Selasa, 30 Januari 2018

TIPIKOR Tetap Extra Ordinary Crime

Dalam pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP), delik tindak pidana korupsi (tipikor) turut dimasukkan sebagai bagian di dalam KUHP. Ada sisi positifnya, yaitu akan memacu aparat penegak hukum konvensional seperti Kepolisian dan Kejaksaan untuk lebih bersinergi dalam upaya pemberantasan tipikor. Kita akan mengembalikan lagi marwah aparat penegak hukum kembali berjalan di relnya sekaligus menata kembali kinerja dan sumber daya manusia (SDM) dari kedua institusi penegak hukum tersebut. Akan tetapi ada sisi negatifnya, yaitu seakan-akan tipikor adalah tindak pidana biasa yang membutuhkan upayaya penegakan hukum yang biasa-biasa saja. Tidak ada lagi lembaga SUPER BIDY seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mampu menyusup ke semua bidang dan sektor yang diduga terdapat perilaku koruptif. Anggapan ini yang harus kita kesampungkan sebab bagaimanapun, tipikor tetap merupakan tindak pidana luar biasa yang butuh upaya pemberantasan yang juga luar biasa. Kita harus mampu menjadikan aparat penegak hukum yang ada menpunyai kemampuan dan kemauan yang kuat untuk bekerja lebih optimal dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang sudah merupakan penyakit kronis di Indonesia.

Jumat, 26 Januari 2018

UJARAN KEBENCIAN

Sebuah istilah yang semakin banyak digunakan terutama pada saat menjelang pemilihan umum, baik pemilihan presiden, pemilihan legislatif maupun pemilihan kepala daerah. Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa kemudian muncul adanya ujaran kebencian dari para pihak yang terlibat dalam proses pemilihan umum? Hal ini tidak lain karena ketidakmampuan masyrakat dalam melihat, memilih dan memilah infoirmasi yang ada dengan kejernihan pikir dan kelembutan hati. Setiap informasi yang masuk sangat jarang, bahkan mungkin tidak pernah dilakukan upaya verifikasi (cross check), apakah informasi tersebut benar atau salah. Disamping itu, para kandidat yang terlibat dalam pemilihan umum, sering melemparkan ujaran kebencian, dikarenakan ketidakmampuan membuat program kerja yang membumi yang akan ditawarkan selama masa kampanye. Sehingga berakibat, para kandidat menggunakan sentimen dari segi agama, suku, ras untuk menyerang kandidat lawannya. Hal-hal seperti ini seringkali diaminkan oleh para pendukungnya dengan langsung menyebarluaskan, terutama yang dilakukan melalui media sosial, yang memang bisa menjadi alat provokatif yang bersifat masif. Oleh sebab itu, diperlukan kedewasaan berpikir bagi setiap anggota masyarakat atas setiap informasi yang diterimanya, sebab, apabila langsung percaya dan langsung menyebarkannya, namun kemudian terbukti di kemudian hari bahwa informasi tersebut tidak benar (hoax), maka ancaman pidana sudah menunggu di depan mata. Berbagai peraturan perundang-undangan sudah mengatur mengenai penyebaran ujaran kebencian ini dengan ancaman pidana penjara yang tidak sebentar. Dan harus diingat bahwa jejak digital dari penyebaran ujaran kebencian adalah sangat mudah dilacak, meskipun pelaku sudah menghapus penyebaran ujaran kebencian yang dilakukan melalui media sosial atau media elektronik lainnya. Mari kita bijak menggunakan media sosial dan media elektronik lainnya, sebab penyalahgunaan media sosial dan media elektronik lain bukan hanya akan merugikan diri sendiri tapi juga dapat merusak kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kamis, 25 Januari 2018

RUMAH SINGGAH

Dalam upaya untuk mengatasi kenakalan remaja dan juga anak yang berhadapan dengan hukum, dibutuhkan keseriusan dari pemerintah maupun pihak-pihak lain yang berkompeten untuk itu. Penanganan anak yang berhadapan dengan hukum juga telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Akan tetapi di dalam undang-undang tersebut, pada akhirnya tetap menempatkan anak dalam posisi sebagai terpidana dengan berbagai jenis pemidanaan da bukan dalam bentuk rehabilitasi. Ketika seorang anak dj=ijatuhi pidana maka secara otomatis anak tersebut akan ditempatkan di dalam Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS), meski di beberapa daerah terdapat Lembaga Pemasyarakatan Anak (LAPAS Anak), tetapi secara subyektif tetap menempatkan anak sebagai terpidana dan ketika sudah menjalani masa pidananya tetap disebut sebagai residivis. Tentu saja hal ini akan merugikan anak tersebut dalam hal tumbuh kembangnya demi masa depannya. Akan lebih bijaksana apabila anak yang berhadapan dengan hukum bukan dipidana tetapi direhabilitasi dan ditempatkan bukan di LAPAS atau LAPAS Anak, sehingga diperlukan pemikiran yang lebih mengedepankan masa tumbuh kembang anak tersebut. Salah satunya adalah dengan menjatuhkan pidana bukan berupa pidana pemenjaraan akan tetapi berupa rehabilitasi dan ditempatkan pada suatu RUMAH SINGGAH, sebagai sarana rehabilitasi anak yang berhadapan dengan hukum tersebut. Pengadaan RUMAH SINGGAH tetap merupakan tugas dari pemerintah dalam rangka memberikan perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan di dalam RUMAH SINGGAH tersebut disediakan segala macam bentuk sarana dan prasana rehabilitasi bagi anak tersebut, baik berupa pelatihan kerja, maupun bimbingan rohaniah. Dari RUMAH SINGGAH tersebut, diharapkan ketika anak yang berhadapan dengan hukum telah selesai menjalani hukumannya, bisa kembali menjadi anak yang berguna bagi kedua orang tuanya, bagi agamanya, bagi masyarakatnya dan bagi negaranya. Sebab anak adalah generasi penerus bangsa yang harus dilindungi hak-haknya sampai anak tersebut tumbuh dewasa.

Senin, 22 Januari 2018

BETTER LATE THAN NEVER

Ungkapan lama yang kiranya cocok dengan kondisi pembaharuan hukum di Indonesia saat ini. Harus diakui hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum peninggalan pemerintah kolonial Belanda yang dibuat lebih dari satu abad yang lalu. Kiranya semua akan setuju bahwa kondisi hukum yang berlaku di Indonesia suadh tidak lagi sesuai dengan perkembangan nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat. Sudah terlalu banyak perkembangan yang ada dalam masyarakat yang tidak terjangkau oleh hukum yang berlaku saat ini, terlebih dengan adanya perkembangan tekhnologi informatika yang semakin cepat berkembang. Pembaharuan hukum (sebagian hukum) sudah dirintis sejak lama, yaitu sekitar tahun 1970an, dengan adanya biat untuk memperbaharui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang ironisnya, hingga saat ini belum juga terealisir. Sudah terlalu banyak konsep pembaharuan KUHP yang dibuat dan dicetak serta diseminarkan, namun akhirnya hanya menjadi tumpukan kertas semata. Meski kita masih bisa berbangga hati dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai pengganti Herziene Inlandsch Reglement (HIR) yang juga merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda, akan tetapi KUHP sebagai hukum pokok yang mengatur delik-delik pidana materiil, justru belum berubah sama sekali. Di awal tahun 2018 ini, kiranya merupakan momentum yang tepat untuk segera merealisasikan terbitnya KUHP baru dengan semangat pembaharuan hukum yang semakin maju. Namun jangan dilupakan pula, PR besar lainnya yaitu perubahan Hukum Acara Perdata yang sampai saat ini masih menginduk pada Herziene Inlandsch Reglement (HIR) dan belum ada usaha untuk melakukan pembaharuan, apalagi perubahan. Semoga di kemudian hari, hal-hal sepele seperti ini dapat menjadi bahan pertimbangan para pembentuk undang-undang di Indonesia, sehingga tepat kiranya apabila dikatakan lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.

Jumat, 19 Januari 2018

THE JUGDE MAKES LAW

Sebagaimana kita telah pahami bahwa salah satu SUMBER HUKUM adalah JURISPRUDENSI (Putusan Pengadilan) dan HAKIM merupakan SUBYEK dari setiap Putusan Pengadilan, tentunya tidak setiap PUTUSAN bisa dijadikan Jurisprudensi, hanya putusan-putusan yang berisikan pertimbangan-pertimbangan yang baik dan memenuhi rasa keadilanlah yang dapat dijadikan JURISPRUDENSI. 
Di Indonesia, kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur di dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan, "Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan," sehingga demgan demikian telah jelas bahwa HAKIM memilki payung hukum di dalam pelaksanaan tugasnya, utamanya adalah dalam pembuatan PUTUSAN.
Oleh sebab itu, maka dituntut kemandirian dan juga kecakapan dari HAKIM itu sendiri untuk menganalisa setiap perkara yang disidangkannya, sebab meskipun HAKIM diberi kebebasan di dalam setiap putusannya, akan tetapi HAKIM juga harus memahami ketentuan Pasal 68 A Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan :
(1) Dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim harus bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya ;
(2) Penetapan dan putusan sebagaimana dimakud pada ayat (1) harus memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar ;
Dengan demikian, pada dasarnya, putusan yang baik adalah putusan yang didasarkan pada fakta persidangan dan didasarkan pula pada daar hukum yang benar dan tepat, sehingga Hakim tidak dapat menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada dasar hukumnya.
Harus diingat pula bahwa dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menyebutkan, "Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat," sehingga tidak ada alasan bagi hakim untuk menolak perkara.
Kiranya apabila suatu PUTUSAN HAKIM telah berdasarkan pada fakta persidangan dan dasar hukum yang benar dan tepat, akan menjadikan PUTUSAN HAKIM tersebut bisa menjadi suatu YURISRUDENSI, dan meskipun sistem hukum Indonesia tidak menganut ketaatan pada suatu yurisprudensi yang harus selalu diikuti, tetapi setidaknya putusan hakim terdahulu (yang baik) dalam perkara yang serupa dapat menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan.

Kamis, 11 Januari 2018

BLACK CAMPAIGN

Setiap tahapan dalam pemilihan umum baik pemilihan legislatif, pemilihan presiden maupun pemilihan kepala daerah baik gubernur maupun bupati/walikota merupakan proses pendewasaan bangsa. Tahapan-tahapan tersebut juga merupakan bagian dari pesta demokrasi, sehingga sudah seharusnya dijauhkan dari segala praktek politik kotor, yang menghalalkan segala cara. Tidak salah jika partai politik maupun anggota dan simpatisannya membujuk masyarakat agar memilih kandidatnya, akan tetapi hal tersebut menjadi sangat terlarang dilakukan apabila proses membujuk tersebut dilakukan dengan iming-iming materi, fasilitas lainnya dan dilakukan dengan menjelekkan kandidat atau partai pesaingnya. Hal ini dikenal dengan istilah BLACK CAMPAIGN atau kampanye hitam. Bahkan kegiatan kampanye hitam diancam dengan ancaman pidana, baik tercantum dalam undang-undang pemilu maupun undang-undang lainnya seperti KUHP ataupun undang-undang ITE. Oleh sebab itu harus ada kesadaran bagi setiap orang yang mengikuti tahapan pemilihan umum untuk menaati peraturan main yang diberlakukan. Hal terpenting lainnya, gunakan hak pilih yang anda miliki secara sehat dengan melihat secara obyektif kandidat yang ikut pemilihan, pilihlah dengan hati nurani sebab hati nurani tidak akan pernah berbohong

Selasa, 09 Januari 2018

8 Asas Sistem Hukum

Sebagai tolok ukur apakah suatu sistem dapat dikategorikan sebagai sistem hukum, menurut Fuller, ada 8 asas yang harus dipenuhi, yaitu :
1. Suatu sistem hukum itu harus mengandung aturan-aturan yang tidak hanya memuat keputusan yang bersifat sementara;
2. Peraturan itu setelah selesai diabuat harus diumumkan;
3. Berlaku asas fiksi, dalam arti setiap orang dianggap telah mengetahui adanya peraturan yang telah diundangkan;
4. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut;
5. Peraturan itu harus dirumuskan dan disusun dengan kata-kata yang mudah dimengerti;
6. Suatu sistem hukum tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi dengan apa yang dilakukan;
7. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan, sebab apabila ini sering dilakukan maka orang akan kehilangan orientasi;
8. Suatu sistem tidak boleh mengandung aturan yang bertentangan satu dengan yang lainnya.
(agus Brotosusilo, Sistem Hukum Indonesia, Universitas Terbuka, Jakarta, 1986, hal.5).

8 Asas Sistem Hukum

Sebagai tolok ukur apakah suatu sistem dapat dikategorikan sebagai sistem hukum, menurut Fuller, ada 8 asas yang harus dipenuhi, yaitu :
1. Suatu sistem hukum itu harus mengandung aturan-aturan yang tidak hanya memuat keputusan yang bersifat sementara;
2. Peraturan itu setelah selesai diabuat harus diumumkan;
3. Berlaku asas fiksi, dalam arti setiap orang dianggap telah mengetahui adanya peraturan yang telah diundangkan;
4. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut;
5. Peraturan itu harus dirumuskan dan disusun dengan kata-kata yang mudah dimengerti;
6. Suatu sistem hukum tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi dengan apa yang dilakukan;
7. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan, sebab apabila ini sering dilakukan maka orang akan kehilangan orientasi;
8. Suatu sistem tidak boleh mengandung aturan yang bertentangan satu dengan yang lainnya.
(agus Brotosusilo, Sistem Hukum Indonesia, Universitas Terbuka, Jakarta, 1986, hal.5).

Kamis, 04 Januari 2018

2018 Tahun Pilkada

Semua pasti setuju bahwa tahun 2018 merupakan tahun pemilihan kepala daerah, sebab senyatanya bahwa banyak daerah yang akan melakukan pemilihan kepala daerah, baik pemilihan bupati/walikota maupun gubernur. Hiruk pikuknya bahkan sudah terasa sejak pertengahan tahun 2017 sebab masing-masing partai politik sudah merancang jagonya masing-masing. Diluar hal-hal yang bersifat politis, ada hal yang harus mendapatkan perhatian serius, yaitu kegiatan kampanye, yang pasti akan melibatkan jumlah massa yang tidak sedikit. Ratusan bahkan ribuan orang akan tertumpah di tempat-tempat kampanye, yang mirisnya sering terlihat anak-anak terlihat di tempat kampanye tersebut. Anak-anak, terutama yang belum mempunyai hak politik, dalam hal ini anak-anak yang belum mempunyai Kartu Tanda Penduduk (berusia 17 tahun), harus dijauhkan dari kegiatan politik sebab masa anak-anak adalah masa untuk bermain yang mendukung tumbuh kembang anak di kemudian hari. Dibutuhkan kepekaan dan kesadaran dari para orang tua untuk tidak mengikutsertakan anak dalam setiap kegiatan yang jauh dari kegiatan anak-anak. Belum saatnya anak-anak ikut serta dalam kegiatan politik dalam segala bentuknya. Oleh sebab itu, kita harus saling mengingatkan bahwa kegiatan politik bukan konsumsi bagi anak-anak dan jangan pernah membawa anak-anak dalam kegiatan politik. Ada baiknya setiap panitia penyelenggara kegiatan politik menyediakan tempat khusus untuk menampung anak-anak yang diabwa orang tuanya yang ikut dalam kegiatan politik. Panitia harus tanggap bahwa ada kebutuhan anak-anak yang dibawa orang tuanya ikut dalam kegiatan politik, yang harus dipenuhi. Tidak ada salahnya apabila di tempat penampungan sementara tersebut disediakan alat-alat permainan anak-anak atau bahkan seorang guru yang ditugaskan untuk membimbing anak-anak tersebut selama orang tuanya mengikuti kegiatan politik. Ketika kegiatanj politik tersebut berakhir, anak-anak bisa kembali ke orangtuanya masing-masing dengan perasaan senang dan bisa juga bertambah pengetahuannya, apabila di tempat tersebut disediakan guru. Kita harus bahu membahu melindungi dan menjaga hak anak untuk dapat melakukan kegiatan yang mendukung tumbuh kembangnya.

Selasa, 02 Januari 2018

SELAMAT TAHUN BARU 2018

Selamat tahun baru 2018 semoga penegakan hukum di tahun 2018 tetap konsisten demi terwujudnya hukum sebagai panglima. Tahun baru juga diharapkan ada harapan baru pada pembentukan hukum baru (undang-undang) sehingga hukum mampu menjawab perkembangan jaman, baik secara ekonomi, sosial, tekhnologi dan juga secara kemasyarakatan.

Kecelakaan Lalu Lintas

    Ritual Mudik menjelang Hari Raya Idul Fitri telah tuntas dilakukan dengan berbagai variasinya. Masyarakat yang mudik dengan mengguna...