Kamis, 23 Juni 2016

HUKUM ACARA PERDATA



HUKUM ACARA PERDATA
OLEH : SANTHOS WACHJOE P, SH.MH[1]


I.       Pendahuluan
Sebagai makhluk sosial, kehidupan seseorang tidak akan terlepas dari kehidupan orang lain. Selama berinteraksi, akan timbul perasaan saling membutuhkan tetapi juga seringkali menimbulkan perbedaan-perbedaan yang kadang kala menjadi perselisihan antar orang per orang maupun antar orang dengan badan hukum atau organisasi.
Bahwa, oleh karena itu timbul Hukum Keperdataan, yang pada intinya mengatur tata kehidupan dalam hidup bermasyarakat. Dalam Hukum Perdata, selain diatur mengenai bagaimana mengatur kepentingan-kepentingan yang timbul dari hidup bermasyarakat, tetapi juga mengatur bagaimana cara menyelesasikan apabila timbul perselisihan. Apabila perselisihan itu diselesaikan di muka Pengadilan, maka berlaku apa yang disebut dengan HUKUM ACARA PERDATA.

II.    Pengertian Hukum Acara Perdata
Prof. Dr. R. Wiryono Prodjodikoro, SH, dalam bukunya Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur Bandung, Tahun 1975, hal. 13, menyatakan bahwa Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka Pengadilan dan bagaimana cara Pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.

III. Sumber Hukum Acara Perdata
Sampai saat ini, belum terhimpun Sumber Hukum Acara Perdata dalam satu kodifikasi, melainkan masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan baik produk Kolonial Belanda maupun produk nasional setelah Negara Kesatuan Repubilk Indonesia merdeka. Berbagai peraturan perundang-undangan tersebut antara lain adalah :
1.      HIR (Herzeine Inlandsh Reglemen)
HIR adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk daerah pulau Jawa dan Madura.
2.      RBg (Rechtsregglement voor de Buitengewesten)
RBg merupakan Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk daerah-daerah luar pulau Jawa dan Madura, seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua dan daerah-daerah lainnya.
3.      Burgerlijk Wetboek
Disebut juga dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, akan tetapi yang mengatur mengenai tata cara beracara hanya pada Buku IV tentang PEMBUKTIAN dan DALUWARSA (pasal 1865 s/d pasal 1993).
4.      Ordonansi Tahun 1867 No. 29
Disebut juga dengan Undang-Undang No.29 Tahun 1867, Undang-Undang ini dibuat pada masa Kolonial Belanda yang mengatur tentang pembuktian tulisan-tulisan di bawah tangan dari orang-orang Indonesia (Bumiputera).
5.      Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengaan UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung
Meskipun Undang-Undang ini tidak secara langsung mengatur mengenai tata cara beracara di Pengadilan, tetapi ada beberapa pasal yang mengatur tentang hal tersebut, yaitu pasal 31A, pasal 81A ayat (3), ayat (4) , ayat (5) dan ayat (6).

IV. Tata Cara Beracara di Pengadilan
Bagaimana cara beracara di pengadilan ? Apabila seseorang merasa dirugikan kepentingannya akibat dari perbuatan orang lain, maka orang tersebut dapat mengajukan gugatan di muka Pengadilan. Apapun berperkara di Pengadilan, secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut :
a.       Mengajukan gugatan dengan didaftarkan di Kepaniteraan Perdata Pengadilan Negeri ;
b.      Membayar biaya panjar perkara di Bank dan menyerahkan bukti pembayaran ke Panitera Perdata Pengadilan Negeri ;
c.       Panitera menyiapkan formulir Penetapan Majelis Hakim yang ditandatangani oleh Ketua Pengadilan Negeri ;
d.      Majelis mengeluarkan Penetapan Hari Sidang ;
e.       Pada Sidang I, para pihak dapat hadir sendiri maupun memberikan kuasa kepada orang lain maupun kepada Penasihat Hukum dengan mengaajukan Surat Kuasa yang telah dilegalisir di Kepaniteraan Pengadilan Negeri. Setelah para pihaak hadir, Majelis Hakim berusaha mendamaikan para pihak melalui MEDIASI ;
f.       Apabila mediasi gagal, pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan proses jawab jinawab yang apabila terdapat perihal KEWENANGAN MENGADILI, maka Majelis Hakim akan mengeluarkan PUTUSAN SELA yang berisi mengenai KEWEANGAN MENGADILI dan selanjutnya para pihak mengajukan pembuktian berupa bukti surat dan bukti saksi. Sebelum bukti surat diajukan, bukti surat tersebut harus sudah diberi leges dan dilegalisir di Kepaniteraan Pengadilan Negeri ;
g.      Selanjutnya setelah para pihak merasa cukup dengan pembuktian, maka Majelis Hakim akan mengeluarkan PUTUSAN ;
h.      Terhadap PUTUSAN yang telah berkekuatan hukum tetap, maka dapat dilakukan EKSEKUSI secara sukarela ;
i.        Apabila diantara para pihak ada yang tidak menerima PUTUSAN, maka dapat diajukan upaya hukum berupa BANDING, KASASI dan PENINJAUAN KEMBALI ;
j.        Terhadap putusan BANDING, KASASI dan PENINJAUAN KEMBALI  telah berkekuatan hukum, dilakukan EKSEKUSI ;

