Selasa, 05 April 2016

UNCLOS



qwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnm
 

UNCLOS  DAN TANTANGAN PENEGAKAN HUKUM LAUT INDONESIA

DISUSUN OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH

Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung RI





UNCLOS DAN TANTANGAN PENEGAKAN HUKUM LAUT INDONESIA
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH[1]

A.  PENDAHULUAN
Kehidupan bermasyarakat dan bernegara tidak akan terlepas dari adanya hubungan antar negara, baik secara bilateral (hubungan antara 2 negara) atau multilateral (hubungan antara beberapa negara). Hubungan internasional ini, selain dengan tujuan untuk mencapai tujuan nasional dari masing-masing negara, juga untuk melindungi wiayah masing-masing negara dari tindakan agresif dari negara lain.
Sejarah telah mengajarkan kepada kita bahwa Indonesia sebagai negara yang dikelilingi laut yang merupakan 70 % wilayah negara, Indonesia telah terkenal sebagai negara yang mengandalkan laut sebagai sarana menuju kejayaan negara. Dimulai dari timbulnya kerajaan-kerajaan kecil di seluruh Nusantara, hingga akhirnya berkembang kerajaan Sriwijaya di wilayah Palembang dan Majapahit di wilayah tanah Jawa bagian timur, kerajaan-kerajaan tersebut menjadikan laut sebagai tempat mencukupi hidup dan penghidupan mereka.tetapi laut juga dapat menjadi sarana pemersatu bangsa dan juga sebagai sarana menunjukkan kejayaan dan kemajuan suatu negara. Jaman kerajaan dahulu, ada ungkapan siapa yang menguasai lautan akan menguasai dunia.
Ungkapan ini setidaknya terbukti, ketika kerajaan Sriwijaya sedang dalam masa keemasaan, tidak terhitung lagi jumlah ekpedisi perdagangan maupun ekspansi memperluas wilayah jajahan yang dilakukannya. Hal yang lebih hebat dalam hal penguasaan laut oleh bangsa Indonesia adalah ketika masa kejayaan kerajaan Majapahit, yang konon kabarnya memilki tidak kurang dari 10.000 (sepuluh ribu) buah kapal laut perang, belum terhitung jumlah kapal perdagangan yang hilir mudik ke seluruh wilayah Majapahit dan tercatat sebagai kekuatan laut terbesar kedua setelah Kekaisaran Mongolia di daratan Tiongkok. Hal sama terjadi dalam masa imperialisme bangsa Eropa, tidak terhitung jumlah kapal laut yang beredar, baik kapal perang maupun kapal dagang milik bangsa Eropa dari berbagai negara yang melanglang buana memperluas wilayah jajahan.
A.1. DEFINISI LAUT
Secara awam, laut dapat diartikan sebagai keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi seluruh permukaan bumi, akan tetapi arti laut menurut definisi hukum adalah keseluruhan air laut yang berhubungan secara bebas diseluruh permukaan bumi.[2]
Sehingga dapat diartikan bahwa laut merupakan jalan raya yang menghubungkan transportasi ke seluruh pelosok dunia karena melalui laut, masyarakat internasional dan subjek-subjek hukum internasional lainnya yang memiliki kepentingan dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum dalam hal pelayaran, perdagangan sampai penelitian ilmu pengetahuan.[3]
Laut, selain sebagai sarana mencukupi hidup dan penghidupan suatu masyarakat yang tinggal di wilayah yang dikelilingi oleh laut, tetapi juga laut dapat menjadi simbol kejayaan bagi suatu bangsa atau negara
A.2. PENGUASAAN LAUT
Di Eropa, Sejak zaman Emperium Romawi dengan kekuasaannya yang sangat luas, tak ada bangsa lain yang berani menentang ketentuan dari Kerajaan Romawi termasuk dalam hal penguasaan mengenai laut, yang dulu dikenal 2 asas yang kuat, yaitu Res Communis Omnium yaitu laut adalah warisan milik bersama umat manusia, sehingga manusia (negara) boleh memilikinya secara bersama-sama dan di sisi lain, ada asas Res nullius yang mengatakan bahwa laut tidak boleh dimiliki.[4]
Namun, dilaut juga berlaku "first come first serve" yang berarti siapa yang pertama datang dia yang menguasai, sehingga dengan kekuasaannya pada zaman itu Romawi berkedaulatan penuh di lautan Tengah. Setelah Romawi runtuh, hukum laut mulai berkembang pesat dengan munculnya negara-negara baru di daratan Eropa, dan timbullah permasalahan baru tentang siapa yang memiliki laut diantara negara-negara yang sedang berkembang itu.[5]
Hukum laut yang juga merupakan bagian dari Norma, yang menurut pendapat Arief Sidarta,[6] menyatakan bahwa “Perkataan NORM berasal dari bahasa Latin NORMA, menunjukkan suatu ketertiban, preskripsi atau perintah. Tetapi hal memerintah adalah bukan satu-satunya fungsi dari sebuah norma karena memberikan kewenangan, mengizinkan dan pederogasian adalah juga fungsi dari norma”. Arief Sidarta selanjutnya mengatakan bahwa “Norma dapat mempunyai sifat individual atau sifat umum. Ia mempunyai suatu sifat individual bila apa yang diwajibkan adalah sepenggal tingkahlaku tertentu yang didefinisikan (dibatasi) secara individual dari orang tertentu yang ditetapkan oleh seseorang, missal keputusan hakim, dan Norma mempunyai sifat umum, jika  apa yang dirumuskan batas-batasnya secara individual melainkan seperangkat tingkah laku yang batas-batasnya dirumuskan secara umum, seperti perintah ayah kepada anaknya”.[7]
Ketika sebuah Norma dibentuk dan berfungsi sebagai sarana pengatur tata kehidupan masyarakat, terutama di dalam hubungan antar negara di dalam memanfaatkan laut, maka keberadaan hukum laut internasional dangat diperlukan keberadaannya sehingga dengan dibentuknya hukum laut internasional dalam bentuk Konvensi Internasional (International Convention), mengharuskan setiap negara yang membutuhkan laut harus tunduj dan patuh terhadap ketentuan dalam Konvensi Hukum Laut Internasional tersebut. Sehingga dengan demikian akan berlaku adegium “equality before the law” atau persamaan di muka hukum dan hukum akan menjadi panutan dalam kehidupan bermasyarakat antar negara.
B. SEJARAH HUKUM LAUT INTERNASIONAL
Dalam konteks kedaulatan negara atas laut, pertumbuhan dan perkembangan hukum laut internasional setelah runtuhnya Imperium Romawi diawali degan munculnya tuntutan sejumlah negara atau kerajaan atas sebagian laut yang berbatasan dengan pantainya berdasarkan alasan yang bermacam-macam, misalnya, Venetia mengklaim sebagian besar dari laut Adriatik, suatu tuntutan yang diakui oleh Paus Alexander III pada tahun 1177 yaitu berdasarkan kekuasaanya atas laut Adriatik ini, Venetia memungut bea terhadap setiap kapal yang berlayar di sana selain itu Genoa juga mengklaim kekuasaan atas Laut Liguria dan sekitarnya serta melakukan tindakan-tindakan untuk melaksanakannya dan hal yang sama dilakukan oleh Pisa yang mengklaim dan melakukan tindakan-tindakan atas Laut Thyrrhenia.[8]
Kekuasaan yang dilaksanakan oleh negara-negara atau kerajaan-kerajaan tersebut dengan laut yang berbatasan dengan pantainya dilakukan dengan tujuan yang di zaman sekarang barangkali dapat disebut kepentingan: (karantina); (2) bea cukai; (3) pertahanan dan netralitas.[9]
H.M. Ali Mansyur dalam bukunya Aneka Persoalan Hukum (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum), menyatakan bahwa “Dalam suatu Negara Hukum, supremasi HUKUM seharusnya memperoleh tempat yang semestinya, fungsi Hukum dalam arti materiil yang berusaha memberikan perlindungan kepada masyarakat dengan memperlaakukan tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan memberikan kedudukan Hukum bagi setiap orang.”[10]
Hukum adalah suatu sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. Hukum akan menjadi berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan apabila masyarakat menggunakan hukum menuruti perilakunya. Hukum itu sendiri terbagi menjadi beberapa bidang, yaitu hukum pidana atau hukum publik, hukum perdata atau hukum pribadi, dan hukum acara, hukum tata Negara, hukum administrasi Negara atau hukum tata usaha Negara, hukum internasional, hukum adat, hukum Islam, hukum agraria, hukum bisnis, dan hukum lingkungan. Dari hukum-hukum tersebut masing-masing mempunyai tujuan yang sama, yaitu bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula berdasar pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat.[11]
Dalam hukum internasional, dikenal adanya perbatasan antar negara yang menjadi pemisah antara negara yang satu dengan negara yang lain dan perbatasan internasional (international  boundaries)  dapat  pula  digolongkan berdasarkan pada morfologinya  atau  proses  terbentuknya.  Berdasarkan  proses terbentuknya perbatasan dibedakan menjadi dua bagian yaitu :[12]
1.  Artifical Boundaries, yaitu Perbatasan  yang  tanda  batasnya  merupakan  buatan  manusia,  pemasangan tanda  ini  biasanya  dilakukan  setelah  ada  perundingan,  persetujuan  maupun Pass di Perbatasan Republik Demokratik Timor Leste dan Republik Indonesia dalam Pencegahan Illegal  Border  Crossing”,  perjanjian antarnegara. Batas buatan ini biasanya dapat berupa patok, tugu, kanal, terusan dan lain lain ;
2.  Natural boundaries, yaitu Perbatasan yang batasnya terbentuk karena proses alamiah ;
3.  Antropho-geographic boundaries, yaitu Perbatasan jenis ini dipakai untuk membatasi wilayah-wilayah yang berlainan bahasa, adat, agama dan lain sebagainya  yang termasuk dalam  etnic-cultural background yang merupakan batas wilayah kebangsaan.
Dalam bidang kelautan, keterikatan dan ketergantungan suatu Negara terhadap laut menyebabkan setiap  negara berlomba-lomba untuk menguasai lautan seluas-luasnya, sehingga tidak mengherankan bahwa pada abad imperialisme, bangsa Eropa berbondong-bondong mengarungi lautan demi untuk mendapatkan pengakuan bahwa negara merekalah yang paling hebat di lautan sehingga dapat mengambil hasil laut sebanyak-banyaknya. Hal ini membuka ruang terjadinya perselisihan antar negara, yang seringkali juga melibatkan kekuatan bersenjata dari masing-masing negara yang akhirnya menimbulkan doktrin-doktrin baru tentang hukum penguasaan laut, antara lain :[13]
1.    Konsep Laut Terbuka (mare liberium), konsep ini dikemukakan oleh Hugo Crotius tahun 1906 dari Belanda, "mare liberium" ini menjelaskan bahwa laut itu terbuka dan bebas untuk berlayar oleh siapa saja ;
2.    konsep laut tertutup (mare calussum), konsep ini dikemukakan oleh John Selden pada tahun 1635.Teori ini dikemukakan pada abad XVII oleh Inggris untuk menentang teori yang telah dikemukakan oleh Grotius. Selden mengemukakan bahwa selama laut dikuasai oleh suatu negara tertentu, maka negara tersebut mempunyai kekuasaan atas laut tersebut (tertutup) ; 
3.    Konsep Kompromi, Dari kedua doktrin di atas, Pontanus mencoba menggabungkan antara "mare liberium" dan "mare claussum", dan mengemukakan bahwa laut yang berada dekat dengan tepi pantai suatu negara (bangsa) adalah di bawah kedaulatan suatu negara pantai dan selebihnya adalah laut bebas. Maka dari pendapat itulah awal mula munculnya sebuah gagasan yang dikenal dengan "laut teritorial dan laut lepas".
4.    Teori Tembakan Meriam (Mare Clausum) yang dikembangkan oleh Cornelis van Bynkershoek yang menyatakan"terrae protestas finitur ubi finiturarmorum vis" atau lebih dikenal dengan teori tembakan meriam, yang menyebutkan bahwa lebar laut territorial suatu negara adalah sejauh 3mil laut. Alasannya karena 3 mil laut adalah jarak yang paling jauh yang bisa ditempuh oleh tembakan meriam.
Beberapa pertemuan tingkat dunia yang membahas tentang pengelolaan laut telah dilakukan, diantaranya adalah :[14]
1.    Den Haag Convention 1930 :
Merupakan konferensi yang bertujuan membentuk kodifikasi hukum internasional yang diprakarsai oleh Liga Bangsa Bangsa, yang meliputi 3 hal penting yakni : 
            - wilayah negara (nationality)
            - laut teritorial (territorial waters)
            - hak lintas damai 
2.    Truman Proclamation 28 September 1945 :
Latar belakang yang mendasari keluarnya Proklamasi Truman adalah:
a.    Banyaknya Negara yang merdeka atau menyatakan merdeka ; 
b.    Kemajuan teknologi ;
c.    Banyak Negara yang menyadari laut sebagai sumber daya alam yang potensial.
Pada pokoknya proklamasi ini melontarkan pengertian baru tentangrezim Continental Shelf (Landas Kontinen). Menurut Truman, landas kontinen merupakan suatu kelanjutan alamiah dari wilayah daratan dengan tujuan mengamankan dan mencadangkan sumber kekayaan alam serta penguasaan atas sumber daya alam di bawahnya tanpa adanya effective occupation.
3.    Konvensi Jenewa 1958 (UNCLOS II) :
Konferensi ini menghasilkan 4 Konvensi yaitu :
           - Konvensi tentang laut teritorial dan zona tambahan
           - Konvensi laut lepas
           - Konvensi tentang perikanan dan perlindungan kekayaan hayati
           - Konvensi tentang landas kontinen
Berdasarkan Konvensi Jenewa 1958 ini, maka :
a.    Negara dari aspek geografis dibedakan menjadi dua yaitu negara tak berpantai dan negara pantai ;
b.    laut dibagi dalam beberapa zona yaitu :
o   laut teritorial (territorial sea), lebarnya masih berdasarkan hukum kebiasaan internasional 3, 4,  dan 6 mil ;
o   perairan pedalaman (internal water)
o   zona tambahan (contiguous zone)
o   laut lepas (high sea)
o   daerah dasar laut dan tanah di bawahnya, yaitu landas kontinen (kontinen self)
4.    Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982) :
Konvensi ini disahkan tanggal 10 Desember 1982, di Montegobay, Jamaica. Berdasarkan Konvensi ini di hasilkan beberapa keputusan penting, yaitu :
a.  Negara dari aspek geografis dibagi menjadi tiga yaitu negar tak berpantai, negara pantai dan negara kepulauan
b.  Pembagian laut dibagi dalam beberapa zona yaitu :
c.   laut teritorial (territorial sea) sejauh 12 mil dari garis pangkal (baseline) :
o   perairan pedalaman (internal water) ;

o   zona tambahan (contiguous zone) 24 mil dari garis pangkal ;
o   perairan kepulauan (archipelagic water) diukur dari titik terluar pulau terluar suatu negara kepulauan ;
o   zona ekonomi eksklusif (exclusive economic zone) 200 mil dari garis pangkal laut lepas (high sea) ;
o   daerah dasar laut : landas kontinen dan kawasan.
UNCLOS III yang berlangsung dari tahun 1973 sampai dengan tahun 1982 dan Konvensi Hukum Laut ini mendefinisikan hak dan tanggung jawab negara dalam penggunaan lautan di dunia serta menetapkan pedoman untuk bisnis, lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam laut. Konvensi kesimpulkan pada tahun 1982, menggantikan perjanjian internasional mengenai laut tahun 1958. UNCLOS diberlakukan pada tahun 1994[15]
Konsep landas kontinen ini, pertama kali diajukan oleh Amerika Serikat pada Konvensi Hukum Laut Internasional tahun 1958 yaitu Presiden Amerika Serikat (AS), Harry S. Truman, yang pertama kali memproklamirkan. Tepatnya pasca-Perang Dunia II, pada tanggal 28 September 1945. ”Whereas the Goverment of the United States of America, aware of the long range world wide need for new sources of petroleum and other minerals, holds the view the efforts to discover and make available new supplies of these resources should be encouraged,…” demikian Presiden Truman mengawali proklamasinya dimana Konsep landas kontinen dalam hukum laut tidak berhubungan dengan kekayaan mineral dalam dasar laut tetapi berkaitan dengan kekayaan hayati atau perikanan. Pengertian landas kontinen pertama kali diperkenalkan oleh Odon de Buen seorang Spanyol dalam Konferensi Perikanan di Madrid di tahun 1926 dan konsepsi landas kontinen dikemukakan dengan perikanan berdasarkan anggapan bahwa perairan diatas dataran kontinen merupakan perairan yang baik sekali untuk kehidupan ikan. [16]
Konvensi Hukum Laut International atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, memberikan kesempatan kepada negara pantai untuk melakukan tinjauan terhadap wilayah landas kontinen hingga mencapai 350 mil laut dari garis pangkal. Berdasarkan ketentuan UNCLOS jarak yang diberikan adalah 200 mil laut, maka sesuai ketentuan yang ada di Indonesia berupaya untuk melakukan submisi (submission) ke PBB mengenai batas landas kontinen Indonesia di luar 200 mil laut.[17]
Dalam teori Hukum Internasional, terdapat beberapa aliran pemikiran yang sangat berpengaruh terhadap berlakunya Hukum Internasional dalam Sistem Hukum Nasional di suatu Negara. Perkembangan teori-teori Hukum Internasional tersebut tidak terlepas dari makin meningkatnya kebutuhan suatu Negara atas laut dan sumber daya yang terkandung di dalamnya, bahkan suatu Negara yang secara alamiah tidak memiliki laut, misalkan Swiss atau Austria, tetap membutuhkan laut, selain karena kebutuhan atas sumber daya yang ada di laut, juga demi menjaga eksistensi negara tersebut yang tetap membutuhkan laut.
Diantara teori-teori Hukum Internasional tersebut yang berkembang dari masa ke masa adalah :[18]
A.  Teori Hukum Alam/ Hukum Kodrat
Dalam teori hukum alam ini ciri keagamaan sangat kuat, namun setelah itu oleh Grotius dilepaskan dari hubungannya dengan keagamaan. Disini hukum alam diartikan sebagia hukum yang ideal yang didasarkan atas hakekat manusia sebagai mahluk yang berakal atau satuan kaidah yang diilhamkan alam pada akal manusia. Kelemahan teori hukum Alam adalah sangat samar dan tergantung pada pendapat subjektif dari yang bersangkutan mengenai keadilan, kepentingan masyarakat Internasional dan konsep lain yang serupa.
B. Teori Kemauan Negara (state will theory)
Teori ini menjelaskan bahwa negaralah yang merupakan sumber segala hukum dan hukum internasional mengikat karena kemauan negara sendirilah yang mau tunduk dengan hukum internasional. Kelemahan dari teori ini adalah tidak dapat menjawab suatu pertanyaan, mengapa suatu negara baru, sejak munculnya dalam masyarakat internasional sudah terikat oleh hukum internasional, lepas dari mau atau tidak maunya ia tunduk padanya.
C.Teori Kemauan Bersama Negara(Common Will Theory, Vereinbarung Theorie)
Teori ini pada dasarnya menyatakan bahwa Hukum internasional mengikat negara-negara bukan karena kehendak masing-masing negara untuk tunduk pada hukum internasional, melainkan karena adanya suatu kehendak bersama negara-negara untuk tunduk pada hukum internasional. Kehendak bersama ini dinamakan vereinbarung. Kelemahan teori ini adalah kekuatan dasar mengikat hukum berdasarkan kehendak subjek hukum itu tidak dapat diterima.
D. Norma Hukum (Mazhab Wina)
Teori ini menjelaskan bahwa, pada dasarnya dasar mengikatnya hukum internasional bukanlah merupakan kehendak negara melainkan berdasarkan pada norma hukum. Suatu kaidah pada dasarnya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi diatasnya begitu pula seterusnya. Dan segala sesuatunya dikembalikan kepada kaidah dasar, dan kaidah dasar yang dianut oleh mazhab ini adlah asas “pacta sun servanda”. Kelemahan dari teori ini adalah tidak dapat menjawab mengapa kaidah dasar itu sendiri mengikat. Ini mengakibatkan sistem yang tadinya logis menjadi tergantung di awang-awang, karena tidak mungkin persoalan kekuatan mengikatnya hukum internasional itu didasrkan pada suatu hipotesa.
E. Fait Social (Mazhab Perancis)
Mazhab Perancis ini mendasarkan mengikatnya suatu hukum termasuk hukum Internasional pada faktor-faktor biologis, sosial dan sejarah kehidupan manusia yang oleh mereka diberi nama “fakta-fakta internasional”(fait social). Jadi dasar kekuatan mengikatnya hukum internasional terdapat dalam kenyataan sosial bahwa mengikatnya hukum itu mutlak perlu, bagi dapat terpenuhinya kebutuhan manusia (bangsa) untuk bermasyarakat.
F. Pandangan Starke
Menurut starke unsur pokok yang memperkuat sifat wajib aturan-aturan hukum internasional adalah fakta empiris bahwa negara-negara mau bersikeras mempertahankan hak-haknya menurut aturan-aturan tersebut terhadap negara yang dianggapnya seharusnya menaati aturan-aturan itu. Dengan kata lain, sekurang-kurangnya sampai batas tertentu, masalah kekuatan mengikatnya hukum internasional pada akhirnya meluluhkan dirinya kedalam masalah yang tidak berbeda dari masalah sifat memaksa hukum pada umumnya.
Dari teori-teori tentang Hukum Internasional tersebut, kiranya sampai saat ini tidak ada satu negarapun yang menganut secara murni dari salah satu terori tersebut, sebab perkembangan jaman menuntut Negara untuk aktif dalam perlindungan dan pengeloaan laut beserta sumber daya yang terkandung di dalamnya. Oleh karenanya, setiap negara cenderung untuk menganut beberapa teori tersebut sekaligus di , dalam pelaksanaan perlindungan lautnya.
 Terhadap suatu Konvensi Internasional, ketika negara sudah meratifikasi suatu Konvensi Internasional, berarti negara sudah mengakui adanya Konvensi Internasional tersebut dan secara otomatis Konvensi Internasional tersebut akan langsung berlaku sebagai Hukum Nasional negara tersebut akan tetapi di dalam praktek, khususnya di Indonesia, Konvensi Internasional yang telah diratifikasi tidak secara otomatis berlaku sebagai Hukum Nasional Indonesia, akan tetapi ditetapkan terlebih dahulu dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang kemudian diberlakukan sebagai Hukum Nasional. Sebagai contoh adalah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laudering) yang merupakan manivestasi dari Konvensi Internasional dari United Nations Conventions Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances tahun 1988[19] dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) yang merupakan manivestasi dari Konvensi Internasional dari Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, Supplementing the United Nations Convention Against Transnational Organized Crime tahun 2004.[20]
Dalam hukum laut internasional sebagaimana tercantum dalam UNCLOS III, yang berlangsung dari Desember 1973 sampai Desember 1982. Kesepakatan yang dicapai selama UNCLOS I dirangkum dalam empat konvensi berikut : [21]
1.    Konvensi tentang High Seas, yaitu Konvensi pada High Seas. Konvensi di laut lepas mulai dengan mendefinisikan laut lepas untuk menjadi, Sementara ini dikotomi mencerminkan pemikiran yang lebih-atau-kurang tradisional “semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam laut teritorial atau dalam perairan pedalaman suatu Negara.” pada saat itu, itu diubah menjadi divisi tripartit selama UNCLOS III – laut teritorial, zona ekonomi eksklusif, dan laut lepas. Konvensi di laut lepas melanjutkan untuk menentukan kebebasan tertentu itu sudah diambil untuk diberikan: kebebasan navigasi, kebebasan memancing, kebebasan untuk meletakkan kabel dan pipa bawah laut, dan kebebasan overflight. Sebuah peringatan penting untuk kebebasan tersebut adalah ketentuan bahwa Setidaknya dalam kasus hak penangkapan ikan, peringatan ini ditandai signifikan “mereka harus dilakukan dengan memperhatikan wajar untuk kepentingan negara lain dalam latihan mereka tentang kebebasan laut lepas.” keberangkatan dari sudut pandang Grotian bahwa laut lepas adalah res nullius.
2.     Konvensi tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan, yaitu Konvensi tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan. Pasal 1 dari konvensi ini secara eksplisit menyatakan, “Kedaulatan Negara meluas, melampaui wilayah daratan dan perairan internal, ke sabuk laut berdekatan dengan pantainya, digambarkan sebagai laut teritorial.” Meskipun konsensus kodifikasi Den Haag 1.930 Konferensi telah bahwa kedaulatan negara pesisir diperluas ke wilayah laut, ini adalah kodifikasi pertama konsep ini dalam sebuah perjanjian internasional.
3.     Konvensi tentang Landas Kontinen, yaitu Konvensi ini pada dasarnya mengikuti utama dari Proklamasi Truman dan klaim selanjutnya Tengah beberapa negara Amerika Latin. Konvensi tersebut mendefinisikan landas kontinen sebagai “yang berdekatan laut dan bawah tanah dari daerah bawah laut ke pantai tetapi di luar wilayah laut teritorial, hingga kedalaman 200 meter atau, di luar batas itu, ke mana kedalaman perairan diatasnya mengakui dari eksploitasi sumber daya alam dari daerah tersebut “dan” dasar laut dan tanah di bawahnya dari daerah bawah laut yang sama berdekatan dengan pantai pulau-pulau. “Menurut konvensi ini, negara pantai hak berdaulat atas landas kontinen untuk tujuan eksplorasi dan pemanfaatan sumber daya alamnya. Sumber daya alam didefinisikan untuk mencakup non-hidup sumber daya, seperti mineral, dan “organisme hidup milik spesies menetap, yang mengatakan, organisme yang, pada tahap ditebang, baik yang bergerak pada atau di bawah dasar laut atau tidak bisa bergerak kecuali dalam kontak fisik konstan dengan dasar laut atau lapisan tanah. “Konvensi secara khusus menyatakan bahwa” hak-hak Negara pantai atas landas kontinen tidak mempengaruhi status hukum perairan diatasnya sebagai laut lepas, atau bahwa wilayah udara di atas mereka perairan. “berubah Salah satu elemen merepotkan konvensi di landas kontinen keluar menjadi masalah spesies menetap. Beberapa tahun setelah adopsi konvensi, perselisihan muncul antara Perancis dan Brasil mengenai panen lobster di landas kontinen Brasil. Jepang juga menolak untuk mengakui kepiting sebagai spesies menetap. Masalah spesies menetap akhirnya menjadi diperdebatkan dengan penciptaan 200 mil zona ekonomi eksklusif oleh UNCLOS III.
4.     Konvensi tentang Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati Laut Tinggi, yaitu Konvensi ini tampaknya didorong oleh dua masalah dasar, pertama, dengan isu-isu over-eksploitasi, diharapkan bahwa tekanan dari negara-negara pantai untuk memperpanjang laut teritorial mereka mungkin berkurang dan kedua, negara-negara yang sudah menandatangani perjanjian untuk melestarikan saham tertentu ingin perjanjian tersebut harus diakui dalam konvensi tersebut. Sayangnya konvensi memiliki banyak kekurangan dan dalam waktu singkat digantikan oleh praktik negara.
Dari UNCLOS III terebut, kemudian lahir Deklarasi Juanda Tahun 1962 sebagai sebuah jawaban atas pengakuan kedaulatan laut Indonesia sebagai Negara Kepulauan yang memiliki Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sejauh 200 mil laut dari bibr pantai dan zona kedaulatan ynag merupakan wilayah laut Indonesia sejauh 12 mil laut dari bibir pantai serta melindungi sumber daya yang terkadung di dalam laut demi kesejahteraan warga negara Indonesia. Hal ini kemudian dimanifestasikan ke dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004. Atas dasar Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan tersebut, upaya penegakan hukum laut nasional ditegakkan. Dan proses Penegakan Hukum pada hakekatnya adalah suatu proses untuk menjalankan suatu produk hukum berupa perundang-undangan, baik itu Undang-Undang maupun peraturan perudangan di bawahnya. Suatu Undang-Undang tidak akan dapat dijalankan dengan baik apabila Aparat Penegak Hukumnya adalah aparat yang tidak memahami esensi dari Undang-Undang yang dijalankannya. Sehingga hal tersebut, membuat perlunya Aparat Penegak Hukum yang benar-benar mumpuni dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan” hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistik.[22]
Penegakan Hukum itu harus konsisten supaya masyarakat memahami, mana HUKUM dan mana yang BUKAN HUKUM. Sebagai bagian dari proses sosial, penegakan kepastian hukum itu bertumpu pada 2 (dua) komponen utama, yaitu :[23]
1.     Hukum itu harus bisa memberikan kepastian dalam orientasi kepada masyarakat. Dalam hal ini dikenal asas kepastian orientasi yaitu Certitudo atau Orientierungssicherheit, yaitu orang memahami, perilaku yang bagaimana yang diharapkan oleh orang lain daripadanya dan respon yang bagaimana yang dapat diharapkannya dari orang lain baagi perilakunya itu ;
2.     Kepastian dalam penerapan hukum oleh penegak hukum, Jangan sampai terjadi bahwa sekali ini suatu ketentuan hukum dilaksanakan, tetapi lain kali ketentuan yang sama tidak dilaksanakan. Terdapat suatu asas yaitu Securitas atau Realisierungssherheit adalah asas kepastian  realitas hukum yang memungkinkan orang untuk mengandalkan pada perhitungan, bahwa norma-norma yang berlaku memang dihormati dan dilaksanakan, keputusan-keputusan pengadilan sungguh-sungguh dilaksanakan dan perjanjian-perjanjian ditaati.
Hakim sebagaimana telah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman telah menyebutkan di dalam Pasal 1 angka 1 yaitu “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia” dan Pasal 1 angka 2 yang menyatakan Mahkamah Agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Tugas yustisial yaitu tugas mengadili menjadi salah satu bagian dari proses penegakan hukum secara terpadu adalah menjadi tugas dari Hakim, baik di tingkat Pengadilan tingkat pertama, Pengadilan tingkat banding dan di Mahkamah Agung, akan tetapi seringkali tugas yustisial ini tidak dipahami dengan baik oleh Hakim, sehingga seroang Hakim harus memahami tugas-tugasnya, yaitu :[24]
1)    Mengkonstatir yaitu yang dituangkan dalam Berita Acara Persidangan dan dalam duduknya perkara pada putusan hakim. Mengkonstatir ini dilakukan dengan terlebih dahulu melihat pokok perkara dan kemudian mengakui atau membenarkan atas peristiwa yang diajukan, tetapi sebelumnya telah diadakan pembuktian terlebih dahulu ;
2)    Mengkualifisir yaitu yang dituangkan dalam pertimbangan hukum dalam surat putusan. Ini merupakan suatu penilaian terhadap peristiwa atas bukti-bukti, fakta-fakta peristiwa atau fakta hukum dan menemukan hukumnya ;
3)    Mengkonstituir yaitu yang dituangkan dalam surat putusan. Tahap tiga ini merupakan penetapan hukum atau merupakan pemberian konstitusi terhadap perkara.
Dalam penegakan hukum laut nasional, meskipun Indonesia telah meratifikasi UNCLOS III yaitu dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985, akan tetapi sampai saat ini pemerintah RI belum meratifikasi konvensi STCWF 1995 yang merupakan turunan dari UNCLOS III yang mengatur tentang keahlian para pelaut yang dibuktikan dengan sertifikasi kepelautan berstandar internasional STCWF 1995 untuk  mendapatkan hak dan kewajiban nasional dan internasional, sehingga  para pelaut  mampu bersaing dengan pelaut negeri lain dan dapat menduduki jabatan nakhoda atau perwira pada kapal – kapal luar negeri.[25] Ratifikasi atas STCWF 1995 tersebut bertujuan untuk :[26]
1.    Untuk meningkatkan standar pendidikan, pelatihan, sertifikasi dan tugas jaga bagi kapal perikanan ;
2.    Memposisikan awak kapal perikanan agar memperoleh pengakuan dan peluang kerja di tingkat internasional ;
3.    Meningkatan kualitas lingkungan laut dengan engurangi terjadinya pencemaran laut akibat opersioanl kapal ikan ;
4.    Meningkatkan kualitas penangkapan ikan dengan menerapkan tata laksana penangkapan ikan yang bertanggung jawab ;
5.    Untuk meningkatkan keselamatan jiwa harta benda di laut.
 Pengesahan STCWF 1995 diharapkan dapat membatasi masuknya awak kapal asing yang tidak memiliki kompetensi yang akan bekerja di kapal perikan indonesia dan kondisi ini sangat sejalan dengan kebijakan Kementerian Kelautan Dan Perikanan (KKP) yang tertuang dalam Permen 56 dan 57 tahun 2014.[27]
Selain belum diratifikasinya STCWF 1995, hal yag lain dalam penegakan hukum laut di Indonesia, adalah belum adanya sepemahaman di antara para penegak hukum di Indonesia, terutama pemahaman terhadap UNCLOS yang khusus dalam pasal 73 mengatur penegakan hukum yang dapat dilakukan oleh negara pantai terhadap pelanggaran atas wilayah lautnya. Selengkapnya pasal 73 UNCLOS menyebutkan :

Pasal 73
Penegakan Peraturan perundang-undangan Negara pantai

(1)   Negara pantai dapat, dalam melaksanakan hak berdaulatnya untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif mengambil tindakan demikian, termasuk menaiki kapal, memeriksa, menangkap dan melakukan proses peradilan, sebagaimana diperlukan untuk menjamin ditaatinya peraturan perundang-undangan yang ditetapkannya sesuai dengan ketentuan Konvensi ini ;
(2)   Kapal-kapal yang ditangkap dan awak kapalnya harus segera dibebaskan setelah diberikan suatu uang jaminan yang layak atau bentuk jaminan lainnya ;
(3)   Hukuman Negara pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan di zona ekonomi eksklusif tidak boleh mencakup pengurungan, jika tidak ada perjanjian sebaliknya antara Negara-negara yang bersangkutan, atau setiap bentuk hukuman badan lainnya ;
(4)   Dalam hal penangkapan atau penahanan kapal asing Negara pantai harus segera memberitahukan kepada Negara bendera, melalui saluran yang tepat, mengenai tindakan yang diambil dan mengenai setiap hukuman yang kemudian dijatuhkan.
Sering terjadi pertentangan diantara para penegak hukum berkaitan dengan penangkapan kapal-kapal ikan berbendera asing di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Sebagian berpendapat bahwa penangkapan kapal berbendera asing dan penanganan terhadap awal kapalnya, berdasarkan pasal 73 ayat (3) tidak boleh menjatuhkan pemidanaan badan termasuk diantaranya adalah pengurungan akan tetapi sebagian berpendapat bahwa sifat dari pengurungan adalah berbeda dari pemenjaraan yang merupakan pemidanaan badan. Hal ini yang kerap kali menyebabkan timbulnya berbagai putusan yang berbeda antara perkara kelautan yang satu dengan perkara kelautan yang lain, meskipun substansi yang diadili adalah sama.
Hal lain yang juga menjadi masalah, khususnya di bidang peradilan, adalah kurangnya Hakim-Hakim yang memiliki kualifikasi perikanan dan juga perlu adanya penetapan atau pembentukan Pengadilan Perikanan yang baru sehingga penanganan perkara perikanan lebih tersebar dan merata sehingga memudahkan serta mempercepat penanganan perkara perikanan.
Perhatian dari Mahkamah Agung terhadap keberadaan Pengadilan Perikanan sangat diperlukan, mengingat bahwa saat ini sedang digalakkan penegakan hukum terhadap tindak pidana pencurian ikan (illegal fishing) di wilayah perairan Indonesia, yang menyebabkan kerugian trilyunan rupiah. Mahkamah Agung perlu bersikap lebih tegas terhadap pelaku tindak pidana pencurian ikan, termasuk dalam hal bahwa di dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan yang merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, terhadap pelaku pencurian ikan di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di perairan Indonesia yang dilakukan oleh warga negara asing (WNA) hanya dikenakan pidana denda akan tetapi pidana denda tersebut tidak disertai dengan “alat pemaksa” berupa pidana pengganti berupa pidana kurungan yang dapat dijadikan alat pemaksa bagi warga negara asing yang melakukan pencurian ikan di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di perairan Indonesia.
Ketiadaan pidana kurungan sebagai alat pemaksa bagi warga negara asing untuk membayar pidana denda sebagai hukuman bagi yang bersangkutan karena melakukan pencurian ikan di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di perairan Indonesia, menyebabkan putusan-putusan pengadilan khususnya putusan Mahkamah Agung menjadi “ompong” karena tidak dapat dieksekusi oleh pihak Kejaksaan / Penuntut Umum sebagai pelaksana eksekusi dari putusan hakim. Perlu adanya konsep yang jelas terhadap pemidanaan terhadap warga negara asing yang melakukan pencurian ikan di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di perairan Indonesia. Perlu pula diperhatikan bahwa pelaku pencurian ikan seringkali didukung oleh korporasi dalam hal pemberian barang modal dan peralatan, sehingga perlu kiranya Mahkamah Agung memberikan pemahaman kepada hakim-hakim di daerah terutama hakim-hakim bersertifikasi perikanan untuk juga menjatuhkan sanksi pemidanaan terhadap korporasi yang melakukan pencurian ikan utamanya di di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di perairan Indonesia.

C.    KESIMPULAN
Dari uraian-uraian tersebut di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.  Mahkamah Agung Republik Indonesia dan badan peradilan di bawahnya merupakan badan yang melaksanakan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia harus memperhatikan upaya-upaya pemerintah dalam melakukan pemberantasan tindak pidana pencurian ikan, terutama yang dilakukan oleh warga negara asing (WNA) di di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di perairan Indonesia ;
2.  Perlu adanya pemerataan keberadaan Pengadilan Perikanan dan juga hakim-hakim yang memiliki sertifikasi perikanan dalam upaya melakukan penegakan hukum atas tindak pidana pencurian ikan ;
3.  Penegakan hukum atas tindak pidana pencurian ikan tidak bisa dilakukan terlepas dari UNCLOS III yang telah diratifikasi oleh Indonesia ;


D.    PENUTUP
Tulisan singkat ini barangkali tidak mencukupi di dalam untuk menjebarkan secara lengkap mengenai UNCLOS dan Tantangan Penegakan Hukum Perikanan di Indonesia, akan tetapi setidaknya memberikan sedikit pencerahan atas hambatan-hambatan dalam rangka penegakan hukum perikanan di Indonesia.

E.     DAFTAR BACAAN
1.    Arief Sidarta, Hukum Dan Logika, 1992, Penerbit Alumni, Bandung ;
2.    M. Ali Mansyur, Aneka Persoalan Hukum  (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum , Penerbit Unisula bekerjasama dengan Penerbit Teras, Tahun 2010 ;
3.    Budioono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum (Problematik Ketertiban Yang Adil), Penerbit CV. Mandar Maju – Bandung ;

F.  LINK INTERNET
6.    digilib.unila.ac.id/9166/11/BAB%20II.pdf ;



[1] Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung RI, Mahasiswa Program Doktoral pada Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung, Semarang ;
[6] Arief Sidarta, Hukum Dan Logika, 1992, Penerbit Alumni, Bandung, h. 1-2.
[7] Ibid, hal 19-20.
[10] M. Ali Mansyur, Aneka Persoalan Hukum  (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum , Penerbit Unisula bekerjasama dengan Penerbit Teras, Tahun 2010, hlm.148.
[11] http://eprints.ums.ac.id/346/1/2._ZUDAN.pdf, diunduh tanggal 5 April 2016 ;
[12] digilib.unila.ac.id/9166/11/BAB%20II.pdf, diunduh tanggal 5 April 2016 ;
[22] Ibid, http://eprints.ums.ac.id/346/1/2._ZUDAN.pdf.

[23] Budioono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum (Problematik Ketertiban Yang Adil), Penerbit CV. Mandar Maju – Bandung, hlm.172-173.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...