Rabu, 02 Desember 2020

EMPAT PILAR TEGAKNYA HUKUM

 

EMPAT PILAR TEGAKNYA HUKUM

 

            Berbicara mengenai tegaknya hukum di Indonesia, tidak akan terlepas dari peran serta masyarakat sebagai pemilik utama dari hukum itu sendiri. Masyakarat akan semakin menyadari pentingnya hukum ketika masyarakat ikut dilibatkan dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Tanpa adanya peran serta masyarakat, tentunya akan menimbulkan syak wasangka dalam diri masyarakat itu sendiri bahwa ada “pat gulipat” diantara para aparat hukum dan juga antara aparat hukum dengan pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum.

            Apabila kita cermati, setidaknya ada 4 (empat) pilar yang harus ada apabila menginginkan keberhasilan proses penegakkan hukum di Indonesia. Keempat hal tersebut adalah Keadilan, Kepastian, Kemanfaatan dan Kejujuran, yang bias secara singkat dapat kita jabarkan sebagai berikut.

1.  Keadilan;

Merupakan tujuan utama dari proses penegakan hukum di seluruh dunia. Hal ini menjadi esensi utama tegaknya hukum di suatu negara. Meskipun harus dipahami bahwa keadilan sifatnya adalah abstrak atau sulit untuk dijelaskan dan digambarkan secara nyata. Mengapa? Rasa adil bagi seseorang tentu tidak akan sama dengan rasa keadilan yang dirasakan oleh orang lain, dmeikian pula sebaliknya. Namun yang pasti bahwa setiap orang akan sependapat bahwa bagi siapapun yang bersalah harus mendapat hukuman atau ganjaran yang setimpal dan orang yang berjasa harus mendapatkan penghargaan atas jasa-jasanya.

Meski demikian, keadilan ini tidak bias pula dilihat secara hitam dan putih, sebab tidak ada seorangpun yang benar-benar selalu bersalah dan tidak pernah memiliki jasa apapun, demikian pula sebaliknya. Bagi seorang yang berprofesi di bidang pro Justitia, pasti sudah paham bahwa, untuk menilai suatu keadaan dalam  bidang hukum, harus dilihat secara komprehensif (menyeluruh) dan tidak secara partial (hanya sebagian saja). Sebab hukum adalah ilmu sosial yang akan menilai perilaku seseorang dari berbagai segi kehidupannya, tidak hanya menilai pada saat orang tersebut melakukan kesalahan. Demikian pula dalam bidang hukum keperdataan, banyak hal yang harus menjadi pertimbangan apakah suatu peristiwa hukum akan menguntungkan seseorang atau salah salah satu pihak dan akan merugikan orang lain atau pihak lain.

2.  Kepastian;

Demi menjamin tegaknya hukum, maka hukum itu harus bias menjamin bahwa dengan adanya hukum, akan terjamin kepastian adanya rasa aman dan nyaman dalam masyarakat. Sebab adanya hukum seharusnya bias menjadi pencegah adanya perilaku yang menyimpang sehingga tidak akan terjadi adanya pelanggaran hukum yang dapat merugikan masyarakat.

Meskipun demikin hukum juga harus bias menjadi obat bagi masyarakat yang terluka ketika terjadi perilaku yang melanggar hukum yang menyebabkan adanya ketidaksembangan dalam tata kehidupan masyarakat dan menimbulkan kerugian baik secara materiil maupun immaterial di dalam masyarakat.

Hal tersebut menjadi tugas hukum untuk dei terjaganya kepastian akan adanya rasa aman dan nyaman dalam masyarakat. Dan hal ini sekaligus menjadi tantangan bagi aparat penegak hukum, baik itu dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Pemasyrakatan dan juga Advokat ketika bertugas sesuai dengan TUPOKSI nya masing-masing.

3.  Kemanfaatan;

Adanya hukum juga harus bisa memberi kemanfaatan yaitu bisa mencegah terjadinya perilaku menyimpang yang berifat melanggar hukum dan bisa mencegah seseorang yang pernah melakukan perbuatan melanggar hukum tidak mengulanginya lagi. Akan tetapi yang terpenting justru hukum harus bisa mencegah seseorang atau sekelompok orang atau golongan untuk melakukan perbuatan melanggar hukum atau tidak meniru perilaku orang yang melanggar hukum.

Ancaman dalam hukum harus bisa merefleksikan hak tersebut dan juga perilaku dari para aparat penegak hukum harus bisa menjadi contoh yang baik bagi masyarakat dan bukan justru menjadi pemicu bagi masyarakat untuk ikut melanggar hukum.

4.  Kejujuran;

Hal keempat yang diperlukan bagi tegaknya hukum di Indonesia adalah adanya kejujuran, baik dari aparat penegak hukumnya maupun dari masyarakat yang membutuhkan pelayanan hukum. Aparat penegak hukum harus jujur dalam melaksanakan tugas-tugasnya, harus tanpa pamrih dan tidak mengharap adanya imbalan apapun dari masyarakat yang membutuhkan pelayanan hukum, sebab bagi aparat penegak hukum, khusus bagi aparat Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan, mereka sudah dibayar oleh Negara dalam bentuk gaji yang mencukupi, sedangkan bagi Advokat, tentunya harus bisa menetapkan tarif jasanya secara bijaksana dan tidak membebani bagi mayarakat pencari keadilan. Demikian pula bagi masyarakat yang membutuhkan pelayanan hukum, jangan pernah mencoba mengiming-imingi imbalan bagi aparat penegak hukum demi tercapai tujuannya.

Dengan adanya kejujuran ini maka kiranya hukum bisa menjadi tegak di Indonesia di tengah keterpurukan kepercayaan masyarakat kepada hukum dan keadilan.

            Demikiam uraian singkat mengenai 4 (empat) pilar yang dapat menjadi pendukung tegaknya hukum di Indonesia. Keempatmya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya dan saling mendukung. Hilangnya satu pilar maka hilangnya kekuatan hukum dan dengan hilangnya kekuatan hukum, maka tidak mungkin hukum bisa berdiri tegak di Indonesia, apalagi bila menginginkan supaya hukum bisa menjadi panglima di negeri ini.

            Kesemuanya menjadi tugas kita Bersama untuk menjaga dan saling mengingatkan supaya kita selalu sadar bahwa penegakan hukum di Indonesia adalah hal mutlak yang harus dilakukan.

           

Selasa, 01 Desember 2020

BANTUAN HUKUM

  Bagi yang membutuhkan bantuan hukum, silahkan klik....


https://sites.google.com/view/haryanimularsihandpartners

LOWONGAN PEKERJAAN

 Lowongan Pekerjaan


Dibutuhkan segera, 1 (satu) orang Asisten Pengacara, S1 Hukum, Diutamakan Wanita max 30 Tahun, berpengalaman, Diutamakan tinggal di wilayah Kab. Cilacap, Lamaran ke Kantor HukumHaryani Mularsih & Partners, Jl. Gatot Subroto No, 58 Cilacap (Depan Jiwasraya Cilacap), Hub. 0811217278923

Rabu, 04 November 2020

Eksepsi Prosesual di Luar Eksepsi Kompetensi

 Dalam perkara gugatan perdata, dikenal adanya Eksepsi di luar Ekssepsi Kompetensi, yang terdri dari berbagai bentuk atau jenis, antara lain:

1. Eksepesi Surat Kuasa Khusus Tidak Sah, antara lain :
a) Surat Kuasa bersifat Umum, surat kuasa ini didasarkan pada Pasal 1795 KUH Perdata dan bukan yang dimaksud pada pasal 123 HIR. Oleh karena itu tidak sah digunakan bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa di depan Pengadilan;
b) Surat Kuasa tidak memenuhi syarat formil yang digariskan Pasal 123 ayat (1) HIR dan SEMA No.01 Tahun 1971 jo. SEMA No. 6 Tahun 1994, yaitu Surat Kuasa Khusus (bijzondere schriftelijkemachtiging) harus jelas dan tegas menyebut :
- secara spesifik kehendak untuk berperkara di PN tertentu sesuai dengan kompetensi relatif;
- identitas para pihak yang berperkara;
- menyebut secara ringkas dan konkret pokok perkara dan obyek yang diperkarakan, serta,
- mencantumkan tanggal serta tanda tangan pemberi kuasa;
Semua syarat tersebut bersifat KUMULATIF, oleh karena itu apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, surat kuasa tidak sah karena mengandung cacat formil.
c) Surat Kuasa dibuat orang yang tidak berwenang, yaitudasar umum pemberian kuasa, harus diberikan, dibuat dan ditandatangani oleh orang yang berwenang untuk itu.
2. Eksepsi Error in Persona, yang terdiri dari :
a) Eksepsi Diskualifikasi atau gemis aanhoedanigheid, yaitu peberi kuasa tidak mempunyai kedudukan hukum untuk itu atau persona standi in judisio, misalkan anak di bawah umur atau di bawah perwalian;
b) Keliru pihak yang ditarik sebagai tergugat, yaitu gugatan diajukan terhadap si A padahal seharusnya diajuakn terhadap si B;
c) Exceptio plurium litis consortium, yaitu apabila orang yang ditarik sebagai tergugat tidak lengkap dan masih ada orang yang harus dijadikan sebagai penggugat atau tergugat;
3. Exeptio Res Judicata atau Ne Bis In Idem atau disebut juga exeptie van gewisjde zaak, yaitu diatur dalam Pasal 1917 KUH Perdata, sedangkan yang dimaksud dengan Ne Bis In Idem diatur dalam Pasal 76 ayat (1) KUHP, yang menyebutkan seseorang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatannya yang sama apabila terhadapnya oleh hakim telah dijatuhi putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tentang itu.
Demikian kutipan singkat mengenai Eksepsi yang biasanya akan diajukan ketika ada gugatan perdata di pengadilan. Semoga bermanfaat.

3 (Tiga) JANGAN


Pada saat menjalani pendidikan Calon Hakim beberapa tahun yang lalu, kurang lebih 20 tahun yang lalu, ada nasihat dari seorang Hakim senior yang menjadi pemateri pada saat itu. Beliau mengatakan agar sebagai Hakim kita harus menghindari 3 (tiga) JANGAN, yaitu;
1. JANGAN memutus perkara ketika kita lapar, artinya, dalam kondisi lapar, baik dalam arti sebenarnya maupun arti kiasan, seorang Hakim akan memutus dengan menggunakan berbagai cara untuk menutup rasa laparnya tersebut. Bisa dilakukan dengan kolusi, suap maupun perilaku menyimpang lainnya demi bisa menutup rasa laparnya;
2. JANGAN memutus perkara ketika kita marah, artinya dalam kondisi marah tentu kita tidak akan bisa memutus dengan adil. Redakan rasa marah tersebut telebih dahulu, baru kita sebagai Hakim bisa memutus suatu perkara;
3. JANGAN memutus perkara pada saat kita dalam keadaan bingung atau banyak pikiran, artinya apabila kita sebagai Hakim memutus perkara dalam keadaan bingung atau banyak pikiran, tentu putusan yang kita hasilkan akan menjadi putusan yang tidak adil dan rawan disusupi perilaku menyimpang dari kode etik seorang Hakim.
3 (tiga) JANGAN tersebut, kiranya masih relevan sampai dengan saat ini, mengingat menjadi seorang Hakim berarti sudah siap untuk melepaska semua kepentingan keduniawiannya dan harus berdiri dalam keadaan bersih tanpa cela. Meski demikian keberadaan 3 (tiga) JANGAN tersbeut juga harus didukung oleh warga masyarakat sebagai para pencari keadilan, setidaknya tidak membuka celah bagi Hakim untuk berbuat yang menyimpang dari kode etik. Mudah-mudahan hal ini bisa menjadi perhatian bagi kita semua demi tegaknya KEADILAN di negeri tercinta kita ini. SEMOGA.

