Kamis, 23 Mei 2013

KEBIJAKAN PUBLIK



MAKALAH KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER

OLEH :

H. SANTHOS WACHJOE P

(HAKIM PADA PN TEGAL)


I. PENDAHULUAN
Satu abad sebelum Masehi Cicero mengemukakan hubungan antara hukum dengan masyarakat melalui kalimat sederhana “ubi societas, ibi ius”. Dimana ada masyarakat disana ada hukum. Hukum dibentuk oleh masyarakat untuk mengatur kehidupan mereka. Dengan kata lain hukum dibentuk oleh dan diberlakukan untuk masyarakat demi ketertiban, ketentraman dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam suatu masyarakat setiap anggota masyarakat mempunyai kepentingan tersendiri. Ada yang sama dan ada pula yang berbeda satu sama lain. Kedua macam kepentingan tersebut menjadi sebab lahirnya sengketa. Untuk mengatur berbagai kepentingan dalam masyarakat dan menyelesaikan sengketa secara tertib, masyarakat membentuk aturan-aturan dan diberlakukan dalam kehidupan mereka. Hukum sebagaimana dikemukakan oleh E.Y. Kanter, S.H. (Etika Profesi Hukum, 2001 :82) pada umumnya dipahami sebagai “suatu sistem norma atau kumpulan peraturan yang mengatur kehidupan bersama dalam masyarakat, yaitu keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam kehidupan bersama dan dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi”. Proses hukum secara garis besar dapat dipandang sebagai penyelarasan berbagai kepentingan dalam masyarakat dan hasilnya adalah keadilan atau hukum yang adil. Hukum yang baik yaitu hukum yang adil dan benar, memiliki keabsahan dan mengikat, mewajibkan dan dapat dipaksakan untuk dijalankan untuk mewujudkan rasa keadilan, harmoni dan kebaikan umum yang menjadi tujuan hukum itu sendiri. Hasil dari proses hukum tersebut kemudian menjadi masukan bagi proses hukum berikutnya, demikian seterusnya sistem hukum tersebut bergerak menjalankan fungsinya.
II. FUNGSI INTEGRATIF HUKUM
Menurut Parsons (Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijakan Publik, 1994, 95)fungsi utama suatu sistem hukum itu bersifat integratif artinya untuk mengurangi unsur-unsur konflik yang potensial dalam masyarakat dan untuk melicinkan proses pergaulan sosial. Dengan mentaati sistem hukum maka sistem interaksi sosial akan berfungsi dengan baik, tanpa kemungkinan berubah menjadi konflik terbuka atau terselubung yang kronis. Agar sistem hukum dapat menjalankan fungsi integratifnya secara efektif, menurut Parsons, terdapat 4 masalah yang harus diselesaikan terlebih dahulu, yaitu :
·        Legitimasi, yang akan menjadi landasan bagi pentaatan aturan-aturan ;
·        Interpretasi, yang akan menyangkut masalah penetapan hak dan kewajiban subyek, melalui proses penetapan aturan tertentu ;
·        Sanksi, yang menegaskan sanksi apakah yang akan timbul apabila ada pentaatan dan sanksi apa yang akan timbul apabila ada pengikatan terhadap aturan, serta sekaligus menegaskan siapakah yang akan menerapkan sanksi ;
·        Yurisdiksi, yang menetapkan garis-garis kewenangan yang berkuasa menegakkan norma-norma hukum ;
·        Dilihat dari perspektif Parsons tampaknya efektifitas fungsi integratif sistem hukum di Indonesia masih menghadapi permasalahan yang serius baik ditinjau dari aspek legitimasi, interpretasi, sanksi maupun yurisdiksi.
Dari aspek legitimasi, sampai sekarang ini lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif masih mengalami krisis legitimasi. Walaupun semestinya lembaga eksekutif dan legislatif yang dibentuk berdasarkan proses Pemilihan Umum yang demokratis pada tahun 2004 ini diharapkan mampu mendongkrak legitimasi kedua lembaga tersebut, namun dalam kenyataannya lembaga eksekutif dan legislatif yang dipilih secara demokratis tidak serta merta mengangkat legitimasi kedua lembaga tersebut. Rakyat masih menunggu bukti-bukti kinerja lembaga eksekutif dan legislatif dalam praktek. Tingkat legitimasi terhadap lembaga eksekutif dan legislatif sangat tergantung dari kemampuan kedua lembaga tersebut dalam memenuhi aspirasi rakyat dan menjawab secara nyata berbagai permasalahan yang dihadapi bangsa kita agar segera keluar dari krisis menuju kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. Sedangkan lembaga yudikatif yang menempati posisi sentral dalam penegakan hukum mengalami proses penurunan kewibawaan, karena putusan-putusannya jauh dari rasa keadilan dan tidak terbatas dari praktek apa yang disebut “mafia peradilan”. Selain itu lembaga yudikatif mengalami tekanan-tekanan dari kekuatan politik dan campur tangan dari kekuasaan lain. Sementara itu kemandirian lembaga peradilan sedang dalam proses pertumbuhan dengan berbagai kendalanya dibidang sumber daya manusia maupun sarana pendukungnya.
·        .Dari aspek interpretasi perlu dilakukan reorientasi agar hak-hak rakyat sebagai subyek lebih dikedepankan, sehingga rakyat benar-benar menjadi stakeholder yang berdaulat. Penghormatan terhadap hak-hak rakyat dalam negara demokratis bukan saja dimaknai dalam proses politik penyelenggaraan Pemilihan Umum, tetapi juga hak-hak sosial ekonomi dan lain-lain yang dituangkan ke dalam kebijakan publik yang memihak rakyat. Dengan demikian partisipasi rakyat dalam pelaksanaan kebijakan publik dengan memenuhi kewajiban-kewajibannya mendapatkan motivasi, termasuk dalam penerapan berbagai aturan hukum.
·        Dari aspek sanksi yang sangat penting untuk dilakukan ialah kepastian lembaga yang berkompeten menerapkan sanksi, sikap konsisten, tegas adil dan tidak pandang bulu. Selama ini sanksi berupa hukuman lebih banyak dijatuhkan untuk pelanggaran hukum kelas teri, sedangkan mereka yang tergolong kelas kakap seakan-akan tak tersentuh oleh sanksi karena punya relasi, sisa-sisa pengaruh dan dana yang melimpah untuk “mengatur” kasus yang mereka hadapi. Berbagai cara dapat mereka lakukan untuk meloloskan diri dari jeratan hukuman, sehingga keadilan yang seharusnya berlaku buat setiap orang tak pandang bulu berkurang maknanya. Begitu pula pemberian reward, penghargaan seakan-akan menjadi milik orang-orang yang memiliki status tertentu, ketimbang kepada mereka yang tak punya status tinggi, meskipun berprestasi secara nyata untuk lingkungannya dan rakyat.
·        Dari aspek yurisdiksi sering-sering batas kewenangan berbagai lembaga tidak terlalu jelas atau bahkan bertumpang tindih. Keadaan ini diperparah lagi dengan berkembangnya egoisme sektoral dan lemahnya koordinasi, sehingga tidak jarang suatu masalah mondar mandir dilontar dari lembaga yang satu kepada yang lain, tanpa ada kepastian penyelesaiannya.
III. RELASI SISTIM HUKUM DAN SISTIM POLITIK
Penyelesaian masalah tersebut di atas secara baik merupakan syarat penting untuk terlaksananya penegakan hukum. Pelaksanaan Pemilihan Umum yang berjalan tertib, aman, dan damai merupakan bagian penting bagi proses menuju demokrasi yang diharapkan memperkokoh legitimasi politik lembaga-lembaga negara. Selanjutnya ditempatkannya pelaksanaan hukum dan hak asasi manusia sebagai salah satu prioritas dalam program Kabinet Indonesia Bersatu menunjukkan adanya political will dan komitmen pemerintah untuk lebih serius melakukan perubahan kebijakan dalam pembentukan hukum (law making policy), penegakan hukum (law enforcement policy) dan pembangunan budaya hukum (legal cultur).
Kebijakan pembentukan hukum diarahkan untuk membentuk substansi hukum yang responsif dan mampu menjadi sarana pembaharuan dan pembangunan yang mengabdi pada kepentingan nasional dengan mewujudkan ketertiban, legitimasi, dan keadilan. Sedangkan dalam penegakan hukum, kepastian dan perlindungan hukum serta hak asasi manusia menjadi sasaran utama melalui upaya penegakan hukum yang dilaksanakan secara tegas, lugas, konsekuen, dan konsisten dengan menghormati prinsip equality before the law, menjunjung tinggi hak asasi manusia serta nilai keadilan dan kebenaran yang menjadi esensi dari rule of law.
Dalam Kabinet Indonesia Bersatu bidang hukum dimasukkan dalam koordinasi Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan. Hal tersebut mempunyai arti yang penting bagi masa depan penegakkan hukum. Secara analisis dapat dipahami bahwa sistem hukum dan sistem politik sangat erat kaitannya demikian pula dengan sistem keamanan terutama yang berkaitan dengan masalah legitimasi, interpretasi, sanksi, dan yurisdiksi.
Relasi antara ketiga sistem tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
Badan legislatif dan badan eksekutif sebagai representasi sistem politik dalam sistem ketatanegaraan kita mempunyai hubungan yang sangat erat dalam proses legislatif, penyusunan budget dan pengawasan dalam rangka menciptakan check and balance. Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menentukan bahwa “setiap rancangan Undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.” Input primer yang dimasukkan oleh sistem politik ke dalam sistem hukum berupa Undang-undang yang merupakan diskripsi umum abstrak, akan direalisasikan secara konkrit oleh penegak hukum menjadi Law in action. “Keselarasan antara nilai yang terkandung dalam Undang-undang (Law in book) dengan law in action menjadi syarat penting untuk tegaknya keamanan dan sebaliknya. Keamanan yang stabil dan terkendali mendukung bekerjanya sistem hukum dan sistem politik. Diskripsi nilai atau cita-cita hukum yang terkandung dalam Undang-undang akan dirasakan secara nyata memberikan keadilan apabila ditegakkan. Satjipto Rahardjo (Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologi) antara lain menyatakan “Hukum tidak bisa tegak dengan sendirinya, artinya tidak mampu untuk mewujudkan sendiri janji-janji serta kehendaknya yang tercantum dalam peraturan-peraturan hukum itu”.
Hukum akan kehilangan maknanya apabila tidak ditegakkan. Dengan kata lain hukum tidak mampu menjalankan fungsi utamanya bila tidak ditegakkan.
Lebih lanjut Satjipto Raharjo (idem : 15) mengemukakan bahwa “apabila kita berbicara mengenai penegakkan hukum, maka pada hakekatnya kita berbicara mengenai penegakan ide-ide serta konsep-konsep yang notabene adalah abstrak itu. Dirumuskan secara lain, maka penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan.
Dalam sistem hukum kekuasaan kehakiman (yudikatif) menempati posisi sentral dalam menegakkan hukum, dalam merealisasikan ide-idee yang tertuang dalam Undang-undang sebagai produk dari sistem politik. Badan yudikatif memberikan isi dan wujud konkrit kepada kaidah hukum. Ditangan badan yudikatiflah hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran menjadi sesuatu yang nyata, menjadi realitas kehidupan. Tugas yang diemban oleh badan peradilan berada dalam bentangan antara kompleks nilai yang mendasari suatu Undang-undang (aturan hukum) dan kesadaran nilai-nilai konkrit dalam masyarakat.
Oleh karena itu kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan seperti diamanatkan pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 merupakan prinsip yang harus ditegakkan dalam negara Indonesia yang berdasarkan atas hukum. Lahirnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai pengganti Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 diharapkan menjadi landasan yuridis yang lebih mantap untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam arti kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.
Pembinaan Badan-badan peradilan umum, agama, militer, dan tata usaha negara dibawah satu atap Mahkamah Agung antara lain dimaksudkan untuk memperkokoh kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka tersebut, kehadiran Komisi Yudisial yang bersifat mandiri sebagaimana diamanatkan Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 sangat mendesak. Kehadiran Komisi Yudisial yang diberi wewenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku para hakim akan menjadi faktor penyeimbang dan mengawal kebebasan hakim sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman.
Masalah penegakkan hukum merupakan masalah yang tidak sederhana, bukan saja karena kompleksitas sistem hukum itu sendiri, tetapi juga rumitnya jalinan hubungan antara sistem hukum dengan sistem sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat. Pada kesempatan ini akan diketengahkan beberapa isu yang cukup menonjol dalam penegakkan hukum terutama yang berkaitan dengan substansi hukum, struktur (kelembagaan) hukum, budaya hukum.
1. Isu pokok yang berkaitan dengan substansi hukum
·        Masih terdapat aturan-aturan hukum yang sudah tidak cocok dengan perkembangan ketatanegaraan dan kepentingan hukum masyarakat ;
·        Terdapat produk-produk hukum yang ditentang keras oleh kelompok kepentingan yang terkait, karena dinilai tidak aspiratif ;
·        Perumusan ketentuan hukum tidak jelas, multi tafsir ;
·        Produk hukum saling bertentangan, tumpang tindih sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum ;
·        Peraturan pelaksanaan Undang-undang tidak segera diterbitkan atau terdapat jarak waktu yang cukup lama antara berlakunya Undang-undang dengan penerbitan peraturan pelaksanaannya ;
·        Tetap diberlakukannya peraturan pelaksanaan Undang-undang yang telah diubah/diganti melalui ketentuan Peraturan Peralihan yang umumnya berbunyi sebagai berikut :“Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, semua peraturan pelaksanaan yang telah ada dinyatakan tetap berlaku selama ketentuan baru berdasarkan Undang-undang ini belum dikeluarkan dan sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan Undang-undang ini”.
·        Dikabulkannya permohonan pengujian Undang-undang tanpa memperhatikan dampak yuridis yang timbul sebagai akibat dinyatakannya materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-undang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
2. Isu pokok yang berkaitan dengan struktur (kelembagaan) hukum
·        Menurunnya kepercayaan terhadap aparat penegak hukum ;
·        Lembaga penegak hukum sedang bergulat untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan reformasi ;
·        Independensi badan peradilan sebagai benteng terakhir bagi pencari keadilan belum terwujud ;
·        Kewenangan diskriesoner yang dimiliki oleh lembaga-lembaga hukum tanpa kontrol, sehingga sering disalahgunakan ;
·        Yurisdiksi lembaga-lembaga hukum tertentu bertumpang tindih ;
·        Manajemen penanganan kasus-kasus hukum belum efektif dan efisien serta tidak transparan dan akuntabel ;
·        Lemahnya koordinasi, karena kuatnya egoisme sektoral ;
·        Aparat penegak hukum kurang profesional dan rendah integritasnya dalam mengemban tugas pokok ;
·        Dana, sarana dan prasarana pendukung pelaksanaan tugas serta kesejahteraan aparat penegak hukum belum memadai.
3. Isu pokok yang berkaitan dengan budaya hukum
·        Lemahnya keteladanan dari para pemimpin dan dari kalangan-kalangan aparat penegak hukum untuk mematuhi hukum ;
·        Tingkat kesadaran hukum masyarakat masih rendah;
- Sistem internalisasi dan sosialisasi nilai-nilai hukum ke tengah-tengah masyarakat belum dilaksanakan secara sistematis dan integratif sebagai suatu gerakan kemasyarakatan ;
·        Adanya sikap permisif mentolerir berbagai pelanggaran hukum ;
·        Perlindungan dan penegakkan hak asasi manusia menjadi salah satu arus utama tuntutan masyarakat yang perlu direspon secara serius.
IV. Kebijakan
Salah satu esensi dari negara hukum ialah ditampilkannya peranan hukum secara mendasar sebagai titik sentral dalam kehidupan ketatanegaraan, dan kemasyarakatan menuju kehidupan yang adil dan sejahtera. Untuk itu komponen-komponen pokok dari sistem hukum perlu diperkokoh sebagai pilar-pilar utama dalam penegakkan hukum. Kebijakan menyeluruh mencakup substansi hukum yang responsif sebagai perwujudan aspirasi rakyat untuk mengatur berbagai aspek kehidupan yang berkembang dinamis, struktur (kelembagaan) hukum yang berwibawa dan memperoleh kepercayaan publik, profesional, tanggap dan tangguh dalam mengemban tugasnya serta kesadaran hukum masyarakat yang semakin tinggi menuju tumbuhnya budaya hukum, perlu dilakukan untuk memperkokoh pihak-pihak penegakan hukum.
Dalam rangka semakin mendekatkan nilai-nilai yang terkandung dalam hukum dengan realitas kehidupan hukum, maka perlu dilakukan serangkaian kebijakan dengan prioritas sebagai berikut :
1. Di bidang substansi hukum
·        Mengganti peraturan hukum yang tidak sesuai dengan perkembangan ketatanegaraan dan aspirasi rakyat ;
·        Badan pembentuk Undang-undang harus membuka diri terhadap partisipasi masyarakat dalam pembentukan Undang-undang dalam rangka pembentukan hukum yang responsive ;
·        Dalam pembentukan substansi hukum agar dipenuhi asas-asas formal maupun material ;
·        Perlu dilakukan inventarisasi Undang-undang yang belum diikuti dengan peraturan pelaksanaan ;
·        Peraturan pelaksanaan Undang-undang dipersiapkan dan ditetapkan segera setelah Undang-undang berlaku, agar semangat dan jiwanya mengalir sampai kepada peraturan pelaksanaan ;
·        Peraturan pelaksanaan suatu Undang-undang yang diberlakukan berdasarkan ketentuan peralihan Undang-undang segera diganti ;
·        Program Legislasi Nasional diprioritaskan untuk melaksanakan amanat Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, mengganti Undang-undang yang sudah ketinggalan jaman, membentuk Undang-undang baru untuk mendukung pembangunan ekonomi dan politik demokratis dan memerangi kejahatan transnasional atau kejahatan luar biasa;
- Melakukan kajian yuridis terhadap dampak putusan lembaga yudikatif yang mengabulkan permohonan judicial review dan melakukan tindak lanjut untuk menyelesaikan permasalahan yuridis yang timbul;
2. Di bidang Struktur (kelembagaan) hukum
·        Mengembalikan kepercayaan rakyat kepada aparat penegak hukum, melalui peningkatan kinerja, sikap tegas, konsisten dan bebas dari praktek KKN dalam penegakkan hukum ;
·        Melakukan revitalisasi dan reposisi kelembagaan serta perubahan budaya kerja ;
·        Menjamin badan peradilan bebas dari pengaruh dan campur tangan badan-badan lain dan menjamin kebebasannya untuk memeriksa dan memutus perkara serta menata pembinaan badan peradilan di bawah satu atap Mahkamah Agung ;
·        Melakukan pengawasan pelaksanaan kewenangan diskresioner yang dimiliki lembaga-lembaga hukum serta menetapkan pelaporan berkala kepada publik tentang pelaksanaan kewenangan tersebut ;
·        Mempertegas batas-batas yurisdiksi lembaga-lembaga hukum dengan menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya ;
·        Memperbaiki manajemen penanganan kasus hukum agar transparan, akuntabel dalam rangka melaksanakan prinsip penanganan kasus yang cepat, sederhana, akurat dan adil dengan biaya yang wajar ;
·        Memantapkan koordinasi pada tataran kebijakan dan pada pelaksanaannya di lapangan ;
·        Meningkatkan profesionalisme dan integritas penegak hukum melalui pendidikan dan pelatihan serta penegakkan disiplin dan kode etik ;
·        Mendayagunakan lembaga penyelesaian sengketa alternatif ;
·        Menyediakan dana, sarana dan prasarana yang lebih memadai untuk pelaksanaan tugas penegakkan hukum ;
·        Meningkatkan kesejahteraan aparat penegak hukum.
3. Di bidang budaya hukum
·        Para pemimpin dan elit politik pada tingkat nasional maupun lokal agar memberikan teladan dalam mematuhi hukum
- Menyempurnakan sistem internalisasi dan sosialisasi nilai-nilai hukum kepada masyarakat baik yang berkenaan dengan metodologi, substansi dan target khalayak yang ingin dijangkau, agar lebih partisipatif dan sesuai dengan tuntutan perkembangan keadaan dan aspirasi masyarakat ;
·        Masyarakat agar tidak mentolerir pelanggaran-pelanggaran hukum dan turut memberikan sanksi moral kepada para pelakunya.
Melalui serangkaian kebijakan tersebut di atas diharapkan penegakkan hukum akan semakin efektif dengan demikian hukum dapat melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut :
·        Memberikan pedoman bagi anggota masyarakat untuk berperilaku tertib dalam pergaulan kehidupan bermasyarakat dan bernegara;
- Social control dalam arti mendidik dan mengajak warga masyarakat agar mematuhi hukum ;
·        Penyelesaian sengketa melalui lembaga-lembaga hukum ;
·        Social engineering dalam arti mengadakan perubahan-perubahan didalam masyarakat.
Tegaknya hukum akan mendukung terciptanya ketertiban dan keamanan dalam masyarakat dan kondisi keamanan yang mantap mendukung upaya-upaya penegakan hukum. Realisasi nilai keadilan dan kebenaran melalui penegakkan hukum yang lugas, tegas dan tidak pandang bulu serta bebas dari praktek-praktek KKN akan memulihkan kepercayaan rakyat terhadap sistem hukum. Dengan demikian seperti dikemukan oleh Bambang Sunggono, SH, MS (opcit, 106) hukum antara lain akan dapat menjadi “sarana untuk menjamin agar anggota masyarakat dapat dipenuhi kebutuhannya secara terorganisasi”
V. PENGERTIAN KEBIJAKAN PUBLIK
Dari berbagai kepustakaan dapat diungkapkan bahwa kebijakan publik dalam kepustakaan Internasional disebut sebagai public policy, yaitu suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama yang harus ditaati dan berlaku mengikat seluruh warganya. Setiap pelanggaran akan diberi sanksi sesuai dengan bobot pelanggarannya yang dilakukan dan sanksi dijatuhkan didepan masyarakat oleh lembaga yang mempunyai tugas menjatuhkan sanksi (Nugroho R., 2004; 1-7).
Aturan atau peraturan tersebut secara sederhana kita pahami sebagai kebijakan publik, jadi kebijakan publik ini dapat kita artikan suatu hukum. Akan tetapi tidak hanya sekedar hukum namun kita harus memahaminya secara utuh dan benar. Ketika suatu isu yang menyangkut kepentingan bersama dipandang perlu untuk diatur maka formulasi isu tersebut menjadi kebijakan publik yang harus dilakukan dan disusun serta disepakati oleh para pejabat yang berwenang. Ketika kebijakan publik tersebut ditetapkan menjadi suatu kebijakan publik; apakah menjadi Undang-Undang, apakah menjadi Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden termasuk Peraturan Daerah maka kebijakan publik tersebut berubah menjadi hukum yang harus ditaati.
Sementara itu pakar kebijakan publik mendefinisikan bahwa kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah, mengapa suatu kebijakan harus dilakukan dan apakah manfaat bagi kehidupan bersama harus menjadi pertimbangan yang holistik agar kebijakan tersebut mengandung manfaat yang besar bagi warganya dan berdampak kecil dan sebaiknya tidak menimbulkan persoalan yang merugikan, walaupun demikian pasti ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan, disinilah letaknya pemerintah harus bijaksana dalam menetapkan suatu kebijakan (Thomas Dye, 1992; 2-4).
Untuk memahami kedudukan dan peran yang strategis dari pemerintah sebagai public actor, terkait dengan kebijakan publik maka diperlukan pemahaman bahwa untuk mengaktualisasinya diperlukan suatu kebijakan yang berorientasi kepada kepentingan rakyat. Seorang pakar mengatakan: (Aminullah dalam Muhammadi, 2001: 371 – 372): bahwa kebijakan adalah suatu upaya atau tindakan untuk mempengaruhi sistem pencapaian tujuan yang diinginkan, upaya dan tindakan dimaksud bersifat strategis yaitu berjangka panjang dan menyeluruh.
Demikian pula berkaitan dengan kata kebijakan ada yang mengatakan: (Ndraha 2003: 492-499) bahwa kata kebijakan berasal dari terjemahan kata policy, yang mempunyai arti sebagai pilihan terbaik dalam batas-batas kompetensi actor dan lembaga yang bersangkutan dan secara formal mengikat.
Meski demikian kata kebijakan yang berasal dari policy dianggap merupakan konsep yang relatif (Michael Hill, 1993: 8): The concept of policy has a particular status in the rational model as the relatively durable element against which other premises and actions are supposed to be tested for consistency.
Dengan demikian yang dimaksud kebijakan dalam Kybernology dan adalah sistem nilai kebijakan dan kebijaksanaan yang lahir dari kearifan aktor atau lembaga yang bersangkutan. Selanjutnya kebijakan setelah melalui analisis yang mendalam dirumuskan dengan tepat menjadi suatu produk kebijakan. Dalam merumuskan kebijakan Thomas R. Dye merumuskan model kebijakan antara lain menjadi: model kelembagaan, model elit, model kelompok, model rasional, model inkremental, model teori permainan, dan model pilihan publik, dan model sistem.
Selanjutnya tercatat tiga model yang diusulkan Thomas R. Dye, yaitu: model pengamatan terpadu, model demokratis, dan model strategis. Terkait dengan organisasi, kebijakan menurut George R. Terry dalam bukunya Principles of Management adalah suatu pedoman yang menyeluruh, baik tulisan maupun lisan yang memberikan suatu batas umum dan arah sasaran tindakan yang akan dilakukan pemimpin (Terry, 1964:278).
Kebijakan secara umum menurut Said Zainal Abidin (Said Zainal Abidin,2004:31-33) dapat dibedakan dalam tiga tingkatan:
  1. Kebijakan umum, yaitu kebijakan yang menjadi pedoman atau petunjuk pelaksanaan baik yang bersifat positif ataupun yang bersifat negatif yang meliputi keseluruhan wilayah atau instansi yang bersangkutan.
  2. Kebijakan pelaksanaan adalah kebijakan yang menjabarkan kebijakan umum. Untuk tingkat pusat, peraturan pemerintah tentang pelaksanaan suatu undang-undang.
  3. Kebijakan teknis, kebijakan operasional yang berada di bawah kebijakan pelaksanaan.
Namun demikian berdasarkan perspektif sejarah, maka aktivitas kebijakan dalam tataran ilmiah yang disebut analisis kebijakan, memang berupaya mensinkronkan antara pengetahuan dan tindakan. Dikatakan oleh William N. Dunn (William N. Dunn, 2003: 89)
Analisis Kebijakan (Policy Analysis) dalam arti historis yang paling luas merupakan suatu pendekatan terhadap pemecahan masalah sosial dimulai pada satu tonggak sejarah ketika pengetahuan secara sadar digali untuk dimungkinkan dilakukannya pengujian secara eksplisit dan reflektif kemungkinan menghubungkan pengetahuan dan tindakan.
Setelah memaparkan makna kebijakan, maka secara sederhana kebijakan publik digambarkan oleh Bill Jenkins didalam buku The Policy Process sebagai Kebijakan publik adalah suatu keputusan berdasarkan hubungan kegiatan yang dilakukan oleh aktor politik guna menentukan tujuan dan mendapat hasil berdasarkan pertimbangan situasi tertentu. Selanjutnya Bill Jenkins mendefinisikan kebijakan publik sebagai: (Michael Hill, 1993: 34)
A set of interrelated decisions taken by a political actor or group of actors concerning the selection of goals and the means of achieving them within a specified situation where these decisions should, in principle, be within the power of these actors to achieve.
Dengan demikian kebijakan publik sangat berkait dengan administasi negara ketika public actor mengkoordinasi seluruh kegiatan berkaitan dengan tugas dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat melalui berbagai kebijakan publik/umum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan negara. Untuk itu diperlukan suatu administrasi yang dikenal dengan “administrasi negara.” Menurut Nigro dan Nigro dalam buku M. Irfan Islamy “Prinsip-prinsip Kebijakan Negara (Islamy, 2001:1), administrasi negara mempunyai peranan penting dalam merumuskan kebijakan negara dan ini merupakan bagian dari proses politik. Administrasi negara dalam mencapai tujuan dengan membuat program dan melaksanakan berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan dalam bentuk kebijakan. Oleh karena itu kebijakan dalam pandangan Lasswell dan Kaplan yang dikutip oleh Said Zainal Abidin (Abidin, 2004: 21) adalah sarana untuk mencapai tujuan atau sebagai program yang diproyeksikan berkenaan dengan tujuan, nilai, dan praktik.
Terkait dengan kebijakan publik, menurut Thomas R. Dye penulis buku “Understanding Public Policy, yang dikutip oleh Riant Nugroho D (Riant, 2004:3) Kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama tampil.
Sedangkan menurut Said Zainal Abidin, alumni University of Pittsburgh, Pennsylvania, US, (Said Zainal Abidin,2004: 23) kebijakan publik biasanya tidak bersifat spesifik dan sempit, tetapi luas dan berada pada strata strategis. Sebab itu kebijakan publik berfungsi sebagai pedoman umum untuk kebijakan dan keputusan-keputusan khusus di bawahnya.
Dalam Kybernology dan dalam konsep kebijakan pemerintahan kebijakan publik merupakan suatu sistem nilai yang lahir dari kearifan aktor atau lembaga yang bersangkutan dapat digambarkan sebagai berikut:

Sistem Nilai Kearifan
Sistem Nilai Kearifan
Selanjutnya kebijakan publik tersebut setelah melalui analisa yang mendalam dan dirumuskan dengan tepat menjadi suatu produk kebijakan publik. Dalam merumuskan kebijakan publik Thomas R. Dye merumuskan model kebijakan yaitu:
  1. Model Kelembagaan;
  2. Model Elit;
  3. Model Kelompok;
  4. Model Rasional;
  5. Model Inkremental;
  6. Model Teori Permainan;
  7. Model Pilihan Publik;
  8. Model Sistem
Selain itu ada tiga model yang diusulkan Thomas R. Dye, yaitu:
  1. Model Pengamatan Terpadu;
  2. Model Demokratis;
  3. Model Strategis
Di sisi lain kebijakan publik sangat berkait dengan administasi negara ketika public actor mengkoordinasi seluruh kegiatan berkaitan dengan tugas dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat melalui berbagai kebijakan publik/umum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan negara. Untuk itu diperlukan suatu administrasi yang dikenal dengan “administrasi negara.” Kebutuhan masyarakat tidak seluruhnya dapat dipenuhi oleh individu atau kelompoknya melainkan diperlukan keterlibatan pihak lain yang dibentuk oleh masyarakat itu sendiri. Pihak lain inilah yang kemudian disebut dengan administrasi negara.
Proses dilakukan organisasi atau perorangan yang bertindak dalam kedudukannya sebagai pejabat yang berkaitan dengan penerapan atau pelaksanaan hukum dan peraturan yang dikeluarkan oleh legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Administrasi negara dalam mencapai tujuan dengan membuat program dan melaksanakan berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan dalam bentuk kebijakan. Kebijakan menurut Lasswell dan Kaplan yang dikutip oleh Said Zainal Abidin (Abidin, 2004: 21) adalah sarana untuk mencapai tujuan, menyebutkan kebijakan sebagai program yang diproyeksikan berkenaan dengan tujuan, nilai, dan praktik. Pendapat lain tentang kebijakan menurut Heinz Eulau dan Kenneth Prewit adalah suatu keputusan yang menuntut adanya perilaku yang konsisten dan pengulangan bagi pembuat dan pelaksana kebijakan.
Terkait dengan kebijakan publik, menurut Thomas R. Dye penulis buku “Understanding Public Policy, yang dikutip oleh Riant Nugroho D (Riant, 2004:3) Kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama tampil.
Sedangkan menurut Said Zainal Abidin, alumni University of Pittsburgh, Pennsylvania, US, (Said Zainal Abidin,2004: 23)  kebijakan publik adalah biasanya tidak bersifat spesifik dan sempit, tetapi luas dan berada pada strata strategis. Sebab itu kebijakan publik berfungsi sebagai pedoman umum untuk kebijakan dan keputusan-keputusan khusus di bawahnya.
Kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk mengatur kehidupan bersama untuk mencapai visi dan misi yang telah disepakati. Hal ini seperti tergambar dalam gambar berikut:
Kebijakan Publik
Kebijakan Publik
Dari gambar di atas dapat simpulkan bahwa kebijakan publik sebagai manajemen pencapaian tujuan yang dapat diukur. Namun menurut Riant Nugroho D., bukan berarti kebijakan publik mudah dibuat, mudah dilaksanakan, dan mudah dikendalikan, karena kebijakan publik menyangkut politik (Nugroho, 2004:52).
Kebijakan publik dalam praktik ketatanegaraan dan kepemerintahan pada dasarnya terbagi dalam tiga prinsip yaitu: pertama, dalam konteks bagaimana merumuskan kebijakan publik (Formulasi kebijakan); kedua, bagaimana kebijakan publik tersebut diimplementasikan dan ketiga, bagaimana kebijakan publik tersebut dievaluasi (Nugroho 2004,100-105)
Dalam konteks formulasi, maka berbagai isu yang banyak beredar didalam masyarakat tidak semua dapat masuk agenda pemerintah untuk diproses menjadi kebijakan. Isu yang masuk dalam agenda kebijakan biasanya memiliki latar belakang yang kuat berhubungan dengan analisis kebijakan dan terkait dengan enam pertimbangan sebagai berikut:
  1. Apakah Isu tersebut dianggap telah mencapai tingkat kritis sehingga tidak bisa diabaikan?.
  2. Apakah Isu tersebut sensitif, yang cepat menarik perhatian masyarakat?
  3. Apakah Isu tersebut menyangkut aspek tertentu dalam masyarakat?
  4. Apakah Isu tersebut menyangkut banyak pihak sehingga mempunyai dampak yang luas dalam masyarakat kalau diabaikan?
  5. Apakah Isu tersebut berkenaan dengan kekuasaan dan legitimasi?
  6. Apakah Isu tersebut berkenaan dengan kecenderungan yang sedang berkembang dalam masyarakat?
Namun dari semua isu tersebut di atas menurut Said Zainal Abidin (Said Zainal Abidin, 2004: 56-59) tidak semua mempunyai prioritas yang sama untuk diproses. Ini ditentukan oleh suatu proses penyaringan melalui serangkaian kriteria. Berikut ini kriteria yang dapat digunakan dalam menentukan salah satu di antara berbagai kebijakan:
  1. Efektifitas – mengukur suatu alternatif sasaran yang dicapai dengan suatu alternatif kebijakan dapat menghasilkan tujuan akhir yang diinginkan.
  2. Efisien – dana yang digunakan harus sesuai dengan tujuan yang dicapai.
  3. Cukup – suatu kebijakan dapat mencapai hasil yang diharapkan dengan sumberdaya yang ada.
  4. Adil
  5. Terjawab – kebijakan dibuat agar dapat memenuhi kebutuhan sesuatu golongan atau suatu masalah tertentu dalam masyarakat.
Aktivitas analisis didalam kebijakan publik pada dasarnya terbuka terhadap peran serta disiplin ilmu lain. Oleh karena itu didalam kebijakan publik akan terlihat suatu gambaran bersintesanya berbagai disiplin ilmu dalam satu paket kebersamaan. Berdasarkan pendekatan kebijakan publik, maka akan terintegrasi antara kenyataan praktis dan pandangan teoritis secara bersama-sama. Dalam kesempatan ini Ripley menyatakan (Randal B. Ripley, 1985: 31)
Didalam proses kebijakan telah termasuk didalamnya berbagai aktivitas praktis dan intelektual yang berjalan secara bersama-sama.
Pada praktik kebijakan publik antara lain mengembangkan mekanisme jaringan aktor (actor networks). Melalui mekanisme jaringan aktor telah tercipta jalur-jalur yang bersifat informal (second track), yang ternyata cukup bermakna dalam mengatasi persoalan-persoalan yang sukar untuk dipecahkan. Mark Considine memberi batasan jaringan aktor sebagai: (Mark Considine, 1994: 103)
Keterhubungan secara tidak resmi dan semi resmi antara individu-individu dan kelompok-kelompok di dalam suatu sistem kebijakan.
Terdapat 3 (tiga) rangkaian kesatuan penting didalam analisis kebijakan publik yang perlu dipahami, yaitu formulasi kebijakan (policy formulation), implementasi kebijakan (policy implementation) dan evaluasi kebijakan (policy evaluation). Didalam kesempatan ini dibahas lebih lanjut mengenai implementasi kebijakan, karena memiliki relevansi dengan tema kajian.
V. PEMBAHASAN


A. KEBIJAKAN FISKAL

Kebijakan Fiskal yang sering juga disebut “politik fiscal” atau “fiscal policy”, biasa diartikan sebagai tindakan yang diambil oleh pemerintah dalam bidang anggaran belanja Negara dengan maksud untuk mempengaruhi jalannya perekonomian melalui anggaran Negara. Nama lengkap anggaran belanja Negara kita ialah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang biasa hanya disingkat APBN.
 Anggaran Pendapatan Dan Belanja (APBN)v
APBN adalah suatu daftar atau penjelasan terperinci mengenai penerimaan dan pengeluaran negara dalam jangka waktu satu tahun yang ditetapkan dengan Undang-undang, serta dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Ø      Fungsi APBN
1.      Fungsi alokasi berkaitan dengan penggunaan sumber-sumber penerimaan negara untuk membiayai belanja Negara ;
2.      Fungsi distribusi Berkaitan dengan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Pemerataan kesejahteraan dapat terwujud jika pemanfaatan penerimaan negara dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan ;
3.      Fungsi stabilitas Berkaitan dengan pengaturan perekonomian nasional agar tetap seimbang, yaitu permintaan agregat (keseluruhan) sama dengan penawaran agregat. APBN bagi pemerintah sebagai instrumen pengendali perekonomian, baik dalam kondisi perekonomian yang stabil, depresi ataupun inflasi ;

Ø      Tujuan penyusunan APBN
1.      Meningkatkan transparansi dan pertanggungjawaban pemerintah kepada DPR dan rakyat ;
2.      Meningkatkan koordinasi dalam lingkungan pemerintah ;
3.      Membantu pemeritah mencapai tujuan kebijakan fiscal ;
4.      Memungkinkan pemerintah memenuhi prioritas belanja Negara ;
5.      Membantu menciptakan efisiensi dan keadilan dalam menyediakan barang dan jasa publik ;

Ø      Proses penyusunan APBN
1.      Pemerintah (Presiden dibantu para menteri, terutama Menteri Keuangan) menyusun RABPN berdasarkan asumsi-asumsi, yaitu tentang :
Kondisi ekonomi makro seperti Produk Domestik Bruto (PDB) menurut harga yang berlaku ;
2.      Pertumbuhan ekonomi ;
3.      Inflasi ;
4.      Nilai tukar rupiah ;
5.      Rata-rata suku bunga SBI 3 bulan ;
6.      Harga minyak internasional ;
7.      Serta produksi minyak dalam negeri ;

Dalam menyusun RAPBN digunakan azas kemandirian, azas penghematan, azas penajaman prioritas pembangunan. RAPBN oleh pemerintah diajukan ke DPR dan dilakukan pembahasan dengan melakukan koordinasi dengan pihak-pihak yang berkompeten sesuai bidang masing-masing. Jika telah disetujui, DPR akan mengesahkan RAPBN menjadi APBN. Hak DPR untuk menetapkan anggaran negara disebtut Hak Budget. Namun jika tidak ditemukan kesepakatan tentang RAPBN, DPR menetapkan APBN tahun lalu sebagai APBN tahun berjalan.;

Ø      STRUKTUR APBN :
  1. Pendapatan Negara
Penerimaan Dalam Negeri
·        Penerimaan Pajak, meliputi :
1.      Pendapatan Pajak Dalam Negeri (PPh, PPN, PPnBM, PBB, BPHTB, Cukai, dan pajak lain) ;
2.      Pendapatan Pajak Perdagangan Internasional
-  Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), meliputi :
1.      Penerimaan Sumber daya Alam ;
2.      Pendapatan Bagian Laba BUMN ;
3.      Pendapatan Negara Bukan Pajak lainnya ;
4.      Pendapatan Badan Layanan Umum (BLU) ‘
-  Hibah
Adalah semua penerimaan negara yang berasal dari sumbangan pihak swasta dalam negeri dan pemerintah daerah serta pihak swasta luar negeri dan pemerintah luar negeri yang tidak perlu dibayar kembali dan tidak mengikat, tidak secara terus-menerus, dan dialokasikan untuk kegiatan tertentu sesuai Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) ;
  1. Belanja Negara
-   Belanja Pemerintah Pusat, meliputi :
1.      Belanja Pegawai ;
2.      Belanja Barang ‘
3.      Belanja Modal
4.      Belanja Bunga dan Pinjaman ;
5.      Subsidi (subsidi energi dan subsidi nonenergi) ;
6.      Belanja Hibah ;
7.      Belanja Bantuan Sosial ;
8.      Belanja lain-lain
-         Transfer ke Daerah, meliputi :
    1. Dana Perimbangan (dana bagi hasil, dana alokasi umum, dana alokasi khusus) ;
    2. Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian ;
C. Surplus/Defisit Anggaran
a.       Pembiayaan, terdiri :
-         Pembiayaan Dalam Negeri, meliputi :
1.      Perbankan Dalam Negeri ;
2.      Nonperbankan Dalam Negeri ;
-         Pembiayaan Luar Negeri Netto, terdiri :
1.      Penarikan pinjaman luar negeri bruto, (pinjaman program, Pinjaman proyek) ;
2.      Penerusan pinjaman ;
3.      Pembayaran cicilan pokok utang luar negeri

B.     PAJAK

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga dapat dipaksakan— dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum ;

Terdapat bermacam-macam batasan atau definisi tentang "pajak" yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya adalah :
·        Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan ;
·        Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH, pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment ;
·        Sedangkan menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R, pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.
Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat ;

C. Jenis Pajak

Di tinjau dari segi Lembaga Pemungut Pajak dapat di bagi menjadi dua jenis yaitu:
Pajak Negara :
·        Pajak Penghasilan ;
·        Pajak Pertambahan Nilai ;
·        Pajak Penjualan Barang Mewah ;
·        Pajak Bumi dan Bangunan ;
·        Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ;
·        Pajak Bea Masuk dan Cukai
Pajak Daerah ;
·        Pajak Kendaraan bermotor ;
·        Pajak Radio ;

D. Fungsi Pajak

Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu :
·        Fungsi anggaran (budgetair) :
Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak. ;
·        Fungsi mengatur (regulerend) :
Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri ;
·        Fungsi stabilitas :
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien ;
·        Fungsi redistribusi pendapatan :
Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat ;

E. Teori pemungutan

Menurut R. Santoso Brotodiharjo SH, dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Pajak, ada beberapa teori yang mendasari adanya pemungutan pajak, yaitu :
1.      Teori asuransi, menurut teori ini, negara mempunyai tugas untuk melindungi warganya dari segala kepentingannya baik keselamatan jiwanya maupun keselamatan harta bendanya. Untuk perlindungan tersebut diperlukan biaya seperti layaknya dalam perjanjian asuransi deiperlukan adanya pembayaran premi. Pembayaran pajak ini dianggap sebagai pembayaran premi kepada negara. Teori ini banyajk ditentang karena negara tidak boleh disamakan dengan perusahaan asuransi ;
2.      Teori kepentingan, menurut teori ini, dasar pemungutan pajak adalah adanya kepentingan dari masing-masing warga negara. Termasuk kepentingan dalam perlindungan jiwa dan harta. Semakin tinggi tingkat kepentingan perlindungan, maka semakin tinggi pula pajak yang harus dibayarkan. Teori ini banyak ditentang, karena pada kenyataannya bahwa tingkat kepentingan perlindungan orang miskin lebih tinggi daripada orang kaya. Ada perlindungan jaminan sosial, kesehatan, dan lain-lain. Bahkan orang yang miskin justru dibebaskan dari beban pajak.
Kasus Penerimaan Pajak di Indonesia tahun 2005
Kembali ke tahun 2005, menurut data dari website Dirjen pajak, bahwa Target Penerimaan negara Indonesia di sektor pajak tahun 2006 secara nasional sebesar Rp 362 trilyun atau mengalami peningkatan 20 persen dari 2005 lalu. Angka tersebut terdiri Rp 325 trilyun dari pajak dan Rp 37 trilyun dari Pajak Penghasilan (PPh) Migas ;
Target penerimaan negara dari perpajakan dalam APBN 2006 mencapai Rp.402,1 triliun. Target penerimaan itu antara lain berasal dari :
·        Pajak Penghasilan (PPh) Rp.198,22 triliun
• Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM) Rp.126,76 triliun ;
·        Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Rp.15,67 triliun
• Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Rp.5,06 triliun ;
·        Penerimaan pajak lainnya Rp.2,76 triliun.
Pendapatan pajak itu sudah termasuk pendapatan cukai Rp.36,1 triliun, bea masuk Rp.17,04 triliun dan pendapatan pungutan ekspor Rp.398,1 miliar. Total penerimaan pajak dalam lima tahun terakhir (2001-2005) sudah mencapai 1.040 triliun. Pajak A) Bedasarkan wujudnya, pajak dibedakan menjadi : 1 Pajak langsung adalah pajak yang dibebanhkan secara langsung kepada wajib pajak seperti pajak pendapatan, pajak kekayaan 2 Pajak tidak langsung adalah pajak / pungutan wajib yang harus dibayarkan sebagai sumbangan wajib kepada negara yangb secara tidak langsung dikenakan kepada wajib pajak seperti cukai rokok dan sebagainya. B) Bedasarkan jumlah yang harus dibayarkan, pajak dibedakan menjadi : 1. Pajak pendapatan adalah pajak yang dikenakan atas pendapatan tahunan dan laba dari usaha seseorang, perseroian terbatas / unit lain 2. Pajak penjualan adalah pajak yang dibayarkan pada waktu terjadinya penjualan barang / jasa yang dikenakan kepada pembeli 3 Pajak badan usaha adalah pajak yang dikenakan kepada badan usaha seperti perusahaan bank dan sebagainya C) Pajak bedasarkan pungutannya dapat dibedakan menjadi: 1 Pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah pajak / pungutan yang dikumpulkan oleh pemerintah pusat terhadap tanah dan bangunan kemudian didistrubusiakan kepada daerah otonom sebagai pendapatan daerah sendiri 2. Pajak perseroan adalah pungutan wajib atas laba perseroan / badan usaha lain yang modalnya / bagiannya terbagi atas saham – saham. 3 Pajak siluman adalah pungutan secara tidak resmi / pajak gelap dan merupakan sumber korupsi 4 Pajak tranist adalah pajak yang dipungut ditempat tertentu yang harus dilalui oleh pengangkutan orang / barang dari suatu tempat kertempat lain ;

B. KEBIJAKAN MONETER

Kebijakan moneter adalah proses mengatur persediaan uang sebuah negara untuk mencapai tujuan tertentu; seperti menahan inflasi, mencapai pekerja penuh atau lebih sejahtera. Kebijakan moneter dapat melibatkan mengeset standar bunga pinjaman, "margin requirement", kapitalisasi untuk bank atau bahkan bertindak sebagai peminjam usaha terakhir atau melalui persetujuan melalui negosiasi dengan pemerintah lain ;

Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi makro, yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang. Apabila kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka kebijakan moneter dapat dipakai untuk memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh kebijakan moneter pertama kali akan dirasakan oleh sektor perbankan, yang kemudian ditransfer pada sektor riil. Kebijakan moneter adalah upaya untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara berkelanjutan dengan tetap mempertahankan kestabilan harga. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Sentral atau Otoritas Moneter berusaha mengatur keseimbangan antara persediaan uang dengan persediaan barang agar inflasi dapat terkendali, tercapai kesempatan kerja penuh dan kelancaran dalam pasokan/distribusi barang.Kebijakan moneter dilakukan antara lain dengan salah satu namun tidak terbatas pada instrumen sebagai berikut yaitu suku bunga, giro wajib minimum, intervensi dipasar valuta asing dan sebagai tempat terakhir bagi bank-bank untuk meminjam uang apabila mengalami kesulitan likuiditas.
Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :
a.       Kebijakan Moneter Ekspansif / Monetary Expansive Policy Adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang edar ;
b.      Kebijakan Moneter Kontraktif / Monetary Contractive Policy Adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang edar. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policy)
Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan instrumen kebijakan moneter, yaitu antara lain :
    1. Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation) Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government securities). Jika ingin menambah jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah SBI atau singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang ;
    2. Fasilitas Diskonto (Discount Rate) Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah duit yang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum kadang-kadang mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat bunga demi membuat uang yang beredar berkurang ;
    3. Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio) Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio ;
    4. Himbauan Moral (Moral Persuasion) Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberi imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.
      Dan disinilah Bank Indonesia berperan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia.
      Hal yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter (Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating). Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.
      Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Secara operasional, pengendalian sasaran-sasaran moneter tersebut menggunakan instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan. Bank Indonesia juga dapat melakukan cara-cara pengendalian moneter berdasarkan

C. Prinsip Syariah.

Tingkat suku bunga akan memengaruhi jumlah uang yang beredar Bila tingkat suku bunga rendah, masyarakat enggan menyimpan uangnya di bank. Oleh karena itu, jumlah uang yang beredar akan meningkat. Sebaliknya, jika tingkat suku bunga tinggi, jumlah uang yang beredar menurun karena banyak orang yang menyimpan uangnya di bank. ;
D. EFEKTIFITAS KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER

Kebijakan fiscal telah banyak kehilangan daya tariknya bagi pembuat kebijakan dan ahli Makroekonomi sebagai alat penstabil. Masalah kebijakan fiscal adalah bahwa lebih mudah untuk memotong pajak dari pada menaikkannya, dan lebih mudah untuk menaikkan pengeluaran dari pada untuk memotongnya. Dibandingkan kebijakan fiscal, kebijakan moneter beroperasi lebih tidak langsung pada perekonomian. Disaat perluasan kebijakan fiscal yang secara nyatamembeli barang atau jasa atau menempatkan pendapatan pada tangan konsumen atau perusahaan, kebijakan moneter mempengaruhi pengeluaran dengan cara mengubah suku bunga, kondisi kredit, nilai tukar, dan harga asset ;

Merujuk pada kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, telah banyak pakar ekonomi dan ekonom Indonesia lainnya yang telah melakukan studi empiris, interpretasi dan analisis mengenai efektivitas kebijakan moneter terhadap parameterparameter makroekonomi yang mempengaruhi kondisi perekonomian di Indonesia. Pada umumnya, analisis yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui suatu respon variabelvariabel makroekonomi terhadap kebijakan moneter di Indonesia dan menganalisis faktorfaktor yang dapat mempengaruhi perubahan kondisi perekonomian di Indonesia. Salah satu indikator yang juga berkaitan dengan efektivitas kebijakan moneter, yakni tingkat inflasi dan pengangguran di Indonesia ;

Melihat jauh kebelakang mengenai tindak tanduk Bank Indonesia sebagai lembaga otoritas moneter dalam mengatur kebijakan upaya stabilisasi peredaran jumlah uang di masyarakat. Secara umum, kinerja dan upaya yang telah dilakukan oleh Bank Indonesia, sudah menunjukkan perannya sebagai lembaga otoritas moneter dalam menetapkan kebijakan untuk perbaikan perekonomian di Indonesia. Walaupun banyak para pakar ekonomi dan pemerhati ekonomi di Indonesia mengatakan bahwa kebijakan moneter yang telah ditetapkan kurang mampu mengendalikan laju inflasi dan tingkat pengangguran dalam jangka pendek. Akan tetapi, geliat dan upaya yang dilakukan oleh Bank Indonesia telah menunjukkan fungsi dan perannya sebagai lembaga otoritas moneter dalam menetapkan kebijakan moneter untuk perbaikan dan kestabilan kondisi perekonomian di Indonesia, walaupun tujuan dan sasaran yang diharapkan dapat dicapai dalam periode jangka panjang. Oleh karena itu, untuk mencapai kondisi perekonomian yang stabil di Indonesia, peran serta semua pihak yang terkait perlu digalakkan. Bank Indonesia sebagai Bank Sentral di Indonesia telah menjalankan fungsinya dengan menetapkan SBI sebagai instrumen kebijakan moneter, maka keberhasilan implementasi dan realisasi kebijakan yang telah ditetapkan juga bergantung pada oknum-oknum terkait dan kondisi di Indonesia sendiri. Efektivitas kebijakan moneter Bank Indonesia terhadap variabel-variabel makroekonomi, seperti masalah inflasi dan tingkat pengangguran di Indonesia perlu diperhatikan. Oleh karena itu, Bank Sentral diharapkan mampu merumuskan kebijakan yang lebih efektif dalam menstransmisikan sektor moneter ke sektor riil. Selain itu, Bank Sentral juga diharapkan tidak hanya terfokus pada pentargetan inflasi saja, namun perlu juga memperhatikan variabel makroekonomi lainnya, termasuk perubahan kondisi internal dan eksternal, sehingga diharapkan kebijakan yang diambil dapat dengan cepat menyesuaikan diri dengan keadaan perekonomian yang terjadi.
Di dalam menetapkan kebijakan moneter, Bank Sentral juga diharapkan dapat menerapkan kebijakan yang disesuaikan dengan kondisi dan permasalahan tenaga kerja dan tingkat usaha di Indonesia, mengingat faktor sumber daya manusia merupakan elemen penting dari suatu negara. Tingkat penganguran juga mengidentifikasi keadaan perekonomian suatu negara. Jika suatu negara menginginkan keadaan sumber daya manusianya yang makmur dan sejahtera, maka sudah sepatutnya negara tersebut juga harus memperhatikan keadaan dan kondisi sumber daya manusianya ;


VI. KESIMPULAN

Dari uraian-uraian tersebut di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.      Bahwa setiap pengambil kebijakan publik terutama di bidang Moneter dan Fiskal, harus memperhatikan kesejahteraan rakyat ;
2.      Bahwa apapun bentuk pelaksaan dari kebijakan publik di bidang Moneter dan Fiskal, haruslah berorientasi pada kebutuhan masyarakat ;
3.      Masyarakat sebagai tujuan utama dari pengambilan keputusan di bidang Moneter dan Fiskal ;

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kecelakaan Lalu Lintas

    Ritual Mudik menjelang Hari Raya Idul Fitri telah tuntas dilakukan dengan berbagai variasinya. Masyarakat yang mudik dengan mengguna...