Kamis, 15 Desember 2022

SELAYANG PANDANG UUPA

  

SELAYANG PANDANG UUPA

 

Merupakan suatu prestasi besar bahwa bangsa Indonesia mampu membuat sebuah Undang-Undang yang cukup krusial yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang diundnagkan dalam Lembaran Negara Nomor 104 Tahun 1960. Kita mengenal undang-undang tersebut dengan sebutan Undang-Undnag Pokok Agraria (UUPA).

Harus diakui bahwa sebelum adanya UUPA, tata kelola pertanahan di Indonesia masih carut marut. Hal ini dikarenakan masih digunakannya hukum perdata peninggalan pemerintah kolonial Belanda sebagai dasar tata kelola pertanahan di Indonesia.

Meskipun belum sempurna, namun nyatanya hadirnya UUPA telah merubah cara pandang pengelolaan pertanahan di Indonesia, salah satu diantaranya adalah diakuinya Hak Ulayat yang merupakan hukum asli dan tumbuh serta berkembang di beberapa wilayah Indonesia. Masih banyak tanah-tanah di daerah yang dikelola secara adat dan masih diakui keberadaannya sebagai bagian dari hukum nasional Indonesia.

Pertanyaannya adalah, apakah dengan terbitnya UUPA akan langsung menyelesaikan semua masalah yang berkaitan dengan pertanahan di Indonesia? Sebuah pertanyaan yang harus menjadi pemikiran kita bersama mengingat bahwa persoalan pertanahan sangat komplek dan bisa dikatakan sangat kusut bagaikan benang yang saling terikat dan sangat sulit untuk diuraikan dalam waktu yang singkat.

Kebutuhan akan tanah tidak hanya dirasakan oleh masyarakat tetapi juga oleh Pemerintah dalam rangka melaksanakan pembangunan yang juga sangat membutuhkan penyediaan lahan baik untuk sektor pertanian, industri, pertambangan dan sektor-sektor lainnya yang muaranya adalah bisa menghasilkan devisa yang berguna bagi pembangunan bangsa dan negara. Keadaan ini tentu saja sangat disadari oleh Pemerintah, bahkan keadaan ini juga dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu yang akan menggunakannya hanya untuk kepentingan ekonomis pribadi dan golongannya saja.

Setiap orang sebagai bagian dari warga negara Indonesia, mempunyai hak untuk memiliki tanah dan mempunyai dasar hukum kepemilikannya, oleh karena itu, sangat diharuskan bahwa setiap orang yang memiliki tanah agar mendaftarkan tanah miliknya tersebut sehingga bisa memiliki dasar hukum kepemilikan yang kuat, yang ditandai dalam bentuk Sertifikat Hak Milik (SHM). Sedangkan bagi kalangan pengusaha dapat mengelola dan mengolah sebidang tanah dan bangunan yang ada di atasnya dengan dasar hukum yang kuat dalam bentuk Sertifikat Hak Guna Usaha (SHGU) dan apabila dalam bentuk lahan pertanian atau perkebunan atau kehutanan, penguasaannya dalam bentuk Sertifikat Hak Pakai (SHP). SHP ini di lapangan sering dijabarkan dalam bentuk Hak Pengelolaan Hutan (HPH) dan hak-hak sejenisnya.

Yang sering terjadi adalah ketika seorang pengusaha atau sekelompok pengusaha mengajukan permohonan Sertifikat Hak Pakai, petugas pendaftaran tanah dari Kantor Pertanahan setempat sering tidak melakukan pengecekan ke daerah yang dimohonkan. Hal inin banyak terjadi di wilayah-wilayah yang belum memiliki data pertanahan yang lengkap dan tercatat secara baik. Oleh sebab itu, sering terdengar terjadi keributan perebutan lahan antara anggota masyarakat, bahkan terkadang melibatkan masyarakat adat setempat, dengan pihak pengusaha, yang masing-masing berpegang pada pendiriannya, yaitu pihak pengusaha menyatakan sudah mempunyai Sertifikat Hak Pakai sedangkan masyarakat berpegang pada prinsip bahwa tanah tersebut merupakan tanah adat dan tidak diperjualbelikan.

Satu hal yang sering dilupakan oleh masyarakat adalah, di dalam UUPA mempunyai prinsip bahwa setiap tanah mempunyai fungsi sosial.  Apa artinya? Tanah mempunyai fungsi sosial artinya bahwa setiap tanah harus diserahkan ketika kebutuhan sosial dalam suatu wilayah membuthkan tanah tersebut. Contoh kebutuhan sosial antara lain, lahan untuk pemakaman umum, lahan pembangunan jalan, lahan untuk pembangunan tempat ibadah, lahan untuk pembangunan pasar dan lain sebagainya, termasuk diantaranya adalah lahan yang dibutuhkan untuk membuat hutan industri yaitu lahan yang ditanami dengan pohon-pohon yang dapat digunakan sebagai pendukung industri, seperti pohon untuk bahan pembuatan kertas, lahan yang digunakan untuk pembangunan pabrik dan lain-lain yang hasilnya bisa digunakan untuk masyarakat di sekitar lahan tersebut.

Permasalahannya adalah, meskipun tanah mempunyai fungsi sosial, apakah harus selalu diserahkan secara sukarela atau ada penggantiannya? Dalam beberapa kasus, penyerahan tanah untuk kepentingan sosial dilakukan secara sukarela, misalnya untuk lahan pemakaman tetapi banyak kasus yang lahan tersebut diserahkan dengan mendapatkan penggantian sesuai Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) dari masing-masing tanah tersebut. Saat ini sering digunakan istrilah ganti untung untuk penggantian lahan yang akan digunakan sebagai sarana sosial, bukan lagi ganti rugi.

Darimana kita mengetahui NJOP dari suatu tanah? Untuk menjawabnya, ada lagi pertanyaannya yaitu pernahkah kita melihat dan membaca Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan (SPPT) dari tanah yang kita miliki yang harus kita bayar setiap tahun? Di dalam SPPT atas tanah tersebut kita bisa melihat berapa NJOP dari tanah yang kita miliki, sehingga kita bisa memperhitungkan berapa harga tanah yang kita miliki jika kita akan menjual tanah tersebut.

Demikian kiranya selayang pandang tentang UUPA yang apabila kita akan mempelajarinya secara lengkap setidaknya membutuhkan kuliah selama 2 (dua) semester. Namun setidaknya dari tulisan ini dapat memberikan sedikit pencerahan tentang apa itu UUPA dan permasalahan yang sering dihadapi.

 

Rabu, 14 Desember 2022

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Baru

 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Baru

Berkenaan dengan disyahkannya Rancangan Undang-Undang mengenai KUH Pidana menjadi Undang-Undang, maka ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan, yaitu :
1) KUH Pidana tersebut baru akan berlaku pada tahun 2025;
2) UU mengenai KUH Pidana tersebut baru berlaku apabila UU tersebut sudah diundangkan di dalam Lembaran Negara yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara;
3) Selama KUH Pidana yang baru belum diberlakukan, maka yang berlaku adalah KUH Pidana yang sudah ada yang merupakan peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda yang diadopsi dalam UU Nomor 1 Tahun 1946;
4) Segala ketentuan di dalam KUH Pidana yang baru, hanya dapat diajukan Uji Materiil ke Mahkamah Konstitusi sejak diundangkan dalam Lembaran Negara;
Demikian kiranya yang dapat disampaikan berkaitan dengan KUH Pidana yang baru, semoga dapat dipahami.

KEJAHATAN TERHADAP KETERTIBAN UMUM (Bagian 10)

 KEJAHATAN TERHADAP KETERTIBAN UMUM (Bagian 10)

 

 

Pembahasan selanjutnya mengenai kejahatan terhadap ketertiban umum adalah ketentuan dalam Pasal 163 KUH Pidana yang menyebutkan:

(1)  Barangsiapa dengan salah satu daya upaya yang tersebut di dalam pasal 55 di angka 2 membujuk orang lain akan melakukan kejahatan dan jika kejahatan itu atau percobaannya yang dapat dihukum tidak dihukum tidak terjadi, dihukum penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,00 (empat ribu lima ratus rupiah) akan tetapi tidak boleh sekali-kali dijatuhkan hukuman yang lebih berat daripada yang dapat dijatuhkan lantaran percobaan melakukan kejahatan itu atau jika percobaan itu tidak dapat dihukum,lantaran kejahatan itu sendiri;

(2)   Aturan itu tidak berlaku baginya, jika kejahatan atau percobaan akan itu yang dapat dihukum, tidak dihukum, tidak terjadi lantaran hal-hal yang tergantung pada kemauannya sendiri. (Lihat ketentuan pasal 53 KUH Pidana).

 

Dari ketentuan Pasal 163 KUH Pidana ini dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut :

1.    Menurut ketentuan Pasal 55 ayat (1) sub 2 KUH Pidana, maka dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana termasuk pula orang yang dengan pemberian dan sebagainya, sengaja membujuk (uitlokking) untuk melakukan suatu peristiwa pidana;

2.    Dalam hal ini orang yang membujuk itu hanya dapat dihukum, apabila orang yang dibujuk tadi sudah melakukan peristiwa pidana atau sdikit-dikitnya telah melakukan percobaan yang dapat dihukum. Jika belum, tidak dapat dihukum menurut pasal ini;

3.    Akan tetapi dengan ketentuan pasal 163 KUH Pidana ini, maka pembujuk dapat pula dihukum, meskipun orang yang dibujuk itu belum juga melakukan peristiwa pidana atau percobaan yang dapat dihukum. Jadi boleh dihukum “Percobaan yang tidak berhasil” (mislukte uitlokking);

4.    Untuk dapat dihukummenurut pasal 163 KUH Pidna, maka pembujuk dalam membujuknya harus betul-betul memakai alat-alat yang tersebut dalam pasal 55 ayat (1) sub 2 KUH Pidana, alat-alat lain tidak diperkenankan;

5.    Pembujuk tidak dapat dihukum, apabila tidak jadinya orang yang dibujuk melakukan peristiwa pidana atau percobaan, yang dapat dihukum itu karena hal-hal yang terletak dalam kemauan pembujuk itu sendiri, misalnya ia (pembujuk) menarik kembali bujukannya, menghalang-halangi pelaksnaanya dan lain sebagainya;

6.    Ketentuan mengenai denda adalah sebagaimana diatur dalam PERMA Nomor 12 Tahun 2012. (BERSAMBUNG).

 

 

 

 

Selasa, 06 Desember 2022

Persidangan

 Monggo....jangan lupa LIKE, SUBSCRIBE, COMMENT dan SHARE....



https://youtu.be/3nL8kp2ukAI

Hak Ingkar

 Monggo...jangan lupa LIKE, SUBSCRIBE, COMMENT dan SHARE....



https://youtu.be/ML9y_MVeNd8

Rabu, 30 November 2022

KEJAHATAN TERHADAP KETERTIBAN UMUM (Bagian 9)

 KEJAHATAN TERHADAP KETERTIBAN UMUM (Bagian 9)

 

Pasal berikutnya dalam hal kejahatan terhadap ketertiban umum adalah pasal 161 bis (tambahan), namun karena pasal ini telah dicabut dengan UU Nomor 1 Tahun 1946), maka selanjutnya akan dibahas mengenai ketentuan Pasal 162, yang menyebutkan sebagai berikut:

 

            Barangsiapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menyggupkan akan memberikan kesempatan atau daya upaya untuk melakukan sesuatu peristiwa pidana, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 9 (sembilan) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,00 (empat ribu lima ratus rupiah);

 

Ketentuan pasal ini dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut :

1)    Dalam pasal ini orang yang menyanggupkan akan memberi atau menaawarkan (aanbieden) keterangan, kesempatan atau daya upaya untuk melakukan sesuatu peristiwa pidana, sudah dapat dihukum, apabila penawaran itu, baik dengan lisan atau tulisan, dilakukan di muka umum, sedangkan dalam hal ini membantu melakukan medeplicthigheid) tersebut dalam Pasal 56 agar supaya orang itu dapat dihukum sebagai pembantu (medeplichtig), ia harus memberikan (tidak hanya menawarkan) keterangan atau sebagainya;

2)    Pun pasal ini mengatakan peristiwa pidana (kejahatan dan pelanggaran), sedangkan Pasal 56 hanya kejahatan saja;

3)    Arti di muka umum adalah di tempat umum dan ada orang banyak, saat ini bisa diartikan dengan menggunakan media sosial maupun media oline sebagaimana yang kita miliki saat ini;

4)    Ketentuan mengenai denda tetap mengacu kepada ketentuan dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 12 Tahun 2012. (BERSAMBUNG).

Rabu, 23 November 2022

KEJAHATAN TERHADAP KETERTIBAN UMUM (Bagian 8)

 KEJAHATAN TERHADAP KETERTIBAN UMUM (Bagian 8)

 

 

Pasal selanjutnya di dalam pembahasan tentang kejahatan erhadap ketertiban umum adalah pasal 160 KUH Pidana yang menyebutkan :

“Barangsiapa di muka umum dengan lisan atau dengan tulisan menghasut supaya melakukan sesuatu perbuatan yang dapat dihukum, melawan pada kekuasaan umum dengan kekerasan atau supaya jangan menurut peraturan perundang-undangan atau perintah yang sah yang diberikan menurut peraturan perundang-undangan, dihukum penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,00 (empat ribu lima ratus rupiah).” Lihat ketentuan pasal 5 ayat (1) KUH Pidana, pasal 55 ayat (2) KUH Pidana, pasal 124 ayat (5) KUH Pidana, pasal 126 ayat (2) huruf e KUH Pidana, pasal 153 bis huruf s KUH Pidana, pasal 161 KUH Pidana, pasal 236 huruf e KUH Pidana dan pasal 461 KUH Pidana.

 

Dari ketentuan pasal 160 KUH Pidana dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut :

1)   Yang dimaksud dengan MENGHASUT adalah mendorong, mengajak, membangkitkan atau membakar semangat orang untuk berbuat sesuatu, akan tetapi BUKAN MEMAKSA;

2)   Perbuatan menghasut bisa dilakukan dengan kata-kata yang bersifat membujuk atau dengan kata-kata yang penuh tipu daya sehingga orang lain percaya dengan yang kita katakan;

3)   Perbuatan menghasut tersebut dapat dilakukan secara lisan maupun dengan tulisan dan saat ini bisa dilakukan melalui media sosial atau media online lainnya sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 yang merupakan Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;

4)   Tujuan menghasut adalah :

a)    Supaya dilakukan suatu peristiwa (pelanggaran atau kejahatan) yang diancam dengan hukuman;

b)    Supaya melawan kekuasaan umum (termasuk di dalamnya adalah kekuasaan Pemerintah) dengan kekerasan;

c)    Supaya melanggar ketentuan perundang-undangan yang ada;

d)    Menolak perintah yang sah yang diberikan berdasarkan undang-undang;

e)    Menghasut tersebut dilakukan secara sadar akan kemungkinan yang bisa terjadi akibat hasutan tersebut;

5)   Saat ini banyak terjadi beredarnya video maupun foto yang bersifat menghina simbol-simbol negara dan harus diingat bahwa berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 yang merupakan Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, perbuatan membuat, mengedarkan maupun menonton tanpa segera melaporkan konten-konten tersebut dapat dipidana.

6)   Perihal pidana denda, tetap mengacu kepada Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2012; (BERSAMBUNG).

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...