ANAK DAN PERLINDUNGAN
TERHADAP ANAK
OLEH
: H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH[1]
I.
PENDAHULUAN
Anak sebagai anugerah dari Allah SWT, Tuhan
Yang Maha Esa, yang tiada tara bagi setiap orang tua, oleh karenanya menjadi
tanggung jawab bagi setiap orang tua untuk memberikan perlindungan dan
pendidikan yang terbaik bagi setiap putera/puterinya dengan tujuan anak-anak
menjadi generasi penerus yang berkualitas bagi masa depan Bangsa dan Negara.
Selain itu, juga merupakan tugas bagi Negara untuk memberikan fasilitas pendidikan
yang berkualitas dan perlindungan yang maksimal bagi proses tumbuh kembang
setiap anak di Negeri ini.
Dalam rangka memperingati Hari Kebangkitan
Nasional tanggal 20 Mei 2014, kita perlu membangkitkan kembali kesadaran bahwa Negara
selain memiliki tanggung jawab untuk mencerdaskan setiap warga negaranya,
tetapi juga memiliki kewajiban untuk menjamin keselamatan dan kesejahteraan
warga negaranya, termasuk di dalamnya adalah anak-anak yang belum dewasa.
Yusuf Qardhawi dalam salah satu bukunya
pernah mengatakan bahwa, “Anak adalah
penyejuk hati orang tua di kala hidup dan perpanjangan wujudnya setelah mati.”[2]
Oleh karena itu peranan anak di dalam perkembangan anak sangat berpengaruh
terhadap masa depan anak tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah yang artinya :
“Cukuplah berdosa jika seseorang menelantarkan mereka yang menjadi tanggungan
dalam nafkahnya.”[3]
Meski demikian, tidak dapat
dipungkiri bahwa karena pengaruh lingkungan maupun pengaruh dari orang tua yang
mengharuskan seorang anak ikut mencari nafkah di dalam kehidupannya
sehari-hari, maka seorang anak, baik karena perbuatannya maupun karena
perbuatan orang lain yang notabene adalah orang dewasa, dapat berhadapan dengan
hukum, terutama hukum pidana.
II.
PENGERTIAN
ANAK
Sampai saat ini belum ada kesesuaian
pendapat diantara para ahli hukum sebagaimana tercantum dalam berbagai produk
perundang-undangan di Indonesia mengenai pengertian Anak. Adanya berbagai
pengertian mengenai Anak ini dilandasi dari berbagai kepentingan yang
melatarbelakangi pembentukan suatu peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), anak adalah keturunan kedua, sedangkan dalam konsideran Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dikatakan bahwa anak adalah
amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan
martabat sebagai manusia seutuhnya.[4]
Pengertian anak dalam konteks manusia
dapat disamakan dengan keturunan manusia. Jika dalam konteks yang lebih luas,
anak adalah mahluk hidup yang diberikan Tuhan kepada manusia melalui hasil
pernikahan guna meneruskan kehidupan selanjutnya.[5]
Anak (jamak: anak-anak) adalah seorang lelaki atau perempuan yang belum dewasa atau belum
mengalami masa pubertas. Anak juga merupakan keturunan kedua, di mana kata "anak" merujuk pada lawan dari orang tua, orang dewasa adalah anak
dari orang tua mereka, meskipun mereka telah dewasa. Menurut psikologi, anak adalah
periode pekembangan yang merentang dari masa bayi hingga usia lima atau enam
tahun, periode ini biasanya disebut dengan periode prasekolah, kemudian
berkembang setara dengan tahun tahun sekolah dasar. Walaupun begitu istilah ini
juga sering merujuk pada perkembangan mental seseorang, walaupun usianya secara biologis dan kronologis
seseorang sudah termasuk dewasa namun apabila perkembangan mentalnya ataukah
urutan umurnya maka seseorang
dapat saja diasosiasikan dengan istilah "anak".[6]
Dalam
pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 menyebutkan bahwa, “Anak adalah orang yang dalam perkara anak
nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18
(delapan belas) dan belum pernah kawin.”
Pendapat
lain mengatakan sebagai berikut, dalam pengertian psikologi anak, Augustinus
mengatakan bahwa anak tidaklah sama dengan orang dewasa, anak mempunyai
kecenderungan untuk menyimpang dari hukum dan ketertiban yang disebabkan oleh
keterbatasan pengetahuan dan pengertian terhadap realita kehidupan, anak-anak
lebih mudah belajar dengan contoh-contoh yang diterimanya dari aturan-aturan
yang bersifat memaksa.[7]
Dari pendapat tersebut pada pokoknya adalah bahwa Anak merupakan mahkluk
sosial, yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi
perkembangannya, anak juga mempunyai perasaan, pikiran, kehendak tersendiri
yang kesemuanya itu merupakan totalitas psikis dan sifat-sifat serta struktur
yang berlainan pada tiap-tiap fase perkembangan pada masa kanak-kanak (anak).
Perkembangan pada suatu fase merupakan dasar bagi fase selanjutnya.[8]
Negara sebagai penjamin perlindungan dan
kesejahteraan anak, sudah seharusnya memperhatikan secara terperinci terhadap
kebutuhan setiap anak di Negeri ini. Bukan hanya kebutuhan secara materi yang
harus terpenuhi dan tercukupi, akan tetapi juga kebutuhan non jasmani juga
harus diperhatikan dan dipenuhi oleh Negara.
III.
FENOMENA
ANAK SEBAGAI KORBAN MAUPUN PELAKU TINDAK PIDANA
Kebutuhan akan rasa aman dari lingkungan
sekitar seorang anak tersebut bertempat tinggal dan bersekolah, juga harus
mendapat perhatian yang serius, tidak hanya dari Negara tetapi yang tepenting
adalah dari setiap orang tua dan warga masyarakat sekitar.
Berbagai pemberitaan baik di media
cetak, media sosial, media internet maupun media informasi lainnya, telah
banyak memuat fakta bahwa telah terjadi tindakan yang justru tidak mencerminkan
perlindungan terhadap kehidupan anak. Aksi kekerasan fisik, kekerasan seksual,
eksploitasi anak sebagai pekerja yang menghasilkan uang, merupakan
bentuk-bentuk tindakan yang melenceng dari apa yang seharusnya diberikan kepada
anak. Namun sangat disayangkan bahwa masayarakat maupun Negara seakan menutup
mata dan telinga terhadap kejadian-kejadian tersebut.
Di tahun 1990an, Indonesia dikejutkan
dengan perilaku seks menyimpang dari seorang laki-laki dewasa yang mengaku
bernama ROBOT GEDEG, yang selama persidangan mengaku jumlah korban yang telah disodomi lalu dibunuh mencapai delapan anak
jalanan yang berusia antara 11-15 tahun dan dilakukannya selama dua tahun di
Jakarta dan dua lagi di Jawa Tengah (Kroya dan Pekalongan).[9]
Kasus Robot Gedek tersebut seakan menyentak kesadaran kita, bahwa ancaman
kejahatan terhadap anak-anak kita berada sangat dekat dengan keberadaan kita
sendiri.
Belum lama berselang, terungkap lagi
kasus pedofilia (kekerasan seksual pada anak-anak) yang terjadi di Jakarta
International School (JIS) Jakarta Selatan. Bahkan kasus ini melibatkan lebih
dari 1 (satu) orang pelaku, baik sebagai pelaku utama maupun pelaku yang
membantu melakukan (pelaku turut serta) dan terdapaat lebih dari 1 (satu)
korban, yaitu anak-anak yang masih berusia antara 5 (lima) sampai dengan 7
(tujuh) tahun. Sebagaimana dilansir dari berita online yang mengatakan Polisi telah menetapkan tiga petugas
kebersihan sekolah menjadi tersangka kasus pelecehan seksual siswa TK Jakarta
International School (JIS). Dua tersangka yakni Agung dan Frizkiawan dan
seorang wanita Afriska. [10]
Belum lagi kasus Renggo yang tewas
setelah dianiaya oleh kakak kelasnya, yang ironisnya, kejadian tersebut
dilakukan di dalam ruang kelas.Renggo yang bertubuh tambun tidak sengaja
menyenggol SY yang merupakan murid kelas IV. Akibat senggolan tersebut, makanan
yang dibawa SY terjatuh dan diduga SY tidak terima akibat makanannya jatuh oleh
korban. Setelah itu terjadilah pemukulan yang berakibat Renggo sakit dan
meninggal dunia. [11]
Bahkan, Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan dan Pemerintah DKI
Jakarta meluncurkan laman pengaduan kekerasan seksual terhadap perempuan. Ketua
Komnas Perempuan, Yuniyanti Chuzaifah mengatakan, laman itu untuk memudahkan
korban kekerasan seksual melapor. Menurutnya, Jakarta merupakan salah satu
tempat yang paling rawan kekerasan
seksual.
[12]
Pendapat tersebut menjadikan kita berpikir ulang terhadap pola pendidikan dan
pengajaran terhadap karakter anak, sehingga bisa menjadi pribadi yang
berperikelakuan yang baik dalam masyarakat.
Meski demikian institusi sekolah yang
selama ini dianggap sebagai tempat teraman kedua setelah rumah, bagi proses
tumbuh kembang sorang anak, ternyata menjadi tempat yang harus mendapat perhatian dari orang tua maupun
masyarakat di lingkungan sekolah tersebut, sehingga peran serta masyarakat juga
sangat dibutuhkan. Sesungguhnya, semua kejadian kekerasan baik fisik maupun
seksual terhadap seorang anak, yang terjadi selama ini, hanyalah merupakan
puncak gunung es, yang sangat sulit memperkirakan jumlah sesungguhnya dari
kasus kekerasan terhadap anak. Pendidikan anak, haruslah memposisikan anak
sebagai SUBYEK dan bukan sebagai OBYEK dari proses pendidikan itu sendiri.
Pemahaman yang keliru dari para orang tua maupun pendidik (guru) menyebabkan tumbuh
berkembang seorang anak menjadi terganggu, dan akan sulit untuk membentuk seorang
anak yang memiliki karakter kepribadian yang baik.
Perintah kepada seorang anak yang
dilakukan dengan cara yang kasar, cenderung akan menjadikan anak tersebut akan
menjadi anak yang berkepribadian kasar, demikian pula bentuk penghukuman yang
bersifat menyakiti badan jasmani anak, cenderung akan menjadi anak yang lebih
suka memberontak, dibandingkan menjadi anak yang patuh.
Pertanyaannya adalah, bagaimana peranan
Negara di dalam mengatur kepentingan anak terutama dalam menjaga proses tumbuh
kembangnya ? Negara menjadi lembaga tertinggi yang seharusnya dapat memberikan
jaminan keamanan, keselamatan dan kesejahteraan anak, karena anak adalah
cerminan dari masa depan suatu Negara.
IV.
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG ANAK
Indonesia yang menyatakan dirinya sebagai
Negara yang berdasarkan Hukum, sebenarnya telah memiliki beberapa ketentuan
perundang-undangan yang mengatur mengenai keberadaan seorang anak. Namun yang
harus diperhatikan adalah mengenai pelaksanaan dari berbagai peraturan
perundang-undangan tersebut.
A.
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata
Peraturan
perundangan ini telah ada sejak Indonesia masih berada dalam masa penjajahan
Belanda dan merupakan produk perundang-undangan Pemerintah Kolonial Belanda
berupa BURGERLIJK WETBOEK, yang kemudian diambil alih oleh Pemerintah Indonesia
sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata ini, uumnya mengatur mengenai hubungan keperdataan
orang per orang di dalam wilayah hukum Indonesia tetapi juga terdapat beberapa
ketentuan yang mengatur mengenai anak. Dalam pasal 2 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata ini menyebutkan, Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah
dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya. [13]
Berkaitan
dengan kedewasaan, maka telah pula disebutkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, yaitu dalam pasal 330 ayat (1) yang menyebutkan, Belum dewasa adalah mereka yang belum genap daupuluh satu tahun dan
tidak lebih dahulu telah kawin. [14]
Kemudian,
mengani kewajiban orang tua bagi anak-anaknya adalah sebagaimana diatur dalam
pasal 298 ayat (2) KUH Perdata juga menyebutkan, Si bapak dan si ibu, keduanya wajib memelihara dan mendidik sekalian
anak mereka yang belum dewasa. [15]
Ketentuan pasal 298 ayat (2) KUH Perdata ini juga diperkuat dengan ketentuan
pasal 299 yang menyebutkan, Sepanjang
perkawinan bapak dan ibu, tiap-tiap anak, sampai ia menjadi dewasa tetap berada
di dawah kekuasaan mereka, sekedar mereka tidak dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan
itu. [16]
B.
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Undang-Undang
ini terbentuk sebagai jawaban atas keprihatinan masyarakat atas kurang
diperhatikannya penyelenggaraan kesejahteraan anak oleh Negara. Selama ini
Negara dianggap lalai atas semakin menjamurnya anak terlantar, baik
ditelantarkan oleh orang tuanya maupun karena keadaan yang memaksa anak
tersebut menjadi terlantar.
Di
dalam perihal Menimbang di dalam Undang-Undang ini pada huruf c, disebutkan, Bahwa di dalam masyarakat terdapat pula
anak-anak yang mengalami hambatan kesejahteraan rohani, jasmani, sosial dan
ekonomi, sehingga dengan demikian, Pemerintah, pada waktu penyusunan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979, menyadari bahwa masih terdapat anak-anak yang
mengalami hambatan kesejahteraan sosial, oleh karenanya Pemerintah berinisiatif
untuk membentuk suatu Undang-Undang yang menjamin kesejahteraan anak-anak.
Pasal
1 angka 1 a dalam Undang-Undang ini menyebutkan, Kesejahteraan Anak adalah suatu kehidupan dan penghidupan anak yang
dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara
rohani, jasmani maupun sosial, dan pasal 1 angka 1 b menyebutkan, Usaha Kesejahteraan Anak adalah usaha
kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk menjamin terwujudnya Kesejahteraan
Anak terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak.
Mengenai
hak anak, Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979, menyebutkan antara lain :
(1) Anak berhak atas
kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik
dalam keluargaanya maupun di dalam asuhan khusus, untuk tumbuh dan berkembang
dengan wajar ;
(2) Anak berhak atas pelayanan
untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan Negara
yang baik dan berguna ;
(3) Anak berhak atas
pemerliharaan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun seusai dilahirkan
;
(4) Anak berhak atas
perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat
pertumbuhan dan perkembangannya dengan
wajar ;
Dari
pemaparan pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tersebut, terlihat bahwa
Pemerintah telah menyadari tentang keberadaan dan hak dari seorang anak serta
berusaha untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya sehingga dapat tumbuh dan
berkembang dengan wajar.
C.
Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
Tidak
dipungkiri bahwa terdapat anak yang berhadapan dengan hukum dan akhirnya
menjadi Terdakwa di persidangan dan setelah mendapatkan putusan Pengadilan
Negeri menjadi Terpidana Anak.Dengan menjadi Terpidana, maka terhadap anak
tersebut perlu mendapatkan perlakuan secara khusus, sehingga dibutuhkan payung
hukum untuk memberikan pelayanan bagi anak yang menjadi terpidana.
Pemerintah
telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan,
yang di dalamnya juga mengakomodir segala pemenuhan kebutuhan bagi anak yaang
menjadi Terpidana.
Dalam
pasal 1 huruf g menyebutkan, Anak Didik
Pemasyarakatan adalah :
a. Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani
pidana di LAPAS Anak paling lama samapi berumur 18 (delapan belas) tahun ;
b. Anak Negara yaitu anak yang
berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan
ditempatkan di LAPAS Anak paling lama 18 (delapan belas) tahun ;
c. Anak Sipil yaitu anak yang
atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk
dididik di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
D.
Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak
Terhadap
anak yang berhadapan dengan hukum, telah disediakan payung hukum di dalam
pelaksanaannya, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak.
Dalam perihal Menimbang huruf b, disebutkan, Bahwa untuk melaksanaakan pembinaan dan memberikan perlindungan
terhadap anak, diperlukan dukungan, baik yang menyangkut kelembagaan maupun
perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai, oleh karena itu ketentuan
mengenai penyelenggaraan pengadilan bagi anak yang dilakukan secara khusus.
Di
dalam proses penegakan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, lebih
ditekankan kepada kesejahteraan dan keamanan anak tersebut. Hal tersebut
diantaranya :
·
Pasal 6 : Hakim, Penuntut Umum, Penyidik dan Penasihat
Hukum serta petugas lainnya dalam Sidang Anak tidak memakai toga atau pakaian
dinas ;
·
Pasal 8 ayat (1) : Hakim memeriksa perkara pidana dalam sidang
tertutup ;
·
Pasal 8 ayat (3) : Dalam sidang yang dilakukan secara tertutup
hanya dapat dihadiri oleh anak yang bersangkutan, beserta orang tua, wali atau
orang tua asuh, Penasihat Hukum dan Pembimbing Kemasyarakatan.
E.
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 182 mengenai
Pelarangan dan Tindakan Segera Bentuk-Bentuk / Pekerjaan Terburuk Untuk Anak
Tidak
hanya Pemerintah kita yang memperhatikan mengenai kesejahteraan anak, tetapi
kesejahteraan anak ini juga menjadi perhatiaan ILO (International Labour
Organization / Organisasi Perburuhan Internasional), yang juga merupakan salah
satu Badan Internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Hal
ini terlihat dari dengan dikeluarkannya Konvensi ILO Nomor 182.
Apabila
diperhatikan, maka Konvensi ILO Nomor 182 tersebut bertujuan untuk mencegah
terjadi perbudakan pada anak, sebagaimana diatur dalam Pokok-Pokok Konvensi
pada angka 3 yang menyebutkan, Penegertian
bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak adalah :
(a) Segala bentuk perbudakan
atau praktek sejenis perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja
ijon (debt bandage) dan perhambaan serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk
pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan secara paksa atau
wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata ;
(b) Pemanfaatan, penyediaan atau
penawaran untuk pelacuran, untuk produk pronografi atau produksi pronografi
aatau untuk pertunjukan-pertunjukan porno ;
(c) Pemanfaatan, penyediaan atau
penawaran anak untuk kegiatan terlarang, khususnya untuk produksi dan
perdagangan obat-obatan terlarang sebagaimana diatur dalam perjanjian
internasional yang relevan ;
(d) Pekerjaan yang sifat atau
keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan,
keselamatan atau moral anak-anak ;
F.
Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Di
dalam perihal Menimbang hhuruf c, disebutkan, Bahwa anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita
perjuanagan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat
khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.
Hal tersebut dipertegas di dalam perihal Menimbang pada huruf e, yang
menyebutkan, Bahwa untuk mewujudkan
perlindungan dan kesejahteraan anak diperlukan dukungan kelembagaan dan
peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya.
Dari
hal-hal sebagaimana tersebut di atas, maka telah nyata bahwa Pemerintah kita
sangat memperhatikan tentang terjaminnya kesejahteraan anak dalam setiap
tingkat kehidupannya. Keberadaan anak dengan segala hak-haknya telah diakui
sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 huruf L yang menyebutkan, Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia
yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orangtua, keluarga, masyarakat,
pemerintah dan negara.
Mengenai
hak setiap anak telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, yaitu dari pasal 4 sampai dengan pasal 18, meski demikian,
harus pula diingat bahwa setiap anak juga memiliki kewajiban sebagaimana
tercantum dalam pasal 19, yang menyebutkan, Setiap
anak berkeajiban untuk :
Ø Menghormati orang tua, wali
dan guru ;
Ø Mencintai keluarga,
masyarakat dan menyayangi teman ;
Ø Mencintai tanah air, bangsa
dan negara ;
Ø Menunaikan ibadah sesuai
dengan ajaran agamanya dan ;
Ø Melaksanakan etika dan
akhlak yang mulia.
Lebih
tegas lagi terhadap tugas dan kewajiban Negara, pemerintah, masyarakat,
keluarga dan orang tua adalah sebagaimana disebutkan dalam pasal 20 yang
menyatakan, Negara, pemerintah,
masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap
penyelenggaraan perlindungan anak. Penegasan yang lebih khusus adalah
kepada orang tua yaitu sebagaimana diatur dalam pasal 26, yaitu :
(1)
Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :
-
mengasuh,
memelihara, mendidik dan melindungi anak ;
-
menumbuhkembangkan
anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya dan ;
-
mencegah
terjadinya perkawinan pada usia anak-anak ;
(2) Dalam hal orang tua
tidak ada atau tidak diketahui keberadaannya atau karena suatu sebab, tidak
dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lebih
lanjut, Undang-Undang ini juga mengatur mengenai anak yang berhadapan dengan
hukum yaitu di dalam pasal 64 yang menyatakan :
(1) Perlindungan khusus bagi
anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 meliputi
anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan
kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat ;
(2) Perlindungan khusus baagi
anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan melalui :
a.
Perlakuan
atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak ;
b.
Penyediaan
petugas pendamping khusus anak sejak dini ;
c.
Penyediaan
sarana dan prasarana khusus ;
d.
Penjatuhan
sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik untuk anak ;
e.
Pemantauan
dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan
hukum ;
f.
Pemberian
jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga da ;
g.
Perlindungan
dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari
laabelisasi ‘
(3) Perlindungan khusus baagi
anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan melalui :
a.
Upaya
rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga ;
b.
Upaya
perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk
menghindari labelisasi ;
c.
Pemberian
jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli baik fisik, mental maupun
sosial dan ;
d.
Pemberian
aksesbilitas untuk mendapatkan informasi mengenaai perkembangan perkara.
Berkaitan
dengan sanksi pidana, dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 juga telah diatur
mengenai setiap orang maupun badan hukum yang melanggar ketentuan dalam
Undang-Undang ini. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam pasal 81 sampai dengan
pasal 90.
Yang
terpenting dalam Undang-Undang ini adalah bahwa dengan adanya Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002, maka secara resmi telah terbentuk pula Komisi Perlindungan
Anak Indonesia, sebagaimana disebutkan dalam pasal 92 yang menyebutkan, Pada saat berlakunya undang-undang ini,
paling lama 1 ((satu) tahun, Komisi Perlindungan Anak Indonesia sudah
terbentuk.
G.
Undang-Undang
Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Untuk
memperbaharui Undang-Undang yang mengatur tentang Peradilan Anak, kemudian
Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak yang akan mulai diberlakukan pada bulan Agustus 2014.
Undang-Undang
ini mengatur secara lebih lengkap dan mendalam terhadap perlindungan kepada
anak yang berhadapan dengan hukum maupun anak yang menjadi korban tindak
pidana. Meski demikian, olehh karena Undang-Undang ini baru diberlakukan pada bulan
Agustus 2014, maka sampai saat ini Undang-Undang ini belum diberlakukan kepada
setiap anak yang berhadapan dengan hukum maupun anak yang menjadi korban tindak
pidana.
V.
KESIMPULAN
Dengan
banyak dan beragamnya peraturan perundang-undangan yang ada yang mengatur
mengenai perlindungan dan pemberian
jaminan pemberian kesejahteraan kepada anak, membuktikan bahwa tanggung jawab
terhadap tumbuh kembang anak tidak hanya menjadi tanggung jawab Negera dan
Pemerintah saja, akan tetapi juga menjadi tanggung jawab orang tua, keluarga
dan masyarakat di sekitar lingkungan anak tersebut berada.
VI.
PENUTUP
Demikian,
uraian singkat mengenai Anak dan Perlindungan Anak, semoga bermanfaat.
[2] Yusuf Qardhawi,, 2000, Halal
Haram dalam Islam, Solo, Era Intermedia, h.312.
[3] Ibid, h.323.
[5]
http://kangmoes.com/artikel-tips-trik-ide-menarik-kreatif.definisi/pengertian-anak.html, diunduh tanggal 03 Nopember 2013
[7]http://www.duniapsikologi.com/pengertian-anak-sebagai-makhluk-sosial/, diunduh tanggal 03 Nopember 2013.
[8]http://www.duniapsikologi.com/pengertian-anak-sebagai-makhluk-sosial/, diunduh tanggal 03 Nopember
2013.
[10]http://www.merdeka.com/jakarta/pelaku-sodomi-di-jis-diduga-sindikat-pedofilia.html/, diunduh tanggal 19 Mei 2014.
[11]http://metro.sindonews.com/read/2014/05/04/31/860264/renggo-tewas-dianiaya-kakak-kelas-karena-senggol-makanan/, diunduh tanggal 19 Mei 2014.
[13] R. Subekti, 1989, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
cetakan ke dua puluh satu, Jakarta, Pradnya Paramita, h. 25.
[14] Ibid, h. 98.
[15] Ibid, h. 84.
[16]Ibid, h. 84.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar