|
UNCLOS DAN TANTANGAN PENEGAKAN
HUKUM LAUT INDONESIA
DISUSUN OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH
Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung RI
|
UNCLOS DAN TANTANGAN
PENEGAKAN HUKUM LAUT INDONESIA
OLEH
: H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH[1]
A. PENDAHULUAN
Kehidupan bermasyarakat dan bernegara tidak
akan terlepas dari adanya hubungan antar negara, baik secara bilateral
(hubungan antara 2 negara) atau multilateral (hubungan antara beberapa negara).
Hubungan internasional ini, selain dengan tujuan untuk mencapai tujuan nasional
dari masing-masing negara, juga untuk melindungi wiayah masing-masing negara
dari tindakan agresif dari negara lain.
Sejarah telah mengajarkan kepada kita bahwa
Indonesia sebagai negara yang dikelilingi laut yang merupakan 70 % wilayah negara,
Indonesia telah terkenal sebagai negara yang mengandalkan laut sebagai sarana
menuju kejayaan negara. Dimulai dari timbulnya kerajaan-kerajaan kecil di
seluruh Nusantara, hingga akhirnya berkembang kerajaan Sriwijaya di wilayah
Palembang dan Majapahit di wilayah tanah Jawa bagian timur, kerajaan-kerajaan
tersebut menjadikan laut sebagai tempat mencukupi hidup dan penghidupan mereka.tetapi
laut juga dapat menjadi sarana pemersatu bangsa dan juga sebagai sarana
menunjukkan kejayaan dan kemajuan suatu negara. Jaman kerajaan dahulu, ada
ungkapan siapa yang menguasai lautan akan menguasai dunia.
Ungkapan ini setidaknya terbukti, ketika
kerajaan Sriwijaya sedang dalam masa keemasaan, tidak terhitung lagi jumlah
ekpedisi perdagangan maupun ekspansi memperluas wilayah jajahan yang
dilakukannya. Hal yang lebih hebat dalam hal penguasaan laut oleh bangsa
Indonesia adalah ketika masa kejayaan kerajaan Majapahit, yang konon kabarnya
memilki tidak kurang dari 10.000 (sepuluh ribu) buah kapal laut perang, belum
terhitung jumlah kapal perdagangan yang hilir mudik ke seluruh wilayah
Majapahit dan tercatat sebagai kekuatan laut terbesar kedua setelah Kekaisaran
Mongolia di daratan Tiongkok. Hal sama terjadi dalam masa imperialisme bangsa
Eropa, tidak terhitung jumlah kapal laut yang beredar, baik kapal perang maupun
kapal dagang milik bangsa Eropa dari berbagai negara yang melanglang buana
memperluas wilayah jajahan.
A.1. DEFINISI LAUT
Secara awam, laut dapat diartikan sebagai keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi seluruh permukaan bumi,
akan tetapi arti laut menurut definisi hukum adalah keseluruhan air laut yang
berhubungan secara bebas diseluruh permukaan bumi.[2]
Sehingga dapat diartikan bahwa laut
merupakan jalan raya yang menghubungkan transportasi ke seluruh pelosok dunia
karena melalui laut, masyarakat internasional dan
subjek-subjek hukum internasional lainnya yang memiliki kepentingan dapat
melakukan perbuatan-perbuatan hukum dalam hal pelayaran, perdagangan sampai
penelitian ilmu pengetahuan.[3]
Laut, selain sebagai sarana mencukupi hidup
dan penghidupan suatu masyarakat yang tinggal di wilayah yang dikelilingi oleh
laut, tetapi juga laut dapat menjadi simbol kejayaan bagi suatu bangsa atau
negara
A.2. PENGUASAAN LAUT
Di Eropa, Sejak zaman
Emperium Romawi dengan kekuasaannya yang sangat luas, tak ada bangsa lain yang
berani menentang ketentuan dari Kerajaan Romawi termasuk dalam hal penguasaan
mengenai laut, yang dulu dikenal 2 asas yang kuat, yaitu Res Communis Omnium
yaitu laut adalah warisan milik bersama umat manusia, sehingga manusia (negara)
boleh memilikinya secara bersama-sama dan di sisi lain, ada asas Res nullius
yang mengatakan bahwa laut tidak boleh dimiliki.[4]
Namun, dilaut juga berlaku "first come first
serve" yang berarti siapa yang pertama datang dia yang menguasai, sehingga
dengan kekuasaannya pada zaman itu Romawi berkedaulatan penuh di lautan Tengah.
Setelah Romawi runtuh, hukum laut mulai berkembang pesat dengan munculnya
negara-negara baru di daratan Eropa, dan timbullah permasalahan baru tentang
siapa yang memiliki laut diantara negara-negara yang sedang berkembang itu.[5]
Hukum laut yang juga merupakan bagian dari Norma, yang
menurut pendapat Arief Sidarta,[6]
menyatakan bahwa “Perkataan NORM berasal dari bahasa Latin NORMA, menunjukkan
suatu ketertiban, preskripsi atau perintah. Tetapi hal memerintah adalah bukan
satu-satunya fungsi dari sebuah norma karena memberikan kewenangan, mengizinkan
dan pederogasian adalah juga fungsi dari norma”. Arief Sidarta selanjutnya
mengatakan bahwa “Norma dapat mempunyai sifat individual atau sifat umum. Ia
mempunyai suatu sifat individual bila apa yang diwajibkan adalah sepenggal
tingkahlaku tertentu yang didefinisikan (dibatasi) secara individual dari orang
tertentu yang ditetapkan oleh seseorang, missal keputusan hakim, dan Norma
mempunyai sifat umum, jika apa yang
dirumuskan batas-batasnya secara individual melainkan seperangkat tingkah laku
yang batas-batasnya dirumuskan secara umum, seperti perintah ayah kepada anaknya”.[7]
Ketika sebuah Norma dibentuk dan berfungsi
sebagai sarana pengatur tata kehidupan masyarakat, terutama di dalam hubungan
antar negara di dalam memanfaatkan laut, maka keberadaan hukum laut
internasional dangat diperlukan keberadaannya sehingga dengan dibentuknya hukum
laut internasional dalam bentuk Konvensi Internasional (International
Convention), mengharuskan setiap negara yang membutuhkan laut harus tunduj dan patuh terhadap ketentuan dalam
Konvensi Hukum Laut Internasional tersebut. Sehingga dengan demikian akan
berlaku adegium “equality before the law” atau persamaan di muka hukum dan
hukum akan menjadi panutan dalam kehidupan bermasyarakat antar negara.
B. SEJARAH HUKUM LAUT
INTERNASIONAL
Dalam konteks kedaulatan negara atas laut, pertumbuhan
dan perkembangan hukum laut internasional setelah runtuhnya Imperium Romawi
diawali degan munculnya tuntutan sejumlah negara atau kerajaan atas sebagian
laut yang berbatasan dengan pantainya berdasarkan alasan yang bermacam-macam,
misalnya, Venetia mengklaim sebagian besar dari laut Adriatik, suatu tuntutan
yang diakui oleh Paus Alexander III pada tahun 1177 yaitu berdasarkan
kekuasaanya atas laut Adriatik ini, Venetia memungut bea terhadap setiap kapal
yang berlayar di sana selain itu Genoa juga mengklaim kekuasaan atas Laut
Liguria dan sekitarnya serta melakukan tindakan-tindakan untuk melaksanakannya
dan hal yang sama dilakukan oleh Pisa yang mengklaim dan melakukan
tindakan-tindakan atas Laut Thyrrhenia.[8]
Kekuasaan yang dilaksanakan oleh negara-negara atau
kerajaan-kerajaan tersebut dengan laut yang berbatasan dengan pantainya
dilakukan dengan tujuan yang di zaman sekarang barangkali dapat disebut
kepentingan: (karantina); (2) bea cukai; (3) pertahanan dan netralitas.[9]
H.M. Ali Mansyur dalam bukunya Aneka
Persoalan Hukum (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum),
menyatakan bahwa “Dalam suatu Negara Hukum, supremasi HUKUM seharusnya
memperoleh tempat yang semestinya, fungsi Hukum dalam arti materiil yang
berusaha memberikan perlindungan kepada masyarakat dengan memperlaakukan
tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan dan memberikan kedudukan Hukum bagi setiap orang.”[10]
Hukum adalah suatu sistem yang terpenting
dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. Hukum akan
menjadi berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan apabila
masyarakat menggunakan hukum menuruti perilakunya. Hukum itu
sendiri terbagi menjadi beberapa bidang, yaitu hukum pidana atau hukum publik,
hukum perdata atau hukum pribadi, dan hukum acara, hukum tata Negara, hukum
administrasi Negara atau hukum tata usaha Negara, hukum internasional, hukum
adat, hukum Islam, hukum agraria, hukum bisnis, dan hukum lingkungan. Dari
hukum-hukum tersebut masing-masing mempunyai tujuan yang sama, yaitu bertujuan
menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula
berdasar pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat.[11]
Dalam hukum internasional, dikenal adanya
perbatasan antar negara yang menjadi pemisah antara negara yang satu dengan negara
yang lain dan perbatasan internasional (international boundaries)
dapat pula digolongkan berdasarkan pada morfologinya atau
proses terbentuknya. Berdasarkan
proses terbentuknya perbatasan dibedakan menjadi dua bagian yaitu :[12]
1. Artifical
Boundaries, yaitu Perbatasan yang tanda
batasnya merupakan buatan
manusia, pemasangan tanda ini
biasanya dilakukan setelah
ada perundingan, persetujuan
maupun Pass di Perbatasan Republik Demokratik Timor Leste dan Republik
Indonesia dalam Pencegahan Illegal
Border Crossing”, perjanjian antarnegara. Batas buatan ini
biasanya dapat berupa patok, tugu, kanal, terusan dan lain lain ;
2. Natural
boundaries, yaitu Perbatasan yang batasnya terbentuk karena proses alamiah ;
3. Antropho-geographic
boundaries, yaitu Perbatasan jenis ini dipakai untuk membatasi wilayah-wilayah
yang berlainan bahasa, adat, agama dan lain sebagainya yang termasuk dalam etnic-cultural background yang merupakan
batas wilayah kebangsaan.
Dalam bidang kelautan, keterikatan dan ketergantungan
suatu Negara terhadap laut menyebabkan setiap
negara berlomba-lomba untuk menguasai lautan seluas-luasnya, sehingga
tidak mengherankan bahwa pada abad imperialisme, bangsa Eropa
berbondong-bondong mengarungi lautan demi untuk mendapatkan pengakuan bahwa
negara merekalah yang paling hebat di lautan sehingga dapat mengambil hasil
laut sebanyak-banyaknya. Hal ini membuka ruang terjadinya perselisihan antar
negara, yang seringkali juga melibatkan kekuatan bersenjata dari masing-masing
negara yang akhirnya menimbulkan doktrin-doktrin baru tentang hukum penguasaan
laut, antara lain :[13]
1. Konsep Laut
Terbuka (mare liberium), konsep ini dikemukakan oleh Hugo Crotius tahun 1906
dari Belanda, "mare liberium" ini menjelaskan bahwa laut itu terbuka
dan bebas untuk berlayar oleh siapa saja ;
2. konsep laut
tertutup (mare calussum), konsep ini dikemukakan oleh John Selden pada tahun
1635.Teori ini dikemukakan pada abad XVII oleh Inggris untuk menentang teori
yang telah dikemukakan oleh Grotius. Selden mengemukakan bahwa selama laut
dikuasai oleh suatu negara tertentu, maka negara tersebut mempunyai kekuasaan
atas laut tersebut (tertutup) ;
3. Konsep
Kompromi, Dari kedua doktrin di atas, Pontanus mencoba menggabungkan antara
"mare liberium" dan "mare claussum", dan mengemukakan bahwa
laut yang berada dekat dengan tepi pantai suatu negara (bangsa) adalah di bawah
kedaulatan suatu negara pantai dan selebihnya adalah laut bebas. Maka dari
pendapat itulah awal mula munculnya sebuah gagasan yang dikenal dengan
"laut teritorial dan laut lepas".
4. Teori
Tembakan Meriam (Mare Clausum) yang dikembangkan oleh Cornelis van Bynkershoek
yang menyatakan"terrae protestas finitur ubi finiturarmorum vis" atau
lebih dikenal dengan teori tembakan meriam, yang menyebutkan bahwa lebar laut
territorial suatu negara adalah sejauh 3mil laut. Alasannya karena 3 mil laut
adalah jarak yang paling jauh yang bisa ditempuh oleh tembakan meriam.
Beberapa
pertemuan tingkat dunia yang membahas tentang pengelolaan laut telah dilakukan,
diantaranya adalah :[14]
1. Den Haag
Convention 1930 :
Merupakan konferensi yang bertujuan membentuk kodifikasi hukum
internasional yang diprakarsai oleh Liga Bangsa Bangsa, yang meliputi 3
hal penting yakni :
- wilayah
negara (nationality)
- laut
teritorial (territorial waters)
- hak lintas
damai
2. Truman
Proclamation 28 September 1945 :
Latar belakang yang mendasari keluarnya Proklamasi
Truman adalah:
a. Banyaknya
Negara yang merdeka atau menyatakan merdeka ;
b. Kemajuan
teknologi ;
c. Banyak
Negara yang menyadari laut sebagai sumber daya alam yang potensial.
Pada pokoknya proklamasi ini melontarkan pengertian baru tentangrezim
Continental Shelf (Landas Kontinen). Menurut Truman, landas kontinen
merupakan suatu kelanjutan alamiah dari wilayah daratan dengan tujuan
mengamankan dan mencadangkan sumber kekayaan alam serta penguasaan atas sumber
daya alam di bawahnya tanpa adanya effective occupation.
3.
Konvensi
Jenewa 1958 (UNCLOS II) :
Konferensi ini menghasilkan 4 Konvensi yaitu :
- Konvensi tentang laut teritorial dan zona tambahan
- Konvensi laut lepas
- Konvensi tentang perikanan dan perlindungan kekayaan hayati
- Konvensi tentang landas kontinen
Berdasarkan
Konvensi Jenewa 1958 ini, maka :
a. Negara dari
aspek geografis dibedakan menjadi dua yaitu negara tak berpantai dan negara
pantai ;
b. laut dibagi
dalam beberapa zona yaitu :
o
laut teritorial (territorial sea), lebarnya masih
berdasarkan hukum kebiasaan internasional 3, 4, dan 6 mil ;
o perairan
pedalaman (internal water)
o zona
tambahan (contiguous zone)
o laut lepas
(high sea)
o daerah dasar
laut dan tanah di bawahnya, yaitu landas kontinen (kontinen self)
4. Konvensi PBB
tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982) :
Konvensi ini
disahkan tanggal 10 Desember 1982, di Montegobay, Jamaica. Berdasarkan Konvensi
ini di hasilkan beberapa keputusan penting, yaitu :
a. Negara dari
aspek geografis dibagi menjadi tiga yaitu negar tak berpantai, negara pantai
dan negara kepulauan
b. Pembagian
laut dibagi dalam beberapa zona yaitu :
c. laut
teritorial (territorial sea) sejauh 12 mil dari garis pangkal (baseline) :
o perairan
pedalaman (internal water) ;
o zona
tambahan (contiguous zone) 24 mil dari garis pangkal ;
o perairan
kepulauan (archipelagic water) diukur dari titik terluar pulau terluar suatu
negara kepulauan ;
o zona ekonomi
eksklusif (exclusive economic zone) 200 mil dari garis pangkal laut lepas (high
sea) ;
o daerah dasar
laut : landas kontinen dan kawasan.
UNCLOS III
yang berlangsung dari tahun 1973 sampai dengan tahun 1982 dan Konvensi Hukum
Laut ini mendefinisikan hak dan tanggung jawab negara dalam penggunaan lautan
di dunia serta menetapkan pedoman untuk bisnis, lingkungan, dan pengelolaan
sumber daya alam laut. Konvensi kesimpulkan pada tahun 1982, menggantikan
perjanjian internasional mengenai laut tahun 1958. UNCLOS diberlakukan pada
tahun 1994[15]
Konsep
landas kontinen ini, pertama kali diajukan oleh Amerika Serikat pada Konvensi
Hukum Laut Internasional tahun 1958 yaitu Presiden Amerika Serikat (AS), Harry
S. Truman, yang pertama kali memproklamirkan. Tepatnya pasca-Perang Dunia II,
pada tanggal 28 September 1945. ”Whereas the Goverment of the United States of
America, aware of the long range world wide need for new sources of petroleum
and other minerals, holds the view the efforts to discover and make available
new supplies of these resources should be encouraged,…” demikian Presiden
Truman mengawali proklamasinya dimana Konsep landas kontinen dalam hukum laut
tidak berhubungan dengan kekayaan mineral dalam dasar laut tetapi berkaitan
dengan kekayaan hayati atau perikanan. Pengertian landas kontinen pertama kali
diperkenalkan oleh Odon de Buen seorang Spanyol dalam Konferensi Perikanan di
Madrid di tahun 1926 dan konsepsi landas kontinen dikemukakan dengan perikanan
berdasarkan anggapan bahwa perairan diatas dataran kontinen merupakan perairan
yang baik sekali untuk kehidupan ikan. [16]
Konvensi
Hukum Laut International atau United Nations Convention on the Law of the Sea
(UNCLOS) 1982, memberikan kesempatan kepada negara pantai untuk melakukan
tinjauan terhadap wilayah landas kontinen hingga mencapai 350 mil laut dari
garis pangkal. Berdasarkan ketentuan UNCLOS jarak yang diberikan adalah 200 mil
laut, maka sesuai ketentuan yang ada di Indonesia berupaya untuk melakukan
submisi (submission) ke PBB mengenai batas landas kontinen Indonesia di luar
200 mil laut.[17]
Dalam teori Hukum Internasional, terdapat
beberapa aliran pemikiran yang sangat berpengaruh terhadap berlakunya Hukum
Internasional dalam Sistem Hukum Nasional di suatu Negara. Perkembangan
teori-teori Hukum Internasional tersebut tidak terlepas dari makin meningkatnya
kebutuhan suatu Negara atas laut dan sumber daya yang terkandung di dalamnya,
bahkan suatu Negara yang secara alamiah tidak memiliki laut, misalkan Swiss
atau Austria, tetap membutuhkan laut, selain karena kebutuhan atas sumber daya
yang ada di laut, juga demi menjaga eksistensi negara tersebut yang tetap
membutuhkan laut.
Diantara teori-teori Hukum Internasional
tersebut yang berkembang dari masa ke masa adalah :[18]
A.
Teori Hukum Alam/ Hukum Kodrat
Dalam teori hukum alam ini ciri keagamaan sangat kuat, namun setelah itu
oleh Grotius dilepaskan dari hubungannya dengan keagamaan. Disini hukum alam
diartikan sebagia hukum yang ideal yang didasarkan atas hakekat manusia sebagai
mahluk yang berakal atau satuan kaidah yang diilhamkan alam pada akal manusia.
Kelemahan teori hukum Alam adalah sangat samar dan tergantung pada pendapat
subjektif dari yang bersangkutan mengenai keadilan, kepentingan masyarakat
Internasional dan konsep lain yang serupa.
B. Teori
Kemauan Negara (state will theory)
Teori ini menjelaskan bahwa negaralah yang merupakan sumber segala hukum
dan hukum internasional mengikat karena kemauan negara sendirilah yang mau
tunduk dengan hukum internasional. Kelemahan dari teori ini adalah tidak dapat
menjawab suatu pertanyaan, mengapa suatu negara baru, sejak munculnya dalam
masyarakat internasional sudah terikat oleh hukum internasional, lepas dari mau
atau tidak maunya ia tunduk padanya.
C.Teori Kemauan Bersama Negara(Common Will Theory, Vereinbarung Theorie)
Teori ini pada dasarnya menyatakan bahwa Hukum internasional mengikat
negara-negara bukan karena kehendak masing-masing negara untuk tunduk pada
hukum internasional, melainkan karena adanya suatu kehendak bersama
negara-negara untuk tunduk pada hukum internasional. Kehendak bersama ini
dinamakan vereinbarung. Kelemahan teori ini adalah kekuatan dasar mengikat
hukum berdasarkan kehendak subjek hukum itu tidak dapat diterima.
D. Norma
Hukum (Mazhab Wina)
Teori ini menjelaskan bahwa, pada dasarnya dasar mengikatnya hukum
internasional bukanlah merupakan kehendak negara melainkan berdasarkan pada
norma hukum. Suatu kaidah pada dasarnya didasarkan pada kaidah yang lebih
tinggi diatasnya begitu pula seterusnya. Dan segala sesuatunya dikembalikan
kepada kaidah dasar, dan kaidah dasar yang dianut oleh mazhab ini adlah asas
“pacta sun servanda”. Kelemahan dari teori ini adalah tidak dapat menjawab
mengapa kaidah dasar itu sendiri mengikat. Ini mengakibatkan sistem yang
tadinya logis menjadi tergantung di awang-awang, karena tidak mungkin persoalan
kekuatan mengikatnya hukum internasional itu didasrkan pada suatu hipotesa.
E. Fait Social (Mazhab Perancis)
Mazhab Perancis ini mendasarkan mengikatnya suatu hukum termasuk hukum
Internasional pada faktor-faktor biologis, sosial dan sejarah kehidupan manusia
yang oleh mereka diberi nama “fakta-fakta internasional”(fait social). Jadi
dasar kekuatan mengikatnya hukum internasional terdapat dalam kenyataan sosial
bahwa mengikatnya hukum itu mutlak perlu, bagi dapat terpenuhinya kebutuhan
manusia (bangsa) untuk bermasyarakat.
F. Pandangan
Starke
Menurut starke unsur pokok yang memperkuat sifat wajib aturan-aturan hukum
internasional adalah fakta empiris bahwa negara-negara mau bersikeras
mempertahankan hak-haknya menurut aturan-aturan tersebut terhadap negara yang
dianggapnya seharusnya menaati aturan-aturan itu. Dengan kata lain,
sekurang-kurangnya sampai batas tertentu, masalah kekuatan mengikatnya hukum
internasional pada akhirnya meluluhkan dirinya kedalam masalah yang tidak
berbeda dari masalah sifat memaksa hukum pada umumnya.
Dari teori-teori tentang Hukum Internasional
tersebut, kiranya sampai saat ini tidak ada satu negarapun yang menganut secara
murni dari salah satu terori tersebut, sebab perkembangan jaman menuntut Negara
untuk aktif dalam perlindungan dan pengeloaan laut beserta sumber daya yang
terkandung di dalamnya. Oleh karenanya, setiap negara cenderung untuk menganut
beberapa teori tersebut sekaligus di , dalam pelaksanaan perlindungan lautnya.
Terhadap suatu Konvensi Internasional, ketika
negara sudah meratifikasi suatu Konvensi Internasional, berarti negara sudah
mengakui adanya Konvensi Internasional tersebut dan secara otomatis Konvensi
Internasional tersebut akan langsung berlaku sebagai Hukum Nasional negara
tersebut akan tetapi di dalam praktek, khususnya di Indonesia, Konvensi
Internasional yang telah diratifikasi tidak secara otomatis berlaku sebagai
Hukum Nasional Indonesia, akan tetapi ditetapkan terlebih dahulu dalam bentuk
peraturan perundang-undangan yang kemudian diberlakukan sebagai Hukum Nasional.
Sebagai contoh adalah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 yang diperbaharui
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laudering) yang merupakan manivestasi dari
Konvensi Internasional dari United
Nations Conventions Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic
Substances tahun 1988[19]
dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang (Human Trafficking) yang merupakan manivestasi dari Konvensi
Internasional dari Protocol to Prevent,
Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children,
Supplementing the United Nations Convention Against Transnational Organized
Crime tahun 2004.[20]
Dalam hukum laut internasional sebagaimana tercantum dalam UNCLOS III, yang
berlangsung dari Desember 1973 sampai Desember 1982. Kesepakatan yang dicapai
selama UNCLOS I dirangkum dalam empat konvensi berikut : [21]
1.
Konvensi
tentang High Seas, yaitu Konvensi pada High Seas. Konvensi di laut
lepas mulai dengan mendefinisikan laut lepas untuk menjadi, Sementara ini
dikotomi mencerminkan pemikiran yang lebih-atau-kurang tradisional “semua
bagian dari laut yang tidak termasuk dalam laut teritorial atau dalam perairan
pedalaman suatu Negara.” pada saat itu, itu diubah menjadi divisi tripartit
selama UNCLOS III – laut teritorial, zona ekonomi eksklusif, dan laut lepas.
Konvensi di laut lepas melanjutkan untuk menentukan kebebasan tertentu itu
sudah diambil untuk diberikan: kebebasan navigasi, kebebasan memancing,
kebebasan untuk meletakkan kabel dan pipa bawah laut, dan kebebasan overflight.
Sebuah peringatan penting untuk kebebasan tersebut adalah ketentuan bahwa
Setidaknya dalam kasus hak penangkapan ikan, peringatan ini ditandai signifikan
“mereka harus dilakukan dengan memperhatikan wajar untuk kepentingan negara
lain dalam latihan mereka tentang kebebasan laut lepas.” keberangkatan dari
sudut pandang Grotian bahwa laut lepas adalah res nullius.
2. Konvensi tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan, yaitu
Konvensi tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan. Pasal 1 dari konvensi ini
secara eksplisit menyatakan, “Kedaulatan Negara meluas, melampaui wilayah
daratan dan perairan internal, ke sabuk laut berdekatan dengan pantainya,
digambarkan sebagai laut teritorial.” Meskipun konsensus kodifikasi Den Haag
1.930 Konferensi telah bahwa kedaulatan negara pesisir diperluas ke wilayah
laut, ini adalah kodifikasi pertama konsep ini dalam sebuah perjanjian
internasional.
3. Konvensi tentang Landas Kontinen, yaitu
Konvensi ini pada dasarnya mengikuti utama dari Proklamasi Truman dan klaim
selanjutnya Tengah beberapa negara Amerika Latin. Konvensi tersebut
mendefinisikan landas kontinen sebagai “yang berdekatan laut dan bawah tanah
dari daerah bawah laut ke pantai tetapi di luar wilayah laut teritorial, hingga
kedalaman 200 meter atau, di luar batas itu, ke mana kedalaman perairan
diatasnya mengakui dari eksploitasi sumber daya alam dari daerah tersebut “dan”
dasar laut dan tanah di bawahnya dari daerah bawah laut yang sama berdekatan
dengan pantai pulau-pulau. “Menurut konvensi ini, negara pantai hak berdaulat
atas landas kontinen untuk tujuan eksplorasi dan pemanfaatan sumber daya
alamnya. Sumber daya alam didefinisikan untuk mencakup non-hidup sumber daya,
seperti mineral, dan “organisme hidup milik spesies menetap, yang mengatakan,
organisme yang, pada tahap ditebang, baik yang bergerak pada atau di bawah
dasar laut atau tidak bisa bergerak kecuali dalam kontak fisik konstan dengan
dasar laut atau lapisan tanah. “Konvensi secara khusus menyatakan bahwa”
hak-hak Negara pantai atas landas kontinen tidak mempengaruhi status hukum
perairan diatasnya sebagai laut lepas, atau bahwa wilayah udara di atas mereka
perairan. “berubah Salah satu elemen merepotkan konvensi di landas kontinen
keluar menjadi masalah spesies menetap. Beberapa tahun setelah adopsi konvensi,
perselisihan muncul antara Perancis dan Brasil mengenai panen lobster di landas
kontinen Brasil. Jepang juga menolak untuk mengakui kepiting sebagai spesies
menetap. Masalah spesies menetap akhirnya menjadi diperdebatkan dengan
penciptaan 200 mil zona ekonomi eksklusif oleh UNCLOS III.
4. Konvensi tentang Perikanan dan Konservasi Sumberdaya
Alam Hayati Laut Tinggi, yaitu Konvensi ini tampaknya didorong oleh dua
masalah dasar, pertama, dengan isu-isu over-eksploitasi, diharapkan bahwa
tekanan dari negara-negara pantai untuk memperpanjang laut teritorial mereka
mungkin berkurang dan kedua, negara-negara yang sudah menandatangani perjanjian
untuk melestarikan saham tertentu ingin perjanjian tersebut harus diakui dalam
konvensi tersebut. Sayangnya konvensi memiliki banyak kekurangan dan dalam
waktu singkat digantikan oleh praktik negara.
Dari UNCLOS III terebut, kemudian lahir
Deklarasi Juanda Tahun 1962 sebagai sebuah jawaban atas pengakuan kedaulatan
laut Indonesia sebagai Negara Kepulauan yang memiliki Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE) sejauh 200 mil laut dari bibr pantai dan zona kedaulatan ynag merupakan
wilayah laut Indonesia sejauh 12 mil laut dari bibir pantai serta melindungi
sumber daya yang terkadung di dalam laut demi kesejahteraan warga negara
Indonesia. Hal ini kemudian dimanifestasikan ke dalam Undang-Undang Nomor 45
Tahun 2009 tentang Perikanan yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor
31 tahun 2004. Atas dasar Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan
tersebut, upaya penegakan hukum laut nasional ditegakkan. Dan proses Penegakan
Hukum pada hakekatnya adalah suatu proses untuk menjalankan suatu produk hukum
berupa perundang-undangan, baik itu Undang-Undang maupun peraturan perudangan
di bawahnya. Suatu Undang-Undang tidak akan dapat dijalankan dengan baik
apabila Aparat Penegak Hukumnya adalah aparat yang tidak memahami esensi dari Undang-Undang
yang dijalankannya. Sehingga hal tersebut, membuat perlunya Aparat Penegak
Hukum yang benar-benar mumpuni dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Penegakan
hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan” hukum yang dimulai
dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum.
Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku
manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan
yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat
semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum
legalistik.[22]
Penegakan Hukum itu harus konsisten supaya
masyarakat memahami, mana HUKUM dan mana yang BUKAN HUKUM. Sebagai bagian dari
proses sosial, penegakan kepastian hukum itu bertumpu pada 2 (dua) komponen
utama, yaitu :[23]
1. Hukum
itu harus bisa memberikan kepastian dalam orientasi kepada masyarakat. Dalam
hal ini dikenal asas kepastian orientasi yaitu Certitudo atau Orientierungssicherheit,
yaitu orang memahami, perilaku yang bagaimana yang diharapkan oleh orang
lain daripadanya dan respon yang bagaimana yang dapat diharapkannya dari orang
lain baagi perilakunya itu ;
2. Kepastian
dalam penerapan hukum oleh penegak hukum, Jangan sampai terjadi bahwa sekali
ini suatu ketentuan hukum dilaksanakan, tetapi lain kali ketentuan yang sama
tidak dilaksanakan. Terdapat suatu asas yaitu Securitas atau Realisierungssherheit
adalah asas kepastian realitas hukum
yang memungkinkan orang untuk mengandalkan pada perhitungan, bahwa norma-norma
yang berlaku memang dihormati dan dilaksanakan, keputusan-keputusan pengadilan
sungguh-sungguh dilaksanakan dan perjanjian-perjanjian ditaati.
Hakim sebagaimana telah ditegaskan dalam
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman telah menyebutkan
di dalam Pasal 1 angka 1 yaitu “Kekuasaan
Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum
Republik Indonesia” dan Pasal 1 angka 2 yang menyatakan “Mahkamah
Agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Tugas
yustisial yaitu tugas mengadili menjadi salah satu bagian dari proses penegakan
hukum secara terpadu adalah menjadi tugas dari Hakim, baik di tingkat
Pengadilan tingkat pertama, Pengadilan tingkat banding dan di Mahkamah Agung,
akan tetapi seringkali tugas yustisial ini tidak dipahami dengan baik oleh
Hakim, sehingga seroang Hakim harus memahami tugas-tugasnya, yaitu :[24]
1) Mengkonstatir
yaitu yang dituangkan dalam Berita Acara Persidangan dan dalam duduknya perkara
pada putusan hakim. Mengkonstatir ini dilakukan dengan terlebih dahulu melihat
pokok perkara dan kemudian mengakui atau membenarkan atas peristiwa yang
diajukan, tetapi sebelumnya telah diadakan pembuktian terlebih dahulu ;
2) Mengkualifisir
yaitu yang dituangkan dalam pertimbangan hukum dalam surat putusan. Ini
merupakan suatu penilaian terhadap peristiwa atas bukti-bukti, fakta-fakta
peristiwa atau fakta hukum dan menemukan hukumnya ;
3) Mengkonstituir
yaitu yang dituangkan dalam surat putusan. Tahap tiga ini merupakan penetapan
hukum atau merupakan pemberian konstitusi terhadap perkara.
Dalam penegakan hukum laut nasional,
meskipun Indonesia telah meratifikasi UNCLOS III yaitu dengan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 1985, akan tetapi sampai saat ini pemerintah RI belum
meratifikasi konvensi STCWF 1995 yang merupakan turunan dari UNCLOS III yang
mengatur tentang keahlian para pelaut yang dibuktikan dengan sertifikasi
kepelautan berstandar internasional STCWF 1995 untuk mendapatkan hak dan
kewajiban nasional dan internasional, sehingga para pelaut mampu bersaing
dengan pelaut negeri lain dan dapat menduduki jabatan nakhoda atau perwira pada
kapal – kapal luar negeri.[25]
Ratifikasi atas STCWF 1995 tersebut bertujuan untuk :[26]
1.
Untuk
meningkatkan standar pendidikan, pelatihan, sertifikasi dan tugas jaga bagi kapal
perikanan ;
2.
Memposisikan
awak kapal perikanan agar memperoleh pengakuan dan peluang kerja di tingkat
internasional ;
3.
Meningkatan
kualitas lingkungan laut dengan engurangi terjadinya pencemaran laut akibat
opersioanl kapal ikan ;
4.
Meningkatkan
kualitas penangkapan ikan dengan menerapkan tata laksana penangkapan ikan yang
bertanggung jawab ;
5.
Untuk
meningkatkan keselamatan jiwa harta benda di laut.
Pengesahan
STCWF 1995 diharapkan dapat membatasi masuknya awak kapal asing yang tidak
memiliki kompetensi yang akan bekerja di kapal perikan indonesia dan kondisi ini sangat sejalan
dengan kebijakan Kementerian Kelautan Dan Perikanan (KKP) yang tertuang dalam
Permen 56 dan 57 tahun 2014.[27]
Selain belum diratifikasinya STCWF 1995, hal yag lain
dalam penegakan hukum laut di Indonesia, adalah belum adanya sepemahaman di
antara para penegak hukum di Indonesia, terutama pemahaman terhadap UNCLOS yang
khusus dalam pasal 73 mengatur penegakan hukum yang dapat dilakukan oleh negara
pantai terhadap pelanggaran atas wilayah lautnya. Selengkapnya pasal 73 UNCLOS
menyebutkan :
Pasal
73
Penegakan Peraturan perundang-undangan Negara pantai
Penegakan Peraturan perundang-undangan Negara pantai
(1) Negara
pantai dapat, dalam melaksanakan hak berdaulatnya untuk melakukan eksplorasi,
eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di zona ekonomi
eksklusif mengambil tindakan demikian, termasuk menaiki kapal, memeriksa,
menangkap dan melakukan proses peradilan, sebagaimana diperlukan untuk menjamin
ditaatinya peraturan perundang-undangan yang ditetapkannya sesuai dengan ketentuan
Konvensi ini ;
(2) Kapal-kapal
yang ditangkap dan awak kapalnya harus segera dibebaskan setelah diberikan
suatu uang jaminan yang layak atau bentuk jaminan lainnya ;
(3) Hukuman
Negara pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan
perikanan di zona ekonomi eksklusif tidak boleh mencakup pengurungan, jika
tidak ada perjanjian sebaliknya antara Negara-negara yang bersangkutan, atau
setiap bentuk hukuman badan lainnya ;
(4) Dalam
hal penangkapan atau penahanan kapal asing Negara pantai harus segera
memberitahukan kepada Negara bendera, melalui saluran yang tepat, mengenai
tindakan yang diambil dan mengenai setiap hukuman yang kemudian dijatuhkan.
Sering terjadi pertentangan
diantara para penegak hukum berkaitan dengan penangkapan kapal-kapal ikan
berbendera asing di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Sebagian berpendapat
bahwa penangkapan kapal berbendera asing dan penanganan terhadap awal kapalnya,
berdasarkan pasal 73 ayat (3) tidak boleh menjatuhkan pemidanaan badan termasuk
diantaranya adalah pengurungan akan tetapi sebagian berpendapat bahwa sifat
dari pengurungan adalah berbeda dari pemenjaraan yang merupakan pemidanaan
badan. Hal ini yang kerap kali menyebabkan timbulnya berbagai putusan yang
berbeda antara perkara kelautan yang satu dengan perkara kelautan yang lain,
meskipun substansi yang diadili adalah sama.
Hal lain yang juga menjadi
masalah, khususnya di bidang peradilan, adalah kurangnya Hakim-Hakim yang
memiliki kualifikasi perikanan dan juga perlu adanya penetapan atau pembentukan
Pengadilan Perikanan yang baru sehingga penanganan perkara perikanan lebih
tersebar dan merata sehingga memudahkan serta mempercepat penanganan perkara
perikanan.
Perhatian dari Mahkamah Agung
terhadap keberadaan Pengadilan Perikanan sangat diperlukan, mengingat bahwa
saat ini sedang digalakkan penegakan hukum terhadap tindak pidana pencurian
ikan (illegal fishing) di wilayah perairan Indonesia, yang menyebabkan kerugian
trilyunan rupiah. Mahkamah Agung perlu bersikap lebih tegas terhadap pelaku
tindak pidana pencurian ikan, termasuk dalam hal bahwa di dalam Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan yang merupakan perubahan dari
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, terhadap pelaku pencurian ikan di wilayah
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di perairan Indonesia yang dilakukan oleh warga
negara asing (WNA) hanya dikenakan pidana denda akan tetapi pidana denda
tersebut tidak disertai dengan “alat pemaksa” berupa pidana pengganti berupa
pidana kurungan yang dapat dijadikan alat pemaksa bagi warga negara asing yang
melakukan pencurian ikan di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di perairan
Indonesia.
Ketiadaan pidana kurungan sebagai
alat pemaksa bagi warga negara asing untuk membayar pidana denda sebagai
hukuman bagi yang bersangkutan karena melakukan pencurian ikan di wilayah Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE) di perairan Indonesia, menyebabkan putusan-putusan
pengadilan khususnya putusan Mahkamah Agung menjadi “ompong” karena tidak dapat
dieksekusi oleh pihak Kejaksaan / Penuntut Umum sebagai pelaksana eksekusi dari
putusan hakim. Perlu adanya konsep yang jelas terhadap pemidanaan terhadap
warga negara asing yang melakukan pencurian ikan di wilayah Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE) di perairan Indonesia. Perlu pula diperhatikan bahwa pelaku
pencurian ikan seringkali didukung oleh korporasi dalam hal pemberian barang
modal dan peralatan, sehingga perlu kiranya Mahkamah Agung memberikan pemahaman
kepada hakim-hakim di daerah terutama hakim-hakim bersertifikasi perikanan
untuk juga menjatuhkan sanksi pemidanaan terhadap korporasi yang melakukan
pencurian ikan utamanya di di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di perairan
Indonesia.
C.
KESIMPULAN
Dari
uraian-uraian tersebut di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Mahkamah
Agung Republik Indonesia dan badan peradilan di bawahnya merupakan badan yang
melaksanakan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia harus memperhatikan upaya-upaya
pemerintah dalam melakukan pemberantasan tindak pidana pencurian ikan, terutama
yang dilakukan oleh warga negara asing (WNA) di di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di perairan Indonesia ;
2. Perlu adanya pemerataan keberadaan Pengadilan
Perikanan dan juga hakim-hakim yang memiliki sertifikasi perikanan dalam upaya
melakukan penegakan hukum atas tindak pidana pencurian ikan ;
3. Penegakan hukum atas tindak pidana pencurian ikan
tidak bisa dilakukan terlepas dari UNCLOS III yang telah diratifikasi oleh
Indonesia ;
D.
PENUTUP
Tulisan
singkat ini barangkali tidak mencukupi di dalam untuk menjebarkan secara
lengkap mengenai UNCLOS dan Tantangan Penegakan Hukum Perikanan di Indonesia,
akan tetapi setidaknya memberikan sedikit pencerahan atas hambatan-hambatan
dalam rangka penegakan hukum perikanan di Indonesia.
E.
DAFTAR
BACAAN
1. Arief
Sidarta, Hukum Dan Logika, 1992, Penerbit Alumni, Bandung ;
2. M. Ali
Mansyur, Aneka Persoalan Hukum (Masalah
Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum , Penerbit Unisula bekerjasama
dengan Penerbit Teras, Tahun 2010 ;
3. Budioono
Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum (Problematik Ketertiban Yang Adil), Penerbit
CV. Mandar Maju – Bandung ;
F. LINK INTERNET
6. digilib.unila.ac.id/9166/11/BAB%20II.pdf ;
10. https://yunushusein.files.wordpress.com/2007/07/12_pencegahan-pemberantasan-tppu-di-ind_x.pdf
;.
[1] Hakim Yustisial pada Mahkamah
Agung RI, Mahasiswa Program Doktoral pada Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH)
Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung, Semarang ;
[2] http://hukumunila.blogspot.co.id/2012/03/hukum-laut-internasional.html,
diunduh tanggal 30 Desember 2015 ;
[3] http://hukumunila.blogspot.co.id/2012/03/hukum-laut-internasional.html,
diunduh tanggal 30 Desember 2015 ;
[4]http://abdulfhunila13.blogspot.co.id/2015/04/hukum-laut-internasional_29.html, diunduh
tanggal 30 Desember 2015 ;
[5] http://abdulfhunila13.blogspot.co.id/2015/04/hukum-laut-internasional_29.html, diunduh
tanggal 30 Desember 2015 ;
[6] Arief Sidarta, Hukum Dan Logika,
1992, Penerbit Alumni, Bandung, h. 1-2.
[7] Ibid, hal 19-20.
[8] http://bahankuliyah.blogspot.co.id/2014/05/hukum-laut-internasional.html, diunduh
tanggal 30 Desember 2015 ;
[9] http://bahankuliyah.blogspot.co.id/2014/05/hukum-laut-internasional.html, diunduh tanggal 30 Desember
2015
[10] M. Ali Mansyur, Aneka Persoalan
Hukum (Masalah Perjanjian, Konsumen dan
Pembaharuaan Hukum , Penerbit Unisula bekerjasama dengan Penerbit Teras, Tahun
2010, hlm.148.
[11] http://eprints.ums.ac.id/346/1/2._ZUDAN.pdf,
diunduh tanggal 5 April 2016 ;
[13]http://abdulfhunila13.blogspot.co.id/2015/04/hukum-laut-internasional_29.html,
diunduh tanggal 30 Desember 2015 ;
[14] http://abdulfhunila13.blogspot.co.id/2015/04/hukum-laut-internasional_29.html,
diunduh tanggal 30 Desember 2015 ;
[15]https://id.wikipedia.org/wiki/Konvensi_Perserikatan_Bangsa-Bangsa_tentang_Hukum_Laut, diunduh tanggal 30 Desember 2015 ;
[16] http://minartyplace.blogspot.co.id/2010/12/konsep-landas-kontinen-dalam-konvensi.html,
diunduh tanggal 30 Desember 2015 ;
[17] http://minartyplace.blogspot.co.id/2010/12/konsep-landas-kontinen-dalam-konvensi.html,
diunduh tanggal 30 Desember 2015 ;
[18] http://hitamandbiru.blogspot.co.id/2012/07/teori-teori-dasar-berlakunya-hukum.html,
diunduh tanggal 5 April 2016 ;
[19] https://yunushusein.files.wordpress.com/2007/07/12_pencegahan-pemberantasan-tppu-di-ind_x.pdf,
diunduh tanggal 5 April 2016 ;.
[21] https://ekazai.wordpress.com/2013/03/11/sejarah-unclos-tahun-1982/,
diunduh tanggal 5 April 2016 ;
[23]
Budioono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum (Problematik Ketertiban Yang Adil),
Penerbit CV. Mandar Maju – Bandung ,
hlm.172-173.
[24] http://laliumah.blogspot.co.id/2013/02/tugas-fungsi-dan-tanggung-jawab-hakim.html,
diunduh tanggal 18 Nopember 2015 ;
[25] http://www.puslat.kkp.go.id/puslatweb/berita.php?mod=view&id=NWID000458,
diunduh tanggal 5 April 2016 ;
[26] http://www.puslat.kkp.go.id/puslatweb/berita.php?mod=view&id=NWID000458,
diunduh tanggal 5 April 2016 ;
[27] http://www.puslat.kkp.go.id/puslatweb/berita.php?mod=view&id=NWID000458,
diunduh tanggal 5 April 2016 ;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar