CUKUP JELAS (SEBUAH PENAFSIRAN
UNDANG-UNDANG)
Sebuah
kalimat yang sering terbaca di dalam penjelasan sebuah Undang-Undang, yang
seringkali kali membuat kita "mengerinyitkan dahi" ketika kita harus
memahami arti dari sebuah pasal yang ada di dalam Undang-Undang tersebut.
Apabila
kita cermati, maka akan tampak jelas, bahwa produk Undang-Undang hasil karya
bangsa Indonesia selalu memuat kata CUKUP JELAS di dalam penjelasan atas
Undang-Undang tersebut.
Hal
ini berakibat bukan hanya bisa membingungkan terhadap setiap orang yang
membacanya namun juga membuka peluang MULTI TAFSIR atas sebuah atau beberapa
pasal yang termuat dalam sebuah Undang-Undang yang hanya mencantumkan kata
CUKUP JELAS. Apabila hanya membuat bingung pembacanya, tentu pembaca tersebut bisa
menanyakan kepada orang yang memahami Undang-Undang, akan tetapi apabila kata
CUKUP JELAS akan menimbulkan MULTI TAFSIR, utamanya dari para Ahli Hukum, bisa
berakibat visi dan misi dari dibuatnya sebuat Undang-Undang tidak tercapai
sehingga bukan hanya kepastian hukum yang akan dikorbankan akan tetapi juga
rasa keadilan dalam masyarakat juga ikut dipertaruhkan. Hal tersebut
dikarenakan sebuah Undang-Undang yang memuat kata CUKUP JELAS di dalam
penjelasannya dapat digunakan atau diartikan hanya yang menguntungkan bagi
pihak-pihak tertentu saja dengus dan mengabaikan hak-hak dari pihak lain yang
dirugikan atas perbuatannya.
Sedkit
menengok ke belakang, kita dapat membaca (salah satunya) Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, yang harus diakui sebagai "produk impor" dari
pemerintahan Kolonial Belanda. Tidak perlu membaca keseluruhan dari yang ada
dalam KUHP tersebut, kiranya cukup kita membaca ketentuan pasal 351 ayat (1)
sebagai perbandingan. Di dalam Memorie van Toetlichting (penjelasan) dalam
pasal 351 ayat (1) tidak menyebutkan arti dari PENGANIAYAAN (MISHANDELING)
tetapi MvT dari pasal tersebut menunjuk kepada Yurisprudensi yang telah
mengatur mengenai pengertian PENGANIAYAAN. Dari hal tersebut kiranya jelas bagi
kita bahwa pembentuk Undang-Undang, dalam hal ini adalah KUHP, tidak melakukan
"CUCI TANGAN" terhadap apa yang telah dibuatnya tetapi tetap mengacu
kepada pengertian secara akademik yang tercantum di dalam Yusrisprudensi. Hal
lain yang terlihat adalah bahwa para pembentuk Undang-Undang di masa lampau
selalu mempelajari terlebih dahulu apakah kiranya suatu peraturan telah diatur
atau disebutkan sebelumnya, baik dalam peraturan perundang-undangan maupun di
dalam yurisprudensi maupun di dalam doktrin (teori), sehingga produk yang
dihasilkan terbaca dengan jelas maksud dan tujuannya.
Disinilah
terlihat jelas kualitas pembentuk Undang-Undang di masa lampau, khususnya di
era kolonial Belanda dengan para pembentuk Undang-Undang setelah kemerdekaan,
meski tetap harus diapresiasi segala produk perundang-undangan yang telah
dihasilkan.
Kemudian,
apabila sebuah atau beberapa pasal dalam sebuah Undang-Undang di dalam
penjelasannya hanya menyebutkan CUKUP JELAS sehingga menimbulkan MULTI TAFSIR,
maka kiranya Hakim dapat menjadi rujukan dalam bentuk PUTUSAN yang baik
sehingga suatu saat nanti PUTUSAN tersebut dapat menjadi YURISPRUDENSI dalam
rangka mengisi kekosongan penafsiran terhadap suatu Undang-Undang. Sedangkan
bagi Hakim sendiri kiranya harus tetap mendalami seluruh doktri atau teori
hukum yang ada sehingga dapat MENJAWAB kekosongan penafsiran dari suatu
Undang-Undang, mengingat Hakim dianggap sebagai orang yang paham hukum (dalam
hal ini adalah Undang-Undang) meskipun Hakim tersebut belum membaca
Undang-Undang yang menjadi sengketa suatu perkara, baik pidana maupun perdata.
Diperlukan kecermatan dan kehati-hatian dari Hakim di dalam menganalisa suatu
Undang-Undang sehingga bisa menghasilkan suatu PUTUSAN yang dapat menjawab
kekosongan penafsiran suatu Undang-Undang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar