Minggu, 01 Desember 2019

Negara Yang Abai

Ternyata menjadi pejabat negara di negeri ini tidak secara otomatis menjadikan pejabat negara tersebut terjamin keamanan dan keselamatannya. Belum hilang dari ingatan, peristiwa penusukan mantan Menkopolhukam, Bapak Wiranto, beberapa waktu yang lalu, saat ini kita dikejutkan lagi dengan ditemukannya seorang Hakim yang bernama Bapak Jamalludin dalam keadaan tidak bernyawa di dalam sebuah mobil di sebuah perkebunan di wilayah Kota Medan, Sumatera Utara.
Dua kejadian yang cukup miris yang seharusnya tidak perlu terjadi, mengingat sebagai pejabat negara, tentunya yang dipahami oleh masyarakat awam, adalah adanya pengawalan yang (sangat) ketat. Namun pada kenyataannya, terlihat begitu longgarnya pengamanan terhadap seorang pejabat negara. Terlepas dari siapa pelakunya dan apa motif perbuatannya, namun pelaku kejahatan terhadap pejabat negara sudah seharusnya bisa diantisipasi sebelumnya. Tentunya dengan catatan bahwa pengamanan dan pengawalan terhadap pejabat negara sudah dilakukan secara optimal.
Negara harus segera berbenah, sebab sebagai pejabat negara tentu akan bersinggungan dengan banyak pihak, banyak kepentingan yang pasti akan membawa dampak timbulnya rasa hormat, rasa segan atau bahkan rasa benci. Timbulnya rasa tersebut adalah wajar, mengingat sudut pandang setiap orang adalah berbeda-beda, namun yang harus diingat, bahwa menjadi seorang pejabat negara membawa konsekuensi Negara harus memberikan perlindungan, pengawalan dan pengamanan yang optimal demi berjalannya secara lancar tugas-tugas perjabat negara tersebut.
Sekali lagi kita harus mengingatkan bahwa Negara telah abai terhadap keamanan pejabat negaranya. Tentunya hal ini akan membawa pertanyaan bagi masyarakat, bagaimana negara bisa melindungi warga negaranya, sedangkan melindungi pejabat negaranya, yang nota bene jumlah jauh lebih sedikit dari jumlah warga negara saja tidak mampu? Sebuah pertanyaan yang cukup menohok bagi kita semua, namun bisa menjadi tonggak perubahan bagi paradigma pelaksanaan pengamanan dan perlindungan bagi masyarakat pada umumnya dan pada pejabat negara pada khususnya. Semua pihak harus melakukan introspeksi supaya semua sadar bahwa apabila hal ini tidak diperbaiki sesegera mungkin, maka keamanan dan kenyamanan hidup kita akan terancam. Semoga hal ini menjadi perhatian kita semua. SEMOGA.

Selasa, 19 November 2019

E-Court dan E-Litigation

Dengan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2018, Mahkamah Agung bermaksud untuk mempermudah para pencari keadilan untuk beracara secara keperdataan di persidangan di pengadilan. 
Selama ini proses persidangan perkara perdata di pengadilan benar-benar membuat frustasi para pencari keadilan, Sidang yang berlarut-larut, calo perkara yang berkeliaran bebas, ruang sidang yang sempit dan berbagai masalah akan ditemukan dalam persidangan dipengadilan di masa lampau.
Saat ini Mahkamah Agung berusaha untu memudahkan para pencari keadilan, salah satu caranya adalah bersidang secara daring (online), pertanyaannya mungkinkah itu? Secara teori hukum, memang belum ada yang bisa menjawabnya, khusus untuk hukum Indonesia. Secara teori, persidangan harus dilakukan di ruang sidang di gedung Pengadilan, khusus untuk perkara Perdata, dimulai sejak dibacakannya surat gugatan/permohonan sampai dengan dijatuhkannya putusan.
Hal inilah yang dicoba untuk diputus rantai prosedurnya, setidaknya tidak semua proses persidangan dilakukan di ruang sidang. Dengan E-Court, para pencari keadilan dapat mendafarkan surat gugatan/permohonannya melalui sistem daring (online), tentu dengan syarat bahwa para pencari keadilan tersebut atau kuasanya memiliki email yang khusus digunakan untuk berperkara di pengadilan. Kemudian pada tahap sidang pertama, Majelis Hakim akan menawarkan kepada pihak Tergugat untuk berpekara melalui E-Court, yaitu proses jawab jinawab dilakukan melalui email (hal ini hanya berlaku sampai dengan akhir tahun 2019), apabila pihak Tergugat tidak setuju maka sidang dilanjutkan secara manual yaitu dilakukan di ruang sidang, namun apabila Tergugat setuju, maka proses jawab jinawab dilakukan melalui email (sejak awal tahun 2020, semua persidangan perdata dilakukan secara daring/online). Hal ini yang disebut sebagai E-Litigation atau persidangan secara daring/online, bahkan sampai tahap penjatuhan putusan.
Diharapkan dengan E-Court dan E-Litigation, akan memotong proses birokrasi persidangan dan juga memotong biaya perkara, khususnya yang sering dikeluhkan oleh para pencari keadilan, bahwa persidangan sering berlarut-larut, sehingga para pihak harus membayar biaya perjalanan dari tempat tinggalnya ke kantor pengadilan dengan biaya yang cukup besar. Disamping itu, juga untuk menghilangkan kebiasaan berperkara melalui calo-calo perkara yang seringkali tidak bertanggung jawab dan justru merugikan para pencari keadilan itu sendiri.
Berhasil tidaknya E-Court maupun E-Litigation sangat bergantung pada aparat pengadilan itu sendiri disamping dukungan masyarakat yang optimal, sehingga ke depannya bisa diharapkan adanya lembaga peradilan yang benar-benar bersih dari praktek-praktek menyimpang yang merugikan para pencari keadilan. SEMOGA.

Senin, 11 November 2019

Waspada Lingkungan Saat Musim Hujan

Musim hujan mulai mendatangi kita di beberapa wilayah Indonesia. Meskipun masih ada wilayah yang mengalami bencana kekeringan, namun, sudah banyak wilayah yang sudah dibasahi oleh air hujan.
Menjadi kewaspadaan kita semua, bahwa seringkali kita abai terhadap kebersihan lingkungan di sekitar kita. Adakah diantara kita yang sudah membersihkan selokan atau saluran air di sekitar rumah kita? Atau adakah diantara kita yang sudah ikut serta dalam upaya penanaman pohon di lingkungan kita? Atau adakah diantara kita yang sudah turut menjaga lingkungan dengan tidak menebang pohon? Atau tidak membakar lahan? Di saat musim kemarau keabaian kita mungkin tidak akan menjadi seseuatu bencana, khusus terhadap pembakaran hutan dan lahan, bisa menyebabkan bencana asap, namun apabila hal-hal yang sudah disebutkan di atas tidak kita lakukan di saat musim hujan beum datang, maka niscaya akan menjadi bencana di musim hujan.
Sudah tidak terhitung lagi nilai kerugian yang diderita warga masyarakat akibat bencana banjir. Namun kiranya hal tersebut belum bisa menyadarkan kita bahwa kita ikut bertanggungjawab atas terhindarnya bencana banjir di saat musim hujan.
Menjadi tugas kita bersama untuk saling mengingatkan bahwa ada bahaya besar mengancam ketika musim hujan sudah datang dan kerugian yang diderita tidak hanya kerugian yang bersifat materiil namun juga bisa mengakibatkan korban jiwa, Meskipun tanggung jawab untuk menyiapkan sarana dan prasarana menghadapi musim hujan ada di tangan Pemerintah Daerah (Pemda) setempat, namun tetap menjadi tugas kita bersama untuk tetap mengingatkan kesiapan Pemda supaya bisa terhindar dari bahaya banjir dan efek sampingan lainnya,
Bencana adalah menjadi tanggung jawab kita bersama.

HOMO HOMINI LUPUS

Homo Homini Lupus
Secara harfiah dapat diartikan sebagai "Manusia adalah serigala bagi manusia yang lain." Benarkah demikian? Mari kita ulas secara singkat. Istilah ini diperkenalkan oleh filusuf Yunani yang bernama PLAUTUS pada tahun 195 SM (Sebelum Masehi), kemudian dipopulerkan oleh THOMAS HOBBES, untuk menggambarkan betapa sebenarnya sangat sengit persaingan diantara manusia yang satu dengan yang lain.
Mau contoh yang ada di sekitar kita? Gampang, sebentar lagi akan dibuka pendaftaran Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) untuk berbagai instansi Pemerintah. Dari pendaftaran tersebut akan terlihat bagaimana jumlah yang akan diterima sangat berbanding terbalik dengan jumlah yang mendaftar. Itu baru contoh yang sangat mudah terlihat, bagaimana manusia yang satu akan bersaing (secara sehat) dengan manusia yang lain untuk mendapatkan pekerjaan yang diidamkan.
Bagaimana dengan contoh yang lain? Dalam dunia klenik terkenal istilah "Cinta ditolak dukun bertindak." Sebuah ungkapan bahwa segala daya upaya akan diupayakan oleh manusia untuk mendapatkan cinta yang diharapkan.
Masih banyak lagi bentuk persaingan antar manusia yang satu dengan manusia yang lain. Bahkan seringkali benar-benar seperti serigala yang tidak segan untuk saling bunuh demi tercapainya keinginan yang diharapkan.
Banyak contoh perkara pembunuhan disebabkan karena persaingan usaha dagang, persaingan mendapatkan pasangan hidup dan sebab-sebab lainnya. Hal ini membuktikan bahwa istilah tersebut ada di tahun 195 SM namun masih relevan hingga saat ini dan mungkin akan tetap relevan hingga dunia ini berakhir riwayatnya. Lalu apa yang harus kita lakukan supaya tidak terjebak dalam tindakan yang termasuk sebagai istilah ini? Tentunya kita harus bisa mawas diri selain kita harus tetap meningkatkan kualitas pengetahuan kita. Selain itu kita juga harus bisa membaur dengan masyarakat di sekitar kita. Nenek moyang kita selalu mengatakan "Kita junjung langit dimanapun kita tinggal." Istilah ini mempunyai arti yang sangat mendalam, yaitu kita harus bisa menerima dan menghormati budaya, tata cara hidup dan kebiasaan (positif) yang hidup dalam lingkungan masyarakat di sekitar kita. Apabila hal ini dilakukan, maka kita akan menjadi manusia yang penuh toleransi dalam menghadapi setiap perbedaan di sekitar kita. Dengan tingginya toleransi tentu setidaknya bisa menurunkan "tensi" sifat keserigalaan kita terhadap orang lain. Sekalipun harus bersaing maka kita bersaing secara sehat berdasarkan keilmuan yang kita miliki dan kita siap menerima apabila kita "kalah."
Harus dipahami bahwa tantangan bagi bangsa Indonesia sangatlah besar di masa yang akan datang. Pasar bebas ASEAN akan mulai berlaku tahun 2020 belum lagi pasar bebas ASIA maupun Dunia. SIapkah sumber daya manusia kita? Persaingan akan semakin ketat dan kita harus menyiapkan segalanya dari saat ini, meskipun terlambat akan tetapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali mempersiapkan kekuatan kita dalam menghadapi pasar bebas tersebut. Namun setidaknya kita harus mempunyai keyakinan bahwa kita mempunyai kemampuan dalam menghadapi pasar bebas. Kalaupun kita harus menjadi serigala, kita harus menjadi serigala yang lebih kuat dari serigala yang datang dari luar negara kita.
Demikian uraian singkat tentang istilah HOMO HOMINI LUPUS, sebagai tambahan pengetahuan bagi kita bersama. SEMOGA.

Kamis, 02 Mei 2019

Ketentuan Pasal 419 ayat (1) dan Pasal 420 KUHP (Bagian II)

Tidak dapat dipungkiri bahwa Tindak Pidana Korupsi sudah menjadi WABAH PENYAKIT sejak masa Kolonial Belanda. Walaupun mungkin, jumlah perkara tipikor tidak sebanyak perkara tipikor saat ini. Oleh sebab itu, pengaturan pemidanaan terhadap perkara tipikor tidak dibuat secara khusus dan tetap tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan tidak pula dibentuk lembaga otonom yang mempunyai kekuasaan yang besar untuk melakukan penyidikan dan penuntutan perkara tipikor.
Hal ini memang memerlukan kajian yang lebih mendalam, apakah memang perkara tipikor HANYA merupakan perkara pidana biasa atau pidana khusus. Dan juga perlu ada kajian terhadap perlunya ada lembaga otonom dalam penindakan tindak pidana korupsi.
Dalam perjalanan sejarahnya, penindakan korupsi di era setelah kemerdekaan memang sangat panjang. Pemerintah sempat mengadakan operasi khusus pemberantasan korupsi yang dikenal dengan nama OPERASI BUDHY di sekitar akhir tahun 1960an, yang kemudian dilanjutkan dengan pembentukan beberapa lembaga anti korupsi dan saat ini telah ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dengan pembentukan berbagai lembaga anti korupsi tersebut, apakah perkara tipikor menjadi berkurang? Perlu ada kajian ilmiah untuk menjawabnya, sebab saat ini justru semakin banyak perkara korupsi yang terungkap, atau korupsi-korupsi tersebut tidak akan terungkap di masa lalu?
Salah satu penyebab tipikor adalah POLA HIDUP HEDONIS, apa itu? Secara singkat pola hidup hedonis adalah pola hidup yang mengandalkan harta sebagai tolok penilaian terhadap seseorang. Seorang akan dianggap bermartabat apabila PUNYA HARTA. Hal inilah yang harus diubah sebab dengan perubahan pola pikir ini (barangkali) akan membuat perkara tipikor akan berkurang.
Kembali kepada pengaturan mengenai perkara tipikor, sebenarnya cukup diatur di dalam KUHP dengan mengadopsi ketentuan Undang-Undang Tipikor yang sudah ada. Dan yang lebih penting adalah penguatan lembaga penegak hukum yang ada. Bersihkan dahulu lembaga penegak hukum baik itu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan bahkan Lembaga Pemasyarakatan dari perilaku koruptif. Sebab dengan menjadi bersih, maka lembaga-lembaga penegak hukum tersebut bisa menjadi ujung tombak pemberantasan tipikor. Lalu, bagaimana posisi KPK? Adanya baiknya lembaga ini melebur kembali ke dalam lembaga penegak hukum yang sudah ada atau menjadi lembaga penasihat kepresidenan khusus dalam hal penindakan tipikor dengan kewenangan pro justitial untuk MENCIDUK aparat-aparat penegak hukum yang masih berperilaku koruptif.
Semua ini hanya dapat dilakukan apabila seluruh penegak hukum sudah bersinergi dan satu kata dalam penindakan perkara tipikor. Tanpa ada sinergitas dan satu kata dalam penindakan perkara tipikor, tidak akan terwujud.

