Selasa, 06 Oktober 2020

Hukum Tertulis dan Hukum Tidak Tertulis

 Banyak yang masih bertanya-tanya, apakah ada hukum yang tidak tertulis saat ini? Dan apakah hukum tidak tertulis tersebut masih berlaku? Tentu saja untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita harus kembali pada bagaimana bentuk hukum. Secara garis besar, hukum dapat berbentuk hukum yang tertulis dan hukum tidak tertulis. Secara kasat mata memang gampang untuk membedakannya, akan tetapi kita harus paham juga apa isinya. Untuk itu kami akan membahasnya secara singkat sebagai berikut.

Pada awal mula adanya hukum, yang ada adalah hukum yang tidak tertulis, yang berisi peraturan-peraturan yang harus dilakukan oleh setiap orang dalam suatu komunitas masyarakat. Hukum tidak tertulis tersebut ada karena masyarakat menginginkan adanya ketertiban dan keteraturan dalam kehidupannya. Akan tetapi karena aturan hukum tidak tertulis tersebut tidak mempunyai kekuatan memaksa bagi setiap orang untuk mematuhinya karena tidak mempunyai sanksi bagi yang tidak mematuhinya atau melanggarnya. Masyarakat masih beranggapan bahwa oleh karena tidak ada sanksi, maka aturan hukum yang tidak tertulis tersebut, dapat dilanggar oleh setiap orang dan tidak dipatuhi keberadaannya. Hukum tidak tertulis tersebut kemudian berubah menjadi norma, yang berisi larangan namun tidak memiliki sanksi yang bisa bersifat memaksa.
Menyadari bahwa hukum tidak tertulis tidak efektif sebagai salah satu upaya mengatur kehidupan masyarakat, maka kemudian dibuatlah hukum tertulis dalam bentuk kodifikasi (pengumpulan) atas beberapa hukum yang tidak tertulis yang dikumpulkan menjadi satu dalam susunan hukum yang tertulis yang kemudian dalam hukum yang tertulis ini ditambahkan adanya sanksi bagi pelanggarnya sebagai kekuatan memaksa berlakunya hukum tersebut. Dengan adanya sanksi inilah maka hukum dapat diberlakukan, meskipun ada unsur paksaan, agar ditaati dan dipatuhi oleh warga masyarakat. Meski demikian, apa yang terkandung di dalam hukum yang tertulis menjadi sangat terbatas, mengingat perkembangan masyarakat yang bergitu dinamis, seringkali membuat hukum menjadi tertinggal dan seakan tidak mampu mengikuti perkembangan jaman. Harus diakui bahwa di dalam pernyusunan hukum secara tertulis (misalkan sebuah undang-undang), akan banyak kepentingan yang saling berperang dan berbagi pengaruh supaya kepentingannya dimasukkan di dalam undang-undang tersebut. Bahkan, dalam bahasa yang kasar, penyusunan hukum secara tertulis dalam pembentukannya dapat dibeli oleh pihak yang berkuasa atau pihak yang mempunyai modal atau pihak yang memiliki kepentingan.
Mengingat peliknya pembentukan hukum secara tertulis tersebut, maka kita sebagai anggota masyarakat harus berperan aktif apabila pemerintah sebagai lembaga eksekutif dan dewan perwakilan rakyat sebagai lembaga legistlatif berencana membuat sebuah hukum tertulis (undang-undang), kita harus aktif berperan dalam memberikan pendapat kita setidaknya memberikan saran dan pendapat kepada pihak yang akan menyusunnya. Semakin aktif kita sebagai anggota masyarakat tentunya akan membuat sebuah hukum yang tertulis (undang-undang) menjadi hukum yang baik, yang bisa diterima oleh semua pihak dan bisa ditaati dan dipatuhi oleh semua anggota masyarakat.
Demikian kurang lebih uraian singkat mengenai hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Semoga bisa memberi manfaat bagi kita semua.

Kamis, 17 September 2020

Penasihat Hukum, Kuasa Insidentil dan Kuasa Hukum

Tiga istilah yang sering ditemukan di bidang hukum yang masing-masing mempunyai arti dan makna sendiri-sendiri namun masih banyak belum dipahami oleh masyarakat awam. Memang harus diakui bahwa masih banyak istilah hukum, yang meskipun menggunakan bahasa Indonesia tetapi masih tidak dipahami artinya. Bahkan dalam level setingkat penyiar televisi mauun penyiar radio, masih salah kaprah dalam penyebutannya. Mengapa bisa terjadi hal seperti ini? Hal ini tidak terlepas dari sifat eksklusifnya pendidikan hukum yang hanya diberikan secara formal di bangku perkuliahan di Fakultas Hukum. Sangat jarang ditemui adanya pelatihan hukum secara informal yang dilakukan di luar bangku kuliah, meskipun beberapa tahun yang lalu sering kita dengar istilah penyuluhan hukum yang sekarang sudah sangat jarang terdengar lagi ada kegiatan penyuluhan hukum.

Kembali pada pokok bahasan yaitu istilah Penasihat Hukum, Kuasa Insidentil dan Kuasa Hukum. Kami akan coba jelaskan secara singkat sebagai berikut.
1. Penasihat Hukum : Merupakan istilah dalam Hukum Acara Pidana dan juga dalam Hukum pidana, harus bergelar setidaknya SARJANA HUKUM atau dapat juga bergelar MAGISTER HUKUM atau DOKTOR di bidang hukum, harus merupakan seorang ADVOKAT atau PENGACARA yang sudah disumpah di Pengadilan Tinggi dan mempunyai Berita Acara Sumpah serta memiliki Kartu Tanda Anggota dari Perhimpunan Advokat yang diakui dan masih berlaku, penugasannya didasarkan pada SURAT KUASA yang dibuat oleh PEMBERI KUASA yaitu TERDAKWA kepada Advokat yang bersangkutan untuk menjadi kuasa yang mendampingi Terdakwa dalam persidangan maupun dalam melakukan upaya hukum baik banding, kasasi maupun peninjauan kembali atau berdasarkan PENETAPAN dari Majelis Hakim yang memeriksa perkara karena sifat perkaranya yang diancam dengan pidana penjara minimal 5 tahun atau pidana mati, untuk surat kuasa dapat disubstitusi / digantikan oleh advokat yang lain, surat kuasa dapat dicabut oleh pemberi kuasa setiap saat, namun yang berdasarkan penetapan majelis hakim, berlaku sampai perkara tersebut selesai diputus di tingkat pertama/di tingkat pengadilan negeri.
2. Kuasa Insidentil : Merupakan istilah di bidang hukum perdata, penerima kuasa harus merupakan orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan pemberi kuasa yang dibuktikan dnegan SURAT KETERANGAN dari Kelurahan / Kantor Desa setempat/sesuai KTP, pemberi kuasa bisa merupakan PENGGUGAT dan bisa juga merupakan TERGUGAT, penugasannya berdasarkan SURAT KUASA KHUSUS yang dibuat oleh pemberi kuasa, penerima kuasa mempunyai hak untuk mewakili semua kepentingan pemberi kuasa di dalam persidangan dan juga dalam melakukan upaya bukum, baik banding, kasasi maupun peninjauan kembali, surat kuasa dapat dicabut setiap saat oleh pemberi kuasa;
3. Kuasa Hukum : Merupakan istilah di bidang Hukum Acara Perdata, harus setidaknya bergelar SARJANA HUKUM dan bisa juga bergelar MAGISTER HUKUM/MAGISTER HUMANIORA atau Doktor di bidang hukum, harus merupakan seorang ADVOKAT atau PENGACARA yang sudah disumpah di Pengadilan Tinggi dan mempunyai Berita Acara Sumpah serta memiliki Kartu Tanda Anggota dari Perhimpunan Advokat yang diakui dan masih berlaku, penugasannya berdasarkan SURAT KUASA KHUSUS yang dibuat oleh pemberi kuasa, bisa merupakan penggugat maupun tergugat, mempunyai hak untuk mewakili pemberi kuasa di persidangan maupun untuk melakukan upaya hukum baik banding, kasasi maupun peninjauan kembali, surat kuasa dapat dicabut setiap saat oleh pemberi kuasa.
Demikian uraian singkat mengenai Penasihat Hukum, Kuasa Insidentil dan Kuasa Hukum. Semoga bisa dipahami dan memberi manfaat bagi kita semua.

Jumat, 04 September 2020

Plagiat, merupakan petunjuk kemalasan berpikir seseorang

 Setiap orang tentu sudah sangat sering mendegar kata PLAGIAT,banyak yang sudah paham artinya namun masih banyak pula yang belum mengetahui artinya. Dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), plagiat/pla·gi·at/ n pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri, misalnya menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri; jiplakan (sumber : https://kbbi.web.id/plagiat).

Dari definisi tersebut, kiranya dapat dipahami bahwa plagiat adalah perbuatan yang bersifat ilmiah, mengingat ada pendapat orang lain yang digunakan oleh seseorang seakan-akan pendapat itu adalah pendapatnya senidri. Kadar plagiat itu bermacam-macam, ada yang 100 persen menjiplak karya orang lain, ada yang hanya 50 persen dan seterusnya.
Sebenarnya, ketika kita menulis karya ilmiah, tetap dibolehkan mengutip pendapat orang lain namun harus dengan mencantumkan sumbernya.
Di kalangan akademisi bahkan sudah memiliki aplikasi untuk mendeteksi apakah sebuah karya ilmiah benar-benar merupakan hasil tulisan mahasiswa itu sendiri atau hasil menjiplak. Dan seringkali yang diberi toleransi untuk mengutip pendapat orang lain adalah 20 % (dua puluh persen) dari keseluruhan isi karya tulis tersebut. Hal ini mengingat untuk saat ini hampir pasti sangat sulit untuk tidak mengutip pendapat dari orang lain dalam sebuah karya tulis ilmiah. Sehingga harus dibuat aturan yang jelas dalam mengutip pendapat orang lain tersebut. Sebab apabila terlalu banyak mengutip pendapat orang lain dan tanpa menyebutkan sumbernya, hal ini merupakan petunjuk kemalasan berpikir seseorang.
Demikian sedikit ulasan mengenai plagiat, semoga bermanfaat.

Rabu, 02 September 2020

Kita Hidup Karena Kita Berpikir


Dalam beberapa buku filsafat, termasuk diantaranya filsafat hukum, akan ditemukan pendapat sebagaimana tertulis di atas. Saya tentu tidak akan membahas dalam ranah agama, namun sedikit pembahasan dalam ranah kehidupan manusia. Banyak orang tentu akan bersyukur ketika di pagi hari masih diberikan kehidupan yang baru, bisa bangun dari tidur kemudian beraktivitas seperti biasa. Namun pernahkah kita sedikit berpikir, apa yang harus saya lakukan terhadap hidup saya? Hampir semua orang akan beraktivitas secara rutin sebagaimana biasa, berangkat ke kantor, mengerjakan tugas-tugas kantor, sore hari pulang ke rumah bertemu keluarga, begitu seterusnya.
Pernahkah kita berpikir bahwa dalam proses melakukan sesuatu kita harus berpikir, misalkan apa saya sudah mengisi bahan bakar kendaraan saya? Apa saya sudah sarapan? Apa uang belanja istri masih ada? Dan, masih banyak lagi pertanyaan yang seharusnya membuat kita berpikir.
Dari proses berpikir itulah kita bisa hidup, bisa mempertahankan kehidupan kita dan merencanakan apa yang akan kita lakukan di masa depan. Oleh karena itu, menjadi tidak salah bahwa manuisa itu hidup karena manusia itu berpikir. Lalu apa bedanya dengan hewan? Mereka juga berpikir. Tentu ada perbedaan mencolok antara manusia dan hewan, yaitu hewan hanya berpikir hari ini harus makan tapi tentu tidak akan bepikir makan apa tapi pasti makan yang sudah menjadi kodratnya, misalnya seeokor sapi tentu akan makan rumput, seekor harimau tentu akan makan daging demikian seterusnya. Kemudian, hewan juga berpikir untuk beranak pinak, namun tidak akan sampai pemikiran bahwa untuk beranak pinak harus melalui proses pernikahan yang sah namun hanya menuruti hawa nafsunya saja, ada seekor betina di sampingnya, langsung dikawinnya, ada betina yang lain juga dikawinnya demikian seterusnya.
Manusia, sebagai ras tertinggi dalam kehidupan di bumi, tentunya akan berpikir, bagaimana supaaya komunitasnya aman, tertib dan bahagia. Hal tersebut tentunya dilakukan dengan proses berpikir. Dari berpikir itulah akan muncul teori-teori kehidupan yang akan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan berkembangnya jaman, tentunya teori-teori yang usang akan ditinggalkan dan digantikan dengan teori-toeri baru yang lebih mengakomodir kebutuhan manusia. Demikian seterusnya akan berputar terus hingga manusia itu hilang dalam peradabannya.
Oleh sebab itu, untuk bisa menjadikan hidup semakin bermakna, mulailah kita berpikir demi kebutuhan kita saat ini dan di masa mendatang demi anak keturunan kita nantinya. Sehingga tidak ada salahnya bisa ada jargon Dengan Berpikir Manusia itu Hidup.

Senin, 31 Agustus 2020

Kerja nek atine bombong, hasile pasti apik (kerja itu kalo hatinya ikhlas, hasilnya pasti bagus)

Kerja nek atine bombong, hasile pasti apik (kerja itu kalo hatinya ikhlas, hasilnya pasti bagus)


Minggu lalu saat saya harus berurusan dengan jasa mobil towing/angkut mobil, karena kecelakaan yang saya alami, ada satu pembelajaran dari seorng sopir mobil towing. Beliau meskipun secara kasat mata bekerja di bidang yang berkaitan dengan urusan angkat-mengangkat mobil untuk dibawa ke bengkel atau tempat lain, namun secara spiritual, mempunyai pemikiran yang simpel dan sangat baik.
Kalimat di atas diucapkannya saat akan mengangkat mobil saya ke atas truk towingnya. Seketika setelah beliau mengatakan hal tersebut dalam keadaan guyonan dengan saya, tiba-tiba saya merasa seperti disambar petir. Sudahkah saya ikhlas dalam setiap yang saya kerjakan? Sudahkah saya memberikan yang terbaik atas pekerjaan saya? Bagaikan palu godam menghantam dada saya yang beratnya ribuan ton, kalimat tersebut terasa lebih berat dibandingkan rasanya benturan saat saya tabrakan.
Ketika kita berbicara ikhlas, maka akan kembali pada diri kita sendiri, kembali kepada akhlak kita sendiri. Jika akhlak kita seperti pembantu, maka apa yang kita kerjakan adalah hasil dari perintah atasan atau pimpinan kita, jika akhlak kita mengharapkan balasan atas apa yang kita lakukan, maka kita tidak lebih dari pada seorang tukang (apapun bidangnya) yang akan menerima bayaran ketika pekerjaan kita selesai, jika kita hanya seorang pencari muka, maka atas apa yang kita lakukan kita mengharapkan diberikan pujian dan masih banyak lagi sifat akhlak yang tidak baik. Yang semuanya berujung pada rasa sakit hati, ketika kita tidak mendapatkan apa yang kita harapkan yang pada akhirnya akan menghancurkan kinerja kita di masa depan.
Kembali pada kata BOMBONG, ucapan dalam bahasa Banyumas (bahasa ngapak), menerangkan secara jelas bahwa orang yang BOMBONG itu sudah tidak punya ikatan keduniawian saat melakukan hal apapun. Mereka adalah orang-orang yang rela bekerja atau melakukan apapun tanpa ada secuilpun keinginan untuk mendapatkan balasan, apalagi dalam bentuk materi. Mereka menyerahkan atau pasrah atas apa yang akan mereka terima, yang penting mereka sudah melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya.
Jujur saja sampai saat ini saya belum bisa mencapai taraf BOMBONG, seringkali masih ada secuil perasaan mengharapkan balasan atas apa yang sudah saya lakukan. Namun setidaknya saya banyak belajar dari Bapak tukang towing kendaraan, ikhlaskan apa yang sudah dan akan kita kerjaan. Allah, Tuhan Semesta Alam, Maha Tahu akan semua yang kita kerjakan. Wallahualam.

Kamis, 06 Agustus 2020

SUMPAH PEMUTUS

Di dalam sengketa perkara perdata, seringkali dijumpai ada pihak yang sama sekali tidak mempunyai bukti surat sebagaimana disyaratkan dalam proses persidangan. Bahkan tidak jarang, kedua belah pihak yang bersengketa tidak memiliki bukti surat apapun untuk membuktikan haknya dalam persidangan.
Ketika hal tersbeut terjadi, maka biasanya para pihak hanya akan mengandalkan saksi-saksi yang dihadirkan di persidangan yang masing-masing harus memberikan keterangan di bawah sumpah. Para pihak seringkali berpendapat bahwa semakin banyak saksi yang dihadirkan di persidangan, akan memenangkan perkara mereka tanpa mereka pahami bahwa untuk keterangan saksi hanya merupakan satu bagian dari pembuktian, yaitu untuk dapat dijadikan sebagai bukti yang kuat maka suatu perkara harus diperkuat dengan minimal 2 (dua) alat bukti, yaitu berupa bukti surat dan bukti saksi. Sehingga keterangan saksi yang berjumlah banyak sekalipun tidak akan dianggap sebagai bukti yang kuat karena hanya merupakan 1 (satu) alat bukti saja. Selain bukti surat atau bukti saksi, adakah alat bukti lain yang dapat dipergunakan?
Dalam hukum perdata dikenal dengan istilah SUMPAH PEMUTUS. Apakah sumpah pemutus itu? Sumpah Pemutus adalah sumpah yang dilakukan oleh salah satu pihak yang bersengketa yang dilengkapi dengan ucapan apabila dia berbohong siap untuk menerima balasan dari Allah / Tuhan Yang Maha Esa. Di beberapa masyarakat adat kita sering dikenal dengan istilah SUMPAH POCONG. Meskipun memliki kesamaan akan tetapi di mata hukum, sumpah pocong akan bernilai sebagai alat bukti terakhir apabila dilakukan di hadapan para penegak hukum (Hakim) dan para pihak yang bersengketa serta dicatat dalam Berita Acara Persidangan. Apabila ketiga hal tersebut dilakukan maka sumpah pocong tersebut sah dianggap sebagai alat bukti sebagai sumpah pemutus dengan menyatakan pelaku sumpah pocong tersebut sebagai pihak yang menang dalam suatu sengketa perkara perdata.
Indonesia sebagai negara yang mengakui beberapa agama dan kepercayaan, tentunya akan mengakomodir bentuk-bentuk sumpah pemutus yang dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan agama maupun kepercayaan masyarakat Indonesia.
Demikian sekilas mengenai sumpah pemutus, semoga bisa menambah wawasan hukum bagi kita semua. (Admin).

Rabu, 29 Juli 2020

Menjadikan Kantor Desa/Kelurahan Sebagai Basis Data

Sebagaimana kita telah ketahui bersama bahwa saat ini proses persidangan di kantor pengadilan sudah bisa dilakukan secara online/daring. Khusus terhadap proses persidangan perkara perdata, saat ini baru mulai memasuki tahapan persidangan tanpa tatap muka, yaitu pihak penggugat atau kuasa hukumnya dapat mendaftarkan gugatannya secara daring dengan disertai data pendukungnya seperti salinan kartu identitas, surat kuasa (apabila ada), bukti pembayaran biaya panjar perkara dan lain sebagainya. Meski demikian, dalam persidangan pertama tetap akan dilakukan secara tatap muka di ruang sidang pengadilan dengan hadirnya para pihak dan majelis hakim menyatakan bahwa persidangan selanjutnya akan dilakukan secara daring, yaitu untuk proses jawab menjawab, baik itu jawaban Tergugat, Replik (tanggapan Penggugat atas jawaban Tergugat) maupun Duplik (tanggapan Tergugat atas Replik Penggugat) dilakukan secara daring, yaitu para pihak mengirimkannya melalui email kantor pengadilan. Sedangkan untuk proses pembuktian baik bukti surat maupun bukti saksi dilakukan dengan tatap muka di ruang sidang.
Dengan wacana persidangan secara daring, maka di masa mendatang, kiranya para pihak tidak perlu datang ke kantor pengadilan dan bisa menggunakan fasilitas di Kantor Desa / Kantor Kelurahan untuk melakukan persidangan secara daring. Hal ini mengingat masih terbatasnya akses internet, khususnya di pedesaan, maka perlu dicari solusi yang tidak membebankan bagi para pencari keadilan. Mereka dapat menggunakan data kependudukan yang ada di kantor desa / kelurahan setempat sebagai dasar untuk mengajukan gugatan / permohonan. Oleh karena itu kantor desa / kantor kelurahan dapat dijadikan basis data bagi para pencai keadilan bahkan Mahkamah Agung harus bisa melakukan kerja sama antar instansi dengan Kementerian Dalam Negeri untuk memperkuat basis data kependudukan di setiap kantor desa / kelurahan, dengan melengkapi pula dengan fasilitas jaringan internet yang memadai sehingga bisa dipergunakan untuk bersidang secara daring. Di masa depan, kiranya para pencari keadilan sama sekali tidak perlu datang ke kantor pengadilan apabila hendak beracara, cukup datang ke kantor desa / kelurahan setempat dan apabila para pencari keadilan tersebut adalah pendatang di suatu desa / kelurahan, bisa dimintakan surat keterangan domisili dari desa / kelurahan tersebut. Hal ini dimaksudkan agar memudahkan setiap orang beracara di kantor desa / kelurahan. Semoga hal ini bisa menjadi perhatian kita bersama, khususnya bagi Mahkamah Agung, sebagai stakeholder dari penegakan hukum di Indonesia.

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...