Kamis, 29 Juni 2023

Lagi, RUU Perampasan Aset Menjadi Pertanyaan Publik

 


 

 

            Ketika kita membicarakan mengenai Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), maka tidk akan terlepas dari aset yang dimilki oleh para pelaku Tipikor tersebut. Disadari maupun tidak, perilaku Tipikor akan berujung pada pengumpulan aset dalam berbagai bentuk dan jumlah, baik dalam bentuk yang terlihat, misalnya dalam bentuk tanah maupun bangunan ataupun bentuk yang tidak terlihat seperti surat berharga, perhiasan, tabungan, deposito maupun bentuk lainnya.

            Pertanyaannya adalah apakah kita sebagai warga negara cukup mendapatkan informasi mengenai daftar harta kekayaan yang dimilki oleh pejabat publik sebagaimana tercantum dalam Laporan Hasil Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) ataupun dalam Laporan Hasil Kekayaan Aparat Sipil Negara (LHASN) yang rutin dilaporkan setiap tahun? Dengan banyaknya jumlah pejabat negara di negara kita, tentu sangat sulit untuk memeriksa secara terperinci setiap LHKPN yang dilaporkan, apalagi terhadap Aparatur Sipil Negara (ASN) yang jumlahnya jauh lebih banyak.

            Dalam jangka panjang perlu dipikirkan adanya lembaga khusus yang akan memeriksa secara terperinci LHKPN dan LHASN yang dilaporkan setiap tahun. Hal ini perlu dilakukan sebab selama ini tugas memeriksa LHKPN dan LHASN diserahkan sepenuhnya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang juga disibukkan dengan tugas pokoknya, melakukan pemberantasan korupsi. Dengan adanya lembaga baru tersebut kiranya dapat bersinergi dengan aparat penegak hukum, baik Kepolisian, Kejaksaan maupun KPK, sehingga hasil pemeriksaan LHKPN dan LHASN bisa benar-benar mencerminkan fakta yang sebenarnya dari kekayaan pejabat negara maupun ASN di Indonesia.

            Akan tetapi dalam jangka pendek, yang harus segera dilakukan adalah pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset yang sudah dibuat dan diserahkan kepada Dewan Perwakiln Rakyat (DPR) lebih dari dua dasa warsa. Menjadi suatu pertanyaan besar, mengapa pihak legislatif tidak berkenan untuk segera membahasnya dan menjadikan RUU Perampasan Aset tersebut menjadi Undang-Undang (UU) Perampasan Aset?

            Meskipun harus diakui bahwa dalam pembahasan sebuah RUU tentu ada kepentingan yang bermain di dalamnya yang berujung pangkal pada masalah keuangan maupun fasilitas yang bisa didapatkan setelah sebuah RUU berubah menjadi UU. Keadaan ini tentu menjadi suatu penghalang bagi sebuah RUU yang bertujuan untuk menegakan suatu usaha pemberantasan Tipikor. Khusus dalam hal pembahasan RUU Perampasan Aset, dapat diduga bahwa ada pihak-pihak di pihak legislatif yang menjadi bagian dari Tipikor, apalagi RUU terbeut sudah lebih dari dua dasa warsa tidak dilakukan pembahasan.

            Tugas kita sebagai warga negara yang baik, kita harus bisa mendorong pihak legislatf untuk segera melakukan pembahasan terhadap RUU Perampasan Aset dan apabila pihak legislatif tidak berkenan untuk segera membahasnya, maka apa yang menjadi kekhawatiran kita memang benar adanya. Hal ini disebabkan karena pelaku Tipikor lebih takut dimiskinkan daripada dipenjara. Kenapa demikian? Karena apabila hanya dipenjara dan membayar jumlah kerugian negara maka ketika sudah masih masa pemidanaannya, pelaku Tipikor masih bisa menikmati harta miliknya untuk berbagai kepentingan, termasuk untuk mencalonkan diri menjadi calon anggota legislatif. Namun ketika pelaku Tipikor tersebut dimiskinkan, maka selepas menjalani masa pemidanaan, pelaku Tipikor tersebut tidak akan mungkin bisa berbuat sesuka hatinya dengan harta yang dimilikinya karena statusnya sudah menjadi milik negara.

            Semoga, tulisan singkat ini bisa menjadi inspirasi bagi kita semua untuk terus mendorong pembahasan RUU Perampasan Aset sehingga bisa menjadi UU Perampasan Aset. Hal ini demi terciptanya Indonesia yang bebas dari korupsi dan tindak pidana turunannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kecelakaan Lalu Lintas

    Ritual Mudik menjelang Hari Raya Idul Fitri telah tuntas dilakukan dengan berbagai variasinya. Masyarakat yang mudik dengan mengguna...