02 Maret 2017

PENYITAAN

Perihal penyitaan diatur dalam pasal 38 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyebutkan :
(1)Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat ;
(2) Dalam hal keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.
Pasal 38 ini mensyaratkan unsur kehati-hatian di dalam setiap penyitaan yang dilakukan oleh penyidik sebab tidak semua barang atau benda yang ada pada lokasi terjadinya tindak pidana merupakan benda yang mempunyai hubungan dengan tindak pidana tersebut sehingga terhadap penyidik dituntut adanya telaahan lebih mendalam dalam bentuk resume terhadap benda yang akan disita. Demikian pula terhadap Ketua Pengadilan Negeri juga dituntut kehati-hatian di dalam mengeluarkan Surat Ijin Penyitaan dengan terlebih dahulu memperhatikan dan mempertimbangkan resume dari penyidik.

Rabu, 01 Maret 2017

CUKUP JELAS

CUKUP JELAS (SEBUAH PENAFSIRAN UNDANG-UNDANG)

Sebuah kalimat yang sering terbaca di dalam penjelasan sebuah Undang-Undang, yang seringkali kali membuat kita "mengerinyitkan dahi" ketika kita harus memahami arti dari sebuah pasal yang ada di dalam Undang-Undang tersebut.
Apabila kita cermati, maka akan tampak jelas, bahwa produk Undang-Undang hasil karya bangsa Indonesia selalu memuat kata CUKUP JELAS di dalam penjelasan atas Undang-Undang tersebut.
Hal ini berakibat bukan hanya bisa membingungkan terhadap setiap orang yang membacanya namun juga membuka peluang MULTI TAFSIR atas sebuah atau beberapa pasal yang termuat dalam sebuah Undang-Undang yang hanya mencantumkan kata CUKUP JELAS. Apabila hanya membuat bingung pembacanya, tentu pembaca tersebut bisa menanyakan kepada orang yang memahami Undang-Undang, akan tetapi apabila kata CUKUP JELAS akan menimbulkan MULTI TAFSIR, utamanya dari para Ahli Hukum, bisa berakibat visi dan misi dari dibuatnya sebuat Undang-Undang tidak tercapai sehingga bukan hanya kepastian hukum yang akan dikorbankan akan tetapi juga rasa keadilan dalam masyarakat juga ikut dipertaruhkan. Hal tersebut dikarenakan sebuah Undang-Undang yang memuat kata CUKUP JELAS di dalam penjelasannya dapat digunakan atau diartikan hanya yang menguntungkan bagi pihak-pihak tertentu saja dengus dan mengabaikan hak-hak dari pihak lain yang dirugikan atas perbuatannya.
Sedkit menengok ke belakang, kita dapat membaca (salah satunya) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang harus diakui sebagai "produk impor" dari pemerintahan Kolonial Belanda. Tidak perlu membaca keseluruhan dari yang ada dalam KUHP tersebut, kiranya cukup kita membaca ketentuan pasal 351 ayat (1) sebagai perbandingan. Di dalam Memorie van Toetlichting (penjelasan) dalam pasal 351 ayat (1) tidak menyebutkan arti dari PENGANIAYAAN (MISHANDELING) tetapi MvT dari pasal tersebut menunjuk kepada Yurisprudensi yang telah mengatur mengenai pengertian PENGANIAYAAN. Dari hal tersebut kiranya jelas bagi kita bahwa pembentuk Undang-Undang, dalam hal ini adalah KUHP, tidak melakukan "CUCI TANGAN" terhadap apa yang telah dibuatnya tetapi tetap mengacu kepada pengertian secara akademik yang tercantum di dalam Yusrisprudensi. Hal lain yang terlihat adalah bahwa para pembentuk Undang-Undang di masa lampau selalu mempelajari terlebih dahulu apakah kiranya suatu peraturan telah diatur atau disebutkan sebelumnya, baik dalam peraturan perundang-undangan maupun di dalam yurisprudensi maupun di dalam doktrin (teori), sehingga produk yang dihasilkan terbaca dengan jelas maksud dan tujuannya.
Disinilah terlihat jelas kualitas pembentuk Undang-Undang di masa lampau, khususnya di era kolonial Belanda dengan para pembentuk Undang-Undang setelah kemerdekaan, meski tetap harus diapresiasi segala produk perundang-undangan yang telah dihasilkan.

Kemudian, apabila sebuah atau beberapa pasal dalam sebuah Undang-Undang di dalam penjelasannya hanya menyebutkan CUKUP JELAS sehingga menimbulkan MULTI TAFSIR, maka kiranya Hakim dapat menjadi rujukan dalam bentuk PUTUSAN yang baik sehingga suatu saat nanti PUTUSAN tersebut dapat menjadi YURISPRUDENSI dalam rangka mengisi kekosongan penafsiran terhadap suatu Undang-Undang. Sedangkan bagi Hakim sendiri kiranya harus tetap mendalami seluruh doktri atau teori hukum yang ada sehingga dapat MENJAWAB kekosongan penafsiran dari suatu Undang-Undang, mengingat Hakim dianggap sebagai orang yang paham hukum (dalam hal ini adalah Undang-Undang) meskipun Hakim tersebut belum membaca Undang-Undang yang menjadi sengketa suatu perkara, baik pidana maupun perdata. Diperlukan kecermatan dan kehati-hatian dari Hakim di dalam menganalisa suatu Undang-Undang sehingga bisa menghasilkan suatu PUTUSAN yang dapat menjawab kekosongan penafsiran suatu Undang-Undang.

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...