Kamis, 02 Juni 2016

KLENIK HUKUM



KLENIK HUKUM, SUATU FENOMENA DALAM DUNIA PERADILAN DI INDONESIA
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE PRIJAMBODO, SH.MH[1]
A, Pendahuluan
Masyarakat Indonesia semakin mengerti hukum, hal itu merupakan fakta yang tidak bisa dipungkiri dan menjadi sinyal yang bagus bagi upaya penegakan hukum di Indonesia. Namun hal lain yang perlu dicermati adalah dengan semakin sadarnya masyarakat terhadap hukum tidak berbanding lurus dengan pelanggaran hukum yang terjadi. Seharusnya ketika kesadaran hukum meningkat maka secara otomatis tingkat pelanggaran hukum akan berkurang, oleh sebab itu upaya penegakan hukum masih menghadapi tantangan yang semakin berat.
Terhadap hal tersebut di atas untuk mengatasinya tentu membutuhkan proses penegakan hukum yang menyeluruh yang dimulai dari adanya penelitian atas suatu laporan tindak pidana, yang dilanjutkan dengan penyidikan suatu tindak pidana, proses penuntutan, proses persidangan, putusan pengadilan dan proses eksekusi atas putusan pengadilan. Ketika suatu tindak pidana terbukti di persidangan maka konsekuensinya adalah pelaku tindak pidana akan mendapat hukuman berupa pemidanaan, yang tentu saja akan meningkatkan jumlah penghuni “hotel prodeo” atau Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS).
Ada satu hal yang seringkali terjadi di saat proses hukum atas suatu perkara, baik perkara pidana maupun perdata adalah adanya upaya-upaya yang dilakukan para pihak dengan menggunakan cara-cara di luar nalar manusia, yaitu dengan menggunakan cara-cara klenik, yang tentu saja sangat berdekatan dengan cara-cara perdukunan. Hal ini dilakukan dengan tujuan perkara yang melibatkan pelaku klenik tersebut atau keluarga dan/atau koleganya bisa dimenangkan atau supaya seorang Terdakwa tidak dijadikan Terpidana. Suatu hal yang miris akan tetapi hal tersebut jamak terjadi (utamanya) dalam proses persidangan di Indonesia.
B. Permasalahan
Bahwa dari uraian sebagaimana tersebut diatas maka kiranya timbul suatu permaslahan, yaitu “Bagaimana upaya menghilangkan praktek klenik dalam proses persidangan di Indonesia ?” ;
C. Pembahasan
Terhadap upaya penegakan hukum, .Ali Mansyur, dalam bukunya ANEKA PERSOALAN HUKUM (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum), menyatakan bahwa “Dalam suatu Negara Hukum, supremasi HUKUM  seharusnya memperoleh tempat yang semestinya, fungsi Hukum  dalam arti materiil yang berusaha memberikan perlindungan kepada masyarakat dengan memperlaakukan tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan memberikan kedudukan Hukum bagi setiap orang.”[2]
Khususnya mengenai penegakan hukum di pengadilan, maka berdasarkan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyebutkan, “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Di dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP tersebut hanya menyebutkan “Ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang”. Oleh karena itu diperlukan kecermatan dari Hakim yang menyidangkannya, sehingga di dalam persidangan akan didapatkan fakta hukum yang sebenarnya terjadi untuk membuktikan bersalah tidaknya seseorang yang telah diduga telah melakukan tindak pidana.
Harus dipahami bahwa Hukum adalah suatu sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. Hukum akan menjadi berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan apabila masyarakat menggunakan hukum menuruti perilakunya. Hukum itu sendiri terbagi menjadi beberapa bidang, yaitu hukum pidana atau hukum publik, hukum perdata atau hukum pribadi, dan hukum acara, hukum tata Negara, hukum administrasi Negara atau hukum tata usaha Negara, hukum internasional, hukum adat, hukum islam, hukum agraria, hukum bisnis, dan hukum lingkungan. Dari hukum-hukum tersebut masing-masing mempunyai tujuan yang sama, yaitu bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula berdasar pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat.[3]
Sebagaimana telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Amandemen keempat dalam Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”[4], maka sudah pada tempatnya apabila Negara memperlakukan setiap warga negaranya secara sejajar di muka hukum. Sehingga tdak menimbulkan perilaku yang membeda-bedakan berdasarkan alasan apapun di dalam upaya penegakan hukum.
            Sampai saat ini masih sering terjadi, pelaksanaan penegakan hukum yang mencederai rasa keadilan masyarakat. Hal tersebut tidak hanya karena perilaku para aparat penegak hukum tetapi juga karena ketidaktahuan masyarakat akan peraturan yang dilanggarnya. Penegakkan hukum di Indonesia masih sangat tidak adil, karena masih melihat latar belakang dan kedudukan seseorang. Hukum hanya berpihak kepada mereka yang mempunyai kekuasaan, sedangkan bagi yang tidak memiliki kekuasaan, mereka tetaplah tertindas.[5]
Ketika seseorang harus berhadapan dengan hukum baik sebagai tersangka / terdakwa maupun sebagai saksi korban, maka tentu akan berhadapan dengan kesulitan di dalam prosedur-prosedur dalam proses penegakan hukum. Terlebih pada saat ini masih cukup banyak anggota masyarakat yang belum melek hukum dan merasa segan untuk bersentuhan dengan hukum mengingat begitu rumit dan berbelitnya proses penegakan hukum, belum lagi masih terdapat aparat-aparat penegak hukum yang masih suka “bermain mata” demi keuntungan pribadi.
Seseorang yang harus berhadapan dengan hukum tentu ingin mendapatkan keadilan, terutama bagi orang menjadi korban dari suatu tindak pidana. Meskipun harus dipahami bahwa masih terdapat multitafsir terhadap arti dari keadilan, yang tidak sama antara pemahaman seseorang dengan orang lain. Seringkali, karena ketidaktahuan dan juga faktor kepercayaan yang sangat kental, menyebabkan seseorang aakan meminta bantuan orang lain yang memahami dunia klenik untuk membantunya selama proses hukum dan orang yang dimintai bantuan tersebut membantu dalam bentuk melakukan tindakan yang dianggap diluar akal sehat dan mendekati praktek perdukunan.
C1. Arti Klenik
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dimaksud dengan klenik adalah kegiatan perdukunan (pengobatan dsb) dengan cara-cara yang sangat rahasia dan tidak masuk akal, tetapi dipercayai oleh banyak orang.[6] Pendapat lain menjelaskan mengenai klenik yaitu menjelaskan bahwa alam semesta terdiri dari dua dunia, dunia nyata dan dunia tidak nyata, dimana  dunia nyata adalah dunia yang dapat dilihat dengan indra penglihatan secara langsung, sedangkan dunia tidak nyata adalah dunia yang tidak dapat dilihat secara langsung menggunakan indra penglihatan secara langsung, pada dunia tidak nyata ini sering disebut dengan dunia ghaib, klenik, perdukunan dan dunia nyata adalah bagian dari alam semesta yang dihuni oleh manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan, sebenarnya ada lagi mahluk hidup yang tinggal di dalamnya, yaitu air, udara,  tanah, dan api akan tetapi keempat unsur alam ini  secara science tidak diakui sebagai mahluk hidup karena mereka tidak tumbuh dan bergerak dan bagi dunia spiritual Jawa dan China keempat unsur kehidupan ini adalah pembentuk dasar kehidupan di alam semesta, bagian dari setiap mahluk hidup. [7]
Ilmu Klenik adalah Pengetahuan yang menjelaskan hal-hal yang gaib mengenai hal-hal yang bersifat tersembunyi dan merupakan wilayah misteri dan salah satu ilmu atau pengetahuan yang ada diwilayah klenik adalah agama, sebab banyak hal dalam agama yang tidak dapat diuji kebenarannya (diverifikasi) karena kebenarannya hanya bisa dimengerti oleh mereka yang menempuh ilmu makrifat oleh sebab itu bagi orang awam kebenaran agama cukup diyakini, Ini klenik namanya! Namun jangan salah terima, ini tidak berarti agama menyesatkan orang, tidak demikian karena hal-hal yang bersifat klenik pun dimaksudkan untuk kesejahteraan manusia, dan bukan untuk mendorong manusia ke dunia gelap.[8]
Klenik sangat berkaitan dengan mistisme yang berasal dari bahasa Yunani Meyein, yang artinya “menutup mata” dan kata mistik biasanya digunakan untuk menunjukkan hal-hal yang berkaitan dengan pengetahuan tentang misteri, dalam arti luas, mistik dapat didefinisikan sebagai kesadaran terhadap kenyataan tunggal, yang mungkin disebut kearifan, cahaya, cinta atau nihil[2]. Mistisisme (mysticism) secara bahasa merupakan gabungan antara kata mistik (mystic) dengan imbuhan isme yang menyatakan paham (ajaran), sehingga mistisisme memiliki makna paham (ajaran) tentang mistik, sedangkan kata mistis merupakan gabungan antara kata mistik dengan imbuhan is yang menyatakan sifat, sehingga misitis memiliki makna bersifat mistik.[9]
William James menjelaskan tentang kondisi mistisisme. Menurutnya, kondisi tersebut ditandai dengan empat karakteristik :[10]
1.    Ineffability (tidak dapat diungkapkan), merupakan suatu kondisi yang mustahil dapat dideskripsikan atau dijabarkan, kondisi tersebut merupakan perasaan (state of feeling) yang sulit dilakukan pada orang lain dengan detail kata seteliti apa pun ;
2.    Neotic, yaitu merupakan merupakan suatu kondisi pemahaman sebab bagi para pelakunya ia merupakan kondisi pengetahuan. Dalam kondisi tersebut tersingkap hakikat realitas yang baginya merupakan ilham dan bukan pengetahuan demonstratif ;
3.    Transiency, yaitu merupakan suatu kondisi yang cepat sirna. Dengan kata lain, ia tidak langsung tinggal lama pada sang sufi atau mistikus, tapi ia menimbulkan kesan-kesan yang sangat kuat dalam ingatan ;
4.    Passivity, yaitu  merupakan kondisi pasif
Dari ke empat karakteristik yang disampaikan James diatas dapat menjadikan penguat bahwa mistisme berbeda dengan yang disebut klenik dan gugon tuhon. Sebaliknya mistik merupakan tindakan atau perbuatan yang adiluhung, penuh keindahan, atas dasar dorongan dari budi pekerti luhur atau akhlak mulia. Mistik sarat akan pengalaman-pengalaman spiritual. Yakni bentuk pengalaman-pengalaman halus, terjadi sinkronisasi antara logika rasio dengan “logika” batin. Pelaku mistik dapat memahami noumena atau eksistensi di luar diri (gaib) sebagai kenyataan yang logis atau masuk akal. Sebab akal telah mendapat informasi secara runtut, juga memahami rumus-rumus yang terjadi di alam gaib.[11]
Dalam proses penegakan hukum, seringkali dijumpai orang yang terjerat masalah hukum, menggunakan jasa dukun atau orang-orang yang paham mengenai masalah klenik untuk membantu membebaskan dirinya dari jeratan hukum. Ditemukannya segala bentuk sesaji baik dari mulai proses penyelidikan hingga proses persidangan, bukan hal yang aneh. Adanya sesaji tersebut membuktikan bahwa seseorang yang terjerat hukum lebih mempercayai kekuatan ghaib yang bersifat mistis atau klenik tersebut.
Dalam praktek kegiatan yang mempercayai mistisme atau klenik, terdapat empat macam kelompok menyangkut hubungan antara manusia dengan dunia ghaib dan klenik ini, yaitu : [12]
1.     Kelompok pertama : Adalah mereka yang tidak percaya sama sekali kepada dunia ghaib, hal-hal yang berbau klenik, dan termasuk juga tidak percaya akan adanya jin. Kelompok ini terdiri dari orang-orang yang sangat mendewa-dewakan akal dan para pemuja logika. Mereka menyebut dirinya sebagai orang yang yang berpikiran rasional. Atau, mungkin lebih tepat jika dikatakan rasio minded. Mereka yang masuk dalam kelompok ini selalu menilai segala permasalahan dan mengamati semua fenomena yang ada hanya berdasarkan logika an sich. Sedikit saja ada yang tidak bisa diterima akal, langsung mereka tolak. Akan tetapi, biasanya orang-orang semacam ini akan berbalik seratus delapan puluh derajat apabila kena batunya. Dalam arti kata, sekali saja di antara mereka ada yang mengalami sendiri peristiwa ini, atau melihat langsung dengan mata kepalanya, niscaya dia akan menjadi orang yang akan sangat percaya kepada hal-hal yang berbau klenik, mistik, dan yang semacamnya. Karena, dia sudah kena batunya ;
2.     Kelompok kedua : Adalah mereka yang kelewat percaya kepada hal-hal seperti ini. Siapa pun bisa masuk ke dalam kelompok ini. Entah itu, pejabat, artis, seniman, intelektual, atau bahkan ustadz dan kyai sekalipun. Karena memang negara ini sudah terlalu dalam terjerumus ke jurang perklenikan, mistik, dan kemusyrikan. Sehinga orang-orang yang dikenal sebagai orang pandai dan tokoh publik pun terkadang masih saja percaya kepada klenik dan mistik. Orang semacam mereka ini, selalu mengait-ngaitkan suatu masalah atau kejadian dengan hal-hal yang berbau klenik dalam berbagai kisi kehidupannya. Seolah-olah jika tidak berklenik-ria, hidup mereka menjadi tidak afdhal. Bahkan tidak jarang untuk melakukan sesuatu atau mengambil satu keputusan penting pun, mereka menunggu wangsit atau mimpi terlebih dulu. Dan, fenomena semacam inilah yang paling banyak berada di sekitar kita ;
3.     Kelompok ketiga : Hampir sama dengan sebelumnya, akan tetapi kelompok ini jauh lebih parah lagi. Karena mereka adalah orang-orang yang sudah diperbudak oleh klenik. Mereka adalah para dukun, tukang sihir, tukang santet, ‘orang pintar’, paranormal, dan yang satu species dengan mereka. Sejatinya, mereka adalah para budak setan dan jin. Mereka sadar ataupun tidak, mengaku maupun tidak, telah mengadakan perjanjian tertentu dengan jin untuk melakukan hal-hal yang dikehendaki oleh sang tuan jin. Sebagai imbalannya, mereka mendapatkan kelebihan dan daya linuwih di atas rata-rata manusia. Bentuknya macam-macam. Ada yang ahli di bidang pengobatan. Ada yang pakar santet. Ada yang jago meramal. Ada yang buka biro jodoh. Dan paling banyak adalah yang jago tipu! Anggota kelompok ini, yakni dukun and his gank, mempunyai andil sangat besar dalam memperparah keterpurukun bangsa ini ke dalam jurang perklenikan dan segala hal yang beraroma mistik. Merekalah yang turut berperan menambah kebodohan bangsa yang sudah terlanjur bodoh ini. Korban mereka beraneka ragam. Dari yang katanya cerdas, hingga yang benar-benar bodoh. Dari elit politik, sampai orang yang benar-benar tidak tahu politik. Dari mereka yang ahli berakting di sinetron, sampai orang yang sama sekali tidak tahu apa itu sinetron. Dan akhirnya, jadilah bangsa ini menjadi bangsa klenik yang selamanya tidak akan pernah maju (jika terus berklenik-ria) ;
4.     Kelompok yang keempat : Adalah kaum muslimin yang percaya kepada kepada hal-hal ghaib sebatas yang diberitahukan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam kitab-Nya dan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam sunnahnya.
Tugas utama Hakim adalah mengadili suatu perkara dan menjatuhkan putusan yang didasarkan kepada KETUHANAN YANG MAHA ESA, yang dituangkan di dalam irah-irah / kepala putusan. Hal ini mempunyai tujuan bahwa setiap Hakim haruslah seseorang yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang bersifat Maha Ghaib dan untuk selalu mengingatkan bahwa semua putusan Hakim akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan Yang Maha Adil, mengingat keadilan adalah sesuatu yang bersifat relatif, dalam arti, keadilan yang dirasakan oleh seseorang belum tentu sama dengan keadilan yang dirasakan oleh orang lain.
 Berkaitan dengan pengertian keadilan menurut Frans Magnis Suseno yang mengatakan pendapatnya tentang pengertian keadilan adalah keadaan antarmanusia yang diperlakukan dengan sama sesuai dengan hak dan kewajibannya masing-masing. Pengertian keadilan menurut Notonegoro yang berpendapat bahwa keadilan adalah suatu keadaan dikatakan adil jika sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Pengertian keadilan menurut Thomas Hubbes yang mengatakan bahwa pengertian keadilan adalah sesuatu perbuatan dikatakan adil apabila telah didasarkan pada perjanjian yang telah disepakati. Pengertian keadilan menurut Plato yang menyatakan bahwa pengertian keadilan adalah diluar kemampuan manusia biasa dimana keadilan hanya dapat ada di dalam hukum dan perundang-undangan yang dibuat oleh para ahli yang khususnya memikirkan hal itu. Pengertian keadilan menurut W.J.S Poerwadarminto yang mengatakan bahwa pengertian keadilan adalah tidak berat sebelah, sepatutnya tidak sewenang-wenang. Pengertian keadilan menurut definisi Imam Al-Khasim adalah mengambil hak dari orang yang wajib memberikannya dan memberikannya kepada orang yang berhak menerimanya.[13]
Pendapat lainnya mengatakan, Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian besar teori, keadilan memiliki tingkat kepentingan yang besar. John Rawls, filsuf Amerika Serikat yang dianggap salah satu filsuf politik terkemuka abad ke-20, menyatakan bahwa "Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran" Tapi, menurut kebanyakan teori juga, keadilan belum lagi tercapai: "Kita tidak hidup di dunia yang adil." Kebanyakan orang percaya bahwa ketidakadilan harus dilawan dan dihukum, dan banyak gerakan sosial dan politis di seluruh dunia yang berjuang menegakkan keadilan. Tapi, banyaknya jumlah dan variasi teori keadilan memberikan pemikiran bahwa tidak jelas apa yang dituntut dari keadilan dan realita ketidakadilan, karena definisi apakah keadilan itu sendiri tidak jelas. keadilan intinya adalah meletakkan segala sesuatunya pada tempatnya.[14]
Sedangkan Aristoteles mengatakan, bahwa ada 5 jenis perbuatan yang tergolong dengan adil. Lima jenis keadilan yang dikemukakan oleh Aristoteles ini adalah sebagai berikut :[15]
  • Keadilan Komutatif, yaitu Keadilan komutatif ini adalah suatu perlakuan kepada seseorang dengan tanpa melihat jasa-jasa yang telah diberikan.
  • Keadilan Distributif, yaitu Keadilan distributif adalah suatu perlakuan terhadap seseorang yang sesuai dengan jasa-jasa yang telah diberikan.
  • Keadilan Kodrat Alam, yaitu Keadilan kodrat alam ialah memberi sesuatu sesuai dengan apa yang diberikan oleh orang lain kepada kita sendiri.
  • Keadilan Konvensional, yaitu Keadilan konvensional adalah suatu kondisi dimana jika seorang warga negara telah menaati segala peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan.
  • Keadilan Perbaikan, yaitu Keadilan perbaikan adalah jika seseorang telah berusaha memulihkan nama baik seseorang yang telah tercemar.
Dalam Keadilan Pancasila, maka akan terdapat konsekwensi nilai-nilai keadilan yang harus terwujud dalam kehidupan bersama meliputi :[16]
1.  Keadilan distributif : Aristoteles berpendapat bahwa keadilan akan terlaksana bilamana hal-hal yang sama diperlukan secara sama dan hal-hal yang tidak sama diperlukan tidak sama ( just ice is done when equelz are treated equally ). Keadilan distributive sendiri yaitu suatu hubungan keadilan antara Negara terhadap warganya, dalam arti pihak negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk keadilan membagi, dalam bentuk kesejahteraan, bantuan, subsidi serta kesempatan dalam hidup bersama yang didasarkan atas hak dan kewajiban ;
2.  Keadilan Legal ( Keadilan Bertaat ) : Yaitu suatu hubungan keadilan antara warga Negara terhadap negara dan dalam masalah ini pihak wargalah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam Negara. Plato berpendapat bahwa keadilan dan hukum merupakan subtansi rohani umum dari masyarakat yang membuat dan menjadi kesatuannya. Dalam masyarakat yang adil setiap orang menjalankan pekerjaan menurut sifat dasarnya paling cocok baginya ( the man behind the gun ). Pendapat Plato itu disebut keadilan moral, sedangkan untuk yang lainnya disebut keadilan legal ;
3.  Keadilan Komulatif : Yaitu suatu hubungan keadilan antara warga satu dengan yang lainnya secara timbal balik. Keadilan ini bertujuan untuk memelihara ketertiban masyarakat dan kesejahteraan umum. Bagi Aristoteles pengertian keadilan ini merupakan ases pertalian dan ketertiban dalam masyarakat. Semua tindakan yang bercorak ujung ekstrem menjadikan ketidak adilan dan akan merusak atau bahkan menghancurakn pertalian dalam masyarakat.
Nilai-nilai keadilan tersebut haruslah merupakan suatu dasar yang harus diwujudkan dalam hidup bersama kenegaraan untuk mewujudkan tujuan Negara yaitu mewujudkan kesejahteraan seluruh warganya serta melindungi seluruh warganya dan wilayahnya, mencerdaskan seluruh warganya. Demikian pula nilai-nilai keadilan tersebut sebagai dasar dalam pergaulan antara Negara sesama bangsa didunia dan prinsip ingin menciptakan ketertiban hidup bersama dalam suatu pergaulan antar bangsa didunia dengan berdasarkan suatu prinsip kemerdekaan bagi setiap bangsa, perdamaian abadi serta keadilan dalam hidup bersama (keadilan sosial).[17]
Dari berbagai pengertian mengenai KEADILAN, maka kiranya dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa keadilan tumbuh dan berkembang berdasarkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, sehingga keadilan yang ada pada suatu daerah dan pada suatu waktu tertentu akan berbeda dengan keadilan pada masyarakat yang lain dan pada waktu yang berbeda. Meski g laidemikian, semua pendapat tersebut mempunyai satu tujuan yaitu setiap orang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan setiap orang harus menghormati hak dari orang lain.
Sekalipun seseorang yang dijadikan tersangka maupun terdakwa, tetap memiliki hak untuk diperlakukan secara manusiawi, sebab tidak semua tindak pidana yang dilakukan oleh pelakunya dilakukan dengan kesengajaan akan tetapi ada tindak pidana yang dilakukan dikarenakan oleh kealpaan atau ketidaksengajaan oleh pelakunya.
Selama proses penegakan hukum, mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan dan menjalankan eksekusi atas putusan Hakim, seseorang yang menjadi pelaku tindak pidana tetap untuk mendapatkan hak-haknya.
C2. Praktek Selama Persidangan
Pada hakekatnya, tugas Hakim dalam proses penegakan hukum sangat vital dan sangat menentukan nasib seseorang maupun sekelompok orang (masyarakat) yang berupaya mencari keadilan. Hakim harus selalu bersikap imparsial, dalam arti tidak memihak para pihak yang bersengketa dan selalu menempatkan dirinya di tengah para pencari keadilan, hal ini supaya proses persidangan berjalan seimbang dan dapat menghasilkan putusan yang benar-benar berisikan rasa keadilan sebagaimana diharapkan oleh para pencari keadilan.
Penegakan Hukum itu harus konsisten supaya masyarakat memahami, mana HUKUM dan mana yang BUKAN HUKUM. Sebagai bagian dari proses sosial, penegakan kepastian hukum itu bertumpu pada 2 (dua) komponen utama, yaitu :[18]
1.     Hukum itu harus bisa memberikan kepastian dalam orientasi kepada masyarakat. Dalam hal ini dikenal asas kepastian orientasi yaitu Certitudo atau Orientierungssicherheit, yaitu orang memahami, perilaku yang bagaimana yang diharapkan oleh orang lain daripadanya dan respon yang bagaimana yang dapat diharapkannya dari orang lain baagi perilakunya itu ;
2.     Kepastian dalam penerapan hukum oleh penegak hukum, Jangan sampai terjadi bahwa sekali ini suatu ketentuan hukum dilaksanakan, tetapi lain kali ketentuan yang sama tidak dilaksanakan. Terdapat suatu asas yaitu Securitas atau Realisierungssherheit adalah asas kepastian  realitas hukum yang memungkinkan orang untuk mengandalkan pada perhitungan, bahwa norma-norma yang berlaku memang dihormati dan dilaksanakan, keputusan-keputusan pengadilan sungguh-sungguh dilaksanakan dan perjanjian-perjanjian ditaati.
Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman telah menyebutkan di dalam Pasal 1 angka 1 yaitu “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia” dan Pasal 1 angka 2 yang menyatakan Mahkamah Agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Hakim, sebagai salah satu unsur utama di Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya, tentunya memiliki kedudukan yang sangat penting di dalam proses penegakan hukum, utamanya  selama persidangan. Secara etimologi atau secara umum, Bambang Waluyo, S.H. menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Hakim adalah organ pengadilan yang dianggap memahami hukum, yang dipundaknya telah diletakkan kewajiban dan tanggung  jawab agar hukum dan keadilan itu ditegakkan, baik yang berdasarkan kepada tertulis atau tidak tertulis (mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas), dan tidak boleh ada satupun yang bertentangan dengan asas dan sendi peradilan berdasar Tuhan Yang Maha Esa.[19]
Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa para pihak yang bersengketa, terutama di persidangan, akan berupaya mempengaruhi Hakim-Hakim yang menyidangkan perkaranya. Upaya tersebut tidak hanya dilakukan dalam bentuk janji-janji memberikan sesuatu, baik uang maupun segala bentuk barang maupun jasa lainnya, akan tetapi juga dalam bentuk yang tidak kasat mata (atau tidak terlihat oleh mata lahiriah). Upaya-upaya dalam bentuk yang tidak kasat mata itu yang dikenal dengan istilah KLENIK dan karena upaya-upaya tidak kasat mata tersebut dilakukan dalam bidang hukum maka kita dapat menyebutnya sebagai KLENIK HUKUM.
