Senin, 25 Juli 2022

Kejahatan Terhadap Jiwa Orang (Bagian 12)

 Kejahatan Terhadap Jiwa Orang (Bagian 12)


Pembahasan berikutnya berkaitan dengan perihal Kejahatan Terhadap Jiwa Orang adalah membahas ketentuan Psal 349 KUHP yang menyebutkan : "Jika seorang tabib, dukun beranak atau tukang obat membantu dalam kejahatan yang tersebut dalam Pasal 346 KUH Pidana atau bersalah atau membantu dalam salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 347 dan Pasal 348 KUH Pidana, maka hukuman yang ditentukan dalam Pasal itu dapat ditambah dengan sepertiganya dan dapat ia dipecat dari jabatannya yang digunakan untuk melakukan kejahatan itu" (Lihat ketentuan Pasal 35 KUH Pidana, Pasal 55 huruf s KUH Pidana, Pasal 350 KUH Pidana dan Pasal 534 huruf s KUH Pidana).
Dari ketentuan Pasal 349 KUH Pidana tersebut, dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut :
1) Pasal ini merupakan pasal pemberatan atas kejahatan yang dlakukan berdasarkan ketentuan Pasal 347 dan Pasal 348 KUH Pidana;
2) Ketentuan dalam pasal ini dapat diterapkan terhadap tenaga kesehatan yang melakukannya. (BERSAMBUNG).

Selasa, 28 Juni 2022

ARTIKEL HUKUM

Selama beberapa pekan sempat vacum mengisi halaman, kiranya saat ini akan dimulai lagi pengisian artikel di halaman BHiM. Bagi kawan-kawan yang ingin pula berpartisipasi mengisi halaman, namun tetap sesuai dengan prinsip kami sebagai pengabdian kepada masyarakat, maka bisa mengirimkan artikel hukumnya ke email saya : santhosprijambodo@gmail.com dengan Judul di email: ARTIKEL HUKUM, terima kasih

🙏🙏

Kejahatan Terhadap Jiwa Orang (Bagian 11)

 Kejahatan Terhadap Jiwa Orang (Bagian 11)


Melanjutkan pembahasan tentang kejahatan terhadap jiwa orang, maka kita akan membahas ketentuan pasal 348 KUH Pidana yang menyebutkan sebagai berikut :
(1) Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau matinya kandungan seorang perempuan dengan ijin perempuan itu, dihukum penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun 6 (enam) bulan;
(2) Jika karena perbuatan itu, perempuan itu jadi mati, dia dihukum penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun. (Lihat ketentuan pasal 35 KUH Pidana, pasal 37 KUH Pidana, pasal 299 KUH Pidana, pasal 349 huruf s KUH Pidana, pasal 359 huruf s KUH Pidana, pasal 487 KUH Pidana dan pasal 534 huruf s KUH Pidana).
Dari ketentuan pasal 348 KUH Pidana ini, dapat dijelaskan secara singkat :
1) Penjelasan pasal 346 KUH Pidana berlaku pula pada pasal ini;
2) Yang diutamakan dalam pasal ini adalah pemberitahuan atau penimbulan harapan akan gugurnya kandungan;
3) Pasal ini juga merupakan peringatan bagi orang-orang yang dengan sengaja membuka praktek pengguguran kandungan (aborsi) yang sangat dilarang. (BERSAMBUNG).

Senin, 13 Juni 2022

Kejahatan Terhadap Jiwa Orang (Bagian 10)

 Melanjutkan pembahasan mengenai kejahatan terhadap jiwa orang, maka kita akan membahas ketentuan Pasal 347 KUH Pidana, yang menyebutkan :

