qwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnm
|
ALAT BUKTI ILMIAH SEBAGAI ALAT BUKTI DI PERSIDANGAN
DISUSUN OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH
HAKIM YUSTISIAL MAHKAMAH AGUNG RI
|
ALAT BUKTI ILMIAH
SEBAGAI ALAT BUKTI DI PERSIDANGAN
OLEH
: H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH[1]
A. PENDAHULUAN
Semakin
berkembangnya masyarakat menuntut pula semakin cepatnya pergerakan seseorang
dalam usaha mencapai tujuannya. Segala macam cara digunakan sebagai sarana demi
mencapai semua kehendak dan keinginan yang seringkali, baik sadar maupun tidak,
merugikan orang lain. Hal ini menggambarkan bahwa seakan-akan setiap manusia
berhak menggunakan segala macam cara baik yang diperbolehkan maupun yang
dilarang (diharamkan) demi memenuhi kebutuhan hidupnya.
Perbuatan
yang merugikan orang lain tersebut kadang kala tidak terselesaikan dangan jalan
musyarawah mufakat sehingga harus diselesaikan di persidangan. Penyelesaian
sengketa di muka meja hijau tentu akan melewati tahapan yang disebut
pembuktian, yaitu para pihak yang bersengketa baik dalam perkara pidana maupun
perdata saling mengajukan bukti baik bukti saksi maupun bukti surat. Selaras
dengan perkembangan jaman, maka perkembangan tekhnologi dan informasi juga
berperan serta dalam proses pembuktian di persidangan tanpa mengabaikan alat
bukti sebagaimana yang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana maupun di dalam HIR/Rbg, untuk hukum perdata.
B. PEMBUKTIAN DI
PERSIDANGAN
Di
dalam hukum acara baik hukum acara pidana maupun hukum acara perdata, ketika seseorang akan membuktikan suatu dalil baik
itu Jaksa Penuntut Umum yang akan membuktikan dalil dakwaannya, maupun Terdakwa
yang akan membantah dalil dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum atau Penggugat yang
akan membuktikan dalil gugatannya maupun Tergugat yang akan membantah dalil
gugatan dari Penggugat, akan berusaha melakukannya dengan cara pembuktian di
persidangan. Yahya Harahap mengatakan bahwa, “Pembuktian merupakan titik
sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan”[2]
Secara
teoritis terdapat beberapa sistem pembuktian yang kita kenal. Sistem pembuktian
tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut :[3]
1. Conviction
Raisonee
Dalam sistem
pembuktian ini hakim memegang peranan penting dalam menentukan bersalah atau
tidaknya terdakwa, tetapi factor keyakinan hakim dibatasi dengan dukungan –
dukungan dan alasan yang jelas. Haki berkewajiban menguraikan, menjelaskan
alasan – alasan yang mendasari keyakinannya dengan alasan yang dapat diterima
secara akal dan bersifat yuridis. Sistem ini oleh Andi Hamzah disebut dengan
sistem bebas, karena hakim bebas untuk menyebut alasan – alasan
keyakinannya (vrije bewistheorie, atau disebut juga sebagai jalan
tengah beradasarkan keyakinan hakim sampai batas tertentu dan terpecah menjadi
dua jurusan yakni pertama berdasarkan atas keyakinan hakim (conviction
in time) dan yang kedua adalah teori pembuktian berdasarkan undang –
undang secara negative(negatief wetteliejk bewistheorie). Kesamaan
keduanya adalah adalah sama – sama berdasarkan atas keyakinan hakim, artinya
terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim, bahwa terdakwa
dinyatakan bersalah. Keyakinan hakim harus didasarkan pada suatu
kesimpulan (conclusive) yang logis, yang tidak didasarkan pada
undang – undang tetapi ketentuan – ketentuan berdasarkan ilmu pengetahuan hakim
itu sendiri, tentang pilihannya terhadap alat bukti yang dipergunakan, sehingga
menurut undang – undang telah ditentukan secara limitative dan harus diikuti
oleh keyakinan hakim. Sistem ini bertitik tolak pada keyakinan hakim dan pada
pembuktian berdasarkan undang – undang secara negatif ;
2. Pembuktian menurut
undang – undang secara positif (positief wattelijk bewisjstheorie)
Suatu
pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan
semata – mata (conviction in time). Hal mana keyakinan hakim
tidak berarti, dengan suatu prinsip berpedoman pada alat bukti yang ditentukan
dalam undang – undang. Hakim tidak lagi berpedoman pada hati nuraninya, jadi
hakim berfungsi sebagai robot dari pelaksana undang – undang. Kebaikan dari
sistem ini, yakni hakim berkewajiban untuk mencari dan menemukan kebenaran,
sesuai dengan tata cara yang telah ditentukan berbagai alat bukti yang sah oleh
undang – undang. Sehingga aspek pertama hakim mengesampingkan factor keyakinan
semata – mata dan berdiritegak dengan nilai pembuktian objektif tanpa
memperhatikan subjektivitas. Namun sistem ini tidak lagi dianut karena
mengandalkan pembuktian berdasarkan undang – undang dan mengabaikan keyakinan
hakim yang jujur dan berpengalaman yang mungkin juga mempunyai kesamaan dengan
masyarakat secara luas ;
3. Pembuktian menurut
undang – undang secara negative (negatief wettelijk bewisjtheorie)
Pada sistem
ini pembuktian merupakan akulturasi atau gabungan dari sistem pembuktian
menurut undang – undang secara positif dan sistem pembuktian menurut keyakinan
hakim. Sistem merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang bertolak belakang
secara ekstrem. Dalam pembuktian ini bersalah atau tidaknya terdakwa ditentukan
oleh keyakinan hakim yang didasarkan pada cara menilai alat – alat bukti yang
sah menurut undang – undang. Sehingga keyakinan hakim dibangun atas dasar bukti
yang sah dan timbulnya keyakinan hakim bahwa terdakwa betul – betul salah.
Dari ketiga teori tersebut, kiranya dapat diterapkan di dalam proses
pembuktian di persidangan dengan tujuan utama untuk mencari kebenaran baik
kebenaran materiil di dalam hukumm pidana maupun kebenaran formil di dalam
hukum perdata. Dalam praktek, pembuktian
dalam persidangan secara ringkas dapat dijelaskan sebagaimana uraian di bawah
ini.
1.
PEMBUKTIAN
DALAM HUKUM PIDANA
Di
dalam Hukum Acara Pidana, telah diatur bagaimana cara pembuktian dapat
dilakukan di persidangan dan bagaimana hakim bersikap di dalam putusannya terhadapp
suatu perkara. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang
menyebutkan, “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah
yang bersalah melakukannya”. Di dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP tersebut hanya
menyebutkan “Ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan
dan kepastian hukum bagi seseorang”,
sehingga untuk memahami ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebut. Kiranya
ketentuan Pasal 183 KUHAP ini mengadopsi dari ketentuan Pasal 294 HIR, yang
dianggap sebagai pembuktian menurut undang-undang secara negatif.[4]
Dari
ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebut tersurat bahwa dibutuhkan minimal 2 (dua)
alat bukti yang dapat menjadi pegangan hakim sebelum menjatuhkan putusan,
sehingga kemudian perlu dipahami pula ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP
mengenai alat bukti yang sah yaitu :
a. Keterangan
saksi ;
b. Keterangan
ahli ;
c. Surat
;
d. Petunjuk
;
e. Keterangan
Terdakwa ;
Tulisan ini hanya akan membatasi pembahasan pada
alat bukti berupa SURAT maupun PETUNJUK,
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) huruf c dan huruf d KUHAP.
Mengenai surat, telah diatur di dalam Pasal 187
KUHAP yang menyebutkan, “Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1)
huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah :
a. Berita
Acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang
kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri, disertai
dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu ;
b. Surat
yang dibuat menurut ketentuan peraturn perundanga-undangan atau surat yang
dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi
tanggung jawab dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atas ssesuatu
keadaan ;
c. Surat
keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya
mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari
padanya ;
d. Surat
lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubunganna dengan isi dari alat
pembuktian yang lain ;
Di dalam penjelasan Pasal 187 KUHAP, hanya pada
huruf b saja yang mendapatkan penjelasan sebagai berikut, “Yang dimaksud dengan
surat yang dibuat oleh pejabat termasuk surat yang dikeluarkan oleh suatu
majelis yang berwenang untuk itu”.
Mengenai kekuatan pembuktian surat, Yahya Harahap
membagi ke dalam 2 segi yaitu dari segi formil dan dari segi materiil.[5]
Dari segi formil, bukti surat mempunyai nilai pembuktian formal yang sempurna,
dengan sendirinya bentuk dan isi surat tersebut :
a. Sudah
benar, kecuali dapat dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain ;
b. Semua
pihak tidak dapat lagi menilai kesempurnaan bentuk dan pembuatannya ;
c. Juga
tidak dapat lagi menilai kebenaran keterangan yang dituangkan pejabat berwenang
di dalamnya sepanjang isi keterangan tersebut tidak dapat dilumpuhkan dengan
alat bukti yang lain ;
d. Isi
keterangan yang tertuang di dalamnya hanya dapat dilumpuhkan dengan alat bukti
yang lain baik berupa alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli atau
keterangan Terdakwa.
Dari
segi materiil, nilai kekuatan pembuktin alat bukti surat sama halnya dengan
nilai embuktian keterangan saksi dan alat bukti keterangan ahli, yaitu
sama-sama mempunyai kekuatan pembuktian yang bersifat bebas, sehingga hakim
bebas untuk menilai kekuatan pembuktiannya dengan alasan :
a. Asas
proses pemeriksaan perkara pidana ialah untuk mencari kebenaran materiil atau
kebenaran sejati (materiil waarheid) bukan kebenaran formal, sehingga hakim bebas menilai
kebenaran yang terkandung pada alat bukti surat ;
b. Asas
keyakinan hakim, yaitu hakim hanya dapat menjatuhkan pemidanaan kepada Terdakwa
apabila telah diperoleh minimal 2 (dua) alat bukti yang sah ;
c. Asas
batas minimum pembuktian, dalam arti meskipun melekt sifat kesempurnaan secara
formal atas bukti surat, akan tetapi alat bukti surat tidak cukup sebagai alat
bukti yang berdiri sendiri dan tetap memerlukan dukungan dari alat bukti lainnya
;
Mengenai
alat bukti petunjuk adalah sebagaimana tercantum dalam Pasal 188 KUHAP yang
menyebutkan :
(1) Petunjuk
adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara
yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan
bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya ;
(2) Petunjuk
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari :
a. Keterangan
saksi ;
b. Surat
;
c. Keterangan
Terdakwa ;
(3) Penilaian
atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu
dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana, setelah mengadakan pemeriksaan
dengan kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Penjelasan
dalam pasal 188 KUHAP inipun hanya menyebutkan cukup jelas, sehingga di dalam
praktek diperlukan kehati-hatian yang sangat mendalam dan kecermatan dari
setiap hakim terhadapp alat bukti berupa petunjuk. Dan terhadapp nilai kekuatan
pembuktian alat bukti petunjuk, juga bersifat bebas dalam arti :[6]
a. Hakim
tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk ;
b. Petunjuk
sebagai alat bukti, tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan Terdakwa
dan tetap terikat kepada prinsip batas minimum pembuktian ;
2.