Dilihat dari segi sifatnya, mistik dibagi menjadi dua bagian, yaitu mistik biasa dan mistik magis. Mistik biasa adalah mistik tanpa kekuatan tertentu.. Mistik magis adalah mistik yang mengandung kekuatan tertentu dan biasanya untuk mencapai tujuan tertentu.[20]
Suburnya praktek klenik antara lain ditopang oleh kondisi masyarakat yang umumnya awam terhadap agama namun memiliki rasa fanatisme spiritual yang tinggi, kondisi ini menjadikan masyarakat memiliki tingkat sugestibel yang tinggi (higly suggestible), sehingga lebih reseptif (mudah menerima) gagasan baru yang dikaitkan dengan ajaran agama/spiritual sedangkan faktor-faktor lain yang mendukung timbul dan berkembangnya aliran seperti ini adalah kekosongan spiritual dan penderitaan sebab bagi mereka yang memiliki kesadaran beragama yang rendah atau tidak sama sekali, umumnya jika mengalami penderitaan cenderung akan kehilangan pegangan hidup sebab di saat-saat seperti ini pula mereka menjadi sangat sugestibel (mudah menerima sugesti), hal ini sesuai dengan pendapat Prof Buya Hamka yang menjelaskan pula bahwa dari ordo-ordo klenik akan muncul berbagai macam sekte dan aliran kepercayaan dalam tubuh masyarakat.[21]
Praktek seperti ini sebenarnya dilakukan karena ketidakyakinan dari para pencari keadilan bahwa keadilan yang didambakannya seharusnya berdasarkan fakta-fakta yang sebenarnya terjadi di dalam dirinya yang kemudian diungkapkan di persidangan dan bukan dikarenakan adanya upaya-upaya yang tidak masuk akal tersebut. Hal ini mengingat tugas seorang Hakim dalam menyidangkan suatu peraka bukanlah tugas yang ringan, nasib seseorang atau para pencari keadilan sangat tergantung pada putusan Hakim. Rambu-rambu pelaksanaan tugas Hakim dalam melakasanakan tugasnya telah ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang menyebutkan, “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Khusus bagi Hakim di lingkungan Peradilan umum, hal ini dipertegas dalam ketentuan Pasal 68A Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, yang menyatakan :
(1)          Dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim harus bertanggung  jawab  atas  penetapan  dan  putusan  yang dibuatnya ;
(2)          Penetapan  dan  putusan  sebagaimana  dimaksud  pada ayat  (1)  harus  memuat  pertimbangan  hukum  hakim yang  didasarkan  pada  alasan  dan  dasar  hukum  yang tepat dan benar.
Ketidakyakinan dan kepercayaan yang tinggi terhadap hal-hal yang berbau mistis atau klenik inilah yang menyebabkan pencari keadilan menganggap bahwa upayanya mempengaruhi Hakim dengan menggunakan hal-hal yang bersifat mistis adalah jalan terbaik dalam mendapatkan keadilan. Hal ini menimbulkan suatu fenomena bahwa para pencari keadilan sudah tidak mempecaai lagi sikap Hakim yang imparsial dan menganggap bahwa Hakim akan memihak pada salah satu pihak yang bersengketa di pengadilan.
Menjadi tantangan bagi Hakim dan juga seluruh aparat penegak hukum, untuk selalu mendudukkan posisinya yang selalu imparsial dalam rangka mengurangi terjadinya praktek-praktek mistis atau klenik di dalam persidangan. Menjadi tugas Hakim yang menyidangkan suatu perkara baik perkara perdara maupun perkara pidana, untuk menjelaskan kepada para pencari keadilan yang bersidang mengenai tahapan-tahapan persidangan dan bagaimana para pihak dapat mengajukan pembuktian untuk menguatkan dalil-dalilnya. Hakim hatus mampu meyakinkan para pihak bahwa proses mencari keadilan yang benar adalah dengan melalui cara pembuktian yang benar dan bukan melalui cara-cara yang berifat mistis ataupun klenik yang justru bukan tidak mungkin akan menjerumuskan pelakunya karena dianggap telah melakukan perbuatan yang menghina institusi peradilan.
Untuk para karyawan di setiap pengadilan, kiranya tidak lepas dari tanggung jawab untuk memberikan pemahaman kepada para pencari keadilan mengenai tata cara berperkara di pengadilan dengan menjelaskan tahapan-tahapan persidangan dan juga mengingatkan kepada para pencari keadilan bahwa para pencari keadilan juga harus dapat membuktikan dalil-dalilnya dengan mengajukan bukti-bukti yang dapat mendukung dalil-dalilnya dan bukti-bukti tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selain itu, apabila aparat pengadilan menemukan atau melihat terdapat upaya untuk melakukan praktek-praktek yang bersifat maupun klenik, maka aparat pengadilan tersebut dapat segera menyingkirkannya atau apabila dikehaui orang yang melakukannya, maka harus segera ditegur dan diingatkan bahwa perbuatan tersebut tidak benar karena tidak berhubungan dengan upaya melakukan pembuktian di persidangan dan praktek-praktek seperti tidak akan berguna di dalam persidangan.
Yang dibutuhkan oleh para pencari keadilan adalah sikap imparsial dari aparat pengadilan, terutama adalah Hakim. Sikap  ketidaknetralan dari aparat pengadilan akan menimbulkan praduga-praduga negatif dari para pencari keadilan yang bisa berujung pada dilakukannya upaya atau tindaka-tindakan yang mengadung unsur mistis atau klenik, dalam upaya mempengaruhi Hakim agar berpihak pada pelaku upaya mistis tersebut. Pada era modernisasi seperti saat ini, harus diakui bahwa masih banyak kelompok-kelompok masyarakat yang masih percaya pada hal-hal mistis atau klenik dan masih mempercayai bahwa segala untuk mendapatkan tujuan yang ingin diraihnya harus cara-cara mistis atau klenik.
Adnya fenomena ini dan fenomena ini terjadi juga dalam praktek persidangan, maka kita semua sebagai aparat hukum dapat memberikan pencerahan dan penjelasan secara logis bahwa praktek-praktek mistis tidak membawa manfaat selama persidangan. Keberhasilan para pencari keadilan untuk mendapatkan keadilan adalah didasarkan pada upayanya yang dapat mengajukan pembuktian yang kuat atas semua dalil-dalilnya dan bukan didasarkan atas upaya-upaya praktek mistis atau klenik. Dengan pemahaman yang diberikan secara terus-menerus oleh aparat pengadilan, ketika terjadi praktek misitisme atau klenik selama persidangan, diharapkan proses persidangan tidak terganggu lagi  oleh praktek-praktek semacam itu, sebab langsung maupun prkatek tersebut juga akan mengganggu konsentrasi Hakim ketika bersidang. Dengan lancarnya persidangan maka proses untuk mendapatkan keadilan bagi para pencari keadilan juga akan semakin cepat tercapai.

D. KESIMPULAN
Dari uraian tersebut di atas, kiranya dapat kita mengambil kesimpulan sebagai berikut :
1.     Praktek mistisme atau klenik masih dijumpai dalam persidangan di Indonesia ;
2.     Praktek mistisme atau klenik yang dilakukan di pengadilan selama proses persidangan bertujuan untuk mempengaruh Hakim agar berpihak pada pelaku praktek mistisme atau klenik ;
3.     Aparat pengadilan dari mulai pegawai hingga Hakim supaya meberikan penjelasan secara jelas kepada para pencari keadilan, bahwa keadilan dapat diperoleh dengan proses pembuktian yang baik dan bukan melalui praktek mistisme atau klenik.

E. DAFTAR BACAAN
1.    Ali Mansyur, ANEKA PERSOALAN HUKUM  (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum, 2010, Penerbit Unisula bekerjasama dengan Penerbit Teras, Semarang ; .
3.    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen Keempat ;
5.    http://www.artikata.co//klenik, diunduh tanggal 11 Mei 2016 ;
7.    https://id.wikipedia.org/wiki/Klenik, diunduh tanggal 11 Mei 2016 ;
11. https://id.wikipedia.org/wiki/Keadilan, diunduh tanggal 29 September 2015 ;
14. Budioono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum (Problematik Ketertiban Yang Adil), Penerbit CV. Mandar Maju – Bandung, hlm.172-173.




[1] Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung RI, Mahasiswa Program Doktoral pada Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang ;
[2] Ali Mansyur, ANEKA PERSOALAN HUKUM  (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum, 2010, Penerbit Unisula bekerjasama dengan Penerbit Teras, Semarang, h. 148.
[3]  http://eprints.ums.ac.id/346/1/2._ZUDAN.pdf.
[4] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen Keempat ;
[5]http://1ia17meiliawati.blogspot.com/2012/04/kasus-penegakan-hukum-di-indonesia.html

[6] http://www.artikata.co//klenik, diunduh tanggal 11 Mei 2016 ;

[8] https://id.wikipedia.org/wiki/Klenik, diunduh tanggal 11 Mei 2016 ;
[14] https://id.wikipedia.org/wiki/Keadilan, diunduh tanggal 29 September 2015 ;

[18] Budioono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum (Problematik Ketertiban Yang Adil), Penerbit CV. Mandar Maju – Bandung, hlm.172-173.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...