Rabu, 19 Januari 2022

THE JUGDE MAKES LAW

 Catatan kecil beberapa waktu yang lalu

THE JUGDE MAKES LAW
Sebagaimana kita telah pahami bahwa salah satu SUMBER HUKUM adalah JURISPRUDENSI (Putusan Pengadilan) dan HAKIM merupakan SUBYEK dari setiap Putusan Pengadilan, tentunya tidak setiap PUTUSAN bisa dijadikan Jurisprudensi, hanya putusan-putusan yang berisikan pertimbangan-pertimbangan yang baik dan memenuhi rasa keadilanlah yang dapat dijadikan JURISPRUDENSI.
Di Indonesia, kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur di dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan, "Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan," sehingga demgan demikian telah jelas bahwa HAKIM memilki payung hukum di dalam pelaksanaan tugasnya, utamanya adalah dalam pembuatan PUTUSAN.
Oleh sebab itu, maka dituntut kemandirian dan juga kecakapan dari HAKIM itu sendiri untuk menganalisa setiap perkara yang disidangkannya, sebab meskipun HAKIM diberi kebebasan di dalam setiap putusannya, akan tetapi HAKIM juga harus memahami ketentuan Pasal 68 A Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan :
(1) Dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim harus bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya ;
(2) Penetapan dan putusan sebagaimana dimakud pada ayat (1) harus memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar ;
Dengan demikian, pada dasarnya, putusan yang baik adalah putusan yang didasarkan pada fakta persidangan dan didasarkan pula pada daar hukum yang benar dan tepat, sehingga Hakim tidak dapat menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada dasar hukumnya.
Harus diingat pula bahwa dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menyebutkan, "Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat," sehingga tidak ada alasan bagi hakim untuk menolak perkara.
Kiranya apabila suatu PUTUSAN HAKIM telah berdasarkan pada fakta persidangan dan dasar hukum yang benar dan tepat, akan menjadikan PUTUSAN HAKIM tersebut bisa menjadi suatu YURISRUDENSI, dan meskipun sistem hukum Indonesia tidak menganut ketaatan pada suatu yurisprudensi yang harus selalu diikuti, tetapi setidaknya putusan hakim terdahulu (yang baik) dalam perkara yang serupa dapat menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan.

Rabu, 12 Januari 2022

MEMALSUKAN SURAT (Bagian 2)

Selanjutnya kita akan bahas ketentuan Pasal 264 KUHP yang terdiri dari 2 (dua) ayat, yang menyebutkan sebagai berikut :

(1) Si tersalah dalam perkara memalsukansurat, dihukum penjara selama-lamanya 8 (delapan) tahun, kalau perbuatan tersebut dilakukan :
a) Mengenai surat otentik (lihat ketentuan pasal 266 KUHP);
b) Mengenai surat utang atau surat tanda utang (certificaat) dari sesuatu surat negara atau sebahagiannya atau dari sesuatu balai (instelling) umum;
c) Mengenai saham-saham (nandeel) atau surat atau certificaat tanda saham atau tanda utang dari sesuatu perserikatan, balai atau perseroan atau maskapai;
d) Mengenai talon atau surat tanda utang sero (deviden) atau tanda bunga uang dari salah satu surat yang diterangkan pada huruf b dan huruf c, atau tentang surat keterangan yang dikeluarkan akan pengganti surat itu;
e) Mengenai surat utang piutang atau surat perniagaan yang akan diedarkan;
(2) Dengan hukuman serupa itu juga dihukum, barangsiapa dengan sengaja menggunakan akte itu seolah-olah isinya cocok dengan hal yang sebenarnya, ayat pertama, seolah-olah itu surat asli dan tidak dipalsukan, jika pemakaian surat itu dapat mendatangkan sesuatu kerugian.
Dari ketentuan Pasal 264 tersebut daat dijelaskan secara singkat sebagai berikut:
1. Bahwa sudah tentu perbuatan yang diancam dalam pasal ini harus memuat elemen-elemen atau syarat-syarat yang termuat dalam asal 263 dan selain itu ditambah dengan syarat, bahwa surat yang dipalsukan itu terdiri dari surat otentik dan sebagainya tersebut, berturut-turut, pada huruf a sampai dengan huruf e, bersifat umum dan tetap mendapat kepercayaan dari umum.
2. Tentang arti TALON dan DEVIDEN ada pada pasal 4 KUHP, sedangkan CERTIFICAAT dapat diartikaan sebagi surat bukti. Akte otentik adalah akte yang dibuat dihadapan seorang Pegawai Negeri yang berhak untuk itu, biasanya Notaris, Pegawai Catatan Sipil dan lain sebagainya. Seagai catatan, pada waktu KUHP ini dibuat yaitu sekitar tahun 1918, Notaris masih masuk sebagai Pangreh Praja atau Pegawai Negeri.
Mengenai ketentuan Pasal 4 KUHP akan kami bahas pada waktu yang akan datang, mengingat pasal 4 KUHP ini juga cukup panjang penjelasannya. (BERSAMBUNG).

MEMALSUKAN SURAT (Bagian 3)

 MEMALSUKAN SURAT (Bagian 3)

Melanjutkan pembahasan mengenai perihal Memalsukan Surat, maka kita akan membahas ketentuan selanjutnya, yaitu Pasal 265 KUH Pidana dan Pasal 266 KUH Pidana. Ketentuan Pasal 265 KUH Pidana telah dihapuskan dengan Staatblad No. 259 jo. No. 426 Tahun 1926, sehingga ketentuan pasal ini tidak perlu dibahas lebih lanjut.
Selanjutnya, dalam Pasal 266 KUH Pidana menyebutkan :
(1) Barangsiapa menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akte otentik tentang sesuatu kejadian yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akte itu, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan akte itu seolah-olah keterangannya itu cocok dengan hal sebenarnya, maka kalau dalam mempergunakannya itu dapat mendapatangkan kerugian, dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun;
(2) Dengan hukuman serupa itu juga dihukum barangsiapa dengan sengaja menggunakan akte itu seolah-olah isinya cocok dengan hal yang sebenarnya jika pemakaian surat itu dapat mendatangkan kerugian. (lihat ketentuan pasal 35, 52, 64, 262 ayat (1), 274, 279, 451 bis, 451 ter, 452 dan pasal 486).
Dari ketentuan Pasal 266 KUH Pidana tersebut, dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut :
1. Yang dimaksud dengan akten otentik yaitu surat yang dibuat menurut bentuk dan syarat yang ditetapkan oleh pegawai umum. Contoh paling gampang dari akte otentik adalah akte atau akta yang dibuat oleh Notaris atau akta kelahiran, akta kematian dan lain sebagainya;
2. Yang dapat dihukum menurut pasal ini misalnya orang yang memberikan keterangan tidak benar kepada pegawai Burgerlijk Stand (Pegawai Yang Berwenang) untuk dimasukkan ke dalam akte kelahiran yang harus dibuat oleh pegawai tersbeut, dengan maksud untuk mempergunakan atau menyuruh orang lain mempergunakan akte itu seolah-olah keterangan yang termuat di dalamnya itu benar. Yang dimaksudkan akte dalam hal ini tidak saja akte kelahiran namun juga dalam bentuk akte lainnya.
(3) Yang diancam hukuman itu tidak hanya orang yang memberikan keterangan tidak benar dan sebagainya, akan tetapi juga orang yang dengan sengaja menggunakan surat (akte) yang memuat keterangan yang tidak benar itu. Dalam kedua hal ini senantiasa harus dibuktikan, bahwa orang itu seakan-akan surat itu benar dan perbuatan itu dapat mendatangkan kerugian;
(4) Orang yang memberikan keteranagan palsu (tidak benar) kepada pegawai, polisi untuk dimasukkan ke dalam proses verbal itu dapat dikenakan pasal ini, karena proses verbal gunanya bukan untuk membuktikan kebenaran dari keterangan orang itu, tetapi hanya untuk membuktikan bahwa keterangan yang diberikan orang itu demikian adanya. Ini beda sekali halnya dengan surat (akte) kelahiran yang gunanya benar-benar untuk membuktikan kelahiran itu;
(5) Dapat dihukum menurut pasal ini misalnya pedagang yang menyuruh membuat persetujuan dagang kepada seorang notaris mengenai sebidang tanah, jika terlebih dahulu ia telah menjual tanah itu kepada orang lain. Dalam hal ini, maka akte notaris merupakan surat yang digunakan sebagai bukti terhadap suatu pemindahan hak milik. Kerugian yang akan diderita oleh pembeli sudah terang, ialah jumlah uang yang telah dibayar untuk pembelian itu yang bukan semestinya, biaya notaris dan sebagainya. Pun dapat dihukum pula seorang yang menyuruh pegawai Kantor Pencatatan Jiwa (Kantor Catatan Sipil) untuk membuat akte kelahira seorang anak dari istrinya dengan nama kecil A, sedangkan anak itu sebenarnya telah dilahirkan oleh perempuan lain daripada istrinya itu, sehingga pemakaian akte itu dapat menimbulkan kerugian bagi anaknya yang sebenarnya. Akan tetapi menurut Keputusan Ketua Pengadilan Negeri Indramayu tanggal 17 Januari 1939 (ditulis oleh Mr. W.F.L. Busshkens), maka seorang terdakwa yang telah menikah di hadapan penghulu, sambil tidak mengatakan pada saat itu bahwa antara mereka ada hubungan paman dan keponakan, hubungan kekekluargaan mana menurut hukum Islam merupakan penghalang untuk menikah, tidak menimbulkan pemalsuan surat, oleh karena apa yang biasa dinamakan SURAT KAWIN (Surat Nikah) itu hubungan kekeluargaan yang ada antara pihak-pihak yang menikah tidak pernah disebutkan. Hal ini berarti bahwa kekita kedua mempelai akan menikah dan dari awal tidak menyebutkan bahwa kedua mempelai mempunyai hubungan keluarga berupa paman dan keponakan, tidak membatalkan pernikahan kedua mempelai.

Kecelakaan Lalu Lintas

    Ritual Mudik menjelang Hari Raya Idul Fitri telah tuntas dilakukan dengan berbagai variasinya. Masyarakat yang mudik dengan mengguna...