Rabu, 01 Maret 2017

CUKUP JELAS

CUKUP JELAS (SEBUAH PENAFSIRAN UNDANG-UNDANG)

Sebuah kalimat yang sering terbaca di dalam penjelasan sebuah Undang-Undang, yang seringkali kali membuat kita "mengerinyitkan dahi" ketika kita harus memahami arti dari sebuah pasal yang ada di dalam Undang-Undang tersebut.
Apabila kita cermati, maka akan tampak jelas, bahwa produk Undang-Undang hasil karya bangsa Indonesia selalu memuat kata CUKUP JELAS di dalam penjelasan atas Undang-Undang tersebut.
Hal ini berakibat bukan hanya bisa membingungkan terhadap setiap orang yang membacanya namun juga membuka peluang MULTI TAFSIR atas sebuah atau beberapa pasal yang termuat dalam sebuah Undang-Undang yang hanya mencantumkan kata CUKUP JELAS. Apabila hanya membuat bingung pembacanya, tentu pembaca tersebut bisa menanyakan kepada orang yang memahami Undang-Undang, akan tetapi apabila kata CUKUP JELAS akan menimbulkan MULTI TAFSIR, utamanya dari para Ahli Hukum, bisa berakibat visi dan misi dari dibuatnya sebuat Undang-Undang tidak tercapai sehingga bukan hanya kepastian hukum yang akan dikorbankan akan tetapi juga rasa keadilan dalam masyarakat juga ikut dipertaruhkan. Hal tersebut dikarenakan sebuah Undang-Undang yang memuat kata CUKUP JELAS di dalam penjelasannya dapat digunakan atau diartikan hanya yang menguntungkan bagi pihak-pihak tertentu saja dengus dan mengabaikan hak-hak dari pihak lain yang dirugikan atas perbuatannya.
Sedkit menengok ke belakang, kita dapat membaca (salah satunya) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang harus diakui sebagai "produk impor" dari pemerintahan Kolonial Belanda. Tidak perlu membaca keseluruhan dari yang ada dalam KUHP tersebut, kiranya cukup kita membaca ketentuan pasal 351 ayat (1) sebagai perbandingan. Di dalam Memorie van Toetlichting (penjelasan) dalam pasal 351 ayat (1) tidak menyebutkan arti dari PENGANIAYAAN (MISHANDELING) tetapi MvT dari pasal tersebut menunjuk kepada Yurisprudensi yang telah mengatur mengenai pengertian PENGANIAYAAN. Dari hal tersebut kiranya jelas bagi kita bahwa pembentuk Undang-Undang, dalam hal ini adalah KUHP, tidak melakukan "CUCI TANGAN" terhadap apa yang telah dibuatnya tetapi tetap mengacu kepada pengertian secara akademik yang tercantum di dalam Yusrisprudensi. Hal lain yang terlihat adalah bahwa para pembentuk Undang-Undang di masa lampau selalu mempelajari terlebih dahulu apakah kiranya suatu peraturan telah diatur atau disebutkan sebelumnya, baik dalam peraturan perundang-undangan maupun di dalam yurisprudensi maupun di dalam doktrin (teori), sehingga produk yang dihasilkan terbaca dengan jelas maksud dan tujuannya.
Disinilah terlihat jelas kualitas pembentuk Undang-Undang di masa lampau, khususnya di era kolonial Belanda dengan para pembentuk Undang-Undang setelah kemerdekaan, meski tetap harus diapresiasi segala produk perundang-undangan yang telah dihasilkan.

Kemudian, apabila sebuah atau beberapa pasal dalam sebuah Undang-Undang di dalam penjelasannya hanya menyebutkan CUKUP JELAS sehingga menimbulkan MULTI TAFSIR, maka kiranya Hakim dapat menjadi rujukan dalam bentuk PUTUSAN yang baik sehingga suatu saat nanti PUTUSAN tersebut dapat menjadi YURISPRUDENSI dalam rangka mengisi kekosongan penafsiran terhadap suatu Undang-Undang. Sedangkan bagi Hakim sendiri kiranya harus tetap mendalami seluruh doktri atau teori hukum yang ada sehingga dapat MENJAWAB kekosongan penafsiran dari suatu Undang-Undang, mengingat Hakim dianggap sebagai orang yang paham hukum (dalam hal ini adalah Undang-Undang) meskipun Hakim tersebut belum membaca Undang-Undang yang menjadi sengketa suatu perkara, baik pidana maupun perdata. Diperlukan kecermatan dan kehati-hatian dari Hakim di dalam menganalisa suatu Undang-Undang sehingga bisa menghasilkan suatu PUTUSAN yang dapat menjawab kekosongan penafsiran suatu Undang-Undang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...