Selasa, 13 Oktober 2015

PERANAN HAKIM



PERANAN HAKIM DALAM MELAKSANAKAN UNDANG-UNDANG SISITEM PERADILAN PIDANA ANAK

OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH[1]


I.       Latar Belakang
Hukum dalam suatu Negara merupakan instrumen yang sangat penting demi menjaga terjaminnya ketertiban dan keteraturan di Negara tersebut, sehingga di dalam suatu Negara yang merdeka dibutuhkan adanya ketegasan di dalam penerapan hukum sehingga tercipta adanya kepastian hukum.
Sebagai Negara yang menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia telah menyatakan sebagai Negara Hukum, maka Indonesia memliki politik hukum yang akan membentuk sistem hukum yang akan diberlakukan. Sebagaiamana dikemukakan oleh Padmo Wahjono yang dikutip oleh Abdul Latif, menyatakan bahwa, “Polittik Hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang berlaku”.[2]
Pendapat dari Padmo Wahjono ini tentu masih bersifat abstrak, sehingga kemudian Padmo Wahjono melengkapinya dalam sebuah Majalah Forum Keadilan yang berjudul Menyelisik Proses Terbentuknya Undang-Undang, mengatakan, “Politik Hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukum sesuatu”.[3] Sehingga dengan demikian dari pendapat padmo Wahjono tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa “Politik Hukum adalah kebijakan yang bersifat mendasar dalam menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk dan tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu”.[4]
Dari politik hukum itulah yang kemudian akan menentukan sistem hukum yang akan berlaaku di Indonesia, termasuk pula produk perundang-undangan yang akan dibentuk.
Dalam perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak, tentunya memiliki spesialisasi tertentu di dalam penanganannya. Fakta-fakta sosial yang belakangan ini terjadi dalam kehidupan bermasyarakat adalah permasalahan yang terkait anak, dimana dalam kehidupan sosial yang sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor tersebut kita dihadapkan lagi dengan permasalahan penanganan anak yang diduga melakukan tindak pidana. Anak adalah merupakan tumpuan harapan masa depan bangsa, Negara, masyarakat, ataupun keluarga, oleh karena kondisinya sebagai anak, maka diperlukan perlakuan khusus agar dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik fisik mental dan rohaninya. Bertolak dari hal tersebut, pada hakekatnya pengaturan mengenai anak telah diatur secara tegas dalam konstitusi Indonesia yaitu berkaitan dengan pengaturan Hak Asasi Manusia yang diatur dalam Pasal 28B angka 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur mengenai hak tumbuh kembang anak serta mendapatkan perlindungan.
Sementara itu dari perspektif ilmu pemidanaan, Paulus Hadisuprapto (2003) meyakini bahwa penjatuhan pidana terhadap anak nakal (delinkuen) cenderung merugikan perkembangan jiwa anak di masa mendatang. Kecenderungan merugikan ini akibat dari efek penjatuhan pidana terutama pidana penjara, yang berupa stigma (cap jahat). Dikemukakan juga oleh Barda Nawawi Arief (1994, pidana penjara dapat memberikan stigma yang akan terbawa terus walaupun yang bersangkutan tidak melakukan kejahatan lagi. Akibat penerapan stigma bagi anak akan membuat mereka sulit untuk kembali menjadi anak ”baik”.[5]
Oleh sebab itu, peranan Hakim di dalam penanganan perkara pidana Anak sangat penting . Dibutuhkan Hakim yang memiliki dedikasi, pengetahuan dan kemampuan untuk mengaplikasikan peraturan perundangan tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, dengan mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan Anak dalam rangka tumbuh kembang Anak.

II. Permasalahan

Dari uraian tersebut di atas, maka akan timbul suatu permasalahan yaitu, Bagaimana peranan Hakim dalam melaksanaan Undang-Undang Sistem Peradilan Anak?”.