PEMBUKTIAN
DALAM PERKARA PERDATA
Di dalam proses persidangan perkara
perdata, dalam hal pembuktian terdapat hal yang bersifat lebih rumit dan
kompleks dibandingkan dengan proses persidangan perkara pidana, karena
berkaitan dengan menggali kebenaran yang tempus (waktunya) bisa tidak terhingga
lamanya, bukan hanya dalam hitungan hari atau bulan tetapi bahkan dalam
hitungan tahun. Hal lain yang memperngaruhi rumitnya pembuktian perkara perdata
adalah sebagaimana disampaikan oleh Yahya Harahap, yaitu :[7]
1. Faktor
Sistem Adversarial (Adversarial System), yaitu sistem yang mengharuskan
memberikan hak yang sama kepada para pihak yang berperkara untuk saling
mengajukan kebenaran masing-masing serta mempunyai hak untuk saling membantah
kebenaran yang diajukan pihak lawan sesuai dengan proses adversarial
(adversarial proceeding) ;
2. Pada
prinsipnya kedudukan hakim dalam proses pembuktian sesuai dengan sistem
adversarial adalah lemah dan pasif, dalam arti tidak aktif mencari dan
menemukan kebenaran di luar aa yang diajukan dan disampaikan para pihak dalam
persidangan.
Dalam
perkara perdata, yang diutamakan adalah mencari kebenaran formil (formeel
waarheid), sehingga terbuka kemungkinan bahwa para pihak akan mengajukan
pembuktian yang tidak sebenarnya dan terdapat unsur kebohongan di dalam
pembuktian yang diajuakan ke persidangan. Meski demikian, perlu pula dicermati
Putusan Mahkamah Agung RI No.3136 K/Pdt/1983 yang mengatakan, “Tidak dilarang
pengadilan perdata mencari dan menemukan kebenaran materiil, namun apabila
kebenaran materiil tidak ditemukan dalam peradilan perdata, hakim dibenarkan
hukum mengambil putusan berdasarkan kebenaran formil.”[8]
Pedoman
umum di dalam pembuktian perkara perdata adalah sebagaimana digariskan dalam
Pasal 163 HIR yang berbunyi, “Barang siapa yang mengatakan ia mempunyai hak
atau ia menyebutkan sesuatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu atau untuk
membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau
adanya kejadian itu.” Ketentuan ini sama dengan ketentuan Pasal 263 RBg atau
Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), sehingga tentang
pembuktiaan dalam perkara perdata dapat disimpulkan sebagai berikut :
· Siapa
yang mendalil sesuatu hak, kepadanya dibebankan wajib bukti untuk membuktikan
hak yang didalilkannya dan
· Siapa
yang mengajukan dalil bantahan dalam rangka melumpuhkan hak yang didalilkan
pihak lain, kepadanya dipikulkan beban pembuktian untuk membuktikan dalil
bantahan tersebut ;
Lebih
lanjut mengenai pembuktian di perkara perdata, dikenal adanya istilah
Pengertian Batas Minimal yang dapat diartikan :[9]
· Suatu
jumlah alat bukti yang sah yang paling sedikit harus terpenuhi agar alat bukti
itu mempunyai nilai kekuatan pembuktian untuk mendukung kebenaran yang
didalilkan atau dikemukakan ;
· Apabila
alat bukti yang diajukan di persidangan tidak mencapai batas minimal, alat
bukti itu tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup untuk
membuktikan kebenaran dalil atau peristiwa maupun pernyataan yang dikemukakan.
Patokan
menentukan batas minimal, tidak ditentukan pada faktor kuantitas akan tetapi
ditentukan pada faktor kualitas, sebagai contoh adalah dalam suatu perkara
perdata, pihak Penggugat menghadirkan saksi sejumlah 100 (seratus) orang, akan
tetapi selama persidangan, saksi yang benar-benar mengetahui mengenai sengketa
perkara antara Penggugat dengan Tergugat hanya 1 (satu) orang saksi, maka hakim
dapat mengabaikan keterangan dari 99 (sembilan puluh sembilan) orang saksi
lainnya. Sehingga, dalam perkara perdata di dalam hal pembuktian, peranan hakim
justru mengemuka dalam arti hakim yang akan menilai kualitas dari pembuktian
yang dilakukan oleh para pihak, apakah pembuktian yang diberikan benar-benar
memiliki kualitas sebagai alat bukti atau tidak.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa dalam perkara perdata akan lebih banyak melibatkan alat
bukti berupa surat, yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Akta
Otentik ;
b. Akta
Bawah tangan dan ;
c. Akta
Sepihak atau pengakuan sepihak ;
C.
PEMBUKTIAN
DENGAN MENGGUNAKAN ALAT BUKTI ILMIAH
Sebelum
membahas mengenai alat bukti ilmiah maka perlu kiranya mengetahui terlebih
dahulu mengenai pengertian bukti empiris adalah informasi yang membenarkan suatu kepercayaan dalam kebenaran atau kebohongan suatu
klaim empiris dan dalam pandangan empirisis, seseorang hanya dapat
mengklaim memiliki pengetahuan saat seseorang memiliki sebuah kepercayaan yang
benar berdasarkan bukti empiris.[10]
Dalam bukti empiris, Indra adalah sumber utama dari bukti empiris.
Walaupun sumber lain dari bukti, seperti ingatan, dan kesaksian dari yang lain pasti ditelusuri
kembali lagi ke beberapa pengalaman indrawi, semuanya dianggap sebagai
tambahan, atau tidak langsung.[11]
Bukti empiris ini yang dalam istilah hukum diaplikasikan dalam keterangan
saksi, yaitu orang yang melihat, mendengar dan mengetahui secara langsung atas
suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seorang terdakwa (dalam perkara pidana)
atau terhadap suatu peristiwa hukum yang menjadi sebab akibat atas peristiwa
hukum yang lain (dalam perkara perdata).
Kesulitan
yang dihadapi ketika hanya mengandalkan alat bukti saksi adalah berkenaan
dengan keterbatasan seorang saksi dalam mengingat kembali kejadian yang pernah
saksi lihat, saksi ketahui maupun saksi dengar, yang kejadian tersebut sudah
berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Sangat manusiawi apabila seorang
saksi harus mengingat kembali kejadian yang sudah lama terjadi. Oleh sebab itu
kemudian dibutuhkan bantuan dalam bentuk surat, yang tidak lain juga berisi
atau mencatat kejadian-kejadian penting pada suatu waktu. Surat apapun dapat
diajukan di persidangan akan tetapi yang dapat dijadikan alat bukti yang
dipertimbangkan dalam persidangan adalah alat bukti surat yang bersifat otentik
atau surat yang dibuat dan disahkan oleh pejabat yang berwenang, misalkan Akta
Jual Beli yang dibuat dan disahkan di Kantor Notaris.
Dalam
perkembangannya, tidak cukup hanya dengan menggunakan alat bukti surat sehingga
perlu adanya saksi ahli yang dapat memberikan penjelasan secara ilmiah terhadap
suatu peristiwa hukum yang terjadi. Keberadaan saksi ini berkembang menjadi digunakannya
alat bukti ilmiah (scientific evidence) dalam proses pembuktian di persidangan.
Mengutip pendapat Lawrence M. Wriedman, seorang Guru Besar di Stanford
University, berpendapat bahwa untuk mewujudkan ”kepastian hukum” paling tidak
haruslah didukung oleh unsur-unsur sebagai berikut, yakni : (1) substansi
hukum, (2) aparatur hukum, dan (3) budaya hukum, unsur pertama “substansi
hukum” berbicara tentang isi daripada ketentuan-ketentuan tertulis dari hukum
itu sendiri unsur kedua adalah “aparatur hukum” adalah perangkat, berupa system
tata kerja dan pelaksana daripada apa yang diatur dalam substansi hukum tadi.
Sedangkan unsur yang terakhir adalah “budaya hukum” yang menjadi pelengkap
untuk mendorong terwujudnya “kepastian hukum” adalah bagaimana budaya hukum
masyarakat atas ketentuan hukum dan aparatur hukumnya, sedangkan budaya hukum
masyarakat tergantung kepada budaya hukum anggota-anggotanya yang dipengaruhi
oleh latar belakang pendidikan, lingkungan, budaya, posisi atau kedudukan,
bahkan kepentingan-kepentingan.[12]
Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa ketiga unsur tersebut yaitu
substansi hukum, aparatur hukum dan budaya hukum adalah satu kesatuan yang
tidak terpisahkan dalam upaya penegakan hukum sehingga akan tercipta adanya
kepastian hukum. Keberadaan alat bukti ilmiah ini merupakan tanda dari buaya
hukum yang semakin berkembang yaitu tidak hanya menggunakan pembuktian secara
konvensional sebagaimana diatur dalam masing-masing hukum acara tetapi juga telah
menggunakan pembuktian secara ilmiah. Penjabaran dari ilmiah (science) itu
sendiri bukan saja sekedar pengorganisasian common sense semata namun juga
harus dilanjutkan dengan pemikiran yang cermat dan seksama dengan menggunakan
berbagai metode yang baik.Karenanya, cara-cara dan metode penyidikan harus
dilaksanakan secara mendetail dan cermat.
Terhadap keterangan ahli, Kejaksaan Agung pernah melakukan pengkajian
dengan hasil pengkajian menunjukkan bahwa:
1. Masalah
korupsi di Indonesia sudah merupakan persoalan yang komplek dan terjadi secara
meluas di seluruh sisi kehidupan. Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan
sosial yang terjadi secara sistematik. Korupsi bukan hanya sekedar soal seorang
pegawai negeri menggunakan kesempatan untuk kepentingan pribadi, tetapi juga
menyangkut budaya masyarakat yang ingin mendapat keuntungan pribadi dengan
segala cara termasuk kolusi dengan para pejabat ;
2. Untuk
membuktikan kesalahan terdakwa, pengadilan terikat oleh cara-cara atau
ketentuan-ketentuan tentang pembuktian sebagaimana telah diatur dalam
undang-undang. Pembuktian yang sah harus dilakukan di dalam sidang pengadilan
yang memeriksa terdakwa dan pemeriksaan terhadap alat-alat bukti harus
dilakukan di depan sidang. Dalam praktek peradilan, kesulitan pembuktian
dipersidangan disebabkan dua hal, yaitu penyidik kurang sempurna mengumpulkan
pembuktian dan kekurangan pengertian terhadap penerapan hukum ;
3. Sistem
pembuktian yang digunakan dalam hukum acara pidana Indonesia dikenal dengan
“sistem negatif” (negatief wettelijk bewijsleer), di mana yang dicari oleh
hakim adalah kebenaran materiil. Sistem negatief merupakan sistem yang berlaku
dalam hukum acara pidana yaitu hakim dalam menjatuhkan pidana dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya
(Pasal 183 KUHAP) ;
4. Sistem
pembuktian dalam Pasal 183 KUHAP adalah ketentuan dasar dalam hukum
pembuktian dan mutlak berlaku untuk membuktikan semua tindak pidana, kecuali
ditentukan lain dalam hukum pembuktian khusus. Penyimpangan hukum pembuktian
ada dalam hukum pidana korupsi, yang meliputi pada 2 (dua) hal pokok, yaitu:
mengenai bahan-bahan yang dapat digunakan untuk membentuk alat bukti petunjuk
dan mengenai sistem pembebanan pembuktian. Kegiatan pembuktian Tindak Pidana
Korupsi di samping tetap menggunakan hukum pembuktian umum dalam KUHAP, tetapi
dalam bidang atau hal-hal tertentu berlaku hukum pembuktian khusus. Pembuktian
korupsi tetap memperhatikan Pasal 183 KUHAP, kecuali dalam hal pembuktian
terbalik {Pasal 37 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001} ;
5. Seorang ahli
memberikan keterangan bukan mengenai segala hal yang dilihat, didengar dan
dialaminya sendiri, tetapi mengenai hal-hal yang menjadi atau di bidang
keahliannya yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa.
