Kamis, 06 Desember 2018

KELUARGA SADAR HUKUM (KADARKUM)

Sedikit kita bernostalgia di masa Orde Baru, salah satu kebijakan di masa Orde Baru di bidang hukum di tahun 1980-1990an adalah diadakannya kegiatan Keluarga Sadar Hukum (KADARKUM). Kegiatan tersebut dilakukan per Desa/Kelurahan, per Kecamatan, per Kabupaten dan tingkat Nasional, yang kemudian dilakukan perlombaan sebagaimana kriteria tersebut. Meskipun dalam pelaksaanaannya, materi yang diberikan bersifat monoton, akan tetapi setidaknya memberikan pendidikan dan pelatihan singkat di bidang hukum supaya masyarakat bisa melek hukum. Ada nilai positif dari kegiatan tersebut yaitu masyarakat menjadi paham akan hukum dan masyarakat dididik untuk menjadi taat hukum, walaupun kita tidak menutup mata bahwa tingkat kejahatan pada masa itu juga cukup tinggi. Barangkali karena tingkat kejahatan yang cukup tinggi itulah yang menyebabkan diadakan kegiatan KADARKUM. Efek positif lainnya adalah masyarakat memiliki kegiatan berkumpul dan bermusyarawah sehingga bisa saling mengenal siapa tetangganya, apa ada warga yang pindah masuk atau pindah keluar dan bisa menjaga kerukunan antar warga. Serunya perlombaan KADARKUM juga menjadikan masyarakat menjadi terpacu untuk terus belajar dan menambah wawasan tentang hukum. Di masa itu Pengadilan Negeri memiliki minimal 1 (satu) Desa binaan per Kecamatan yang pembinaannya dilakukan oleh Staf Pengadilan Negeri baik itu Hakim maupun Panitera Pengganti. Sesekali kegiatan KADARKUM dilakukukan di Kantor Pengadilan Negeri, sehingga masyarakat bisa mengenal wujud Kantor Pengadilan Negeri dan mengenal personal-personal di dalamnya. Namun kegiatan KADARKUM berhenti setelah Indonesia memasuki masa Reformasi. Sampai saat inipun kegiatan KADARKUM masih dianggap kegiatan yang tidak mempunyai urgensi yang penting. Meskipun bukan menjadi tolok ukur, akan tetapi saat ini tingkat kejahatanpun lebih banyak dan lebih merata di semua wilayah dan semua sektor. Untuk itu, kiranya perlu menjadi bahan pemikiran kita semua bahwa perlu kiranya kita mengadakan kembali kegiatan KADARKUM tentu dalam bentuk yang lebih modern sehingga bisa menarik perhatian masyarakat. Hal ini perlu dilakukan demi menyadarkan kembali masyarakat akan hak dan kewajibannya di depan hukum sehingga bisa menjadisalah satu sarana pengendalian tindak kejahatan.

Selasa, 04 Desember 2018

KEBERHASILAN PENEGAKAN HUKUM

Sedari awal menjadi mahasiswa hukum, selalu dijejali dengan berbagai macam teori hukum, teori filsafat hukum, teori sosiologi hukum maupun berbagai macam praktek hukum yang dilakukan di dalam kampus. Akan tetapi mahasiswa tidak pernah diajarkan apa menjadi tolok ukur keberhasilan dari penegakan hukum. Mahasiswa fakultas hukum selalu dijejali dengan sesuatu yang sangat absttrak, yaitu kalau seseorang melakukan pelanggaran Undang-Undang ini, akan dihukum dengan hukuman seperti, begitu seterusnya. Seseorang yang melakukan wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum, orang tersebut dapat digugat di pengadilan. Begitu terus, dari semester awal kuliah sampai semester akhir bahkan sampai saat ujian skripsi. Namun mahasiswa tidak pernah diberikan pemahaman kenapa harus belajar hukum. Hampir semua mahasiswa hukum jika ditanyakan akan menjadi apa setelah lulus, tentu akan menjawab ingin menjadi aparat penegak hukum, baik itu hakim, jaksa, polisi maupun advokat, yang juga sudah diakui sebagai aparat penegak hukum. Pernahkah kita sebagai orang-orang yang berkecimpung di bidang hukum berpikir secara jernih, untuk apa ada penegakan hukum dan apa kriterianya penegakan hukum itu berhasil? Jika kita melihat fakta dan fenomena di Indonesia saat ini, makin banyak terjadi tindak kejahatan, makin banyak orang saling menggugat, semakin banyak orang yang melanggar hukum. Cobalah, sesekali kita tengok warga binaan penghuni Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) atau Rumah Tahanan Negara (RUTAN). Apakah mereka merupakan produk penegakan hukum? Kalau kita menjawab IYA, maka kita harus merasa miris hati, mengapa? Kita telah salah kaprah dalam mengartikan keberhasilan penegakan hukum, hanya melihat kuantitas atau jumlah orang yang dipenjara. Sudah saatnya kita mengubah paradigma memandang keberhasilan penegakan hukum yaitu menjadi TIDAK ADA ORANG YANG DIHUKUM. Apakah benar demikian? Harus disadari bahwa budaya hukum di Indonesia sangat rendah, sehari-hari kita bisa melihat bahwa orang dengan seenaknya mengendarai sepeda motor tanpa menggunakan helm, padahal menggunakan helm bertujuan mengurangi resiko jika terjadi kecelakaan. Kita juga bisa melihat dan merasakan bagaimana oknum-oknum pemerintahan yang mempersulit pelayanan padahal bisa dipermudah dengan dalih kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah. Masih banyak orang yang membuat perjanjian dengan memalsukan data demi keuntungan pribadi, dan masih banyak contoh lainnya. Sebagai orang hukum, kita harus bisa membuat orang memiliki rasa MALU jika harus berhadapan dengan hukum. Kita harus bisa menumbuhkan rasa malu kepada diri kita sendiri, kepada keluarga kita, kepada orang-orang terdekat kita, kepada teman-teman kita, kepada saudara sebangsa dan setanah air kita. Di beberapa negara yang sudah maju sistem hukumnya, contoh adalah Belanda dan Jerman, orang yang akan berperkara harus berpikir ulang karena menyangkut harga dirinya jika kalah di persidangan karena secara otomatis putusan pengadilan akan diumumkan secara terbuka sehingga setiap warga negara dapat memperhatikan siapa-siapa saja yang berperkara di pengadilan. Lalu, apa yang mereka lakukan? Pada umumnya, warga negara di Belanda maupun Jerman, akan selalu berhati-hati dalam bertindak apabila melakukan perbuatan yang berhubungan dengan hukum. Hal ini disebabkan pula seseorang yang berperkara di pengadilan turut mempengaruhi hak-haknya sebagai warga negara dan bahkan bisa dicabut haknya sebagai warga negara. Meskipun negara kita belum bisa memenuhi seluruh kebutuhan warga negaranya dan tidak bersinggungan langsung dengan hukum, akan tetapi kita bisa memulai untuk me numbuhkan budaya malu bila bertindak dalah dan tidak berhati-hati. Sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi musyawarah, tentunya tidak salah apabila musyawarah ini juga dikedepankan di dalam menyelesaiakan perkara khususnya perkara-perkara keperdataan. Dengan menumbuhkan budaya malu, setidaknya bisa menjadi rem penghambat terjadinya perbuatan yang melanggar hukum. Sehingga suatu saat nanti akan tercapai tujuan dari penegakan hukum, yaitu tidak ada lagi orang yang dihukum, karena semua orang sudah sadar hukum. SEMOGA.

SYAHNYA SEBUAH PERJANJIAN

Sebagian besar masyarakat Indonesia tentu masih banyak yang bertanya-tanya mengenai sahnya sebuah perjanjian. Sebenarnya hukum telah menentukan mengenai sahnya suatu perjanjian, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) atau di masa Kolonial disebut dengan BW (Burgerlijk Wetboek). Dalam pasal 1320 KUH Perdata tersebut, disebutkan, untuk sahnya persetujuan2 diperlukan empat syarat :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Penjelasan singkat atas 4 (empat) hal tersebut adalah sebagai berikut :
ad. 1. Ketentuan ini mensyarakatkan para pihak yang membuat perjanjian (dalam KUH Perdata) disebut sebagai persetujuan) harus saling sepakat, dengan kesadaran sendiri dan tidak ada paksaan dari pihak manapun untuk saling mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian. Apabila tidak dipenuhi salah satu unsur dari kesadaran sendiri maupun tidak ada paksaan dari pihak manapun, maka perjanjian batal demi hukum.
ad. 2. Para pembuat perjanjian haruslah orang cakap yaitu orang yang sudah dewasa, bukan kanak-kanak atau seseorang yang berada dalam pengampuan karena cacat mental dan sebab lainnya. Bagaimana dengan seorang istri yang akan membuat perjanjian dengan pihak lain? Maka secara hukum, istri tersebut harus mendapat ijin terlebih dahulu dari suaminya. Tanpa ijin dari suaminya maka sang istri dianggap tidak cakap untuk melakukan perjanjian. Apabila suatu perjanjian dilakukan oleh orang yang tidak cakap, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.
ad. 3. Perjanjian tersebut harus dibuat untuk sesuatu hal yang nyata yang dapat berupa barang maupun jasa, atau sesuatu yang dapat kita perkirakan bentuk dan harganya. Misalnya perjanjian pembangunan sebuah gedung, perjanjian pembangunan jalan raya, perjanjian pengangkutan barang (ekspedisi) dan lain sebagainya. Apabila perjanjian tersebut tidak menyebutkan apa yang diperjanjian maka secara hukum perjanjian tersebut batal demi hukum.
ad. 4. Perjanjian tersebut harus berdasarkan hal yang halal dan bukan berdasarkan hal yang dilarang oleh hukum. Perjanjian yang berdasarkan hal yang dilarang oleh hukum, misalkan perjanjian untuk menyediakan tempat berjudi, perjanjian untuk menjual minuman keras, perjanjian untuk menyediakan tempat prostitusi dan lain sebagainya. Apabila perjanjian tersebut didasarkan atas sebab yang tidak halal maka perjanjian menjadi batal demi hukum.
Demikian sekilas mengenai syahnya suatu perjanjian yang perlu kita pahami bersama sehingga kita semua menjadi lebih berhati-hati ketika kita melakukan atau membuat perjanjian dengan pihak lain.

Rabu, 28 November 2018

Pemenuhan Hak Anak

Sudahkah anak memberikan hak-hak Anak pada putera-puteri anda hari ini ? Karena sesungguhnya anak adalah anugerah dari Allah SWT yang harus kita jaga, kita rawat dan kita sayangi sepanjang hidupnya. Hak anakpun telah diatur di dalam peraturan perundangan di negara kita dan sudah seharusnya kita sebagai warga negara yang baik harus pula tunduk pada perintah Undang-Undang, sehingga kita tidak menjadi lalai dari kewajiban kita dalam memenuhi hak anak pada anak-anak kita. Sungguh kita akan diminta pertanggungjawaban, tidak hanya di muka hukum tetapi juga di hadapan Sang Khalik bila kita lupa akan kewajiban kita dalam pemenuhan hak anak.

Kamis, 15 November 2018

PERMOHONAN atau GUGATAN

Beracara keperdataan di Pengadilan (Negeri) seringkali membingungkan bagi masyarakat awam. Banyak hal yang tidak dipahami dalam hukum perdata dan memang harus diakui bahwa hukum perdata adalah hukum yang dibawa oleh Pemerintah Kolonial Belanda yang dikenalkan dan diterapkan di negeri-negeri yang menjadi daerah jajahannya, salah satunya di Indonesia. Harus dipahami bahwa ada 2 (dua) hal pokok yang ada dalam hukum acara perdata di Indonesia, yaitu PERMOHONAN dan GUGATAN. Kita harus paham terlebih dahulu mana yang akan kita gunakan dalam beracara perdata di pengadilan. Untuk itu, sedikit kita bedah satu persatu :
1. PERMOHONAN
- Acara keperdataan ini timbul ketika ada kepentingan pribadi kita secara keperdataan yang harus kita kita benahi atau kita perbaiki atau harus kita penuhi;
- Di dalam permohonan ini, yang beracara adalah diri kita sendiri;
- Tidak ada sengketa antara diri kita dengan pihak lain baik orang perorangan maupun dengan badan hukum;
- Contoh : Permohonan ganti nama, permohonan perubahan tanggal lahir, permohonan eksekusi atas sebuah putusan perdata dan lain sebagainya;
2. GUGATAN
- Acara keperdataan ini timbul karena adanya sengketa antara diri kita dengan pihak lain baik orang perorangan maupun dengan badan hukum;
- Sengketa tersebut menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil bagi diri kita;
- Upaya untuk menyelesaikan sengketa tersebut di luar pengadilan tidak membuahkan hasil;
- Sebagai upaya terakhir dalam menyelesaikan perkara keperdataan;
Demikian uraian singkat mengenai PERMOHONAN maupun GUGATAN yang seringkali masih rancu dan belum dipahami oleh masyarakat awam. Semoga bermanfaat.

Selasa, 13 November 2018

MEMALSUKAN SURAT-SURAT

Di dalam Kitab Undang-Undang sudah diatur di dalam Bab XII perihal MEMALSUKAN SURAT-SURAT yang diatur dalam pasal 263 s/d pasal 270. Dalam uraian ini akan diuraikan secara singkat mengenai ketentuan pasal 263 ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 263 ayat (1) : "Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian, dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun;"
Pasal 263 ayat (2) : "Dengan hukuman serupa itu juga dihukum, barangsiapa dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, kalau hal mempergunakan dapat mendatangkan sesuatu kerugian."
Dalam pasal 263 tersebut :
1. Yang diartikan dengan surat dalam bab ini ialah segala surat baik yang ditulis dengan tangan, dicetak, maupun ditulis memekai mesin tik dan lain-lainnya, termasuk diantaranya diketik menggunakan komputer;
2. Surat yang dipalsu harus sesuatu surat yang : a. Dapat menerbitkan suatu hak, (ijazah, karcis, tanda masuk dll), b. Dapat menerbitkan suatu perjanjian (surat perjanjian piutang, perjanian jual beli dll), c. Dapat menerbitkan suatu pembebasan utang (kuitansi dll), d. Suatu surat yang boleh dipergunakan sebagai surat keterangan bagi sesuatu perbuatan atau peristiwa (surat tanda kelahiran, buku tabungan, putusan pengadilan, obligasi dll);
3. Perbuatan yang diancam hukuman disini adalah MEMBUAT SURAT PALSU atau MEMALSUKAN SURAT. Yang dimaksud dengan MEMBUAT SURAT PALSU adalah membuat yang isinya bukan semestinya (tidak benar) atau membuat surat sedemikian rupa, sehingga menunjukkan asal surat itu yang tidak benar sedangkan yang dimaksud dengan MEMALSUKAN SURAT adalah mengubah surat sedemikian rupa sehingga isinya menjadi lain dari yang asli atau sehingga surat itu menjadi lain daripada yang asli, termasuk diantaranya adalah memalsukan tanda tangan;
4. Supaya dapat dihukum menurut pasal ini, maka pada waktu memalsukan surat itu harus dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat itu seolah-olah asli dan tidak dipalsu, jadi pemalsuan surat untuk kepentingan pelajaran, penyelidikan atau percobaan di laboratorium, tidak dapat dikenai pasal ini, misalkan pelajaran membuat surat dakwaan;
5. Penggunaan surat palsu itu harus mendatangkan kerugian, kata DAPAT maksudnya tidak perlu kerugian itu betul-betul sudah ada, baru kemungkinan saja akan adanya kerugian itu sudah cukup, yang diartikan dengan KERUGIAN disini tidak hanya meliputi kerugian materiil akan tetapi juga kerugian di lapangan kemasyarakatan, kesusilaan, kehormatan dll;
6. Yang dihukum menurut pasal jni tidak saja MEMALSUKAN tetapi juga SENGAJA MEMPERGUNAKAN surat palsu, sedangkan kata SENGAJA maksudnya adalah orang yang mempergunakan itu harus mengetahui benar bahwa surat yang ia gunakan itu PALSU, jika ia tidak mengetahui maka tidak dapat dihukum.

Rabu, 07 November 2018

Perbuatan Melawan Hukum (PMH) atau Cidera Janji (Wanprestasi)

Pada pokoknya, dasar untuk mengajukan gugatan perdata adalah didasarkan atas 2 (dua) hal yaitu Perbuatan Melawan Hukum (PMH / Onrechtmatiggedaad) dan Cidera Janji (Wanprestasi). Apa arti kedua istilah tersebut ? Tentunya akan sangat membingungkan bagi masyarakat umum untuk dapat memahaminya. Oleh karena itu, akan kami berikan penjelasan secara singkat mengenai pengertian kedua istilah tersebut.
1. PMH (Onrechtmatiggedaad), adalah istilah yang timbul atas perbuatan seseorang atau sekelompok orang atau suatu badan hukum sebagai subyek hukum yang dianggap telah melanggar hukum / UU sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Contoh gampang dari istilah ini adalah seseorang yang ingin mengambil buah mangga yang letak buah mangga tersebut cukup tinggi, sehingga orang tersebut berusaha mengambilnya dengan melempar baru ke arah buah tersebut, akan tetapi batu tersebut kemudian memecahkan kaca jendela sebuah rumah yang mengakibatkan pemilik rumah merasa dirugikan. Secara sederhana perkara tersebut dapat diselesaikan secara kekeluargaan akan tetapi apabila perkara tersebut dilanjutkan hingga diajukan gugatan di Pengadilan Negeri, maka gugatan yang diajukan tersebut didasarkan atas PMH orang yang melempar batu tersebut.Di dalam Buku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) hal ini diatur dalam pasal 1365, yang mewajibkan pihak yang dirugkan harus membuktikan kerugian yang dialaminya.
2. Cidera Janji (Wanprestasi), adalah istilah yang timbul atas perbuatan seseorang atau sekelompok orang atau badan hukum selaku subyek hukum yang diakibatkan adanya Perjanjian Tertulis dengan pihak lain untuk memenuhi sesuatu hak atau kewajiban.Jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban atas perjanjian tertulis yang dilakukannya. Jadi baik kelalaian maupun kesengajaan tidak memenuhi isi perjanjian akan berakibat adanya gugatan keperdataan dari pihak yang merasa dirugikan.
Meski demikian, gugatan haruslah dibuktikan di persidangan dengan bukti surat maupun bukti saksi, baik saksi fakta maupun ahli.

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...