V.    Isi Surat Gugatan
Sebagaimana telah diatur dalam pasal 118 HIR dan pasal 120 HIR, maka dalam suatu surat gugatan harus memuat :
1.      Surat Gugatan ditujukan / dialamatkan kepada PN sesuai dengan Kompetensi Relatif, yaitu harus jelas PN yang dituju, apabila surat gugatan salah alamat, menjadikan gugatan menjadi cacat formil dan gugatan dinyatakan tidak dapat diterima ;
2.      Surat Gugatan harus diberi tanggal, hal ini untuk menjamin kepastian hukum sehingga memperlancar penyelesaian suatu perkara ;
3.      Surat Gugatan harus ditandatangani oleh Penggugat atau Kuasa, yaitu tanda tangan ditulis dengan tangan sendiri atau apabila tidak dapat membaca dan / atau menulis, tanda tangan dalam surat gugatan dapat diganti dengan cap jempol ;
4.      Surat Gugatan harus memuat Identitas Para Pihak, baik Penggugat maupun Tergugat, yang meliputi :
¨      Nama lengkap, apabila penyebutan nama tidak jelas, menjadikan gugatan menjadi error in persona sehingga gugatan dinyatakan tidak dapat diterima ;
¨      Alamat atau tempat tinggal, hal ini berkaitan dengan pemanggilan para pihak untuk hadir di persidangan, apabila pencantuman alamat tidak jelas akan mengakibatkan seseorang kehilangan haknya untuk beracara di persidangan. Namun seandainya alamat seseorang tersebut tidak jelas dan tidak diketahui keberadaannya, maka yang harus dicantumkan adalah alamat atau tempat tinggal terakhir ;
5.      Surat Gugatan harus menyebutkan FUNDAMENTUM PETENDI, yaitu dasar gugatan atau dasar tuntutan (posita gugatan/dalil gugatan), yang dapat berupa :
¨      Perbuatan Melawan Hukum, yaitu suatu gugatan yang timbul akibat perbuatan seseorang dan / atau badan hukum yang merugikan orang lain ;
¨      Wan Prestasi, yaitu suatu gugatan yang timbul akibat seseorang dan / atau badan hukum yang melanggar suatu perjanjian ;
6.      Surat Gugatan haarus memuat PETITUM GUGATAN, yaitu berisi tuntutan atau permintaan kepada Pengadilan untuk dinyatakan dan ditetapkan sebagai hak penggugat atau hukuman bagi tergugat atau kepada kedua belah pihak dan petitum ini harus sejalan dengan posita gugatan, apabila antara petitum gugatan dengan posita gugatan tidak sejalan maka gugatan menjadi cacat formil dan gugatan dinyatakan tidak dapat diterima ;

VI. Kesimpulan
Meskipun telah ada mekanisme beracara di Pengadilan sebagaimana diuraikan di atas, akan tetapi sebagai masyarakat Indonesia yang lebih mendahulukan musyawarah untuk mufakat di dalam setiap penyelesaian sengketa keperdataan, maka sebaiknya kita tetap mengutamakan MUSYAWARAH UNTUK MUFAKAT, sehingga penyelesaian suatu sengketa dapat memuaskan kedua belah pihak yang bersengketa dan beracara di Pengadilan hendaklah menjadi jalan atau solusi terakhir apabila suatu sengketa tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan ;

VII.          Penutup
Demikian sedikit pemaparan mengenai tata cara beracara di Pengadilan untuk menyelesaikan suatu sengketa keperdataan.






[1] Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung RI ;

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...