Selasa, 20 Desember 2022

KEJAHATAN TERHADAP KETERTIBAN UMUM (Bagian 11)

 

KEJAHATAN TERHADAP KETERTIBAN UMUM (Bagian 11)

 

 

 

            Pembahasan selanjutnya mengenai kejahatan terhadap ketertiban umum adalah diatur di dalam Pasal 164 KUH Pidana, yang meneybutkan sebagai berikut :

 

“Barangsiapa mengetahui ada permufakatan jahat untuk melakukan salah satu kejahatan yang dimaksudkan dalam pasal 104 KUH Pidana, pasal 106 KUH Pidana, pasal 107 dan 108 KUH Pidana, pasal 113 KUH Pidana, pasal 115 KUH Pidana, pasal 187 KUH Pidana dan pasal 187 bis KUH Pidana, sedang masih ada tempo untuk mencegah hal itu pada waktunya, baik kepada pegawai justisi (aparatur penegak hukum selain polisi) atau polisi maupun kepada si terancam, maka jika jadi kejahatan itu dilakukan dihukum dengan penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,00 (empat ribu lima ratus rupiah).” (Lihat ketentuan pasal 88 KUH Pidana, pasal 110 KUH Pidana, pasal 116 KUH Pidana, pasal 125 KUH Pidana dan pasal 166 KUH Pidana).

 

            Dari ketentuan Pasal 164 KUH Pidana ini dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut :

1)    Menurut pasal 45 HIR (Het Indische Reglement), maka orang yang kena atau mengetahui peristiwa pidana berhak untuk memberitahukan hal itu pada yang berwajib. Ini berarti bahwa hal memberitahukan itu adalah hak, bukan merupakan suatu kewajiban yang apabila diabaikan ada ancaman hukumannya;

2)    Akan tetapi dalam hal-hal yang tersebut dalam pasal 164 KUH Pidana dan pasal 165 KUH Pidana, orang mengetahui suatu peristiwa pidana yang tidak memberitahukan kepada Polisi atau petugas Justisi diancam hukum yang harus memenuhi syarat-syarat :

a)    Orang itu harus mengetahui ada permufakatan jahat untuk melakukan salah satu kejahatan yang disebutkan dalam pasal itu (pasal 164 KUH Pidana dan pasal 165 KUH Pidana);

b)    Masih ada tempo atau waktu untuk mencegah kejahatan itu;

c)    Sengaja tidak memberitahukan hal itu dengan cukup pada waktunya pada Polisi atau Justisi atau orang si terancam;

d)    Kejahatan itu harus jadi dilakukan (kalau tidak jadi dilakukan, maka tidak dapat dihukum);

3)    Percobaan perbuatan pada ketentuan ini tidak dihukum;

4)    Ketentuan pidana denda tetap mengacu pada ketentuan PERMA Nomor 12 Tahun 2012; (BERSAMBUNG).

   

Kamis, 15 Desember 2022

SELAYANG PANDANG UUPA

  

SELAYANG PANDANG UUPA

 

Merupakan suatu prestasi besar bahwa bangsa Indonesia mampu membuat sebuah Undang-Undang yang cukup krusial yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang diundnagkan dalam Lembaran Negara Nomor 104 Tahun 1960. Kita mengenal undang-undang tersebut dengan sebutan Undang-Undnag Pokok Agraria (UUPA).

Harus diakui bahwa sebelum adanya UUPA, tata kelola pertanahan di Indonesia masih carut marut. Hal ini dikarenakan masih digunakannya hukum perdata peninggalan pemerintah kolonial Belanda sebagai dasar tata kelola pertanahan di Indonesia.

Meskipun belum sempurna, namun nyatanya hadirnya UUPA telah merubah cara pandang pengelolaan pertanahan di Indonesia, salah satu diantaranya adalah diakuinya Hak Ulayat yang merupakan hukum asli dan tumbuh serta berkembang di beberapa wilayah Indonesia. Masih banyak tanah-tanah di daerah yang dikelola secara adat dan masih diakui keberadaannya sebagai bagian dari hukum nasional Indonesia.

Pertanyaannya adalah, apakah dengan terbitnya UUPA akan langsung menyelesaikan semua masalah yang berkaitan dengan pertanahan di Indonesia? Sebuah pertanyaan yang harus menjadi pemikiran kita bersama mengingat bahwa persoalan pertanahan sangat komplek dan bisa dikatakan sangat kusut bagaikan benang yang saling terikat dan sangat sulit untuk diuraikan dalam waktu yang singkat.

Kebutuhan akan tanah tidak hanya dirasakan oleh masyarakat tetapi juga oleh Pemerintah dalam rangka melaksanakan pembangunan yang juga sangat membutuhkan penyediaan lahan baik untuk sektor pertanian, industri, pertambangan dan sektor-sektor lainnya yang muaranya adalah bisa menghasilkan devisa yang berguna bagi pembangunan bangsa dan negara. Keadaan ini tentu saja sangat disadari oleh Pemerintah, bahkan keadaan ini juga dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu yang akan menggunakannya hanya untuk kepentingan ekonomis pribadi dan golongannya saja.

Setiap orang sebagai bagian dari warga negara Indonesia, mempunyai hak untuk memiliki tanah dan mempunyai dasar hukum kepemilikannya, oleh karena itu, sangat diharuskan bahwa setiap orang yang memiliki tanah agar mendaftarkan tanah miliknya tersebut sehingga bisa memiliki dasar hukum kepemilikan yang kuat, yang ditandai dalam bentuk Sertifikat Hak Milik (SHM). Sedangkan bagi kalangan pengusaha dapat mengelola dan mengolah sebidang tanah dan bangunan yang ada di atasnya dengan dasar hukum yang kuat dalam bentuk Sertifikat Hak Guna Usaha (SHGU) dan apabila dalam bentuk lahan pertanian atau perkebunan atau kehutanan, penguasaannya dalam bentuk Sertifikat Hak Pakai (SHP). SHP ini di lapangan sering dijabarkan dalam bentuk Hak Pengelolaan Hutan (HPH) dan hak-hak sejenisnya.

Yang sering terjadi adalah ketika seorang pengusaha atau sekelompok pengusaha mengajukan permohonan Sertifikat Hak Pakai, petugas pendaftaran tanah dari Kantor Pertanahan setempat sering tidak melakukan pengecekan ke daerah yang dimohonkan. Hal inin banyak terjadi di wilayah-wilayah yang belum memiliki data pertanahan yang lengkap dan tercatat secara baik. Oleh sebab itu, sering terdengar terjadi keributan perebutan lahan antara anggota masyarakat, bahkan terkadang melibatkan masyarakat adat setempat, dengan pihak pengusaha, yang masing-masing berpegang pada pendiriannya, yaitu pihak pengusaha menyatakan sudah mempunyai Sertifikat Hak Pakai sedangkan masyarakat berpegang pada prinsip bahwa tanah tersebut merupakan tanah adat dan tidak diperjualbelikan.

Satu hal yang sering dilupakan oleh masyarakat adalah, di dalam UUPA mempunyai prinsip bahwa setiap tanah mempunyai fungsi sosial.  Apa artinya? Tanah mempunyai fungsi sosial artinya bahwa setiap tanah harus diserahkan ketika kebutuhan sosial dalam suatu wilayah membuthkan tanah tersebut. Contoh kebutuhan sosial antara lain, lahan untuk pemakaman umum, lahan pembangunan jalan, lahan untuk pembangunan tempat ibadah, lahan untuk pembangunan pasar dan lain sebagainya, termasuk diantaranya adalah lahan yang dibutuhkan untuk membuat hutan industri yaitu lahan yang ditanami dengan pohon-pohon yang dapat digunakan sebagai pendukung industri, seperti pohon untuk bahan pembuatan kertas, lahan yang digunakan untuk pembangunan pabrik dan lain-lain yang hasilnya bisa digunakan untuk masyarakat di sekitar lahan tersebut.

Permasalahannya adalah, meskipun tanah mempunyai fungsi sosial, apakah harus selalu diserahkan secara sukarela atau ada penggantiannya? Dalam beberapa kasus, penyerahan tanah untuk kepentingan sosial dilakukan secara sukarela, misalnya untuk lahan pemakaman tetapi banyak kasus yang lahan tersebut diserahkan dengan mendapatkan penggantian sesuai Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) dari masing-masing tanah tersebut. Saat ini sering digunakan istrilah ganti untung untuk penggantian lahan yang akan digunakan sebagai sarana sosial, bukan lagi ganti rugi.

Darimana kita mengetahui NJOP dari suatu tanah? Untuk menjawabnya, ada lagi pertanyaannya yaitu pernahkah kita melihat dan membaca Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan (SPPT) dari tanah yang kita miliki yang harus kita bayar setiap tahun? Di dalam SPPT atas tanah tersebut kita bisa melihat berapa NJOP dari tanah yang kita miliki, sehingga kita bisa memperhitungkan berapa harga tanah yang kita miliki jika kita akan menjual tanah tersebut.

Demikian kiranya selayang pandang tentang UUPA yang apabila kita akan mempelajarinya secara lengkap setidaknya membutuhkan kuliah selama 2 (dua) semester. Namun setidaknya dari tulisan ini dapat memberikan sedikit pencerahan tentang apa itu UUPA dan permasalahan yang sering dihadapi.

 

Rabu, 14 Desember 2022

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Baru

 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Baru

Berkenaan dengan disyahkannya Rancangan Undang-Undang mengenai KUH Pidana menjadi Undang-Undang, maka ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan, yaitu :
1) KUH Pidana tersebut baru akan berlaku pada tahun 2025;
2) UU mengenai KUH Pidana tersebut baru berlaku apabila UU tersebut sudah diundangkan di dalam Lembaran Negara yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara;
3) Selama KUH Pidana yang baru belum diberlakukan, maka yang berlaku adalah KUH Pidana yang sudah ada yang merupakan peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda yang diadopsi dalam UU Nomor 1 Tahun 1946;
4) Segala ketentuan di dalam KUH Pidana yang baru, hanya dapat diajukan Uji Materiil ke Mahkamah Konstitusi sejak diundangkan dalam Lembaran Negara;
Demikian kiranya yang dapat disampaikan berkaitan dengan KUH Pidana yang baru, semoga dapat dipahami.

KEJAHATAN TERHADAP KETERTIBAN UMUM (Bagian 10)

 KEJAHATAN TERHADAP KETERTIBAN UMUM (Bagian 10)

 

 

Pembahasan selanjutnya mengenai kejahatan terhadap ketertiban umum adalah ketentuan dalam Pasal 163 KUH Pidana yang menyebutkan:

(1)  Barangsiapa dengan salah satu daya upaya yang tersebut di dalam pasal 55 di angka 2 membujuk orang lain akan melakukan kejahatan dan jika kejahatan itu atau percobaannya yang dapat dihukum tidak dihukum tidak terjadi, dihukum penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,00 (empat ribu lima ratus rupiah) akan tetapi tidak boleh sekali-kali dijatuhkan hukuman yang lebih berat daripada yang dapat dijatuhkan lantaran percobaan melakukan kejahatan itu atau jika percobaan itu tidak dapat dihukum,lantaran kejahatan itu sendiri;

(2)   Aturan itu tidak berlaku baginya, jika kejahatan atau percobaan akan itu yang dapat dihukum, tidak dihukum, tidak terjadi lantaran hal-hal yang tergantung pada kemauannya sendiri. (Lihat ketentuan pasal 53 KUH Pidana).

 

Dari ketentuan Pasal 163 KUH Pidana ini dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut :

1.    Menurut ketentuan Pasal 55 ayat (1) sub 2 KUH Pidana, maka dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana termasuk pula orang yang dengan pemberian dan sebagainya, sengaja membujuk (uitlokking) untuk melakukan suatu peristiwa pidana;

2.    Dalam hal ini orang yang membujuk itu hanya dapat dihukum, apabila orang yang dibujuk tadi sudah melakukan peristiwa pidana atau sdikit-dikitnya telah melakukan percobaan yang dapat dihukum. Jika belum, tidak dapat dihukum menurut pasal ini;

3.    Akan tetapi dengan ketentuan pasal 163 KUH Pidana ini, maka pembujuk dapat pula dihukum, meskipun orang yang dibujuk itu belum juga melakukan peristiwa pidana atau percobaan yang dapat dihukum. Jadi boleh dihukum “Percobaan yang tidak berhasil” (mislukte uitlokking);

4.    Untuk dapat dihukummenurut pasal 163 KUH Pidna, maka pembujuk dalam membujuknya harus betul-betul memakai alat-alat yang tersebut dalam pasal 55 ayat (1) sub 2 KUH Pidana, alat-alat lain tidak diperkenankan;

5.    Pembujuk tidak dapat dihukum, apabila tidak jadinya orang yang dibujuk melakukan peristiwa pidana atau percobaan, yang dapat dihukum itu karena hal-hal yang terletak dalam kemauan pembujuk itu sendiri, misalnya ia (pembujuk) menarik kembali bujukannya, menghalang-halangi pelaksnaanya dan lain sebagainya;

6.    Ketentuan mengenai denda adalah sebagaimana diatur dalam PERMA Nomor 12 Tahun 2012. (BERSAMBUNG).

 

 

 

 

Selasa, 06 Desember 2022

Persidangan

 Monggo....jangan lupa LIKE, SUBSCRIBE, COMMENT dan SHARE....



https://youtu.be/3nL8kp2ukAI

Hak Ingkar

 Monggo...jangan lupa LIKE, SUBSCRIBE, COMMENT dan SHARE....



https://youtu.be/ML9y_MVeNd8

Rabu, 30 November 2022

KEJAHATAN TERHADAP KETERTIBAN UMUM (Bagian 9)

 KEJAHATAN TERHADAP KETERTIBAN UMUM (Bagian 9)

 

Pasal berikutnya dalam hal kejahatan terhadap ketertiban umum adalah pasal 161 bis (tambahan), namun karena pasal ini telah dicabut dengan UU Nomor 1 Tahun 1946), maka selanjutnya akan dibahas mengenai ketentuan Pasal 162, yang menyebutkan sebagai berikut:

 

            Barangsiapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menyggupkan akan memberikan kesempatan atau daya upaya untuk melakukan sesuatu peristiwa pidana, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 9 (sembilan) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,00 (empat ribu lima ratus rupiah);

 

Ketentuan pasal ini dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut :

1)    Dalam pasal ini orang yang menyanggupkan akan memberi atau menaawarkan (aanbieden) keterangan, kesempatan atau daya upaya untuk melakukan sesuatu peristiwa pidana, sudah dapat dihukum, apabila penawaran itu, baik dengan lisan atau tulisan, dilakukan di muka umum, sedangkan dalam hal ini membantu melakukan medeplicthigheid) tersebut dalam Pasal 56 agar supaya orang itu dapat dihukum sebagai pembantu (medeplichtig), ia harus memberikan (tidak hanya menawarkan) keterangan atau sebagainya;

2)    Pun pasal ini mengatakan peristiwa pidana (kejahatan dan pelanggaran), sedangkan Pasal 56 hanya kejahatan saja;

3)    Arti di muka umum adalah di tempat umum dan ada orang banyak, saat ini bisa diartikan dengan menggunakan media sosial maupun media oline sebagaimana yang kita miliki saat ini;

4)    Ketentuan mengenai denda tetap mengacu kepada ketentuan dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 12 Tahun 2012. (BERSAMBUNG).

Rabu, 23 November 2022

KEJAHATAN TERHADAP KETERTIBAN UMUM (Bagian 8)

 KEJAHATAN TERHADAP KETERTIBAN UMUM (Bagian 8)

 

 

Pasal selanjutnya di dalam pembahasan tentang kejahatan erhadap ketertiban umum adalah pasal 160 KUH Pidana yang menyebutkan :

“Barangsiapa di muka umum dengan lisan atau dengan tulisan menghasut supaya melakukan sesuatu perbuatan yang dapat dihukum, melawan pada kekuasaan umum dengan kekerasan atau supaya jangan menurut peraturan perundang-undangan atau perintah yang sah yang diberikan menurut peraturan perundang-undangan, dihukum penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,00 (empat ribu lima ratus rupiah).” Lihat ketentuan pasal 5 ayat (1) KUH Pidana, pasal 55 ayat (2) KUH Pidana, pasal 124 ayat (5) KUH Pidana, pasal 126 ayat (2) huruf e KUH Pidana, pasal 153 bis huruf s KUH Pidana, pasal 161 KUH Pidana, pasal 236 huruf e KUH Pidana dan pasal 461 KUH Pidana.

 

Dari ketentuan pasal 160 KUH Pidana dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut :

1)   Yang dimaksud dengan MENGHASUT adalah mendorong, mengajak, membangkitkan atau membakar semangat orang untuk berbuat sesuatu, akan tetapi BUKAN MEMAKSA;

2)   Perbuatan menghasut bisa dilakukan dengan kata-kata yang bersifat membujuk atau dengan kata-kata yang penuh tipu daya sehingga orang lain percaya dengan yang kita katakan;

3)   Perbuatan menghasut tersebut dapat dilakukan secara lisan maupun dengan tulisan dan saat ini bisa dilakukan melalui media sosial atau media online lainnya sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 yang merupakan Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;

4)   Tujuan menghasut adalah :

a)    Supaya dilakukan suatu peristiwa (pelanggaran atau kejahatan) yang diancam dengan hukuman;

b)    Supaya melawan kekuasaan umum (termasuk di dalamnya adalah kekuasaan Pemerintah) dengan kekerasan;

c)    Supaya melanggar ketentuan perundang-undangan yang ada;

d)    Menolak perintah yang sah yang diberikan berdasarkan undang-undang;

e)    Menghasut tersebut dilakukan secara sadar akan kemungkinan yang bisa terjadi akibat hasutan tersebut;

5)   Saat ini banyak terjadi beredarnya video maupun foto yang bersifat menghina simbol-simbol negara dan harus diingat bahwa berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 yang merupakan Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, perbuatan membuat, mengedarkan maupun menonton tanpa segera melaporkan konten-konten tersebut dapat dipidana.

6)   Perihal pidana denda, tetap mengacu kepada Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2012; (BERSAMBUNG).

Kamis, 17 November 2022

KEJAHATAN TERHADAP KETERTIBAN UMUM (Bagian 7)

 KEJAHATAN TERHADAP KETERTIBAN UMUM (Bagian 7)

 

 

Selanjutnya pembahasan mengenai kejahatan terhadap ketertiban umum, akan membahas ketentuan Pasal 159 KUH Pidana yang menyatakan sebagai berikut :

 

“Barangsiapa turut campur dalam pemilihan seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 158, baik yang diadakan di Negara Indonesia maupun di negeri asing, dihukum penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,00 (empat ribu lima ratus rupiah).” (Lihat ketentuan Pasal 158 KUH Pidana).

 

Dari ketentuan Pasal 159 KUH Pidana tersebut, dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut :

 

1)    Ketentuan ini mempunyai hubungan dengan pasal yang terdahulu (Pasal 158 KUH Pidana);

2)    Dimanapun juga pemilihan itu diadakan maka barangsiapa yang turut pada pemilihan itu, ialah yang mengeluarkan suaranya, dihukum;

3)    Warganegara sendiri juga dihukum apabila ia pergi keluar negeri dan memberikan suara di negeri itu (prinsip nasionalitas);

4)    Dan orang asing hanya dihukum, jika ia di negeri Indonesia turut pada pemungutan suara / WNA turut memberikan suara pada Pemilu di Indonesia (prinsip territorial / hal ini karena ada kemungkinan ada orang yang mempunyai dua kewarganegaraan);

5)    Ini dari pasal ini adalah larangan bagi warga negara Indonesia (WNI) untuk turut serta secara aktif dalam pemilihan yang diadakan oleh negara lain, baik turut serta di dalam negara Indonesia maupun turut serta di luar negara Indonesia;

6)    Perihal denda, tetap menganut pada ketentuan pada Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2012; (BERSAMBUNG).

 

 

Rabu, 16 November 2022

KEJAHATAN TERHADAP KETERTIBAN UMUM (Bagian 6)

 KEJAHATAN TERHADAP KETERTIBAN UMUM (Bagian 6)

 

Pembahasan selanjutnya dalam hal membicarakan kejahatan terhadap ketertiban umum adalah ketentuan Pasal 158 KUH Pidana yang menyatakan sebagai berikut :

“Barangsiapa di Negara Indonesia menyuruh mengadakan pemilihan anggota untuk Badan Politik di negeri asing atau menyiapkan ataupun memudahkan pemilihan itu, baik yang akan diadakan di Negara Indonesia maupun di negeri asing, dihukum penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah).” (Lihat ketentuan Pasal 159 KUH Pidana).

 

Dari ketentuan Pasal 158 KUH Pidana ini, kiranya dapat dijelaskan secara ringkat sebagai berikut :

1)    Pasal ini melarang melakukan kegiatan yang berkaitan dengan pemilihan umum atau pemilihan sejenisnya yang dilakukan oleh negara asing, baik yang dilakukan di Indonesia maupun di negara asing. Yang dimaksud adalah melarang seseorang atau sekelompok orang warga negara Indonesia menjadi panitia pemilihan umum atau pemilihan sejenisnya yang dilakukan oleh negara asing, baik yang dilakukan di Indonesia maupun di luar negara Indonesia;

2)    Apabila suatu negara asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia akan melakukan pemilihan umum yang juga merupakan kegiatan di negaranya, maka seluruh panitia yang melakukannya adalah warga negara dari negara yang akan melakukan pemilihan umum tersebut;

3)    Mengenai ketentuan pidana denda tetap mengikuti ketentuan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2012. (BERSAMBUNG).

 

 

 

Selasa, 15 November 2022

KEJAHATAN TERHADAP KETERTIBAN UMUM (Bagian 5)

 KEJAHATAN TERHADAP KETERTIBAN UMUM (Bagian 5)

 

 

Selanjutnya dalam pembahasan mengenai kejahatan terhadap ketertiban umum, akan dibahas ketentuan Pasal 157 KUH Pidana yang menyebutkan sebagai berikut :

(1)  Barangsiapa menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan surat atau gambar, yang isinya menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan diantaranya terhadap golongan-golonganpenduduk Negara Indonesia, dengan maksud supaya isi surat atau gambar itu diketahui oleh orang banyak, dihukum penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,00 (empat ribu lima ratus rupiah);

(2)  Jika si tersalah melakukan kejahatan itu dalam jabatannya dan pada waktu melakukan kejahatan itu belum lagi lewat 5 (lima) tahun sejak keputusan penghukumannya yang dahulu lantaran kejahatan serupa itu juga telah mendapat ketetapan, maka dapat ia dipecat dari jabatannya itu (lihat ketentuan pasal 154 huruf s dan pasal 483 huruf s KUH Pidana).

 

Dari ketentuan Pasal 157 KUH Pidana tersebut, dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut :

1)     Ketentuan Pasal 157 KUH Pidana ini sesuai dengan catatan pada Pasal 154 KUH Pidana;

2)     Pasal 157 KUH Pidana ini serupa dengan Pasal 155 KUH Pidana, hanya bedanya pada Pasal 154 KUH Pidana pernyataan permusuhan tersebut ditujukan kepada Pemerintah Indonesia, sedangkan Pasal 157 KUH Pidana, kebencian tersebut ditujukan kepada golongan penduduk Indonesia;

3)     Ketentuan mengenai pidana denda mengikuti ketentuan pada Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor : 2 Tahun 2012. (BERSAMBUNG).

Rabu, 09 November 2022

KEJAHATAN TERHADAP KETERTIBAN UMUM (Bagian 4)

 KEJAHATAN TERHADAP KETERTIBAN UMUM (Bagian 4)

 

Ketentuan selanjutnya mengenai Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum adalah diatur dalam Pasal 156 KUH Pidana yang menyebutkan :

“Barangsiapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap sesuatu atau beberapa golongan penduduk Negara Indonesia, dihukum penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,00 (empat ribu lima ratus rupiah).”

 

Dari ketentuan Pasal 156 KUH Pidana ini, maka dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut :

1)    Yang dikatakan golongan dalam pasal ini dan pasal yang berikut, ialah tiap-tiap bagian dari penduduk Negara Indonesia yang berbeda baik dari suku, ras agama, tempat tinggalnya, keturunannya atau keadaan hukum negaranya (bagi warga negara asing);

2)    Pasal ini hampir sama dengan ketentuan Pasal 154 KUH Pidana hanya di dalam Pasal 156 KUH Pidana khusus ditujukan terhadap sesuatu atau beberapa golongan penduduk Indonesia;

3)    Pasal ini ditujukan kepada pelaku yang menyatakannya secara lisan di muka umum, misalkan di dalam rapat-rapat, seminar dan sebagainya;

4)    Ketentuan mengenai denda adalah sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2012. (BERSAMBUNG).

https://youtube.com/channel/UCNtmlERBD1H8irl_Psmziag

 Mohon berkenan untuk sekedar SUBSCRIBE....LIKE.....SHARE dan COMMENT......maturnuwun 🙏🙏.



https://youtube.com/channel/UCNtmlERBD1H8irl_Psmziag

Selasa, 08 November 2022

Konten Youtube

 Monggo...di LIKE....SUBSCRIBE dan di SHARE....


https://youtu.be/lwmlw9Vs4uc

KEJAHATAN TERHADAP KETERTIBAN UMUM (Bagian 3)

 KEJAHATAN TERHADAP KETERTIBAN UMUM (Bagian 3)

 

Ketentuan berikutnya yang mengatur tentang Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum adalah ketentuan Pasal 155 KUH Pidana, yang menyebutkan :

(1(1)  Barangsiapa menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan surat atau gambar yang isinya menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Negara Indonesia, dengan maksud supaya isi surat atau gambar itu diketahui oleh orang banyak atau lebih diketahui orang banyak dihukum penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun dan 6 (enam) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,00 (empat ribu lima ratus rupiah);

((  (2)  Jika di tersalah melakukan kejahatan itu dalam jabatannya dan pada waktu melakukan itu belum lagi lalu 2 (dua) tahun sejak keputusan hukumannya yang dahulu lantaran kejahatan serupa itu juga telah mendapat ketetapan, maka ia dapat dipecat dari jabatan itu (lihat ketentuan pasal 154, pasal 156 huruf s, pasal 208 dan pasal 483 huruf s KUH Pidana).

Dari ketentuan Pasal 155 KUH Pidana tersebut dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut :

a)    Ketentuan pasal 155 KUH Pidana ini berkaitan erat dengan ketentuan pasal 154 KUH Pidana sehingga yang berlaku pada ketentuan pasal 154 KUH Pidana juga dapat diterapkan dalam pasal 155 KUH Pidana ini;

b)    Untuk ketentuan pidana denda, saat ini harus berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor : 2 Tahun 2012 yang mengatur bahwa setiap denda yang tercantum di dalam KUH Pidana akan dikalikan dengan 1000, sehingga jika tercantum denda dalam pasal 155 KUH Pidana ini sebesar Rp 4.500,00 (empat ribu lima ratus rupiah) maka akan dikalikan dengan 1000 sehingga menjadi Rp 4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah);

c)    Yang dimaksud dengan :

-      Menyiarkan adalah memaka surat kabar, majalah, buku, surat selebaran dan lain-lain, termasuk untuk saat ini adalah melalui media online dalam segala bentuknya;

-    Tulisan atau gambar harus dibuat banyak atau untuk saat ini adalah melakukan sharing sebanyak-banyaknya melalui media online yang dimilikinya;

-   Yang dimaksud dengan mempertotonkan adalah diperlihatkan kepada orang banyak sedangkan yang dimaksud dengan menempelkan adalah ditempelkan di suatu tempat sehingga kelihatan atau dibaca orang;

d)    Meskipun KUH Pidana yang berlaku di Indonesia adalah buatan Pemerintah Kolonial Belanda yang dibuat pada tahn 1918 namun sejak kemerdekaan Negara Indonesia, Pemerintah Indonesia mengadopsinya dengan membentuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) dengan beberapa penyesuaian sebagaimana dibutuhkan oleh bangsa Indonesia dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 masih berlaku hingga saat ini dan belum ada penggantinya. (BERSAMBUNG)

Senin, 31 Oktober 2022

PERMA Nomor 2 Tahun 2012

 Peraturan Mahkamah Agung RI (PERMA) Nomor 2 Tahun 2012 dapat di download di sini :


https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/209445/perma-no-2-tahun-2012

KEJAHATAN TERHADAP KETERTIBAN UMUM (Bagian 2)

 KEJAHATAN TERHADAP KETERTIBAN UMUM (Bagian 2)

 

Selanjutnya kita akan membahas ketentuan berikutnya berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum, yaitu Pasal 154 huruf a KUH Pidana, yang menyebutkan sebagai berikut, “Barangsiapa menodai Bendera Kebangsaan Republik Indonesia dan Lambang Negara Republik Indonesia, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp 3.000,00 (tiga ribu rupiah).”

 

Ketentuan pasal 154 huruf a  KUH Pidana ini secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut :

1)    Pasal ini ditambahkan dengan Lembaran Negara No. 127 Tahun 1958, hal ini dikarenakan dalam KUH Pidana belum ada ketentuan seperti ini maka adanya Peraturan Pemerintah mengenai Bendera Kebangsaan, Lambang Negara Indonesia dan Bendera Kebangsaan Asing, perlu diadakan ketentuan termaksud. Bahwa betul di dalam KUH Pidana Tentara terdapat pasal 136 ayat (2) yang berbunyi : “Barangsiapa menghina dan sebagainya Lambang Negara, Bendera Kebangsaan Indonesia dan sebagainya,” akan tetapi berdasarkan Pasal 52 KUH Pidana Tentara tersebut hanya berlaku terhadap orang-orang militer dan orang-orang yang tunduk kepada Peradilan Militer;

2)    Arti kata menodai ialah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menghina;

3)    Dengan adanya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, maka kedudukan dari ketentuan Pasal 154 huruf a KUH Pidana ini hanya sebagai pelengkap dari Undang-Undang tersebut;

4)    Berkaitan dengan besaran denda sebagaimana tercantum di dalam KUH Pidana, oleh karena pidana denda tersebut dibuat di tahun 1918 atau di saat masa kolonial Belanda, maka Mahkamah Agung RI telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor : 2 Tahun 2012, maka berdasarkan ketentuan Pasal 3 dan 4 PERMA Nomor 2 Tahun 2012, maka denda yang tercantum akajn dikalikan dengan 1000, sehingga apabila dalam ketentuan Pasal 154 huruf a KUH Pidana ini mencantumkan denda sebesar Rp 3.000,00 (tiga ribu rupiah) maka dengan PERMA Nomor 2 Tahun 2012 denda tersebut berubah menjadi Rp 3.000,00 (tiga ribu rupiah) dikalikan 1000 sehingga menjadi Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah); (BERSAMBUNG).

 

 

 

 

Kecelakaan Lalu Lintas

    Ritual Mudik menjelang Hari Raya Idul Fitri telah tuntas dilakukan dengan berbagai variasinya. Masyarakat yang mudik dengan mengguna...