|
PENERAPAN BUNGA DALAM PUTUSAN TINDAK PIDANA KORUPSI
DISUSUN OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH
Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung RI
|
PENERAPAN BUNGA DALAM
PUTUSAN TINDAK PIDANA KORUPSI
(SUATU
PEMIKIRAN KONSTRUKTIF)
OLEH
: H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH[1]
A. PENDAHULUAN
Hukum
dan keadilan adalah 2 (dua) hal yang tidak terpisahkan dalam upaya penegakan
hukum di Indonesia. Harus diakui bahwa saat ini masih merupakan masa transisi
dari diberlakukannya sistem hukum Belanda menjadi sistem hukum nasional
Indonesia, terbukti dengan disahkannya berbagai macam peraturan
perundang-undangan.
Indonesia
sebagai Negara Hukum tentu harus berupaya untuk menjadikan hukum sebagai
panglima dalam pembangunan negara. Menurut Parsons, fungsi utama suatu sistem
hukum itu bersifat integratif artinya untuk mengurangi unsur-unsur konflik yang
potensial dalam masyarakat dan untuk melicinkan proses pergaulan sosial. Dengan
mentaati sistem hukum maka sistem interaksi sosial akan berfungsi dengan baik,
tanpa kemungkinan berubah menjadi konflik terbuka atau terselubung yang kronis.
Agar sistem hukum dapat menjalankan fungsi integratifnya secara efektif,
menurut Parsons, terdapat 4 masalah yang harus diselesaikan terlebih dahulu,
yaitu : [2]
·
Legitimasi,
yang akan menjadi landasan bagi pentaatan aturan-aturan ;
·
Interpretasi,
yang akan menyangkut masalah penetapan hak dan kewajiban subyek, melalui proses
penetapan aturan tertentu ;
·
Sanksi,
yang menegaskan sanksi apakah yang akan timbul apabila ada pentaatan dan sanksi
apa yang akan timbul apabila ada pengikatan terhadap aturan, serta sekaligus
menegaskan siapakah yang akan menerapkan sanksi ;
·
Yurisdiksi,
yang menetapkan garis-garis kewenangan yang berkuasa menegakkan norma-norma
hukum ;
·
Dilihat
dari perspektif Parsons tampaknya efektifitas fungsi integratif sistem hukum di
Indonesia masih menghadapi permasalahan yang serius baik ditinjau dari aspek
legitimasi, interpretasi, sanksi maupun yurisdiksi. Dari aspek legitimasi,
sampai sekarang ini lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif masih
mengalami krisis legitimasi. Walaupun semestinya lembaga eksekutif dan
legislatif yang dibentuk berdasarkan proses Pemilihan Umum yang demokratis pada
tahun 2004 ini diharapkan mampu mendongkrak legitimasi kedua lembaga tersebut,
namun dalam kenyataannya lembaga eksekutif dan legislatif yang dipilih secara
demokratis tidak serta merta mengangkat legitimasi kedua lembaga tersebut.
Rakyat masih menunggu bukti-bukti kinerja lembaga eksekutif dan legislatif
dalam praktek. Tingkat legitimasi terhadap lembaga eksekutif dan legislatif
sangat tergantung dari kemampuan kedua lembaga tersebut dalam memenuhi aspirasi
rakyat dan menjawab secara nyata berbagai permasalahan yang dihadapi bangsa
kita agar segera keluar dari krisis menuju kehidupan yang lebih baik di masa
mendatang. Sedangkan lembaga yudikatif yang menempati posisi sentral dalam
penegakan hukum mengalami proses penurunan kewibawaan, karena
putusan-putusannya jauh dari rasa keadilan dan tidak terbatas dari praktek apa
yang disebut “mafia peradilan”. Selain itu lembaga yudikatif mengalami
tekanan-tekanan dari kekuatan politik dan campur tangan dari kekuasaan lain.
Sementara itu kemandirian lembaga peradilan sedang dalam proses pertumbuhan
dengan berbagai kendalanya dibidang sumber daya manusia maupun sarana
pendukungnya.
·
.Dari
aspek interpretasi perlu dilakukan reorientasi agar hak-hak rakyat sebagai
subyek lebih dikedepankan, sehingga rakyat benar-benar menjadi stakeholder yang
berdaulat. Penghormatan terhadap hak-hak rakyat dalam negara demokratis bukan
saja dimaknai dalam proses politik penyelenggaraan Pemilihan Umum, tetapi juga
hak-hak sosial ekonomi dan lain-lain yang dituangkan ke dalam kebijakan publik
yang memihak rakyat. Dengan demikian partisipasi rakyat dalam pelaksanaan
kebijakan publik dengan memenuhi kewajiban-kewajibannya mendapatkan motivasi,
termasuk dalam penerapan berbagai aturan hukum.
·
Dari
aspek sanksi yang sangat penting untuk dilakukan ialah kepastian lembaga yang
berkompeten menerapkan sanksi, sikap konsisten, tegas adil dan tidak pandang
bulu. Selama ini sanksi berupa hukuman lebih banyak dijatuhkan untuk
pelanggaran hukum kelas teri, sedangkan mereka yang tergolong kelas kakap
seakan-akan tak tersentuh oleh sanksi karena punya relasi, sisa-sisa pengaruh
dan dana yang melimpah untuk “mengatur” kasus yang mereka hadapi. Berbagai cara
dapat mereka lakukan untuk meloloskan diri dari jeratan hukuman, sehingga
keadilan yang seharusnya berlaku buat setiap orang tak pandang bulu berkurang
maknanya. Begitu pula pemberian reward, penghargaan seakan-akan menjadi milik
orang-orang yang memiliki status tertentu, ketimbang kepada mereka yang tak
punya status tinggi, meskipun berprestasi secara nyata untuk lingkungannya dan
rakyat.
·
Dari
aspek yurisdiksi sering-sering batas kewenangan berbagai lembaga tidak terlalu
jelas atau bahkan bertumpang tindih. Keadaan ini diperparah lagi dengan
berkembangnya egoisme sektoral dan lemahnya koordinasi, sehingga tidak jarang
suatu masalah mondar mandir dilontar dari lembaga yang satu kepada yang lain,
tanpa ada kepastian penyelesaiannya.
Evaluasi perkembangan kejahatan telah menghasilkan tiga dimensi, yaitu
dimensi kepapaan (kemiskinan), keserakahan dan kekuasaan. Kejahatan yang
bermuara pada dimensi kepapaan akan menghasilkan kejahatan konvensional seperti
pencurian, penganiayaan, pencopetan, dan lain-lain sedangkan
kejahatan yang bermuara pada dimensi keserakahan akan menghasilkan bentuk
kejahatan yang disebut ”corporate crime” atau ”white collar crime” dan kejahatan yang bermuara pada dimensi kekuasaan akan
menghasilkan kejahatan dalam bentuk korupsi atau perbuatan penyalahgunaan
kekuasaan atau jabatan dalam segala aspek pekerjaan pemerintahan atau
governmental crime dan di dalam
pelaksanaan sistem peradilan pidana pelaku kejahatan yang berdemensi
keserakahan dan kekuasaan jarang dihadapkan ke pengadilan dibandingkan dengan
pelaku kejahatan yang berdimensi kepapaan, hal ini disebabkan masalah tenaga ahli yang berkaitan dengan masalah
hukum dalam teknik penyelidikan bidang ekonomi, dan prosedur penyelesaiannya
sering menghabiskan dana yang cukup besar dan waktu yang lama, di samping itu sering sisten peradilan pidana memihak
kepada pelaku kejahatan keserakahan dan kekuasaan dan kurang berpihak kepada
pelaku kejahatan yang berdimensi kepapaan, sehingga muncul masalah diskriminasi
dalam sistem peradilan pidana dan kolusi.[3]
Penuntasan
setiap perkara yang diajukan oleh baik secara pidana maupun perdata, menuntut
kecermatan dan ketepatan pertimbangan Hakim di dalam menyidangkannya. Oleh
sebab itu, setiap Hakim harus mengetahui secara jelas menganai hal-hal yang
harus dilakukan selama persidangan, yang tidak lain adalah merupakan kewajiban
bagi setiap Hakim. Pemahaman setiap Hakim akan kewajibannya merupakan hal yang
mutlak yang harus dimiliki di dalam menunjang tugas-tugas kedinasannya,
utamanya selama melakukan proses persidangan.
Saat
ini upaya pemberantasan tindak pidana korupsi benar-benar menjadi target utama
dalam upaya mendukung keberlangsungan pembangunan nasional. Seringkali dalam persidangan perkara tindak
pidana korupsi, persidangan dilakukan secara in absentia atau tanpa hadirnya Terdakwa yang sudah melarikan diri
dengan tujuan bersembunyi di luar negeri. Oleh karena Terdakwa tidak hadir
dalam persidangan menyebabkan eksekusi putusan pengadilan tindak pidana korupsi
tidak dapat langsung dieksekusi, terutama dalam putusan pemberian pidana denda
dan uang pengganti.
Hal
utama yang menjadi ganjalan adalah, ketika suatu saat Terdakwa yang sudah
menjadi Terpidana tertangkap atau menyerahkan diri beberapa tahun setelah
putusan, maka Jaksa / Penuntut Umum akan langsung mengeksekusi Terpidana,
termasuk melakukan eksekusi atas pidana denda dan uang pengganti terhadap
Terpidana. Akan menjadi suatu hal agak miris apabila Jaksa / Penuntut Umum melakukan ekseskusi atas denda dan uang
pengganti, sebab penentuan besaran denda dan uang pengganti adalah berdasarkan
putusan Majelis Hakim yang dijatuhkan beberapa tahun sebelumnya, yang tentunya
besarannya menjadi sangat kecil apabila dibandingkan dengan nilai kerugian
negara akibat perbuatan Terpidana tersebut.
Harus
ada instrumen peraturan yang mengatur bahwa suatu penerapan pidana denda dan
uang pengganti nominalnya secara ekuivalen tidak mengurangi jumlah kerugian
negara mengingat tenggang waktu yang cukup lama antara penjatuhan pemidanaan
dalam putusan hakim dengan pelaksaanaan eksekusi terhadap Terdakwa atau
Terpidana yang melarikan diri sebelum putusan.
B. PERMASALAHAN
Dari
uraian tersebut di atas maka kiranya dapat ditarik suatu permasalahan, yaitu Dapatkan
diterapkan bunga dalam putusan tindak pidana korupsi ?
C. PEMBAHASAN
H.M. Ali Mansyur dalam bukunya Aneka
Persoalan Hukum (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum),
menyatakan bahwa “Dalam suatu Negara Hukum, supremasi HUKUM seharusnya
memperoleh tempat yang semestinya, fungsi Hukum dalam arti materiil yang
berusaha memberikan perlindungan kepada masyarakat dengan memperlaakukan
tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan dan memberikan kedudukan Hukum bagi setiap orang.”[4]
Hukum adalah suatu sistem yang terpenting
dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. Hukum akan
menjadi berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan apabila
masyarakat menggunakan hukum menuruti perilakunya. Hukum itu
sendiri terbagi menjadi beberapa bidang, yaitu hukum pidana atau hukum publik,
hukum perdata atau hukum pribadi, dan hukum acara, hukum tata Negara, hukum
administrasi Negara atau hukum tata usaha Negara, hukum internasional, hukum
adat, hukum Islam, hukum agraria, hukum bisnis, dan hukum lingkungan. Dari
hukum-hukum tersebut masing-masing mempunyai tujuan yang sama, yaitu bertujuan
menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula
berdasar pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat.[5]
Proses Penegakan Hukum pada hakekatnya adalah
suatu proses untuk menjalankan suatu produk hukum berupa perundang-undangan,
baik itu Undang-Undang maupun peraturan perudangan di bawahnya. Suatu
Undang-Undang tidak akan dapat dijalankan dengan baik apabila Aparat Penegak
Hukumnya adalah aparat yang tidak memahami esensi dari Undang-Undang yang
dijalankannya. Sehingga hal tersebut, membuat perlunya Aparat Penegak Hukum
yang benar-benar mumpuni dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas
kehidupan” hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum,
penegakan hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan
interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan
yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena
itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan
hukum sebagaimana pendapat kaum legalistik.[6]
Penegakan Hukum itu harus konsisten supaya
masyarakat memahami, mana HUKUM dan mana yang BUKAN HUKUM. Sebagai bagian dari
proses sosial, penegakan kepastian hukum itu bertumpu pada 2 (dua) komponen
utama, yaitu :[7]
1. Hukum
itu harus bisa memberikan kepastian dalam orientasi kepada masyarakat. Dalam
hal ini dikenal asas kepastian orientasi yaitu Certitudo atau Orientierungssicherheit,
yaitu orang memahami, perilaku yang bagaimana yang diharapkan oleh orang
lain daripadanya dan respon yang bagaimana yang dapat diharapkannya dari orang
lain baagi perilakunya itu ;
2. Kepastian
dalam penerapan hukum oleh penegak hukum, Jangan sampai terjadi bahwa sekali
ini suatu ketentuan hukum dilaksanakan, tetapi lain kali ketentuan yang sama
tidak dilaksanakan. Terdapat suatu asas yaitu Securitas atau Realisierungssherheit
adalah asas kepastian realitas hukum
yang memungkinkan orang untuk mengandalkan pada perhitungan, bahwa norma-norma
yang berlaku memang dihormati dan dilaksanakan, keputusan-keputusan pengadilan
sungguh-sungguh dilaksanakan dan perjanjian-perjanjian ditaati.
Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman telah menyebutkan di dalam Pasal 1 angka 1 yaitu “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”
dan Pasal 1 angka 2 yang menyatakan “Mahkamah Agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945”.
Hakim, sebagai salah satu unsur utama di Mahkamah
Agung dan Badan Peradilan di bawahnya, tentunya memiliki kedudukan yang sangat
penting di dalam proses penegakan hukum, utamanya selama persidangan. Secara etimologi atau
secara umum, Bambang Waluyo, S.H. menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Hakim adalah organ pengadilan yang dianggap memahami
hukum, yang dipundaknya telah diletakkan kewajiban dan tanggung jawab
agar hukum dan keadilan itu ditegakkan, baik yang berdasarkan kepada tertulis
atau tidak tertulis (mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak atau kurang jelas), dan tidak boleh ada satupun yang bertentangan
dengan asas dan sendi peradilan berdasar Tuhan Yang
Maha Esa.[8]
Di bidang hukum pidana hakim bertugas menerapkan apa in concreto ada oleh seorang terdakwa
dilakukan suatu perbuatan melanggar hukum pidana. Untuk menetapkan ini oleh
hakim harus dinyatakan secara tepat Hukum Pidana yang mana telah dilanggar.[9]
Dalam perkara tindak pidana korupsi, apabila kita
cermati di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang merupakan perubahan
dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, masih terdapat kekosongan hukum yang mencolok, yaitu Undang-Undang
tidak mengatur mengenai keadaan apabila Terdakwa atau Terpidana perkara tindak
pidana korupsi melarikan diri sebelum dilakukannya eksekusi atas putusan
pengadilan tindak pidana korupsi dalam
hal pembayaran pidana denda dan/atau uang pengganti.
Hal ini bisa disebut sebagai kekosongan hukum sebab,
apabila seorang Terdakwa melarikan diri sebelum atau selama proses persidangan
sehinga persidangan dilakukan secara in
absentia maka pihak Penuntut Umum sebagai eksekutor dari putusan pengadilan
tidak dapat langsung melakukan eksekusi atas putusan pengadilan tersebut, hal
yang sama adalah ketika Terpidana yang telah diputus bersalah melakukan tindak
pidana korupsi tetapi belum sempat dilakukan eksekusi atas pidana denda
dan/atau uang pengganti. Yang menjadi permasalahan adalah ketika Terdakwa yang
sudah diputus dalam persidangan yang dilakukan secara in absentia atau Terpidana yang belum sempat dilakukan ekseskusi
atas pidana denda dan/atau uang pengganti, tertangkap setelah lebih dari 1
(satu) tahun sejak putusan pengadilan tindak pidana korupsi tersebut
dijatuhkan. Hal ini mengingat bahwa nilai nomimal denda dan/atau uang pengganti
yang dijatuhkan pada saat dibacakannya putusan sudah tidak relevan lagi dengan
nilai nomimal pada saat Terdakwa atau Terpidana tersebut ditangkap kembali.
Permasalahan ini perlu mendapat perhatian karena
dengan berkurangnya nilai nominal dari denda dan/atau uang pengganti akan
menyebabkan “secara psikis” pidana denda dan/atau uang pengganti yang
dibayarkan setelah Terdakwa atau Terpidana yang melarikan diri tersebut kembali
tertangkap setelah lebih dari 1 (satu) tahun setelah putusan, membuat negara
seakan-akan tidak menerima manfaat dari pembayaran pidana denda dan/atau uang
pengganti tersebut. Meskipun perkara pidana tidak bisa dianalogikan sebagai
perkara perdata, namun khusus dalam perkara tindak pidana korupsi kiranya perlu
ada pemikiran untuk menyelesaikan hal tersebut.
Dalam hukum perdata dikenal adanya istilah wanprestasi, yaitu suatu keadaan ketika
seseorang tidak mampu memenuhi kewajibannya kepada orang lain sebagaimana telah
diperjanjikan dalam suatu perjanjian tertulis. Wanprestasi ini menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain dan
pihak lain tersebut mempunyai hak untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk melakukan atau menyelesaikan
kewajibannya atau bisa menuntut dengan pengembalian dengan nominal uang. Secara
singkat dapat dikatakan bahwa dalam hukum perdata dikenal tiga macam
prestasi yaitu, memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat
sesuatu. Apabila si Debitur tidak melaksanakan prestasi, maka
si Debitur dapat dinyatakan wanprestasi oleh Kreditur. Debitur yang
wanprestasi wajib memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga
sebagaimana diatur dalam Pasal 1236 dan Pasal 1239 KUHPerdata.[10]
Terhadap debitur yang lalai
atau melakukan wanprestasi, sanksi yang
dapat dikenakan ada empat macam, yaitu : [11]
1. Membayar
Kerugian, Ganti rugi sering dirinci dalam tiga unsur: biaya,
rugi dan bunga :
a. Biaya adalah
segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh
satu pihak. Contoh nya jika seorang sutradara mengadakan suatu perjanjian
dengan pemain sandiwara untuk mengadakan suatu pertunjukan dan pemain tersebut
tidak datang sehingga pertunjukan terpaksa dibatalkan, maka yang termasuk biaya
adalah ongkos cetak iklan, sewa gedung, sewa kursi dan lain-lain ;
b. Rugi adalah
kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan
oleh kelalaian si debitur. Misalnya rumah yang baru diserahkan oleh pemborong
ambruk karena salah konstruksinya, hingga merusak perabot rumah ;
c. Bunga adalah
kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung
oleh kreditur. Misalnya, dalam hal jual beli barang, jika barang tersebut sudah
mendapat tawaran yang lebih tinggi dari harga pembeliannya.
Pasal 1247 KUHPer menentukan :
“Si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya rugi
dan bunga yang nyata telah atau sedianya harus dapat diduga sewaktu perjanjian
dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena
sesuatu tipu daya yang dilakukan olehnya”.
Pasal 1248
KUHPer menentukan :
“Bahkan
jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena tipu daya si
berutang, penggantian biaya, rugi dan bunga, sekedar mengenai kerugian yang
diderita oleh si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah
terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinya perjanjian”.
2.
Pembatalan Perjanjian
Pembatalan
perjanjian, bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum
perjanjian diadakan. Dikatakan bahwa pembatalan itu berlaku surut sampai pada
detik dilahirkannya perjanjian. Kalau suatu pihak sudah menerima sesuatu dari
pihak yang lain, baik uang maupun barang, maka itu harus dikembalikan.
Pokoknya, perjanjian itu ditiadakan. Pembatalan perjanjian karena
kelalaian debitur diatur dalam pasal 1266 KUHPer yang mengatur mengenai
perikatan bersyarat, yang berbunyi: “Syarat batal dianggap selamanya
dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang timbal balik, manakala salah satu
pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian perjanjian tidak batal
demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.Permintaan ini juga
harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban itu
dinyatakan dalam perjanjian.Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam
perjanjian, hakim leluasa menurut keadaan atas permintaan si tergugat, untuk
memberikan suatu jangka waktu guna kesempatan memenuhi kewajibannya, jangka
waktu mana tidak boleh lebih dari satu bulan”. Pembatalan perjanjian
itu harus dimintakan kepada hakim, bukan batal secara otomatis walaupun debitur
nyata-nyata melalaikan kewajibannya.
Putusan
hakim itu tidak bersifat declaratoir tetapi constitutif,
secara aktif membatalkan perjanjian itu. Putusan hakim tidak berbunyi
“Menyatakan batalnya perjanjian antara penggugat dan tergugat” melainkan,
“Membatalkan perjanjian”. Hakim harus mempunyai kekuasaan discretionair,
artinya : kekuasaan untuk menilai besar kecilnya kelalaian debitur dibandingkan
dengan beratnya akibat pembatalan perjanjian yang mungkin menimpa si debitur
itu. Kalau hakim menimbang kelalaian debitur itu terlalu kecil, sedangkan
pembatalan perjanjian akan membawa kerugian yang terlalu besar bagi debitur,
maka permohonan untuk membatalkan perjanjian akan ditolak oleh hakim. Menurut
pasal 1266 hakim dapat memberikan jangka waktu kepada debitur untuk masih
memenuhi kewajibannya. Jangka waktu ini terkenal dengan nama “terme de grace”.
3. Peralihan
Resiko
Sebagai
sanksi ketiga atas kelalaian seorang debitur disebutkan dalam pasal 1237
KUHPer. Yang dimaksudkan dengan “resiko” adalah kewajiban untuk memikul
kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, yang
menimpa barang yang menjadi objek perjanjian. Peralihan resiko dapat digambarkan
demikian :
Menurut pasal 1460 KUHPer, maka resiko dalam jual beli
barang tertentu dipikulkan kepada si pembeli, meskipun barangnya belum
diserahkan. Kalau si penjual itu terlambat menyerahkan barangnya, maka
kelalaian ini diancam dengan mengalihkan resiko tadi dari si pembeli kepada si
penjual. Jadi dengan lalainya sipenjual, resiko itu beralih kepada dia.
4. Membayar
Biaya Perkara
Tentang
pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi keempat bagi seorang debitur
yang lalai adalah tersimpul dalam suatu peraturan Hukum Acara, bahwa pihak yang
dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara.
C.1. MEMPERLAKUKAN PUTUSAN SEBAGAI SUATU
PERJANJIAN
Dari gambaran singkat mengenai wanprestasi
dalam perkara perdata, apabila kita menganalogikan, meskipun dalam perkara
pidana dilarang melakukan analogi, bahwa putusan hakim pada pengadilan tindak
pidana korupsi adalah suatu perjanjian, maka pihak Terpidana dapat diposisikan
sebagai seorang debitur yang harus melaksanakan isi perjanjian sebagaimana
dalam putusan hakim, sehingga apabila putusan pengadilan tindak pidana korupsi
tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka Terpidana harus menjalani
isi putusan tersebut, sehingga apabila Terpidana mangkir untuk melaksanakannya
terutama dalam hal membayar pidana denda dan/atau uang pengganti harus ada
sanksi yang harus dibebankan.
Memperlakukan sebuah putusan sebagai suatu perjanjian, terutama dalam
perkara tindak pidana korupsi, merupakan suatu terobosan bagi Aparat Penegak
Hukum untuk mengantisipasi apabila Terdakwa atau Terpidana melarikan diri dan
tidak bersedia membayar pidana denda dan/atau uang pengganti. Dengan
diperlakukannya suatu putusan pemidanaan sebagai suatu perjanjian dengan
Terdakwa yang diadili secara in absentia atau
Terpidana yang melarikan setelah dijatuhkannya putusan sebagai salah satu
pihak, dapat memberikan kewenangan kepada pihak pengadilan untuk dapat
menerapkan suatu bunga moratoir apabila Terdakwa maupun Terpidana yang
melarikan diri tersebut ditangkap kembali dapat dikenakan beban pembayaran pidana
denda dan/atau uang pengganti yang lebih besar yang nilainya lebih sesuai
dengan nilai nominal pada saat Terdakwa atau Terpidana tersebut ditangkap
kembali.
Memperlakukan suatu putusan sebagai suatu perjanjian tentunya akan
terbentur pada aturan pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sahnya perjanjian,
yaitu :
a. Sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya ;
b. Kecakapan
untuk membuat suatu perikatan ;
c. Suatu hal
tertentu dan ;
d. Suatu sebab
yang diperkenankan.
Apabila kita
membaca ketentuan pasal 1320 KUHPerdata tersebut, tentu saja tidak dapat
diterapkan pada suatu putusan pemidanaan, akan tetapi memperlakukan putusan
pemidanaan sebagai suatu perjanjian tentunya tidak mengacu kepada ketentuan
pasal 1320 KUHPerdata, hanya menempatkan Terdakwa ataupun Terpidana sebagai
salah satu pihak dalam putusan yang tunduk pada putusan pemidanaan tersebut.
Dengan menempatkan Terdakwa ataupun Terpidana sebagai salah satu pihak
sebagaimana dalam perjanjian maka akan ketidaktaatan Terdakwa ataupun Terpidana
atas pelaksanaan putusan utamanya tentang pembayaran pidana denda dan/atau uang
pengganti, maka hakim dapat menjatuhkan bunga terhadap denda dan/atau uang
pengganti tersebut.
Untuk mengetahui lebih khusus mengenai pemenuhan Bunga, mari kita telaah
tiga jenis bunga dalam hukum Indonesia. Sebagaimana dikutip dari buku Hukum
Perikatan yang ditulis olehJ.Satrio, ada tiga jenis bunga yaitu
:[12]
1.
Bunga Moratoir, yaitu bunga yang terhutang karena Debitur terlambat memenuhi
kewajiban membayar sejumlah uang ;
2.
Bunga Konventional, yaitu bunga yang disepakati para pihak; dan ;
3.
Bunga Kompensatoir, yaitu semua bunga, di luar bunga yang diperjanjikan.
Dari ketiga pengertian tersebut, kiranya bunga
moratoir lebih tepat dicantumkan dalam putusan pemidanaan dalam perkara tindak
pidana korupsi, sebagai upaya untuk mengembalikan kerugian keuangan negara yang
lebih seimbang ketika suatu putusan pemidanaan berupa pembayaran denda dan/atau
uang pengganti baru dapat dilakukan beberapa tahun setelah putusan dibacakan.
Mengenai bunga, dalam hal besarnya bunga tidak diatur dalam
suatu perjanjian, maka undang-undang yang dimuat Lembaran Negara No. 22
Tahun 1948 telah menetapkan bunga dari suatu kelalaian/kealpaan (bunga
moratoir) yang dapat dituntut oleh kreditur dari debitur adalah sebesar 6
(enam) % per tahun. Jika kita mengacu pada ketentuan Pasal 1250 KUH
Perdata, bunga yang dituntut oleh kreditur tersebut tidak boleh melebihi
batas maksimal bunga sebesar 6 (enam) % per tahun, sebagaimana yang ditetapkan
dalam Undang-Undang tersebut.[13] Ketentuan dalam Lembaran
Negara No.22 Tahun 1948 kiranya dapat diterapkan dalam putusan pemidanaan
perkara tindak pidana korupsi dalam hal pembayaran uang denda dan/atau uang
pengganti, untuk mengatasi dan mengantisipasi Terdakwa tidak hadir di
persidangan atau Terpidana melarikan diri setelah dijatuhkannya putusan.
C.2. MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA
Apabila kita menengok
sekilas pengaturan tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999, menurut Prof.
Komariah, UU No. 31/1999 menganut konsep kerugian negara dalam arti delik
formil, yaitu :[14]
Unsur dapat merugikan keuangan negara' seharusnya diartikan merugikan negara
dalam arti langsung maupun tidak langsung. Artinya, suatu tindakan otomatis
dapat dianggap merugikan keuangan negara apabila tindakan tersebut berpotensi
menimbulkan kerugian negara, jadi, ada atau tidaknya kerugian negara
secara riil menjadi tidak penting dan konsep kerugian negara dalam arti delik
formil sebenarnya sudah dikenal dalam UU Korupsi yang lama, yaitu UU No.
3/1971, sementara dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 31/1999, konsep delik formil
dapat disimpulkan dari kata “dapat'
dalam rumusan “..dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara”, hal tersebut kemudian
dipertegas oleh penjelasan pasal tersebut yang menyatakan kata dapat
sebelum frasa merugikan keuangan atau perekonomian negara menunjukkan bahwa
tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana
korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan
bukan dengan timbulnya akibat.
Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan
putusannya juga berpendapat bahwa frasa dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara. Tidaklah bertentangan dengan hak atas kepastian hukum yang
adil sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, oleh karenanya
persoalan kata dapat dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, lebih merupakan persoalan
pelaksanaan dalam praktik oleh aparat penegak hukum, dan bukan menyangkut
konstitusionalisme norma sehingga untuk mempertimbangkan keadaan khusus dan
konkret sekitar peristiwa yang terjadi, yang secara logis dapat disimpulkan
kerugian negara terjadi atau tidak terjadi, haruslah dilakukan oleh ahli dalam
keuangan negara, perekonomian negara, serta ahli dalam analisis hubungan
perbuatan seseorang dengan kerugian.[15]
Dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi yang
diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001, mencantumkan unsur merugikan
keuangan negara dan mengenai unsur " merugikan keuangan
negara " aparat penegak hukum memang bekerjasama dengan instansi
terkait yaitu BPK atau BPKP yang membantu penyidik menghitung kerugian negara
yang dalam perkembangan hasil audit BPK dan BPKP akhir-akhir ini, terlihat
secara fakta hasil audit BPK atau BPKP ini sudah mengarah pada audit adanya
"melawan hukum" yang bukan merupakan "zona wewenangnya"
karena kewenangan BPK atau BPKP dalam melakukan audit adalah dalam zona
accounting , sehingga tidak perlu jauh sampai mencari adanya perbuatan
melawan hukum atau tidak, karena itu merupakan kewenangan Penyidik dan Penuntut
Umum Dalam hal unsur " kerugian keuangan negara ",
konstruksi Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 dihubungkan dengan UU Nomor
1 Tahun 2004 harus dilihat secara kemprehensif, dengan mengkaji sejauh mana
hubungan pengembalian kerugian negara dengan perbuatan melawan hukum yang
dilakukannya.[16]
Kerugian
keuangan negara inilah sebenarnya esensi dari suatu putusan dari pengadilan
tindak pidana korupsi, sebab korupsi dalam segala bentuk modusnya, pada
akhirnya akan mengakibatkan adanya kerugian keuangan negara. Oleh karena itu
harus dipikirkan suatu cara yang tepat dan jitu untuk dapat mengembalikan
kerugian keuangan negara dengan secepatnya. Hambatan yang sering ditemui adalah
bahwa seseorang yang didakwa dengan dakwaan tindak pidana korupsi melarikan diri
dan menghindar dari proses penegakan hukum demi mengamankan harta yang
didapatnya dari tindak pidana korupsi.
Contoh
terbaru adalah ketika di bulan April 2016, pihak Kejaksaan Agung yang
bekerjasama dengan pihak Badan Intelejen Negara (BIN) melakukan proses
penangkapan dan pengembalian Samadikun Hartono, buronan dan juga Terpidana
perkara tindak pidana korupsi atas dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI) yang telah diputus dalam putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor 1696
K/PID/2002 yang diputus pada tahun 2003, dengan amar putusan berupa[17]
pidana penjara 4 (empat) tahun, denda Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah)
subsidair 4 (empat) bulan kurungan dan uang pengganti sebesar Rp 169.472.986.461,54
(seratus enam puluh sembilan miliar empat ratus tujuh puluh dua juta sembilan
ratus delapan puluh enam ribu empat ratus enam puluh satu koma lima puluh empat
rupiah).
Dari contoh
tersebut, dapat dibayangkan nilai nominal uang denda yang dijatuhkan kepada
Terpidana Samadikun Hartono tersebut ketika putusan dijatuhkan yaitu pada tahun
2003 yaitu Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) dan uang pengganti sebesar Rp
169.472.986.461,54 (seratus enam puluh sembilan miliar empat ratus tujuh puluh
dua juta sembilan ratus delapan puluh enam ribu empat ratus enam puluh satu
koma lima puluh empat rupiah) jika dibandingkan nominal tersebut pada saat
Terpidana Samadikun Hartono ditangkap dan dikembalikan ke Indonesia pada tahun
2016, ada jarak waktu selama 13 (tiga belas) tahun. Hal ini tentunya sangat
tidak adil bagi keuangan negara yang hanya akan menerima pembayaran denda dan
uang pengganti yang nominalnya sangat kecil, karena yang diperhitungkan adalah
nominal 13 (tiga belas) belas tahun yang lalu. Sebagai gambaran, nilai uang Rp
20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) pada tahun 2003 kurang lebih dapat
dibelikan sebuah mobil bekas yang kondisinya masih sangat bagus, sedangkan
untuk saat ini uang dengan nominal yang sama hanya dapat digunakan untuk
membayar uang muka pembelian mobil bekas. Hal ini belum dihitung berdasarkan
inflasi yang terjadi setiap tahun.
Oleh
karenanya apabila seorang buronan Terpidana yang tertangkap dan dijatuhi
pemidanaan membayar denda dan/atau uang pengganti berdasarkan putusan yang
dijatuhkan 13 (tiga belas) tahun yang lalu, tentunya akan memberikan
ketidakadilan bagi keuangan negara. Sehingga sudah saatnya bagi para hakim yang
mengadili perkara tindak pidana korupsi untuk mencantumkan bunga moratoir dalam
setiap putusan berupa pemidanaan pembayaran denda dan/atau uang pengganti,
untuk mengantisipasi apabila selama persidangan Terdakwa melarikan diri atau
Terpidana melarikan diri setelah putusan dijatuhkan.
Dengan
pencantuman bunga moratoir sesuai dengan Lembaran Negara Nomor 22 Tahun 1948
yaitu sebesar 6 % (enam persen) per tahun, dapat mencegah berkurangnya kerugian
keuangan negara dengan melarikan dirinya seorang Terdakwa atau Terpidana. Butuh
suatu keberanian dari Aparat Penegak Hukum khususnya bagi para Hakim yang
bertugas di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi untuk mencantumkan bunga moratoir dalam
putusannya.
C.3. PERMA ATAU SEMA TENTANG BUNGA
MORATOIR DALAM PUTUSAN PIDANA
Di sisi yang lain, Mahkamah Agung juga
perlu membuat suatu aturan yang dapat dijadikan payung hukum bagi para hakim, khususnya hakim tindak pidana korupsi
untuk berani mencantumkan bunga moratoir dalam putusan pemidanaannya. Hal ini
diperlukan sebagai rujukan bagi hakim-hakim dalam menyidangkan perkara tindak
pidana korupsi yang tujuan utamanya adalah mengembalikan kerugian keuangan
negara sebagai akibat dari tindak pidana korupsi.
Payung hukum bagi para hakim yang
menyidangkan perkara tindak pidana korupsi, dapat berbentuk Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA), yang khusus mengatur intern bagi hakim-hakim di
pengadilan di bawah Mahkamah Agung, tetapi juga dapat berbentuk Peraturan
Mahkamah Agung (PERMA), yang selain mengtut intern hakim-hakim di engadilan
tetapi juga mengatur pelaksanaan tugas bagi Aparat Penegak Hukum lainnya.
D.
PENUTUP
Pemaparan
dalam makalah ini tentunya masih berupa wacana yang masih harus dikaji secara
mendalam perlu tidaknya penerapan bunga dalam putusan perkara tindak pidana
korupsi, sebab akan menjadi sia-sia segala upaya mengembalikan kerugian negara
akibat dari tindak pidana korupsi, apabila hakim-hakim pda pengadilan tindak
pidana korupsi tidak ada willing atau
keinginan untuk berbuat yang terbaik dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
E.
KESIMPULAN
Dari
uraian-uraian tersebut di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Perlu upaya yang
lebih tegas dan menyeluruh terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi ;
2. Pengembalian
kerugian keuangan negara harus menjadi tujuan utama dalam upaya pemberantasan korupsi ;
3. Mahkamah Agung
perlu mengeluarkan SEMA atau PERMA sebagai payung hukum bagi hakim-hakim tindak
pidana korupsi untuk dapat mencantumkan bunga moratoir dalam putusan berupa pembayaran
denda dan/atau uang pengganti bagi Terdakwa atau Terpidana yang melarikan diri ;
4. Terhadap pencantuman
bunga moratoir dalam putusan pemidanaan perlu adanya kajian yang lebih mendalam.
F.
PENUTUP
Tulisan
singkat ini barangkali tidak mencukupi di dalam untuk menjabarkan secara
lengkap mengenai penerapan bunga moratoir dalam putusan tindak pidana korupsi,
akan tetapi setidaknya dapat memberikan pemahaman awal bagi kita bahwa sebagai
Hakim haruslah memahami mengenai kewajiban-kewajibannya, terutama selama
menyidangkan perkara.
G.
DAFTAR
BACAAN
1.
Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijakan Publik, Jakarta, Sinar Grafika, 1994, hal. 95 ;
2. Budiono
Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum (Problematik Ketertiban Yang Adil), Penerbit
CV. Mandar Maju – Bandung ;
3. H.M.
Ali Mansyur, Aneka Persoalan Hukum (Masalah Perjanjian, Konsumen dan
Pembaharuaan Hukum , Penerbit Unisula bekerjasama dengan Penerbit Teras, Tahun
2010 ;
H. LINK INTERNET
1. http://tadjuddin.blogspot.co.id/2010_07_01_archive.html,
diunduh tanggal 26 April 2016 ;
3.
Ibid, http://eprints.ums.ac.id/346/1/2._ZUDAN.pdf
;
4. http://www.sarjanaku.com/2013/03/pengertian-hakim-tugas-fungsi-dan.html,
diunduh tanggal 18112015 ;
5. http://click-gtg.blogspot.co.id/2008/08/hakim-dan-kekuasaan-kehakiman.html,
diunduh tanggal 18112015 ;
6. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt505747d665ed5/aturan-pengenaan-bunga-kepada-debitur-yang-lalai-,
diunduh tanggal 27 April 2016
7. http://blogprinsip.blogspot.co.id/2012/10/wanprestasi-dan-akibat-akibatnya.html,
diunduh tanggal 27 April 2016 ;
8. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt505747d665ed5/aturan-pengenaan-bunga-kepada-debitur-yang-lalai-,
diunduh tanggal 27 April 2016 ;
9. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt52468fd316384/menentukan-bunga-dan-denda-dalam-wanprestasi,
diunduh tanggal 27 April 2016 ;
10. http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol14428/uu-korupsi-menganut-kerugian-negara-dalam-arti-formil,
diunduh tanggal 27 April 2016 ;
11. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt52468fd316384/menentukan-bunga-dan-denda-dalam-wanprestasi,
diunduh tanggal 27 April 2016 ;
12. http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15220/kpk-tidak-bisa-lagi-menggunakan-delik-materiil-,
diunduh tanggal 27 April 2016 ;
13. http://www.kejari-jakbar.go.id/index.php/component/k2/item/236-permasalahan-seputar-kerugian-keuangan-negara-tinjauan-dari-perspektif-pembuktian-hukum-pidana,
diunduh tanggal 27 April 2016 ;
14. http://jdih.mahkamahagung.go.id/index.php?option=com_remository&func=search&Itemid=46,
diunduh tanggal 27 April 2016.
[1] Hakim Yustisial pada Mahkamah
Agung RI, Mahasiswa Program Doktoral pada Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH)
Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung, Semarang ;
[3]
http://tadjuddin.blogspot.co.id/2010_07_01_archive.html,
diunduh tanggal 26 April 2016 ;
[4] M. Ali
Mansyur, Aneka Persoalan Hukum (Masalah
Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum , Penerbit Unisula bekerjasama
dengan Penerbit Teras, Tahun 2010, hlm.148.
[5] http://eprints.ums.ac.id/346/1/2._ZUDAN.pdf.
[7] Budioono
Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum (Problematik Ketertiban Yang Adil), Penerbit
CV. Mandar Maju – Bandung ,
hlm.172-173.
[8]http://www.sarjanaku.com/2013/03/pengertian-hakim-tugas-fungsi-dan.html,
diunduh tanggal 18112015 ;
[9] http://click-gtg.blogspot.co.id/2008/08/hakim-dan-kekuasaan-kehakiman.html,
diunduh tanggal 18112015 ;
[10]http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt505747d665ed5/aturan-pengenaan-bunga-kepada-debitur-yang-lalai-,
diunduh tanggal 27 April 2016
[11]
http://blogprinsip.blogspot.co.id/2012/10/wanprestasi-dan-akibat-akibatnya.html,
diunduh tanggal 27 April 2016 ;
[12]http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt505747d665ed5/aturan-pengenaan-bunga-kepada-debitur-yang-lalai-,
diunduh tanggal 27 April 2016 ;
[13] http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt52468fd316384/menentukan-bunga-dan-denda-dalam-wanprestasi,
diunduh tanggal 27 April 2016 ;
[14] http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol14428/uu-korupsi-menganut-kerugian-negara-dalam-arti-formil,
diunduh tanggal 27 April 2016 ;
[15]http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15220/kpk-tidak-bisa-lagi-menggunakan-delik-materiil-,
diunduh tanggal 27 April 2016 ;
[16] http://www.kejari-jakbar.go.id/index.php/component/k2/item/236-permasalahan-seputar-kerugian-keuangan-negara-tinjauan-dari-perspektif-pembuktian-hukum-pidana,
diunduh tanggal 27 April 2016 ;
[17] http://jdih.mahkamahagung.go.id/index.php?option=com_remository&func=search&Itemid=46,
diunduh tanggal 27 April 2016 ;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar