Kamis, 31 Desember 2015

DARK JUSTICE



qwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnm
 

DARK JUSTICE DAN PENERAPAN UNDER COVER INVESTIGATION DALAM MENGUNGKAP FAKTA (SEBUAH PEMIKIRAN)

DISUSUN OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH

Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung RI





DARK JUSTICE DAN PENERAPAN UNDER COVER INVESTIGATION DALAM MENGUNGKAP FAKTA (SEBUAH PEMIKIRAN)
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH[1]

A.  PENDAHULUAN
Keberagaman tata kehidupan masyarakat tentunya membawa dampak bahwa seseorang tidak akan bisa hidup tanpa adanya orang lain, sehingga akhirnya menimbulkan interaksi sosial yang akan membawa dampak perubahan bagi masyarakat itu sendiri. Interaksi diantara anggota masyarakat, akan melahirkan apa yang disebut dengan NORMA, yang bertujuan untuk mengatur kehidupan masyarakat.
Norma, sebagaimana Arief Sidarta,[2] menyatakan bahwa “Perkataan NORM berasal dari bahasa Latin NORMA, menunjukkan suatu ketertiban, preskripsi atau perintah. Tetapi hal memerintah adalah bukan satu-satunya fungsi dari sebuah norma karena memberikan kewenangan, mengizinkan dan pederogasian adalah juga fungsi dari norma”. Arief Sidarta selanjutnya mengatakan bahwa “Norma dapat mempunyai sifat individual atau sifat umum. Ia mempunyai suatu sifat individual bila apa yang diwajibkan adalah sepenggal tingkahlaku tertentu yang didefinisikan (dibatasi) secara individual dari orang tertentu yang ditetapkan oleh seseorang, missal keputusan hakim, dan Norma mempunyai sifat umum, jika  apa yang dirumuskan batas-batasnya secara individual melainkan seperangkat tingkah laku yang batas-batasnya dirumuskan secara umum, seperti perintah ayah kepada anaknya”.[3]
Ketika sebuah Norma dibentuk dan berfungsi sebagai sarana pengatur tata kehidupan masyarakat, semakin lama keberadaan Norma tersebut dirasakan kurang dapat memfasilitasi interaksi diantara anggota masyarakat, sehingga kemudian Norma-Norma yang hidup di dalam masyarakat dibuat sebagai sebuah peraturan tertulis yang tetap berfungsi sebagai pengatur tata kehidupan masyarakat dan memiliki sanksi terhadap siapapun dari anggota masyarakat tersebut yang melanggarnya. Dalam konteks yang lebih luas, yaitu dalam bentuk Negara, tentu sangat membutuhkan adanya aturan hukum tertulis sebagai bukti eksistensinya Negara di dalam mengatur tata kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Dengan dibentuknya suatu peraturan perundang-undangan, mengharuskan setiap anggota masyarakat untuk tunduk dan mematuhinya, tanpa pengecualian, baik dilihat dari pangkat maupun golongannya, setiap orang harus tunduk dan taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga dengan demikian akan berlaku adegium “equality before the law” atau persamaan di muka hukum dan hukum akan menjadi panutan dalam kehidupan bermasyarakat.
Pelanggaran hukum atas peraturan perundang-undangan tentunya akan mendapatkan sanksi dan untuk membuktikan pelanggaran tersebut, dibutuhkan proses PRO JUSTISIA (penegakan hukum) secara terpadu, dimulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan, putusan hakim dan eksekusi di Lembaga Pemasyarakatan. Semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan masing-masing memiliki tugas dan fungsi yang sama pentingnya. Sebab aparatur penegak hukum adalah sebagai representasi dari hadirnya negara di dalam penegakan hukum. Mahfud MD mengatakan bahwa, “Negara yang tidak dapat menegakkan hukum akan hancur di mana pun dan di masa apapun.”[4]
Dalam praktek, terkadang sangat sulit untuk membuktikan suatu pelanggaran berupa tindak pidana sehingga aparat penegaak hukum harus memutar otak untuk membuktikan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Hal ini penting sebab setiap pelanggaran hukum, utamanya dalam bentuk tindak pidana, akan menimbulkan ketidakadilan di dalam masyarakat. Ketidakadilan adalah ketika kita dipersalahkan akibat kesalahan orang lain sedangkan kita tidak memiliki kaitan sedikit pun di dalamnya.[5] Ketidakadilan juga dapat diartikan sebagai "Ketidakadilan adalah milik manusia.Kita hanya merasa tak adil saat harapan tak terpenuhi."[6] Ketidakadilan menyebabkan tersisihnya sebagian rasa keadilan dalam masyarakat, oleh karenanya diperlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk mengembalikan rasa keadilan seutuhnya kepada masyarakat.
B. DARK JUSTICE, SEBUAH FENOMENA BARU
H.M. Ali Mansyur dalam bukunya Aneka Persoalan Hukum (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum), menyatakan bahwa “Dalam suatu Negara Hukum, supremasi HUKUM seharusnya memperoleh tempat yang semestinya, fungsi Hukum dalam arti materiil yang berusaha memberikan perlindungan kepada masyarakat dengan memperlaakukan tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan memberikan kedudukan Hukum bagi setiap orang.”[7]
Hukum adalah suatu sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. Hukum akan menjadi berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan apabila masyarakat menggunakan hukum menuruti perilakunya. Hukum itu sendiri terbagi menjadi beberapa bidang, yaitu hukum pidana atau hukum publik, hukum perdata atau hukum pribadi, dan hukum acara, hukum tata Negara, hukum administrasi Negara atau hukum tata usaha Negara, hukum internasional, hukum adat, hukum Islam, hukum agraria, hukum bisnis, dan hukum lingkungan. Dari hukum-hukum tersebut masing-masing mempunyai tujuan yang sama, yaitu bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula berdasar pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat.[8]
Proses Penegakan Hukum pada hakekatnya adalah suatu proses untuk menjalankan suatu produk hukum berupa perundang-undangan, baik itu Undang-Undang maupun peraturan perudangan di bawahnya. Suatu Undang-Undang tidak akan dapat dijalankan dengan baik apabila Aparat Penegak Hukumnya adalah aparat yang tidak memahami esensi dari Undang-Undang yang dijalankannya. Sehingga hal tersebut, membuat perlunya Aparat Penegak Hukum yang benar-benar mumpuni dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan” hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistik.[9]
Penegakan Hukum itu harus konsisten supaya masyarakat memahami, mana HUKUM dan mana yang BUKAN HUKUM. Sebagai bagian dari proses sosial, penegakan kepastian hukum itu bertumpu pada 2 (dua) komponen utama, yaitu :[10]
1.     Hukum itu harus bisa memberikan kepastian dalam orientasi kepada masyarakat. Dalam hal ini dikenal asas kepastian orientasi yaitu Certitudo atau Orientierungssicherheit, yaitu orang memahami, perilaku yang bagaimana yang diharapkan oleh orang lain daripadanya dan respon yang bagaimana yang dapat diharapkannya dari orang lain baagi perilakunya itu ;
2.     Kepastian dalam penerapan hukum oleh penegak hukum, Jangan sampai terjadi bahwa sekali ini suatu ketentuan hukum dilaksanakan, tetapi lain kali ketentuan yang sama tidak dilaksanakan. Terdapat suatu asas yaitu Securitas atau Realisierungssherheit adalah asas kepastian  realitas hukum yang memungkinkan orang untuk mengandalkan pada perhitungan, bahwa norma-norma yang berlaku memang dihormati dan dilaksanakan, keputusan-keputusan pengadilan sungguh-sungguh dilaksanakan dan perjanjian-perjanjian ditaati.
Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman telah menyebutkan di dalam Pasal 1 angka 1 yaitu “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia” dan Pasal 1 angka 2 yang menyatakan Mahkamah Agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Tugas yustisial yaitu tugas mengadili menjadi salah satu bagian dari proses penegakan hukum secara terpadu adalah menjadi tugas dari Hakim, baik di tingkat Pengadilan tingkat pertama, Pengadilan tingkat banding dan di Mahkamah Agung, akan tetapi seringkali tugas yustisial ini tidak dipahami dengan baik oleh Hakim, sehingga seroang Hakim harus memahami tugas-tugasnya, yaitu :[11]
1)    Mengkonstatir yaitu yang dituangkan dalam Berita Acara Persidangan dan dalam duduknya perkara pada putusan hakim. Mengkonstatir ini dilakukan dengan terlebih dahulu melihat pokok perkara dan kemudian mengakui atau membenarkan atas peristiwa yang diajukan, tetapi sebelumnya telah diadakan pembuktian terlebih dahulu ;
2)    Mengkualifisir yaitu yang dituangkan dalam pertimbangan hukum dalam surat putusan. Ini merupakan suatu penilaian terhadap peristiwa atas bukti-bukti, fakta-fakta peristiwa atau fakta hukum dan menemukan hukumnya ;
3)    Mengkonstituir yaitu yang dituangkan dalam surat putusan. Tahap tiga ini merupakan penetapan hukum atau merupakan pemberian konstitusi terhadap perkara.
Yang terpenting dari sikap wajib dimilki oleh seorang Hakim adalah Hakim sebagai benteng terakhir dari keadilan seharusnya bersikap sebagai sosok yang berdiri di tengah di antara para pihak pencari keadilan dan tidak bersikap memihak serta dapat menjatuhkan putusan yang berdasarkan fakta yang terbukti di persidangan. Hakim yang bersikap netral tentunya akan memberikan rasa rasa tenang bagi para pencari keadilan sebab para pencari keadilan dapatlah menyandarkan dirinya akan kebutuhan adanya keadilan pada diri seorang Hakim.[12]
Tidak berjalannya proses penegakan hukum, terutama di tingkat penyidikan, penuntutan, persidangan dan eksekusi putusan hakim dapat menjadi celah terjadinya pengadilan jalanan yang bertindak atas terjadinya suatu tindak pidana. Pengadilan jalanan inilah yang penulis lebih senang menyebutnya dengan istilah DARK JUSTICE, yang bisa diartikan sebagai pelaksanaan peradilan atas suatu tindak pidana dengan menyimpangi proses penegakan hukum  sebagaimana telah ditentukan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Pengadilan jalanan ini seringkali bersifat anarkis dan brutal akan tetapi dianggap sebagai caa yang tepat untuk menyelesaikan suatu pelanggaran hukum (tindak pidana) yang tidak tuntas diselesaikan oleh aparat penegak hukum. Salah satu contoh yang cukup fenomenal dari adanya DARK JUSTICE ini adalah kejadian dibakarnya begal sepeda motor di berbagai wilayah Indonesia.
Seperti berita di salah satu media online yang memberitakan begal yang dibakar warga di Pondok Aren, Tangerang Selatan ternyata sempat diinterogasi warga. Setelah itu, warga yang marah langsung melakukan tindakan anarkis dengan membakarnya hidup-hidup.[13] Sudah tidak terhitung berapa banyak kejadian serupa terjadi di Indonesia yang setidaknya menimbulkan suatu pertanyaan, apakah begitu lemahnya proses penegakan hukum di Indonesia ?
Setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di muka hukum, sehingga berhak mendapatkan perlakuan yang sama di muka hukum sebagaimana dimaksud di dalam  Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyebutkan “Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” konsekuensi dari persamaan di muka hukum adalah adanya perlakuan yang sama terhadap setiap orang atas jeminan perlindungan dan kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 20 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang menyebutkan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan  perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”  Maksud dari ayat diatas adalah setiap warga negara berhak mendapat pengakuan dan perlindungan dari negara, serta setiap warga negara berhak untuk mendapat perlakuan di hadapan hukum yang adil dan sama untuk semua warga negara tanpa ada perbedaan sedikitpun karena ketidakadilan perlakuan yang sama di hadapan hukum merupakan jaminan HAM yang paling sering dilanggar oleh negara.[14]
Praktek pengadilan jalanan (Dark Justice) semakin menjamur tidak lain dari gagalnya sistem hukum menjalankan tugasnya menegakkan hukum dan keadilan di Indonesia. Menyusutnya rasa percaya masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum, semakin menyuburkan tumbuh kembangnya praktek pengadilan jalanan. Masyarakat lebih percaya kepada keadilan jalanan di dalam mengeksekusi pelaku tindak pidana, yaitu dengan tidak menyerahkan pelaku tindak pidana kepada pihak berwenang (kepolisian) akan tetapi lebih memilih mengadilinya sendiri dengan cara yang cenderung bersifat penyiksaan fisik yang dapat berakibat hilangnya nyawa pelaku tindak pidana. Hal ini menyebabkan semakin tersingkirnya peran proses penegakan hukum, yang dimulai dari penyidikan, penuntutan, persidangan, pelaksanaan putusan pengadilan.
Dalam tataran praktek, dikenal istilah Main Hakim Sendiri atau eigenrichting  adalah istilah bagi tindakan untuk menghukum suatu pihak tanpa melewati proses yang sesuai hukumMain Hakim Sendiri merupakan jenis konflik kekerasan yang cukup dominan di Indonesia. Bentuknya bisa penganiayaan, perusakan harta benda, dan sebagainya.[15] Praktek main hakim sendiri tersebut merupakan salah satu manivestasi dari adanya perilaku dark justice atau pengadilan jalanan sebagai bentuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap proses penegakan hukum yang dianggap tidak memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana. Hakim, sebagai benteng terakhir keadilan, haruslah dapat memberikan jawaban terhadap fenomena terjadinya perilaku pengadilan jalanan (dark justice).

C. UNDER COVER INVESTIGATION, SALAH SATU TEKNIK PEMBUKTIAN
Dalam beberapa hal, Hakim bahkan sebenarnya bisa mencari pembuktian terhadap suatu kasus dengan melakukan under cover interview atau masuk di dalam lingkungan pengadilan jalanan (dark justice) dan memposisikan dirinya sebagai korban maupun sebagai pelaku, untuk mencari kebenaran atas pembuktian dari suatu perkara.
Under cover interview yang merupakan bagian dari under cover investigation, barangkali merupakan hal baru dalam proses persidangan di Indonesia dan hal ini juga sangat riskan apabila dilakukan, mengingat diperlukan keberanian dari seorang Hakim untuk melakukan penyamaran dalam melakukan interview., yang seringkali dapat diibaratkan bagaikan masuk ke dalam kandang macan, mengingat obyek yang hendak kita interview adalah kalangan dari para pihak yang berperkara di pengadilan yang sangat mungkin akan mengenali wajah dari Hakim yang menyidangkan perkara tersebut.
Investigasi dapat diartikan sebagai upaya penelitian, penyelidikan, pengusutan, pencarian, pemeriksaan dan pengumpulan data, informasi, dan temuan lainnya untuk mengetahui/membuktikan kebenaran atau bahkan kesalahan sebuah fakta yang kemudian menyajikan kesimpulan atas rangkaian temuan dan susunan kejadian.[16]
Dalam ilmu investigasi dikenal apa yang dimaksud dengan under cover investigation, yaitu suatu metode invertigasi yang dilakukan dengan melakukan penyamaran sehingga pihak yang dinterogasi tidak mengenali orang yang melakukan investigasi bahkan tidak menyadari bahwa dirinya sedang diinvestigasi. Ilmu tentang under cover investigation ini hendaknya dikuasai pula oleh para Hakim di Indonesia, mengingat bahwa dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan, Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Khusus frasa MENGGALI, kiranya dapat diterapkan dengan menerapkan under cover investigation, untuk dapat mengetahui nilai-nilai keadilan dalam sebuah masyarakat, apa yang diinginkan oleh masyarakat terhadap terjadiny duatu tindak pidana dan bagaimana masyarakat dapat berperan serta dalam pencegahan tindak pidana.
Dalam melakukan under cover interview, diperlukan keberanian ekstra sebab akan berhubungan dengan pihak-pihak yang seringkali tidak menyenangi dirinya diinterview atau pihak-pihak yang selalu ingin menghindar dari keterlibatan dalam setiap proses penegakan hukum atau bahkan akan bertemu pihak-pihak yang pernah dikecewakan oleh kinerja badan peradilan. Diperlukan keahlian khusus dalam melakukan penyamaran (under cover) yaitu dapat melindungi identitas dirinya sebagai seorang Hakim. Dalam kehidupan sehari-hari, sebenarnya Hakim dapat melakukan kegiatan MENGGALI nilai-nilai keadilan dalam masyarakat sekaligus melakukan under cover investigation yang dilakukan dalam rangka memahami dan menghayati nilai-nilai yang hidup dalam sebuah masyarakat. Banyak hal yang dapat dilakukan seorang Hakim dalam melakukan under cover investigation, misalnya seorang Hakim sering mengikuti kegiatan keagamaan seperti pengajian di lingkungan rumah dinas atau mesjid terdekat, mengikuti kegiatan kerja bakti, arisan ataupun kegiatan-kegiatan kemasyarakatan lainnya. Selama kegiatan tersebut, seorang Hakim dapat menyerap dan menggali nilai-nilai keadilan dalam masyarakat sekitarnya. Akan tetapi under cover investigation dapat dilakukan secara ekstem yaitu ketika suatu perkara disidangkan, Hakim yang menyidangkannya selama persidangan melakukan investigasi secara diam-diam dengan mendatangi masyarakat yang mengetahui atau mengerti mengenai perkara yang disidangkan, hal ini cukup beresiko akan tetapi seringkali akan didapatkan fakta yang tidak tercantum di dalam berkas maupun pembuktian di persidangan. Meskipun fakta yang didapatkan tidak secara langsung dapat digunakan sebagai pembuktian perkara yang disidangkan akan tetapi dapat dijadikan sebagai suatu pembanding atas pembuktian di persidangan.
Meskipun investigasi bukan merupakan tugas pokok dari seorang Hakim, akan tetapi tidak ada salahnya seorang Hakim  juga memahami dasar-dasar investigasi dan Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai induk dari seluruh Hakim di Indonesia, dapat menjembatani dalam pemberian materi investigasi di setiap pelatihan bagi Hakim-Hakim Indonesia. Karena pada dasarnya di dalam persidangan, seorang Hakim, baik langsung maupun tidak langsung, akan menerapkan sistem investigasi di dalam melakukan pembuktian atas suatu perkara. Pemahaman akan dasar-dasar investigasi tersebut tentunya akan mempekuat intuisi seorang Hakim dalam menyidangkan suatu perkara.

D. DARK JUSTICE DAN UNDER COVER INVESTIGATION, SALING MELENGKAPI
Perilaku pengadilan jalanan (dark justice) sejatinya dapat berjalan seiring dengan investigasi terselubung (under cover investigation), sebab ketika seorang Hakim terjun langsung di lapangan dan menemui praktek pengadilan jalanan, secara tidak langsung Hakim tersebut dapat melakukan investigasi secara terselubung, yaitu melihat, mempelajari dan memahami nilai-nilai keadilan yang hidup dalam suatu masyarakat. Seringkali pengungkapan sebuah fakta hanya bisa dilakukan dengan cara terselubung, dengan melibatkan diri kita dalam lingkaran orang-orang yang mengetahui ataupun mengalami suatu peristiwa yang berkaitan dengan berkaitan dengan perkara yang sedang ditangani. Pengungkapan fakta secara terselubung seringkali menghasilkan fakta yang sebenarnya mengingat kecenderungan setiap orang akan berbicara lebih terbuka ketika tidak dalam suatu tekanan dibandingkan ketika harus berbicara di muka persidangan. Dari pengetahuan tersebut, kiranya dapat diterapkan oleh Hakim yang bersangkutan ketika menyidangkan suatu perkara dan daripadanya dapat diharapkan adanya putusan yang setidaknya mendekati nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Meskipun praktek pengadilan jalanan (dark justice) yang seringkali terjadi dalam ranah hukum pidana, sangat dilarang dalam sistem hukum Indonesia, akan tetapi praktek tersebut tetap terjadi dan sangat sulit  untuk menghilangkannya, selama sistem peradilan Indonesia belum memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Disinilah letak peranan Hakim di dalam menggali dan mengikuti dan memahami nilai-nilai keadilan dalam masyarakat, salah satu caranya adalah dengan menerapkan under cover investigation. Hakim seharusnya juga menempatkan dirinya sebagai investigator, sehingga dalam praktek persidangan Hakim bisa mendapatkan fakta persidangan selain yang sudah tercantum di dalam berkas perkara maupun dalam pembuktian atas perkara yang disidangkan. Diharapkan dengan memposisikan seorang Hakim sebagai invstigator, putusan yang dihasilkan lebih mendekati rasa keadilan yang ada dalam masyarakat.
E.     KESIMPULAN
Dari uraian-uraian tersebut di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.      Tekhnik under cover investigation perlu diperkenalkan sebagai salah satu cara menemukan fakta atas perkara yang disidangkan ;
2.      Meskipun Hakim bukan seorang penyidik, akan tetapi kemampuan investigasi harus dimiliki oleh para Hakim ;
3.      Mahkamah Agung RI kiranya dapat memberikan pelatihan mengenai investigasi kepada Hakim-Hakim Indonesia ;

F.     PENUTUP
Tulisan singkat ini barangkali tidak mencukupi di dalam untuk menjabarkan secara lengkap mengenai tekhnik under cover investigation dalam rangka menghadapi perilaku pengadilan jalanan yang makin marak di Indonesia. Meski demikian, seorang Hakim juga harus memahami mengenai tekhnik-tekhnik investigasi di dalam pelaksanaan tugasnya.

G.    DAFTAR BACAAN
1.  Arief Sidarta, Hukum Dan Logika, 1992, Penerbit Alumni, Bandung;
2.  H.M. Ali Mansyur, Aneka Persoalan Hukum (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum , Penerbit Unisula bekerjasama dengan Penerbit Teras, Tahun 2010 ;
3.  Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum (Problematik Ketertiban Yang Adil), Penerbit CV. Mandar Maju – Bandung.

H. LINK INTERNET
2.    http://brainly.co.id/tugas/3856226, diunduh tanggal 25 Nopember 2015 ;
4.    http://eprints.ums.ac.id/346/1/2._ZUDAN.pdf, diunduh tanggal 28 Desember 2015 ;
5.    http://santhoshakim.blogspot.co.id/2015/11/audio-alteram-paterm.html, diunduh tanggal 24 Nopember 2015 ;



[1] Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung RI, Mahasiswa Program Doktoral pada Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung, Semarang ;
[2] Arief Sidarta, Hukum Dan Logika, 1992, Penerbit Alumni, Bandung, h. 1-2.
[3] Ibid, hal 19-20.
[5] http://brainly.co.id/tugas/3856226, diunduh tanggal 25 Nopember 2015 ;

[7] M. Ali Mansyur, Aneka Persoalan Hukum  (Masalah Perjanjian, Konsumen dan Pembaharuaan Hukum , Penerbit Unisula bekerjasama dengan Penerbit Teras, Tahun 2010, hlm.148.
[8] http://eprints.ums.ac.id/346/1/2._ZUDAN.pdf.
[9] Ibid, http://eprints.ums.ac.id/346/1/2._ZUDAN.pdf.

[10] Budioono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum (Problematik Ketertiban Yang Adil), Penerbit CV. Mandar Maju – Bandung, hlm.172-173.

Jumat, 18 Desember 2015

UNDANG-UNDANG


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2006
TENTANG
ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang  :  a.  bahwa  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia  berdasarkan  Pancasila  dan  UndangUndang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1945  pada  hakikatnya
berkewajiban memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status
pribadi  dan  status  hukum  atas  setiap  Peristiwa  Kependudukan  dan  Peristiwa
Penting  yang  dialami oleh  Penduduk  Indonesia  yang  berada  di  dalam  dan/atau  di
luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b.  bahwa untuk memberikan  perlindungan, pengakuan,  penentuan status pribadi dan
status  hukum  setiap  Peristiwa  Kependudukan  dan  Peristiwa  Penting  yang  dialami
oleh Penduduk Indonesia dan Warga Negara Indonesia yang berada di luar wilayah
Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia,  perlu  dilakukan pengaturan  tentang
Administrasi Kependudukan;
c.  bahwa  pengaturan  tentang  Administrasi  Kependudukan  hanya  dapat  terlaksana
apabila  didukung  oleh  pelayanan  yang  profesional  dan  peningkatan  kesadaran
penduduk, termasuk Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri;
d.  bahwa peraturan perundang-undangan mengenai Administrasi Kependudukan yang
ada tidak sesuai lagi dengan tuntutan pelayanan Administrasi Kependudukan yang
tertib  dan  tidak  diskriminatif  sehingga  diperlukan  pengaturan  secara  menyeluruh
untuk  menjadi  pegangan  bags  semua  penyelenggara  negara  yang  berhubungan
dengan kependudukan;
e.  bahwa berdasarkan pertimbangan  sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,
huruf  c,  dan  huruf  d,  perlu  membentuk  undang-undang tentang  Administrasi
Kependudukan;
Mengingat  :  1.  Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1),ayat (2) dan ayat (4), Pasal 26, Pasal 28 B ayat
(1), Pasal 28 D ayat (4), Pasal 28 E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 1, Pasal 29 ayat
(1),  Pasal  34  ayat  (1)  dan  ayat  (3)  Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik
Indonesia Tahun 1945;
2.  Undang-Undang  Nomor  1  Tahun  1974  tentang  Perkawinan  (Lembaran  Negara
Republik  Indonesia  Tahun  1974  Nomor  1,  Tambahan  Lembaran  Negara  Republik
Indonesia Nomor 3019):
3.  Undang-Undang  Nomor  7  Tahun  1984  tentang  Ratifikasi  Konvensi  Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun  1984  Nomor  29,  Tambahan  Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Nomor
32);
4.  Undang-Undang  Nomor  9  Tahun  1992  tentang  Keimigrasian  (Lembaran  Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3474);
5.  Undang-Undang  Nomor  29  Tahun  1999  tentang  Pengesahan  International
Convention  On  The  Elimination  Of  All  Forms  Of  Racial  Discrimination  1965
(Konvensi  Internasional  tentang  Penghapusan  Segala  Bentuk  Diskriminasi  Rasial
1965)  (Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1999  Nomor  83,  Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3852);
6.  Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156, Tambahan Iembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3882);
7.  Undang-Undang  Nomor  39  Tahun  1999  tentang  Hak  Asasi  Manusia  (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3886);
8.  Undang-Undang  Nomor  23  Tahun  2002  tentang  Perlindungan  Anak  (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4235);
9.  Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Republik  Indonesia  Nomor  4437)  sebagaimana  telah  diubah  dengan  UndangUndang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4548):
10. Undang-Undang  Nomor  12  Tahun  2006  tentang  Kewarganegaraan  Republik
Indonesia  (Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Tahun 2006  Nomor  63,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4634);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan  :  UNDANG-UNDANG TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang diinaksud dengan:
1.  Administrasi Kependudukan adalah rangkaian kegiatan penataan dan penertiban dalam penerbitan
dokumen  dan  Data  Kependudukan  melalui  Pendaftaran  Penduduk,  Pencatatan  Sipil,  pengelolaan
informasi  Administrasi  Kependudukan  serta  pendayagunaan  hasilnya  untuk  pelayanan  publik  dan
pembangunan sektor lain.
2.  Penduduk adalah Warga Negara Indonesia dan OrangAsing yang bertempat tinggal di Indonesia.
3.  Warga Negara Indonesia  adalah orang-orang bangsaIndonesia asli dan  orang-orang bangsa  lain
yang disahkan dengan undang-undang sebagai Warga Negara Indonesia.
4.  Orang Asing adalah orang bukan Warga Negara Indonesia.
5.  Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam urusan pemerintahan dalam negeri.
6.  Penyelenggara  adalah  Pemerintah,  pemerintah  provinsi  dan  pemerintah  kabupaten/kota  yang
bertanggung jawab dan berwenang dalam urusan Administrasi Kependudukan.
7.  Instansi  Pelaksana  adalah  perangkat  pemerintah  kabupaten/kota  yang  bertanggung  jawab  dan
berwenang melaksanakan pelayanan dalam urusan Administrasi Kependudukan.
8.  Dokumen  Kependudukan  adalah  dokumen  resmi  yang  diterbitkan  oleh  Instansi  Pelaksana  yang
mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti autentik yang dihasilkan dari pelayanan Pendaftaran
Penduduk dan Pencatatan Sipil.
9.  Data Kependudukan adalah data perseorangan dan/atau data agregat yang terstruktur sebagai hasil
dari kegiatan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
10. Pendaftaran Penduduk adalah pencatatan biodata  Penduduk, pencatatan atas pelaporan Peristiwa
Kependudukan  dan  pendataan  Penduduk  rentan  Administrasi  Kependudukan  serta  penerbitan
Dokumen Kependudukan berupa kartu identitas atau surat keterangan kependudukan.
11. Peristiwa  Kependudukan  adalah  kejadian  yang  dialami  Penduduk  yang  harus  dilaporkan  karena
membawa  akibat  terhadap  penerbitan  atau  perubahan  Kartu  Keluarga,  Kartu  Tanda  Penduduk
dan/atau surat keterangan kependudukan lainnya meliputi pindah datang, perubahan alamat, serta
status tinggal terbatas menjadi tinggal tetap.
12. Nomor  Induk  Kependudukan,  selanjutnya  disingkat NIK,  adalah  nomor  identitas  Penduduk  yang
bersifat  unik  atau  khas,  tunggal  dan  melekat  pada  seseorang  yang  terdaftar  sebagai  Penduduk
Indonesia.
13. Kartu Keluarga, selanjutnya disingkat KK, adalah kartu identitas keluarga yang memuat data tentang
nama, susunan dan hubungan dalam keluarga, serta identitas anggota keluarga.
14. Kartu Tanda Penduduk, selanjutnya disingkat KTP, adalah identitas resmi Penduduk sebagai bukti
diri  yang  diterbitkan  oleh  Instansi  Pelaksana  yang  berlaku  di  seluruh  wilayah  Negara  Kesatuan
Republik Indonesia.
15. Pencatatan Sipil adalah pencatatan Peristiwa Penting yang dialami oleh seseorang dalam register
Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana.
16. Pejabat Pencatatan Sipil adalah pejabat yang melakukan pencatatan Peristiwa Penting yang dialarni
seseorang  pada  Instansi  Pelaksana  yang  pengangkatannya  sesuai  dengan  ketentuan  Peraturan
Perundang-undangan.
17. Peristiwa Penting adalah kejadian  yang  dialami  oleh  seseorang  meliputi kelahiran, kematian, lahir
rnati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan
nama dan perubahan status kewarganegaraan.
18. Izin Tinggal Terbatas adalah izin tinggal yang diberikan kepada Orang Asing untuk tinggal di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu yang terbatas sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundangundangan.
19. Izin Tinggal Tetap adalah izin tinggal yang diberikan kepada Orang Asing untuk tinggal rnenetap di
wilayah  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia  sesuai  dengan  ketentuan  Peraturan  Perundangundangan.
20. Petugas Registrasi adalah pegawai negeri sipil  yang diberi tugas dan tanggung jawab memberikan
pelayanan  pelaporan  Peristiwa  Kependudukan  dan  Peristiwa  Penting  serta  pengelolaan  dan
penyajian Data Kependudukan di desa/kelurahan.
21. Sistem Informasi Administrasi Kependudukan, selanjutnya disingkat SIAK, adalah sistem informasi
yang memanfaatkan teknologl informasi dan komunikasi untuk memfasilitasi pengelolaan informasi
administrasi  kependudukan  di  tingkat  Penyelenggara  dan  Instansi  Pelaksana  sebagai  satu
kesatuan.
22. Data Pribadi adalah data perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat, dan dijaga kebenaran serta
dilindungi kerahasiaannya.
23. Kantor  Urusan  Agama  Kecamatan,  selanjutnya  disingkat  KUAKec,  adalah  satuan  kerja  yang
melaksanakan  pencatatan  nikah,  talak,  cerai,  dan  rujuk  pada  tingkat  kecamatan  bagi  Penduduk
yang beragama Islam.
24. Unit  Pelaksana Teknis  Dinas Instansi  Pelaksana,selanjutnya  disingkat  UPTD Instansi Pelaksana,
adalah satuan kerja di tingkat kecamatan yang melaksanakan pelayanan Pencatatan Sipil dengan
kewenangan menerbitkan akta.
BAB II
HAK DAN KEWAJIBAN PENDUDUK
Pasal 2
Setiap Penduduk mempunyai hak untuk memperoleh:
a.  Dokumen Kependudukan;
b.  pelayanan yang sama dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil;
c.  perlindungan atas Data Pribadi;
d.  kepastian hukum atas kepemilikan dokumen;
e.  informasi  mengenai  data  hasil  Pendaftaran  Penduduk  dan  Pencatatan  Sipil  atas  dirinya  dan/atau
keluarganya; dan
f.  ganti  rugi  dan  pemulihan  nama  baik sebagai akibat  kesalahan  dalam  Pendaftaran Penduduk  dan
Pencatatan Sipil serta penyalahgunaan Data Pribadi oleh Instansi Pelaksana.
Pasal 3
Setiap  Penduduk  wajib  melaporkan  Peristiwa  Kependudukan  dan  Peristiwa  Penting  yang  dialaminya
kepada  Instansi  Pelaksana  dengan  memenuhi  persyaratan  yang  diperlukan  dalam  Pendaftaran
Penduduk dan Pencatatan Sipil.
Pasal 4
Warga  Negara  Indonesia  yang  berada  di  luar  wilayah  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia  wajib
melaporkan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialaminya kepada Instansi Pelaksana
Pencatatan Sipil negara setempat dan/atau kepada Perwakilan Republik Indonesia dengan memenuhi
persyaratan yang diperlukan dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
BAB III
KEWENANGAN PENYELENGGARA DAN INSTANSI PELAKSANA
Bagian Kesatu
Penyelenggara
Paragraf 1
Pemerintah
Pasal 5
Pemerintah  berkewajiban  dan  bertanggung  jawab  menyelenggarakan  Administrasi  Kependudukan
secara nasional, yang dilakukan oleh Menteri dengankewenangan meliputi:
a.  koordinasi antarinstansi dalam urusan Administrasi Kependudukan;
b.  penetapan sistem, pedoman, dan standar pelaksanaan Administrasi Kependudukan;
c.  sosialisasi Administrasi Kependudukan;
d.  pemberian  bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan urusan Administrasi Kependudukan;
e.  pengelolaan dan penyajian Data Kependudukan berskala nasional: dan
f.  pencetakan, penerbitan, dan distribusi blangko Dokumen Kependudukan.
Paragraf 2
Pemerintah Provinsi
Pasal 6
Pemerintah  provinsi  berkewajiban  dan  bertanggung  jawab  menyelenggarakan  urusan  Administrasi
Kependudukan, yang dilakukan oleh gubernur dengan kewenangan rneliputi:
a.  koordinasi penyelenggaraan Administrasi Kependudukan;
b.  pemberian  bimbingan,  supervisi,  dan  konsultasi  pelaksanaan  Pendaftaran  Penduduk  dan
Pencatatan Sipil;
c.  pembinaan dan sosialisasi penyelenggaraan Administrasi Kependudukan;
d.  pengelolaan dan penyajian Data Kependudukan berskala provinsi: dan
e.  koordinasi pengawasan atas penyelenggaraan Administrasi Kependudukan.
Paragraf 3
Pemerintah Kabupaten/Kota
Pasal 7
(1)  Pemerintah  kabupaten/kota  berkewajiban  dan  bertanggung  jawab  menyelenggarakan  urusan
Administrasi Kependudukan, yang dilakukan oleh bupati/walikota dengan kewenangan meliputi:
a.  koordinasi penyelenggaraan Administrasi Kependudukan;
b.  pembentukan  Instansi  Pelaksana  yang  tugas  dan  fungsinya  di  bidang  Administrasi
Kependudukan;
c.  pengaturan  teknis  penyelenggaraan  Administrasi  Kependudukan  sesuai  dengan  ketentuan
Peraturan Perundang-undangan;
d.  pembinaan dan sosialisasi penyelenggaraan Administrasi Kependudukan;
e.  pelaksanaan kegiatan pelayanan rnasyarakat di bidang Administrasi Kependudukan:
f.  penugasan  kepada  desa  untuk  menyelenggarakan  sebagian  urusan  Administrasi
Kependudukan berdasarkan asas tugas pembantuan;
g.  pengelolaan dan penyajian Data Kependudukan berskala kabupaten/kota; dan
h.  koordinasi pengawasan atas penyelenggaraan Administrasi Kependudukan.
(2)  Ketentuan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  di Provinsi  Daerah  Khusus  Ibukota  Jakarta
dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Daerah KhususIbukota Jakarta.
Bagian Kedua
Instansi Pelaksana
Pasal 8
(1)  Instansi  Pelaksana  melaksanakan  urusan  Administrasi  Kependudukan  dengan  kewajiban  yang
meliputi:
a.  mendaftar Peristiwa Kependudukan dan mencatat Peristiwa Penting;
b.  memberikan  pelayanan  yang  sama  dan  profesional  kepada  setiap  Penduduk  atas  pelaporan
Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting;
c.  menerbitkan Dokumen Kependudukan;
d.  mendokumentasikan hasil Pendaftaran Penduduk danPencatatan Sipil;
e.  rnenjamin  kerahasiaan  dan  keamanan  data  atas  Peristiwa  Kependudukan  dan  Peristiwa
Penting; dan
f.  melakukan verifikasi dan validasi data dan informasi  yang disampaikan oleh Penduduk dalam
pelayanan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
(2)  Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk pencatatan nikah, talak, cerai, dan
rujuk  bagi  Penduduk  yang  beragama  Islam  pada  tingkat  kecamatan  dilakukan  oleh  pegawai
pencatat pada KUAKec.
(3)  Pelayanan  Pencatatan  Sipil  pada  tingkat  kecamatan  dilakukan  oleh  UPTD  Instansi  Pelaksana
dengan kewenangan menerbitkan Akta Pencatatan Sipil.
(4)  Kewajiban  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  untuk  persyaratan  dan  tata  cara  Pencatatan
Peristiwa  Penting  bagi  Penduduk  yang  agamanya  belum diakui  sebagai  agama  berdasarkan
ketentuan  Peraturan  Perundang-undangan  atau  bagi  penghayat  kepercayaan  berpedoman  pada
Peraturan Perundang-undangan.
(5)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  UPTD  Instansi  Pelaksana  sebagaimana  dimaksud pada  ayat  (3)
dan prioritas pembentukannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 9
(1)  Instansi  Pelaksana  melaksanakan  urusan  Administrasi  Kependudukan  dengan  kewenangan  yang
meliputi:
a.  memperoleh keterangan dan data  yang benar tentang Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa
Penting yang dilaporkan Penduduk;
b.  memperoleh data mengenai Peristiwa Penting yangdialami Penduduk atas dasar putusan atau
penetapan pengadilan:
c.  memberikan  keterangan  atas  laporan  Peristiwa  Kependudukan  dan  Peristiwa  Penting  untuk
kepentingan penyelidikan, penyidikan, dan pembuktian kepada lembaga peradilan: dan
d.  mengelola  data  dan  mendayagunakan  informasi  hasil  Pendaftaran  Penduduk  dan  Pencatatan
Sipil untuk kepentingan pembangunan.
(2) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b berlaku juga bagi KUAKec,
khususnya untuk pencatatan nikah, talak, cerai, danrujuk bagi Penduduk yang beragama Islam.
(3)  Selain  kewenangan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1),  Instansi  Pelaksana  mempunyai
kewenangan untuk mendapatkan data hasil pencatatan  peristiwa perkawinan, perceraian, dan rujuk
bagi Penduduk yang beragama Islam dari KUAKec.
Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5,
Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 diatur dalamPeraturan Pemerintah.
Pasal 11
(1)  Pejabat Pencatatan Sipil mempunyai kewenangan melakukan verifikasi kebenaran data, melakukan
pembuktian pencatatan atas nama jabatannya, mencatat data dalam register akta Pencatatan Sipil,
menerbitkan kutipan akta Pencatatan Sipil, dan membuat catatan pinggir pada akta-akta Pencatatan
Sipil.
(2)  Ketentuan  lebih  lanjut  rnengenai  pedoman  pengangkatan  dan  pemberhentian  serta  tugas  pokok
Pejabat Pencatatan Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 12
(1)  Petugas  Registrasi  membantu kepala  desa atau lurah dan  Instansi  Pelaksana  dalam Pendaftaran
Penduduk dan Pencatatan Sipil.
(2)  Petugas  Registrasi  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  diangkat  dan  diberhentikan  oleh
bupati/walikota dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan.
(3)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  pedoman  pengangkatan  dan  pemberhentian  serta  tugas  pokok
Petugas Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB IV
PENDAFTARAN PENDUDUK
Bagian Kesatu
Nomor Induk Kependudukan
Pasal 13
(1)  Setiap Penduduk wajib memiliki NIK.
(2)  NIK  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  berlaku  seumur  hidup  dan  selamanya,  yang  diberikan
oleh Pemerintah dan diterbitkan oleh Instansi Pelaksana kepada setiap Penduduk setelah dilakukan
pencatatan biodata.
(3)  NIK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam setiap Dokumen Kependudukan dan
dijadikan dasar penerbitan paspor, surat izin mengemudi, nomor pokok wajib pajak, polis asuransi,
sertifikat hak atas tanah, dan penerbitan dokumen identitas lainnya.
(4)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  persyaratan,  tata  Cara  dan  ruang  lingkup  penerbitan  dokumen
identitas lainnya, serta pencantuman NIK diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pendaftaran Peristiwa Kependudukan
Paragraf 1
Perubahan Alamat
Pasal 14
(1)  Dalam  hal  terjadi  perubahan  alamat  Penduduk,  Instansi  Pelaksana  wajib  rnenyelenggarakan
penerbitan perubahan dokumen Pendaftaran Penduduk.
(2)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  persyaratan  dan tata  cara  penerbitan  perubahan  dokumen
Pendaftaran Penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat(1) diatur dalam Peraturan Menteri.
Paragraf 2
Pindah Datang Penduduk dalam Wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia
Pasal 15
(1)  Penduduk  Warga  Negara  Indonesia  yang  pindah  dalam  wilayah  Negara  Kesatuan  Republik
Indonesia  wajib  melapor  kepada  Instansi  Pelaksana  di  daerah  asal  untuk  mendapatkan  Surat
Keterangan Pindah.
(2)  Pindah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah berdomisilinya Penduduk di alamat yang baru
untuk waktu lebih dari 1 (satu) tahun atau berdasarkan kebutuhan yang bersangkutan untuk waktu
yang kurang dari 1 (satu) tahun.
(3)  Berdasarkan  Surat  Keterangan  Pindah  sebagaimana dimaksud  pada  ayat  (1)  Penduduk  yang
bersangkutan  wajib  melapor  kepada  Instansi  Pelaksana  di  daerah  tujuan  untuk  penerbitan  Surat
Keterangan Pindah Datang.
(4)  Surat  Keterangan  Pindah  Datang  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (3)  digunakan  sebagai  dasar
perubahan atau penerbitan KK dan KTP bagi Penduduk yang bersangkutan.
Pasal 16
Instansi  Pelaksana  wajib  menyelenggarakan  pendaftaran  pindah  datang  Penduduk  Warga  Negara
Indonesia yang bertransmigrasi.
Pasal 17
(1)  Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Terbatasdan Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap
yang  pindah  dalam  wilayah  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia  wajib  melaporkan  rencana
kepindahannya kepada Instansi Pelaksana di daerah asal.
(2)  Berdasarkan  laporan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  Instansi  Pelaksana  mendaftar  dan
menerbitkan Surat Keterangan Pindah Datang.
(3)  Orang  Asing  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  melaporkan  kedatangan  kepada  Instansi
Pelaksana  di  daerah  tujuan  paling  lambat  30  (tiga  puluh)  hari  sejak  diterbitkan  Surat  Keterangan
Pindah Datang.
(4)  Surat  Keterangan  Pindah  Datang  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (2)  digunakan  sebagai  dasar
perubahan atau penerbitan KK, KTP, atau Surat Keterangan Tempat Tinggal bagi Orang Asing yang
bersangkutan.
Paragraf 3
Pindah Datang Antarnegara
Pasal 18
(1)  Penduduk  Warga  Negara  Indonesia  yang  pindah  ke  luar  negeri  wajib  melaporkan  rencana
kepindahannya kepada Instansi Pelaksana.
(2)  Berdasarkan  laporan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1),  Instansi  Pelaksana  mendaftar  dan
menerbitkan Surat Keterangan Pindah ke Luar Negeri.
(3)  Penduduk Warga  Negara  Indonesia  yang  telah  pindah  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  dan
berstatus  menetap  di  luar  negeri  wajib  melaporkan  kepada  Perwakilan  Republik  Indonesia  paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sejak kedatangannya.
Pasal 19
(1)  Warga  Negara  Indonesia  yang  datang  dari  luar  negeri  wajib  melaporkan  kedatangannya  kepada
Instansi Pelaksana paling lambat 14 (empat belas) hari sejak tanggal kedatangan.
(2)  Berdasarkan  laporan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1),  Instansi  Pelaksana  mendaftar  dan
menerbitkan Surat Keterangan Datang dari Luar Negeri sebagai dasar penerbitan KK dan KTP.
Pasal 20
(1)  Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Terbatasyang datang dari luar negeri dan Orang Asing yang
memiliki  izin  lainnya  yang  telah  berubah  status  sebagai  pemegang  Izin  Tinggal  Terbatas  yang
berencana  bertempat  tinggal  di  wilayah  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia  wajib  melaporkan
kepada  Instansi  Pelaksana  paling  lambat  14  (empat  belas)  hari  sejak  diterbitkan  Izin  Tinggal
Terbatas.
(2)  Berdasarkan  laporan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1),  Instansi  Pelaksana  mendaftar  dan
menerbitkan Surat Keterangan Tempat Tinggal.
(3)  Masa berlaku Surat Keterangan Tempat Tinggal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disesuaikan
dengan masa berlaku Izin Tinggal Terbatas.
(4)  Surat  Keterangan  Tempat  Tinggal  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (2)  wajib  dibawa  pada  saat
berpergian.
Pasal 21
(1)  Orang  Asing  yang  memiliki  Izin  Tinggal  Terbatas yang  telah  berubah  status menjadi  Orang  Asing
yang  memiliki  Izin  Tinggal  Tetap  wajib  melaporkan  kepada  Instansi  Pelaksana  paling  lambat  14
(empat belas) hari sejak diterbitkan Izin Tinggal Tetap.
(2)  Berdasarkan  laporan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1),  Instansi  Pelaksana  mendaftar  dan
menerbitkan KK dan KTP.
Pasal 22
(1)  Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Terbatasatau Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap
yang  akan  pindah  ke  luar  negeri  wajib  melaporkan  kepada  Instansi  Pelaksana  paling  lambat  14
(empat belas) hari sebelum rencana kepindahannya.
(2)  Berdasarkan  laporan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1),  Instansi  Pelaksana  rnelakukan
pendaftaran.
Pasal 23
Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  persyaratan  dan  tata  cara  pendaftaran  Peristiwa  Kependudukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21,
dan Pasal 22 diatur dalam Peraturan Presiden.
Paragraf 4
Penduduk Pelintas Batas
Pasal 24
(1)  Penduduk  Warga  Negara  Indonesia  yang  tinggal  di perbatasan  antarnegara  yang  bermaksud
melintas  batas  negara  diberi  buku  pas  lintas  batas  oleh  instansi  yang  berwenang  sesuai  dengan
ketentuan Peraturan Perundangundangan.
(2)  Penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah memperoleh buku pas lintas batas wajib
didaftar oleh Instansi Pelaksana.
(3)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  persyaratan  dan tata  cara  pendaftaran  bagi  Penduduk
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Pendataan Penduduk Renton Administrasi Kependudukan
Pasal 25
(1)  Instansi Pelaksana wajib melakukan pendataan Penduduk rentan Administrasi Kependudukan yang
meliputi:
a.  penduduk korban bencana alam;
b.  penduduk korban bencana sosial;
c.  orang terlantar; dan
d.  komunitas terpencil.
(2)  Pendataan  Penduduk  rentan  Administrasi  Kependudukan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)
huruf a dan huruf b dapat dilakukan di tempat sementara.
(3)  Hasil pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat  (2) digunakan sebagai dasar penerbitan Surat
Keterangan Kependudukan untuk Penduduk rentan Administrasi Kependudukan.
(4)  Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dantata cara pendataan Penduduk rentan diatur dalam
Peraturan Presiden.
Bagian Keempat
Pelaporan Penduduk yang Tidak Mampu Mendaftarkan Sendiri
Pasal 26
(1)  Penduduk  yang  tidak  mampu  rnelaksanakan  sendiri pelaporan  terhadap  Peristiwa  Kependudukan
yang  menyangkut  dirinya  sendiri  dapat  dibantu  oleh  Instansi  Pelaksana  atau  meminta  bantuan
kepada orang lain.
(2)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  pelaporan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  diatur  dalam
Peraturan Presiden.
BAB V
PENCATATAN SIPIL
Bagian Kesalu
Pencatatan Kelahiran
Paragraf 1
Pencatatan Kelahiran di Indonesia
Pasal 27
(1)  Setiap  kelahiran  wajib  dilaporkan  oleh  Penduduk kepada  Instansi  Pelaksana  di  tempat  terjadinya
peristiwa kelahiran paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak kelahiran.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada
Register Akta Kelahiran dan menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran.
Pasal 28
(1)  Pencatatan  kelahiran  dalam  Register  Akta  Kelahiran  dan  penerbitan  Kutipan  Akta  Kelahiran
terhadap  peristiwa  kelahiran  seseorang  yang  tidak  diketahui  asal-usulnya  atau  keberadaan  orang
tuanya, didasarkan pada laporan orang yang menemukan dilengkapi Berita Acara Pemeriksaan dari
kepolisian.
(2)  Kutipan Akta Kelahiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Pejabat Pencatatan
Sipil dan disimpan oleh Instansi Pelaksana.
Paragraf 2
Pencatatan Kelahiran di luar Wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia
Pasal 29
(1)  Kelahiran  Warga  Negara  Indonesia  di  luar  wilayah  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia  wajib
dicatatkan  pada  instansi  yang  berwenang  di  negara  setempat  dan  dilaporkan  kepada  Perwakilan
Republik Indonesia.
(2)  Apabila negara setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menyelenggarakan pencatatan
kelahiran bagi orang asing, pencatatan dilakukan pada Perwakilan Republik Indonesia setempat.
(3)  Perwakilan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencatat peristiwa kelahiran
dalam Register Akta Kelahiran dan menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran.
(4)  Pencatatan Kelahiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaporkan kepada Instansi
Pelaksana  paling  lambat  30  (tiga  puluh)  hari  sejak  Warga  Negara  Indonesia  yang  bersangkutan
kembali ke Republik Indonesia.
Paragraf 3
Pencatatan Kelahiran di atas Kapal Laut atau Pesawat Terbang
Pasal 30
(1)  Kelahiran Warga Negara Indonesia di  atas kapal  laut atau pesawat terbang wajib dilaporkan oleh
Penduduk  kepada  Instansi  Pelaksana  di  tempat  tujuan atau  tempat  singgah  berdasarkan
keterangan kelahiran dari nahkoda kapal laut atau kapten pesawat terbang.
(2)  Dalam  hal  tempat  tujuan  atau  tempat  singgah  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  berada  di
wilayah  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia,  kelahiran  dilaporkan  kepada  Instansi  Pelaksana
setempat untuk dicatat dalam Register Akta Kelahiran dan diterbitkan Kutipan Akta Kelahiran.
(3)  Dalam hal tempat tujuan atau tempat singgah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di luar
wilayah  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia,  kelahiran  dilaporkan  kepada  negara  tempat  tujuan
atau tempat singgah.
(4)  Apabila  negara  tempat  tujuan  atau  tempat  singgah  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (3)  tidak
menyelenggarakan pencatatan kelahiran bagi orang  asing, pencatatan  dilakukan pada  Perwakilan
Republik Indonesia setempat.
(5)  Perwakilan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mencatat peristiwa kelahiran
dalam Register Akta Kelahiran dan rnenerbitkan Kutipan Akta Kelahiran.
(6)  Pencatatan  Kelahiran  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (3)  dan  ayat  (4)  wajib  dilaporkan  oleh
Penduduk  kepada  Instansi  Pelaksana  paling  lambat  30 (tiga  puluh)  hari  sejak  Warga  Negara
Indonesia yang bersangkutan kembali ke Republik Indonesia.
Pasal 31
Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  persyaratan  dan  rata  cara  pencatatan  kelahiran  sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 30 diatur dalam Peraturan Presiden.
Paragraf 4
Pencatatan Kelahiran yang Melampaui Batas Waktu
Pasal 32
(1)  Pelaporan kelahiran sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 27 ayat (1) yang melampaui batas waktu
60  (enam  puluh)  hari  sampai  dengan  1  (satu)  tahun  sejak  tanggal  kelahiran,  pencatatan
dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan KepalaInstansi Pelaksana setempat.
(2)  Pencatatan  kelahiran  yang  melampaui  batas  waktu 1  (satu)  tahun  sebagaimana  dimaksud  pada
ayat (1), dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan negeri.
(3)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  persyaratan  dan tata  cara  pencatatan  kelahiran  sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Presiden.
Bagian Kedua
Pencatatan Lahir Mali
Pasal 33
(1)  Setiap lahir mati wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga
puluh) hari sejak lahir mati.
(2)  Instansi Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) rnenerbitkan Surat Keterangan Lahir Mati.
(3)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  persyaratan  dan tata  cara  pencatatan  lahir  mati  sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Presiden.
Bagian Ketiga
Pencatatan Perkawinan
Paragraf 1
Pencatatan Perkawinan di Wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia
Pasal 34
(1)  Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh
Penduduk  kepada  Instansi  Pelaksana  di  tempat  terjadinya  perkawinan  paling  lambat  60  (enam
puluh) hari sejak tanggal perkawinan.
(2)  Berdasarkan  laporan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1),  Pejabat  Pencatatan  Sipil  mencatat
pada Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan.
(3)  Kutipan Akta  Perkawinan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (2)  masing-masing  diberikan  kepada
suami dan istri.
(4)  Pelaporan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  dilakukan  oleh  Penduduk  yang  beragama  Islam
kepada KUAKec.
(5)  Data hasil pencatatan atas peristiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan dalam Pasal 8 ayat
(2)  wajib  disampaikan  oleh  KUAKec  kepada  Instansi  Pelaksana  dalam  waktu  paling  lambat  10
(sepuluh) hari setelah pencatatan perkawinan dilaksanakan.
(6)  Hasil pencatatan data sebagaimana dimaksud padaayat (5) tidak memerlukan penerbitan kutipan
akta Pencatatan Sipil.
(7)  Pada  tingkat  kecamatan  laporan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  dilakukan  pada  UPTD
Instansi Pelaksana.
Pasal 35
Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi:
a.  perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan; dan
b.  perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan di Indonesia atas permintaan Warga Negara Asing
yang bersangkutan.
Pasal 36
Dalam  hal  perkawinan  tidak  dapat  dibuktikan  dengan  Akta  Perkawinan,  pencatatan  perkawinan
dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan.
Paragraf 2
Pencatatan Perkawinan di luar Wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia
Pasal 37
(1)  Perkawinan  Warga  Negara  Indonesia  di  War  wilayah  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia  wajib
dicatatkan  pada  instansi  yang  berwenang  di  negara  setempat  dan  dilaporkan  pada  Perwakilan
Republik Indonesia.
(2)  Apabila negara setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menyelenggarakan pencatatan
perkawinan bagi Orang Asing, pencatatan dilakukan pada Perwakilan Republik Indonesia setempat.
(3)  Perwakilan  Republik  Indonesia  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (2)  mencatat  peristiwa
perkawinan dalam Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan.
(4)  Pencatatan  perkawinan  sebagaimana  dimaksud  pada ayat  (1)  dan  ayat  (2)  dilaporkan  oleh  yang
bersangkutan  kepada  Instansi  Pelaksana  di  tempat  tinggalnya  paling  lambat  30  (tiga  puluh)  hari
sejak yang bersangkutan kernbali ke Indonesia.
Pasal 38
Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  persyaratan  dan  tata  Cara  pencatatan  perkawinan  sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37 diatur dalam Peraturan Presiden.
Bagian Keempat
Pencatatan Pembatalan Perkawinan
Pasal 39
(1)  Pembatalan perkawinan wajib dilaporkan oleh Penduduk yang mengalami pembatalan perkawinan
kepada  Instansi  Pelaksana  paling  lambat  90  (sembilan  puluh)  hari  setelah  putusan  pengadilan
tentang pembatalan perkawinan yang telah memperolehkekuatan hukum tetap.
(2)  Instansi Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencabut Kutipan Akta Perkawinan dari
kepemilikan subjek akta dan rnengeluarkan Surat Keterangan Pembatalan Perkawinan.
(3)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  persyaratan  dan tata  cara  pencatatan  pembatalan  perkawinan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Presiden.
Bagian Kelima
Pencatatan Perceraian
Paragraf 1
Pencatatan Perceraian di Wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia
Pasal 40
(1)  Perceraian wajib dilaporkan oleh  yang  bersangkutan kepada Instansi  Pelaksana paling Iambat  60
(enam puluh) hari sejak putusan pengadilan tentang  perceraian  yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
(2)  Berdasarkan  laporan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1),  Pejabat  Pencatatan  Sipil  mencatat
pada Register Akta Perceraian dan menerbitkan Kutipan Akta Perceraian.
Paragraf 2
Pencatatan Perceraian di luar Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
Pasal 41
(1)  Perceraian  Warga  Negara  Indonesia  di  luar  wilayah  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia  wajib
dicatatkan  pada  instansi  yang  berwenang  di  negara  setempat  dan  dilaporkan  pada  Perwakilan
Republik Indonesia.
(2)  Apabila negara setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menyelenggarakan pencatatan
perceraian bagi Orang Asing, pencatatan dilakukan pada Perwakilan Republik Indonesia setempat.
(3)  Perwakilan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencatat peristiwa perceraian
dalam Register Akta Perceraian dan rnenerbitkan Kutipan Akta Perceraian.
(4)  Pencatatan  perceraian  sebagaimana  dimaksud  pada ayat  (1)  dan  ayat  (2)  dilaporkan  oleh  yang
bersangkutan  kepada  Instansi  Pelaksana  di  tempat  tinggalnya  paling  lambat  30  (tiga  puluh)  hari
sejak yang bersangkutan kembali ke Republik Indonesia.
Pasal 42
Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  persyaratan  dan  tata  cara  pencatatan  perceraian  sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 dan Pasal 41 diatur dalam Peraturan Presiden.
Bagian Keenam
Pencatatan Pembatalan Perceraian
Pasal 43
(1)  Pembatalan perceraian bagi Penduduk wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana
paling  lambat  60  (enarn  puluh)  hari  setelah  putusan pengadilan  tentang  pembatalan  perceraian
mempunyai kekuatan hukum tetap.
(2)  Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Instansi Pelaksana mencabut Kutipan
Akta  Perceraian  dari  kepemilikan  subjek  akta  dan  mengeluarkan  Surat  Keterangan  Pembatalan
Perceraian.
(3)  Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dantata cara pencatatan pembatalan perceraian diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Presiden.
Bagian Ketujuh
Pencatatan Kematian
Paragraf 1
Pencatatan Kematian di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
Pasal 44
(1)  Setiap kematian wajib dilaporkan oleh keluarganya atau yang mewakili kepada Instansi Pelaksana
paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal kematian.
(2)  Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada
Register Akta Kematian dan menerbitkan Kutipan AktaKematian.
(3)  Pencatatan  kematian  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (2)  dilakukan  berdasarkan  keterangan
kematian dan pihak yang berwenang.
(4)  Dalam  hal  terjadi  ketidakjelasan  keberadaan  seseorang  karena  hilang  atau  mati  tetapi  tidak
ditemukan  jenazahnya,  pencatatan  oleh  Pejabat  Pencatatan  Sipil  baru  dilakukan  setelah  adanya
penetapan pengadilan.
(5)  Dalam hal terjadi kematian seseorang yang tidakjelas identitasnya, Instansi Pelaksana melakukan
pencatatan kematian berdasarkan keterangan dari kepolisian.
Paragraf 2
Pencatatan Kematian di luar Wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia
Pasal 45
(1)  Kematian  Warga  Negara  Indonesia  di  luar  wilayah Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia  wajib
dilaporkan oleh keluarganya atau yang mewakili keluarganya kepada Perwakilan Republik Indonesia
dan wajib  dicatatkan kepada instansi  yang berwenangdi negara setempat paling  lambat 7 (tujuh)
hari setelah kematian.
(2)  Apabila  Perwakilan  Republik  Indonesia  mengetahui  peristiwa  kematian  seseorang  Warga  Negara
Indonesia di negara setempat yang tidak dilaporkan dan dicatatkan paling lambat 7 (tujuh) hail sejak
diterimanya  informasi  tersebut,  pencatatan  kematiannya  dilakukan  oleh  Perwakilan  Republik
Indonesia.
(3)  Dalam  hal  seseorang  Warga  Negara  Indonesia  dinyatakan  hilang,  pernyataan  kematian  karma
hilang dan pencatatannya dilakukan oleh Instansi Pelaksana di negara setempat.
(4)  Dalam  hal  terjadi  kematian  seseorang  Warga  Negara  Indonesia  yang  tidak  jelas  identitasnya,
pernyataan dan pencatatan dilakukan oleh Instansi Pelaksana di negara setempat.
(5)  Keterangan pernyalaan kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dicatatkan pada
Perwakilan Republik Indonesia setempat.
(6)  Keterangan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (5)  menjadi dasar  Instansi  Pelaksana  di  Indonesia
mencatat peristiwa tersebut dan menjadi  bukti di pengadilan sebagai dasar penetapan pengadilan
mengenai kematian seseorang.
Pasal 46
Ketentuan lebih lanjut mengcnai persyaratan dan tata cara pencatatan kematian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44 dan Pasal 45 diatur dalam Peraturan Presiden.
Bagian Kedelapan
Pencatatan Pengangkatan Anak, Pengakuan Anak,
dan Pengesahan Anak
Paragraf 1
Pencatatan Pengangkatan Anak di Wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia
Pasal 47
(1)  Pencatatan pengangkatan anak dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan di tempat tinggal
pemohon.
(2)  Pencatatan  pengangkatan  anak  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  wajib  dilaporkan  oleh
Penduduk  kepada  Instansi  Pelaksana  yang  menerbitkan Kutipan  Akta  Kelahiran  paling  lambat  30
(tiga puluh) hari setelah diterimanya salinan penetapan pengadilan oleh Penduduk.
(3)  Berdasarkan  laporan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (2),  Pejabat  Pencatatan  Sipil  membuat
catatan pinggir pada Register Akta Kelahiran dan Kutipan Akta Kelahiran.
Paragraf 2
Pencatatan Pengangkatan Anak Warga Negara Asing
di luar Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 48
(1)  Pengangkatan  anak  warga  negara  asing  yang  dilakukan  oleh  Warga  Negara  Indonesia  di  luar
wilayah  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia  wajib  dicatatkan  pada  instansi  yang  berwenang  di
negara setempat.
(2)  Hasil  pencatatan  pengangkatan  anak  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  dilaporkan  kepada
Perwakilan Republik Indonesia.
(3)  Apabila negara setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menyelenggarakan pencatatan
Pengangkatan  Anak  bagi  warga  negara  asing,  warga  negara  yang  bersangkutan  melaporkan
kepada  Perwakilan  Republik  Indonesia  setempat  untuk mendapatkan  surat  keterangan
pengangkatan anak.
(4)  Pengangkatan  anak  warga  negara  asing  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  dan  ayat  (3)
dilaporkan  oleh  Penduduk  kepada  Instansi  Pelaksana  di  tempat  tinggalnya  paling  lambat  30  (tiga
puluh) hari sejak yang bersangkutan kembali ke Republik Indonesia.
(5)  Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Instansi Pelaksana mengukuhkan Surat
Keterangan Pengangkatan Anak.
Paragraf 3
Pencatatan Pengakuan Anak
Pasal 49
(1)  Pengakuan  anak  wajib  dilaporkan  oleh  orang tua  pada  Instansi  Pelaksana  paling  larnbat  30  (tiga
puluh)  hari  sejak tanggal  Surat  Pengakuan  Anak olehayah dan disetujui oleh ibu  dari anak  yang
bersangkutan.
(2)  Kewajiban  melaporkan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  dikecualikan  bagi  orang  tua  yang
agamanya tidak membenarkan pengakuan anak yang lahir diluar hubungan perkawinan yang sah.
(3)  Berdasarkan  laporan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1),  Pejabat  Pencatatan  Sipil  mencatat
pada Register Akta Pengakuan Anak dan menerbitkan Kutipan Akta Pengakuan Anak.
Paragraf 4
Pencatatan Pengesahan Anak
Pasal 50
(1) Setiap pengesahan anak wajib dilaporkan oleh orang tua kepada Instansi Pelaksana paling lambat
30  (tiga  puluh) hari  sejak  ayah  dan  ibu  dari  anak  yang bersangkutan  melakukan  perkawinan  dan
mendapatkan akta perkaw(nan.
(2)  Kewajiban  melaporkan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  dikecualikan  bagi  orang  tua  yang
agamanya tidak mernbenarkan pengesahan anak yang lahir diluar hubungan perkawinan yang sah.
(3)  Berdasarkan laporan pengesahan anak sebagaimanadimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan
Sipil membuat catatan pinggir pada Akta Kelahiran.
Pasal 51
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan pengangkatan anak, pengakuan
anak, dan pengesahan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, dan Pasal 50
diatur dalam Peraturan Presiden.
Bagian Kesembilan
Pencatatan Perubahan Nama dan Perubahan Status Kewarganegaraan
Paragraf 1
Pencatatan Perubahan Narna
Pasal 52
(1)  Pencatatan  perubahan  nama  dilaksanakan  berdasarkan  penetapan  pengadilan  negeri  tempat
pemohon.
(2)  Pencatatan perubahan nama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Penduduk
kepada  Instansi  Pelaksana  yang  rnenerbitkan  akta  Pencatatan  Sipil  paling  lambat  30  (tiga  puluh)
hari sejak diterimanya salinan penetapan pengadilannegeri oleh Penduduk.
(3)  Berdasarkan  laporan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (2),  Pejabat  Pencatatan  Sipil  membuat
catatan pinggir pada register akta Pencatatan Sipildan kutipan akta Pencatatan Sipil.
Paragraf 2
Pencatatan Perubahan Status Kewarganegaraan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
Pasal 53
(1)  Perubahan  status  kewarganegaraan  dari  warga  negara  asing  menjadi  Warga  Negara  Indonesia
wajib dilaporkan oleh Penduduk yang bersangkutan kepada Instansi Pelaksana di tempat peristiwa
perubahan  status  kewarganegaraan  paling  lambat  60  (enarn  puluh)  hari  sejak  berita  acara
pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia oleh pejabat.
(2)  Berdasarkan  laporan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1),  Pejabat  Pencatatan  Sipil  mernbuat
catatan pinggir pada register akta Pencatatan Sipildan kutipan akta Pencatatan Sipil.
Paragraf 3
Pencatatan Perubahan Status Kewarganegaraan dan Warga Negara Indonesia Menjadi Warga Negara
Asing di luar Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
Pasal 54
(1)  Perubahan status kewarganegaraan dari Warga Negara Indonesia menjadi warga negara asing di
luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah mendapatkan persetujuan dari negara
setempat  wajib  dilaporkan  oleh  Penduduk  yang  bersangkutan  kepada  Perwakilan  Republik
Indonesia.
(2)  Perwakilan Republik Indonesia setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menerbitkan Surat
Keterangan Pelepasan Kewarganegaraan Indonesia.
(3)  Pelepasan  kewarganegaraan  Indonesia  sebagaimana dimaksud  pada  ayat  (2)  diberitahukan  oleh
Perwakilan  Republik Indonesia setempat kepada  menteri  yang berwenang berdasarkan ketentuan
Peraturan Perundangundangan untuk diteruskan kepadaInstansi Pelaksana yang menerbitkan akta
Pencatatan Slpll yang bersangkutan.
(4)  Berdasarkan  pemberitahuan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (3),  Pejabat  Pencatatan  Sipil
mernbuat catatan pinggir pada register akta Pencatatan Sipil dan kutipan akta Pencatatan Sipil.
Pasal 55
Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  persyaratan  dan  tata  cara  pencatatan  perubahan  nama  dan  status
kewarganegaraan  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  52,  Pasal  53,  dan  Pasal  54  diatur  dalam
Peraturan Presiden.
Bagian Kesepuluh
Pencatatan Peristiwa Penting Lainnya
Pasal 56
(1)  Pencatatan  Peristiwa  Penting  lainnya  dilakukan  oleh  Pejabat  Pencatatan  Sipil  atas  permintaan
Penduduk yang bersangkutan setelah adanya penetapanpengadilan negeri yang lelah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
(2)  Pencatatan Peristiwa Penting lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 30 (tiga
puluh) hari sejak diterimanya salinan penetapan pengadilan.
(3)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  persyaratan  dan tata  cara  pencatatan  Peristiwa  Penting  lainnya
diatur dalam Peraturan Presiden.
Bagian Kesebelas
Pelaporan Penduduk yang Tidak Mampu Melaporkan Sendiri
Pasal 57
(1)  Penduduk  yang  tidak  mampu  melaksanakan  sendiri  pelaporan  terhadap  Peristiwa  Penting  yang
menyangkut  dirinya  sendiri  dapat  dibantu  oleh  Instansi  Pelaksana  atau  meminta  bantuan  kepada
orang lain.
(2)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  persyaratan  dan tata  cara  pelaporan  Penduduk  sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden.
BAB VI
DATA DAN DOKUMEN KEPENDUDUKAN
Bagian Kesatu
Data Kependudukan
Pasal 58
(1)  Data Kependudukan terdiri atas data perseorangan dan/atau data agregat Penduduk.
(2) Data perseorangan meliputi :
a.  nomor KK;
b.  NIK;
c.  nama lengkap:
d.  jenis kelamin;
e.  tempat lahir;
f.  tanggal/bulan/tahun lahir;
g.  golongan darah:
h.  agama/kepercayaan;
i.  status perkawinan;
j.  status hubungan dalam keluarga;
k.  cacat fisik dan/atau mental;
l.  pendidikan terakhir:
m.  jenis pekerjaan;
n.  NIK ibu kandung;
o.  nama ibu kandung;
p.  NIK ayah;
q.  nama ayah:
r.  alamat sebelumnya;
s.  alamat sekarang:
t.  kepemilikan akta kelahiran/surat kenal lahir;
u.  nomor akta kelahiran/nomor surat kenal lahir;
v.  kepemilikan akta perkawinan/buku nikah;
w.  nomor akta perkawinan/buku nikah;
x.  tanggal perkawinan;
y.  kepemilikan akta perceraian:
z.  nomor akta perceraian/surat cerai;
aa. tanggal perceraian.
(3) Data agregat meliputi himpunan data perseorangan yang berupa data kuantitatif dan data kualitatif.
Bagian Kedua
Dokumen Kependudukan
Pasal 59
(1) Dokumen Kependudukan meliputi:
a.  Biodata Penduduk:
b.  KK;
c.  KTP;
d.  surat keterangan kependudukan: dan
e.  Akta Pencatatan Sipil.
(2) Surat keterangan kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi:
a.  Surat Keterangan Pindah:
b.  Surat Keterangan Pindah Datang:
c.  Surat Keterangan Pindah ke Luar Negeri;
d.  Surat Keterangan Datang dari Luar Negeri;
e.  Surat Keterangan Tempat'1inggal:
f.  Surat Keterangan Kelahiran;
g.  Surat Keterangan Lahir Mali.
h.  Surat Keterangan Pembatalan Perkawinan;
i.  Surat Keterangan Pembatalan Perceraian;
j.  Surat Keterangan Kematian;
k.  Surat Keterangan Pengangkatan Anak;
l.  Surat  Keterangan  Pelepasan  Kewarganegaraan Indonesia;
m.  Surat Keterangan Pengganti Tanda Identitas; dan
n.  Surat Keterangan Pencatatan Sipil.
(3)  Biodata  Penduduk,  KK,  KTP,  Surat  Keterangan  Pindah  Penduduk  Warga  Negara  Indonesia
antarkabupaten/kota  dalam  satu  provinsi  dan  antarprovinsi  dalam  wilayah  Negara  Kesatuan
Republik  Indonesia,  Surat  Keterangan  Pindah  Datang  Penduduk  Warga  Negara  Indonesia
antarkabupaten/kota  dalam  satu  provinsi  dan  antarprovinsi  dalam  wilayah  Negara  Kesatuan
Republik  Indonesia,  Surat  Keterangan  Pindah  Datang  Penduduk  Orang  Asing  dalam  wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia, Surat Keterangan Pindah ke Luar Negeri. Surat Keterangan
Datang  dari  Luar  Negeri.  Surat  Keterangan  Tempat Tinggal  untuk  Orang  Asing  Tinggal  Terbatas,
Surat  Keterangan  Kelahiran  untuk  Orang  Asing,  Surat Keterangan  Lahir  Mati  untuk  Orang  Asing,
Surat Keterangan Kematian untuk Orang Asing, Surat  Keterangan Pembatalan Perkawinan, Surat
Keterangan  Pembatalan  Perceraian, Surat  Keterangan  Pengganti  Tanda Identitas,  diterbitkan dan
ditandatangani oleh Kepala Instansi Pelaksana.
(4)  Surat  Keterangan  Pindah  Penduduk  Warga  Negara  Indonesia  antarkecamatan  dalam  satu
kabupaten/kota,  Surat  Keterangan  Pindah  Datang  Penduduk  Warga  Negara  Indonesia
antarkecamatan dalam satu kabupaten/kota, dapat diterbitkan dan ditandatangani oleh camat atas
nama Kepala Instansi Pelaksana.
(5)  Surat Keterangan Pindah Datang Penduduk Warga Negara Indonesia dalam satu desa/kelurahan,
Surat  Keterangan  Pindah  Datang  Penduduk Warga  Negara  Indonesia  antardesa/kelurahan  dalam
satu  kecamatan,  Surat  Keterangan  Kelahiran  untuk  Warga  Negara  Indonesia,  Surat  Keterangan
Lahir  Mati  untuk  Warga  Negara  Indonesia  dan  Surat  Keterangan  Kematian  untuk  Warga  Negara
Indonesia, dapat diterbitkan dan ditandatangani oleh kepala desa/lurah atas nama Kepala Instansi
Pelaksana.
(6)  Surat Keterangan Pengakuan Anak dan  Surat Keterangan Pelepasan  Kewarganegaraan  Republik
Indonesia, diterbitkan dan ditandatangani oleh Kepala Perwakilan Republik Indonesia.
Pasal 60
Biodata  Penduduk  paling  sedikit  memuat  keterangan  tentang  nama,  tempat  dan  tanggal  lahir,  alamat
dan jatidiri lainnya secara lengkap, serta perubahan data sehubungan dengan Peristiwa Kependudukan
dan Peristiwa Penting yang dialami.
Pasal 61
(1)  KK  memuat  keterangan  mengenai  kolom  nomor  KK,  nama  lengkap  kepala  keluarga  dan  anggota
keluarga,  NIK,  jenis  kelamin,  alamat,  tempat  lahir, tanggal  Iahir,  agama,  pendidikan,  pekerjaan,
status  perkawinan,  status  hubungan  dalam  keluarga,  kewarganegaraan,  dokumen  imigrasi,  nama
orang tua.
(2)  Keterangan  rnengenal  kolom  agama  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  bagi  Penduduk  yang
agamanya  belum  diakui  sebagai  agama  berdasarkan  ketentuan  Peraturan  Perundang-undangan
atau  bagi  penghayat  kepercayaan  tidak  diisi,  tetapi tetap  dilayani  dan  dicatat  dalam  database
Kependudukan.
(3)  Nomor  KK  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  berlaku  untuk  selamanya,  kecuali  terjadi
perubahan kepala keluarga.
(4)  KK  diterbitkan  dan diberikan oleh Instansi  Pelaksana kepada  Penduduk Warga  Negara Indonesia
dan Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap.
(5)  KK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijadikansalah satu dasar penerbitan KTP.
Pasal 62
(1)  Penduduk  Warga  Negara  Indonesia  dan  Orang  Asing yang  memiliki  Izin  Tinggal  Tetap  hanya
diperbolehkan terdaftar dalam 1 (satu) KK.
(2)  Perubahan  susunan  keluarga  dalam  KK  wajib  dilaporkan  kepada  lnstansi  Pelaksana  selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak terjadinya perubahan.
(3)  Berdasarkan  laporan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (2),  Instansi  Pelaksana  mendaftar  dan
menerbitkan KK.
Pasal 63
(1)  Penduduk Warga Negara Indonesia dan Orang Asingyang memiliki Izin Tinggal Tetap yang telah
berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin atau pernah kawin wajib memiliki KTP.
(2)  Orang  Asing  yang  mengikuti  status  orang  tuanya  yang  memiliki  Izin  Tinggal  Tetap  dan  sudah
berumur 17 (tujuh belas) tahun wajib memiliki KTP.
(3)  KTP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat(2) berlaku secara nasional.
(4)  Penduduk wajib  melaporkan perpanjangan  masa  berlaku KTP kepada Instansi  Pelaksana apabila
masa berlakunya telah berakhir.
(5)  Penduduk yang telah memiliki KTP wajib membawa pada saat bepergian.
(6)  Penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) danayat (2) hanya diperbolehkan memiliki 1 (satu)
KTP.
Pasal 64
(1)  KTP  mencantumkan  gambar  lambang  Garuda  Pancasila  dan  peta  wilayah  Negara  Kesatuan
Republik  Indonesia,  memuat  keterangan  tentang  NIK,  nama,  tempat  tanggal  lahir,  laki-laki  atau
perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas
foto,  masa  berlaku,  tempat  dan  tanggal  dikeluarkan  KTP,  tandatangan  pemegang  KTP,  serta
memuat nama dan nomor induk pegawai pejabat yang menandatanganinya.
(2)  Keterangan tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya
belum  diakui  sebagai  agama  berdasarkan  ketentuan  Peraturan  Perundang-undangan  atau  bagi
penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.
(3)  Dalam KTP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan ruang untuk memuat kode keamanan
dan rekaman elektronik pencatatan Peristiwa Penting.
(4) Masa berlaku KTP:
a.  untuk Warga Negara Indonesia berlaku selama 5 (lima) tahun:
b.  untuk Orang Asing Tinggal Tetap disesuaikan dengan masa berlaku Izin Tinggal Tetap.
(5) Penduduk yang telah berusia 60 (enam puluh) tahun diberi KTP yang berlaku seumur hidup.
Pasal 65
Surat Keterangan Kependudukan paling sedikit memuatketerangan tentang nama lengkap, NIK, jenis
kelamin,  tempat  tanggal  lahir,  agama,  alamat,  Peristiwa  Kependudukan  dan  Peristiwa  Penting  yang
dialami oleh seseorang.
Pasal 66
(1)  Akta Pencatatan Sipil terdiri atas:
a.  Register Akta Pencatatan Sipil; dan
b.  Kutipan Akta Pencatatan Sipil.
(2) Akta Pencatatan Sipil berlaku selamanya.
Pasal 67
(1)  Register Akta Pencatatan Sipil memuat seluruh data Peristiwa Penting.
(2)  Data Peristiwa Penting yang berasal dari KUAKecdiintegrasikan ke dalam database kependudukan
dan tidak diterbitkan Kutipan Akta Pencatatan Sipil.
(3)  Register Akta Pencatatan Sipil disimpan dan dirawat oleh Instansi Pelaksana.
(4)  Register Akta Pencatatan Sipil memuat:
a.  jenis Peristiwa Penting;
b.  NIK dan status kewarganegaraan;
c.  nama orang yang mengalami Peristiwa Penting;
d.  nama dan identitas pelapor;
e.  tempat dan tanggal peristiwa;
f.  nama dan identitas saksi:
g.  tempat dan tanggal dikeluarkannya akta: dan
h.  nama dan tanda tangan Pejabat yang berwenang.
Pasal 68
(1)  Kutipan Akta Pencatatan Sipil terdiri atas kutipan akta:
a.  kelahiran;
b.  kematian;
c.  perkawinan;
d.  perceraian; dan
e.  pengakuan anak.
(2)  Kutipan Akta Pencatatan Sipil rnemuat:
a.  jenis Peristiwa Penting;
b.  NIK dan status kewarganegaraan;
c.  nama orang yang mengalami Peristiwa Penting;
d.  tempat dan tanggal peristiwa;
e.  tempat dan tanggal dikeluarkannya akta;
f.  nama dan tanda tangan Pejabat yang berwenang; dan
g.  pernyataan  kesesuaian  kutipan  tersebut  dengan  data  yang  terdapat  dalam  Register  Akta
Pencatatan Sipil.
Pasal 69
(1)  lnstansi  Pelaksana  atau  Pejabat  yang  diberi  kewenangan,  sesuai  tanggung  jawabnya,  wajib
menerbitkan dokumen Pendaftaran Penduduk sebagai berikut:
a.  KK atau KTP paling lambat 14 (empat belas) hari:
b.  Surat Keterangan Pindah paling lambat 14 (empat belas) hari;
c.  Surat Keterangan Pindah Datang paling lambat 14 (empat belas) hari;
d.  Surat Kerangan Pindah ke Luar Negeri paling lambat 14 (empat belas) hari;
e.  Surat Keterangan Datang dari Luar Negeri paling lambat 14 (empat belas) hari;
f.  Surat Keterangan Tempat Tinggal untuk Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Terbatas paling
lambat 14 (empat belas) hari;
g.  Surat Keterangan Kelahiran paling lambat 14 (empat belas) hari;
h.  Surat Keterangan Lahir Mati paling lambat 14 (empat belas) hari;
i.  Surat Keterangan Kematian paling lambat 3 (tiga)hari;
j.  Surat Keterangan Pembatalan Perkawinan paling lambat 7 (tujuh) hari; atau
k.  Surat  Keterangan  Pembatalan  Perceraian  paling  lambat  7  (tujuh)  hari;  sejak  tanggal
dipenuhinya sernua persyaratan.
(2) Perwakilan Republik Indonesia wajib menerbitkanSurat Keterangan Kependudukan sebagai berikut:
a.  Surat Keterangan Perceraian paling lambat 7 (tujuh) hari;
b.  Surat Keterangan Pengangkatan Anak paling lambat7 (tujuh) hari; atau
c.  Surat  Keterangan  Pelepasan  Kewarganegaraan  Indonesia  paling  lambat  7  (tujuh)  hari;  sejak
tanggal dipenuhinya semua persyaratan.
(3)  Pejabat  Pencatatan  Sipil  dan  Pejabat  pada  Perwakilan  Republik  Indonesia  yang  ditunjuk  sebagai
pembantu pencatat sipil wajib mencatat pada register akta Pencatatan Sipil dan menerbitkan kutipan
akta  Pencatatan  Sipil  paling  lambat  30  (tiga  puluh) hari  sejak  tanggal  dipenuhinya  semua
persyaratan.
Pasal 70
(1)  Pernbetulan KTP hanya dilakukan untuk KTP yang mengalami kesalahan tulis redaksional.
(2)  Pembetulan  KTP  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  dilaksanakan  dengan  atau  tanpa
permohonon dari orang yang menjadi subjek KTP.
(3)  Pembetulan KTP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Instansi Pelaksana.
Pasal 71
(1)  Pembelulan  akta  Pencatatan  Sipil  hanya  dilakukan  untuk  akta  yang  mengalami  kesalahan  tulis
redaksional.
(2)  Pembetulan akta Pencatatan Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan atau
tanpa permohonan dari orang yang menjadi subjek akta.
(3)  Pembetulan  akta  Pencatatan  Sipil  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  dilakukan  oleh  Pejabat
Pencatatan Sipil sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 72
(1)  Pembatalan  akta  Pencatatan  Sipil  dilakukan  berdasarkan  putusan  pengadilan  yang  telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
(2)  Berdasarkan putusan pengadilan mengenai pembatalan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pejabat Pencatatan Sipil membuat catatan pinggir pada Register Akta dan mencabut kutipan aktaakta Pencatatan Sipil yang dibatalkan dari kepemilikan subjek akta.
Pasal 73
Dalam hal wilayah hukum Instansi Pelaksana yang menerbitkan akta berbeda dengan pengadilan yang
memutus pembatalan akta, salinan putusan pengadilandisampaikan kepada Instansi Pelaksana  yang
menerbitkan akta Pencatatan Sipil oleh pemohon ataupengadilan.
Pasal 74
Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  persyaratan  dan  tata  cara  pencatatan  pembetulan  dan  pembatalan
Akta  Pencatatan  Sipil  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  71  dan  Pasal  72  diatur  dalam  Peraturan
Presiden.
Pasal 75
Ketentuan  mengenai  spesifikasi  dan  formulasi  kalimat  dalam  Biodata  Penduduk,  blangko  KK,  KTP,
Surat Keterangan Kependudukan, Register dan KutipanAkta  Pencatatan Sipil diatur dalam Peraturan
Menteri.
Pasal 76
Ketentuan  mengenai  penerbitan  Dokumen  Kependudukan  bagi  petugas  rahasia  khusus  yang
melakukan tugas keamanan negara diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 77
Setiap  orang  dilarang  mengubah,  menambah  atau  mengurangi  tanpa  hak,  isi  elemen  data  pada
Dokumen Kependudukan.
Pasal 78
Ketentuan  mengenai  pedoman  pendokumentasian  hasil  Pendaftaran  Penduduk  dan  Pencatatan  Sipil
diatur dalam Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Perlindungan Data dan Dokumen Kependudukan
Pasal 79
(1)  Data dan dokumen kependudukan wajib disimpan dan dilindungi oleh negara.
(2)  Menteri sebagai penanggung jawab memberikan hakakses kepada petugas pada Penyelenggara
dan  Instansi  Pelaksana  untuk  memasukkan,  menyimpan, membaca,  mengubah,  meralat  dan
menghapus, serta mencetak Data, mengkopi Data dan Dokumen Kependudukan.
(3)  Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, ruang lingkup, dan tata cara mengenai pemberian hak
akses sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB VII
PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL
SAAT NEGARA ATAU SEBAGIAN NEGARA DALAM KEADAAN
DARURAT DAN LUAR BIASA
Pasal 80
(1)  Apabila  negara  atau  sebagian  negara  dinyatakan  dalam  keadaan  darurat  dengan  segala
tingkatannya  berdasarkan  ketentuan  Peraturan  Perundang-undangan,  otoritas  pemerintahan  yang
menjabat  pada  saat  itu  diberi  kewenangan  membuat  surat  keterangan  mengenai  Peristiwa
Kependudukan dan Peristiwa Penting.
(2)  Surat  keterangan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat (1)  sebagai  dasar  penerbitan  Dokumen
Kependudukan.
(3)  Apabila  keadaan  sudah  dinyatakan  pulih,  Instansi  Pelaksana  aktif  mendata  ulang  dengan
melakukan  Pendaftaran  Penduduk  dan  Pencatatan  Sipil di  tempat  sebagaimana  dimaksud  pada
ayat (1).
Pasal 81
(1)  Dalam  hal  terjadi  keadaan  luar  biasa  sebagai  akibat  bencana  alam,  Instansi  Pelaksana  wajib
melakukan pendataan Penduduk bagi pengungsi dan korban bencana alam.
(2)  Instansi Pelaksana menerbitkan Surat KeteranganPengganti Tanda Identitas dan Surat Keterangan
Pencatatan Sipil berdasarkan hasil pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)  Surat  Keterangan  Pengganti  Tanda  Identitas  atau Surat  Keterangan  Pencatatan  Sipil  digunakan
sebagai tanda bukti diri dan bahan pertimbangan untuk penerbitan Dokumen Kependudukan.
(4)  Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dantata cara penerbitan Surat Keterangan Pengganti
Tanda Identitas dan Surat Keterangan Pencatatan Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dalam Peraturan Menteri.
BAB VIII
SISTEM INFORMASI ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN
Pasal 82
(1)  Pengelolaan informasi Administrasi Kependudukandilakukan oleh Menteri.
(2)  Pengelolaan  informasi  Administrasi  Kependudukan sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)
dilakukan melalui pembangunan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan.
(3)  Ketentuan  lebih  lanjut  rnengenai  Sistem  informasi  Administrasi  Kependudukan  dan
pengelolaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(4)  Pengkajian  dan  pengembangan  Sistem  Informasi  Administrasi  Kependudukan  dilakukan  oleh
Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota
(5)  Pedoman  pengkajian  dan  pengembangan  Sistem  Informasi  Administrasi  Kependudukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri.
Pasal 83
(1)  Data Penduduk yang dihasilkan oleh Sistem Informasi Administrasi Kependudukan dan tersimpan di
dalam  database  kependudukan  dimanfaatkan  untuk  kepentingan  perumusan  kebijakan  di  bidang
pemerintahan dan pembangunan.
(2)  Pemanfaatan data Penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan izin
Penyelenggara.
(3)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  persyaratan  dan tata  cara  mendapatkan  izin  sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB IX
PERLINDUNGAN DATA PRIBADI PENDUDUK
Pasal 84
(1)  Data Pribadi Penduduk yang harus dilindungi memuat:
a.  nomor KK;
b.  NIK;
c.  tanggal/bulan/tahun lahir;
d.  keterangan tentang kecacatan fisik dan/atau mental;
e.  NIK ibu kandung;
f.  NIK ayah;dan
g.  beberapa isi catatan Peristiwa Penting.
(2)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  beberapa  isi  catatan  Peristiwa  Penting  sebagaimana  dimaksud
pada ayat (1) huruf g diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 85
(1) Data Pribadi Penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 wajib disimpan dan dilindungi oleh
negara.
(2)  Ketentuan lebih lanjut mengenai penyimpanan danperlindungan terhadap Data Pribadi Penduduk
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(3)  Data  Pribadi  Penduduk  sebagaimana  dimaksud  pada ayat  (1)  harus  dijaga  kebenarannya  dan
dilindungi  kerahasiaannya  oleh  Penyelenggara  dan  Instansi  Pelaksana  sesuai  dengan  ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 86
(1)  Menteri sebagai penanggung jawab memberikan hakakses kepada petugas pada Penyelenggara
dan  Instansi  Pelaksana  untuk  memasukkan,  menyimpan, membaca,  mengubah,  meralat  dan
menghapus, mengkopi Data serta mencetak Data Pribadi.
(2)  Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, ruang lingkup, dan tata cara mengenai pemberian hak
akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 87
(1)  Pengguna Data Pribadi Penduduk dapat rnemperoleh dan menggunakan Data Pribadi dari petugas
pada Penyelenggara dan Instansi Pelaksana yang memiliki hak akses.
(2)  Ketentuan  lebih lanjut  mengenai  persyaratan dantata cara untuk  memperoleh  dan  menggunakan
Data Pribadi Penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB X
PENYIDIKAN
Pasal 88
(1) Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya dalam bidang Administrasi Kependudukan diberi wewenang
khusus  sebagai  Penyidik  Pegawai  Negeri  Sipil  sebagaimana  diatur  dalam  Kitab  Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.
(2)  Penyidik  Pegawai  Negeri  Sipil  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  dalam  melaksanakan  tugas
penyidikan berwenang untuk:
a.  menerima laporan atau pengaduan dari orang atau badan hukum tentang adanya dugaan tindak
pidana Administrasi Kependudukan;
b.  memeriksa laporan atau keterangan atas adanya dugaan tindak pidana Administrasi
Kependudukan:
c.  memanggil  orang  untuk  diminta  keterangannya  atas adanya  dugaan  sebagaimana  dimaksud
pada huruf b; dan
d.  membuat dan menandatangani Berita Acara Pemeriksaan.
(3)  Pengangkatan,  mutasi,  dan  pemberhentian  Penyidik  Pegawai  Negeri  Sipil,  serta  mekanisme
penyidikan dilakukan berdasarkan ketentuan Peraturan Perundangundangan.
BAB XI
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 89
(1)  Setiap  Penduduk  dikenai  sanksi  administratif  berupa  denda  apabila  melampaui  batas  waktu
pelaporan Peristiwa Kependudukan dalam hal:
a.  pindah  datang  bagi  Orang  Asing  yang  memiliki  Izin  Tinggal  Terbatas  atau  Orang  Asing  yang
memiliki Izin Tinggal Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3);
b.  pindah datang ke luar negeri bagi Penduduk WargaNegara Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (3);
c.  pindah datang dari luar negeri bagi Penduduk Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 ayat (1);
d.  pindah  datang  dari  luar  negeri  bagi  Orang  Asing yang  memiliki  Izin  Tinggal  Terbatas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1):
e.  perubahan status Orang Asing yang memiliki IzinTinggal Terbatas menjadi Orang Asing yang
memiliki Izin Tinggal Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1);
f.  pindah ke luar negeri bagi Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Terbatas atau Orang Asing
yang memiliki Izin Tinggal Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1);
g.  perubahan KK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (2): atau
h.  perpanjangan KTP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (4).
(2)  Denda  administratif  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  terhadap  Penduduk  Warga  Negara
Indonesia  paling  banyak  Rp.1.000.000.00  (satu  juta  rupiah)  dan  Penduduk  Orang  Asing  paling
banyak Rp.2.000.000,00 (dua juta rupiah).
(3)  Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan Bendaadministratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dalam Peraturan Presiden .
Pasal 90
(1)  Setiap  Penduduk  dikenai  sanksi  administratif  berupa  denda  apabila  melampaui  batas  waktu
pelaporan Peristiwa Penting dalam hal:
a.  kelahiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) atau Pasal 29 ayat (4) atau Pasal 30
ayat (6) atau Pasal 32 ayat (1) atau Pasal 33 ayat (1):
b.  perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) atau Pasal 37 ayat (4):
c.  pembatalan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1);
d.  perceraian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) atau Pasal 41 ayat (4);
e.  pernbatalan perceraian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1);
f.  kematian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) atau Pasal 45 ayat (1);
g.  pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) atau Pasal 48 ayat (4):
h.  pengakuan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1):
i.  pengesahan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal50 ayat (1);
j.  perubahan nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2);
k.  perubahan status kewarganegaraan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat
(1); atau
l.  Peristiwa Penting lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2).
(2)  Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak Rp.1.000.000,00 (satu juta
rupiah).
(3)  Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan dendaadministratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dalam Peraturan Presiden.
Pasal 91
(1)  Setiap Penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (5) yang berpergian tidak membawa
KTP dikenakan denda administratif paling banyak Rp.50.000,00 (lima puluh ribu rupiah).
(2)  Setiap  Orang  Asing  yang  memiliki  Izin  Tinggal  Terbatas  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  20
ayat  (4)  yang  berpergian  tidak  membawa  Surat  Keterangan  Tempat  Tinggal  dikenai  denda
administratif paling banyak Rp.100.000,00 (seratus ribu rupiah),
(3)  Ketentuan lebih lanjut mengenai denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dalam Peraturan Presiden.
Pasal 92
(1)  Dalam hal Pejabat pada Instansi Pelaksana melakukan tindakan atau sengaja melakukan tindakan
yang  memperlambat  pengurusan  Dokumen  Kependudukan  dalam  batas  waktu  yang  ditentukan
dalam  Undang-Undang  ini  dikenakan  sanksi  berupa  Benda  paling  banyak  Rp.10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah).
(2)  Ketentuan  lebih  lanjut  rnengenai  denda  administratif  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  diatur
dalam Peraturan Presiden.
BAB XII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 93
Setiap  Penduduk  yang  dengan  sengaja  memalsukan  surat  dan/atau  dokumen  kepada  Instansi
Pelaksana dalam melaporkan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).
Pasal 94
Setiap orang yang tanpa hak dengan sengaja mengubah, menambah, atau mengurangi isi elemen data
pada  Dokumen  Kependudukan  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  77  dipidana  dengan  pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.25.000.000,00 (dua puluh lima juta
rupiah).
Pasal 95
Setiap orang yang tanpa hak mengakses database kependudukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
79  ayat  (1)  dan/atau  Pasal  86  ayat  (1)  dipidana  dengan  pidana  penjara  paling  lama  2  (dua)  tahun
dan/atau denda paling banyak Rp.25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
Pasal 96
Setiap  orang  atau  badan  hukum  yang  tanpa  hak  mencetak,  menerbitkan,  dan/atau  mendistribusikan
blangko  Dokumen  Kependudukan  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  5  huruf  f  dipidana  dengan
pidana  penjara  paling  lama  10  (sepuluh)  tahun  dan  denda  paling  banyak  Rp.1.000.000.000,00  (satu
miliar rupiah).
Pasal 97
Setiap  Penduduk  yang  dengan  sengaja  mendaftarkan  diri  sebagai  kepala  keluarga  atau  anggota
keluarga lebih dari satu KK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) atau untuk memiliki KTP
lebih dari satu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63ayat (6) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.25.000.000.00 (dua puluh lima juta rupiah).
Pasal 98
(1)  Dalam  hal  pejabat  dan  petugas  pada  Penyelenggara  dan  Instansi  Pelaksana  melakukan  tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 atau Pasal 94, pejabat yang bersangkutan dipidana
dengan pidana yang sama ditambah 1/3 (satu pertiga).
(2)  Dalam hal pejabat dan petugas pacla Penyelenggara dan Instansi Pelaksana membantu melakukan
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95,  pejabat yang bersangkutan dipidana sesuai
dengan ketentuan undang-undang.
Pasal 99
Tindak  pidana  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  93,  Pasal  94,  Pasal  95,  Pasal  96,  dan  Pasal  97
adalah tindak pidana Administrasi Kependudukan.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 100
(1)  Semua  Dokumen  Kependudukan  yang  telah  diterbitkan  atau  yang  telah  ada  pada  saat  UndangUndang ini diundangkan dinyatakan tetap berlaku menurut Undang-Undang ini.
(2)  Ketentuan  sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  dikecualikan  untuk  KK dan KTP sampai  dengan
batas  waktu  berlakunya  atau  diterbitkannya  KK  dan  KTP  yang  sesuai  dengan  ketentuan  dalam
Undang-Undang ini.
Pasal 101
Pada saat Undang-Undang ini berlaku:
a.  Pemerintah memberikan NIK kepada setiap Pendudukpaling lambat 5 (lima) tahun;
b.  Semua  instansi  wajib  menjadikan  NIK  sebagai  dasar  dalam  menerbitkan  dokumen  sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) paling lambat 5 (lima) tahun;
c.  KTP  seumur  hidup  yang  sudah  mempunyai  NIK  tetap  berlaku  dan  yang  belum  mempunyai  NIK
harus disesuaikan dengan Undang-Undang ini;
d.  KTP  yang diterbitkan belum mengacu pada Pasal 64ayat (3) tetap berlaku sampai dengan batas
waktu berakhirnya masa berlaku KTP;
e.  Keterangan mengenai alamat, nama dan nomor indukpegawai pejabat dan penandatanganan oleh
pejabat  pada  KTP  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  64  ayat  (1)  dihapus  setelah  database
kependudukan nasional terwujud.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 102
Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini, sernua Peraturan Pelaksanaan yang berkaitan dengan
Adnrinistrasi Kependudukan dinyatakan tetap berlakusepanjang tidak bertentangan dan belum diganti
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
Pasal 103
Peraturan  pelaksanaan  Undang-Undang  ini  harus  telah ditetapkan  paling  lambat  1 (satu)  tahun  sejak
Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 104
Pembentukan  UPTD  Instansi  Pelaksana  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  8  ayat  (5)  dilakukan
paling lambat 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 105
Dalam  waktu  paling  lambat  6  (enam)  bulan  sejak  diundangkannya  Undang-Undang  ini,  Pemerintah
wajib rnenerbitkan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang penetapan persyaratan dan tata cara
perkawinan bagi para penghayat kepercayaan sebagai dasar diperolehnya kutipan akta perkawinan dan
pelayanan pencatatan Peristiwa Penting.
Pasal 106
Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku:
a.  Buku  Kesatu  Bab  Kedua  Bagian  Kedua  dan  Bab  Ketiga  Kitab  Undang-Undang  Hukurn  Perdata
(Burgerlijk Wetboek voor Indonesie, Staatsblad 1847:23);
b.  Peraturan Pencatatan Sipil untuk Golongan Eropa (Reglement op het Holden der Registers van den
Burgerlyken  Stand  voor  Europeanen,  Staatsblad  1849:25  sebagaimana  telah  diubah  terakhir
dengan Staatsblad 1946:1361;
c.  Peraturan  Pencatatan  Sipil  untuk  Golongan  Cina  (Bepalingen  voor  Geheel  Indonesie  Betreffende
het  Burgerlijken  Handelsrecht  van  de  Chinezean.  Staatsblad 1917:129  jo.  Staatsblad  1939:288
sebagaimana diubah terakhir dengan Staatsblad1946:136);
d.  Peraturan Pencatatan Sipil untuk Golongan Indonesia  (Reglement op het Holden van  de Registers
van  den  Burgerlijeken  Stand  Door  Eenigle  Groepen  v.d  nit  tot  de  Onderhoringer  van  een
Zelfbestuur,  behoorende  Ind.  Bevolking  van  Java  en  Madura,Staatsblad  1920:751  jo.  Staatsblad
1927:564);
c.  Peraturan Pencatatan Sipil untuk Golongan Kristen Indonesia (Huwelijksordonantie voor Christenen
Indonesiers  Java,  Minahasa  en  Amboiena,  Staatsblad 1933:74  jo.  Staatsblad  1936:607
sebagaimana diubah terakhir dengan Staatsblad 1939:288);
f.  Undang-Undang  Nomor  4  Tahun  1961  tentang  Perubahan  atau  Penambahan  Nama  Keluarga
(Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2154);
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 107
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar  setiap  orang  rnengetahuinya,  memerintahkan  pengundangan  Undang-Undang  ini  dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2006
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2006
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA AD
INTERIM REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YUSRIL IHZA MAHENDRA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR124
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2006
TENTANG
ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
I.  UMUM
Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia  berdasarkan  Pancasila  dan  Undang-Undang  Dasar
Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1945  pada  hakikatnya  berkewajiban  untuk  mernberikan
perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum setiap Peristiwa
Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialami oleh Penduduk yang berada di dalam dan/atau
di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berbagai Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa dengantegas menjamin hak setiap Penduduk
untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan  melalui perkawinan yang sah, mernperoleh
status  kewarganegaraan,  menjamin  kebebasan  memeluk  agama.  dan  memilih  tempat  tinggal  di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan rneninggalkannya, serta berhak kembali.
Peristiwa Kependudukan, antara lain perubahan alamat, pindah datang untuk menetap, tinggal
terbatas, serta perubahan status Orang Asing Tinggal Terbatas menjadi tinggal tetap dan Peristiwa
Penting,  antara  lain  kelahiran,  lahir  mati,  kematian,  perkawinan,  dan  perceraian,  termasuk
pengangkatan, pengakuan, dan pengesahan anak, sertaperubahan status kewarganegaraan, ganti
nama dan Peristiwa Penting lainnya yang dialami oleh seseorang merupakan kejadian yang harus
dilaporkan  karena  membawa  implikasi  perubahan  data  identitas  atau  surat  keterangan
kependudukan. Untuk itu, setiap Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting memerlukan bukti
yang  sah  untuk  dilakukan  pengadministrasian  dan  pencatatan  sesuai  dengan  ketentuan  undangundang.
Dalam  pemenuhan  hak  Penduduk,  terutama  di  bidang  Pencatatan  Sipil,  masih  ditemukan
penggolongan  Penduduk  yang  didasarkan  pada  perlakuan  diskriminatif  yang  membeda-bedakan
suku,  keturunan,  dan  agama  sebagaimana  diatur  dalam berbagai  peraturan  produk  kolonial
Belanda.  Penggolongan  Penduduk  dan  pelayanan  diskriminatif  yang  demikian  itu  tidak  sesuai
dengan  Pancasila  dan  Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1945.  Kondisi
tersebut  mengakibatkan  pengadministrasian  kependudukan  mengalami  kendala  yang  mendasar
sebab sumber Data Kependudukan belum terkoordinasi dan terintegrasi, serta terbatasnya cakupan
pelaporan  yang  belum  terwujud  dalam  suatu  sistem  Administrasi  Kependudukan  yang  utuh  dan
optimal.
Kondisi  sosial  dan  administratif  seperti  yang  dikemukakan  di  atas  tidak  memiliki  sistem
database kependudukan yang menunjang pelayanan Administrasi Kependudukan.
Kondisi itu harus diakhiri dengan pembentukan suatusistem Administrasi Kependudukan yang
sejalan dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi untuk memenuhi tuntutan masyarakat
atas pelayanan kependudukan yang profesional.
Seluruh  kondisi  tersebut  di  atas  menjadi  dasar  pertimbangan  perlunya  membentuk  UndangUndang tentang Administrasi Kependudukan.
Undang-Undang  tentang  Administrasi  Kependudukan  ini memuat  pengaturan  dan
pembentukan sistem yang rnencerminkan adanya reformasi di bidang Administrasi Kependudukan.
Salah  satu  hal  penting  adalah  pengaturan  mengenai  penggunaan  Nomor  Induk  Kependudukan
(NIK).  NIK  adalah  identitas  Penduduk  Indonesia  dan  merupakan  kunci  akses  dalam  melakukan
verifikasi  dan  validasi  data  jati  diri  seseorang  guna  mendukung  pelayanan  publik  di  bidang
Administrasi  Kependudukan.  Sebagai  kunci  akses  dalam  pelayanan  kependudukan,  NIK
dikembangkan  ke  arah  identifikasi  tunggal  bagi  setiap  Penduduk.  NIK  bersifat  unik  atau  khas,
tunggal  dan  melekat  pada  seseorang  yang  terdaftar  sebagai  Penduduk  Indonesia  dan  berkait
secara langsung dengan seluruh Dokumen Kependudukan.
Untuk  penerbitan  NIK,  setiap  Penduduk  wajib  mencatatkan  biodata  Penduduk  yang  diawali
dengan  pengisian  formulir  biodata  Penduduk  di  desa/kelurahan  secara  benar.  NIK  wajib
dicantumkan dalam setiap Dokumen Kependudukan, baikdalam pelayanan Pendaftaran Penduduk
rnaupun  Pencatatan  Sipil,  serta  sebagai  dasar  penerbitan  berbagai  dokumen  yang  ditetapkan
berdasarkan ketentuan Peraturan Perundangundangan.
Pendaftaran  Penduduk  pada  dasarnya  menganut  stelsel aktif  bagi  Penduduk.  Pelaksanaan
Pendaftaran Penduduk didasarkan pada asas domisili  atau tempat tinggal alas terjadinya Peristiwa
Kependudukan yang dialami oleh seseorang dan/atau keluarganya. Pencatatan Sipil pada dasarnya
juga  menganut  stelsel  aktif  bagi  Penduduk.  Pelaksanaan  Pencatatan  Sipil  didasarkan  pada  asas
Peristiwa,  yaitu tempat  dan waktu terjadinya Peristiwa Penting  yang dialami  oleh dirinya dan/atau
keluarganya.
Administrasi  Kependudukan  sebagai  suatu  sistem  diharapkan  dapat  diselenggarakan  sebagai
bagian  dari  penyelenggaraan  administrasi  negara.  Dari  sisi  kepentingan  Penduduk,  Administrasi
Kependudukan  memberikan  pemenuhan  hak-hak  administratif,  seperti  pelayanan  publik  serta
perlindungan  yang  berkenaan  dengan  Dokumen  Kependudukan,  tanpa  adanya  perlakuan  yang
diskriminatif.
Administrasi Kependudukan diarahkan untuk:
1.  memenuhi  hak  asasi  setiap  orang  di  bidang  Administrasi  Kependudukan  tanpa  diskriminasi
dengan pelayanan publik yang profesional;
2.  meningkatkan  kesadaran  Penduduk  akan  kewajibannya  untuk  berperan  serta  dalam
pelaksanaan Administrasi Kependudukan;
3.  memenuhi  data  statistik  secara  nasional  mengenai Peristiwa  Kependudukan  dan  Peristiwa
Penting;
4.  mendukung  perumusan  kebijakan  dan  perencanaan  pembangunan  secara  nasional,  regional,
serta lokal; dan
5.  mendukung pembangunan sistem Administrasi Kependudukan.
Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan berlujuanuntuk:
1.  memberikan  keabsahan  identitas  dan kepastian  hukum  atas  dokumen  Penduduk  untuk  setiap
Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialami oleh Penduduk;
2.  memberikan perlindungan status hak sipil Penduduk;
3.  menyediakan  data  dan  informasi  kependudukan  secara  nasional  mengenai  Pendaftaran
Penduduk dan Pencatatan Sipil pada berbagai tingkatan secara akurat, lengkap, mutakhir, dan
mudah  diakses  sehingga  menjadi  acuan  bagi  perumusan kebijakan  dan  pembangunan  pada
umumnya;
4.  mewujudkan tertib Administrasi Kependudukan secara nasional dan terpadu; dan
5.  menyediakan  data  Penduduk  yang  menjadi  rujukan  dasar  bags  sektor  terkait  dalam
penyelenggaraan setiap kegiatan pemerintrhan, pembangunan, dan kemasyarakatan.
Prinsip-prinsip  tersebut  di  alas  menjadi  dasar  terjaminnya  penyelenggaraan  Administrasi
Kependudukan sebagaimana yang dikehendaki oleh Undang-Undang ini melalui penerapan Sistem
Inforniasi Administrasi Kependudukan.
Sistem Informasi Administrasi Kependudukan dimaksudkan untuk:
1.  terselenggaranya Administrasi Kependudukan dalamskala nasional yang terpadu dan tertib;
2.  terselenggaranya  Administrasi  Kependudukan  yang  bersifat  universal,  permanen,  wajib,  dan
berkelanjutan;
3.  terpenuhinya  hak  Penduduk  di  bidang  Administrasi Kependudukan  dengan  pelayanan  yang
profesional; dan
4.  tersedianya  data  dan  inforrnasi  secara  nasional  mengenai  Pendaftaran  Penduduk  dan
Pencatatan Sipil pada berbagai tingkatan secara akurat, lengkap, mutakhir, dan mudah diakses
sehingga menjadi acuan bagi perumusan kebijakan danpembangunan pada umumnya.
Secara  keseluruhan,  ketentuan  yang  diatur  dalam  Undang-Undang  ini  meliputi  hak  dan
kewajiban Penduduk, Penyelenggara dan Instansi Pelaksana, Pendaftaran Penduduk, Pencatatan
Sipil, Data dan Dokumen Kependudukan. Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil Pada Saat
Negara  Dalam  Keadaan  Darurat,  pemberian  kepastian  hukum,  dan  perlindungan  terhadap  Data
Pribadi  Penduduk.  Untuk  rnenjamin  pelaksanaan  Undang-Undang  ini  dari  kemungkinan
pelanggaran,  baik  adminislratif  rnaupun  ketentuan  materiil  yang  bersifat  pidana,  diatur  juga
ketentuan  rnengenai  tata  cara  penyidikan  serta  pengaturan  mengenai  Sanksi  Administratif  dan
Ketentuan Pidana.
II.  PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Persyaratan yang dimaksud adalah sesuai dengan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini.
Pasal 4
Lihat Penjelasan Pasal 3.
Pasal 5
Yang  dimaksud  dengan  "Pemerintah"  adalah  Presiden  Republik  Indonesia  yang  memegang
kekuasaan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Penetapan  sistem,  pedoman,  dan  standar  yang  bersifat  nasional  di  bidang  Administrasi
Kependudukan sangat diperlukan dalam upaya penertiban Administrasi Kependudukan.
Penetapan  pedoman  di  bidang  Administrasi  Kependudukan  oleh  Presiden,  baik  dalam
bentuk Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Presiden, serta pedoman yang ditetapkan
oleh Menteri dalam bentuk Peraturan Menteri digunakan sebagai acuan dalam pembuatan
peraturan daerah oleh propinsi/kabupaten/kota.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "pengelolaan dan penyajian Data Kependudukan berskala nasional"
adalah  pengelolaan  Data  Kependudukan  yang  menggambarkan  kondisi  nasional  dengan
menggunakan  SIAK  yang  disajikan  sesuai  dengan  kepentingan  penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 6
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "pengelolaan dan penyajian Data Kependudukan berskala provinsi"
adalah  pengelolaan  data  kependudukan  yang  menggambarkan  kondisi  provinsi  dengan
menggunakan  SIAK  yang  disajikan  sesuai  dengan  kepentingan  penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang  dimaksud  dengan  "desa"  adalah  kesatuan  masyarakat  hukum  yang  rnemiliki
batas-batas  wilayah  yang  berwenang  untuk  mengatur  dan  mengurus  kepentingan
masyarakat  setempat,  berdasarkan  asal-usul  dan  adat istiadat  setempat  yang  diakui
dan dihormati dalam sistem Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Huruf g
Yang  dimaksud  dengan  "pengelolaan  dan  penyajian  Data  Kependudukan  berskala
kabupaten/kota"  adalah  pengelolaan  Data  Kependudukan  yang  menggambarkan
kondisi  kabupaten/kota  dengan  menggunakan  SIAK  yang disajikan  sesuai  dengan
kepentingan penyelenggaraan pemerintahan dan pernbangunan.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Provinsi  Daerah  Khusus  Ibukota  Jakarta  sesuai  kekhususannya  berbeda  dengan  provinsi
yang lain karena diberi kewenangan untuk menyelenggarakan Administrasi Kependudukan
seperti kabupaten/kota.
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pemberian  NIK  kepada  Penduduk  menggunakan  Sistem  Informasi  Administrasi
Kependudukan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Yang  dimaksud  dengan  "dokumen  Pendaftaran  Penduduk" adalah  bagian  dari  Dokumen
Kependudukan yang dihasilkan dari proses Pendaftaran Penduduk, misalnya KK, KTP, dan
Biodata.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "hari" adalah hari kerja (berlaku untuk penjelasan "hari" pada pasalpasal berikutnya).
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pindah ke luar negeri" adalahPenduduk yang tinggal menetap di
luar  negeri  atau  meninggalkan  tanah  air  untuk  jangka  waktu  1  (satu)  tahun  berturut-turut
atau lebih dari 1 (satu) tahun.
Penduduk tersebut termasuk Tenaga Kerja Indonesia yang akan bekerja ke luar negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pelaporan  pada  Kantor  Perwakilan  Republik  Indonesia diperlukan  sebagai  bahan
pendataan WNI di luar negeri.
Pasal 19
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "datang dari luar negeri" adalah WNI yang sebelumnya pindah ke
Iuar negeri kemudian datang untuk menetap kembali di Republik Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang  dimaksud  dengan  "Surat  Kelerangan  Tempat  Tinggal"  adalah  Surat  Keterangan
Kependudukan  yang  diberikan  kepada  Orang  Asing  yang memiliki  Izin  Tinggal  Terbatas
sebagai  bukti  diri  bahwa  yang  bersangkutan  telah  terdaftar  di  pemerintah  daerah
kabupaten/kota sebagai Penduduk tinggal terbatas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Yang  dimaksud  dengan  "Penduduk  Pelintas  Batas"  adalah  Penduduk  yang  bertempattinggal secara turun-temurun di wilayah kabupaten/kota yang berbatasan Iangsung dengan
negara tetangga yang melakukan lintas batas antarnegara karena kegiatan ekonomi, sosial
dan budaya yang ditetapkan berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Yang  dimaksud  dengan  "Penduduk  rentan  Administrasi  Kependudukan"  adalah  Penduduk
