KLENIK
HUKUM, SUATU FENOMENA DALAM DUNIA PERADILAN DI INDONESIA
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE PRIJAMBODO, SH.MH[1]
A, Pendahuluan
Masyarakat
Indonesia semakin mengerti hukum, hal itu merupakan fakta yang tidak bisa
dipungkiri dan menjadi sinyal yang bagus bagi upaya penegakan hukum di
Indonesia. Namun hal lain yang perlu dicermati adalah dengan semakin sadarnya
masyarakat terhadap hukum tidak berbanding lurus dengan pelanggaran hukum yang
terjadi. Seharusnya ketika kesadaran hukum meningkat maka secara otomatis tingkat
pelanggaran hukum akan berkurang, oleh sebab itu upaya penegakan hukum masih
menghadapi tantangan yang semakin berat.
Terhadap
hal tersebut di atas untuk mengatasinya tentu membutuhkan proses penegakan
hukum yang menyeluruh yang dimulai dari adanya penelitian atas suatu laporan
tindak pidana, yang dilanjutkan dengan penyidikan suatu tindak pidana, proses
penuntutan, proses persidangan, putusan pengadilan dan proses eksekusi atas
putusan pengadilan. Ketika suatu tindak pidana terbukti di persidangan maka
konsekuensinya adalah pelaku tindak pidana akan mendapat hukuman berupa
pemidanaan, yang tentu saja akan meningkatkan jumlah penghuni “hotel prodeo”
atau Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS).
Ada
satu hal yang seringkali terjadi di saat proses hukum atas suatu perkara, baik
perkara pidana maupun perdata adalah adanya upaya-upaya yang dilakukan para
pihak dengan menggunakan cara-cara di luar nalar manusia, yaitu dengan
menggunakan cara-cara klenik, yang tentu saja sangat berdekatan dengan
cara-cara perdukunan. Hal ini dilakukan dengan tujuan perkara yang melibatkan pelaku
klenik tersebut atau keluarga dan/atau koleganya bisa dimenangkan atau supaya
seorang Terdakwa tidak dijadikan Terpidana. Suatu hal yang miris akan tetapi
hal tersebut jamak terjadi (utamanya) dalam proses persidangan di Indonesia.
B. Permasalahan
Bahwa
dari uraian sebagaimana tersebut diatas maka kiranya timbul suatu permaslahan,
yaitu “Bagaimana upaya menghilangkan praktek klenik dalam proses persidangan di
Indonesia ?” ;
C. Pembahasan
Terhadap
upaya penegakan hukum, .Ali Mansyur, dalam bukunya ANEKA PERSOALAN HUKUM
(Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum), menyatakan bahwa “Dalam
suatu Negara Hukum, supremasi HUKUM
seharusnya memperoleh tempat yang semestinya, fungsi Hukum dalam arti materiil yang berusaha memberikan
perlindungan kepada masyarakat dengan memperlaakukan tiap-tiap warga Negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan
memberikan kedudukan Hukum bagi setiap orang.”[2]
Khususnya
mengenai penegakan hukum di pengadilan, maka berdasarkan Pasal 183
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) yang menyebutkan, “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Di dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP
tersebut hanya menyebutkan “Ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya
kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang”. Oleh karena itu
diperlukan kecermatan dari Hakim yang menyidangkannya, sehingga di dalam
persidangan akan didapatkan fakta hukum yang sebenarnya terjadi untuk
membuktikan bersalah tidaknya seseorang yang telah diduga telah melakukan
tindak pidana.
Harus
dipahami bahwa Hukum adalah suatu sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas
rangkaian kekuasaan kelembagaan. Hukum akan menjadi berarti apabila
perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan apabila masyarakat menggunakan
hukum menuruti perilakunya. Hukum itu sendiri terbagi menjadi
beberapa bidang, yaitu hukum pidana atau hukum publik, hukum perdata atau hukum
pribadi, dan hukum acara, hukum tata Negara, hukum administrasi Negara atau
hukum tata usaha Negara, hukum internasional, hukum adat, hukum islam, hukum
agraria, hukum bisnis, dan hukum lingkungan. Dari hukum-hukum tersebut
masing-masing mempunyai tujuan yang sama, yaitu bertujuan menjamin adanya
kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula berdasar pada
keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat.[3]
Sebagaimana
telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia,
Amandemen keempat dalam Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya
di dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya”[4],
maka sudah pada tempatnya apabila Negara memperlakukan setiap warga
negaranya secara sejajar di muka hukum. Sehingga tdak menimbulkan perilaku yang
membeda-bedakan berdasarkan alasan apapun di dalam upaya penegakan hukum.
Sampai saat ini masih sering
terjadi, pelaksanaan penegakan hukum yang mencederai rasa keadilan masyarakat.
Hal tersebut tidak hanya karena perilaku para aparat penegak hukum tetapi juga
karena ketidaktahuan masyarakat akan peraturan yang dilanggarnya. Penegakkan
hukum di Indonesia masih sangat tidak adil, karena masih melihat latar belakang
dan kedudukan seseorang. Hukum hanya berpihak kepada mereka yang mempunyai kekuasaan,
sedangkan bagi yang tidak memiliki kekuasaan, mereka tetaplah tertindas.[5]
Ketika
seseorang harus berhadapan dengan hukum baik sebagai tersangka / terdakwa
maupun sebagai saksi korban, maka tentu akan berhadapan dengan kesulitan di
dalam prosedur-prosedur dalam proses penegakan hukum. Terlebih pada saat ini
masih cukup banyak anggota masyarakat yang belum melek hukum dan merasa segan
untuk bersentuhan dengan hukum mengingat begitu rumit dan berbelitnya proses
penegakan hukum, belum lagi masih terdapat aparat-aparat penegak hukum yang
masih suka “bermain mata” demi keuntungan pribadi.
Seseorang
yang harus berhadapan dengan hukum tentu ingin mendapatkan keadilan, terutama
bagi orang menjadi korban dari suatu tindak pidana. Meskipun harus dipahami
bahwa masih terdapat multitafsir terhadap arti dari keadilan, yang tidak sama
antara pemahaman seseorang dengan orang lain. Seringkali, karena ketidaktahuan
dan juga faktor kepercayaan yang sangat kental, menyebabkan seseorang aakan
meminta bantuan orang lain yang memahami dunia klenik untuk membantunya selama
proses hukum dan orang yang dimintai bantuan tersebut membantu dalam bentuk
melakukan tindakan yang dianggap diluar akal sehat dan mendekati praktek
perdukunan.
C1. Arti Klenik
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dimaksud dengan klenik adalah kegiatan perdukunan (pengobatan dsb) dengan cara-cara
yang sangat rahasia dan tidak masuk akal, tetapi dipercayai oleh banyak orang.[6] Pendapat lain menjelaskan
mengenai klenik yaitu menjelaskan bahwa alam
semesta terdiri dari dua dunia, dunia nyata dan dunia tidak nyata, dimana dunia nyata adalah dunia yang dapat dilihat
dengan indra penglihatan secara langsung, sedangkan dunia tidak nyata adalah
dunia yang tidak dapat dilihat secara langsung menggunakan indra penglihatan
secara langsung, pada dunia tidak nyata ini sering disebut dengan dunia ghaib,
klenik, perdukunan dan dunia nyata adalah bagian dari alam semesta yang dihuni
oleh manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan, sebenarnya ada lagi mahluk hidup yang
tinggal di dalamnya, yaitu air, udara, tanah, dan api akan tetapi keempat
unsur alam ini secara science tidak diakui sebagai mahluk hidup karena
mereka tidak tumbuh dan bergerak dan bagi dunia spiritual Jawa dan China
keempat unsur kehidupan ini adalah pembentuk dasar kehidupan di alam semesta,
bagian dari setiap mahluk hidup. [7]
Ilmu Klenik
adalah Pengetahuan yang menjelaskan hal-hal yang gaib mengenai hal-hal yang
bersifat tersembunyi dan merupakan wilayah misteri dan salah satu ilmu atau
pengetahuan yang ada diwilayah klenik adalah agama, sebab banyak hal dalam
agama yang tidak dapat diuji kebenarannya (diverifikasi) karena kebenarannya
hanya bisa dimengerti oleh mereka yang menempuh ilmu makrifat oleh sebab itu
bagi orang awam kebenaran agama cukup diyakini, Ini klenik namanya! Namun
jangan salah terima, ini tidak berarti agama menyesatkan orang, tidak demikian
karena hal-hal yang bersifat klenik pun dimaksudkan untuk kesejahteraan
manusia, dan bukan untuk mendorong manusia ke dunia gelap.[8]
Klenik
sangat berkaitan dengan mistisme yang berasal dari bahasa Yunani Meyein, yang
artinya “menutup mata” dan kata mistik biasanya digunakan untuk menunjukkan
hal-hal yang berkaitan dengan pengetahuan tentang misteri, dalam arti luas,
mistik dapat didefinisikan sebagai kesadaran terhadap kenyataan tunggal, yang
mungkin disebut kearifan, cahaya, cinta atau nihil[2]. Mistisisme (mysticism) secara
bahasa merupakan gabungan antara kata mistik (mystic) dengan imbuhan isme yang
menyatakan paham (ajaran), sehingga mistisisme memiliki makna paham (ajaran)
tentang mistik, sedangkan kata mistis merupakan gabungan antara kata mistik
dengan imbuhan is yang menyatakan sifat, sehingga misitis memiliki makna
bersifat mistik.[9]
William
James menjelaskan tentang kondisi mistisisme. Menurutnya, kondisi tersebut
ditandai dengan empat karakteristik :[10]
1. Ineffability (tidak
dapat diungkapkan), merupakan suatu kondisi yang mustahil dapat dideskripsikan
atau dijabarkan, kondisi tersebut merupakan perasaan (state of feeling) yang
sulit dilakukan pada orang lain dengan detail kata seteliti apa pun ;
2. Neotic, yaitu
merupakan merupakan suatu kondisi pemahaman sebab bagi para pelakunya ia
merupakan kondisi pengetahuan. Dalam kondisi tersebut tersingkap hakikat
realitas yang baginya merupakan ilham dan bukan pengetahuan demonstratif ;
3. Transiency, yaitu
merupakan suatu kondisi yang cepat sirna. Dengan kata lain, ia tidak langsung
tinggal lama pada sang sufi atau mistikus, tapi ia menimbulkan kesan-kesan yang
sangat kuat dalam ingatan ;
4. Passivity,
yaitu merupakan kondisi pasif
Dari ke empat karakteristik yang disampaikan James
diatas dapat menjadikan penguat bahwa mistisme berbeda dengan yang disebut
klenik dan gugon tuhon. Sebaliknya mistik merupakan tindakan atau perbuatan
yang adiluhung, penuh keindahan, atas dasar dorongan dari budi pekerti luhur
atau akhlak mulia. Mistik sarat akan pengalaman-pengalaman spiritual. Yakni
bentuk pengalaman-pengalaman halus, terjadi sinkronisasi antara logika rasio
dengan “logika” batin. Pelaku mistik dapat memahami noumena atau eksistensi di
luar diri (gaib) sebagai kenyataan yang logis atau masuk akal. Sebab akal telah
mendapat informasi secara runtut, juga memahami rumus-rumus yang terjadi di
alam gaib.[11]
Dalam
proses penegakan hukum, seringkali dijumpai orang yang terjerat masalah hukum,
menggunakan jasa dukun atau orang-orang yang paham mengenai masalah klenik
untuk membantu membebaskan dirinya dari jeratan hukum. Ditemukannya segala bentuk
sesaji baik dari mulai proses penyelidikan hingga proses persidangan, bukan hal
yang aneh. Adanya sesaji tersebut membuktikan bahwa seseorang yang terjerat
hukum lebih mempercayai kekuatan ghaib yang bersifat mistis atau klenik
tersebut.
Dalam
praktek kegiatan yang mempercayai mistisme atau klenik, terdapat empat macam
kelompok menyangkut hubungan antara manusia dengan dunia ghaib dan klenik ini,
yaitu : [12]
1. Kelompok pertama : Adalah mereka yang tidak percaya
sama sekali kepada dunia ghaib, hal-hal yang berbau klenik, dan termasuk juga
tidak percaya akan adanya jin. Kelompok ini terdiri dari orang-orang yang
sangat mendewa-dewakan akal dan para pemuja logika. Mereka menyebut dirinya
sebagai orang yang yang berpikiran rasional. Atau, mungkin lebih tepat jika
dikatakan rasio minded. Mereka yang masuk dalam kelompok ini selalu menilai
segala permasalahan dan mengamati semua fenomena yang ada hanya berdasarkan
logika an sich. Sedikit saja ada yang tidak bisa diterima akal, langsung mereka
tolak. Akan tetapi, biasanya orang-orang semacam ini akan berbalik seratus
delapan puluh derajat apabila kena batunya. Dalam arti kata, sekali saja di
antara mereka ada yang mengalami sendiri peristiwa ini, atau melihat langsung
dengan mata kepalanya, niscaya dia akan menjadi orang yang akan sangat percaya
kepada hal-hal yang berbau klenik, mistik, dan yang semacamnya. Karena, dia
sudah kena batunya ;
2. Kelompok kedua : Adalah mereka yang kelewat percaya kepada hal-hal
seperti ini. Siapa pun bisa masuk ke dalam kelompok ini. Entah itu, pejabat,
artis, seniman, intelektual, atau bahkan ustadz dan kyai sekalipun. Karena
memang negara ini sudah terlalu dalam terjerumus ke jurang perklenikan, mistik,
dan kemusyrikan. Sehinga orang-orang yang dikenal sebagai orang pandai dan
tokoh publik pun terkadang masih saja percaya kepada klenik dan mistik. Orang
semacam mereka ini, selalu mengait-ngaitkan suatu masalah atau kejadian dengan
hal-hal yang berbau klenik dalam berbagai kisi kehidupannya. Seolah-olah jika
tidak berklenik-ria, hidup mereka menjadi tidak afdhal. Bahkan tidak jarang
untuk melakukan sesuatu atau mengambil satu keputusan penting pun, mereka
menunggu wangsit atau mimpi terlebih dulu. Dan, fenomena semacam inilah yang
paling banyak berada di sekitar kita ;
3. Kelompok ketiga : Hampir sama dengan sebelumnya, akan
tetapi kelompok ini jauh lebih parah lagi. Karena mereka adalah orang-orang
yang sudah diperbudak oleh klenik. Mereka adalah para dukun, tukang sihir,
tukang santet, ‘orang pintar’, paranormal, dan yang satu species dengan mereka.
Sejatinya, mereka adalah para budak setan dan jin. Mereka sadar ataupun tidak,
mengaku maupun tidak, telah mengadakan perjanjian tertentu dengan jin untuk
melakukan hal-hal yang dikehendaki oleh sang tuan jin. Sebagai imbalannya,
mereka mendapatkan kelebihan dan daya linuwih di atas rata-rata manusia.
Bentuknya macam-macam. Ada yang ahli di bidang pengobatan. Ada yang pakar
santet. Ada yang jago meramal. Ada yang buka biro jodoh. Dan paling banyak
adalah yang jago tipu! Anggota kelompok ini, yakni dukun and his gank,
mempunyai andil sangat besar dalam memperparah keterpurukun bangsa ini ke dalam
jurang perklenikan dan segala hal yang beraroma mistik. Merekalah yang turut
berperan menambah kebodohan bangsa yang sudah terlanjur bodoh ini. Korban mereka
beraneka ragam. Dari yang katanya cerdas, hingga yang benar-benar bodoh. Dari
elit politik, sampai orang yang benar-benar tidak tahu politik. Dari mereka
yang ahli berakting di sinetron, sampai orang yang sama sekali tidak tahu apa
itu sinetron. Dan akhirnya, jadilah bangsa ini menjadi bangsa klenik yang
selamanya tidak akan pernah maju (jika terus berklenik-ria) ;
4. Kelompok yang keempat : Adalah
kaum muslimin yang percaya kepada kepada hal-hal ghaib sebatas yang
diberitahukan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam kitab-Nya dan Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam sunnahnya.
Tugas
utama Hakim adalah mengadili suatu perkara dan menjatuhkan putusan yang
didasarkan kepada KETUHANAN YANG MAHA ESA, yang dituangkan di dalam irah-irah /
kepala putusan. Hal ini mempunyai tujuan bahwa setiap Hakim haruslah seseorang
yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang bersifat Maha Ghaib dan untuk
selalu mengingatkan bahwa semua putusan Hakim akan dipertanggungjawabkan di
hadapan Tuhan Yang Maha Adil, mengingat keadilan adalah sesuatu yang bersifat
relatif, dalam arti, keadilan yang dirasakan oleh seseorang belum tentu sama
dengan keadilan yang dirasakan oleh orang lain.
Berkaitan dengan pengertian
keadilan menurut Frans Magnis Suseno
yang mengatakan pendapatnya tentang pengertian keadilan adalah keadaan
antarmanusia yang diperlakukan dengan sama sesuai dengan hak dan kewajibannya
masing-masing. Pengertian keadilan menurut Notonegoro yang berpendapat bahwa keadilan adalah suatu keadaan
dikatakan adil jika sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Pengertian
keadilan menurut Thomas Hubbes
yang mengatakan bahwa pengertian keadilan adalah sesuatu perbuatan dikatakan
adil apabila telah didasarkan pada perjanjian yang telah disepakati. Pengertian
keadilan menurut Plato yang
menyatakan bahwa pengertian keadilan adalah diluar kemampuan manusia biasa
dimana keadilan hanya dapat ada di dalam hukum dan perundang-undangan yang
dibuat oleh para ahli yang khususnya memikirkan hal itu. Pengertian keadilan
menurut W.J.S Poerwadarminto
yang mengatakan bahwa pengertian keadilan adalah tidak berat sebelah,
sepatutnya tidak sewenang-wenang. Pengertian keadilan menurut definisi Imam Al-Khasim adalah mengambil hak
dari orang yang wajib memberikannya dan memberikannya kepada orang yang berhak
menerimanya.[13]
Pendapat lainnya mengatakan, Keadilan
adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai
sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian besar teori, keadilan
memiliki tingkat kepentingan yang besar. John Rawls,
filsuf Amerika
Serikat yang dianggap salah satu filsuf politik terkemuka abad ke-20,
menyatakan bahwa "Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari
institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran"
Tapi, menurut kebanyakan teori juga, keadilan belum lagi tercapai: "Kita
tidak hidup di dunia yang adil." Kebanyakan orang percaya bahwa
ketidakadilan harus dilawan dan dihukum, dan banyak gerakan sosial dan politis
di seluruh dunia yang berjuang menegakkan keadilan. Tapi, banyaknya jumlah dan
variasi teori keadilan memberikan pemikiran bahwa tidak jelas apa yang dituntut
dari keadilan dan realita ketidakadilan, karena definisi apakah keadilan itu
sendiri tidak jelas. keadilan intinya adalah meletakkan segala sesuatunya pada
tempatnya.[14]
Sedangkan Aristoteles
mengatakan, bahwa ada 5 jenis perbuatan yang tergolong dengan adil. Lima jenis keadilan
yang dikemukakan oleh Aristoteles ini adalah sebagai berikut :[15]
- Keadilan Komutatif, yaitu Keadilan komutatif ini adalah suatu perlakuan kepada seseorang dengan tanpa melihat jasa-jasa yang telah diberikan.
- Keadilan Distributif, yaitu Keadilan distributif adalah suatu perlakuan terhadap seseorang yang sesuai dengan jasa-jasa yang telah diberikan.
- Keadilan Kodrat Alam, yaitu Keadilan kodrat alam ialah memberi sesuatu sesuai dengan apa yang diberikan oleh orang lain kepada kita sendiri.
- Keadilan Konvensional, yaitu Keadilan konvensional adalah suatu kondisi dimana jika seorang warga negara telah menaati segala peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan.
- Keadilan Perbaikan, yaitu Keadilan perbaikan adalah jika seseorang telah berusaha memulihkan nama baik seseorang yang telah tercemar.
Dalam Keadilan Pancasila, maka akan
terdapat konsekwensi
nilai-nilai keadilan yang harus terwujud dalam kehidupan bersama meliputi :[16]
1. Keadilan
distributif : Aristoteles berpendapat bahwa keadilan akan terlaksana bilamana
hal-hal yang sama diperlukan secara sama dan hal-hal yang tidak sama diperlukan
tidak sama ( just ice is done when equelz are treated equally ). Keadilan distributive
sendiri yaitu suatu hubungan keadilan antara Negara terhadap warganya, dalam
arti pihak negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk keadilan
membagi, dalam bentuk kesejahteraan, bantuan, subsidi serta kesempatan dalam
hidup bersama yang didasarkan atas hak dan kewajiban ;
2. Keadilan
Legal ( Keadilan Bertaat ) : Yaitu suatu hubungan keadilan antara warga Negara
terhadap negara dan dalam masalah ini pihak wargalah yang wajib memenuhi
keadilan dalam bentuk mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam
Negara. Plato berpendapat bahwa keadilan dan hukum merupakan subtansi rohani
umum dari masyarakat yang membuat dan menjadi kesatuannya. Dalam masyarakat
yang adil setiap orang menjalankan pekerjaan menurut sifat dasarnya paling
cocok baginya ( the man behind the gun ). Pendapat Plato itu disebut keadilan
moral, sedangkan untuk yang lainnya disebut keadilan legal ;
3. Keadilan
Komulatif : Yaitu suatu hubungan keadilan antara warga satu dengan yang lainnya
secara timbal balik. Keadilan ini bertujuan untuk memelihara ketertiban
masyarakat dan kesejahteraan umum. Bagi Aristoteles pengertian keadilan ini
merupakan ases pertalian dan ketertiban dalam masyarakat. Semua tindakan yang
bercorak ujung ekstrem menjadikan ketidak adilan dan akan merusak atau bahkan
menghancurakn pertalian dalam masyarakat.
Nilai-nilai keadilan tersebut
haruslah merupakan suatu dasar yang harus diwujudkan dalam hidup bersama
kenegaraan untuk mewujudkan tujuan Negara yaitu mewujudkan kesejahteraan
seluruh warganya serta melindungi seluruh warganya dan wilayahnya, mencerdaskan
seluruh warganya. Demikian pula nilai-nilai keadilan tersebut sebagai dasar
dalam pergaulan antara Negara sesama bangsa didunia dan prinsip ingin
menciptakan ketertiban hidup bersama dalam suatu pergaulan antar bangsa didunia
dengan berdasarkan suatu prinsip kemerdekaan bagi setiap bangsa, perdamaian
abadi serta keadilan dalam hidup bersama (keadilan sosial).[17]
Dari berbagai pengertian mengenai
KEADILAN, maka kiranya dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa keadilan tumbuh dan
berkembang berdasarkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, sehingga
keadilan yang ada pada suatu daerah dan pada suatu waktu tertentu akan berbeda
dengan keadilan pada masyarakat yang lain dan pada waktu yang berbeda. Meski g
laidemikian, semua pendapat tersebut mempunyai satu tujuan yaitu setiap orang
mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan setiap orang harus menghormati hak
dari orang lain.
Sekalipun seseorang yang dijadikan
tersangka maupun terdakwa, tetap memiliki hak untuk diperlakukan secara
manusiawi, sebab tidak semua tindak pidana yang dilakukan oleh pelakunya
dilakukan dengan kesengajaan akan tetapi ada tindak pidana yang dilakukan
dikarenakan oleh kealpaan atau ketidaksengajaan oleh pelakunya.
Selama proses penegakan hukum, mulai
dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan dan menjalankan eksekusi
atas putusan Hakim, seseorang yang menjadi pelaku tindak pidana tetap untuk
mendapatkan hak-haknya.
C2. Praktek Selama Persidangan
Pada hakekatnya, tugas Hakim dalam proses
penegakan hukum sangat vital dan sangat menentukan nasib seseorang maupun
sekelompok orang (masyarakat) yang berupaya mencari keadilan. Hakim harus
selalu bersikap imparsial, dalam arti tidak memihak para pihak yang bersengketa
dan selalu menempatkan dirinya di tengah para pencari keadilan, hal ini supaya
proses persidangan berjalan seimbang dan dapat menghasilkan putusan yang
benar-benar berisikan rasa keadilan sebagaimana diharapkan oleh para pencari
keadilan.
Penegakan Hukum itu harus konsisten supaya
masyarakat memahami, mana HUKUM dan mana yang BUKAN HUKUM. Sebagai bagian dari
proses sosial, penegakan kepastian hukum itu bertumpu pada 2 (dua) komponen
utama, yaitu :[18]
1. Hukum
itu harus bisa memberikan kepastian dalam orientasi kepada masyarakat. Dalam hal
ini dikenal asas kepastian orientasi yaitu Certitudo
atau Orientierungssicherheit, yaitu
orang memahami, perilaku yang bagaimana yang diharapkan oleh orang lain
daripadanya dan respon yang bagaimana yang dapat diharapkannya dari orang lain
baagi perilakunya itu ;
2. Kepastian
dalam penerapan hukum oleh penegak hukum, Jangan sampai terjadi bahwa sekali
ini suatu ketentuan hukum dilaksanakan, tetapi lain kali ketentuan yang sama
tidak dilaksanakan. Terdapat suatu asas yaitu Securitas atau Realisierungssherheit
adalah asas kepastian realitas hukum
yang memungkinkan orang untuk mengandalkan pada perhitungan, bahwa norma-norma
yang berlaku memang dihormati dan dilaksanakan, keputusan-keputusan pengadilan
sungguh-sungguh dilaksanakan dan perjanjian-perjanjian ditaati.
Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman telah menyebutkan di dalam Pasal 1 angka 1 yaitu “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”
dan Pasal 1 angka 2 yang menyatakan “Mahkamah Agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945”.
Hakim, sebagai salah satu unsur utama di Mahkamah
Agung dan Badan Peradilan di bawahnya, tentunya memiliki kedudukan yang sangat
penting di dalam proses penegakan hukum, utamanya selama persidangan. Secara etimologi atau
secara umum, Bambang Waluyo, S.H. menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Hakim adalah organ pengadilan yang dianggap memahami
hukum, yang dipundaknya telah diletakkan kewajiban dan tanggung jawab
agar hukum dan keadilan itu ditegakkan, baik yang berdasarkan kepada tertulis
atau tidak tertulis (mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak atau kurang jelas), dan tidak boleh ada satupun yang bertentangan
dengan asas dan sendi peradilan berdasar Tuhan Yang Maha Esa.[19]
Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa para pihak
yang bersengketa, terutama di persidangan, akan berupaya mempengaruhi
Hakim-Hakim yang menyidangkan perkaranya. Upaya tersebut tidak hanya dilakukan
dalam bentuk janji-janji memberikan sesuatu, baik uang maupun segala bentuk
barang maupun jasa lainnya, akan tetapi juga dalam bentuk yang tidak kasat mata
(atau tidak terlihat oleh mata lahiriah). Upaya-upaya dalam bentuk yang tidak
kasat mata itu yang dikenal dengan istilah KLENIK dan karena upaya-upaya tidak
kasat mata tersebut dilakukan dalam bidang hukum maka kita dapat menyebutnya
sebagai KLENIK HUKUM.
Dilihat dari segi sifatnya, mistik dibagi menjadi dua
bagian, yaitu mistik biasa dan mistik magis. Mistik biasa adalah mistik tanpa
kekuatan tertentu.. Mistik magis adalah mistik yang mengandung kekuatan
tertentu dan biasanya untuk mencapai tujuan tertentu.[20]
Suburnya praktek klenik antara lain ditopang oleh
kondisi masyarakat yang umumnya awam terhadap agama namun memiliki rasa fanatisme
spiritual yang tinggi, kondisi ini menjadikan masyarakat memiliki tingkat
sugestibel yang tinggi (higly suggestible), sehingga lebih reseptif (mudah
menerima) gagasan baru yang dikaitkan dengan ajaran agama/spiritual sedangkan faktor-faktor
lain yang mendukung timbul dan berkembangnya aliran seperti ini adalah kekosongan
spiritual dan penderitaan sebab bagi mereka yang memiliki kesadaran beragama
yang rendah atau tidak sama sekali, umumnya jika mengalami penderitaan
cenderung akan kehilangan pegangan hidup sebab di saat-saat seperti ini pula
mereka menjadi sangat sugestibel (mudah menerima sugesti), hal ini sesuai
dengan pendapat Prof Buya Hamka yang menjelaskan pula bahwa dari ordo-ordo
klenik akan muncul berbagai macam sekte dan aliran kepercayaan dalam tubuh
masyarakat.[21]
Praktek seperti ini sebenarnya dilakukan karena
ketidakyakinan dari para pencari keadilan bahwa keadilan yang didambakannya
seharusnya berdasarkan fakta-fakta yang sebenarnya terjadi di dalam dirinya
yang kemudian diungkapkan di persidangan dan bukan dikarenakan adanya
upaya-upaya yang tidak masuk akal tersebut. Hal ini mengingat tugas seorang
Hakim dalam menyidangkan suatu peraka bukanlah tugas yang ringan, nasib
seseorang atau para pencari keadilan sangat tergantung pada putusan Hakim.
Rambu-rambu pelaksanaan tugas Hakim dalam melakasanakan tugasnya telah
ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang
menyebutkan, “Hakim dan hakim konstitusi
wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat”. Khusus bagi Hakim di lingkungan Peradilan
umum, hal ini dipertegas dalam ketentuan Pasal 68A Undang-Undang
Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, yang menyatakan :
(1)
Dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim
harus bertanggung jawab atas penetapan dan
putusan yang dibuatnya ;
(2)
Penetapan
dan putusan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
harus memuat pertimbangan
hukum hakim yang didasarkan
pada alasan dan
dasar hukum yang tepat dan benar.
Ketidakyakinan dan kepercayaan yang tinggi terhadap
hal-hal yang berbau mistis atau klenik inilah yang menyebabkan pencari keadilan
menganggap bahwa upayanya mempengaruhi Hakim dengan menggunakan hal-hal yang
bersifat mistis adalah jalan terbaik dalam mendapatkan keadilan. Hal ini
menimbulkan suatu fenomena bahwa para pencari keadilan sudah tidak mempecaai
lagi sikap Hakim yang imparsial dan menganggap bahwa Hakim akan memihak pada
salah satu pihak yang bersengketa di pengadilan.
Menjadi tantangan bagi Hakim dan juga seluruh aparat
penegak hukum, untuk selalu mendudukkan posisinya yang selalu imparsial dalam
rangka mengurangi terjadinya praktek-praktek mistis atau klenik di dalam
persidangan. Menjadi tugas Hakim yang menyidangkan suatu perkara baik perkara
perdara maupun perkara pidana, untuk menjelaskan kepada para pencari keadilan
yang bersidang mengenai tahapan-tahapan persidangan dan bagaimana para pihak
dapat mengajukan pembuktian untuk menguatkan dalil-dalilnya. Hakim hatus mampu
meyakinkan para pihak bahwa proses mencari keadilan yang benar adalah dengan
melalui cara pembuktian yang benar dan bukan melalui cara-cara yang berifat
mistis ataupun klenik yang justru bukan tidak mungkin akan menjerumuskan
pelakunya karena dianggap telah melakukan perbuatan yang menghina institusi
peradilan.
Untuk para karyawan di setiap pengadilan, kiranya
tidak lepas dari tanggung jawab untuk memberikan pemahaman kepada para pencari
keadilan mengenai tata cara berperkara di pengadilan dengan menjelaskan
tahapan-tahapan persidangan dan juga mengingatkan kepada para pencari keadilan
bahwa para pencari keadilan juga harus dapat membuktikan dalil-dalilnya dengan
mengajukan bukti-bukti yang dapat mendukung dalil-dalilnya dan bukti-bukti
tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selain itu, apabila aparat
pengadilan menemukan atau melihat terdapat upaya untuk melakukan
praktek-praktek yang bersifat maupun klenik, maka aparat pengadilan tersebut
dapat segera menyingkirkannya atau apabila dikehaui orang yang melakukannya,
maka harus segera ditegur dan diingatkan bahwa perbuatan tersebut tidak benar
karena tidak berhubungan dengan upaya melakukan pembuktian di persidangan dan
praktek-praktek seperti tidak akan berguna di dalam persidangan.
Yang dibutuhkan oleh para pencari keadilan adalah
sikap imparsial dari aparat pengadilan, terutama adalah Hakim. Sikap ketidaknetralan dari aparat pengadilan akan
menimbulkan praduga-praduga negatif dari para pencari keadilan yang bisa
berujung pada dilakukannya upaya atau tindaka-tindakan yang mengadung unsur
mistis atau klenik, dalam upaya mempengaruhi Hakim agar berpihak pada pelaku
upaya mistis tersebut. Pada era modernisasi seperti saat ini, harus diakui
bahwa masih banyak kelompok-kelompok masyarakat yang masih percaya pada hal-hal
mistis atau klenik dan masih mempercayai bahwa segala untuk mendapatkan tujuan
yang ingin diraihnya harus cara-cara mistis atau klenik.
Adnya fenomena ini dan fenomena ini terjadi juga dalam
praktek persidangan, maka kita semua sebagai aparat hukum dapat memberikan
pencerahan dan penjelasan secara logis bahwa praktek-praktek mistis tidak
membawa manfaat selama persidangan. Keberhasilan para pencari keadilan untuk
mendapatkan keadilan adalah didasarkan pada upayanya yang dapat mengajukan
pembuktian yang kuat atas semua dalil-dalilnya dan bukan didasarkan atas
upaya-upaya praktek mistis atau klenik. Dengan pemahaman yang diberikan secara
terus-menerus oleh aparat pengadilan, ketika terjadi praktek misitisme atau
klenik selama persidangan, diharapkan proses persidangan tidak terganggu lagi oleh praktek-praktek semacam itu, sebab
langsung maupun prkatek tersebut juga akan mengganggu konsentrasi Hakim ketika
bersidang. Dengan lancarnya persidangan maka proses untuk mendapatkan keadilan
bagi para pencari keadilan juga akan semakin cepat tercapai.
D. KESIMPULAN
Dari uraian tersebut di atas, kiranya dapat kita mengambil kesimpulan
sebagai berikut :
1. Praktek
mistisme atau klenik masih dijumpai dalam persidangan di Indonesia ;
2. Praktek
mistisme atau klenik yang dilakukan di pengadilan selama proses persidangan
bertujuan untuk mempengaruh Hakim agar berpihak pada pelaku praktek mistisme
atau klenik ;
3. Aparat
pengadilan dari mulai pegawai hingga Hakim supaya meberikan penjelasan secara
jelas kepada para pencari keadilan, bahwa keadilan dapat diperoleh dengan proses
pembuktian yang baik dan bukan melalui praktek mistisme atau klenik.
E. DAFTAR
BACAAN
1. Ali
Mansyur, ANEKA PERSOALAN HUKUM (Masalah
Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum, 2010, Penerbit Unisula bekerjasama
dengan Penerbit Teras, Semarang ; .
3. Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen Keempat ;
5. http://www.artikata.co//klenik,
diunduh tanggal 11 Mei 2016 ;
6. http://www.kompasiana.com/metik/klenik-adalah-realilitas-berdampingan-dengan-dunia-nyata_552b2d8af17e61297bd623ae, diunduh tanggal 11 Mei 2016 ;
7. https://id.wikipedia.org/wiki/Klenik,
diunduh tanggal 11 Mei 2016 ;
9. http://ibudewirembulan.blogspot.co.id/2013/08/antara-hal-yang-gaib-dan-klenik.html, diunduh tanggal 11 Mei 2016 ;
10. http://www.artikelsiana.com/2015/01/pengertian-keadilan-macam-macam-keadilan.html, diunduh
tanggal 29 September 2015 ;
11. https://id.wikipedia.org/wiki/Keadilan,
diunduh tanggal 29 September 2015 ;
12. http://www.habibullahurl.com/2015/01/teori-keadilan-menurut-aristoteles.html,
diunduh tanggal 29 September 2015
13. http://www.pusakaindonesia.org/nilai-dasar-sila-kelima-dalam-pancasila/,
diunduh 8 Agustus 2014 ;
14. Budioono
Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum (Problematik Ketertiban Yang Adil), Penerbit
CV. Mandar Maju – Bandung, hlm.172-173.
15. http://www.sarjanaku.com/2013/03/pengertian-hakim-tugas-fungsi-dan.html,
diunduh tanggal 18112015 ;
[1] Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung
RI, Mahasiswa Program Doktoral pada Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas
Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang ;
[2]
Ali Mansyur, ANEKA PERSOALAN
HUKUM (Masalah Perjanjian, Konsumen dan
Pembaharuaan Hukum, 2010, Penerbit Unisula bekerjasama dengan Penerbit Teras,
Semarang, h. 148.
[4] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 Amandemen Keempat ;
[5]http://1ia17meiliawati.blogspot.com/2012/04/kasus-penegakan-hukum-di-indonesia.html
[7]http://www.kompasiana.com/metik/klenik-adalah-realilitas-berdampingan-dengan-dunia-nyata_552b2d8af17e61297bd623ae, diunduh
tanggal 11 Mei 2016 ;
[9]
http://garasikeabadian.blogspot.co.id/2013/03/seputar-klenik.html, diunduh tanggal 11 Mei 2016 ;
[10] http://garasikeabadian.blogspot.co.id/2013/03/seputar-klenik.html, diunduh tanggal 11 Mei 2016 ;
[11] http://garasikeabadian.blogspot.co.id/2013/03/seputar-klenik.html, diunduh tanggal 11 Mei 2016 ;
[12] http://ibudewirembulan.blogspot.co.id/2013/08/antara-hal-yang-gaib-dan-klenik.html, diunduh tanggal 11 Mei 2016 ;
[13]http://www.artikelsiana.com/2015/01/pengertian-keadilan-macam-macam-keadilan.html, diunduh tanggal 29 September 2015 ;
[15] http://www.habibullahurl.com/2015/01/teori-keadilan-menurut-aristoteles.html,
diunduh tanggal 29 September 2015
[16] http://www.pusakaindonesia.org/nilai-dasar-sila-kelima-dalam-pancasila/,
diunduh 8 Agustus 2014 ;
[17] http://www.pusakaindonesia.org/nilai-dasar-sila-kelima-dalam-pancasila/,
diunduh 8 Agustus 2014 ;
[18]
Budioono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum (Problematik Ketertiban Yang Adil),
Penerbit CV. Mandar Maju – Bandung,
hlm.172-173.
[19]http://www.sarjanaku.com/2013/03/pengertian-hakim-tugas-fungsi-dan.html,
diunduh tanggal 18112015 ;
[20]
http://garasikeabadian.blogspot.co.id/2013/03/seputar-klenik.html, diunduh tanggal 11 Mei 2016 ;
[21]
http://garasikeabadian.blogspot.co.id/2013/03/seputar-klenik.html, diunduh tanggal 11 Mei 2016 ;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar