Rabu, 29 Juli 2020

Menjadikan Kantor Desa/Kelurahan Sebagai Basis Data

Sebagaimana kita telah ketahui bersama bahwa saat ini proses persidangan di kantor pengadilan sudah bisa dilakukan secara online/daring. Khusus terhadap proses persidangan perkara perdata, saat ini baru mulai memasuki tahapan persidangan tanpa tatap muka, yaitu pihak penggugat atau kuasa hukumnya dapat mendaftarkan gugatannya secara daring dengan disertai data pendukungnya seperti salinan kartu identitas, surat kuasa (apabila ada), bukti pembayaran biaya panjar perkara dan lain sebagainya. Meski demikian, dalam persidangan pertama tetap akan dilakukan secara tatap muka di ruang sidang pengadilan dengan hadirnya para pihak dan majelis hakim menyatakan bahwa persidangan selanjutnya akan dilakukan secara daring, yaitu untuk proses jawab menjawab, baik itu jawaban Tergugat, Replik (tanggapan Penggugat atas jawaban Tergugat) maupun Duplik (tanggapan Tergugat atas Replik Penggugat) dilakukan secara daring, yaitu para pihak mengirimkannya melalui email kantor pengadilan. Sedangkan untuk proses pembuktian baik bukti surat maupun bukti saksi dilakukan dengan tatap muka di ruang sidang.
Dengan wacana persidangan secara daring, maka di masa mendatang, kiranya para pihak tidak perlu datang ke kantor pengadilan dan bisa menggunakan fasilitas di Kantor Desa / Kantor Kelurahan untuk melakukan persidangan secara daring. Hal ini mengingat masih terbatasnya akses internet, khususnya di pedesaan, maka perlu dicari solusi yang tidak membebankan bagi para pencari keadilan. Mereka dapat menggunakan data kependudukan yang ada di kantor desa / kelurahan setempat sebagai dasar untuk mengajukan gugatan / permohonan. Oleh karena itu kantor desa / kantor kelurahan dapat dijadikan basis data bagi para pencai keadilan bahkan Mahkamah Agung harus bisa melakukan kerja sama antar instansi dengan Kementerian Dalam Negeri untuk memperkuat basis data kependudukan di setiap kantor desa / kelurahan, dengan melengkapi pula dengan fasilitas jaringan internet yang memadai sehingga bisa dipergunakan untuk bersidang secara daring. Di masa depan, kiranya para pencari keadilan sama sekali tidak perlu datang ke kantor pengadilan apabila hendak beracara, cukup datang ke kantor desa / kelurahan setempat dan apabila para pencari keadilan tersebut adalah pendatang di suatu desa / kelurahan, bisa dimintakan surat keterangan domisili dari desa / kelurahan tersebut. Hal ini dimaksudkan agar memudahkan setiap orang beracara di kantor desa / kelurahan. Semoga hal ini bisa menjadi perhatian kita bersama, khususnya bagi Mahkamah Agung, sebagai stakeholder dari penegakan hukum di Indonesia.

Senin, 27 Juli 2020

PERSIDANGAN DILAKUKAN TIDAK DI RUANG SIDANG, TINJAUAN YURIDIS ATAS PERSIDANGAN SECARA ELEKTRONIK


PERSIDANGAN DILAKUKAN TIDAK DI RUANG SIDANG, TINJAUAN YURIDIS ATAS PERSIDANGAN SECARA ELEKTRONIK
Oleh : H. Santhos Wachjoe Prijambodo, S.H., M.H.[1]


I.    Pendahuluan
Selama ini masyarakat selalu mendapat pemahaman bahwa setiap persidangan selalu dilakukan di dalam ruang sidang yang berada di setiap Kantor Pengadilan, baik di Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara maupun di Pengadilan Militer. Hal ini memang tidak salah, mengingat Hukum Acara yang diperkenalkan oleh Pemerintahan Kolonial Belanda berupa HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement / Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui) yang pada saat itu berlaku bagi mayarakat Indonesia yang berada di Pulau Jawa dan Madura maupun RBg (Reglemen Tot Regeling van Het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Jawa en Madura / Reglemen Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura), mensyaratkan bahwa setiap persidangan harus dilakukan di dalam ruang sidang di Kantor Pengadilan, dalam hal ini adalah Pengadilan Negeri.
Demikian pula ketika bangsa kita telah mampu membuat Undang-Undang yang mengatur tentang Hukum Acara yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, kita kembali mengadopsi apa yang sudah tercantum dalam HIR maupun Rbg, yaitu bahwa setiap persidangan harus dilakukan di ruang sidang di kantor pengadilan.
Dengan perkembangan tekhnologi yang sangat pesat seperti sekarang ini, yang sudah memasuki generasi 4.0, maka mau tidak mau Mahkamah Agung sebagai Stake Holder di bidang Yudikatif, tentu saja tidak bisa berdiam diri membiarkan proses persidangan yang masih bersifat mengedepankan unsur normatifnya saja.yang tentu saja akan semakin tertinggal jika dibandingkan dengan proses persidangan yang dilakukan di negara lain.
Saat ini Mahkamah Agung berusaha untuk memudahkan para pencari keadilan, salah satu caranya adalah bersidang secara daring (online), pertanyaannya mungkinkah itu? Secara teori hukum, memang belum ada yang bisa menjawabnya, khusus untuk hukum Indonesia. Secara teori, persidangan harus dilakukan di ruang sidang di gedung Pengadilan, khusus untuk perkara Perdata, dimulai sejak dibacakannya surat gugatan/permohonan sampai dengan dijatuhkannya putusan.[2] Demikian juga untuk persidangan perkara pidana, semua harus dilakukan secara normative yaitu dilakukan di dalam ruang sidang di Kantor Pengadilan Negeri.
Hal ini sangat menghambat para pencari keadilan, terutama bagi wilayah Kantor Pengadilan yang terdiri dari pulau-pulau kecil di ujung negeri. Bisa kita bayangkan halangan dan rintangan yang harus dihadapi oleh para Aparat Penegak Hukum (APH) untuk menghadirkan Terdakwa, saksi-saksi maupun barang bukti, dalam perkara pidana, hanya untuk membuktikan sebuah perkara pidana yang hanya merupakan percara pencurian ataupun pencurian dalam keadaan memberatkan yang nilai kerugiannya secara nominal sangat kecil. Sebagai gambaran, bisa kita sampaikan sebagai berikut, di suatu Pengadilan Negeri di wilayah timur Indonesia, terjadi pencurian buah kelapa yang nilai kerugiannya tidak lebih dari Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah), yang tempat kejadian perkaranya (TKP) serta keberadaan saksi-saksinya ada di pulau-pulau yang jauh dari Kantor Pengadilan Negeri dan disidik oleh Kantor Cabang Kejaksaan Negeri setempat. Meskipun untuk perkara-perkara yang nilai kerugiannya tidak lebih dari Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) dapat diajukan sebagai perkara Tindak Pidana Ringan (Tipiring)[3] meski demikiandapat dipastikan biaya yang timbul dari mulai penyidikan hingga sampai dengan penjatuhan pemidianaan, akan lebih mahal, mengingat proses persidangan harus dilakukan di ruang sidang di Kantor Pengadilan Negeri.
Oleh karena itu, Mahkamah Agung harus lebih berani lagi membuat terobosan hukum, sehingga bisa mempermudah masayarakat dalam upaya mencari keadilan. Keberanian dari Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik yang merupakan lanjutan dari Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nommor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik, yang kemudian disusul dengan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 129/KMA/SK/VIII/2019 tentang Petunjuk Teknis Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik, yang saat ini baru diberlakukan untuk perkara perdata, harus kita apresiasi dan kita harus tetap mendukung Mahkamah Agung untuk juga mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) yang diberlakukan terhadap perkara-perkara pidana sehingga bisa disidangkan secara daring (online).

II.   Permasalahan
Dari uraian-uraian dalam pendahuluan tersebut, kiranya terdapat beberapa permasalahan yang dapat kita bahas lebih lanjut. Permasalahan tersebut antara lain adalah:
1.    Apa yang dimaksud dengan persidangan secara elektronik?
2.    Apa hambatan dalam persidangan secara elektronik?
3.    Apa solusi bagi lancarnya persidangan secara elektronik?

III. Pembahasan
Atas permasalahan-permasalahan yang kita dapatkan, maka akan kita bahas dan kita uraian secara singkat sehingga bisa memberikan pemahaman bagi kita semua mengenai arti pentingnya persidangan yang dilakukan secara elektronik. Begitu pula kita akan mengetahui kelebihan dan kekurangan dari diadakannya persidangan secara elektronik.
Meski demikian, persidangan yang dilakukan secara elektronik bukan berarti membatasi kebebasan Hakim dalam menjatuhkan putusannya. Fenomena kebebasan Haki sebagai fitrah, melekat pada diri seorang Hakim, merupakan jiwa dai wujud istilah kemandirian peradilan, sehingga merefleksikan pengalaman Hakim dalam mengeksploitasi semangat kebebasan sebagai seorang Hakim.[4]
Oleh karena itu kewajiban menghormati dan menjamin kekuasaan kehakiman yang merdeka, semakin memiliki urgensi prinsipiil sejalan dengan perkembangan demokrasi yang menerapkan negara dijalankan berdasarkan atas prinsip hukum dan negara berpaham pada negara konstitusi yang mengamanatkan penghormatan tertinggi atas pembatasan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan penegakan asas kebebasan hakim sebagai prasyarat negara berdasarkan atas hukum dan konstitusionalisme.[5]
Berkaitan dengan perkembangan jaman yang semakin maju dan juga perkembangan tekhnologi informasi yang semakin pesat, maka kita harus memahami dan mengikutinya, termasuk di dalamnya adalah dalam hal persidangan yang saat ini bisa dilakukan secara elektronik.
1.    Apa yang dimaksud dengan persidangan secara elektronik?
Sebelum membahas mengenai persidangan secara elketronik, maka ada baiknya apabila kita mengetahui terlebih dahulu pengertian Informasi, Teknologi, Komunikasi, Teknologi Informasi maupun Teknologi Informasi dan Komunikasi.
Secara singkat Informasi iti dapat dikatakan sebagai sejumlah data yang sudah diolah atau diproses melalui prosedur pengolahan data dalam rangka menguji tingkat kebenarannya, keterpakaiannya sesuai dengan kebutuhan.[6] Lebih lanjut dikatakan, sebagai perbandingan pemahaman terhadap informasi ini, berikut ada beberapa definisi informasi, diantaranya:[7]
a)     Informasi merupakan hasil dari pengolahan data, akan tetapi tidak semua hasil dari pengolahan tersebutg dapat menjadi informasi;
b)     Informasi merupakan data yang telah mengalami pengolahan;
c)     Informasi memberikan makna;
d)     Informasi berguna atau bermanfaat;
e)     Informasi merupakan bahan pembuat keputusan;
Pendapat lain mengatakan bahwa Informasi sering disamakan dengan pengertian data dan data adalah sesuatu yang belum diolah dan belum dapat digunakan sebagai dasar yang kuat dalam pengambilan keputusan.[8]
Kemudian, apa ciri dari informasi? Terdapat 2 (dua) pendapat yaitu dari Mc. Leod dan pendapat dari Deni Darmawan. Mc. Leod mengatakan bahwa suatu informasi yang berkualitas harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:[9]
1)     Akurat, artinya informasi mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Pengujian terhadap hal ini biasanya dilakukan melalui pengujian oleh dua orang atau lebih yang berbeda-beda dan apabila hasil pengujian tersebut hasilnya sama, maka dianggap data tersebut akurat;
2)     Tepat waktu, artinya informasi itu harus tersebut atau ada pada saat informasi tersebut diperlukan, tidak besok atau tidak beberapa jam lagi;
3)     Relevan, artinya informasi yang diberikan harus seusia dengan yang dibutuhkan. Kalau kebutuhan informasi ini untuk suatu organisasi maka Informasi tersebut harus sesuai dengan kebutuhan Informasi di berbagai tingkatan dan bagian yang ada dakam organisasi tersebut;
4)     Lengkap, artinya informasi harus diberikan secara lengkap;
Adapaun Deni Darmawan menjelaskan ada 6 (enam) ciri dari informasi yang bisa memberikan makna bagi pengguna, diantaranya:[10]
1)  Amount of Information (Kualitas Informasi), dalam arti bahwa informasi yang diolah oleh suatu prosedur pengolahan informasi mampu memenuhi kebutuhan banyaknya informasi;
2)  Quality of Information (Kualitas Informasi), dalam arti bahwa informasi yang diolah oleh sistem pengolahan tertentu mampu memenuhi kebutuhankualitas informasi;
3)  Recency of Information (Informasi Aktual), dalam arti bahwa informasi yang diolah oleh sistem pengolahan tertentu mampu memenuhi kebutuhan informasi baru;
4)  Relevance of Information (Informasi yang relevan atau sesuai) dalam arti bahwa informasi yang oleh sistem pengolahan tertentu mampu memenuhi kebutuhan informasi;
5)  Accuracy of Information (Ketepatan Informasi), dalam arti bahwa informasi yang oleh sistem pengolahan tertentu mampu memenuhi kebutuhan informasi;
6)  Authenticity of Information (Kebenaran Informasi), dalam arti bahwa informasi yang dikelola oleh sistem pengolahan tertentu mampu memenuhi kebutuhan informasi yang benar.
Kemudian, apa yang dimaksud dengan Teknologi? Untuk menjawabnya, maka harus dipahami telebih dahulu, bahwa Teknologi mempunyai 4 (empat) perspektif:[11]
1.  Perspektif Teknologi sebagai Ide, berarti individu yang memahami Teknologi sebagai Ide, ia tidak akan merasa bahwa dirinya “gaptek”;
2.  Perspektif Teknologi sebagai Rancang Bangun, berarti dalam memahami bahwa dapat pula ditelaah dari sudut pandang rancang Bangun;
3.   Perspektif Berpikir Inovatif, yaitu seseorang yang memahami perspektif ketiga ini, diharpakan akan menjadi Teknolog yang sejati;
4.  Perspektif Kebahasaan, yaitu kita dapat melihat perubahan teknologi pada saat pengetahuan Teknik kita meningkat.
Selanjutnya, yang disebut dengan Komunikasi adalah proses sistematik bertukar informasi diantara pihak-pihak, biasanya melalui system symbol biasa.[12]
Sampai saat ini masih belum ada keseragaman mengenai pengertian Teknologi Informasi. Akan tetapi salah satu pengertian Teknologi Informasi adalah suatu bidang ilmu pengetahuan yang perkembangannya semakin pesat dari tahun ke tahun.[13] Pendapat lain mengatakan bahwa Teknologi Informasi dapat dikatakan senagai ilmu yang diperlukan untuk mengelola informasi agar informasi tersebut dapat dicari dengan mudah dab akurat, sedangkan isi dari dari ilmu itu dapat berupa teknik-teknik dan prosedur untuk menyimpan informasi secara efisien dan efektif.[14]
Menurut Martin, Teknologi Informasi tidak hanya terbatas pada teknologi computer yang digunakan untuk memproses dan menyimpan informasi, melainkan mencakup juga teknologi komunikasi untuk mengirimkan informasi.[15]
Siagian berpendapat bahwa salah satu perkembangan pesat pada era informasi saat ini adakah telah terjadinya perkawinan antara teknologi komunikasi dan teknologi informasi, akibatnya makin banyak saluran penyampaian informasi dari satu pihak ke pihak lain.[16]
Dari uraian tersebut di atas, maka dapat diambil suatu kesimpaulan bahwa teknologi informasi dan teknologi komonukasi merupakan sarana penyampaian informasi dari satu pihak ke pihak melalui berbagai cara, termasuk melalui sarana elektronik. Sehingga dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa persidangan yang dilakukan secara elektronik yang menggunakan teknologi komunikasi dan juga teknologi informasi pada hakekatnya adalah upaya untuk menyampaikan informasi persidangan secara elektronik, termasuk di dalamnya adalah upaya persidangan yang dilakukan dengan menggunakan sarana teknologi komunkasi dan juga teknologi informasi, yang semuanya bertujuan untuk memangkas  proses persidangan yang bertele-tele dan memudahkan para pihak yang akan berperkara di kantor pengadilan.
Saat ini kita tentu sudah tidak asing dengan istilah E-Tilang atau ElectronicTilang, yang dapat disebut dengan Tilang bagi pelanggar lalu lintas yang dilakukan secara elektronik. Benarkah E-Tilang dilakukan persidangan secara elektronik? Atau hanya dendanya saja yang dibayarkan secara elektronik melalui jasa perbankan baik melalui ATM ataupun melalui Internet Banking?
Dalam prakteknya, E-Tilang hanyalah berkaitan dengan pembayaran dendanya saja yang dilakukan secara elektronik, sedangkan proses persidangannya sama sekali tidak dilakukan di Kantor Pengadilan Negeri. Bahwa kenyataanya, Hakim hanya menandatangani berkas tilang yang sudah tercantum besaran nilai dendanya tanpa pernah dilakukan persidangan. Jadi sebenarnya sangat tidak tepat bila disebut E-Tilang adalah proses persidangan perkara Tilang (pelanggaran lalu lintas) dilakukan secara elektronik.
Secara singkat dapat dijelaskan bahwa E-Tilang atau E-TLE (Electronic Traffic Law Enforcement) adalah sistem tilang elektronik yang memanfaatkan sistem CCTV sebagai pengawasnya alih-alih polisi yang bertugas di jalanan, apabila ada kendaraan yang melanggar peraturan lalu lintas dan tertangkap CCTV, petugas yang memantau di monitoring room akan merekam dan mencatat nomor plat kendaraan dan pemilik plat kendaraan akan diberikan surat tilang dan harus membayar denda tersebut via bank dalam jangka waktu tujuh hari.[17]
Dari uraian tersebut di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa E-Tilang bukan berarti proses persidangan Tilang atau pelanggar lalu lintas dilakukan secara elektronik, akan tetapi adalah proses tilang yang menggunakan fasilitas elektronik seperti kamera pengawas (CCTV) yang ditempatkan di jalan-jalan yang telah ditentukan. Kemudian denda tilang didasarkan pada hasil pemantauan kamera pengawas tesebut, yang kemudian berkasnya dikirimkan ke Pengadilan Negeri untuk mendapatkan pengesahan (tanda tangan) dari Hakim. Sehingga sampai dengan saat ini, keberadaan Pengadilan Negeri hanyalah sebagai pihak yang memvalidasi atas denda yang diterapkan terhadap para pelanggar lalu lintas dan bukan sebagai pemutus perkara pelanggaran lalu lintas, sebagaimana yang terjadi sebelum diterapkannya E-Tilang beberapa waktu yang lalu. 
Kemudian, apa yang disebut dengan persidangan yang dilakukan secara elektronik? Dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2019 pada pasal 1 angka 7 menyebutkan bahwa Persidangan Secara Elektronik adalah serangkaian proses memeriksa dan mengadili perkara oleh pengadilan yang dilaksanakan dengan dukungan teknologi informasi dan komunikasi.
Dari uraian pasal 1 angka 7 PERMA Nomor 1 Tahun 2019 tersebut, maka secara singkat dapat disebutkan bahwa persidangan secara elektronik adalah proses persidangan yang menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. Secara tegas, PERMA ini hanya mengatur proses persidangan perkara perdata, hal ini terlihat pada ketentuan pasal 4 yang menyebutkan Persidangan secara elektronik dalam peraturan ini berlaku untuk proses persidangan dengan acara penyampaian gugatan / permohonan / keberatan / bantahan / perlawanan / intervensi beserta perubahannya, jawaban, replik, duplik, pembuktian, kesimpulan dan pengucapan putusan / penetapan.
Meski demikian, terobosan ini kiranya patut kita apresiasi, mengingat kita belum mempu membuat Hukum Acara Perdata sebagai pengganti dari HIR maupun RBg yang merupakan peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda yang tentu saja sudah tidak sejalan dengan nilai-nilai kemasyarakatan yang hidup dalam masyarakat Indonesia saat ini. Peraturan Mahkamah Agung ini, meskipun bau mengatur sebatas pada Hukum Acara Perdata, hal ini dapat dipahami bahwa Hukum Perdata merupakan hukum yang bersifat perorangan, yaitu antara orang yang dirugikan dengan orang yang menimbulkan kerugian. Pengaturan yang bersifat perorangan tentu saja lebih mudah dibandingkan dengan pengaturan yang melibatkan banyak orang / publik, sehingga dengan demikian, pembaharuan Hukum Acara Perdata dapat menjadi pionir dari pembaharuan hukum Indonesia secarfa keseluruhan.
Berkaitan dengan persidangan secara elektronik, perlu kiranya kita menengok sejenak pada system hukum yang ada di negara tetangga kita di ASEAN, yaitu Singapura, menilik negara tetangga ASEAN, Penggunaan elektronik dalam proses administrasi pengadilan telah dilakukan oleh Singapura melalui e-Justice yang merupakan Electronic Filling System (EFS) telah diluncurkan pada tanggal 1 Maret 2000. EFS merupakan sebuah sistem jaringan komputer nasional yang menghubungkan kehakiman dengan firma hukum atau organisasi pencari keadilan melalui sebuah perangkat lunak. Pelaksanaan e-Justice berfokus pada pengajuan berbagai dokumen pengadilan yang memberikan dampak signifikan pada proses administrasi pengadilan terutama pada surat panggilan.[18] Kiranya dapat dipahami bahwa meskipun kita cukup tertinggal dari sistem hukum Singapura, akan tetapi adanya keinginan untuk dapat mengejar ketertinggalan harus kita apresiasi.
Harus diakui bahwa dengan adanya Perma No. 3 Tahun 2018, dilanjutkan dengan Perma No. 1Tahun 2019 dan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 129/KMA/SK/VIII/2019, tentu saja akan membuat tergagap bagi para aparat pengadilan mengingat, masih banyak aparat pengadilan yang masih gagap tekhnologi (GAPTEK), sehingga dibutuhkan kesabaran untuk dapat memberikan pelatihan-pelatihan teknis dengan Bahasa yang mudah dimengerti dan dipahami.
Secara administratif pemberkasan, semua berkas perkara sudah ditata dan diatur secara elektronik, dalam arti semua data dalam sebuah berkas perkara sudah pula dimasukkan data-datanya secara elektronik, baik mengenai penunjukan majelis hakim, penunjukan panitera pengganti, jadwal sidang, penundaan sidang, acara persidangan, pembacaan putusan, termasuk upaya hukum yang akan diajukan dan juga putusan dari upaya hukum yang diajukan. Terhadap hal ini juga telah dilakukan pelatihan-pelatihan teknis supaya para aparat pengadilan memahami dan menguasai teknologi yang digunakan. Hal ini bertujuan tidak lain agar pelayanan terhadap masyarakat dapat dilakukan secara optimal.
"Perma Nomor 3 Tahun 2018 merupakan reformasi di bidang hukum acara dengan memanfaatkan teknologi informasi," tulis Kabiro Hukum dan Humas MA Abdullah dalam keternagan tertulis yang diterima Kontan.co.id, Jumat (6/4), menurutnya juga, Perma tersebut sangat relevan dengan kondisi geografis Indonesia sebagai sebagai negara kepulauan yang sulit dijangkau dengan waktu yang cepat. Sehingga, Perma tersebut akan memberikan kemudahan bagi siapapun untuk mengajukan tuntutan hak, baik gugatan maupun permohonan tanpa harus datang langsung ke pengadilan.[19]
Kelahiran Perma RI No. 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara di lingkungan pengadilan menjadi landasan hukum penyelenggaran administrasi perkara di pengadilan secara elektronik untuk mendukung terwujudnya tertib administrasi perkara yang profesional, transparan, akuntanbel, efektif, efisien, dan modern, meskipun demikian, E-court juga membawa konsekuensi tersendiri terhadap proses beracara di pengadilan karena dalam e-court, tidak semua tahap persidangan harus dihadiri oleh para pihak. Sementara itu, sifat dari acara pemeriksaan perkara di depan sidang pengadilan di Indonesia berdasarkan HIR dan R.Bg dilakukan secara lisan yang berarti dilakukan dengan kontak langsung berupa tanya jawab dengan lisan antara majelis hakim dengan para pihak, begitu pula sewaktu mendengar keterangan saksi-saksi.[20]
Siapapun paham, bahwa saat ini harus ada perubahan paradigma terhadap persidangan di pengadilan. Di era digital saat ini apabila masih menerapkan hukum acara baik hukum acara pidana maupun hukum acara perdata secara kaku,hanya akan membuat hukum kita semakin tertinggal dibandingkan negara lain. Kita harus mampu membangun sistem peradilan yang modern, singkat, berbiaya ringan, memberikan rasa keadilan dan menjamin kepastian hukum.
Dalam rangka mewujudkan persidangan secara elektronik, maka Mahkamah Agung telah menadakan diskusi publik Rancangan Peraturan Mahkamah Agung tentang Sistem Administrasi Perkara dan Persidangan Secara Elektronik di Pengadilan pada hari Senin 17 Juni 2019 yang berlokasi di Auditorium Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Diskusi publik ini dipimpin oleh Ketua Kamar Pembinaan Mahkamah Agung Prof. Dr. Takdir Rahmadi, S.H., LL.M, dihadiri oleh Hon James L Allsop (Chief Justice Federal Court of Australia) dan Sia Lagos (Senior Registrar Federal Court of Australia) yang memberikan perspektif persidangan elektronik di Australia.[21] Dalam diskusi tersebut dibahas tentang tata cara persidangan secara elektronik baik itu dalam proses jawab menjawab, keterangan saksi maupun keterangan ahli
Salaj satu contoh terhadap proses administrasi perkara secara elektronik yang telah diterapkan di Australia adalah Di Australia, konsep “BAS milik pihak berperkara” itu ternyata benar-benar diterapkan, meskipun dalam lingkup yang terbatas, yaitu di Family Court of Australia (FCoA), tersedia layanan gratis berupa pemberian transkrip persidangan kepada para pihak yang berperkara dan kuasa hukumnya dan layanan ini dimungkinkan, karena di setiap ruang sidang terpasang alat perekaman suara.[22]
Di dalam persidangan yang dilakukan secara elektronik, tentu saja akan menggunakan apa yang disebut dengan Informasi Elektronik. Mengenai Informasi Elektronik.  Pasal 1 angka 1 Undang-Undang  Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan bahwa;
Informasi  Elektronik  adalah  satu  atau  sekumpulan  data  eletktronik, termasuk,  tetapi  tidak  terbatas  pada  tulisan,  suara,  gambar,  peta, rancangan,  foto,  electronic  data  interchange  (EDI),  surat  elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”[23]
Demikian pula akan kita pergunakan pula apa yang disebut dengan Dokumen Elektronik, yang apabila kita membaca pada ketentuan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Noor 11 Tahun 2008, menyebutkan bahwa:
“Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”[24]
               Dalam praktek pelaksanaan E-Court dan E-Litigation, sebenarnya sudah diawali di tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali, yaitu dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 14 Tahun 2010 tentang Dokumen Elektronik Sebagai Kelengkapan Permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali, yang isinya adalah sebagai berikut:[25]
1.  Terhitung mulai tanggal 1 Maret 2011 seluruh berkas kasasi/peninjauan kembali yang diajukan ke Mahkamah Agung harus menyertakan dokumen elektronik (compact disc, flash disk, e-mail, dll) sebagai berikut:
a.  Dokumen elektronik untuk permohonan kasasi/peninjauan kembali perkara perdata/perdata khusus/ perdata agama/tata usaha negara/pajak, meliputi:
1) putusan pengadilan tingkat pertama, dan
2) putusan pengadilan tingkat banding.
b.  Dokumen elektronik untuk permohonan kasasi/peninjauan kembali perkara pidana/ pidana khusus/ militer, meliputi:
1) putusan pengadilan tingkat pertama;
2) putusan pengadilan tingkat banding, dan
3) surat dakwaan jaksa.
2.     Keberadaan dokumen elektronik tersebut menjadi kelengkapan dari bundel B, sehingga apabila dokumen elektronik tersebut tidak disertakan dalam berkas, Mahkamah Agung akan menyatakan berkas tersebut tidak lengkap dan dikembalikan ke pengadilan pengaju;
3.     Selain itu, mengingat pentingnya naskah memori kasasi/Peninjauan Kembali dalam upaya meningkatkan efisiensi proses pemberkasan, maka setiap Ketua Pengadilan diharapkan bisa mendorong agar para pihak dapat menyerahkan juga softcopy memori Kasasi/Peninjauan Kembali bersamaan dengan penyerahan berkas (hard copy) memori Kasasi/Peninjauan Kembali;
4.     Untuk itu diperintahkan kepada seluruh Ketua Pengadilan tingkat pertama dan banding dari empat lingkungan peradilan untuk memastikan bahwa unit kerja yang berada di bawah kewenangan pembinaannya sebagai berikut:
a.  secara teratur menyelenggarakan pengelolaan naskah elektronik putusan pengadilannya sebagai bagian dari pengelolaan pengarsipan;
b.  memastikan kepatuhan pengiriman dokumen elektronik pada berkas Kasasi/ Peninjauan Kembali;
c.    melakukan pembinaan, monitoring dan evaluasi terhadap kepatuhan dan kelancaran proses pengelolaan dan pengiriman naskah elektronik di pengadilan.
Mahkamah Agung kemudian memperbaiki dan menyempurnakan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2010 tersebut dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014. Dalam SEMA lama, dokumen elektronik yang wajib disertakan hanya meliputi putusan dan dakwaan, maka yang diatur SEMA 1 Tahun 2014, lingkupnya lebih luas.[26]  

Jenis
Perkara
e-Dokumen dalam Perkara kasasi
e-Dokumen dalam Perkara Peninjauan Kembali
Perkara Perdata/Perdata Khusus/Perdata Agama/Tata Usaha Negara/Pajak
1. Relaas Pemberitahuan Putusan Banding;
2. Akta Permohonan Kasasi;
3. Tanda Terima Memori Kasasi;
4. Putusan Pengadilan Tingkat Pertama;
5. Putusan Pengadilan Tingkat Banding;
6. Memori Kasasi;
7. Kontra Memori Kasasi,
1. Akta Permohonan Peninjauan Kembali;
2. Putusan Pengadilan Tingkat Pertama; dan/atau
3. Putusan Pengadilan Tingkat Banding; dan/atau
4. Putusan Tingkat Kasasi;
5. Memori Peninjauan Kembali;
6. Kontra Memori Peninjauan Kembali;
7. Berita Acara Sumpah Bukti Baru (Novum).
Perkara Pidana/Pidana Khusus/Pidana militer,
1. Relaas Pemberitahuan Putusan Banding
2. Akta Permohonan Kasasi;
3. Tanda Terima Memori Kasasi;
4. Putusan Pengadilan tingkat pertama; dan/atau
5. Putusan Pengadilan tingkat banding;
6. Surat Dakwaan Jaksa;
7. Memori Kasasi;
8. Kontra Memori Kasasi,
1. Akta Permohonan Peninjauan Kembali;
2. Putusan Pengadilan tingkat pertama; dan/atau
3. Putusan Pengadilan tingkat banding; dan/atau
4. Putusan tingkat kasasi;
5. Memori Peninjauan Kembali;
6. Kontra Memori Peninjauan Kembali;
7. Berita Acara Pendapat Hakim.

Perbaikan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) tersebut bertujuan dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses minutasi berkas perkara serta menunjang pelaksanaan transparansi dan akuntabilitas serta pelayanan publik pada Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, maka dipandang perlu untuk menata pemanfaatan kemajuan teknologi dan informasi dan menjadikannya sebagai bagian dari prosedur tetap penanganan perkara sebagai bagian penyempurnaan terus menerus yang dilakukan oleh lembaga peradilan Indonesia.[27]
Beberapa kalangan sempat mempertanyakan mengapa berkas perkara yang diajukan kasasi maupun peninjauan kembali harus disertai dengan dokumen elektronik. Pertanyaan semacam ini sangat wajar, mengingat pada saat dikeluarkannya SEMA Nomor 14 Tahun 2010, belum semua pengadilan, baik pengadilan negeri, pengadilan agama, pengadilan tata usaha negara maupun pengadilan militer, belum sepenuhnya mengubah paradigma pengelolaan data dengan menggunakan data elektronik. Masih ditemui adanya pengadilan yang membuat putusan maupun berita acara persidangan dengan menggunakan mesin ketik dan belum menggunakan perangkat computer dan sejenisnya. Sangat terlihat adanya gagap tekhnologi dari para aparat pengadilan ketika Mahkamah Agung MEMAKSA berkas perkara yang diajukan kasasi maupun peninjauan kembali harus dalam bentuk dokumen elektronik. Akan tetapi hal ini perlahan mulai dapat diperbaiki, dengan itikad kuat dari Mahkamah Agung yang ingin menjadilan peradilan yang modern, maka saat ini hampir tidak ada lagi Hakim yang mengetik putusan dengan menggunakan mesin ketik atau Panitera Pengganti yang mengeti Berita Acara Persidangan dengan menggunakan mesin ketik, semuanya sudah dilakukan dengan komputerisasi.
Untuk menjawab kenapa Mahkamah Agung memaksa pengadilan mengirimkan berkas yang diajukan permohonan kasasi maupun peninjauan kembali adalah demi mempercepat proses pengetikan putusannya. Dapat dibayangkan ketika sebuah berkas perkara tindak pidana korupsi yang putusan di tingkat pertama maupun banding sudah terdiri dari ratusan lembar yang masih dalam bentuk hard copy berupa ketikan dengan menggunakan mesin ketik dan harus diketik ulang dalam proses penyusunan putusan kasasi maupun peninjauan kembali. Ketika berkas kasasi maupun peninjauan kembali tersebut sudah dalam bentuk soft copy, maka proses pengetikan ulang dalam proses penyusunan putusan kasasi maupun peninjauan kembali menjadi lebih mudah, yaitu hanya dengan menggunakan proses copy dan paste atau disalin dan ditempel. Meski demikian, proses copy paste juga tidak terlepas dari kesalahan, apabila user atau penggunanya tidak melakukan pengecekan lagi atas hasil ketikannya, sebab bisa menyebabkansalah ketik yang bisa berakibat fatal.
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah sudah cukup dengan pengiriman berkas kasasi maupun peninjauan kembali dalam bentuk dokumen elektronik, maka proses persidangan sudah bisa dikatakan telah dilakukan secara elektronik?
Dalam pandangan secara teoritikal, persidangan secara elektronik adalah persidangan yang menggunakan segala sarana dan prasarana elektronik dan dilakukan tidak pada satu tempat. Maksud dari dilakukan tidak pada satu tempat adalah dimungkinkannya persidangan dilakukan di ruang persidangan oleh Hakim dan Panitera Pengganti, akan tetapi baik Penuntut Umum, Terdakwa, Penasihat Hukum Terdakwa maupun saksi-saksi berada di tempat yang berbeda, yaitu dengan cara teleconference, untuk perkara pidana dan persidangan dilakukan dengan Majelis Hakim berada di ruang sidaing, sedangkan Penggugat maupun Tergugat maupun para kuasanya, berada di tempat kediaman masing-masing, demikian juga untuk saksi yang diperiksa, tetap berada di kediaman masing-masing ataupun di tempat kediaman penggugat maupun tergugat, dalam perkara perdata.
Pro kontra seputar ide penggunaan metode teleconference untuk pemeriksaan saksi persidangan dalam perkara pidana yaitu dalam kasus Cebongan bergulir di tengah pembahasan RUU KUHAP di DPR RI. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memandang metode teleconference diperlukan untuk melindungi kepentingan saksi, sementara, pihak TNI berpendapat sebaliknya, karena tidak ada aturan hukum yang mengatur tentang pemeriksaan saksi dengan metode teleconference.[28]
Walau tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), akan tetapi di dalam prakteknya, penggunaan teleconference pernah dilakukan. Pada 2002, Mahkamah Agung (MA) pertama kali memberikan izin kepada mantan Presiden BJ Habibie untuk memberikan kesaksian lewat teleconference dalam kasus penyimpangan dana non-budgeter Bulog atas nama terdakwa Akbar Tandjung, pemeriksaan saksi melalui teleconference juga dilakukan dalam kasus Abu Bakar Ba’asyir pada 2003, selain itu sidang pemeriksaan kasus Hak Asasi Manusia (HAM) Timor Timur juga pernah menggunakan teleconference.[29]
Penggunaan teleconference tentu saja hanya merupakan sebagaian kecil dari pelaksanaan persidangan secara elektronik yang harus dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagai pemangku kepentingan atau stake holder dari kekuasaan yudikatif di Indonesia. Mahkamah Agung harus mampu mewujudkan peradilan Indonesia yang modern yang bisa mendukung terlaksananya sistem peradilan pidana.
Dalam hal perkara pidana, Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah menetapkan 10 (sepuluh) asas yang merupakan pedoman penyusunannya, yaitu:[30]
1.     Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan;
2.     Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dalam hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan undang-undang;
3.     Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai dengan adanya putusan pengadailan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap;
4.     Kepada seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alas an yang berdasarkan undang-undang dan/atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang ditetapkan, wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak pada tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asa hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan/atau dikenakan hukum adminitrasi;
5.     Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan;
6.     Setiap orang yang tersangkut perkara, wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya;
7.     Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau penahanan selain wajib diberi tahu dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu haknya itu termasuk hak untuk menghubungi minta bantuan penasihat hukum;
8.     Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa;
9.     Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang diatur dalam undang-undang;
10.  Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh ketua pengadilan yang bersangkutan.
Berdasarkan kesepuluh hal tersebut di atas, maka pelaksanaan persidangan secara elektronik juga harus mampu mengadopsi kesepuluh nilai tersebut.
Sistem peradilan pidana dalam konteks Negara Hukum RI, harus ditempatkan sebagai “macro -level” dalam penegakan hukum dan hukum acara pidana sebagai “micro-level”, sistem peradilan pidana sebagai macro-level meliputi 5 (lima) unsur yaitu:[31]
1.  Hukum (tertulis dan tidak tertulis);
2.  Kelembagaan;
3.  Keuangan;
4.  Budaya / kultur;
5.  Kondisi geografis.
Kemudian, berkaitan dengan penggunaan data elektronik dalam persidangan, kiranya kita patut mencontoh pada praktek persidangan di China. di China data elektronik dalam bentuk e-mail sudah menjadi pertimbangan bagi hakim dalam memutus suatu perkara.[32]
Sehingga dari uraian tersebut di atas, maka saat ini mulai terbuka era baru dunia peradilan di Indonesia, yatu dengan diterapkannya persidangan yang dilakukan secara elektronik. Sudah tentu masih banyak perbaikan yang harus dilakukan, sehingga makin mempermudah para pencari keadilan dalam mengakses informasi dalam upaya mendapatkan keadilan.
2.    Apa hambatan dalam persidangan secara elektronik?
Berbicara mengenai persidangan secara elektronik, tentu saja dibutuhkan piranti elektronik yang mampu mendukung kinerja persidangan yang dilakukan secara elektronik. Setelah penerapan E-Court dan E-Litigation pada awal 2020, mungkin masih banyak hal yang memerlukan perbaikan dan penyempurnaan.
Digitalisasi tidak hanya dilakukan dalam hal pembayaran perkara maupun pemanggilan akan tetapi atas permintaan para pihak diperlakukan pula dalam tukar-menukar dokumen, jawab-menjawab, pembuktian, bahkan penyampaian putusan, hal ini tentu mengurai rantai antrean panjang bahkan dalam hal pendaftaran perkara masyarakat pencari keadilan, mengurangi interaksi langsung dengan pemberi layanan dan juga meringkas birokrasi dalam mengakses pengadilan bagi para pencari keadilan, dalam pengalaman pengguna yang penulis temui jika pendaftaran dilakukan dengan sistem E-Court dapat kepastian jadwal sidang, hakim yang menangani perkara dapat diketahui dengan hitungan menit.[33]
Sebagaimana telah kita pahami bersama, bahwa masayrakat mengetahui bahwa proses persidangan selama ini sangat panjang dan melelahkan serta belum tentu mendapatkan keadilan sebagaimana yang diinginkan/diharapkan. Selama puluhan tahun pembiaran proses peradilan seakan-akan dilakukan tanpa ada upaya untuk memangkas proses peradilan menjadi lebih cepat, sebagaimana adigium persidangan di Indonesia yang dilakukan secara sederhana, cepat dan berbiaya ringan. Sederhana berarti proses persidangan yang tidak bertele-tele dengan penundaan persidangan tanpa alasan yang sah menurut hukum. Cepat berarti, proses persidangan yang dimulai dari masuknya perkara, untuk pekara pidana ataupun sejak didaftarkannya perkara, untuk perkara perdata, hingga proses siding sampai dengan penjatuhan putusan dilakukan dalam waktu yang tidak terlalu lama, sudah ada patokan waktu maksimal, sebuah perkara sudah harus sampai tahap penjatuhan putusan, kecuali dalam hal tertentu, pemeriksaan perkara membutuhkan waktu yang lebih lama. Biaya ringan, dalam hal ini dikhususkan untuk perkara perdata, harus sudah ada patokan besaran biaya yang harus dibayarkan dari muali pendaftaran perkara, pemanggilan saksi, pemeriksaan setempat atau pemeriksaan obyek perkara sampai dengan penjatuhan putusan sudah dapat diketahui oleh para pihak yang akan berperkara, tanpa ada lagi biaya-biaya siluman yang selama ini berlaku dan pada akhirnya merusak system hukum di Indonesia karena hukum di Indonesia dapat dibeli.
Berkaca pada praktek persidangan di Australia, kiranya dapat kita pahami dari makalah dari Ombudsman sebagai berikut:[34]
·      Pada mulanya, FCA (Federal Court Australia) Pada tahun 2005, merumuskan e-Services strategic plan (rencana strategis pelayanan elektronik) untuk mengembangkan konsep e-court seperti e-filing dan e-court room. Keseluruhan konsep tersebut akhirnya diperkenalkan untuk pertama kalinya pada 14 Juli 2014 di Adelaide;
·      Prosesnya, pihak yang berperkara membuat akun yang terdaftar pada sistem E-Lodgment dan menggunakan akun tersebut untuk mengunggah dokumen-dokumen persidangan;
·      Dokumen yang telah diunggah melalui E-lodgment akan langsung tersambung dan masuk dalam Electronic Court File (ECF). ECF merupakan bank dokumen resmi pengadilan yang memuat seluruh dokumen yang diajukan para pihak maupun dokumen yang dibuat oleh pengadilan, baik hakim maupun staf;
·      Melalui ECF ini, pengadilan bisa memeriksa berkas perkara secara elektronik, risiko hilangnya lembaran berkas perkara dapat diminimalisir, bahkan jika hendak melakukan perubahan dokumen tak lagi diperlukan cetak kertas ulang;
·      Disamping itu, dengan teknologi yang tergolong advance, bahkan ketika para pihak ingin memperoleh cap/stempel pengadilan, hanya butuh beberapa menit berkas yang sudah distempel tersebut dikirimkan kembali kepada akun e-Lodgment para pihak.
Meskipun sistem peradilan kita berbeda dengan sistem peradilan yang berlaku di Australia, namun penggunaan sistem elektronik yang digunakan di peradilan di Australia, akan sangat bermanfaat apabila juga kita terapkan di sistem peradilan di Indonesia.
Dan saat ini peradilan Indonesia sedang merintis, membuka jalan bagi penggunaan sistem elektronik dalam proses persidangan, sehingga masih sangat wajar apabila masih banyak terdapat kekurangan dalam tahap penerapannya. Oleh sebab itu, sedikit banyak kita perlu membedahnya apa saja kekurangan dari penerapan persidangan secara elektronik tersebut. Beberapa kekurangan tersebut dapat kita tinjau atau kita bahas dari beberapa aspek, yaitu:
A.   Aspek Internal:
1.    Kesiapan piranti keras (hardware) maupun piranti lunak (software):
a.    Piranti keras (hardware):
-       Penyediaan jaringan internet dengan kecepatan tinggi, yang memudahkan bekerjanya sistem jaringan baik melalui sistem jaringan internal (LAN/Local Area Network) maupun dengan nirkabel (WIFI);
-       Selain itu setiap Kantor Pengadilan juga sudah harus menyediakan server berkapasitas besar yang memapu menampung arus data dalam jumlah besar, mengingat ketika melakukan persidangan secara online maka traffic melalui internet akan melonjak secara drastis;
-       Harus diakui bahwa sampai saat ini, pengadaan PC (Personal Computer) maupun laptop di Kantor Pengadilan sudah cukup baik dikarenakan PC maupun laptop yang diadakan sudah memliki spek yang tinggi sehingga dapat menunjang tugas-tugas peradilan, hanya masih perlu penambahan jumlah yang lebh banyak sehingga bisa mencukupi apabila diperlukan untuk persidangan secara teleconference;
-       Sampai saat ini mungkin belum terpikirkan oleh para pemangku kepentingan, bahkan di tingkat Mahkamah Agung, bahwa perlu adanya pengadaan cadangan server mengingat dengan penggunaan yang secara terus menerus dan dengan tingkat penungaan data yang tinggi, maka akan sangat mungkin mengalami masalah, baik rusak maupun overloaded maupun overheating dari server tersebut, sehingga sudah seharusnya di setiap Kantor Pengadilan perlu adanya pengadaan server cadangan yang meskipun memiliki kapasitas yang lebih kecil namun tentu sangat membantu apabila terjadi hambatan pada server utama;
-       Harus diakui bahwa sampai saat ini secara nasional masih dilakukan penambahan baik jarigannya maupun kapasitas listriknya sebagaimana dicanangkan dalam tulisan Strategi Penyediaan Akses Listrik DI Pedesaan dan Daerah Terpencil DI Indonesia, yang dirilis oleh IESR[35]sehingga sangat diperlukan pengadaan pembangkit listrik portable, misalkan mesin genset yang memiliki daya listrik yang besar, yang bisa mengantisipasi apabila terjadi pemadaman listrik oleh pihak PLN sebagai penyedia listrik satu-satunya di Indonesia;
b.    Piranti lunak (software):
-       Harus diakui bahwa sampai saat ini masih banyak instansi pemerintah yang menggunakan program komputer yang sifatnya tidak resmi (bajakan)[36]dan kemungkinan termasuk di dalamnya adalah instansi kantor pengadilan, hal ini tentunya sangat memalukan disamping penggunaan program bajakan tidak jarang justru bisa merusak hard ware  yang kita gunakan seperti PC maupun laptop,untuk itulah Mahkamah Agung harus menjadi pelopor penggunaan program yang bukan bajakan sebagai upaya untuk menunjukkan bahwa Mahkamah Agung ikut berperang melawan produk bajakan;
-       Penggunaan program bajakan tentu saja menbawa akibat mudahnya terserang virus pada program-program tersebut, sehingga selain penggunaan produk bukan bajakan juga disertai penggunaan program antivirus yang berkualitas baik;
-       Setiap software yang digunakan pasti membutuhkan pembahruan (update), sehingga apabila software yang digunakan adalah produk bajakan, maka ketika di update justru akan membuat software tersebut tidak dapat digunakan;
2.    Kemampuan sumber daya manusia (SDM) dan sarana pendukung di tiap kantor pengadilan :
-     Di beberapa kantor pengadilan masih kita temui hanya memiliki 1 (satu) orang yang memiliki keahlian di bidang Tekhnologi Informasi, tentu hal ini sangat miris mengingat tenaga IT tersebut tidak hanya mengurusi soal teleconference tetapi juga segala sesuatu yang berkaitan dengan penggunaan Tekhnologi Informasi yang ada di kantor pengadilan, sehingga perlu dipikirkan kembali penempatan staf yang memiliki keahlian di bidang Tekhnologi Informasi sesuai dengan kebutuhan dan tidak hanya 1 (atu) orang, disertai adanya staf yang mampu membantu para pencari keadilan yang belum atau tidak memahami Tekhnologi Informasi;;
-     Selama ini pelayanan di meja Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) sudah menampakkan fungsinya bagi pelayanan yang optimal baik dalam memberikan informasi persidangan maupun pelayanan peradilan lainnya, selanjutnya petugas PTSP hauslah orang-orang yang berkompeten dan juga ramah sehingga bisa lebih memberikan pelayanan yang lebih optimal bagi para pencari keadilan;
-     Penyediaan baik pamflet, leaflet maupun papan-papan pengumuman yang cukup yang mampu membantu para pencari keadilan yang akan beracara secara eletronik di tiap kantor pengadilan;
-     Penyediaan computer (PC/Personal Computer) yang secara khusus digunakan untuk membantu para pencari keadilan yang tidak/ belum mempunyai email yang merupakan syarat mutlak untuk mendaftarkan perkara secara online;
3.    Kemampuan finansial dari masing-masing Kantor Pengadilan :
-     Sebagaimana kita ketahui bahwa keterbatasan finansial tidak hanya dikeluhkan oleh Kantor Pengadilan tetapi juga oleh satuan kerja yang lainnya, khususnya dalam hal penyediaan sarana dan prasarana Tekhnologi Informasi;
-     Penggunaan jaringan internet dengan bandwith besar tentunya juga membutuhkan biaya yang cukup besar sehingga dalam setiap penggunaan jaringan internet tidak dijumpai adanya gangguan (buffering) yang bisa mengganggu kelancaran pelaksanaan tugas peradilan;
-     Sampai saat ini finansial yang ada lebih banyak digunakan sebagai belanja pegawai (membayar gaji pegawai) sedangkan untuk pemyediaan sarana dan prasarana pendukung tugas, terbilang masih kecil pembagiannya;
B.   Aspek Eksternal
-        Belum meratanya ketersediaan pasokan listrik di tiap daerah, hal ini dapat dilihat dari seringnya pemadaman listrik di seluruh wilayah Indonesia, terutama di wilayah Indonesia timur;
-        Belum meratanya ketersediaan jaringan internet berkecepatan tinggi di seluruh wilayah Indonesia;
-        Tidak semua orang di Indonesia yang sudah mempunyai alamat email, termasuk diantaranya adalah para Advokat;
-        Kurangnya sosialisasi pada pihak-pihak yang akan berperkara di persidangan khususnya bagi perorangan yang pada umumnya masih gagap tekhnologi;
C.   Faktor lainnya
Adalah suatu kebetulan bahwa pada saat makalah ini ditulis, masyarakat Indonesia beserta warga dunia lainnya sedang berjuang secara Bersama-sama memerangi pandemi penyakit corona akibat virus covid-19. Akibat dari virus ini menyebabkan berbagai wilayah di Indonesia mengalami PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) sehingga beberapa pekerjaan harus dilakukan dari rumah atau dilakukan secara daring atau online, termasuk diantaranya adalah persidangan di Kantor Pengadilan.
Praktek persidangan online dilakukan dengan cara, Majelis Hakim berada di ruang sidang Kantor Pengadilan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Kantor Kejaksaan Negeri, Terdakwa berada di Kantor Rumah Tahanan Negara (RUTAN) sedangkan Penasihat Hukum Terdakwa ada di Kantor Pengadilan. Selama praktek persidangan tersebut diketemukan permasalahan sebagai berikut :
-     Keterbatasan alat audio visual untuk menyediakan sarana teleconference ;
-     Penggunaan aplikasi ZOOM sebagaimana diperintahkan oleh Mahkamah Agung namun yang digunakan adalah yang versi gratis atau bukan berbayar, maka akan terjadi shutdown atau pemutusan hubungan setiap 40 (empat puluh) menit sekali;
-     Kemampuan kamtor Pengadilan yang hanya bisa menyiapkan maksimal 3 (tiga) ruang sidang untuk melakukan persidangan secara teleconference;
-     Diperlukan kabel koneksi yang panjang untuk menyambung antara ruang sidang dengan ruang server;
-     Jaringan internetnya yang terkadang mengalami gangguan secara eksternal;
3.    Apa solusi bagi lancarnya persidangan secara elektronik?
Dari berbagai hambatan yang ditemukan selam praktek persidangan secara online yang dilakukan secara teleconference tersebut, tentu harus dicarikan solusi sehingga tidak mengganggu jalannya persidangan.
A.     Aspek Internal:
1.   Kesiapan piranti keras (hardware) maupun piranti lunak (software):
a.    Piranti keras (hardware):
-       Setiap satuan kerja Kantor Pengadilan sudah harus menyiapkan jaringan internet dengan kecepatan tinggi sehingga memudahkan bekerjanya sistem jaringan baik melalui sistem jaringan internal (LAN/Local Area Network) maupun secara nirkabel (WIFI);
-       Penyediaan server berkapasitas besar yang mampu menampung arus data dalam jumlah besar;
-       Penyediaan computer (PC/Personal Computer) maupun laptop sebagai sarana operasional;
-       Penyediaan server cadangan yang bisa digunakan apabila server utama mengalami kerusakan;
-       Penyediaan sumber daya listrik yang baik termasuk di dalamnya adalah kesiapan adanya sumber daya listrik cadangan;
c.    Piranti lunak (software):
-       Kesiapan program computer yang dapat mendukung sistem persidangan secara elektronik;
-       Kesiapan antispasi apabila sistem tekhnologi informasi yang kita miliki dirusak oleh pihak lain termasuk di dalamnya adalah perusakan dengan penggunaan malware;
-       Kecepatan software dari update yang tersedia atas program yang digunakan;
4.    Kemampuan sumber daya manusia (SDM) dan sarana pendukung di tiap kantor pengadilan :
-     Kesiapan sumber daya manusia (SDM) yang terlatih yang mampu mengoperasikan sistem elektronik secara baik dan juga yang dapat membantu para pencari keadilan yang kurang menguasai sistem tekhnologi informasi;
-     Kesiapan dan kemampuan menjawab yang baik dan sopan dari petugas di meja Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP);
-     Penyediaan baik pamflet, leaflet maupun papan-papan pengumuman yang cukup yang mampu membantu para pencari keadilan yang akan beracara secara eletronik di tiap kantor pengadilan;
-     Penyediaan computer (PC/Personal Computer) yang secara khusus digunakan untuk membantu para pencari keadilan yang tidak/ belum mempunyai email yang merupakan syarat mutlak untuk mendaftarkan perkara secara online;
5.    Kemampuan finansial dari masing-masing Kantor Pengadilan :
-     Sebagaimana kita ketahui bahwa keterbatasan finansial tidak hanya dikeluhkan oleh Kantor Pengadilan tetapi juga oleh satuan kerja yang lainnya, khususnya dalam hal penyediaan sarana dan prasarana Tekhnologi Informasi;
-     Penggunaan jaringan internet dengan bandwith besar tentunya juga membutuhkan biaya yang cukup besar sehingga dalam setiap penggunaan jaringan internet tidak dijumpai adanya gangguan (buffering) yang bisa mengganggu kelancaran pelaksanaan tugas peradilan;
-     Sampai saat ini finansial yang ada lebih banyak digunakan sebagai belanja pegawai (membayar gaji pegawai) sedangkan untuk pemyediaan sarana dan prasarana pendukung tugas, terbilang masih kecil pembagiannya;
B.     Aspek Eksternal:
Dari aspek eksternal, dapat dikatakan ada beberapa hal yang harus mendapat perhatian serius dari Mahkamah Agung. Hal ini mengingat bahwa faktor eksternal ini mengharuskan Mahkamah Agung bekerjasama dengan Kementerian-Kementerian terkait, supaya dapat mengatasi hambatan-hambatan yang disebabkan oleh aspek ekseternal ini.
Beberapa hal dari aspek eksternal ini antara lain adalah sebagai berikut :
a)       Belum meratanya ketersediaan pasokan listrik di tiap daerah, oleh karena itu Mahkamah Agung harus bisa menjalin hubungan kerja yang baik dengan instansi terkait yaitu Kementerian Badan Usaha Milik Negara, berkaitan dengan penyediaan listrik di kantor-kantor pengadilan yang disediakan oleh Perusahaan Listrik Negara (PT. PLN). Dengan terjaminnya pasokan listrik di setiap kantor pengadilan, tentu akan menjamin pelayanan publik secara elektronik bagi para pencari keadilan;
b)      Belum meratanya ketersediaan jaringan internet berkecapatan tinggi di seluruh Indonesia, dalam hal ini Mahkamah Agung harus bisa melakukan kerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo), demi menjamin pengadaan jaringan internet secara merata menuju jaringan internet berkecapatan tinggi di seluruh wilayah Indonesia.  Pelayanan publik secara elektronik akan dapat dilakukan secara optimal apabila telah tersedia jaringan internet secara merata di seluruh wilayah Indonesia;
c)      Tidak semua orang di Indonesia yang sudah mempunyai alamat email, termasuk diantaranya adalah para Advokat, hal ini berkaitan dengan kemampuan sumber daya manusia yang masih cukup rendah di Indonesia, terutama dalam hal pendidikan yang berkaitan dengan internet atau pendidikan secara online / daring. Dalam hal ini kiranya ada kerja sama antara Mahkamah Agung dengan Kementerian Pendidikan untuk bisa memberikan pendidikan yang terbaik bagi terciptanya sumber daya manusia yang mumpuni di bidang internet;
d)      Kurangnya sosialisasi pada para pihak-pihak yang akan berperkara, dalam hal ini Mahkamah Agung dapat bekerjasama dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk bisa melakukan sosialisasi di desa-desa, khususnya di daerah terpencil, sehingga bisa membuka mata masyarakat bahwa pelayanan peradilan dapat dilakukan secara online / daring;

IV.  KESIMPULAN
Dari uraian tersebut di atas, kiranya dapat kita ambil kesimpulan sebagai berikut :
1.    Mahkamah Agung perlu menyiapkan sarana dan prasaran yang memadai apabila ingin mengadakan persidangan secara online / daring;
2.    Mahkamah Agung juga perlu menyiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dalam menghadapi perkembangan persidangan secara online / daring;
3.    Mahkamah Agung perlu melakukan kerja sama dengan instansi-instansi yang memiliki kewenangan-kewenangan tertentu dengan tujuan memperlancar persidangan yang akan dilakukan secara onile / daring;

V.   PENUTUP
Demikian kiranya yang dapat kita sampaikan dalam tulisan singkat ini demi mendukung kemajuan Mahkamah Agung di masa depan. Hal ini mengingat perkembangan teknologi informasi yang masih cepat yang bisa membuat kita makin tertinggal apabila tidak segera kita menyesuaikannya. Semoga tulisan ini dapat menyadarkan kita semua bahwa kita masih harus mengejar ketertinggalan kita sema ini, semua demi pelayanan publik yang optimal bagi para pencari keadilan.
VI.  BAHAN BACAAN
3.  Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, Penerbit Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2016;
4.  Deni Darmawan, Pendidikan Teknologi Informasi dan Komunikasi (Teori dan Aplikasi), Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2013;
5.  Lantip Diat Prasojo & Riyanto, Teknologi Informasi Pendidikan (Membahas materi dasar teknologi informasi yang wajib dikuasai Pemula TI), Penerbit Gava Media, Yogyakarta, 2011;
17. Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Penerbit Kencana Prenada Media Group, Jakarta, April 2010;
18. Heniyatun dkk, Varia Justicia, Vol 14 No (1) 2018, diunduh pada tanggal 17 Maret 2020;





[1] Hakim pada Pengadilan Negeri Serang dan sekarang menjadi Hakim di Pengadilan Negeri Cilacap;
[4] Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, Penerbit Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2016, hal. 2;
[5] Ibid, hal.3;
[6] Deni Darmawan, Pendidikan Teknologi Informasi dan Komunikasi (Teori dan Aplikasi), Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2013, hal. 2;
[7] Ibid;
[8] Lantip Diat Prasojo & Riyanto, Teknologi Informasi Pendidikan (Membahas materi dasar teknologi informasi yang wajib dikuasai Pemula TI), Penerbit Gava Media, Yogyakarta, 2011, hal.3;
[9] Deni Darmawan, loc.cit, hal. 2-3;
[10] Ibid, hal. 3;
[11] Deni Darmawan, op.cit.,hal.24-25;
[12] Ibid, hal.27;
[13] Lantip Diat Prasojo & Riyanto, op.cit., hal. 4;
[14] Deni Darmawan, op.cit., hal.45-46;
[15] Ibid;
[16] Ibid, hal. 48;
[30] Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Penerbit Kencana Prenada Media Group, Jakarta, April 2010, hal.71-72;
[31] Romli Atmasasmita, loc.cit, hal.155;
[32] Heniyatun dkk, Varia Justicia, Vol 14 No (1) 2018, diunduh pada tanggal 17 Maret 2020;

Kecelakaan Lalu Lintas

    Ritual Mudik menjelang Hari Raya Idul Fitri telah tuntas dilakukan dengan berbagai variasinya. Masyarakat yang mudik dengan mengguna...