yang mengalami hambatan dalam memperoleh Dokumen Kependudukan yang disebabkan
oleh bencana alam dan kerusuhan sosial.
Pendataan  dilakukan  dengan  membentuk  tim  di  daerah  yang  beranggotakan  dari  instansi
terkait.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang  dimaksud  dengan  "orang  terlantar"  adalah  Penduduk  yang  karena  suatu  sebab
sehingga  tidak  dapat  memenuhi  kebutuhannya  secara  wajar,  baik  rohani,  jasmani
maupun sosial.
Ciri-cirinya:
1)  tidak terpenuhinya kebutuhan dasar hidup khususnya pangan, sandang dan papan;
2)  tempat tinggal tidak tetap/gelandangan;
3)  tidak mempunyai pekerjaan/kegiatan yang tetap;
4)  miskin.
Huruf d
Yang  dimaksud  dengan  "komunitas  terpencil"  adalah  kelompok  sosial  budaya  yang
bersifat  lokal  dan  terpencar  serta  kurang  atau  belum  terlibat  dalam  jaringan  dan
pelayanan, baik sosial, ekonomi maupun politik.
Ciri-cirinya:
1)  berbentuk komunitas kecil, tertutup dan homogen;
2)  pranata sosial bertumpu pada hubungan kekerabatan;
3)  pada umumnya terpencil secara geografis dan relatif sulit terjangkau;
4)  peralatan teknologi sederhana;
5)  terbatasnya akses pelayanan sosial, ekonomi dan politik.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "tempat sementara" adalah tempat pada saat terjadi pengungsian.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Yang  dimaksud  dengan  "Penduduk  yang  tidak  mampu  melaksanakan  sendiri  pelaporan"
adalah Penduduk yang tidak mampu melaksanakan pelaporan karena pertimbangan umur,
sakit keras, cacat fisik dan cacat mental.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Yang  dimaksud  dengan  "tempat  terjadinya  peristiwa  kelahiran"  adalah  wilayah  terjadinya
kelahiran.
Waktu pelaporan kelahiran paling lambat 60 (enam puluh) hari merupakan tenggang waktu
yang memungkinkan  bagi Penduduk untuk melaporkan peristiwa kelahiran  sesuai  dengan
kondisi/letak geografis Indonesia.
Penduduk yang wajib melaporkan kelahiran adalah Kepala Keluarga.
Ayat (2)
Penerbitan  Kutipan  Akta  Kelahiran  tanpa  dipungut  biaya  sebagaimana  diatur  dalam
Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kutipan  akta  kelahiran  seorang  anak  yang  tidak  diketahui  asal  usulnya  atau  keberadaan
orang tuanya diserahkan kepada yang bersangkutan setelah dewasa.
Pasal 29
Ayat (1)
Kewajiban  untuk  melaporkan  kepada  "instansi  yang  berwenang  di  negara  setempat"
berdasarkan asas yang dianut, yaitu asas peristiwa.
Yang  dimaksud  dengan  "instansi  yang  berwenang  di  negara  setempat"  adalah  lembaga
yang berwenang seperti yang dimaksud dengan Instansi Pelaksana dalam Undang-Undang
ini.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Yang  dimaksud  dengan  "tempat  singgah"  adalah  tempat persinggahan  pesawat  terbang
atau  kapal  laut  dalam  perjalanannya  mencapai  tujuan.  Hal  ini  sesuai  dengan  asas  yang
berlaku secara universal, yakni tempat di mana peristiwa kelahiran (persinggahan pertama
pesawat terbang/kapal laut), apabila memungkinkan pelaporan dilakukan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Persetujuan  dari  Instansi  Pelaksana  diperlukan  mengingat  pelaporan  kelahiran  tersebut
sudah  melampaui  batas  waktu  sampai  dengan  1  (satu)  tahun  dikhawatirkan  terjadi
manipulasi  data  atau  hal-hal  yang  tidak  diinginkan. Persetujuan  tersebut  juga  berfungsi
sebagai verifikasi atas keabsahan data yang dilaporkan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Yang  dimaksud  dengan  "lahir  mati"  adalah  kelahiran  seorang  bayi  dari  kandungan  yang
berumur  paling  sedikit  28  (dua  puluh  delapan)  rninggu  pada  saat  dilahirkan  tanpa
menunjukkan tanda-tanda kehidupan.
Ayat (2)
Peristiwa  lahir  mati  hanya  diberikan  Surat  Keterangan  Lahir  Mati,  tidak  diterbitkan  Akta
Pencatatan Sipil.
Meskipun  tidak  diterbitkan  Akta  Pencatatan  Sipil  tetapi  pendataannya  diperlukan  untuk
kepentingan perencanaan dan pembangunan di bidang kesehatan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Yang  dimaksud  dengan  "perkawinan"  adalah  ikatan  lahir  batin  antara  seorang  pria  dan
seorang wanita sebagai suami istri berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Perkawinan  bagi  Penduduk  yang  beragama  Islam  dicatat  oleh  Kantor  Urusan  Agama
Kecamatan berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Ayat (2)
Penerbitan  Akta  Perkawinan  bagi  Penduduk  yang  beragama  Islam  dilakukan  oleh
Departemen Agama.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Karena Akta Perkawinan bagi Penduduk yang beragama  Islam sudah diterbitkan oleh
KUAKec, data perkawinan yang diterima oleh InstansiPelaksana tidak perlu diterbitkan
Kutipan Akta Perkawinan.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 35
Huruf a
Yang dimaksud dengan "Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan" adalah perkawinan
yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama.
Huruf b
perkawinan  yang  dilakukan  oleh  warga  negara  asing  di  Indonesia,  harus  berdasarkan
ketentuan  Peraturan  Perundang-undangan  Indonesia  mengenai  Perkawinan  di  Republik
Indonesia.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Bagi  penganut  agama  Islam  diberlakukan  ketentuan  mengenai  rujuk  yang  diatur  dalam
Undang-Undang  Nomor  32  Tahun  1954  tentang  Pencatatan  Nikah,  Talak  dan  Rujuk  jo.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinandan peraturan pelaksanaannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Yang  dimaksud  dengan  "kematian"  adalah  tidak  adanya secara  permanen  seluruh
kehidupan pada saat mana pun setelah kelahiran hidup terjadi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang  dimaksud  dengan  "pihak  yang  berwenang"  adalah  kepala  rumah  sakit,
dokter/paramedis, kepala desa/Iurah atau kepolisian.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "pernyataan" adalah keterangandari pejabat yang berwenang.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pengangkatan anak" adalah perbuatan hukum untuk mengalihkan
hak  anak  dari  lingkungan  kekuasaan  keluarga  orang  tua,  wali  yang  sah,  atau  orang  lain
yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke
dalam  lingkungan  keluarga  orang  tua  angkatnya  berdasarkan  putusan  atau  penetapan
pengadilan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "catatan pinggir" adalah catatan mengenai perubahan status atas
terjadinya Peristiwa Penting dalam bentuk catatan yang diletakkan pada bagian pinggir akta
atau bagian akta yang memungkinkan (di halaman/ bagian muka atau belakang akta) oleh
Pejabat Pencatatan Sipil.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
Yang  dimaksud  dengan  "pengakuan  anak"  adalah  pengakuan  seorang  ayah  terhadap
anaknya  yang  lahir  di  luar  ikatan  perkawinan  sah  atas  persetujuan  ibu  kandung  anak
tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 50
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pengesahan anak" adalah pengesahan status seorang anak yang
lahir di luar ikatan perkawinan sah pada saat pencatatan perkawinan kedua orang tua anak
tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pembuatan  catatan  pinggir  pada  akta  Pencatatan  Sipil  diperuntukkan  bagi  warga  negara
asing  yang  melakukan  perubahan  kewarganegaraan  dan  pernah  mencatatkan  Peristiwa
Penting di Republik Indonesia.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "Peristiwa Penting lainnya" adalah peristiwa yang ditetapkan oleh
pengadilan  negeri  untuk  dicatatkan  pada  Instansi  Pelaksana,  antara  lain  perubahan  jenis
kelamin.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup Jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Yang  dimaksud  dengan  cacat  fisik  dan/atau  mental  berdasarkan  ketentuan  Peraturan
Perundang-undangan yang menetapkan tentang hal tersebut.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Cukup jelas.
Huruf r
Cukup jelas.
Huruf s
Cukup jelas.
Huruf t
Cukup jelas.
Huruf u
Cukup jelas.
Huruf v
Cukup jelas.
Huruf w
Cukup jelas.
Huruf x
Cukup jelas.
huruf y
Cukup jelas.
Huruf z
Cukup jelas.
Huruf aa
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang  dimaksud  dengan  "data  agregat"  adalah  kumpulan data  tentang  Peristiwa
Kependudukan,  Peristiwa  Penting,  jenis  kelamin,  kelompok  usia,  agama,  pendidikan,  dan
pekerjaan.
Yang dimaksud dengan "data kuantitatif adalah data yang berupa angka-angka.
Yang dimaksud dengan "data kualitatif adalah data yang berupa penjelasan.
Pasal 59
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "Biodata Penduduk" adalah keterangan yang berisi elemen data
tentang  jatidiri,  informasi  dasar  serta  riwayat  perkembangan  dan  perubahan  keadaan
yang dialami oleh Penduduk sejak saat kelahiran.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 60
Kata "paling sedikit" dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kemungkinan adanya
tambahan keterangan, tetapi keterangan tersebut tidak bersifat diskriminatif.
Yang  dimaksud  dengan  "alamat"  adalah  alamat  sekarang  dan  alamat  sebelumnya.  Yang
dimaksud  dengan  "jati  diri  lainnya"  meliputi  nomor  KK,  NIK,  laki-laki/  perempuan,  golongan
darah,  agama,  pendidikan  terakhir,  pekerjaan  penyandang  cacat  fisik  dan/atau  mental,  status
perkawinan,  kedudukan/hubungan  dalam  keluarga,  NIK  ibu  kandung,  nama  ibu  kandung,  NIK
ayah  kandung,  nama  ayah  kandung,  nomor  paspor,  tanggal  berakhir  paspor,  nomor  akta
kelahiran/surat kenal lahir, nomor akta perkawinan/buku nikah, tanggal perkawinan, nomor akta
perceraian/surat cerai, dan tanggal perceraian.
Pasal 61
Ayat (1)
Yang dimaksud "dengan Kepala Keluarga" adalah :
a.  orang  yang  bertempat  tinggal  dengan  orang  lain,  baik  mempunyai  hubungan  darah
maupun tidak, yang bertanggung jawab terhadap keluarga;
b.  orang yang bertempat tinggal seorang diri; atau
c.  kepala  kesatrian,  kepala  asrama,  kepala  rumah  yatim  piatu,  dan  lain-lain  tempat
beberapa orang tinggal bersama-sama.
Setiap  kepala  keluarga  wajib  memiliki  KK,  meskipun  kepala  keluarga  tersebut  masih
menumpang di rumah orang tuanya karena pada prinsipnya dalam satu alamat rumah boleh
terdapat lebih dari satu KK.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 62
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "perubahan susunan keluarga dalam KK" adalah perubahan yang
diakibatkan adanya Peristiwa Kependudukan atau Peristiwa Penting seperti pindah datang,
kelahiran, atau kematian.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 63
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Dalam rangka menciptakan kepemilikan 1 (satu) KTP untuk 1 (satu) Penduduk diperlukan
sistem  keamanan/pengendalian  dan  sisi  administrasi  ataupun  teknologi  informasi  dengan
melakukan  verifikasi  dan  validasi  dalam  sistem  database  kependudukan  serta  pemberian
NIK.
Pasal 64
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Ketentuan tentang pindah domisili tetap bagi KTP seumur hidup mengikuti ketentuan yang
berlaku menurut Undang-Undang ini.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Yang  dimaksud  dengan  "pejabat  yang  berwenang"  adalah  Pejabat  Pencatatan  Sipil
pada  Instansi  Pelaksana  yang  telah  diambil  sumpahnya  untuk  melakukan  tugas
pencatatan.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "kesalahan tulis redaksional",misalnya kesalahan penulisan huruf
dan/atau angka.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 71
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pembetulan akta biasanya dilakukan  pada  saat akta  sudah  selesai di proses (akta sudah
jadi) tetapi belum diserahkan atau akan diserahkan  kepada subjek akta. Pembetulan akta
atas dasar koreksi dan petugas, wajib diberitahukankepada subjek akta.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Pasal 72
Ayat (1)
Pembatalan akta dilakukan atas permintaan orang lain atau subjek akta, dengan alasan akta
cacat hukum karena dalam proses pernbuatan didasarkan pada keterangan yang tidak benar
dan tidak sah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Yang dimaksud dengan "petugas rahasia" adalah reserse dan intel yang melakukan tugasnya di
luar daerah domisilinya.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Ayat (1)
Yang  dimaksud  dengan  "negara  atau  sebagian  dari  negara  dinyatakan  dalam  keadaan
darurat  dengan  segala  tingkatannya"  adalah  sebagaimana  diamanatkan  oleh  peraturan
perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 81
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "Surat Keterangan Pencatatan Sipil" adalah surat keterangan yang
diterbitkan oleh lembaga  yang berwenang sebagaimanadimaksud dalam Undang-Undang
ini ketika negara atau sebagian negara dalam keadaan luar biasa.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 82
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pembangunan dan pengembangan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan bertujuan
mewujudkan  komitmen  nasional  dalam  rangka  menciptakan  sistem  pengenal  tunggal,
berupa  NIK,  bagi  seluruh  Penduduk  Indonesia.  Dengan demikian,  data  Penduduk  dapat
diintegrasikan  dan  direlasionalkan  dengan  data  hasil  rekaman  pelayanan  Pendaftaran
Penduduk  dan  Pencatatan  Sipil.  Sistem  ini  akan  menghasilkan  data  Penduduk  nasional
yang dinamis dan mutakhir.
Pembangunan  Sistem  Informasi  Administrasi  Kependudukan  dilakukan  dengan
menggunakan perangkat keras, perangkat lunak dan sistem jaringan komunikasi data yang
efisien  dan  efektif  agar  dapat  diterapkan  di  seluruh  wilayah  Negara  Kesatuan  Republik
Indonesia. Bagi wilayah yang belum memiliki fasilitas komunikasi data, sistem komunikasi
data dilakukan dengan manual dan semielektronik.
Yang dimaksud dengan "manual" adalah perekaman datasecara manual, yang pengiriman
data dilakukan secara periodik dengan sistem pelaporan berjenjang karena tidak tersedia
listrik ataupun jaringan komunikasi data.
Yang  dimaksud  dengan  "semielektronik"  adalah  perekaman  data  dengan  menggunakan
komputer,  tetapi  pengirimannya  inenggunakan  compact  disc  (CD)  atau  disket  secara
periodik karena belum tersedia jaringan komunikasi data.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 83
Ayat (1)
Data  Penduduk  yang  dihasilkan  oleh  sistem  informasi dan  tersimpan  di  dalam  database
kependudukan dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, seperti dalam menganalisa
dan  merumuskan  kebijakan  kependudukan,  menganalisa  dan  merumuskan  perencanaan
pembangunan,  pengkajian  ilmu  pengetahuan.  Dengan  demikian  baik  pemerintah  maupun
non  pemerintah  untuk  kepentingannya  dapat  diberikan izin  terbatas  dalam  arti  terbatas
waktu dan peruntukkannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 84
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang  dimaksud  dengan  "beberapa  isi  catatan  Peristiwa  Penting"  adalah  beberapa
catatan  mengenai  data  yang  bersifat  pribadi  dan  berkaitan  dengan  Peristiwa  Penting
yang perlu dilindungi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 85
Ayat (1)
Lihat Penjelasan Pasal 84 huruf g.
Ayat (2)
Penyimpanan dan perlindungan dimaksud meliputi tatacara dan penanggung jawab.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pengguna Data Pribadi Penduduk" adalah instansi pemerintah dan
swasta yang rnembutuhkan informasi data sesuai dengan bidangnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 88
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penyidik Pegawai Negeri Sipil memberitahukan kepadaPejabat Penyidik Kepolisian Negara
Republik  Indonesia  mengenai  saat  dimulainya  penyidikan  dan  menyerahkan  hasil
penyidikannya  kepada  Penuntut  Umum  melalui  Pejabat  Penyidik  Kepolisian  Negara
Republik  Indonesia.  Hal  itu  dimaksudkan  untuk  memberikan  jaminan  bahwa  hasil
penyidikannya  telah  memenuhi  ketentuan  dan  persyaratan.  Mekanisme  hubungan
koordinasi  antara  Pejabat  Penyidik  Pegawai  Negeri  Sipil  dan  Pejabat  Penyidik  Kepolisian
Negara  Republik  Indonesia  dilakukan  berdasarkan  ketentuan  Peraturan  Perundangundangan.
Yang  dimaksud  dengan  "Penyidik  Pegawai  Negeri  Sipil di  bidang  Administrasi
Kependudukan" adalah pegawai negeri yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang
untuk melakukan penyidikan di bidang Administrasi Kependudukan.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 89
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penelapan  besaran  Benda  adrninistratif  dalam  Peraturan  Presiden  dilakukan  dengan
memperhatikan kondisi masyarakat di setiap daerah.
Pasal 90
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penetapan  besaran  denda  administratif  dalam  Peraturan  Presiden  dilakukan  dengan
mernperhatikan kondisi masyarakat di setiap daerah.
Pasal 91
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penetapan  besaran  denda  administratif  dalam  Peraturan  Presiden  dilakukan  dengan
memperhatikan kondisi masyarakat di setiap daerah.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Pembentukan  UPTD  Instansi  Pelaksana  dilakukan  dengan  mempertimbangkan  kebutuhan
pelayanan masyarakat.
Pasal 105
Yang dimaksud dengan "persyaratan dan  tata cara  perkawinan bagi penghayat kepercayaan"
adalah  persyaratan  dan  tata  cara  pengesahan  perkawinan  yang  ditentukan  oleh  penghayat
kepercayaan sendiri dan ketentuan itu menjadi dasarpengaturan dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4674

Kecelakaan Lalu Lintas

    Ritual Mudik menjelang Hari Raya Idul Fitri telah tuntas dilakukan dengan berbagai variasinya. Masyarakat yang mudik dengan mengguna...