Keterangan ahli tidak perlu diperkuat dengan alasan sebab keahliannya atau
pengetahuannya sebagaimana pada keterangan saksi. Apa yang diterangkan saksi
adalah hal mengenai kenyataan dan fakta. Sedang keterangan ahli adalah suatu
penghargaan dan kenyataan dan/atau kesimpulan atas penghargaan itu berdasarkan
keahliannya. Apabila keterangan ahli diberikan pada tingkat penyidikan, maka
sebelum memberikan keterangan, ahli harus mengucapkan sumpah atau janji
terlebih dahulu ;
6. Melihat
ketentuan sebagaimana diatur KUHAP, terutama pada tahap penyidikan pemeriksaan
ahli tidaklah semutlak pemeriksaan saksi-saksi. Mereka dipanggil dan diperiksa
apabila penyidik “menganggap perlu” untuk memeriksanya {Pasal 120 ayat (1)
KUHAP}. Maksud dan tujuan pemeriksaan ahli, agar peristiwa pidana yang terjadi
bisa terungkap lebih terang. Pemeriksaan ahli akan menjadi mutlak manakala
jaksa memberikan petunjuk kepada penyidik untuk dilakukan pemeriksaan ahli ;
7. KUHAP tidak
menyebut kriteria yang jelas tentang siapa itu ahli. Dengan perkembangan
teknologi yang semakin pesat maka tidak terbatas banyaknya keahlian yang dapat
memberikan keterangan sehingga pengungkapan perkara akan semakin terang,
terutama menyangkut tindak pidana korupsi ;
8. Seorang ahli
umumnya mempunyai keahlian khusus di bidangnya baik formal maupun informal
karena itu tidak perlu ditentukan adanya pendidikan formal, sepanjang sudah
diakui tentang keahliannya. Hakimlah yang menentukan seorang itu sebagai ahli
atau bukan melalui pertimbangan hukumnya. Keterangan ahli mempunyai Visi
apabila :
·
apa yang diterangkan haruslah mengenai segala sesuatu
yang masuk dalam ruang lingkup keahliannya ;
·
yang diterangkan mengenai keahliannya itu adalah
berhubungan erat dengan perkara pidana yang sedang diperiksa.
9. Dalam
praktek pengajuan ahli di persidangan dapat dilakukan oleh Jaksa 9. Penuntut
Umum (JPU) atau penasehat hukumnya. JPU mengajukan saksi ahli sesuai dengan apa
yang terdapat dalam BAP atau bisa juga mengajukan ahli di persidangan setelah
melihat jalannya dan perkembangan perkara di persidangan. Begitu juga penasehat
hukum dapat juga mengajukan ahli untuk menjadi terangnya perkara yang sedang
berjalan di pengadilan. Kadangkala ahli yang diajukan oleh JPU dan penasehat
hukumnya dalam materi yang sama tetapi keterangan berbeda, dalam konteks ini
tinggal hakim yang menentukan seseorang itu ahli dan bobot keterangan dari ahli
itu, sehingga ada persesuaian keterangan dengan alat bukti lain ;
10. Seorang ahli
dalam memberikan keterangannya hanya berdasarkan kepada keahliannya dan
pengetahuannya. Keterangan ahli bukanlah menafsirkan terhadap peraturan
perundang-undangan. Dalam beberapa kasus korupsi ahli hukum memberikan keterangan
sebagai ahli tetapi pada kenyataannya keterangan ahli tersebut dengan cara
melakukan penafsiran hukum. Keterangan ahli ekonomi dan ahli hukum tentang
adanya kerugian negara dalam tindak pidana korupsi ditafsirkan berbeda dan
kadang bertolak belakang satu dengan lainnya ;
11. Keterangan
ahli yang memberikan keterangannya karena penafsiran akan menimbulkan
inkonsistensi pendapat sehingga keterangannya tidak dapat dijadikan patokan
hakim maupun putusan lainnya. Dalam hal ini hakim perlu melihat kompetensi orang
yang ditunjuk sebagai ahli. Tidak cukup berpatokan pada formalitas pendidikan
atau status sosial orang tersebut, misalnya terhadap seorang profesor yang
ditunjuk sebagai ahli ;
12. Kendala
penggunaan alat bukti keterangan ahli dalam perkara Tindak Pidana Korupsi
adalah:
·
Dalam praktek peradilan, kesulitan pembuktian
dipersidangan disebabkan dua hal, yaitu penyidik kurang sempurna mengumpulkan
pembuktian dan kekurangan pengertian terhadap penerapan hukum ;
·
Dalam praktek dilapangan, untuk kasus korupsi yang penyidikannya
dilakukan oleh polisi dan jaksa minta untuk dilakukan pemeriksaan ahli. Jarang
polisi memenuhi petunjuk jaksa atau akan menjadi kesulitan bagi polisi
mendatangkan ahli.
