Rabu, 27 April 2016

PENERAPAN BUNGA DALAM PUTUSAN TINDAK PIDANA KORUPSI



qwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnm
 

PENERAPAN BUNGA DALAM PUTUSAN TINDAK PIDANA KORUPSI

DISUSUN OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH

Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung RI





PENERAPAN BUNGA DALAM PUTUSAN TINDAK PIDANA KORUPSI
(SUATU PEMIKIRAN KONSTRUKTIF)
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH[1]

A.  PENDAHULUAN
Hukum dan keadilan adalah 2 (dua) hal yang tidak terpisahkan dalam upaya penegakan hukum di Indonesia. Harus diakui bahwa saat ini masih merupakan masa transisi dari diberlakukannya sistem hukum Belanda menjadi sistem hukum nasional Indonesia, terbukti dengan disahkannya berbagai macam peraturan perundang-undangan.
Indonesia sebagai Negara Hukum tentu harus berupaya untuk menjadikan hukum sebagai panglima dalam pembangunan negara. Menurut Parsons, fungsi utama suatu sistem hukum itu bersifat integratif artinya untuk mengurangi unsur-unsur konflik yang potensial dalam masyarakat dan untuk melicinkan proses pergaulan sosial. Dengan mentaati sistem hukum maka sistem interaksi sosial akan berfungsi dengan baik, tanpa kemungkinan berubah menjadi konflik terbuka atau terselubung yang kronis. Agar sistem hukum dapat menjalankan fungsi integratifnya secara efektif, menurut Parsons, terdapat 4 masalah yang harus diselesaikan terlebih dahulu, yaitu : [2]
·      Legitimasi, yang akan menjadi landasan bagi pentaatan aturan-aturan ;
·      Interpretasi, yang akan menyangkut masalah penetapan hak dan kewajiban subyek, melalui proses penetapan aturan tertentu ;
·      Sanksi, yang menegaskan sanksi apakah yang akan timbul apabila ada pentaatan dan sanksi apa yang akan timbul apabila ada pengikatan terhadap aturan, serta sekaligus menegaskan siapakah yang akan menerapkan sanksi ;
·      Yurisdiksi, yang menetapkan garis-garis kewenangan yang berkuasa menegakkan norma-norma hukum ;
·      Dilihat dari perspektif Parsons tampaknya efektifitas fungsi integratif sistem hukum di Indonesia masih menghadapi permasalahan yang serius baik ditinjau dari aspek legitimasi, interpretasi, sanksi maupun yurisdiksi. Dari aspek legitimasi, sampai sekarang ini lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif masih mengalami krisis legitimasi. Walaupun semestinya lembaga eksekutif dan legislatif yang dibentuk berdasarkan proses Pemilihan Umum yang demokratis pada tahun 2004 ini diharapkan mampu mendongkrak legitimasi kedua lembaga tersebut, namun dalam kenyataannya lembaga eksekutif dan legislatif yang dipilih secara demokratis tidak serta merta mengangkat legitimasi kedua lembaga tersebut. Rakyat masih menunggu bukti-bukti kinerja lembaga eksekutif dan legislatif dalam praktek. Tingkat legitimasi terhadap lembaga eksekutif dan legislatif sangat tergantung dari kemampuan kedua lembaga tersebut dalam memenuhi aspirasi rakyat dan menjawab secara nyata berbagai permasalahan yang dihadapi bangsa kita agar segera keluar dari krisis menuju kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. Sedangkan lembaga yudikatif yang menempati posisi sentral dalam penegakan hukum mengalami proses penurunan kewibawaan, karena putusan-putusannya jauh dari rasa keadilan dan tidak terbatas dari praktek apa yang disebut “mafia peradilan”. Selain itu lembaga yudikatif mengalami tekanan-tekanan dari kekuatan politik dan campur tangan dari kekuasaan lain. Sementara itu kemandirian lembaga peradilan sedang dalam proses pertumbuhan dengan berbagai kendalanya dibidang sumber daya manusia maupun sarana pendukungnya.
·      .Dari aspek interpretasi perlu dilakukan reorientasi agar hak-hak rakyat sebagai subyek lebih dikedepankan, sehingga rakyat benar-benar menjadi stakeholder yang berdaulat. Penghormatan terhadap hak-hak rakyat dalam negara demokratis bukan saja dimaknai dalam proses politik penyelenggaraan Pemilihan Umum, tetapi juga hak-hak sosial ekonomi dan lain-lain yang dituangkan ke dalam kebijakan publik yang memihak rakyat. Dengan demikian partisipasi rakyat dalam pelaksanaan kebijakan publik dengan memenuhi kewajiban-kewajibannya mendapatkan motivasi, termasuk dalam penerapan berbagai aturan hukum.
·      Dari aspek sanksi yang sangat penting untuk dilakukan ialah kepastian lembaga yang berkompeten menerapkan sanksi, sikap konsisten, tegas adil dan tidak pandang bulu. Selama ini sanksi berupa hukuman lebih banyak dijatuhkan untuk pelanggaran hukum kelas teri, sedangkan mereka yang tergolong kelas kakap seakan-akan tak tersentuh oleh sanksi karena punya relasi, sisa-sisa pengaruh dan dana yang melimpah untuk “mengatur” kasus yang mereka hadapi. Berbagai cara dapat mereka lakukan untuk meloloskan diri dari jeratan hukuman, sehingga keadilan yang seharusnya berlaku buat setiap orang tak pandang bulu berkurang maknanya. Begitu pula pemberian reward, penghargaan seakan-akan menjadi milik orang-orang yang memiliki status tertentu, ketimbang kepada mereka yang tak punya status tinggi, meskipun berprestasi secara nyata untuk lingkungannya dan rakyat.
·      Dari aspek yurisdiksi sering-sering batas kewenangan berbagai lembaga tidak terlalu jelas atau bahkan bertumpang tindih. Keadaan ini diperparah lagi dengan berkembangnya egoisme sektoral dan lemahnya koordinasi, sehingga tidak jarang suatu masalah mondar mandir dilontar dari lembaga yang satu kepada yang lain, tanpa ada kepastian penyelesaiannya.
Evaluasi perkembangan kejahatan telah menghasilkan tiga dimensi, yaitu dimensi kepapaan (kemiskinan), keserakahan dan kekuasaan. Kejahatan yang bermuara pada dimensi kepapaan akan menghasilkan kejahatan konvensional seperti pencurian, penganiayaan, pencopetan, dan lain-lain sedangkan kejahatan yang bermuara pada dimensi keserakahan akan menghasilkan bentuk kejahatan yang disebut ”corporate crime” atau ”white collar crime” dan kejahatan yang bermuara pada dimensi kekuasaan akan menghasilkan kejahatan dalam bentuk korupsi atau perbuatan penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan dalam segala aspek pekerjaan pemerintahan atau governmental crime dan di dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana pelaku kejahatan yang berdemensi keserakahan dan kekuasaan jarang dihadapkan ke pengadilan dibandingkan dengan pelaku kejahatan yang berdimensi kepapaan, hal ini disebabkan masalah tenaga ahli yang berkaitan dengan masalah hukum dalam teknik penyelidikan bidang ekonomi, dan prosedur penyelesaiannya sering menghabiskan dana yang cukup besar dan waktu yang lama, di samping itu sering sisten peradilan pidana memihak kepada pelaku kejahatan keserakahan dan kekuasaan dan kurang berpihak kepada pelaku kejahatan yang berdimensi kepapaan, sehingga muncul masalah diskriminasi dalam sistem peradilan pidana dan kolusi.[3]
Penuntasan setiap perkara yang diajukan oleh baik secara pidana maupun perdata, menuntut kecermatan dan ketepatan pertimbangan Hakim di dalam menyidangkannya. Oleh sebab itu, setiap Hakim harus mengetahui secara jelas menganai hal-hal yang harus dilakukan selama persidangan, yang tidak lain adalah merupakan kewajiban bagi setiap Hakim. Pemahaman setiap Hakim akan kewajibannya merupakan hal yang mutlak yang harus dimiliki di dalam menunjang tugas-tugas kedinasannya, utamanya selama melakukan proses persidangan.
Saat ini upaya pemberantasan tindak pidana korupsi benar-benar menjadi target utama dalam upaya mendukung keberlangsungan pembangunan nasional.  Seringkali dalam persidangan perkara tindak pidana korupsi, persidangan dilakukan secara in absentia atau tanpa hadirnya Terdakwa yang sudah melarikan diri dengan tujuan bersembunyi di luar negeri. Oleh karena Terdakwa tidak hadir dalam persidangan menyebabkan eksekusi putusan pengadilan tindak pidana korupsi tidak dapat langsung dieksekusi, terutama dalam putusan pemberian pidana denda dan uang pengganti.
Hal utama yang menjadi ganjalan adalah, ketika suatu saat Terdakwa yang sudah menjadi Terpidana tertangkap atau menyerahkan diri beberapa tahun setelah putusan, maka Jaksa / Penuntut Umum akan langsung mengeksekusi Terpidana, termasuk melakukan eksekusi atas pidana denda dan uang pengganti terhadap Terpidana. Akan menjadi suatu hal agak miris apabila Jaksa / Penuntut  Umum melakukan ekseskusi atas denda dan uang pengganti, sebab penentuan besaran denda dan uang pengganti adalah berdasarkan putusan Majelis Hakim yang dijatuhkan beberapa tahun sebelumnya, yang tentunya besarannya menjadi sangat kecil apabila dibandingkan dengan nilai kerugian negara akibat perbuatan Terpidana tersebut.
Harus ada instrumen peraturan yang mengatur bahwa suatu penerapan pidana denda dan uang pengganti nominalnya secara ekuivalen tidak mengurangi jumlah kerugian negara mengingat tenggang waktu yang cukup lama antara penjatuhan pemidanaan dalam putusan hakim dengan pelaksaanaan eksekusi terhadap Terdakwa atau Terpidana yang melarikan diri sebelum putusan.
B. PERMASALAHAN
Dari uraian tersebut di atas maka kiranya dapat ditarik suatu permasalahan, yaitu Dapatkan diterapkan bunga dalam putusan tindak pidana korupsi ?
C. PEMBAHASAN
H.M. Ali Mansyur dalam bukunya Aneka Persoalan Hukum (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum), menyatakan bahwa “Dalam suatu Negara Hukum, supremasi HUKUM seharusnya memperoleh tempat yang semestinya, fungsi Hukum dalam arti materiil yang berusaha memberikan perlindungan kepada masyarakat dengan memperlaakukan tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan memberikan kedudukan Hukum bagi setiap orang.”[4]
Hukum adalah suatu sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. Hukum akan menjadi berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan apabila masyarakat menggunakan hukum menuruti perilakunya. Hukum itu sendiri terbagi menjadi beberapa bidang, yaitu hukum pidana atau hukum publik, hukum perdata atau hukum pribadi, dan hukum acara, hukum tata Negara, hukum administrasi Negara atau hukum tata usaha Negara, hukum internasional, hukum adat, hukum Islam, hukum agraria, hukum bisnis, dan hukum lingkungan. Dari hukum-hukum tersebut masing-masing mempunyai tujuan yang sama, yaitu bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula berdasar pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat.[5]
Proses Penegakan Hukum pada hakekatnya adalah suatu proses untuk menjalankan suatu produk hukum berupa perundang-undangan, baik itu Undang-Undang maupun peraturan perudangan di bawahnya. Suatu Undang-Undang tidak akan dapat dijalankan dengan baik apabila Aparat Penegak Hukumnya adalah aparat yang tidak memahami esensi dari Undang-Undang yang dijalankannya. Sehingga hal tersebut, membuat perlunya Aparat Penegak Hukum yang benar-benar mumpuni dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan” hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistik.[6]
Penegakan Hukum itu harus konsisten supaya masyarakat memahami, mana HUKUM dan mana yang BUKAN HUKUM. Sebagai bagian dari proses sosial, penegakan kepastian hukum itu bertumpu pada 2 (dua) komponen utama, yaitu :[7]
1.     Hukum itu harus bisa memberikan kepastian dalam orientasi kepada masyarakat. Dalam hal ini dikenal asas kepastian orientasi yaitu Certitudo atau Orientierungssicherheit, yaitu orang memahami, perilaku yang bagaimana yang diharapkan oleh orang lain daripadanya dan respon yang bagaimana yang dapat diharapkannya dari orang lain baagi perilakunya itu ;
2.     Kepastian dalam penerapan hukum oleh penegak hukum, Jangan sampai terjadi bahwa sekali ini suatu ketentuan hukum dilaksanakan, tetapi lain kali ketentuan yang sama tidak dilaksanakan. Terdapat suatu asas yaitu Securitas atau Realisierungssherheit adalah asas kepastian  realitas hukum yang memungkinkan orang untuk mengandalkan pada perhitungan, bahwa norma-norma yang berlaku memang dihormati dan dilaksanakan, keputusan-keputusan pengadilan sungguh-sungguh dilaksanakan dan perjanjian-perjanjian ditaati.
Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman telah menyebutkan di dalam Pasal 1 angka 1 yaitu “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia” dan Pasal 1 angka 2 yang menyatakan Mahkamah Agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Hakim, sebagai salah satu unsur utama di Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya, tentunya memiliki kedudukan yang sangat penting di dalam proses penegakan hukum, utamanya  selama persidangan. Secara etimologi atau secara umum, Bambang Waluyo, S.H. menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Hakim adalah organ pengadilan yang dianggap memahami hukum, yang dipundaknya telah diletakkan kewajiban dan tanggung  jawab agar hukum dan keadilan itu ditegakkan, baik yang berdasarkan kepada tertulis atau tidak tertulis (mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas), dan tidak boleh ada satupun yang bertentangan dengan asas dan sendi peradilan berdasar Tuhan Yang Maha Esa.[8]
Di bidang hukum pidana hakim bertugas menerapkan apa in concreto ada oleh seorang terdakwa dilakukan suatu perbuatan melanggar hukum pidana. Untuk menetapkan ini oleh hakim harus dinyatakan secara tepat Hukum Pidana yang mana telah dilanggar.[9]
Dalam perkara tindak pidana korupsi, apabila kita cermati di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, masih terdapat kekosongan hukum yang mencolok, yaitu Undang-Undang tidak mengatur mengenai keadaan apabila Terdakwa atau Terpidana perkara tindak pidana korupsi melarikan diri sebelum dilakukannya eksekusi atas putusan pengadilan  tindak pidana korupsi dalam hal pembayaran pidana denda dan/atau uang pengganti.
Hal ini bisa disebut sebagai kekosongan hukum sebab, apabila seorang Terdakwa melarikan diri sebelum atau selama proses persidangan sehinga persidangan dilakukan secara in absentia maka pihak Penuntut Umum sebagai eksekutor dari putusan pengadilan tidak dapat langsung melakukan eksekusi atas putusan pengadilan tersebut, hal yang sama adalah ketika Terpidana yang telah diputus bersalah melakukan tindak pidana korupsi tetapi belum sempat dilakukan eksekusi atas pidana denda dan/atau uang pengganti. Yang menjadi permasalahan adalah ketika Terdakwa yang sudah diputus dalam persidangan yang dilakukan secara in absentia atau Terpidana yang belum sempat dilakukan ekseskusi atas pidana denda dan/atau uang pengganti, tertangkap setelah lebih dari 1 (satu) tahun sejak putusan pengadilan tindak pidana korupsi tersebut dijatuhkan. Hal ini mengingat bahwa nilai nomimal denda dan/atau uang pengganti yang dijatuhkan pada saat dibacakannya putusan sudah tidak relevan lagi dengan nilai nomimal pada saat Terdakwa atau Terpidana tersebut ditangkap kembali.
Permasalahan ini perlu mendapat perhatian karena dengan berkurangnya nilai nominal dari denda dan/atau uang pengganti akan menyebabkan “secara psikis” pidana denda dan/atau uang pengganti yang dibayarkan setelah Terdakwa atau Terpidana yang melarikan diri tersebut kembali tertangkap setelah lebih dari 1 (satu) tahun setelah putusan, membuat negara seakan-akan tidak menerima manfaat dari pembayaran pidana denda dan/atau uang pengganti tersebut. Meskipun perkara pidana tidak bisa dianalogikan sebagai perkara perdata, namun khusus dalam perkara tindak pidana korupsi kiranya perlu ada pemikiran untuk menyelesaikan hal tersebut.
Dalam hukum perdata dikenal adanya istilah wanprestasi, yaitu suatu keadaan ketika seseorang tidak mampu memenuhi kewajibannya kepada orang lain sebagaimana telah diperjanjikan dalam suatu perjanjian tertulis. Wanprestasi ini menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain dan pihak lain tersebut mempunyai hak untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk melakukan atau menyelesaikan kewajibannya atau bisa menuntut dengan pengembalian dengan nominal uang. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam hukum perdata dikenal tiga macam prestasi yaitu, memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Apabila si Debitur tidak melaksanakan prestasi, maka si Debitur dapat dinyatakan wanprestasi oleh Kreditur. Debitur yang wanprestasi wajib memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga sebagaimana diatur dalam  Pasal 1236 dan Pasal 1239 KUHPerdata.[10]
Terhadap debitur yang lalai atau melakukan wanprestasi, sanksi yang dapat dikenakan ada empat macam, yaitu : [11]
1. Membayar Kerugian, Ganti rugi sering dirinci dalam tiga unsur: biaya, rugi dan bunga :
a.  Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak. Contoh nya jika seorang sutradara mengadakan suatu perjanjian dengan pemain sandiwara untuk mengadakan suatu pertunjukan dan pemain tersebut tidak datang sehingga pertunjukan terpaksa dibatalkan, maka yang termasuk biaya adalah ongkos cetak iklan, sewa gedung, sewa kursi dan lain-lain ;
b.  Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur. Misalnya rumah yang baru diserahkan oleh pemborong ambruk karena salah konstruksinya, hingga merusak perabot rumah ;
c.  Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur. Misalnya, dalam hal jual beli barang, jika barang tersebut sudah mendapat tawaran yang lebih tinggi dari harga pembeliannya. 
Pasal 1247 KUHPer menentukan : 
Si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya rugi dan bunga yang nyata telah atau sedianya harus dapat diduga sewaktu perjanjian dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena sesuatu tipu daya yang dilakukan olehnya”. 
Pasal 1248 KUHPer menentukan : 
Bahkan jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena tipu daya si berutang, penggantian biaya, rugi dan bunga, sekedar mengenai kerugian yang diderita oleh si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinya perjanjian”. 
2. Pembatalan Perjanjian
Pembatalan perjanjian, bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Dikatakan bahwa pembatalan itu berlaku surut sampai pada detik dilahirkannya perjanjian. Kalau suatu pihak sudah menerima sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun barang, maka itu harus dikembalikan. Pokoknya, perjanjian itu ditiadakan. Pembatalan perjanjian karena kelalaian debitur diatur dalam pasal 1266 KUHPer yang mengatur mengenai perikatan bersyarat, yang berbunyi: “Syarat batal dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang timbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban itu dinyatakan dalam perjanjian.Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim leluasa menurut keadaan atas permintaan si tergugat, untuk memberikan suatu jangka waktu guna kesempatan memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana tidak boleh lebih dari satu bulan”. Pembatalan perjanjian itu harus dimintakan kepada hakim, bukan batal secara otomatis walaupun debitur nyata-nyata melalaikan kewajibannya.
Putusan hakim itu tidak bersifat declaratoir tetapi constitutif, secara aktif membatalkan perjanjian itu. Putusan hakim tidak berbunyi “Menyatakan batalnya perjanjian antara penggugat dan tergugat” melainkan, “Membatalkan perjanjian”. Hakim harus mempunyai kekuasaan discretionair, artinya : kekuasaan untuk menilai besar kecilnya kelalaian debitur dibandingkan dengan beratnya akibat pembatalan perjanjian yang mungkin menimpa si debitur itu. Kalau hakim menimbang kelalaian debitur itu terlalu kecil, sedangkan pembatalan perjanjian akan membawa kerugian yang terlalu besar bagi debitur, maka permohonan untuk membatalkan perjanjian akan ditolak oleh hakim. Menurut pasal 1266 hakim dapat memberikan jangka waktu kepada debitur untuk masih memenuhi kewajibannya. Jangka waktu ini terkenal dengan nama “terme de grace”. 
3. Peralihan Resiko
Sebagai sanksi ketiga atas kelalaian seorang debitur disebutkan dalam pasal 1237 KUHPer. Yang dimaksudkan dengan “resiko” adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi objek perjanjian. Peralihan resiko dapat digambarkan demikian : 
Menurut pasal 1460 KUHPer, maka resiko dalam jual beli barang tertentu dipikulkan kepada si pembeli, meskipun barangnya belum diserahkan. Kalau si penjual itu terlambat menyerahkan barangnya, maka kelalaian ini diancam dengan mengalihkan resiko tadi dari si pembeli kepada si penjual. Jadi dengan lalainya sipenjual, resiko itu beralih kepada dia. 
4. Membayar Biaya Perkara
Tentang pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi keempat bagi seorang debitur yang lalai adalah tersimpul dalam suatu peraturan Hukum Acara, bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara. 
C.1. MEMPERLAKUKAN PUTUSAN SEBAGAI SUATU PERJANJIAN
Dari gambaran singkat mengenai wanprestasi dalam perkara perdata, apabila kita menganalogikan, meskipun dalam perkara pidana dilarang melakukan analogi, bahwa putusan hakim pada pengadilan tindak pidana korupsi adalah suatu perjanjian, maka pihak Terpidana dapat diposisikan sebagai seorang debitur yang harus melaksanakan isi perjanjian sebagaimana dalam putusan hakim, sehingga apabila putusan pengadilan tindak pidana korupsi tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka Terpidana harus menjalani isi putusan tersebut, sehingga apabila Terpidana mangkir untuk melaksanakannya terutama dalam hal membayar pidana denda dan/atau uang pengganti harus ada sanksi yang harus dibebankan.
Memperlakukan sebuah putusan sebagai suatu perjanjian, terutama dalam perkara tindak pidana korupsi, merupakan suatu terobosan bagi Aparat Penegak Hukum untuk mengantisipasi apabila Terdakwa atau Terpidana melarikan diri dan tidak bersedia membayar pidana denda dan/atau uang pengganti. Dengan diperlakukannya suatu putusan pemidanaan sebagai suatu perjanjian dengan Terdakwa yang diadili secara in absentia atau Terpidana yang melarikan setelah dijatuhkannya putusan sebagai salah satu pihak, dapat memberikan kewenangan kepada pihak pengadilan untuk dapat menerapkan suatu bunga moratoir apabila Terdakwa maupun Terpidana yang melarikan diri tersebut ditangkap kembali dapat dikenakan beban pembayaran pidana denda dan/atau uang pengganti yang lebih besar yang nilainya lebih sesuai dengan nilai nominal pada saat Terdakwa atau Terpidana tersebut ditangkap kembali.
Memperlakukan suatu putusan sebagai suatu perjanjian tentunya akan terbentur pada aturan pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sahnya perjanjian, yaitu :
a.    Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya ;
b.    Kecakapan untuk membuat suatu perikatan ;
c.    Suatu hal tertentu dan ;
d.    Suatu sebab yang diperkenankan.
Apabila kita membaca ketentuan pasal 1320 KUHPerdata tersebut, tentu saja tidak dapat diterapkan pada suatu putusan pemidanaan, akan tetapi memperlakukan putusan pemidanaan sebagai suatu perjanjian tentunya tidak mengacu kepada ketentuan pasal 1320 KUHPerdata, hanya menempatkan Terdakwa ataupun Terpidana sebagai salah satu pihak dalam putusan yang tunduk pada putusan pemidanaan tersebut. Dengan menempatkan Terdakwa ataupun Terpidana sebagai salah satu pihak sebagaimana dalam perjanjian maka akan ketidaktaatan Terdakwa ataupun Terpidana atas pelaksanaan putusan utamanya tentang pembayaran pidana denda dan/atau uang pengganti, maka hakim dapat menjatuhkan bunga terhadap denda dan/atau uang pengganti tersebut.
Untuk mengetahui lebih khusus mengenai pemenuhan Bunga, mari kita telaah  tiga  jenis bunga dalam hukum Indonesia. Sebagaimana dikutip dari buku Hukum Perikatan yang ditulis olehJ.Satrio, ada tiga jenis bunga yaitu :[12]
1.    Bunga Moratoir, yaitu bunga yang terhutang karena Debitur terlambat memenuhi kewajiban membayar sejumlah uang ;
2.    Bunga Konventional, yaitu bunga yang disepakati para pihak; dan ;
3.    Bunga Kompensatoir, yaitu semua bunga, di luar bunga yang diperjanjikan.
Dari ketiga pengertian tersebut, kiranya bunga moratoir lebih tepat dicantumkan dalam putusan pemidanaan dalam perkara tindak pidana korupsi, sebagai upaya untuk mengembalikan kerugian keuangan negara yang lebih seimbang ketika suatu putusan pemidanaan berupa pembayaran denda dan/atau uang pengganti baru dapat dilakukan beberapa tahun setelah putusan dibacakan.
Mengenai bunga, dalam hal besarnya bunga tidak diatur dalam suatu perjanjian, maka undang-undang yang dimuat Lembaran Negara No. 22 Tahun 1948 telah menetapkan bunga dari suatu kelalaian/kealpaan (bunga moratoir) yang dapat dituntut oleh kreditur dari debitur adalah sebesar 6 (enam) % per tahun. Jika kita mengacu pada ketentuan Pasal 1250 KUH Perdata, bunga yang dituntut oleh kreditur tersebut tidak boleh melebihi batas maksimal bunga sebesar 6 (enam) % per tahun, sebagaimana yang ditetapkan dalam Undang-Undang tersebut.[13] Ketentuan dalam Lembaran Negara No.22 Tahun 1948 kiranya dapat diterapkan dalam putusan pemidanaan perkara tindak pidana korupsi dalam hal pembayaran uang denda dan/atau uang pengganti, untuk mengatasi dan mengantisipasi Terdakwa tidak hadir di persidangan atau Terpidana melarikan diri setelah dijatuhkannya putusan.
C.2. MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA
Apabila kita menengok sekilas pengaturan tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, menurut Prof. Komariah, UU No. 31/1999 menganut konsep kerugian negara dalam arti delik formil, yaitu :[14] Unsur dapat merugikan keuangan negara' seharusnya diartikan merugikan negara dalam arti langsung maupun tidak langsung. Artinya, suatu tindakan otomatis dapat dianggap merugikan keuangan negara apabila tindakan tersebut berpotensi menimbulkan kerugian negara, jadi, ada atau tidaknya kerugian negara secara riil menjadi tidak penting dan konsep kerugian negara dalam arti delik formil sebenarnya sudah dikenal dalam UU Korupsi yang lama, yaitu UU No. 3/1971, sementara dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 31/1999, konsep delik formil dapat disimpulkan dari kata “dapat' dalam rumusan “..dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, hal tersebut kemudian dipertegas oleh penjelasan pasal tersebut yang menyatakan kata dapat sebelum frasa merugikan keuangan atau perekonomian negara menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan putusannya juga berpendapat bahwa frasa dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Tidaklah bertentangan dengan hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, oleh karenanya persoalan kata dapat dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, lebih merupakan persoalan pelaksanaan dalam praktik oleh aparat penegak hukum, dan bukan menyangkut konstitusionalisme norma sehingga untuk mempertimbangkan keadaan khusus dan konkret sekitar peristiwa yang terjadi, yang secara logis dapat disimpulkan kerugian negara terjadi atau tidak terjadi, haruslah dilakukan oleh ahli dalam keuangan negara, perekonomian negara, serta ahli dalam analisis hubungan perbuatan seseorang dengan kerugian.[15]
Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001, mencantumkan unsur merugikan keuangan negara dan mengenai unsur " merugikan keuangan negara " aparat penegak hukum memang bekerjasama dengan instansi terkait yaitu BPK atau BPKP yang membantu penyidik menghitung kerugian negara yang dalam perkembangan hasil audit BPK dan BPKP akhir-akhir ini, terlihat secara fakta hasil audit BPK atau BPKP ini sudah mengarah pada audit adanya "melawan hukum" yang bukan merupakan "zona wewenangnya" karena kewenangan BPK atau BPKP dalam melakukan audit adalah dalam zona accounting , sehingga tidak perlu jauh sampai mencari adanya perbuatan melawan hukum atau tidak, karena itu merupakan kewenangan Penyidik dan Penuntut Umum Dalam hal unsur " kerugian keuangan negara ", konstruksi Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 dihubungkan dengan UU Nomor 1 Tahun 2004 harus dilihat secara kemprehensif, dengan mengkaji sejauh mana hubungan pengembalian kerugian negara dengan perbuatan melawan hukum yang dilakukannya.[16]
Kerugian keuangan negara inilah sebenarnya esensi dari suatu putusan dari pengadilan tindak pidana korupsi, sebab korupsi dalam segala bentuk modusnya, pada akhirnya akan mengakibatkan adanya kerugian keuangan negara. Oleh karena itu harus dipikirkan suatu cara yang tepat dan jitu untuk dapat mengembalikan kerugian keuangan negara dengan secepatnya. Hambatan yang sering ditemui adalah bahwa seseorang yang didakwa dengan dakwaan tindak pidana korupsi melarikan diri dan menghindar dari proses penegakan hukum demi mengamankan harta yang didapatnya dari tindak pidana korupsi.
Contoh terbaru adalah ketika di bulan April 2016, pihak Kejaksaan Agung yang bekerjasama dengan pihak Badan Intelejen Negara (BIN) melakukan proses penangkapan dan pengembalian Samadikun Hartono, buronan dan juga Terpidana perkara tindak pidana korupsi atas dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang telah diputus dalam putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor 1696 K/PID/2002 yang diputus pada tahun 2003, dengan amar putusan berupa[17] pidana penjara 4 (empat) tahun, denda Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) subsidair 4 (empat) bulan kurungan dan uang pengganti sebesar Rp 169.472.986.461,54 (seratus enam puluh sembilan miliar empat ratus tujuh puluh dua juta sembilan ratus delapan puluh enam ribu empat ratus enam puluh satu koma lima puluh empat rupiah).
Dari contoh tersebut, dapat dibayangkan nilai nominal uang denda yang dijatuhkan kepada Terpidana Samadikun Hartono tersebut ketika putusan dijatuhkan yaitu pada tahun 2003 yaitu Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) dan uang pengganti sebesar Rp 169.472.986.461,54 (seratus enam puluh sembilan miliar empat ratus tujuh puluh dua juta sembilan ratus delapan puluh enam ribu empat ratus enam puluh satu koma lima puluh empat rupiah) jika dibandingkan nominal tersebut pada saat Terpidana Samadikun Hartono ditangkap dan dikembalikan ke Indonesia pada tahun 2016, ada jarak waktu selama 13 (tiga belas) tahun. Hal ini tentunya sangat tidak adil bagi keuangan negara yang hanya akan menerima pembayaran denda dan uang pengganti yang nominalnya sangat kecil, karena yang diperhitungkan adalah nominal 13 (tiga belas) belas tahun yang lalu. Sebagai gambaran, nilai uang Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) pada tahun 2003 kurang lebih dapat dibelikan sebuah mobil bekas yang kondisinya masih sangat bagus, sedangkan untuk saat ini uang dengan nominal yang sama hanya dapat digunakan untuk membayar uang muka pembelian mobil bekas. Hal ini belum dihitung berdasarkan inflasi yang terjadi setiap tahun.
Oleh karenanya apabila seorang buronan Terpidana yang tertangkap dan dijatuhi pemidanaan membayar denda dan/atau uang pengganti berdasarkan putusan yang dijatuhkan 13 (tiga belas) tahun yang lalu, tentunya akan memberikan ketidakadilan bagi keuangan negara. Sehingga sudah saatnya bagi para hakim yang mengadili perkara tindak pidana korupsi untuk mencantumkan bunga moratoir dalam setiap putusan berupa pemidanaan pembayaran denda dan/atau uang pengganti, untuk mengantisipasi apabila selama persidangan Terdakwa melarikan diri atau Terpidana melarikan diri setelah putusan dijatuhkan.
Dengan pencantuman bunga moratoir sesuai dengan Lembaran Negara Nomor 22 Tahun 1948 yaitu sebesar 6 % (enam persen) per tahun, dapat mencegah berkurangnya kerugian keuangan negara dengan melarikan dirinya seorang Terdakwa atau Terpidana. Butuh suatu keberanian dari Aparat Penegak Hukum khususnya bagi para Hakim yang bertugas di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi untuk mencantumkan bunga moratoir dalam putusannya.

C.3. PERMA ATAU SEMA TENTANG BUNGA MORATOIR DALAM PUTUSAN PIDANA
Di sisi yang lain, Mahkamah Agung juga perlu membuat suatu aturan yang dapat dijadikan payung hukum bagi para hakim, khususnya hakim tindak pidana korupsi untuk berani mencantumkan bunga moratoir dalam putusan pemidanaannya. Hal ini diperlukan sebagai rujukan bagi hakim-hakim dalam menyidangkan perkara tindak pidana korupsi yang tujuan utamanya adalah mengembalikan kerugian keuangan negara sebagai akibat dari tindak pidana korupsi.
Payung hukum bagi para hakim yang menyidangkan perkara tindak pidana korupsi, dapat berbentuk Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), yang khusus mengatur intern bagi hakim-hakim di pengadilan di bawah Mahkamah Agung, tetapi juga dapat berbentuk Peraturan Mahkamah Agung (PERMA), yang selain mengtut intern hakim-hakim di engadilan tetapi juga mengatur pelaksanaan tugas bagi Aparat Penegak Hukum lainnya. 
D.    PENUTUP
Pemaparan dalam makalah ini tentunya masih berupa wacana yang masih harus dikaji secara mendalam perlu tidaknya penerapan bunga dalam putusan perkara tindak pidana korupsi, sebab akan menjadi sia-sia segala upaya mengembalikan kerugian negara akibat dari tindak pidana korupsi, apabila hakim-hakim pda pengadilan tindak pidana korupsi tidak ada willing atau keinginan untuk berbuat yang terbaik dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
E.     KESIMPULAN
Dari uraian-uraian tersebut di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.    Perlu upaya yang lebih tegas dan menyeluruh terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi ;
2.    Pengembalian kerugian keuangan negara harus menjadi tujuan utama dalam  upaya pemberantasan korupsi ;
3.    Mahkamah Agung perlu mengeluarkan SEMA atau PERMA sebagai payung hukum bagi hakim-hakim tindak pidana korupsi untuk dapat mencantumkan bunga moratoir dalam putusan berupa pembayaran denda dan/atau uang pengganti bagi Terdakwa atau Terpidana yang melarikan diri ;
4.    Terhadap pencantuman bunga moratoir dalam putusan pemidanaan perlu adanya kajian yang lebih mendalam.
F.     PENUTUP
Tulisan singkat ini barangkali tidak mencukupi di dalam untuk menjabarkan secara lengkap mengenai penerapan bunga moratoir dalam putusan tindak pidana korupsi, akan tetapi setidaknya dapat memberikan pemahaman awal bagi kita bahwa sebagai Hakim haruslah memahami mengenai kewajiban-kewajibannya, terutama selama menyidangkan perkara.
G.    DAFTAR BACAAN
1.  Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijakan Publik, Jakarta, Sinar Grafika, 1994, hal. 95 ;
2.  Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum (Problematik Ketertiban Yang Adil), Penerbit CV. Mandar Maju – Bandung ;
3.  H.M. Ali Mansyur, Aneka Persoalan Hukum (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum , Penerbit Unisula bekerjasama dengan Penerbit Teras, Tahun 2010 ;
H. LINK INTERNET
1.    http://tadjuddin.blogspot.co.id/2010_07_01_archive.html, diunduh tanggal 26 April 2016 ;



[1] Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung RI, Mahasiswa Program Doktoral pada Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung, Semarang ;
[2] Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijakan Publik, Jakarta, Sinar Grafika, 1994, hal. 95 ;
[4] M. Ali Mansyur, Aneka Persoalan Hukum  (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum , Penerbit Unisula bekerjasama dengan Penerbit Teras, Tahun 2010, hlm.148.
[5] http://eprints.ums.ac.id/346/1/2._ZUDAN.pdf.
[6] Ibid, http://eprints.ums.ac.id/346/1/2._ZUDAN.pdf.

[7] Budioono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum (Problematik Ketertiban Yang Adil), Penerbit CV. Mandar Maju – Bandung, hlm.172-173.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...