Selasa, 29 Maret 2022

Money Laundering (Pencucian Uang)

 Money Laundering (Pencucian Uang)


Sebagai sebuah istilah, tentu sudah sangat dikenal, namun seacra praktek, belum tentu dikenal dengan baik. Secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut (secara poin per poin) :
1. Saya pelaku tindak pidana jual beli narkotika lintas negara;
2. Pasti saya mendapatkan uang dalam jumlah yang besar;
3. Ketika menyimpan uang dalam jumlah besar, saya bingung mau disimpan dimana?
4. Terlintas pemikiran :
a. Untuk menitipkan uang tersebut kepada orang lain;
b. Membeli barang seperti property atau kendaraan atas nama orang lain;
c. Membeli saham atau reksa dana yang kemudian saya jual lagi dengan promosi harga murah dan menguntungkan;
d. Memberi hadiah kepada orang lain;
e. Disimpan di Bank di luar negeri yang menjamin keamanan pemiliknya, seperti di Swiss, Singapura, Kepulauan Bahama dan lain sebagainya;
f. Disimpan di tumpukan tembok rumah atau membuat ruang rahasia di dalam rumah;
g. Tindakan lainnya yang bisa mengaburkan tindak pidana yang saya lakukan;
Dari beberapa hal yang disebutkan di atas, bisa dilakukan secara kolektif maupun satu per satu. Dan, hal-hal tersebut saat ini sedang marak terjadi di Indonesia. Banyak pelaku bisnis yang dikenal sebagai crazy rich yang ternyata merupakan kepanjangan tangan dari perilaku tindak pidana, baik yang dilakukannya sendiri maupun dilakukan oleh orang lain.
Bagi masyarakat awam, harus berhati-hati dalam hal :
1. Berinvestasi, cek dan teliti terlebih dahulu penyedia saham atau reksa dana yang menawarkan atau cek penawaran segala bentuk investasi yang ditawarkan, minimal izin operasionalnya dan kesehatan keuangannya;
2. Menerima uang dalam jumlah yang tidak wajar dan tidak jelas asal usulnya meskipun dari orang yang kita kenal atau dari saudara kita sendiri;
3. Mendapat pemberian barang yang harganya sangat tidak wajar atau sangat mahal bagi kita dengan tujuan apapun, harus kita cek asal muasal dari barang tersebut;
Yang paling utama adalah kita harus segera melaporkan kepada pihak yang berwajib, ketika kita mendapati hal-hal sebagaimana telah disebutkan di atas, karena bukan tidak mungkin ketika kita tidak melaporkan, kita justru akan menjadi salah satu pelaku tindak kejahatan, setidaknya sebagai turut serta melakukan tindak pidana.

Rabu, 23 Maret 2022

MEMALSUKAN SURAT (Bagian 10)

MEMALSUKAN SURAT (Bagian 10)


Pada bagian akhir pembahasan mengenai perihal memalsukan surat, maka kita akan membahas pasal 276 KUH Pidana, yang menyebutkan sebagai berikut :
"Pada waktu menjatuhkan hukuman karena kejahatan yang diterangkan dalam pasal 263 - 268, maka dapat dijatuhkan hukuam pencabutan hak yang tersebut dalam pasal 35 Nomor 1 - 4."
Kemudian, apa yang diatur dalam pasal 35 Nomor 1 - 4 KUH Pidana? Dalam pasal 35 menyebutkan :
(1) Hak si tersalah, yang boleh dicabut dengan keputusan hakim dalam hal yang ditentukan dalam undang-undang dalam kitab undang-undang ini atau dalam undang-undang umum yang lain, adalah :
1. Hak menjabat segala jabatan atau jabatan yang ditentukan;
2. Hak masuk pada kekuasaan bersenjara (balatentara), lihat ketentuan pasal 92 ayat (3) KUH Pidana;
3. Hak memilih dan dipilih pada pemilihan yang dilakukan menurut undang-undang umum;
4. Hak menjadi penasihat atau penguasa alamat (wali yang diakui say oleh Negara) dan menjadi wali, menjadi wali pengawas-awas, menjadi curator atau menjadi curator pengawas-awas, atas orang lain daipada anaknya sendiri;
5. Kuasa bapak, kuasa nwali dan penjagaan (curatele) atas anak sendiri (lihat pasal 37 dan pasal 91 KUH Pidana);
6. Hak melakikan pekerjaan yang ditentukan (lihat ketentuan pasal 227 KUH Pidana);
(2) Hakim tidak berkuasa akan memecat seorang pegawai dari jabatanya, apabila dalam undang-undang umum telah ditunjuk pembesar lain yang semata-mata berkuasa untuk melakukan emecatan (lihat ketentuan pasal 36, pasal 82 dan pasal 227 KUH Pidana).
Dari ketentuan pasal 276 tersebut dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut :
1. Bahwa hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan sebagaimana tercantum dalam pasal 35 Nomor 1-4 KUH Pidana, selain pidana pokok;
2. Penjatuhan pidana tambahan didasarkan pada fakta yang terungkap selama persidangan.
Demikian penjelasan pasal demi pasal dalam hal Memalsukan Surat sebagaimana diatur di dalam KUH Pidana. Mohon maaf apabila terdapat hal yang tidak berkenan dalam penyampaiannya, semoga bermanfaat. (TAMAT).

Selasa, 22 Maret 2022

MEMALSUKAN SURAT (Bagian 9)

 MEMALSUKAN SURAT (Bagian 9)


Pembahasan selanjutnya mengenai Pemalsuan Surat sebagaimana diatur dalam KUH Pidana adalah dalam ketentuan pasal 275 KUH Pidana, yang menyebutkan :
(1) Barangsiapa menyediakan bahan-bahan atau perkakas-perkakas yang diketahuinya bahwa hal itu digunakan untuk mekukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 264 Nomor 2-5 KUH Pidana, dihukum penjara selama-lamanya 9 (sembilan) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,00 (empat ribu lima ratus rupiah);
(2) Bahan atau perkakas itu harus dirampas (lihat ketentuan pasal 10, pasal 39, pasal 165, pasal 250 dan pasal 261 KUH Pidana).
Dari ketentuan pasal 275 KUH Pidana ini dapat dijelaskan secara singkat bahwa :
1. Menyediakan atau menyimpan alat2-alat yang diduga bisa digunakan untuk melakukan tindak pidana memalsukan surat, dihukum dengan pasal ini. Sebagai contoh membuat dan menyimpan kop surat palsu atau cap palsu dan sejenisnya;
2. Menyimpan untuk digunakan oleh si pemakai masuk pula dalam ketentuan pasal ini;
3. Perampasan barang bukti merupakan hal yang bersifat imperatif (gabungan) dan bukan bersifat fakultatif (pilihan) dari pidana yang dijatuhkan. (BERSAMBUNG).

Senin, 21 Maret 2022

MEMALSUKAN SURAT (Bagian 8)

 MEMALSUKAN SURAT (Bagian 8)


Melanjutkan pembahasan tentang Memalsukan Surat, maka ada 2 (dua) pasal yang dihapuskan, yaitu pasal 272 KUH Pidana dan pasal 273 KUH Pidana (dihapuskan dengan Staatblad 1926 No. 359 jo. No. 429). Selanjutnya kita akan membahas ketentuan pasal 274 KUH Pidana, yang menyebutkan :
(1) Barangsiapa yang membuat palsu atau memalsukan surat keterangan pegawai negeri sipil yang menjalankan kekuasaan yang sah tentang hak milik atas sesuatu barang, dengan maksud akan memudahkan penjualan atau pengadaan barang itu atau dengan maksud akan memperdayakan pegawai kehakiman atau polisi tentang asalnya barang itu, dihukum penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun;
(2) Dengan hukuman serupa itu juga dihukum barangsiapa dengan maksud yang serupa menggunakan surat keterangan palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah surat ituasli dan tidak dipalsukan (lihat ketentuan pasal 61 ayat (2) KUH Pidana dan pasal 486 KUH Pidana).
Dari ketentuan pasal 274 KUH Pidana tersebut, maka dapat diterangkan secara singkat sebagai berikut :
1. Surat Keterangan yang dibuat palsu atau yang dipalsukan dalam pasal ini ialah terdiri dari keterangan yang dalam prakteknya banyak diberikan oleh para pegawai pamongpraja, termasuk pula para pamongdesa, kepada penduduk yang akan membawa keluar atau menjual barang-barangnya untuk menyatakan bahwa barang-barang itu betul-betul milik orang tersebut. Pemberian surat keterangan semacam itu tidak berdasar atas suatu peraturan undang-undang, akan tetapi oleh masyarakat Indonesia ternyata dipandang perlu, guna menghindarkan penahanan barang-barang itu oleh polisi karena disangka asal dari kejahatan (pencurian). Demikian pula karena tidak adanya kantor pernyataan tanah yang mendaftarkan pemindahan hak milik bangsa Indonesia terhadap barang-barang yang tetap seperti tanah, maka biasanya kepala-kepala desa memberikan surat-surat yang menerangkan siapa orang yang berhak atas sebidang tanah, hal mana sesuai dengan keterangan tersebut di atas dipalsukan dapat dihukum menurut pasal ini;
2. Pemalsuan surat keterangan semacam ini biasanya dilakukan dalam praktek untuk memudahkan penjualan barang-barang yang asalnya gelap atau dari kejahatan;
3. Pasal ini pada sejarahnya diberlaukan karena pada saat adanya KUH Pidana di sekitar tahun 1819 belum ada Notaris atau PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) yang sudah tersebar seperti saat ini, maka untuk mengatasi adanya jual beli sebidang tanah atau bangunan, harus menyertakan surat keterangan dari pihak berwenang yaitu pamongpraja atau pegawai negeri dari instansi yang berwenang atau dari pamong desa atau kepala desa maupun perangkat desa yang berwenang membuatnya;
4. Untuk saat ini, terhadap barang-barang yang diduga hasil dari kejahatan yang kemudian dijual lagi, masih belum ada pengaturannya akan tetapi terhadap barang-barang yang diduga hasil kejahatan dan sudah diproses secara pidana tindak kejahatannya, maka terhadap barang-barang tersebut yang mempunayi nilai ekonomis, dapat dijual secara lelang setelah ada putusan yang tetap (inkracht) dari pengadilan. (BERSAMBUNG).

Kecelakaan Lalu Lintas

    Ritual Mudik menjelang Hari Raya Idul Fitri telah tuntas dilakukan dengan berbagai variasinya. Masyarakat yang mudik dengan mengguna...