13. Berdasarkan
uraian 1 s.d. 12 di atas dapat simpulkan bahwa:
·
Peran pembuktian sangat penting dalam suatu proses
hukum di pengadilan, bila salah dalam menilai pembuktian akan mengakibatkan
putusan yang salah pula. Untuk menghindari atau setidak-tidaknya meminimalkan
putusan-putusan pengadilan yang demikian, kecermatan dalam menilai alat bukti
di pengadilan sangat diharapkan, terutama dalam kasus tindak pidana korupsi ;
·
Peranan ahli dalam pemeriksaan tingkat penyidikan
kasus Tindak Pidana Korupsi maupun pemeriksaan dalam sidang pengadilan semakin
diperlukan. Pemeriksaan ahli akan menjadi mutlak manakala jaksa memberikan
petunjuk kepada penyidik untuk dilakukan pemeriksaan ahli ;
Dalam hal hakim membentuk keyakinan tentang kesalahan
terdakwa melakukan tindak pidana korupsi, secara formal kedudukan alat bukti
keterangan ahli adalah sama dengan alat bukti lain. Artinya, keyakinan boleh
dibentuk atas dasar keterangan ahli dan alat bukti petunjuk saja, karena telah
memenuhi minimum bukti dimaksud Pasal 183 KUHAP. Hukum penyimpangan pembuktian
yang ada dalam hukum pidana korupsi, terdapat pada 2 (dua) hal pokok, yaitu:
mengenai bahan-bahan yang dapat digunakan untuk membentuk alat bukti petunjuk
dan mengenai sistem pembebanan pembuktian.
Negara maju telah menggunakan berbagai
teknik dan teknologi yang dipandang dari sudut kedokteran kehakiman sebagai
alat bukti ilmiah yang inovatif, kredibel dan mutakhir. Teknologi tersebut
yaitu Polygraph, P300, ERP/EEG, BEOS, TMS, Fmri, dll. Polygraph mempunyai
tingkat ketelitian mendeteksi kebohongan kisaran 70 – 96 %.[13] Pengertian dari
Polygraph, P300, ERP/EEG, BEOS, TMS, secara ringkas dapat dijelaskan sebagai
berikut :[14]
·
Polygraph terdiri dari: monitor, alat
respirasi/pernafasan, jantung-pengukur tensi, aktivitas elektrodermal untuk
mendeteksi keringat,suhu. ERP/EEG (Elektroencephalograms). Persentasi dari 1
set gelombang pada EEG karerna aktivitas otak bersifat listrik, pengukur dari
proses informasi,gambaran primer aktivitas listrik mengenai elektroda sangat
sulit untuk meletakkan lembaran bagian dari anatomi saraf dengan kotak hitam
otak. Berbagai perbedaan elektroda sifatnya termasuk kapasitas melalui level
yang berbeda dari penggunaan bagian otak secara luas. Sasaran dari peneliti EEG
adalah untuk menemukan tanda yang berbeda berkaitan dengan respon penipuan atau
kebohongan ;
·
BEOS (Brain Electrical Oscillations
Signature Test) mengidentifikasi saat seseorang mempunyai ingatan tentang
kejadian yang spesifik. BEOS terdiri 32 elektroda yang digunakan dikepala
dengan tes pendahuluan sebagai standar ;
·
TMS ( Transcranial Magnetic Stimulation),
peneliti dari Universitas Tartu di Estonia, baru-baru ini mempublikasikan
penelitian kecil terhadap efek dari stimulasi magnetik transcranial sebagai
bagian otak yang dikenal sebagai Dorsolateral Prefontal Cortex. TMS menggunakan
elektromagnetik untuk mempengaruhi otak. Penelitian tersebut diungkapkan
peneliti sebagai warna pada objek dilayar komputer. Mereka diijinkan untuk
berbohong atau jujur sesukanya. Saat bagian kiri DLPC distimulasi oleh TMS,
penelitian cenderung menunjukkan kebohongan dan bagian kanan sebaliknya ;
·
fMRI (function of Magnetic Resonance
Imaging) mendeteksi gelombang elektromagnetik di otak dengan memvisualisasikan
bagian otak yang menunjukkan keaktifan saat berbohong, jujur, lupa, atau tidak
tahu. Deteksi kebohongan menunjukkan aktivitas dan warna pada visualisasi otak
yaitu pada bagian medial frontal gyrus, inferior frontal gyrus, prefrontal
cortex dengan aktivitas berpikir yang lebih dan kerja kognitif untuk berbohong
dari pada jujur. Deteksi jujur menunjukkan aktivitas dan warna pada bagian
inferior parietal lobe yang berfungsi sebagai memori dan pengingat. fMRI dapat
mendeteksi semua celah hukum tersebut dengan tingkat ketelitian 96 sampai 100
%. Saat pemetaan otak menjadi lebik akurat dalam mendeteksi kebohongan atau
penipuan daripada polygraph, beberapa pandangan kontradiktif antara hak
individu dan keinginan institusional untuk tahu.
Saat ini yang sedang menjadi rujukan utama dalam pembuktian atas suatu
peristiwa hukum maupun tindak pidana adalah dengan menggunakan metode
pemeriksaan DNA (deoxyribonucleic acid), yang mempunyai pengertian sebagaimana dalam Kamus Wikipedia
sebagai berikut :[15]
DNA
adalah sejenis
biomolekul yang menyimpan dan menyandi instruksi-instruksi genetika setiap organisme dan
banyak jenis virus.
Instruksi-instruksi genetika ini berperan penting dalam pertumbuhan,
perkembangan, dan fungsi organisme dan virus. DNA merupakan asam
nukleat; bersamaan dengan protein dan karbohidrat,
asam nukleat adalah makromolekul esensial bagi seluruh makhluk
hidup yang diketahui.
Kebanyakan molekul DNA terdiri dari dua unting biopolimer yang berpilin satu sama lainnya
membentuk heliks ganda. Dua unting DNA
ini dikenal sebagai polinukleotida karena keduanya terdiri dari satuan-satuan
molekul yang disebut nukleotida.
Tiap-tiap nukleotida terdiri atas salah satu jenis basa nitrogen (guanina (G), adenina (A), timina (T), atau sitosina (C)), gula monosakarida yang disebut deoksiribosa,
dan gugus fosfat.
Nukleotida-nukelotida ini kemudian tersambung dalam satu rantai ikatan
kovalen antara gula satu
nukleotida dengan fosfat nukelotida lainnya. Hasilnya adalah rantai punggung
gula-fosfat yang berselang-seling. Menurut kaidah pasangan
basa (A dengan T dan C dengan
G), ikatan
hidrogen mengikat basa-basa
dari kedua unting polinukleotida membentuk DNA unting ganda.
Secara
garis besar bahwa DNA bisa didapatkan dari gen yang terdapat pada tubuh
manusia, yang bisa diambil antara lian dari air liur, kulit tubuh, keringat,
air mani (sperma), potongan rambut dan bagian-bagian tubuh lain pada diri
manusia. Setiap manusia memiliki unsur DNA yang berbeda meskipun pada manusia
kembar identik sekalipun, sehingga penggunaan DNA menjadi saat penting pada
saat ini tingkat keakuratan pembuktian dengan DNA mendekati 100 % sehingga
pengungkapan suatu kasus dengan pembuktian menggunakan DNA, saat ini diyakini
sebagai suatu hal yang harus dilakukan.
Pada
perkara-perkara yang mengharuskan pembuktian yang berkaitan dengan data
elektronik, maka dikenal dengan adanya istilah Digital Forensic, yaitu sebagai satu bidang spesialisasi ilmu pengetahuan dan
tekhnologi komputer yang memiliki posisi signifikan untuk melakukan
inverstigasi kasus-kasus computer crime dan
/ atau computer related crime. Dengan menggunakan
Digital Forensic, maka segala jenis data elektronik dapat digunakan sebagai
alat bukti di persidangan, sebab Digital Forensic mengolah data-data elektronik
menjadi data yang dapat dibaca dan dimengerti oleh setiap orang khususnya bagi
para penegak hukum, hal ini disebabkan data elektronik bukan berupa data yang
berisi tulisan huruf atau angka tetapi kadangkala juga merupakan bahasa
komputer yang hanya dapat dimengerti dan dipahami oleh orang-orang yang
berkecimpung di dunia keilmuan digital.
[16]
Hal lain yang harus diperhatikan dalam
penggunaan alat bukti ilmiah adalah keterlibatan pihak laboratorium forensik,
baik dalam mengolah data-data berupa data elektronik maupun data-data yang
berkaitan dengan pengungkapan DNA seseorang. Saat ini hanya terdapat sedikit
orang yang memiliki keinginan untuk mendalami keilmuan di bidang laboratorium
forensik, meskipun sebenarnya hasil dari laboratorium forensik menjadi penentu
dari adanya alat bukti ilmiah.
Penggunaan alat bukti ilmiah tentu akan membawa
suatu dampak pada hukum acara pembuktian dan akan menggeser paradigma
pembuktian di persidangan sebagaimana diatur dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP
tentang alat bukti di dalam hukum pidana atau pasal 163 HIR/pasal 283 Rbg/pasal
1865 KUH Perdata tentang pembuktian dalam hukum perdata. Tidak menutup
kemungkinan bahwa suatu saat nanti ketika terdapat pembaharuan terhadap hukum
acara di Indonesia dalam bentuk pembaharuan Kitab Hukum Acara, alat bukti
ilmiah menjadi alat bukti utama dalam pembuktian di persidangan namun tentunya
juga tidak mengesampingkan alat bukti lainnya.
Hambatan yang dihadapi oleh aparat penegak hukum
saat ini, masih minimnya aparat penegak hukum yang memahami dan mengerti
tentang alat bukti ilmiah. Hal ini kerap menjadi hambatan mengingat belum
adanya kesepahaman diantara para aparat penegak hukum, baik dari pihak
Kepolisian, Kejaksaan / KPK, Pengadilan maupun Advokat, yang juga telah diakui
kedudukannya sebagai aparat penegak hukum. Selain itu, minimnya perhatian
pemerintah dalam hal peningkatan kualitas aparat penegak hukum yang ada di
Indonesia, seakan-akan pemerintah membiarkan masing-masing instansi untuk
meningkatkan sumber dayanya sendiri tanpa terkoordinir dengan baik.
Ketika suatu instansi harus bergerak sendiri dalam
upaya meningkatkan kualitas sumber dayanya, maka Mahkamah Agung juga dituntut
untuk dapat memberdayakan dirinya sendiri. Mahkamah Agung sebagai stake holder
kekuasaan kehakiman tertinggi di Indonesia, mempunyai kewajiban untuk dapat
meningkatkan kualitas hakim-hakimnya, dari mulai Hakim Agung hingga hakim-hakim
yang bertugas di lini terdepan yaitu di Pengadilan-Pengadilan tingkat pertama.
Hal ini karena penggunaan alat bukti ilmiah (scientific evidence) tidak
terbatas hanya digunakan di Pengadilan Negeri akan tetapi juga di Pengadilan
Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara bahkan di Pengadilan Militer. Merupakan hal
yang memalukan apabila hakim-hakim yang bertugas di pengadilan tingkat pertama
tidak memahami dan mengerti mengenai alat bukti ilmiah sebab hakim-hakim di
tingkat pertama merupakan ujung tombak dari penegakan hukum yang merupakan
kewenangan dari Mahkamah Agung.
Oleh sebab itu perlu adanya pelatihan-pelatihan
maupun sertifikasi secara berkelanjutan untuk memberikan pemahaman kepada para
hakim di tingkat pertama tentang alat bukti ilmiah berikut tahap-tahap untuk
mendapatkan alat bukti ilmiah sehingga dapat digunakan di persidangan. Hal ini
diperlukan mengingat perkembangan hukum dan kehidupan sosial dalam masyarakat
berlangsung sangat cepat sehingga membutuhkan kecepatan berpikir dan bertindak
dari para hakim sebagai benteng terakhir dari keadilan. Bukan masanya lagi,
hakim gagap tekhnologi (gaptek), seorang hakim harus menguasai tekhnologi
terutama tekhnologi informasi mengingat saat ini hampir semua peristiwa hukum
melibatkan perangkat dari tekhnologi informasi.
Meskipun saat ini masih terdapat pendapat dari para
hakim bahwa hakim tidak perlu memahami semua hal sebab dapat didapatkan dari
keterangan saksi ahli, akan tetapi saat ini paradigma tersebut sudah saatnya
diubah dengan memotivasi hakim untuk tetap belajar dan mengikuti perkembangan
jaman. Hal ini merupakan syarat mutlak bahwa hakim harus tetap belajar, baik
secara formal maupun informal, untuk tetap mengasah keilmuannya sehingga dapat
dipraktekkan dalam persidangan, dalam rangka menegakkan keadilan dalam
masyarakat, sebab suatu saat nanti dalam mengungkap suatu peristiwa hukum dapat
dilakukan secara singkat dengan mengungkap alat bukti ilmiah yang diajukan di
persidangan, sehingga tujuan dari peradilan cepat dan murah dapat tercapai.
D.
PENUTUP
Tulisan
singkat ini barangkali tidak mencukupi di dalam memahami penggunaan Alat Bukti
Ilmiah sebagai Alat Bukti di Persidangan akan tetapi setidaknya dapat
memberikan sedikit pencerahan bahwa sesungguhnya terdapat hal-hal baru di dalam
pembuktian suatu perkara dan pemahaman mengenai bagaimana pembuktian dengan
menggunakan alat bukti ilmiah.
E.
DAFTAR
BACAAN
1. Yahya
Harahap, PEMBAHASAN PERMASALAHAN DAN PENERAPAN KUHAP (Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding Kasasi dan Peninjauan Kembali), Tahun 2000, Sinar Grafika,
Jakarta ;
2. Yahya
Harahap, HUKUM ACARA PERDATA tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Tahun 2005, Sinar Grafika, Jakarta ;
F.
LINK
INTERNET
[1] Hakim Yustisial pada Mahkamah
Agung RI, Mahasiswa Program Doktoral pada Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH)
Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung, Semarang ;
[2]
Yahya Harahap, PEMBAHASAN
PERMASALAHAN DAN PENERAPAN KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding Kasasi
dan Peninjauan Kembali), Tahun 2000, Sinar Grafika, Jakarta, h. 273 ;
[3]http://hlingkungan.blogspot.co.id/2012/01/sistem-pembuktian-tindak-pidana.html,
diunduh tanggal 26 Pebruari 2016 ;
[4] Loc cit, h.280 ;
[5] Loc.cit, h.310 – 312 ;
[6] Loc.cit, h.317 ;
[7]
Yahya Harahap, HUKUM ACARA
PERDATA tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan
Pengadilan, Tahun 2005, Sinar Grafika, Jakarta, h. 496 ;
[8] Loc.cit, h.498.
[9] Loc. Cit, h.539 ;
[10]
https://id.wikipedia.org/wiki/Bukti_empiris,
diunduh tanggal 26 Pebruari 2016 ;
[11]
https://id.wikipedia.org/wiki/Bukti_empiris,
diunduh tanggal 26 Pebruari 2016 ;
[12]https://ferli1982.wordpress.com/2011/03/06/pembuktian-sebagai-wujud-upaya-ilmiah-dalam-proses-penegakan-hukum-di-indonesia/,
diunduh tanggal 26 Pebruari 2016 ;
[13]http://pewarta-indonesia.persisma.org/berita/hukum/7284-mri-sebagai-alat-bukti-hukum-yang-ilmiah-inovatif-kredibel-dan-mutakhir.html,
diunduh tanggal 26 Pebruari 2016 ;
[14]http://pewarta-indonesia.persisma.org/berita/hukum/7284-mri-sebagai-alat-bukti-hukum-yang-ilmiah-inovatif-kredibel-dan-mutakhir.html,
diunduh tanggal 26 Pebruari 2016 ;
[16]
http://santhoshakim.blogspot.co.id/search?q=dokumen+elektronik,
diunduh tanggal 12 April 2016 ;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar