HUKUM ACARA PERDATA
I.
Pendahuluan
Sebagai makhluk sosial, kehidupan
seseorang tidak akan terlepas dari kehidupan orang lain. Selama berinteraksi,
akan timbul perasaan saling membutuhkan tetapi juga seringkali menimbulkan perbedaan-perbedaan
yang kadang kala menjadi perselisihan antar orang per orang maupun antar orang
dengan badan hukum atau organisasi.
Bahwa, oleh karena itu timbul Hukum Keperdataan, yang pada intinya
mengatur tata kehidupan dalam hidup bermasyarakat. Dalam Hukum Perdata, selain
diatur mengenai bagaimana mengatur kepentingan-kepentingan yang timbul dari
hidup bermasyarakat, tetapi juga mengatur bagaimana cara menyelesasikan apabila
timbul perselisihan. Apabila perselisihan itu diselesaikan di muka Pengadilan, maka
berlaku apa yang disebut dengan HUKUM
ACARA PERDATA.
II. Pengertian Hukum Acara
Perdata
Prof. Dr. R. Wiryono Prodjodikoro,
SH, dalam bukunya Hukum Acara Perdata di
Indonesia, Sumur Bandung, Tahun 1975, hal. 13, menyatakan bahwa Hukum
Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana
orang harus bertindak terhadap dan di muka Pengadilan dan bagaimana cara
Pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaaksanakan berjalannya
peraturan-peraturan hukum perdata.
III. Sumber Hukum Acara Perdata
Sampai saat ini, belum terhimpun
Sumber Hukum Acara Perdata dalam satu kodifikasi, melainkan masih tersebar
dalam berbagai peraturan perundang-undangan baik produk Kolonial Belanda maupun
produk nasional setelah Negara Kesatuan Repubilk Indonesia merdeka. Berbagai
peraturan perundang-undangan tersebut antara lain adalah :
1.
HIR (Herzeine Inlandsh Reglemen)
HIR adalah Hukum Acara Perdata yang
berlaku untuk daerah pulau Jawa dan Madura.
2.
RBg (Rechtsregglement voor de Buitengewesten)
RBg merupakan Hukum Acara Perdata
yang berlaku untuk daerah-daerah luar pulau Jawa dan Madura, seperti Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua dan
daerah-daerah lainnya.
3.
Burgerlijk Wetboek
Disebut juga dengan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, akan tetapi yang mengatur mengenai tata cara
beracara hanya pada Buku IV tentang PEMBUKTIAN
dan DALUWARSA (pasal 1865 s/d pasal 1993).
4.
Ordonansi Tahun 1867 No. 29
Disebut juga dengan Undang-Undang
No.29 Tahun 1867, Undang-Undang ini dibuat pada masa Kolonial Belanda yang mengatur
tentang pembuktian tulisan-tulisan di bawah tangan dari orang-orang Indonesia
(Bumiputera).
5.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengaan UU Nomor
3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung
Meskipun Undang-Undang ini tidak
secara langsung mengatur mengenai tata cara beracara di Pengadilan, tetapi ada
beberapa pasal yang mengatur tentang hal tersebut, yaitu pasal 31A, pasal 81A
ayat (3), ayat (4) , ayat (5) dan ayat (6).
IV. Tata Cara Beracara di
Pengadilan
Bagaimana cara beracara di pengadilan
? Apabila seseorang merasa dirugikan kepentingannya akibat dari perbuatan orang
lain, maka orang tersebut dapat mengajukan gugatan di muka Pengadilan. Apapun
berperkara di Pengadilan, secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut :
a.
Mengajukan gugatan dengan
didaftarkan di Kepaniteraan Perdata Pengadilan Negeri ;
b.
Membayar biaya panjar perkara
di Bank dan menyerahkan bukti pembayaran ke Panitera Perdata Pengadilan Negeri
;
c.
Panitera menyiapkan formulir Penetapan
Majelis Hakim yang ditandatangani oleh Ketua Pengadilan Negeri ;
d.
Majelis mengeluarkan Penetapan
Hari Sidang ;
e.
Pada Sidang I, para pihak dapat
hadir sendiri maupun memberikan kuasa kepada orang lain maupun kepada Penasihat
Hukum dengan mengaajukan Surat Kuasa yang telah dilegalisir di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri. Setelah para pihaak hadir, Majelis Hakim berusaha
mendamaikan para pihak melalui MEDIASI ;
f.
Apabila mediasi gagal, pemeriksaan
perkara dilanjutkan dengan proses jawab jinawab yang apabila terdapat perihal
KEWENANGAN MENGADILI, maka Majelis Hakim akan mengeluarkan PUTUSAN SELA yang
berisi mengenai KEWEANGAN MENGADILI dan selanjutnya para pihak mengajukan
pembuktian berupa bukti surat
dan bukti saksi. Sebelum bukti surat diajukan,
bukti surat
tersebut harus sudah diberi leges dan dilegalisir di Kepaniteraan Pengadilan
Negeri ;
g.
Selanjutnya setelah para pihak
merasa cukup dengan pembuktian, maka Majelis Hakim akan mengeluarkan PUTUSAN ;
h.
Terhadap PUTUSAN yang telah
berkekuatan hukum tetap, maka dapat dilakukan EKSEKUSI secara sukarela ;
i.
Apabila diantara para pihak ada
yang tidak menerima PUTUSAN, maka dapat diajukan upaya hukum berupa BANDING,
KASASI dan PENINJAUAN KEMBALI ;
j.
Terhadap putusan BANDING,
KASASI dan PENINJAUAN KEMBALI telah
berkekuatan hukum, dilakukan EKSEKUSI ;
V. Isi Surat Gugatan
Sebagaimana telah diatur dalam pasal
118 HIR dan pasal 120 HIR, maka dalam suatu surat gugatan harus memuat :
1.
Surat Gugatan ditujukan /
dialamatkan kepada PN sesuai dengan Kompetensi Relatif, yaitu harus jelas PN
yang dituju, apabila surat gugatan salah alamat, menjadikan gugatan menjadi
cacat formil dan gugatan dinyatakan tidak dapat diterima ;
2.
Surat Gugatan harus diberi
tanggal, hal ini untuk menjamin kepastian hukum sehingga memperlancar
penyelesaian suatu perkara ;
3.
Surat Gugatan harus
ditandatangani oleh Penggugat atau Kuasa, yaitu tanda tangan ditulis dengan
tangan sendiri atau apabila tidak dapat membaca dan / atau menulis, tanda
tangan dalam surat
gugatan dapat diganti dengan cap jempol ;
4.
Surat Gugatan harus memuat
Identitas Para Pihak, baik Penggugat maupun Tergugat, yang meliputi :
¨
Nama lengkap, apabila
penyebutan nama tidak jelas, menjadikan gugatan menjadi error in persona
sehingga gugatan dinyatakan tidak dapat diterima ;
¨
Alamat atau tempat tinggal, hal
ini berkaitan dengan pemanggilan para pihak untuk hadir di persidangan, apabila
pencantuman alamat tidak jelas akan mengakibatkan seseorang kehilangan haknya
untuk beracara di persidangan. Namun seandainya alamat seseorang tersebut tidak
jelas dan tidak diketahui keberadaannya, maka yang harus dicantumkan adalah
alamat atau tempat tinggal terakhir ;
5.
Surat Gugatan harus menyebutkan
FUNDAMENTUM PETENDI, yaitu dasar
gugatan atau dasar tuntutan (posita gugatan/dalil gugatan), yang dapat berupa :
¨
Perbuatan Melawan Hukum, yaitu
suatu gugatan yang timbul akibat perbuatan seseorang dan / atau badan hukum
yang merugikan orang lain ;
¨
Wan Prestasi, yaitu suatu
gugatan yang timbul akibat seseorang dan / atau badan hukum yang melanggar
suatu perjanjian ;
6.
Surat Gugatan haarus memuat PETITUM GUGATAN, yaitu berisi tuntutan
atau permintaan kepada Pengadilan untuk dinyatakan dan ditetapkan sebagai hak
penggugat atau hukuman bagi tergugat atau kepada kedua belah pihak dan petitum
ini harus sejalan dengan posita gugatan, apabila antara petitum gugatan dengan
posita gugatan tidak sejalan maka gugatan menjadi cacat formil dan gugatan
dinyatakan tidak dapat diterima ;
VI. Kesimpulan
Meskipun telah ada mekanisme beracara
di Pengadilan sebagaimana diuraikan di atas, akan tetapi sebagai masyarakat
Indonesia yang lebih mendahulukan musyawarah untuk mufakat di dalam setiap
penyelesaian sengketa keperdataan, maka sebaiknya kita tetap mengutamakan MUSYAWARAH UNTUK MUFAKAT, sehingga
penyelesaian suatu sengketa dapat memuaskan kedua belah pihak yang bersengketa dan
beracara di Pengadilan hendaklah menjadi jalan atau solusi terakhir apabila
suatu sengketa tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan ;
VII.
Penutup
Demikian sedikit pemaparan mengenai
tata cara beracara di Pengadilan untuk menyelesaikan suatu sengketa
keperdataan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar