Kamis, 23 Juni 2016

ANAK DAN PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK



ANAK DAN PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH[1]

I.              PENDAHULUAN
Anak sebagai anugerah dari Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, yang tiada tara bagi setiap orang tua, oleh karenanya menjadi tanggung jawab bagi setiap orang tua untuk memberikan perlindungan dan pendidikan yang terbaik bagi setiap putera/puterinya dengan tujuan anak-anak menjadi generasi penerus yang berkualitas bagi masa depan Bangsa dan Negara. Selain itu, juga merupakan tugas bagi Negara untuk memberikan fasilitas pendidikan yang berkualitas dan perlindungan yang maksimal bagi proses tumbuh kembang setiap anak di Negeri ini.
Dalam rangka memperingati Hari Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei 2014, kita perlu membangkitkan kembali kesadaran bahwa Negara selain memiliki tanggung jawab untuk mencerdaskan setiap warga negaranya, tetapi juga memiliki kewajiban untuk menjamin keselamatan dan kesejahteraan warga negaranya, termasuk di dalamnya adalah anak-anak yang belum dewasa.
Yusuf Qardhawi dalam salah satu bukunya pernah mengatakan bahwa, “Anak adalah penyejuk hati orang tua di kala hidup dan perpanjangan wujudnya setelah mati.”[2] Oleh karena itu peranan anak di dalam perkembangan anak sangat berpengaruh terhadap masa depan anak tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah yang artinya : “Cukuplah berdosa jika seseorang menelantarkan mereka yang menjadi tanggungan dalam nafkahnya.”[3]
Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa karena pengaruh lingkungan maupun pengaruh dari orang tua yang mengharuskan seorang anak ikut mencari nafkah di dalam kehidupannya sehari-hari, maka seorang anak, baik karena perbuatannya maupun karena perbuatan orang lain yang notabene adalah orang dewasa, dapat berhadapan dengan hukum, terutama hukum pidana.
II.            PENGERTIAN ANAK
Sampai saat ini belum ada kesesuaian pendapat diantara para ahli hukum sebagaimana tercantum dalam berbagai produk perundang-undangan di Indonesia mengenai pengertian Anak. Adanya berbagai pengertian mengenai Anak ini dilandasi dari berbagai kepentingan yang melatarbelakangi pembentukan suatu peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), anak adalah keturunan kedua, sedangkan dalam konsideran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dikatakan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.[4]
Pengertian anak dalam konteks manusia dapat disamakan dengan keturunan manusia. Jika dalam konteks yang lebih luas, anak adalah mahluk hidup yang diberikan Tuhan kepada manusia melalui hasil pernikahan guna meneruskan kehidupan selanjutnya.[5]
Anak (jamak: anak-anak) adalah seorang lelaki atau perempuan yang belum dewasa atau belum mengalami masa pubertas. Anak juga merupakan keturunan kedua, di mana kata "anak" merujuk pada lawan dari orang tua, orang dewasa adalah anak dari orang tua mereka, meskipun mereka telah dewasa. Menurut psikologi, anak adalah periode pekembangan yang merentang dari masa bayi hingga usia lima atau enam tahun, periode ini biasanya disebut dengan periode prasekolah, kemudian berkembang setara dengan tahun tahun sekolah dasar. Walaupun begitu istilah ini juga sering merujuk pada perkembangan mental seseorang, walaupun usianya secara biologis dan kronologis seseorang sudah termasuk dewasa namun apabila perkembangan mentalnya ataukah urutan umurnya maka seseorang dapat saja diasosiasikan dengan istilah "anak".[6]
Dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 menyebutkan bahwa, “Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) dan belum pernah kawin.”
Pendapat lain mengatakan sebagai berikut, dalam pengertian psikologi anak, Augustinus mengatakan bahwa anak tidaklah sama dengan orang dewasa, anak mempunyai kecenderungan untuk menyimpang dari hukum dan ketertiban yang disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan pengertian terhadap realita kehidupan, anak-anak lebih mudah belajar dengan contoh-contoh yang diterimanya dari aturan-aturan yang bersifat memaksa.[7] Dari pendapat tersebut pada pokoknya adalah bahwa Anak merupakan mahkluk sosial, yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya, anak juga mempunyai perasaan, pikiran, kehendak tersendiri yang kesemuanya itu merupakan totalitas psikis dan sifat-sifat serta struktur yang berlainan pada tiap-tiap fase perkembangan pada masa kanak-kanak (anak). Perkembangan pada suatu fase merupakan dasar bagi fase selanjutnya.[8]
Negara sebagai penjamin perlindungan dan kesejahteraan anak, sudah seharusnya memperhatikan secara terperinci terhadap kebutuhan setiap anak di Negeri ini. Bukan hanya kebutuhan secara materi yang harus terpenuhi dan tercukupi, akan tetapi juga kebutuhan non jasmani juga harus diperhatikan dan dipenuhi oleh Negara.
III.       FENOMENA ANAK SEBAGAI KORBAN MAUPUN PELAKU TINDAK PIDANA
Kebutuhan akan rasa aman dari lingkungan sekitar seorang anak tersebut bertempat tinggal dan bersekolah, juga harus mendapat perhatian yang serius, tidak hanya dari Negara tetapi yang tepenting adalah dari setiap orang tua dan warga masyarakat sekitar.
Berbagai pemberitaan baik di media cetak, media sosial, media internet maupun media informasi lainnya, telah banyak memuat fakta bahwa telah terjadi tindakan yang justru tidak mencerminkan perlindungan terhadap kehidupan anak. Aksi kekerasan fisik, kekerasan seksual, eksploitasi anak sebagai pekerja yang menghasilkan uang, merupakan bentuk-bentuk tindakan yang melenceng dari apa yang seharusnya diberikan kepada anak. Namun sangat disayangkan bahwa masayarakat maupun Negara seakan menutup mata dan telinga terhadap kejadian-kejadian tersebut.
Di tahun 1990an, Indonesia dikejutkan dengan perilaku seks menyimpang dari seorang laki-laki dewasa yang mengaku bernama ROBOT GEDEG, yang selama persidangan mengaku  jumlah korban yang telah disodomi lalu dibunuh mencapai delapan anak jalanan yang berusia antara 11-15 tahun dan dilakukannya selama dua tahun di Jakarta dan dua lagi di Jawa Tengah (Kroya dan Pekalongan).[9] Kasus Robot Gedek tersebut seakan menyentak kesadaran kita, bahwa ancaman kejahatan terhadap anak-anak kita berada sangat dekat dengan keberadaan kita sendiri.
Belum lama berselang, terungkap lagi kasus pedofilia (kekerasan seksual pada anak-anak) yang terjadi di Jakarta International School (JIS) Jakarta Selatan. Bahkan kasus ini melibatkan lebih dari 1 (satu) orang pelaku, baik sebagai pelaku utama maupun pelaku yang membantu melakukan (pelaku turut serta) dan terdapaat lebih dari 1 (satu) korban, yaitu anak-anak yang masih berusia antara 5 (lima) sampai dengan 7 (tujuh) tahun. Sebagaimana dilansir dari berita online yang mengatakan Polisi telah menetapkan tiga petugas kebersihan sekolah menjadi tersangka kasus pelecehan seksual siswa TK Jakarta International School (JIS). Dua tersangka yakni Agung dan Frizkiawan dan seorang wanita Afriska. [10] Belum lagi kasus Renggo yang tewas setelah dianiaya oleh kakak kelasnya, yang ironisnya, kejadian tersebut dilakukan di dalam ruang kelas.Renggo yang bertubuh tambun tidak sengaja menyenggol SY yang merupakan murid kelas IV. Akibat senggolan tersebut, makanan yang dibawa SY terjatuh dan diduga SY tidak terima akibat makanannya jatuh oleh korban. Setelah itu terjadilah pemukulan yang berakibat Renggo sakit dan meninggal dunia. [11]
Bahkan, Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan dan Pemerintah DKI Jakarta meluncurkan laman pengaduan kekerasan seksual terhadap perempuan. Ketua Komnas Perempuan, Yuniyanti Chuzaifah mengatakan, laman itu untuk memudahkan korban kekerasan seksual melapor. Menurutnya, Jakarta merupakan salah satu tempat yang paling rawan kekerasan seksual. [12] Pendapat tersebut menjadikan kita berpikir ulang terhadap pola pendidikan dan pengajaran terhadap karakter anak, sehingga bisa menjadi pribadi yang berperikelakuan yang baik dalam masyarakat.
Meski demikian institusi sekolah yang selama ini dianggap sebagai tempat teraman kedua setelah rumah, bagi proses tumbuh kembang sorang anak, ternyata menjadi tempat yang harus  mendapat perhatian dari orang tua maupun masyarakat di lingkungan sekolah tersebut, sehingga peran serta masyarakat juga sangat dibutuhkan. Sesungguhnya, semua kejadian kekerasan baik fisik maupun seksual terhadap seorang anak, yang terjadi selama ini, hanyalah merupakan puncak gunung es, yang sangat sulit memperkirakan jumlah sesungguhnya dari kasus kekerasan terhadap anak. Pendidikan anak, haruslah memposisikan anak sebagai SUBYEK dan bukan sebagai OBYEK dari proses pendidikan itu sendiri. Pemahaman yang keliru dari para orang tua maupun pendidik (guru) menyebabkan tumbuh berkembang seorang anak menjadi terganggu, dan akan sulit untuk membentuk seorang anak yang memiliki karakter kepribadian yang baik.
Perintah kepada seorang anak yang dilakukan dengan cara yang kasar, cenderung akan menjadikan anak tersebut akan menjadi anak yang berkepribadian kasar, demikian pula bentuk penghukuman yang bersifat menyakiti badan jasmani anak, cenderung akan menjadi anak yang lebih suka memberontak, dibandingkan menjadi anak yang patuh.
Pertanyaannya adalah, bagaimana peranan Negara di dalam mengatur kepentingan anak terutama dalam menjaga proses tumbuh kembangnya ? Negara menjadi lembaga tertinggi yang seharusnya dapat memberikan jaminan keamanan, keselamatan dan kesejahteraan anak, karena anak adalah cerminan dari masa depan suatu Negara.
IV.        PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG ANAK
Indonesia yang menyatakan dirinya sebagai Negara yang berdasarkan Hukum, sebenarnya telah memiliki beberapa ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai keberadaan seorang anak. Namun yang harus diperhatikan adalah mengenai pelaksanaan dari berbagai peraturan perundang-undangan tersebut.
A.   Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Peraturan perundangan ini telah ada sejak Indonesia masih berada dalam masa penjajahan Belanda dan merupakan produk perundang-undangan Pemerintah Kolonial Belanda berupa BURGERLIJK WETBOEK, yang kemudian diambil alih oleh Pemerintah Indonesia sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini, uumnya mengatur mengenai hubungan keperdataan orang per orang di dalam wilayah hukum Indonesia tetapi juga terdapat beberapa ketentuan yang mengatur mengenai anak. Dalam pasal 2 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini menyebutkan, Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya. [13]
Berkaitan dengan kedewasaan, maka telah pula disebutkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu dalam pasal 330 ayat (1) yang menyebutkan, Belum dewasa adalah mereka yang belum genap daupuluh satu tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. [14]
Kemudian, mengani kewajiban orang tua bagi anak-anaknya adalah sebagaimana diatur dalam pasal 298 ayat (2) KUH Perdata juga menyebutkan, Si bapak dan si ibu, keduanya wajib memelihara dan mendidik sekalian anak mereka yang belum dewasa. [15] Ketentuan pasal 298 ayat (2) KUH Perdata ini juga diperkuat dengan ketentuan pasal 299 yang menyebutkan, Sepanjang perkawinan bapak dan ibu, tiap-tiap anak, sampai ia menjadi dewasa tetap berada di dawah kekuasaan mereka, sekedar mereka tidak dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan itu. [16]
B.   Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Undang-Undang ini terbentuk sebagai jawaban atas keprihatinan masyarakat atas kurang diperhatikannya penyelenggaraan kesejahteraan anak oleh Negara. Selama ini Negara dianggap lalai atas semakin menjamurnya anak terlantar, baik ditelantarkan oleh orang tuanya maupun karena keadaan yang memaksa anak tersebut menjadi terlantar.
Di dalam perihal Menimbang di dalam Undang-Undang ini pada huruf c, disebutkan, Bahwa di dalam masyarakat terdapat pula anak-anak yang mengalami hambatan kesejahteraan rohani, jasmani, sosial dan ekonomi, sehingga dengan demikian, Pemerintah, pada waktu penyusunan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979, menyadari bahwa masih terdapat anak-anak yang mengalami hambatan kesejahteraan sosial, oleh karenanya Pemerintah berinisiatif untuk membentuk suatu Undang-Undang yang menjamin kesejahteraan anak-anak.
Pasal 1 angka 1 a dalam Undang-Undang ini menyebutkan, Kesejahteraan Anak adalah suatu kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial, dan pasal 1 angka 1 b menyebutkan, Usaha Kesejahteraan Anak adalah usaha kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk menjamin terwujudnya Kesejahteraan Anak terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak.
Mengenai hak anak, Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979, menyebutkan antara lain :
(1)  Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluargaanya maupun di dalam asuhan khusus, untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar ;
(2)  Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan Negara yang baik dan berguna ;
(3)  Anak berhak atas pemerliharaan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun seusai dilahirkan ;
(4)  Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan   wajar ;
Dari pemaparan pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tersebut, terlihat bahwa Pemerintah telah menyadari tentang keberadaan dan hak dari seorang anak serta berusaha untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya sehingga dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar.
C.   Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
Tidak dipungkiri bahwa terdapat anak yang berhadapan dengan hukum dan akhirnya menjadi Terdakwa di persidangan dan setelah mendapatkan putusan Pengadilan Negeri menjadi Terpidana Anak.Dengan menjadi Terpidana, maka terhadap anak tersebut perlu mendapatkan perlakuan secara khusus, sehingga dibutuhkan payung hukum untuk memberikan pelayanan bagi anak yang menjadi terpidana.
Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yang di dalamnya juga mengakomodir segala pemenuhan kebutuhan bagi anak yaang menjadi Terpidana.
Dalam pasal 1 huruf g menyebutkan, Anak Didik Pemasyarakatan adalah :
a.    Anak Pidana yaitu anak  yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS Anak paling lama samapi berumur 18 (delapan belas) tahun ;
b.    Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS Anak paling lama 18 (delapan belas) tahun ;
c.    Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
D.   Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak
Terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, telah disediakan payung hukum di dalam pelaksanaannya, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Dalam perihal Menimbang huruf b, disebutkan, Bahwa untuk melaksanaakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan, baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai, oleh karena itu ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan bagi anak yang dilakukan secara khusus.
Di dalam proses penegakan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, lebih ditekankan kepada kesejahteraan dan keamanan anak tersebut. Hal tersebut diantaranya :
·      Pasal 6 : Hakim, Penuntut Umum, Penyidik dan Penasihat Hukum serta petugas lainnya dalam Sidang Anak tidak memakai toga atau pakaian dinas ;
·      Pasal 8 ayat (1) : Hakim memeriksa perkara pidana dalam sidang tertutup ;
·      Pasal 8 ayat (3) : Dalam sidang yang dilakukan secara tertutup hanya dapat dihadiri oleh anak yang bersangkutan, beserta orang tua, wali atau orang tua asuh, Penasihat Hukum dan Pembimbing Kemasyarakatan.
E.   Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Bentuk-Bentuk / Pekerjaan Terburuk Untuk Anak
Tidak hanya Pemerintah kita yang memperhatikan mengenai kesejahteraan anak, tetapi kesejahteraan anak ini juga menjadi perhatiaan ILO (International Labour Organization / Organisasi Perburuhan Internasional), yang juga merupakan salah satu Badan Internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Hal ini terlihat dari dengan dikeluarkannya Konvensi ILO Nomor 182.
Apabila diperhatikan, maka Konvensi ILO Nomor 182 tersebut bertujuan untuk mencegah terjadi perbudakan pada anak, sebagaimana diatur dalam Pokok-Pokok Konvensi pada angka 3 yang menyebutkan, Penegertian bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak adalah :
(a)  Segala bentuk perbudakan atau praktek sejenis perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bandage) dan perhambaan serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata ;
(b)  Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran untuk pelacuran, untuk produk pronografi atau produksi pronografi aatau untuk pertunjukan-pertunjukan porno ;
(c)  Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan terlarang sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan ;
(d)  Pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak-anak ;
F.    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Di dalam perihal Menimbang hhuruf c, disebutkan, Bahwa anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuanagan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Hal tersebut dipertegas di dalam perihal Menimbang pada huruf e, yang menyebutkan, Bahwa untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya.
Dari hal-hal sebagaimana tersebut di atas, maka telah nyata bahwa Pemerintah kita sangat memperhatikan tentang terjaminnya kesejahteraan anak dalam setiap tingkat kehidupannya. Keberadaan anak dengan segala hak-haknya telah diakui sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 huruf L yang menyebutkan, Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara.
Mengenai hak setiap anak telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu dari pasal 4 sampai dengan pasal 18, meski demikian, harus pula diingat bahwa setiap anak juga memiliki kewajiban sebagaimana tercantum dalam pasal 19, yang menyebutkan, Setiap anak berkeajiban untuk :
Ø  Menghormati orang tua, wali dan guru ;
Ø  Mencintai keluarga, masyarakat dan menyayangi teman ;
Ø  Mencintai tanah air, bangsa dan negara ;
Ø  Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya dan ;
Ø  Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
Lebih tegas lagi terhadap tugas dan kewajiban Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua adalah sebagaimana disebutkan dalam pasal 20 yang menyatakan, Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Penegasan yang lebih khusus adalah kepada orang tua yaitu sebagaimana diatur dalam pasal 26, yaitu :
(1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :
-     mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak ;
-     menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya dan ;
-     mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak ;
(2) Dalam hal orang tua tidak ada atau tidak diketahui keberadaannya atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lebih lanjut, Undang-Undang ini juga mengatur mengenai anak yang berhadapan dengan hukum yaitu di dalam pasal 64 yang menyatakan :
(1)  Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat ;
(2)  Perlindungan khusus baagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui :
a.    Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak   anak ;
b.    Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini ;
c.    Penyediaan sarana dan prasarana khusus ;
d.    Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik untuk anak ;
e.    Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum ;
f.      Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga da ;
g.    Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari laabelisasi ‘
(3)  Perlindungan khusus baagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui :
a.    Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga ;
b.    Upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi ;
c.    Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli baik fisik, mental maupun sosial dan ;
d.    Pemberian aksesbilitas untuk mendapatkan informasi mengenaai perkembangan perkara.
Berkaitan dengan sanksi pidana, dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 juga telah diatur mengenai setiap orang maupun badan hukum yang melanggar ketentuan dalam Undang-Undang ini. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam pasal 81 sampai dengan pasal 90.
Yang terpenting dalam Undang-Undang ini adalah bahwa dengan adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, maka secara resmi telah terbentuk pula Komisi Perlindungan Anak Indonesia, sebagaimana disebutkan dalam pasal 92 yang menyebutkan, Pada saat berlakunya undang-undang ini, paling lama 1 ((satu) tahun, Komisi Perlindungan Anak Indonesia sudah terbentuk.
G.   Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Untuk memperbaharui Undang-Undang yang mengatur tentang Peradilan Anak, kemudian Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang akan mulai diberlakukan pada bulan Agustus 2014.
Undang-Undang ini mengatur secara lebih lengkap dan mendalam terhadap perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukum maupun anak yang menjadi korban tindak pidana. Meski demikian, olehh karena Undang-Undang ini baru diberlakukan pada bulan Agustus 2014, maka sampai saat ini Undang-Undang ini belum diberlakukan kepada setiap anak yang berhadapan dengan hukum maupun anak yang menjadi korban tindak pidana.
V.         KESIMPULAN
Dengan banyak dan beragamnya peraturan perundang-undangan yang ada yang mengatur mengenai perlindungan  dan pemberian jaminan pemberian kesejahteraan kepada anak, membuktikan bahwa tanggung jawab terhadap tumbuh kembang anak tidak hanya menjadi tanggung jawab Negera dan Pemerintah saja, akan tetapi juga menjadi tanggung jawab orang tua, keluarga dan masyarakat di sekitar lingkungan anak tersebut berada.
VI.        PENUTUP
Demikian, uraian singkat mengenai Anak dan Perlindungan Anak, semoga bermanfaat.


                                                                             




[1] Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung RI ;
[2] Yusuf Qardhawi,, 2000, Halal Haram dalam Islam, Solo, Era Intermedia, h.312.
[3] Ibid, h.323.
[4] M. Nasir Djamil, 2013, Anak Bukan Untuk Dihukum, Cetakan Kedua, Jakarta, Sinar Grafika,h.8.
[6]  http://id.wikipedia.org/wiki/Anak, diunduh tanggal 03 Nopember 2013.
[13] R. Subekti, 1989, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, cetakan ke dua puluh satu, Jakarta, Pradnya Paramita, h. 25.
[14] Ibid, h. 98.
[15] Ibid, h. 84.
[16]Ibid, h. 84.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...