Minggu, 01 Desember 2019

Negara Yang Abai

Ternyata menjadi pejabat negara di negeri ini tidak secara otomatis menjadikan pejabat negara tersebut terjamin keamanan dan keselamatannya. Belum hilang dari ingatan, peristiwa penusukan mantan Menkopolhukam, Bapak Wiranto, beberapa waktu yang lalu, saat ini kita dikejutkan lagi dengan ditemukannya seorang Hakim yang bernama Bapak Jamalludin dalam keadaan tidak bernyawa di dalam sebuah mobil di sebuah perkebunan di wilayah Kota Medan, Sumatera Utara.
Dua kejadian yang cukup miris yang seharusnya tidak perlu terjadi, mengingat sebagai pejabat negara, tentunya yang dipahami oleh masyarakat awam, adalah adanya pengawalan yang (sangat) ketat. Namun pada kenyataannya, terlihat begitu longgarnya pengamanan terhadap seorang pejabat negara. Terlepas dari siapa pelakunya dan apa motif perbuatannya, namun pelaku kejahatan terhadap pejabat negara sudah seharusnya bisa diantisipasi sebelumnya. Tentunya dengan catatan bahwa pengamanan dan pengawalan terhadap pejabat negara sudah dilakukan secara optimal.
Negara harus segera berbenah, sebab sebagai pejabat negara tentu akan bersinggungan dengan banyak pihak, banyak kepentingan yang pasti akan membawa dampak timbulnya rasa hormat, rasa segan atau bahkan rasa benci. Timbulnya rasa tersebut adalah wajar, mengingat sudut pandang setiap orang adalah berbeda-beda, namun yang harus diingat, bahwa menjadi seorang pejabat negara membawa konsekuensi Negara harus memberikan perlindungan, pengawalan dan pengamanan yang optimal demi berjalannya secara lancar tugas-tugas perjabat negara tersebut.
Sekali lagi kita harus mengingatkan bahwa Negara telah abai terhadap keamanan pejabat negaranya. Tentunya hal ini akan membawa pertanyaan bagi masyarakat, bagaimana negara bisa melindungi warga negaranya, sedangkan melindungi pejabat negaranya, yang nota bene jumlah jauh lebih sedikit dari jumlah warga negara saja tidak mampu? Sebuah pertanyaan yang cukup menohok bagi kita semua, namun bisa menjadi tonggak perubahan bagi paradigma pelaksanaan pengamanan dan perlindungan bagi masyarakat pada umumnya dan pada pejabat negara pada khususnya. Semua pihak harus melakukan introspeksi supaya semua sadar bahwa apabila hal ini tidak diperbaiki sesegera mungkin, maka keamanan dan kenyamanan hidup kita akan terancam. Semoga hal ini menjadi perhatian kita semua. SEMOGA.

Selasa, 19 November 2019

E-Court dan E-Litigation

Dengan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2018, Mahkamah Agung bermaksud untuk mempermudah para pencari keadilan untuk beracara secara keperdataan di persidangan di pengadilan. 
Selama ini proses persidangan perkara perdata di pengadilan benar-benar membuat frustasi para pencari keadilan, Sidang yang berlarut-larut, calo perkara yang berkeliaran bebas, ruang sidang yang sempit dan berbagai masalah akan ditemukan dalam persidangan dipengadilan di masa lampau.
Saat ini Mahkamah Agung berusaha untu memudahkan para pencari keadilan, salah satu caranya adalah bersidang secara daring (online), pertanyaannya mungkinkah itu? Secara teori hukum, memang belum ada yang bisa menjawabnya, khusus untuk hukum Indonesia. Secara teori, persidangan harus dilakukan di ruang sidang di gedung Pengadilan, khusus untuk perkara Perdata, dimulai sejak dibacakannya surat gugatan/permohonan sampai dengan dijatuhkannya putusan.
Hal inilah yang dicoba untuk diputus rantai prosedurnya, setidaknya tidak semua proses persidangan dilakukan di ruang sidang. Dengan E-Court, para pencari keadilan dapat mendafarkan surat gugatan/permohonannya melalui sistem daring (online), tentu dengan syarat bahwa para pencari keadilan tersebut atau kuasanya memiliki email yang khusus digunakan untuk berperkara di pengadilan. Kemudian pada tahap sidang pertama, Majelis Hakim akan menawarkan kepada pihak Tergugat untuk berpekara melalui E-Court, yaitu proses jawab jinawab dilakukan melalui email (hal ini hanya berlaku sampai dengan akhir tahun 2019), apabila pihak Tergugat tidak setuju maka sidang dilanjutkan secara manual yaitu dilakukan di ruang sidang, namun apabila Tergugat setuju, maka proses jawab jinawab dilakukan melalui email (sejak awal tahun 2020, semua persidangan perdata dilakukan secara daring/online). Hal ini yang disebut sebagai E-Litigation atau persidangan secara daring/online, bahkan sampai tahap penjatuhan putusan.
Diharapkan dengan E-Court dan E-Litigation, akan memotong proses birokrasi persidangan dan juga memotong biaya perkara, khususnya yang sering dikeluhkan oleh para pencari keadilan, bahwa persidangan sering berlarut-larut, sehingga para pihak harus membayar biaya perjalanan dari tempat tinggalnya ke kantor pengadilan dengan biaya yang cukup besar. Disamping itu, juga untuk menghilangkan kebiasaan berperkara melalui calo-calo perkara yang seringkali tidak bertanggung jawab dan justru merugikan para pencari keadilan itu sendiri.
Berhasil tidaknya E-Court maupun E-Litigation sangat bergantung pada aparat pengadilan itu sendiri disamping dukungan masyarakat yang optimal, sehingga ke depannya bisa diharapkan adanya lembaga peradilan yang benar-benar bersih dari praktek-praktek menyimpang yang merugikan para pencari keadilan. SEMOGA.

Senin, 11 November 2019

Waspada Lingkungan Saat Musim Hujan

Musim hujan mulai mendatangi kita di beberapa wilayah Indonesia. Meskipun masih ada wilayah yang mengalami bencana kekeringan, namun, sudah banyak wilayah yang sudah dibasahi oleh air hujan.
Menjadi kewaspadaan kita semua, bahwa seringkali kita abai terhadap kebersihan lingkungan di sekitar kita. Adakah diantara kita yang sudah membersihkan selokan atau saluran air di sekitar rumah kita? Atau adakah diantara kita yang sudah ikut serta dalam upaya penanaman pohon di lingkungan kita? Atau adakah diantara kita yang sudah turut menjaga lingkungan dengan tidak menebang pohon? Atau tidak membakar lahan? Di saat musim kemarau keabaian kita mungkin tidak akan menjadi seseuatu bencana, khusus terhadap pembakaran hutan dan lahan, bisa menyebabkan bencana asap, namun apabila hal-hal yang sudah disebutkan di atas tidak kita lakukan di saat musim hujan beum datang, maka niscaya akan menjadi bencana di musim hujan.
Sudah tidak terhitung lagi nilai kerugian yang diderita warga masyarakat akibat bencana banjir. Namun kiranya hal tersebut belum bisa menyadarkan kita bahwa kita ikut bertanggungjawab atas terhindarnya bencana banjir di saat musim hujan.
Menjadi tugas kita bersama untuk saling mengingatkan bahwa ada bahaya besar mengancam ketika musim hujan sudah datang dan kerugian yang diderita tidak hanya kerugian yang bersifat materiil namun juga bisa mengakibatkan korban jiwa, Meskipun tanggung jawab untuk menyiapkan sarana dan prasarana menghadapi musim hujan ada di tangan Pemerintah Daerah (Pemda) setempat, namun tetap menjadi tugas kita bersama untuk tetap mengingatkan kesiapan Pemda supaya bisa terhindar dari bahaya banjir dan efek sampingan lainnya,
Bencana adalah menjadi tanggung jawab kita bersama.

HOMO HOMINI LUPUS

Homo Homini Lupus
Secara harfiah dapat diartikan sebagai "Manusia adalah serigala bagi manusia yang lain." Benarkah demikian? Mari kita ulas secara singkat. Istilah ini diperkenalkan oleh filusuf Yunani yang bernama PLAUTUS pada tahun 195 SM (Sebelum Masehi), kemudian dipopulerkan oleh THOMAS HOBBES, untuk menggambarkan betapa sebenarnya sangat sengit persaingan diantara manusia yang satu dengan yang lain.
Mau contoh yang ada di sekitar kita? Gampang, sebentar lagi akan dibuka pendaftaran Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) untuk berbagai instansi Pemerintah. Dari pendaftaran tersebut akan terlihat bagaimana jumlah yang akan diterima sangat berbanding terbalik dengan jumlah yang mendaftar. Itu baru contoh yang sangat mudah terlihat, bagaimana manusia yang satu akan bersaing (secara sehat) dengan manusia yang lain untuk mendapatkan pekerjaan yang diidamkan.
Bagaimana dengan contoh yang lain? Dalam dunia klenik terkenal istilah "Cinta ditolak dukun bertindak." Sebuah ungkapan bahwa segala daya upaya akan diupayakan oleh manusia untuk mendapatkan cinta yang diharapkan.
Masih banyak lagi bentuk persaingan antar manusia yang satu dengan manusia yang lain. Bahkan seringkali benar-benar seperti serigala yang tidak segan untuk saling bunuh demi tercapainya keinginan yang diharapkan.
Banyak contoh perkara pembunuhan disebabkan karena persaingan usaha dagang, persaingan mendapatkan pasangan hidup dan sebab-sebab lainnya. Hal ini membuktikan bahwa istilah tersebut ada di tahun 195 SM namun masih relevan hingga saat ini dan mungkin akan tetap relevan hingga dunia ini berakhir riwayatnya. Lalu apa yang harus kita lakukan supaya tidak terjebak dalam tindakan yang termasuk sebagai istilah ini? Tentunya kita harus bisa mawas diri selain kita harus tetap meningkatkan kualitas pengetahuan kita. Selain itu kita juga harus bisa membaur dengan masyarakat di sekitar kita. Nenek moyang kita selalu mengatakan "Kita junjung langit dimanapun kita tinggal." Istilah ini mempunyai arti yang sangat mendalam, yaitu kita harus bisa menerima dan menghormati budaya, tata cara hidup dan kebiasaan (positif) yang hidup dalam lingkungan masyarakat di sekitar kita. Apabila hal ini dilakukan, maka kita akan menjadi manusia yang penuh toleransi dalam menghadapi setiap perbedaan di sekitar kita. Dengan tingginya toleransi tentu setidaknya bisa menurunkan "tensi" sifat keserigalaan kita terhadap orang lain. Sekalipun harus bersaing maka kita bersaing secara sehat berdasarkan keilmuan yang kita miliki dan kita siap menerima apabila kita "kalah."
Harus dipahami bahwa tantangan bagi bangsa Indonesia sangatlah besar di masa yang akan datang. Pasar bebas ASEAN akan mulai berlaku tahun 2020 belum lagi pasar bebas ASIA maupun Dunia. SIapkah sumber daya manusia kita? Persaingan akan semakin ketat dan kita harus menyiapkan segalanya dari saat ini, meskipun terlambat akan tetapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali mempersiapkan kekuatan kita dalam menghadapi pasar bebas tersebut. Namun setidaknya kita harus mempunyai keyakinan bahwa kita mempunyai kemampuan dalam menghadapi pasar bebas. Kalaupun kita harus menjadi serigala, kita harus menjadi serigala yang lebih kuat dari serigala yang datang dari luar negara kita.
Demikian uraian singkat tentang istilah HOMO HOMINI LUPUS, sebagai tambahan pengetahuan bagi kita bersama. SEMOGA.

Kamis, 02 Mei 2019

Ketentuan Pasal 419 ayat (1) dan Pasal 420 KUHP (Bagian II)

Tidak dapat dipungkiri bahwa Tindak Pidana Korupsi sudah menjadi WABAH PENYAKIT sejak masa Kolonial Belanda. Walaupun mungkin, jumlah perkara tipikor tidak sebanyak perkara tipikor saat ini. Oleh sebab itu, pengaturan pemidanaan terhadap perkara tipikor tidak dibuat secara khusus dan tetap tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan tidak pula dibentuk lembaga otonom yang mempunyai kekuasaan yang besar untuk melakukan penyidikan dan penuntutan perkara tipikor.
Hal ini memang memerlukan kajian yang lebih mendalam, apakah memang perkara tipikor HANYA merupakan perkara pidana biasa atau pidana khusus. Dan juga perlu ada kajian terhadap perlunya ada lembaga otonom dalam penindakan tindak pidana korupsi.
Dalam perjalanan sejarahnya, penindakan korupsi di era setelah kemerdekaan memang sangat panjang. Pemerintah sempat mengadakan operasi khusus pemberantasan korupsi yang dikenal dengan nama OPERASI BUDHY di sekitar akhir tahun 1960an, yang kemudian dilanjutkan dengan pembentukan beberapa lembaga anti korupsi dan saat ini telah ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dengan pembentukan berbagai lembaga anti korupsi tersebut, apakah perkara tipikor menjadi berkurang? Perlu ada kajian ilmiah untuk menjawabnya, sebab saat ini justru semakin banyak perkara korupsi yang terungkap, atau korupsi-korupsi tersebut tidak akan terungkap di masa lalu?
Salah satu penyebab tipikor adalah POLA HIDUP HEDONIS, apa itu? Secara singkat pola hidup hedonis adalah pola hidup yang mengandalkan harta sebagai tolok penilaian terhadap seseorang. Seorang akan dianggap bermartabat apabila PUNYA HARTA. Hal inilah yang harus diubah sebab dengan perubahan pola pikir ini (barangkali) akan membuat perkara tipikor akan berkurang.
Kembali kepada pengaturan mengenai perkara tipikor, sebenarnya cukup diatur di dalam KUHP dengan mengadopsi ketentuan Undang-Undang Tipikor yang sudah ada. Dan yang lebih penting adalah penguatan lembaga penegak hukum yang ada. Bersihkan dahulu lembaga penegak hukum baik itu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan bahkan Lembaga Pemasyarakatan dari perilaku koruptif. Sebab dengan menjadi bersih, maka lembaga-lembaga penegak hukum tersebut bisa menjadi ujung tombak pemberantasan tipikor. Lalu, bagaimana posisi KPK? Adanya baiknya lembaga ini melebur kembali ke dalam lembaga penegak hukum yang sudah ada atau menjadi lembaga penasihat kepresidenan khusus dalam hal penindakan tipikor dengan kewenangan pro justitial untuk MENCIDUK aparat-aparat penegak hukum yang masih berperilaku koruptif.
Semua ini hanya dapat dilakukan apabila seluruh penegak hukum sudah bersinergi dan satu kata dalam penindakan perkara tipikor. Tanpa ada sinergitas dan satu kata dalam penindakan perkara tipikor, tidak akan terwujud.

Ketentuan Pasal 419 ayat (1) dan Pasal 420 KUHP

Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tetang Pemberantasan Korupsi yang beberapa kali diperbaharui sampai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, khusus perihal SUAP (PASSIVE OMKOPING), sebenarnya telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu di dalam ketentuan Pasal 419 ayat (1) dan Pasal 420 KUHP. 
Ketentuan Pasal 419 ayat (1) KUHP tersebut menyebutkan :
"Dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun, dihukum pegawai negeri :
a. Yang menerima pemberian atau perjanjian, sedang diketahuinya bahwa pemberian atau perjanjian itu diberikan kepadanya untuk membujuknya supaya dalam jabatannya melakukan atau mengalpakan sesuatu apa yang berlawanan dengan kewajibannya;
b. Yang menerima pemberian, sedang diketahuinya bahwa pemberian itu diberikan kepadanya oleh karena atau berhubungan dengan apa yang telah dilakukan atau dialpakan dalam jabatannya yang berlawanan dengan kewajibannya". Penjelasan singkat pasal ini adalah Pegawai Negeri yang dimaksud adalah termasuk juga Aparatur Kepolisian dan Kejaksaan.
Sedangkan ketentuan Pasal 420 KUHP menyebutkan :
"Dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun, dihukum :
a. Hakim yang menerima pemberian atau perjanjian, sedang diketahuinya, bahwa pemberian atau perjanjian itu diberikan kepadanya untuk mempengaruhi keputusan suatu perkara yang diserahkan pada pertimbangannya;
b. Barangsiapa yang menurut peraturan perundang-undangan ditunjuk sebagai pembicara atau penasihat untuk menghadiri sidang pengadilan yang menerima atau perjanjian, sedang ia tahu bahwa hadiah atau perjanjian itu diberikan kepadanya untuk mempengaruhi pertimbangan atau pendapatnya tentang perkara yang harus diputuskan oleh pengadilan tersebut";
Ketentuan Pasal 420 ayat (2) KUHP menyebutkan :
"Jika pemberian atau perjanjian itu diterima dengan keinsyafan, bahwa pemberian atau perjanjian itu diberikan kepadanya supaya mendapatkan suatu penghukuman dalam perkara pidana maka si tersalah dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun".
Penjelasan singkat atas Pasal 420 ayat (1) dan (2) KUHP adalah pasal ini dikhususkan kepada HAKIM dan ADVOKAT (dahulu disebut Pengacara).
Dari kedua ketentuan tersebut, sebenarnya kita bisa melihat bagaimana pandangan pembuat undang-undang di masa kolonial Belanda yang sudah bisa memperkirakan bahwa suatu saat nanti ketentuan undang-undang ini dapat diberlakukan. Sebagai catatan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan turunan dari Wetboek van Strafrecht (WvS) yang berlaku di Belanda dan mulai diberlakukan di Indonesia sejak tahun 1918.

Jumat, 22 Februari 2019

Problematika Hakim (karir) PHI

Menyidangkan suatu perkara bagi seorang hakim (pengadilan negeri) adalah hal yang sudah menjadi tugasnya sehari-hari. Baik perkara pidana maupun perdata. Akan tetapi ketika seorang hakim dihadapkan pada perkara pada pengadilan hubungan industrial (phi), terutama bagi hakim karir, mulai banyak ditemui banyak kendala. Salah satu yang mendasar adalah terdapat begitu banyak peraturan perburuhan di Indonesia belum lagi peraturan dari organisasi buruh internasional (ILO) baik yang sudah diratifikasi mauun yang belum diratifikasi.
Akan terlihat terdapat missing link dari pendidikan calon sarjana hukum di Indonesia. Sangat sedikit atau bahkan nyaris tidak ada mata kuliah mengenai hukum perburuhan yang bisa membekali secara cukup pengetahuan bagi para calon sarjana hukum di Indonesia. Kalaupun ada mata kuliah hukum perburuhan, biasanya hanya berkisar antara 2 - 4 SKS selama mahasiswa hukum berkuliah.
Hal ini seharusnya menjadi perhatian bagi para pemangku kepentingan pendidikan hukum di Indonesia. Masih banyak hal yang harus dipelajari dan dipahami dari hukum perburuhan khususnya dalam kaitan pengadilan hubungan industrial (phi). Tanpa ada perbaikan kurikulum hukum perburuhan maka sarjana hukum Indonesia akan semakin tertinggal dalam hal hukum perburuhan. Semoga ke depan kurikulum hukum perburuhan bagi mahasiswa hukum menjadi lebih baik lagi mengingat saat ini buruh telah menjadi komponen penting dari pembangunan nasional.

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...