Ketentuan Pasal 419 ayat (1) dan Pasal 420 KUHP

Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tetang Pemberantasan Korupsi yang beberapa kali diperbaharui sampai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, khusus perihal SUAP (PASSIVE OMKOPING), sebenarnya telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu di dalam ketentuan Pasal 419 ayat (1) dan Pasal 420 KUHP. 
Ketentuan Pasal 419 ayat (1) KUHP tersebut menyebutkan :
"Dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun, dihukum pegawai negeri :
a. Yang menerima pemberian atau perjanjian, sedang diketahuinya bahwa pemberian atau perjanjian itu diberikan kepadanya untuk membujuknya supaya dalam jabatannya melakukan atau mengalpakan sesuatu apa yang berlawanan dengan kewajibannya;
b. Yang menerima pemberian, sedang diketahuinya bahwa pemberian itu diberikan kepadanya oleh karena atau berhubungan dengan apa yang telah dilakukan atau dialpakan dalam jabatannya yang berlawanan dengan kewajibannya". Penjelasan singkat pasal ini adalah Pegawai Negeri yang dimaksud adalah termasuk juga Aparatur Kepolisian dan Kejaksaan.
Sedangkan ketentuan Pasal 420 KUHP menyebutkan :
"Dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun, dihukum :
a. Hakim yang menerima pemberian atau perjanjian, sedang diketahuinya, bahwa pemberian atau perjanjian itu diberikan kepadanya untuk mempengaruhi keputusan suatu perkara yang diserahkan pada pertimbangannya;
b. Barangsiapa yang menurut peraturan perundang-undangan ditunjuk sebagai pembicara atau penasihat untuk menghadiri sidang pengadilan yang menerima atau perjanjian, sedang ia tahu bahwa hadiah atau perjanjian itu diberikan kepadanya untuk mempengaruhi pertimbangan atau pendapatnya tentang perkara yang harus diputuskan oleh pengadilan tersebut";
Ketentuan Pasal 420 ayat (2) KUHP menyebutkan :
"Jika pemberian atau perjanjian itu diterima dengan keinsyafan, bahwa pemberian atau perjanjian itu diberikan kepadanya supaya mendapatkan suatu penghukuman dalam perkara pidana maka si tersalah dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun".
Penjelasan singkat atas Pasal 420 ayat (1) dan (2) KUHP adalah pasal ini dikhususkan kepada HAKIM dan ADVOKAT (dahulu disebut Pengacara).
Dari kedua ketentuan tersebut, sebenarnya kita bisa melihat bagaimana pandangan pembuat undang-undang di masa kolonial Belanda yang sudah bisa memperkirakan bahwa suatu saat nanti ketentuan undang-undang ini dapat diberlakukan. Sebagai catatan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan turunan dari Wetboek van Strafrecht (WvS) yang berlaku di Belanda dan mulai diberlakukan di Indonesia sejak tahun 1918.

Jumat, 22 Februari 2019

Problematika Hakim (karir) PHI

Menyidangkan suatu perkara bagi seorang hakim (pengadilan negeri) adalah hal yang sudah menjadi tugasnya sehari-hari. Baik perkara pidana maupun perdata. Akan tetapi ketika seorang hakim dihadapkan pada perkara pada pengadilan hubungan industrial (phi), terutama bagi hakim karir, mulai banyak ditemui banyak kendala. Salah satu yang mendasar adalah terdapat begitu banyak peraturan perburuhan di Indonesia belum lagi peraturan dari organisasi buruh internasional (ILO) baik yang sudah diratifikasi mauun yang belum diratifikasi.
Akan terlihat terdapat missing link dari pendidikan calon sarjana hukum di Indonesia. Sangat sedikit atau bahkan nyaris tidak ada mata kuliah mengenai hukum perburuhan yang bisa membekali secara cukup pengetahuan bagi para calon sarjana hukum di Indonesia. Kalaupun ada mata kuliah hukum perburuhan, biasanya hanya berkisar antara 2 - 4 SKS selama mahasiswa hukum berkuliah.
Hal ini seharusnya menjadi perhatian bagi para pemangku kepentingan pendidikan hukum di Indonesia. Masih banyak hal yang harus dipelajari dan dipahami dari hukum perburuhan khususnya dalam kaitan pengadilan hubungan industrial (phi). Tanpa ada perbaikan kurikulum hukum perburuhan maka sarjana hukum Indonesia akan semakin tertinggal dalam hal hukum perburuhan. Semoga ke depan kurikulum hukum perburuhan bagi mahasiswa hukum menjadi lebih baik lagi mengingat saat ini buruh telah menjadi komponen penting dari pembangunan nasional.

Rabu, 06 Februari 2019

Aspek Hukum Pembuktian

Pada dasarnya setiap orang akan selalu menghindari berbenturan dengan orang lain, akan tetapi ada saatnya kita tidak bisa menghindar dari konfrontasi dengan orang lain, baik orang perorangan maupun dengan badan hukum. Terlebih berkaitan dengan perkara pidana, yang memang masing-masing individu memiliki kepentingan yang berbeda dan sering bertentangan.
Dalam kaidah Hukum Acara Pidana, Dr. Syaiful Bakhri, S.H.,M.H. dalam bukunya Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Dalam Perpektif Pembauran, Teori dan Praktek Peradilan, mengatakan, "Aspek hukum pembuktian asasnya, sudah dimulai sejak tahap penyidikan perkara pidana, ketika penyidik untuk mencari dan menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna dapat atau tidaknya, dilakukan penyidikan, pada tahap ini sudah terjadi pembuktian, dengan tindakan penyidik untuk mencari barang bukti, maksudnya guna membuat terang suatu tindak pidana serta menentukan atau menemukan tersangkanya, sehingga konkritnya pembuktian berawal dari penyidikan dan berakhir pada pemjatuhan pidana (vonis) oleh hakim di depan persidangan, baik pada tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi maupun upaya hukum ke Mahkamah Agung."
Dari pendapat tersebut, secara singkat dapat kita pahami bahwa terdapat anggapan yang salah selama ini bahwa pembuktian perkara pidana baru dilakukan ketika sudah di persidangan di Pengadilan (khususnya di Pengadilan tingkat pertama/Pengadilan Negeri). Padahal seharusnya proses pembuktian tersebut SUDAH DIMULAI ketika penyidik (baik kepolisian maupun kejaksaan) mengumpulkan alat bukti yang dapat digunakan untuk membuktikan kesalahan pelaku tindak pidana. Dan sudah seharusnya pula, ketika seorang pelaku tindak pidana didampingi oleh Penasihat Hukum (Advokat), maka pelaku tindak pidana tersebut melalui Penasihat Hukumnya juga melakukan pengumpulan alat bukti yang dapat digunakan untuk menyangkal dalil bahwa pelaku tindak pidana yang memberikan kuasa kepadanya adalah orang yang benar-benar melakukan tindak pidana. Hal itu juga harus dilakukan oleh Penasihat Hukum yang mewakili kliennya atas dasar penunjukan dari setiap tingkat pemeriksaan perkara pidana.
Mungkin agak repot ketika Penasihat Hukum tersebut, menerima surat penunjukan dari Pengadilan Negeri, mengingat terbatasnya waktu untuk mengumpulkan alat bukti yang dibutuhkan, namun kiranya hal tersebut tidak menjadi halangan bagi seorang Advokat yang menerima surat penunjukan atas terdakwa suatu tindak pidana, untuk mengumpulkan alat bukti yang dibutuhkannya.
Hal ini diperlukan untuk menemukan kebenaran formal atas suatu tindak pidana yang terjadi. Oleh karena itu sudah saatnya kita merubah paradigma pelaksanaan proses pembuktian atas suatu tindak pidana. Semoga hal ini dapat menjadi bahan koreksi bersama.

Rabu, 30 Januari 2019

Kewajiban Mundur bagi Seorang Hakim Dalam Mengadili Sebuah Perkara

Sebagai makhluk sosial, sosok Hakim tentunya juga tentunya mempunyai keluarga dan kerabat. Tidak dipungkiri pula ketika seorang Hakim naik jabatan menjadi Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi ada kelaurganya yang mengikuti jejaknya sebagai Hakim, baik itu anaknya atau saudaranya. Bisa juga terjadi ada keluarga dari Hakim tersebut yang mejadi pihak-pihak yang bersengketa di pengadilan, baik secara pidana maupun perdata. Yahya Harahap menyebut istilah ini dengan HUBUNGAN TERTENTU, yaitu Hakim Ketua ataupun Hakim Anggota TANPA KECUALI wajib mengundurkan diri dari pemeriksaan perkara apabila antara diri mereka dengan terdakwa atau salah satu terdakwa atau para pihak dalam perkara perdata dari perkara yang sedang diperiksa terdapat HUBUNGAN TERTENTU. Hal ini dalam perkara pidana diatur di dalam pasal 157 dan pasal 220 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).
Adapun alasan pengunduran diri :
1. Adanya hubungan keluarga sedarah atau semenda, yaitu apabila Hakim mempunyai hubungan sedarah atau semenda sampai dengan derajat ketiga (kakek atau cucu) maupun hubungan suami istri sekalipun sudah bercerai dengan Hakim Ketua sidang atau dengan salah seorang Hakim Anggota. Hal ini diatur dalam pasal 157 ayat (1) KUHAP. Demikian juga apabila antara Terdakwa atau Penasihat Hukum terdapat hubungan keluarga sedarah, semenda sampai derajat ketiga maupun hubungan perkawinan sekalipun sudah cerai dengan Hakim yang memeriksa, maka Hakim tersebut wajib mengundurkan diri.
2. Hakim yang bersangkutan mempunyai kepentingan baik langsung maupun tidak langsung dalam perkara yang sedang diperiksa. Hal ini diatur dalam pasal 220 ayat (1) KUHAP. Yang dimaksud dengan KEPENTINGAN dalam perkara ang sedang diadili, undang-undang tidak memberikan penjelasan, namun secara umum dapat dijelaskan apabila, barang bukti yang digunakan adalah milik dari Hakim tersebut, misalnya seseorang mencuri kendaraan seorang Hakim, maka Hakim yang kehilangan kendaraan tersebut wajib mengundurkan diri.
Kemudian, siapa yang berhak mengajukan pengunduran diri seorang Hakim tersebut? Di dalam praktek, sering dijumpai seorang Hakim menolak berkas perkara baru yang menjadi tugasnya untuk mengadili, sebab ketika Hakim tersebut membaca berkas perkara tersebut, Hakim itu merasa ada hubungan tertentu dalam perkara yang akan diadilinya tersebut. Atau bisa juga ketika sidang dibuka pertama kali, Terdakwa ataupun Kuasa Hukum Terdakwa mengajukan keberatan kepada Majelis Hakim yang menyidangkannya, karena ternyata Terdakwa atau Penasihat Hukum Terdakwa adalah memiliki hubungan sedarah atau semenda dengan salah seorang Hakim yang menyidangkannya.
Apabila terjadi ada Hakim yang wajib mengundurkan diri atas suatu perkara yang akan disidangkannya, maka kemudian menjadi tugas dari Ketua Pengadilan untuk membuat Penentapan Penunjukan Majelis Hakim yang baru. Hal ini dilakukan demi terciptanya proses persidangan yang FAIR. Demikian penjelasan singkat tentang kewajiban mengundurkan diri bagi seorang Hakim dalam mengadili suatu perkara. Semoga bermanfaat.

Selasa, 29 Januari 2019

Perbuatan Melawan Hukum

Apa itu perbuatan melawan hukum (PMH)? Secara umum dapat disebutkan sebagai segala perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang yang bersifat melanggar hukum yang berlaku yang mengakibatkan kerugian bagi pihak lain baik bagi perorangan maupun kelompok atau korporasi. Kerugian yang diderita tidak hanya kerugian yang bersifat materiil tetapi juga bersifat immateriil. Kerugian materiil berupa kerugian yang dapat dihitung nominalnya, sedangkan kerugian immateriil berupa kerugian yang tidak bisa dihitung nominalnya, misalnya rusaknya nama baik dan lain sebagainya.
Terhadap kerugian atas PMH ini hukum perdata kita sudah mengaturnya di dalam ketentuan pasal 1365 KUH Perdata, yang menyebutkan, "Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut." Ketentuan pasal ini dipertegas lagi dengan ketentuan pasal 1366 KHU Perdata yang menyebutkan, "Setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya." Lalu bagaimana jiak yang melakukan perbuatan orang lain yang masih dalam pengawasannya, misalnya anak, atau pekerjanya? Untuk menjawabnya kita harus membaca ketentuan pasal 1367 KUH Perdata, yang menyebutkan :
(1) Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang ada dalam pengawasannya";
(2) Orang tua dan wali bertanggungjawab tentang kerugian yang disebabkan oleh anak-anak belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan terhadap siapa mereka melakukan kekuasaan orang tua atau wali";
(3) Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, adalah bertanggungjawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan mereka di dalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini dipakainya";
(4) Guru-guru sekolah dan kepala-kepala bertanggungjawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh murid-murid dan tukang-tukang mereka selama waktu orang-orang ini berada dalam pengawasan mereka";
(5) Tanggung jawab yang disebutkan diatas berakhir, jika orangtua-orangtua, wali-wali, guru-guru sekolah dan kepala-kepala tukang membuktikan bahwa mereka tidak dapat mencegah perbuatan untuk mana mereka seharusnya bertanggungjawab."
Pasal ini secara singkat menyebutkan bahwa PMH tidak hanya dapat dimintakan pertanggungjawabannya atas perbuatannya sendiri tetapi juga atas perbuatan orang-orang atau barang-barang yang berada dalam kekuasaanya. Hal ini untuk mencegah orang untuk bertindak tidak secara hati-hati dan harus dapat memperhitungkan bahwa setiap perbuatannya dapat saja menimbulkan kerugian bagi pihak lain.
Selain itu juga perlu dicermati ketentuan pasal 1368 KUH Perdata, mengatur tentang tanggung jawab pemilik binatang, yang menyebutkan, "Pemilik seekor binatang atau siapa saja yang memakainya adalah selama binatang itu dipakainya, bertanggungjawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh binatang tersebut, baik binatang itu ada di bawah pengawasannya maupun tersesat atau terlepas dari pengawasannya."
Sedangkan pasal 1369 KUH Perdata, mengatur tentang tanggung jawab pemilik gedung, yang menyebutkan, "Pemilik sebuah gedung adalah bertanggung jawab tentang kerugian yang disebabkan karena ambruknya gedung itu untuk seluruhnya atau sebagian, jika hal ini terjadi karena kelalaian dalam pemeliharaannya atau karena sesuatu cacat dalam pembangunan maupun tataannya."
Dalam perkembangannya, hukum perdata berkembang sangat pesat, tentu telah banyak peraturan perundangan yang mengatur tentang hubungan perorangan yang apabila dilanggar akan menimbulkan kerugian. Akan tetapi setidaknya ketentuan-ketentuan dalam KUH Perdata tersebut bisa menjadi acuan awal kita untuk menjaga perilaku secara keperdataan sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Demikian ulasan singkat mengenai PMH, semoga bermanfaat.

Senin, 28 Januari 2019

Ukuran Kedewasaan Seseorang Berdasarkan KUH Perdata

Dalam berbagai peraturan perundang-undangan telah banyak membahas tentang ukuran kedewasaan seseorang. Ada undang-undang yang menentukan seseorang dianggap dewasa apabila telah berumur 18 (delapan belas) tahun, ada yang menentukan 20 (dua puluh) tahun dan masih banyak lagi ketentuan yang serupa. Hal ini tentunya akan membingungkan kita sebagai masyarakat awam. Sebagai seorang muslim, ukuran dewasa, bagi laki-laki adalah sudah mimpi basah, sedangkan bagi wanita adalah apabila sudah haid/datang bulan. Lalu bagaimana dengan Hukum Perdata kita mengatur hal tersebut?
Dalam pasal 330 KUH Perdata disebutkan,
(1) "Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin";
(2) "Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam keadaan belum dewasa";
(3) "Mereka yang belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orangtua, berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana teratur dalam bagian ketiga, keempat, kelima dan keenam bab ini."
Dari uraian pasal 330 KUH Perdata tersebut, dapat kita jabarkan secara ringkas sebagai berikut :
(1) Ukuran dewasa bagi seseorang baik itu laki-laki maupun perempuan adalah sudah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau sudah menikah. Oleh karena itu apabia ada seorang laki-laki dan seorang perempuan yang menikah, maka keduanya dianggap telah DEWASA. meskipun ketika mereka menikah belum berusian 21 (dua puluh satu) tahun.
(2) Apabila perkawinan antara seseorang laki-laki dan perempuan tersebut dibatalkan (bercerai) sedangkan usia mereka belum genap 21 (dua puluh satu) tahun, maka terhadap laki-laki dan perempuan tersebut, tetap dianggap TELAH DEWASA.
(3) Hal ini berkaitan dengan pasal 359 KUH Perdata yang menyebutkan, "Bagi sekalian anak belum dewasa, yang tidak bernaung di bawah kekuasaan orangtua dan yang perwaliannya tidak telah diatur dengan cara yang sah, Pengadilan Negeri harus mengangkat seorang wali, setelah mendengar atau memanggil dengan sah para keluarga sedarah atau semenda. Pasal ini bertujuan untuk melindungi kepentingan anak yang belum dewasa yang sudah tidak berada dalam kekuasaan orangtua, bisa karena orang tua meninggal dunia, atau anak yang terkena bencana alam sehingga terpisah dari orang tuanya.
Demikian uraian singkat dari ukuran kedewasaan berdasarkan KUH Perdata. Semoga bermanfaat.

Kamis, 24 Januari 2019

Ukuran Kecakapan Seseorang Dalam membuat Perjanjian

Di dalam hukum perdata Indonesia, telah memberikan ruang yang seluas-seluasnya bagi setiap orang untuk membuat perjanjian (dalam istilah lain disebut dengan perikatan atau pesetujuan). Hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)yang menyebutkan, "Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap." Lalu pertanyaannya adalah siapakah yang dianggap tidak cakap? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka kita harus membaca kembali ketentuan pasal 1330 KUH Perdata yang menyebutkan, "Tidak cakap untuk membuat persetujuan-persetujuan adalah :
1. Orang-orang yang belum dewasa;
2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu."
Pasal 1330 ini kemudian dipertegas lagi dalam ketentuan pasal 1331 yang menyatakan,
(1) "Karena itu orang-orang yang di dalam pasal yang lalu dinyatakan tak cakap, boleh menuntut pembatalan perikatan-perikatan yang mereka telah perbuat, dalam hal-hal dimana kekuasaan itu tidak dikecualikan oleh undang-undang."
(2) "Orang-orang yang cakap untuk mengikatkan diri tak sekali-kali diperkenankan mengemukakan ketidakcakapan orang-orang yang belum dewasa, orang-orang yang dibawah pengampuan dan perempuan-perempuan yang bersuami denga siapa mereka telah membuat suatu persetujuan."
Atas ketentuan pasal 1330 tersebut, mari kita bahas secara singkat. Dalam pasal tersebut ada 3 (tiga) kategori orang-orang yang dianggap tidak cakap untuk membuat perikatan/perjanjian/persetujuan, yaitu :
1) Orang yang belum dewasa, ukuran dewasa dalam hal keperdataan adalah 18 (delapan belas) tahun tahun, sebagaimana syarat diperbolehkannya seorang laki-laki untuk menikah, sebagaimana diatur dalam pasal 29 KUH Perdata. Meski demikian, saat ini terdapat perbedaan pandangan untuk dapat menyebut seseorang dewasa sebagaimana tercantum dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Akan tetapi karena perikatan masuk dalam ranah hukum perdata maka ukuran yang digunakan untuk menilai seseorang telah dewasa adalah usia 18 (delapan belas) tahun;
2) Orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan, yang dimaksud adalah orang yang sudah dewasa namun tidak mampu bertindak secara dewasa baik karena perilakunya maupun kesehatannya, misalkan seorang pemabuk, penjudi, orang yang hilang ingatan atau orang yang pemboros serta masih banyak contoh lainnya. Orang-orang yang demikian dianggap tidak cakap untuk membuat perikatan;
3) Orang-orang perempuan, yang dimaksud disini adalah perempuan atau wanita yang sudah menikah, yang harus mendapat ijin dari suaminya untuk dapat bertindak dalam hukum, khususnya membuat perikatan. Hal ini tentunya mengalami perkembangan pada saat ini, yaitu banyak perempuan yang berkarir dan mempunyai pekerjaan, sehingga apabila membuat perikatan atas nama kantor atau pekerjaannya tentunya tidak membutuhkan ijin dari suaminya.
Demikian ulasan singkat mengenai seseorang yang dianggapo cakap dalam membuat perjanjian, hal ini karena berkaitan dengan salah satu syaratnya sahnya perjanjian, sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata. Semoga bermanfaat.

Kamis, 17 Januari 2019

Salah Kaprah Dalam Belajar Hukum

Masih banyak orang yang beranggapan bahwa untuk bisa belajar hukum, khususnya di Fakultas Hukum, harusnya orang yang pandai menghapal. Benarkah demikian? Sebelum menjawabnya, kita harus paham terlebih dahulu bahwa di dalam hukum banyak sekali teori-teori hukum baik teori klasik, teori neo klasik, teori modern dan teori post modern dan akan terus berkembang teori-teori hukum tersebut. Selain itu dalam hukum juga terdapat ribuan pasal dan ayat dari ribuan undang-undang beserta penjelasannya. Semua teori hukum yang ada memang harus dibaca namun bukan untuk DIHAPAL. Demikian juga dengan pasal-pasal maupun ayat-ayat dalam undang-undang, harus pula kita baca untuk memahami sebuah permasalahan hukum, namun sekali lagi bukan untuk DIHAPAL. Keterbatasan manusia terutama dalam hal mengingat sesuatu sudah menjadi kodrat alamiah yang harus kita terima dan kita syukuri sebab dengan keterbatasan tersebut seharusnya memacu kita untuk terus belajar, untuk terus membaca sehingga kita bisa memelihara daya ingat kita. Tentunya ada orang-orang tertentu yang memiliki daya ingat yang luar biasa, namun sangat mungkin orang dengan daya ingat yang luar biasa tersebut juga memiliki keterbatasan yang lain. Demikian juga dalam belajar hukum. Jangan takut kuliah di Fakultas Hukum sebab belajar hukum itu bukan untuk menghapal undang-undang, menghapal pasal-pasal maupun ayat-ayat dalam undang-undang ataupun menghapal teori-teori hukum. Sebab belajar hukum itu lebih menekankan kepada PEMAHAMAN atas suatu teori hukum, atas suatu ketentuan pasal maupun ayat dalam undang-undang, atas suatu perkembangan dinamika hukum. Jadi sekali lagi, sering orang salah kaprah dengan mengatakan bahwa untuk belajar hukum atau kuliah di Fakultas Hukum hanya untuk orang-orang yang mempunyai daya ingat atau hapalan yang tinggi atau kuat. Memang, untuk menjadi seorang Sarjana Hukum tetap harus dengan kuliah di Fakultas Hukum tetapi apabila hanya sekedar untuk memahami hukum dan perkembangannya, kita dapat belajar secara mandiri atau otodidak. Oleh karenanya kita harus merubah pola pikir kita atau mindset kita bahwa belajar hukum hanya untuk orang-orang tertentu saja. Asalkan mempunyai kemauan untuk terus belajar, untuk terus membaca, untuk terus meningkatkan wawasan di bidang hukum, setiap orang bisa belajar hukum dan bisa kuliah di Fakultas Hukum.

Kecelakaan Lalu Lintas

    Ritual Mudik menjelang Hari Raya Idul Fitri telah tuntas dilakukan dengan berbagai variasinya. Masyarakat yang mudik dengan mengguna...