Senin, 18 November 2013

CATATAN TENTANG KORUPSI



KORUPSI LEBIH BERBAHAYA DARI TERORISME

oleh : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH


PENDAHULUAN
            Sebuah judul yang barangkali bersifat EKSTREM bagi bangsa-bangsa di dunia, terutama bagi bangsa Indonesia, yang selama kurang lebih 11 (sebelas) tahun ini terkungkung dengan masalah TERORISME. Judul demikian sudah tentu akan memicu banyak perbedaan pendapat diantara kita semua, sebab bagaimanapun secara kasat mata TERORISME telah merenggut banyak korban jiwa, baik itu dari warga Negara Indonesia (WNI) maupun warga Negara Asing (WNA). Sudah tidak terhitung pula berapa banyak korban luka-luka baik yang luka ringan maupun yang luka berat permanent, belum lagi korban secara psikis, yang menderita secara moril akibat perbuatan TERORISME yang menghentak kita semua.
            Kesadaran akan TERORISME, membuat kita bertindak sigap dan cepat dengan membentuk DENSUS 88, yang mempunyai segudang KEWENANGAN, bahkan untuk MEMBUNUH, sekalipun tanpa adanya Putusan Pengadilan. Kewenangan itulah yang juga membuat TAKUT sebagian kalangan, sebab bukan tidak mungkin akan menimbulkan penyimpangan-penyimpangan di dalam pelaksanaannya.
            Hal yang berbeda kita lihat pada upaya pemberantasan KORUPSI, dimana kita lihat setiap hari bukan bertambah kurang, tetapi malah semakin menggurita di dalam setiap tata kehidupan bermasyarakat. Bahkan dalam berita-berita di media-media elektronik maupun media online, semakin terpapar dengan jelas sepak terjang para pelaku Tindak Pidana Korupsi.
            Berbagai cara melakukan KORUPSI dipertontonkan secara gamblang dari setiap berita tentang KORUPSI, beserta Tindak Pidana Turunannya, yaitu Tindak Pidana Pencucian Uang. Sehingga bisa kita saksikan dengan jelas perilaku Tindak Pidana Korupsi dari berbagai kalangan, baik itu birokrat, pejabat negara ataupun kalangan swasta. Hal demikian yang seharusnya menimbulkan kesadaran bagi kita semua untuk terus melakukan PEMBERANTASAN KORUPSI dengan sepenuh hati sehingga nantinya tidak menimbulkan kerugian bagi bangsa Indonesia dan bisa menumbuhkan rasa bangga bagi masyrarakat Indonesia karena telah berhasil menuntaskan pemberantasan korupsi di Indonesia.

APAKAH KORUPSI ITU ?
            Secara gambalng, KPK dalam bukunya yang berjudul MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI, Buku Panduan Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, Diterbitkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Tahun 2006, pada halaman 15 menyebutkan bahwa "Menurut perspektif hukum, definisi korupsi telah secara gamblang dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam 30 (tiga puluh) bentuk / jenis tindak pidana korupsi."  Ketiga puluh jenis KORUPSI tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi beberapa, yaitu :
Kerugian Keuangan Negara ;
Suap menyuap ;
Penggelapan dalam Jabatan ;
Pemerasan ;
Perbuatan curang ;
Benturan kepentingan dalam pengadaan ;
Gratifikasi ;
Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat, dan merusak, jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat keadaan yang busuk, jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, sera penempatan kelurga atau golongan kedalam kedinasan di bawah kekusaan jabatannya.
Prof.DR.H.Baharuddin Lopa, SH, dalam bukunya Undang-Undang Penberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 3 Tahun 1971) Berikut Pembahasan serta Penerapannya Dalam Praktek, menyebutkan bahwa, menurut A.S. Hornby, mengatakan bahwa KORUPSI (CORRUPTION) ialah, "The offering and accepting of bribes (penawaran/pemberian dan penerimaan hadiah berupa suap)".
Sedangkan David M. Chelmer, menguraikan KORUPSI, dalam berbagai bidang sebagaimana dikemukakan sebagai berikut, "Financial manipulations dan decisions injurious to the economy are often corrupt (manipulasi-manipulasi dan keputusan-keputusan mengenai keuangan yang membahayakan perekonomian sering dikategorikan perbuatan korupsi)".
Djoko Prakoso, SH, mengatakan bahwa istilah KORUPSI pertama kali menjadi istilah hukum ada salam Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi, yang dalam konsiderannya menyebutkan, "Bahwa berhubung tidak adanya kelancaran dalam usaha-usaha memberantas perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara yang oleh khalayak ramai dinamakan korupsi, perlu segera menetapkan suatu tata kerja untuk dapat menerobos kemacetan dalam usaha korupsi."
Dari pengertian-pengertian sebagaimana tersebut di atas, maka suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai KORUPSI, adalah apabila perbuatan tersebut menyebabkan kerugian KEUANGAN dan PEREKONOMIAN NEGARA.

KORUPSI DAN KEUANGAN NEGARA
Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, pengertian tentang KORUPSI telah tercantum dalam Pasal 2 dan Pasal 3. Dalam Pasal 2 menyebutkan :
 (1)ÿÿÿÿÿÿ Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2)   Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.
      Dari ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, menyebutkan tentang KEUANGAN NEGARA, lalu apakah yang dimaksudkan dengan KEUANGAN NEGARA ?
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyebutkan, "Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut." Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 menyebutkan bahwa, "Kelemahan perundang-undangan dalam bidang keuangan negara menjadi salah satu penyebab terjadinya beberapa bentuk penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara. Dalam upaya menghilangkan penyimpangan tersebut dan mewujudkan system pengelolaan fiskal yang berkesinambungan (sustainable) sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar dan asas-asas umum yang berlaku secara universal dalam penyelenggaraan pemerintahan negara diperlukan suatu undang-undang yang mengatur pengelolaan keuangan negara."
Dari penjelasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tersebut, terungkap bahwa Pemerintah telah menyadari bahwa di dalam pengelolaan Keuangan Daerah sering menimbulkan bentuk-bentuk penyimpangan, sehingga diperlukan adanya suatu perangkat perundang-undangan yang mampu mengatur lebih ketat mengenai peruntukkan Keuangan Negara ini.Segala bentuk penyimpangan penggunaan Keuangan Negara akan berakibat pada timbulnya KERUGIAN pada Keuangan Negara, sehingga hal tersebut akan menimbulkan KORUPSI.
Pada tahun 1967 dengan keluarnya Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi, telah membuktikan bahwa sesungguhnya Pemerintah telah mempunyai komitmen yang kuat di dalam MENYELAMATKAN KEUANGAN NEGARA. Tidak dipungkiri bahwa perilaku menyimpang terhadap penggunaan Keuangan Negara telah ada sejak jaman kemerdekaan, akan tetapi dengan semakin berkembangnya tekhnologi, sehingga saat ini masyarakat semakin mengetahui cara-cara pelaku KORUPSI bertindak.
PEMBERANTASAN KORUPSI DI MASA LAMPAU
I. Kabinet Djuanda
Di masa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada Paran inilah semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Mudah ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup pada saat itu adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin pertanggungjawaban secara langsung kepada Presiden, formulir itu tidak diserahkan kepada Paran, tapi langsung kepada Presiden. Diimbuhi dengan kekacauan politik, Paran berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda.
II. Operasi Budhi
Pada 1963, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kasab, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi.
Lagi-lagi alasan politis menyebabkan kemandekan, seperti Direktur Utama Pertamina yang tugas ke luar negeri dan direksi lainnya menolak karena belum ada surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektivitas lembaga ini. Operasi ini juga berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan negara kurang-lebih Rp 11 miliar. Operasi Budhi ini dihentikan dengan pengumuman pembubarannya oleh Soebandrio, kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) dengan Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Bohari pada tahun 2001 mencatatkan bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini, pemberantasan korupsi pada masa Orde Lamapun kembali masuk ke jalur lambat, bahkan macet.
SUBJEK DELIK KORUPSI ADALAH ORANG DAN KORPORASI
      Dalam Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi, disebutkan bahwa disebut KORUPSI, apabila :
Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga, baik untuk kepentingan diri sendiri atau kepentingan orang lain, atau untuk kepentingan suatu badan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan kerugian bagi keuangan atau perekonomian negara ;
Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah ataupun dari suatu badan atau daerah yang dengan mempergunakan kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh jabatan, langsung maupun tidak langsung membawa keuntungan keuangan atau materiil baginya ;
Dari hal tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pada awal pengaturan mengenai Tindak Pidana Korupsi, yang menjadi SUBJEK hanya ORANG, sedangkan KORPORASI belum ada pengaturannya. Kemudian pada tahun 1960 keluarlaah Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Hal tersebut dipertegas dengan keluarnya Peraturan Presiden Nomor 228 Tahun 1967 isinya adalah membentuk Team Pemberantasan Korupsi (TPK) yang bertugas membantu pemerintah dalam memberantas perbuatan Korupsi secepat-cepatnya dan setertib-tertibnya. Team ini mempunyai tugas :
1.    Mengadakan penelitian dan penilaian terhadap kebijaksanaan dan hasil-hasil yang telah dicapai dalam pemberantasan Korupsi ;
2.    Memberikan pertimbangan kepada Pemerintah mengenai kebijaksanaan yang masih diperlukan dalam pemberantasan Korupsi ;
Dalam perkembangannya, diterbitkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasa Tindak Pidana Korupsi, yang isinya mengikuti hukum pidana umum (KUHP) yang menetapkan dalam Pasal 59, yaitu sebagai berikut :
"Dalam hal-hal yang hukuman ditentukan karena pelanggaran terhadap para Pengurus, para Anggota suatu Badan Pengurus atau Komisaris, tiada dijatuhkan hukuman atas Pengurus atau Komisaris jika ternyata bahwa ia turut campur dalam melakukan pelanggaran itu."
            Sehingga dari ketentuan tersebut, dapat diambil kesimpulan, bahwa dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, selain ORANG, maka KORPORASI, juga dapat dijatuhi pidana apabila terbukti melakukan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 1 ayat (1) sub d Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 menyebutkan :
"Barangsiapa memberi hadiah atau janji kepada Pegawai Negeri seperti dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau sesuatu wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu."
Lebih lanjut, di dalam Pasal 1 ayat (1) sub a dan b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 terdapat UNSUR LANGSUNG atau TIDAK LANGSUNG merugikan keuangan Negara dan/atau perekonomian Negara, hal ini bermakna bahwaa dalam STRICT LIABILITY (UNSUR LANGSUNG) ialah konsep yang tidak memerlukan pembuktian adanya sengaja dan alpa pembuat delik, yang menurut A.Z. Abidin, menyebutkan ada 3 alasan diterima STRICT LIABILITY, yaitu :
Esensial untuk menjamin bahwa peraturan hukum yang penting tertentu demi kesejahteraan masyarakat harus ditaati ;
Pembuktian MENS REA (sikap batin si pembuat) terhadap delik-delik serupa sangat sulit ;
Suatu tingkat tinggi "bahaya sosial" dapat membenarkan penafsiran suatu delik yang menyangkut STRICT LIABILITY ;
Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 menyebut "BADAN" atau "BADAN HUKUM", akan tetapi BADAN atau BADAN HUKUM disini bukanlah sebagai PENANGGUNG JAWAB PIDANA melainkan sebagai "Pihak yang diperkaya atau diuntungkan oleh delik Korupsi (sesuai Pasal 1 ayat (1) sub a dan b UU No.3 Tahun 1971), sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, menjadikan KORPORASI sebagai SUBJEK DELIK.
Pasal 1 sub 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 memberi arti korporasi sebagai berikut :
"Kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum."
Dari uraian-uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sebenarnya Pemerintah telah mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang telah mengatur secara komprehensif tentang Tindak Pidana Korupsi. Segala hal yang memungkinkan terjadinya penyimpangan penggunaan keuangan Negara yang bisa menimbulkan KORUPSI, seharusnya sudah dapat dicegah sebelum tindak pidana tersebut dilakukan baik oleh orang per orang maupun oleh korporasi ;
KPK, LEMBAGA SUPER POWER
            Pada tahun 2000, kita semua mulai terhenyak dengan kenyataan bahwa telah nyata begitu banyak penyimpangan penggunaan anggaran yang menyebabkan adanya KERUGIAN KEUANGAN NEGARA. Hal tersebut tidak lepas dari adanya GERAKAN REFORMASI yang dipelopori oleh para mahasiswa.
            Reformasi tersebut, membawa banyak perubahan positif, diantaranya adalah dibentuklah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Untuk mewujudkan Aparatur Penyelengara Negara yang Bersih dan Bebas KKN itulah, kemudian dibentuklah PERATURAN PEMERINTAH RI No. 19 Tahun 2000 Tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.  
            Sejak tahun 2003, untuk lebih mengintentifkan upaya-upaya pemberantasan Korupsi di Indonesia, maka dibentuklah Lembaga Baru yaitu KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI, berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempunyai tugas-tugas sebagai berikut :
1.    Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
2.    Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
3.    Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
4.    Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
5.    Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Sedangkan dalam melaksanakan tugas koordinasi, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenangÿ:
1.    Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
2.    Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
3.    Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
4.    Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
5.    Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
Dengan kewenangan yang begitu besar, membuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi LEMBAGA SUPER POWER, yang mampu menerobos segala macam "PENGHALANG" di dalam upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia. Meski demikian, Komisi Pemberantasan Korupsi tetap memiliki KODE ETIK dalam pelaksanaan tugasnya. Kode Etik tersebut bertujuan untuk :
1.    Menjaga martabat, kehormatan, citra dan kredibilitas Komisi ;
2.    Menghindarkan segala benturan kepentingan Pegawai Komisi ;
3.    Mewujudkan Indonesia Bebas dari Korupsi ;
4.    Sebagai Penggerak Perubahan untuk mewujudkan Bangsa yang Anti Korupsi ;
KORUPSI MUSUH BERSAMA
            Dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, maka telah ada niat dari bangsa Indonesia untuk melakukan Pemberantasan Korupsi. Akan tetapi harus ada kesepahaman bersama dari seluruh unsur bangsa Indonesia, bahwa KORUPSI adalah MUSUH BERSAMA.
            Tidak dapat dipungkiri, bahwa kegiatan TERORISME dapat "MEMBUNUH" ratusan bahkan ribuan orang, akan tetapi KORUPSI yang menggurita, yang melanda segala aspek kehidupan, dapat menghacurkan peradaban suatu bangsa di dunia. Dapat dibayangkan apabila setengah dari Anggaran Perbendaharaan dan Belanja Negara (APBN) yang seharusnya diserap untuk pembangunan tetapi kemudian menguap akibat KORUPSI, maka bisa menghancurkan perekonomian Negara dan menyebabkan terputusnya rantai pembangunan Negara kita.
            Sudah saatnya kita semua bergandengan tangan untuk saling mengingatkan, saling mencegah timbulnya Tindak Pidana Korupsi di lingkungan kehidupan kita. Bukan tidak mungkin, Korupsi timbul dari perilaku kita yang tidak disipilin dalam penggunaan waktu, kemudian menjadi tidak disiplin dalam pekerjaan dan lain sebagainya.
            Bagaimanapun hebatnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), akan tetapi apabila diri kita sendiri tidak mencegah terjadinya Korupsi, maka jangan banyak berharap Negeri kita akan bebas dari penyakit Korupsi. Prof Satjipto Rahadjo mengatakan bahwa, " Pembangunan dan modernisasi dapat dimasukkan ke dalam suatu kelompok pengertian, yaitu sebagai suatu bentuk kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk membawa masyarakat kepada perubahan yang direncanakan atau dikehendaki." Dari pendapat Prof. Satjipto Rahadjo tersebut, dapat kita simpulkan bahwa kita sendiri sebagai penggerak dari pembangunan dan modernisasi, sehingga keberlangsungan dan kesinambungan pembangunan menjadi tugas dan tanggung jawab kita bersama, termasuk di dalamnya adalah perbuatan-perbuatan yang dapat menghambat pembangunan itu sendiri, seperti Tindak Pidana Korupsi.
KESIMPULAN
            Dari pemaparan sebagaimana  tersebut di atas, maka dapatlah kita ambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
Tindak Pidana Korupsi telah ada sejak berdirinya Republik ini, dan telah menjadi musuh bersama bagi bangsa Indonesia ;
Segala bentuk peraturan perundang-undangan maupun Lembaga Pemberantasan Korupsi hanyalah sebagai alat dan sarana untuk mencegah dan memberantas Tindak Pidana Korupsi ;
Kita semua memiliki tanggung jawab bersama untuk mencegah terjadinya Tindak Pidan Korupsi dan seandainya telah terjadi Tindak Pidana Korupsi, maka menjadi tugas kita pula untuk melakukan pemberantasannya.
Pembangunan Negara kita tidak boleh terhambat dengan adanya Korupsi, karena itu Korupsi harulah menjadi musuh bersama bagi bangsa Indonesia.



     




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kecelakaan Lalu Lintas

    Ritual Mudik menjelang Hari Raya Idul Fitri telah tuntas dilakukan dengan berbagai variasinya. Masyarakat yang mudik dengan mengguna...