Rabu, 12 Desember 2018

PERANAN PENASIHAT HUKUM BERDASARKAN PASAL 56 KUHAP

Sudah jamak terjadi orang akan malas berhadapan dengan hukum, sebab selain membutuhkan waktu yang lama juga banyak istilah hukum yang tidak dimengerti khususnya oleh masyarakat yang awam hukum. Dalam hukum pidana, hak setiap individu adalah sangat dilindungi, bahkan ketika orang itu harus berhadapan dengan hukum. Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penanganan terhadap orang yang melakukan tindak pidana didasarkan pada ketentuan dalam Herziene Indonesich Reglement (HIR) yang mengatur tentang acara di bidang Perdata dan Pidana untuk wilayah Jawa dan Madura, selain itu juga digunakan RBG [singkatan dari Rechtreglement voor de Buitengewesten yang sering diterjemahkan Reglemen Hukum Daerah Seberang (di luar jawa Madura), dan terdapat pula ketentuan yang bernama Rv adalah singkatan dari Wetboek op de Burgerlijke Rechtvordering yaitu hukum acara perdata dan pidana yang berlaku untuk golongan Eropa di jaman penjajahan. Khusus terhadap hukum acara pidana, dengan diberlakukannya KUHAP, maka ketentuan-ketentuan tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi. Mengapa tidak berlaku lagi ? Sebab baik di dalam HIR, RBg maupun Rv mengandung ketentuan yang bersifat diskriminatif khususnya bagi masyarakat Indonesia, sebab bagaimanapun ketentuan tersebut merupakan produk hukum dari pemerintah kolonial Belanda, yang tentu lebih mengutamakan masyarakat Belanda itu sendiri. Terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana, KUHAP telah mengatur di dalam Pasal 56 yang menyebutkan :
(1) Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampun yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka;
(2) Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma.
Dalam penjelasannya, pasal 56 ayat (1) KUHAP, memberikan penjelasan yaitu, "Menyadari asa peradilan yang wajib dilaksanakan secara sederhana, cepat dan biaya ringan serta dengan pertimbangan, bahwa mereka yang diancam dengan pidana kurang dari lima tahun tidak dikenakan penahanan kecuali tindak pidana tersebut dalam pasal 21 ayat (4) huruf b, maka untuk itu bagi mereka yang diancam pidana lima tahun atau lebih, tetapi kurang dari lima belas tahun, penunjukkan penasihat hukumnya disesuaikan dengan perkembangan dan keadaan tersedianya tenaga penasihat hukum di tempat itu.
Dalam prakteknya, seringkali pejabat yang memeriksa tersangka atau terdakwa sering lupa atau bahkan melupakan hak tersangka atau terdakwa untuk didampingi oleh penasihat hukum. Khusus untuk di Pengadilan Negeri, sudah ada perangkat yang disiapkan yaitu ada pelayanan penasihat hukum secara prodeo (cuma-cuma) dalam bentuk bantuan hukum. Hal ini sebagai upaya meminimalisir tidak terlinduginya hak-hak tersangka atau terdakwa ketika berhadapan dengan hukum, khususnya di muka persidangan.

PEDOMAN SINGKAT MENYUSUN GUGATAN PERDATA

Banyak masyarakat gang masih belum paham bagaimana caranya mengajukan gugatan perdata di pengadilan. Hal ini wajar mengingat beracara di pengadilan merupakan hal yang cukup rumit namun sejatinya bukan hal yang sulit untuk dipahami dan dimengerti. Berikut dapat kami uraikan secara singkat bagaimana cara menyusun gugatan. Beberapa hal yang harus diperhatikan sebagaimana diuraikan sebagai berikut.
A. Mendasarkan pada 5 W & 1 H
1. WHAT, yaitu apa yang kita gugat, apakah gugatan itu berdasarkan pada WANPRESTASI (Ingkar Janji) atau PMH (Perbuatan Melawan Hukum). Dasar dari gugatan perdata hanyalah didasarkan pada 2 (dua) hal tersebut.
2. WHO, yaitu siapa saja yang akan kita gugat, baik sebagai TERGUGAT ataupun sebagai TURUT TERGUGAT. Hal ini penting mengingat untuk menghindari adanya ERROR IN PERSONA (kesalahan orang yang digugat).
3. WHEN, yaitu kapan kita akan menggugat. Sebenarnya hal ini menjadi hak dari setiap orang yang akan mengajukan gugatan kapan waktunya akan mengajukan gugatan. Hanya sebaiknya untuk menghindari nilai kerugian yang semakin besar, ada baiknya gugatan diajukan sesegera setelah adanya perbuatan yang merugikan baik itu WANPRESTASI ataupun PMH, selain itu dengan segera mengajukan gugatan, maka bukti2 surat masih dapat dikumpulkan dan bukti saksi juga masih ada.
4. WHY, yaitu alasan apa yang menyebabkan kita mengajukan gugatan. Seringkali seseorang mengajukan gugatan tanpa tahu kenapa ia mengajukan gugatan dan hanya didasarkan yang bersangkutan hanya merasa dirugikan namun tidak tahu rugi karena perbutan apa dan berapa nilai kerugiannya.
5. WHERE, yaitu di pengadilan (negeri) mana gugatan perdata tersebut akan diajukan. Pada dasarnya gugatan dapat diajukan di : a. Tempat kediaman Tergugat atau salah satu Tergugat, b. Tempat kedudukan obyek sengketa atau c. Berdasarkan kesepakatan apabila terdapat perjanjian tang mengatur apabila terjadi sengketa maka akan menunjuk secara khusus pengadilan yang akan mengadilinya.
1 H, yaitu HOW, yang akan menentukan cara kita mengajukan gugatan apakah kita akan maju sendiri atau kita menggunakan jasa ADVOKAT., apabila kita tidak paham hukum acara. Kelebihan beracara sendiri tentunya kita tidak perlu membayar jasa hukum dari advokat.
B. Disusun secara sistematis berdasarkan POSSITA dan PETITUM
Secara singkat dapat dijelaskan bahwa POSSITA adalah uraian secara sistematis yang meliputi diantaranya adalah 5 W & 1 H yang disusun untuk menjelaskan peristiwa hukum yamg terjadi sehingga me yebakan penggugat mengalami kerugian yang kerugian tersebut harus disebutkan secara terperinci. Dengan uraian yang jelas tentu akan memudahkan dalam pembuktiannya. Sedangkan yang dimaksud dengan PETITUM adalah apa yang diminta oleh penggugat sebagai pengganti kerugian baik secara materiil maupun immateriil. Tentunya petitum ini juga didasarkan pada possita yang telah diuraikan sebelumnya.
C. Mengumpulkan bukti
Bukti yang dikumpulkan diutamakan adalah bukti surat baru kemudian bukti saksi, keterangan ahli maupun petunjuk. Bukti surat yang diutamakan adalah surat-surat yang bersufat otentik, misalkan sertifikat, kuitansi dan lain sebagainya. Sedangkan kedudukan saksi adalah di bawah kedudukan bukti surat, sehingga bisa saja suatu gugatan hanya dibuktikan dengan bukti surat semata.
Kurang lebih demikian yang bisa diuraikan mengenai cara-cara mudah dan singkat dalam menyusun gugatan termasuk di dalamnya adalah mengumpulkan alat bukti. Ssmoga bermanfaat.

Kamis, 06 Desember 2018

KELUARGA SADAR HUKUM (KADARKUM)

Sedikit kita bernostalgia di masa Orde Baru, salah satu kebijakan di masa Orde Baru di bidang hukum di tahun 1980-1990an adalah diadakannya kegiatan Keluarga Sadar Hukum (KADARKUM). Kegiatan tersebut dilakukan per Desa/Kelurahan, per Kecamatan, per Kabupaten dan tingkat Nasional, yang kemudian dilakukan perlombaan sebagaimana kriteria tersebut. Meskipun dalam pelaksaanaannya, materi yang diberikan bersifat monoton, akan tetapi setidaknya memberikan pendidikan dan pelatihan singkat di bidang hukum supaya masyarakat bisa melek hukum. Ada nilai positif dari kegiatan tersebut yaitu masyarakat menjadi paham akan hukum dan masyarakat dididik untuk menjadi taat hukum, walaupun kita tidak menutup mata bahwa tingkat kejahatan pada masa itu juga cukup tinggi. Barangkali karena tingkat kejahatan yang cukup tinggi itulah yang menyebabkan diadakan kegiatan KADARKUM. Efek positif lainnya adalah masyarakat memiliki kegiatan berkumpul dan bermusyarawah sehingga bisa saling mengenal siapa tetangganya, apa ada warga yang pindah masuk atau pindah keluar dan bisa menjaga kerukunan antar warga. Serunya perlombaan KADARKUM juga menjadikan masyarakat menjadi terpacu untuk terus belajar dan menambah wawasan tentang hukum. Di masa itu Pengadilan Negeri memiliki minimal 1 (satu) Desa binaan per Kecamatan yang pembinaannya dilakukan oleh Staf Pengadilan Negeri baik itu Hakim maupun Panitera Pengganti. Sesekali kegiatan KADARKUM dilakukukan di Kantor Pengadilan Negeri, sehingga masyarakat bisa mengenal wujud Kantor Pengadilan Negeri dan mengenal personal-personal di dalamnya. Namun kegiatan KADARKUM berhenti setelah Indonesia memasuki masa Reformasi. Sampai saat inipun kegiatan KADARKUM masih dianggap kegiatan yang tidak mempunyai urgensi yang penting. Meskipun bukan menjadi tolok ukur, akan tetapi saat ini tingkat kejahatanpun lebih banyak dan lebih merata di semua wilayah dan semua sektor. Untuk itu, kiranya perlu menjadi bahan pemikiran kita semua bahwa perlu kiranya kita mengadakan kembali kegiatan KADARKUM tentu dalam bentuk yang lebih modern sehingga bisa menarik perhatian masyarakat. Hal ini perlu dilakukan demi menyadarkan kembali masyarakat akan hak dan kewajibannya di depan hukum sehingga bisa menjadisalah satu sarana pengendalian tindak kejahatan.

Selasa, 04 Desember 2018

KEBERHASILAN PENEGAKAN HUKUM

Sedari awal menjadi mahasiswa hukum, selalu dijejali dengan berbagai macam teori hukum, teori filsafat hukum, teori sosiologi hukum maupun berbagai macam praktek hukum yang dilakukan di dalam kampus. Akan tetapi mahasiswa tidak pernah diajarkan apa menjadi tolok ukur keberhasilan dari penegakan hukum. Mahasiswa fakultas hukum selalu dijejali dengan sesuatu yang sangat absttrak, yaitu kalau seseorang melakukan pelanggaran Undang-Undang ini, akan dihukum dengan hukuman seperti, begitu seterusnya. Seseorang yang melakukan wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum, orang tersebut dapat digugat di pengadilan. Begitu terus, dari semester awal kuliah sampai semester akhir bahkan sampai saat ujian skripsi. Namun mahasiswa tidak pernah diberikan pemahaman kenapa harus belajar hukum. Hampir semua mahasiswa hukum jika ditanyakan akan menjadi apa setelah lulus, tentu akan menjawab ingin menjadi aparat penegak hukum, baik itu hakim, jaksa, polisi maupun advokat, yang juga sudah diakui sebagai aparat penegak hukum. Pernahkah kita sebagai orang-orang yang berkecimpung di bidang hukum berpikir secara jernih, untuk apa ada penegakan hukum dan apa kriterianya penegakan hukum itu berhasil? Jika kita melihat fakta dan fenomena di Indonesia saat ini, makin banyak terjadi tindak kejahatan, makin banyak orang saling menggugat, semakin banyak orang yang melanggar hukum. Cobalah, sesekali kita tengok warga binaan penghuni Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) atau Rumah Tahanan Negara (RUTAN). Apakah mereka merupakan produk penegakan hukum? Kalau kita menjawab IYA, maka kita harus merasa miris hati, mengapa? Kita telah salah kaprah dalam mengartikan keberhasilan penegakan hukum, hanya melihat kuantitas atau jumlah orang yang dipenjara. Sudah saatnya kita mengubah paradigma memandang keberhasilan penegakan hukum yaitu menjadi TIDAK ADA ORANG YANG DIHUKUM. Apakah benar demikian? Harus disadari bahwa budaya hukum di Indonesia sangat rendah, sehari-hari kita bisa melihat bahwa orang dengan seenaknya mengendarai sepeda motor tanpa menggunakan helm, padahal menggunakan helm bertujuan mengurangi resiko jika terjadi kecelakaan. Kita juga bisa melihat dan merasakan bagaimana oknum-oknum pemerintahan yang mempersulit pelayanan padahal bisa dipermudah dengan dalih kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah. Masih banyak orang yang membuat perjanjian dengan memalsukan data demi keuntungan pribadi, dan masih banyak contoh lainnya. Sebagai orang hukum, kita harus bisa membuat orang memiliki rasa MALU jika harus berhadapan dengan hukum. Kita harus bisa menumbuhkan rasa malu kepada diri kita sendiri, kepada keluarga kita, kepada orang-orang terdekat kita, kepada teman-teman kita, kepada saudara sebangsa dan setanah air kita. Di beberapa negara yang sudah maju sistem hukumnya, contoh adalah Belanda dan Jerman, orang yang akan berperkara harus berpikir ulang karena menyangkut harga dirinya jika kalah di persidangan karena secara otomatis putusan pengadilan akan diumumkan secara terbuka sehingga setiap warga negara dapat memperhatikan siapa-siapa saja yang berperkara di pengadilan. Lalu, apa yang mereka lakukan? Pada umumnya, warga negara di Belanda maupun Jerman, akan selalu berhati-hati dalam bertindak apabila melakukan perbuatan yang berhubungan dengan hukum. Hal ini disebabkan pula seseorang yang berperkara di pengadilan turut mempengaruhi hak-haknya sebagai warga negara dan bahkan bisa dicabut haknya sebagai warga negara. Meskipun negara kita belum bisa memenuhi seluruh kebutuhan warga negaranya dan tidak bersinggungan langsung dengan hukum, akan tetapi kita bisa memulai untuk me numbuhkan budaya malu bila bertindak dalah dan tidak berhati-hati. Sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi musyawarah, tentunya tidak salah apabila musyawarah ini juga dikedepankan di dalam menyelesaiakan perkara khususnya perkara-perkara keperdataan. Dengan menumbuhkan budaya malu, setidaknya bisa menjadi rem penghambat terjadinya perbuatan yang melanggar hukum. Sehingga suatu saat nanti akan tercapai tujuan dari penegakan hukum, yaitu tidak ada lagi orang yang dihukum, karena semua orang sudah sadar hukum. SEMOGA.

SYAHNYA SEBUAH PERJANJIAN

Sebagian besar masyarakat Indonesia tentu masih banyak yang bertanya-tanya mengenai sahnya sebuah perjanjian. Sebenarnya hukum telah menentukan mengenai sahnya suatu perjanjian, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) atau di masa Kolonial disebut dengan BW (Burgerlijk Wetboek). Dalam pasal 1320 KUH Perdata tersebut, disebutkan, untuk sahnya persetujuan2 diperlukan empat syarat :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Penjelasan singkat atas 4 (empat) hal tersebut adalah sebagai berikut :
ad. 1. Ketentuan ini mensyarakatkan para pihak yang membuat perjanjian (dalam KUH Perdata) disebut sebagai persetujuan) harus saling sepakat, dengan kesadaran sendiri dan tidak ada paksaan dari pihak manapun untuk saling mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian. Apabila tidak dipenuhi salah satu unsur dari kesadaran sendiri maupun tidak ada paksaan dari pihak manapun, maka perjanjian batal demi hukum.
ad. 2. Para pembuat perjanjian haruslah orang cakap yaitu orang yang sudah dewasa, bukan kanak-kanak atau seseorang yang berada dalam pengampuan karena cacat mental dan sebab lainnya. Bagaimana dengan seorang istri yang akan membuat perjanjian dengan pihak lain? Maka secara hukum, istri tersebut harus mendapat ijin terlebih dahulu dari suaminya. Tanpa ijin dari suaminya maka sang istri dianggap tidak cakap untuk melakukan perjanjian. Apabila suatu perjanjian dilakukan oleh orang yang tidak cakap, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.
ad. 3. Perjanjian tersebut harus dibuat untuk sesuatu hal yang nyata yang dapat berupa barang maupun jasa, atau sesuatu yang dapat kita perkirakan bentuk dan harganya. Misalnya perjanjian pembangunan sebuah gedung, perjanjian pembangunan jalan raya, perjanjian pengangkutan barang (ekspedisi) dan lain sebagainya. Apabila perjanjian tersebut tidak menyebutkan apa yang diperjanjian maka secara hukum perjanjian tersebut batal demi hukum.
ad. 4. Perjanjian tersebut harus berdasarkan hal yang halal dan bukan berdasarkan hal yang dilarang oleh hukum. Perjanjian yang berdasarkan hal yang dilarang oleh hukum, misalkan perjanjian untuk menyediakan tempat berjudi, perjanjian untuk menjual minuman keras, perjanjian untuk menyediakan tempat prostitusi dan lain sebagainya. Apabila perjanjian tersebut didasarkan atas sebab yang tidak halal maka perjanjian menjadi batal demi hukum.
Demikian sekilas mengenai syahnya suatu perjanjian yang perlu kita pahami bersama sehingga kita semua menjadi lebih berhati-hati ketika kita melakukan atau membuat perjanjian dengan pihak lain.

Kecelakaan Lalu Lintas

    Ritual Mudik menjelang Hari Raya Idul Fitri telah tuntas dilakukan dengan berbagai variasinya. Masyarakat yang mudik dengan mengguna...