(1) Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungannya seorang perempuan tidak dengan ijin perempuan itu, dihukum penjara selama-lamanya 12 (dua belas) tahun;
(2) Jika karena perbuatan itu, perempuan itu jadi mati, dia dihukum penjara selama-lamanya 15 (lima belas) tahun.
Lihat catatan pada Pasal 346 KUH Pidana, Pasal 299 KUH Pidana dan Pasal 535 KUH Pidana.
Dari ketentuan Pasal 347 KUH Pidana ini dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut :
1) Pasal menagncam siapa saja yang baik dengan sengaja maupun tidak sengaja menyebab kematian kandungan seorang wanita atau justru menyebabkan wanita yang sedang mengandung;
2) Mungkin bisa diambil pelajaran, beberapa tahun yang lalu ada diaran TV swasta yang menyiarkan seuah PRANK terhadap pengunjung TV tersebut dan masih berada di area parkir. Kegiatan tersebut pada akhirnya menyebabkan seorang wanita yang sedang hamil mengalami keguguran karena kaget dengan PRANK tersebut. (BERSAMBUNG).



Jumat, 27 Mei 2022

HUMANITY ABOVE THE LAW

 HUMANITY ABOVE THE LAW

Sebagaimana kita telah ketahui bersama bahwa salah satu tujuan hukum adalah keadilan bagi masyarakat, tentunya kita juga harus memahami bahwa tidak semua persoalan harus diselesaikan melalui ranah hukum. Saat ini dunia (termasuk Indonesia, tengah dihebohkan dengan mengalirnya "manusia perahu" jilid II, yang merupakan pelarian dari masyarakat Rohingya dari Myanmar. Mereka disebut sebagai manusia perahu mengingat jalan pelarian mereka dari negara asal adalah dengan menggunakan kapal-kapal kecil, yang tidak semestinya digunakan untuk berlayar dalam jangka waktu yang lama dan jarak yang sedemikian jauh, ditambah dengan jumlah penumpang dari kapal-kapa kecil tersebut yang "overload" atau melebihi kapasitas yang seharusnya dapat ditampung dalam kapal tersebut.
Apabila kita menerapkan secara kaku ketentuan-ketentuan dalam UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, tentunya Indonesia mempunyai hak untuk menolak menerima dan menampung "manusia perahu" tersebut. Dalam pasal 1 angka 1 UU Nomor 6 Tahun 2011 disebutkan "Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang
masuk atau keluar Wilayah Indonesia serta pengawasannya dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan negara". Pada pasal 1 angka 3 lebih ditegaskan lagi mengenai fungsi keimigrasian yaitu "Fungsi Keimigrasian adalah bagian dari urusan pemerintahan negara dalam memberikan pelayanan Keimigrasian, penegakan hukum, keamanan negara, dan fasilitator pembangunan kesejahteraan masyarakat". Dari ketentuan-ketentuan tersebut apabila kita bertindak secara "letterlijk" atau kaku sesuai aturan perundang-undangan, maka Indonesia memiliki hak yang mutlak untuk menolak kedatangan "manusia perahu" tersebut dan mengirimnya kembali ke perairan internasional, sebab kedatangan mereka tanpa dilengkapi dengan dokumen keimigrasian dari negara asal dan tanpa adanya izin untuk memasuki wilayah negara lain. Akan tetapi keberadaan hukum ini "sedikit" dapat dikesampingkan apabila kita mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan yang sudah menjadi nilai-nilai universal yang diakui dalam Piagam PBB dimana Indonesia menjadi salah satu anggotanya yang mengakui dan melindungi hak asasi manusia tanpa memandang suku, agama, ras, bahasa dan jenis kelamin.
Keberadaan "manusia perahu" dari Myamnar tersebut tentu bukan tanpa sebab, akan tetapi apapun sebab yang mengakibatkan mereka melakukan pelarian sampai di negara lain, memunculkan kewajiban bagi negara yang didatangi, baik sebagai negara persinggahan maupun negara tujuan. Selama ini Indonesia lebih sering dijadikan negara persinggahan dari masyarakat dari negara lain yang melakukan pelarian atau pengungsian, sebagaimana kita ingat kejadian :"manusia perahu" jilid I yaitu masyarakat dari Vietnam yang melarikan diri akibat terjadinya perang di negaranya di sekitar tahun 1970 - 1980 dan Indonesia menyedikan Pulau Galang sebagai tempat penampungan sementara. Kejadian berulang saat ini dan sudah selayaknya Indonesia memberikan bantuan yang dibutuhkan setidaknya sampai orang-orang tersebut dapat berpikir secara jernih untuk mencari penghidupan yang baru. Ketiadaan dokumen keimigrasian untuk sementara dapat dikesampingkan demi keselamatan "manusia perahu" tersebut. Kiranya memang harus dipahami bahwa nilai-nilai kemanusian, dalam hal-hal tertentu harus dikedepankan daripada penegakan hukum secara kaku yang hanya akan mengakibatkan sirnanya kemanfaatan dari adanya hukum. Hukum memang harus tetap ditegakkan, dalam hal ini adalah mengenai keimigrasian, tetapi dalam keadaan "force majeur" penegakan hukum harus diselaraskan dengan keadaan yang ada. Keberadaan "manusia perahu" dari Myanmar di Indonesia bukanlah karena kehendak mereka untuk datang beramai-ramai ke Indonesia tanpa dokumen keimigrasian, akan tetapi karena adanya keadaan yang memaksa di negaranya yang membuat mereka harus melarikan diri dari negaranya dan terkatung-katung selama berhari-hari di tengah laut dan secara kebetulan perahu-perahu mereka mendekat dan memasuki perairan Indonesia.
Oleh karena itu para penegak hukum, dalam hal ini aparat keimigrasian harus memiliki kepekaan yang mendalam mengenai nilai-nilai kemanusiaan sehingga dapat memberikan pelayanan di dalam melindungi hak asasi manusia tanpa harus mengorbankan kedaulatan dan hukum negara.

Selasa, 24 Mei 2022

Kejahatan Terhadap Jiwa Orang (Bagian 9)

 Kejahatan Terhadap Jiwa Orang (Bagian 9)


Melanjutkan pembahasan tentang kejahatan terhadap jiwa orang, maka kita akan membahas ketentuan dalam pasal 346 KUH Pidana yang menyebutkan : "Perempuan yang dengan sengaja menyebabkan gugur atau matinya kandungan atau menyuruh orang lain untuk itu, dihukum penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun." (Lihat pasal 37 KUH Pidana, pasal 299 KUH Pidana, pasal 347 huruf s KUH Pidana, pasal 349 KUH Pidana dan pasal 543 huruf s KUH Pidana).
Dari ketentuan pasal 346 KUH Pidana ini, maka dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut :
1) Perempuan yang sengaja menggugurkan atau membunuh kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, dikenakan pasal ini;
2) Orang yang mengaja menggugurkan atau membunuh kandungan seorang perempuan dengan tidak izin perempuan itu dihukum menurut pasal 347 KUH Pidana dan apabila dilakukan dengan izin perempuan itu, dikenakan pasal 348 KUH Pidana;
3) Cara menggugurkan atau membunuh kandungan itu rupa-rupa, baik dengan obat yang diminum, maupun dengan alat-alat yang dimasukkan melalui anggota kemaluan. Menggugurkan kandungan yang sudah mati, tidak dihukum, demikian pula tidak dihukum orang yang untuk membatasi kelahiran anak mencegah terjadinya hamil (Malthusianisme);
4) Jika seorang tabib, bidan atau ahli obat membantu kejahatan dalam pasal 346 KUH Pidana, berbuat atau membantu salah satu kejahatan dalam pasal 347 KUH Pidana dan pasal 348 KUH Pidana, maka bagi mereka hukumannya ditambah dengan sepertiganya dan dapat dipecat dari jabatannya (pasal 349 KUH Pidana). (BERSAMBUNG).

3 hal pentingnya keberadaan Hukum :

 3 hal pentingnya keberadaan Hukum :


Pondasi dari hukum adalah kejujuran, tiang dari hukum keberanian memberantas ketidakadilan dan atap dari hukum adalah keadilan bagi masyarakat.

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...