Selasa, 06 Oktober 2020

Hukum Tertulis dan Hukum Tidak Tertulis

 Banyak yang masih bertanya-tanya, apakah ada hukum yang tidak tertulis saat ini? Dan apakah hukum tidak tertulis tersebut masih berlaku? Tentu saja untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita harus kembali pada bagaimana bentuk hukum. Secara garis besar, hukum dapat berbentuk hukum yang tertulis dan hukum tidak tertulis. Secara kasat mata memang gampang untuk membedakannya, akan tetapi kita harus paham juga apa isinya. Untuk itu kami akan membahasnya secara singkat sebagai berikut.

Pada awal mula adanya hukum, yang ada adalah hukum yang tidak tertulis, yang berisi peraturan-peraturan yang harus dilakukan oleh setiap orang dalam suatu komunitas masyarakat. Hukum tidak tertulis tersebut ada karena masyarakat menginginkan adanya ketertiban dan keteraturan dalam kehidupannya. Akan tetapi karena aturan hukum tidak tertulis tersebut tidak mempunyai kekuatan memaksa bagi setiap orang untuk mematuhinya karena tidak mempunyai sanksi bagi yang tidak mematuhinya atau melanggarnya. Masyarakat masih beranggapan bahwa oleh karena tidak ada sanksi, maka aturan hukum yang tidak tertulis tersebut, dapat dilanggar oleh setiap orang dan tidak dipatuhi keberadaannya. Hukum tidak tertulis tersebut kemudian berubah menjadi norma, yang berisi larangan namun tidak memiliki sanksi yang bisa bersifat memaksa.
Menyadari bahwa hukum tidak tertulis tidak efektif sebagai salah satu upaya mengatur kehidupan masyarakat, maka kemudian dibuatlah hukum tertulis dalam bentuk kodifikasi (pengumpulan) atas beberapa hukum yang tidak tertulis yang dikumpulkan menjadi satu dalam susunan hukum yang tertulis yang kemudian dalam hukum yang tertulis ini ditambahkan adanya sanksi bagi pelanggarnya sebagai kekuatan memaksa berlakunya hukum tersebut. Dengan adanya sanksi inilah maka hukum dapat diberlakukan, meskipun ada unsur paksaan, agar ditaati dan dipatuhi oleh warga masyarakat. Meski demikian, apa yang terkandung di dalam hukum yang tertulis menjadi sangat terbatas, mengingat perkembangan masyarakat yang bergitu dinamis, seringkali membuat hukum menjadi tertinggal dan seakan tidak mampu mengikuti perkembangan jaman. Harus diakui bahwa di dalam pernyusunan hukum secara tertulis (misalkan sebuah undang-undang), akan banyak kepentingan yang saling berperang dan berbagi pengaruh supaya kepentingannya dimasukkan di dalam undang-undang tersebut. Bahkan, dalam bahasa yang kasar, penyusunan hukum secara tertulis dalam pembentukannya dapat dibeli oleh pihak yang berkuasa atau pihak yang mempunyai modal atau pihak yang memiliki kepentingan.
Mengingat peliknya pembentukan hukum secara tertulis tersebut, maka kita sebagai anggota masyarakat harus berperan aktif apabila pemerintah sebagai lembaga eksekutif dan dewan perwakilan rakyat sebagai lembaga legistlatif berencana membuat sebuah hukum tertulis (undang-undang), kita harus aktif berperan dalam memberikan pendapat kita setidaknya memberikan saran dan pendapat kepada pihak yang akan menyusunnya. Semakin aktif kita sebagai anggota masyarakat tentunya akan membuat sebuah hukum yang tertulis (undang-undang) menjadi hukum yang baik, yang bisa diterima oleh semua pihak dan bisa ditaati dan dipatuhi oleh semua anggota masyarakat.
Demikian kurang lebih uraian singkat mengenai hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Semoga bisa memberi manfaat bagi kita semua.

Kamis, 17 September 2020

Penasihat Hukum, Kuasa Insidentil dan Kuasa Hukum

Tiga istilah yang sering ditemukan di bidang hukum yang masing-masing mempunyai arti dan makna sendiri-sendiri namun masih banyak belum dipahami oleh masyarakat awam. Memang harus diakui bahwa masih banyak istilah hukum, yang meskipun menggunakan bahasa Indonesia tetapi masih tidak dipahami artinya. Bahkan dalam level setingkat penyiar televisi mauun penyiar radio, masih salah kaprah dalam penyebutannya. Mengapa bisa terjadi hal seperti ini? Hal ini tidak terlepas dari sifat eksklusifnya pendidikan hukum yang hanya diberikan secara formal di bangku perkuliahan di Fakultas Hukum. Sangat jarang ditemui adanya pelatihan hukum secara informal yang dilakukan di luar bangku kuliah, meskipun beberapa tahun yang lalu sering kita dengar istilah penyuluhan hukum yang sekarang sudah sangat jarang terdengar lagi ada kegiatan penyuluhan hukum.

Kembali pada pokok bahasan yaitu istilah Penasihat Hukum, Kuasa Insidentil dan Kuasa Hukum. Kami akan coba jelaskan secara singkat sebagai berikut.
1. Penasihat Hukum : Merupakan istilah dalam Hukum Acara Pidana dan juga dalam Hukum pidana, harus bergelar setidaknya SARJANA HUKUM atau dapat juga bergelar MAGISTER HUKUM atau DOKTOR di bidang hukum, harus merupakan seorang ADVOKAT atau PENGACARA yang sudah disumpah di Pengadilan Tinggi dan mempunyai Berita Acara Sumpah serta memiliki Kartu Tanda Anggota dari Perhimpunan Advokat yang diakui dan masih berlaku, penugasannya didasarkan pada SURAT KUASA yang dibuat oleh PEMBERI KUASA yaitu TERDAKWA kepada Advokat yang bersangkutan untuk menjadi kuasa yang mendampingi Terdakwa dalam persidangan maupun dalam melakukan upaya hukum baik banding, kasasi maupun peninjauan kembali atau berdasarkan PENETAPAN dari Majelis Hakim yang memeriksa perkara karena sifat perkaranya yang diancam dengan pidana penjara minimal 5 tahun atau pidana mati, untuk surat kuasa dapat disubstitusi / digantikan oleh advokat yang lain, surat kuasa dapat dicabut oleh pemberi kuasa setiap saat, namun yang berdasarkan penetapan majelis hakim, berlaku sampai perkara tersebut selesai diputus di tingkat pertama/di tingkat pengadilan negeri.
2. Kuasa Insidentil : Merupakan istilah di bidang hukum perdata, penerima kuasa harus merupakan orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan pemberi kuasa yang dibuktikan dnegan SURAT KETERANGAN dari Kelurahan / Kantor Desa setempat/sesuai KTP, pemberi kuasa bisa merupakan PENGGUGAT dan bisa juga merupakan TERGUGAT, penugasannya berdasarkan SURAT KUASA KHUSUS yang dibuat oleh pemberi kuasa, penerima kuasa mempunyai hak untuk mewakili semua kepentingan pemberi kuasa di dalam persidangan dan juga dalam melakukan upaya bukum, baik banding, kasasi maupun peninjauan kembali, surat kuasa dapat dicabut setiap saat oleh pemberi kuasa;
3. Kuasa Hukum : Merupakan istilah di bidang Hukum Acara Perdata, harus setidaknya bergelar SARJANA HUKUM dan bisa juga bergelar MAGISTER HUKUM/MAGISTER HUMANIORA atau Doktor di bidang hukum, harus merupakan seorang ADVOKAT atau PENGACARA yang sudah disumpah di Pengadilan Tinggi dan mempunyai Berita Acara Sumpah serta memiliki Kartu Tanda Anggota dari Perhimpunan Advokat yang diakui dan masih berlaku, penugasannya berdasarkan SURAT KUASA KHUSUS yang dibuat oleh pemberi kuasa, bisa merupakan penggugat maupun tergugat, mempunyai hak untuk mewakili pemberi kuasa di persidangan maupun untuk melakukan upaya hukum baik banding, kasasi maupun peninjauan kembali, surat kuasa dapat dicabut setiap saat oleh pemberi kuasa.
Demikian uraian singkat mengenai Penasihat Hukum, Kuasa Insidentil dan Kuasa Hukum. Semoga bisa dipahami dan memberi manfaat bagi kita semua.

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...