III. Pembahasan
Istilah tindak pidana sebagai terjemahan strafbaar feit adalah diperkenalkan oleh pihak pemerintah cq Departemen Kehakiman. Istilah ini banyak dipergunakan dalam Undang-undang tindak pidana khusus misalnya Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Tindak Pidana Narkotika dan Undang-undang mengenai Pornografi yang mengatur secara khusus Tindak Pidana Pornografi.
Istilah tindak pidana menunjukkan pengertian gerak-gerik tingkah laku dan gerak-gerik jasmani seseorang. Hal-hal tersebut terdapat juga seseorang untuk tidak berbuat akan tetapi dengan tidak berbuatnya dia, dia telah melakukan tindak pidana.
Pembentuk Undang-undang sudah tetap dalam pemakaian istilah tindak pidana, dan beliau lebih condong memakai istilah tindak pidana seperti yang telah dilakukan oleh pembentuk Undang-undan. Pendapat Prof. Sudarto tersebut diikuti oleh Teguh Prasetyo karena pembentuk Undang-undang sekarang selalu menggunakan istilah tindak pidana sehingga istilah tindak pidana itu sudah mempunyai pengertian yang dipahami oleh masyarakat.
Oleh karena itu, setelah melihat berbagai definisi di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang disebut dengan tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana di mana pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).
Moeljatno menganggap lebih tepat dipergunakan istilah perbuatan istilah perbuatan pidana. Alasan karena perkataan perbuatan merupakan suatu pengertian abstrak yang menunjuk kepada dua keadaan konkrit, yaitu :
a.       Adanya kejadian yang tertentu.
b.      Adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu.[6]
Istilah peristiwa pidana dipakai oleh Utrecht dalam bukunya ‘Sari Kuliah Hukum Pidana I’ dan juga digunakan dalam pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
Pengertian perbuatan pidana menurut Moeljatno adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.[7]
Menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa suatu tindak pidana adalah pelanggaran norma-norma dalam tiga bidang hukum lain, yaitu hukum perdata, hukum ketatanegaraan dan hukum tata usaha pemerintah, yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukum pidana.[8]
Simons mengartikan starbaarfeit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.[9]
Van Hamel merumuskan starbaarfeit sebagai kelakuan orang (menselijk gadraging) yang dirumuskan di dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.[10]
Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah “perbuatan jahat” atau “kejahatan” (crime atau verbrechen atau misdaad) yang biasa diartikan secara sosiologis atau kriminologis.[11]
Menurut D. Simons, unsur-unsur dari starftbaarfeit adalah adalah sebagai berikut :
a.       Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan);
b.      Diancam dengan pidana (straftbaar gesteld);
c.       Melawan hukum (onrechtmatig);
d.      Dilakukan dengan kesalahan (metschuld in veerband stand);
e.       Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (teorekeningsvatbaar persoon).
Jadi dalam mempergunakan istilah tindak pidana haruslah pasti bagi orang lain apakah yang dimaksudkan adalah menurut pandangan monistis atau dualisme. Bagi orang yang berpandangan monistis seseorang yang melakukan tindak pidana sudah dapat dipidana, sedangkan bagi yang berpandangan dualisme sama sekali belum mencukupi syarat untuk dipidana karena masih harus disertai syarat pertanggungjawaban pidana yang harus ada pada orang yang berbuat.
Istilah hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional, dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah ini dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari di bidang pendidikan, moral, agama dan sebagainya.[12]
Oleh karena pidana merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas.
Menurut Alf Ross, ‘concept of punishment’ bertolak pada dua syarat atau tujuan, yaitu
a.       Pidana ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap orang yang bersangkutan (Punishment is aimed at inflecting suffering upon the person upon whom it is imposed)
b.      Pidana itu merupakan suatu pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku (the punishment is an expression disapproval of the action for which it is impossed)
Dengan demikian, menurut Alf Ross tidaklah dapat dipandang sebagai ‘punishment’ hal-hal sebagai berikut[13] :
a.       Tindakan-tindakan yang bertujuan pengenaan penderitaan tetapi tidak merupakan pernyataan pencelaan, misalnya pemberian electric shock, pada binatang dalam suatu penelitian agar tingkah lakunya dapat diamati atau dikontrol
b.      Tindakan-tindakan yang merupakan pernyataan pencelaan tetapi tidak dimaksudkan untuk mengenakan penderitaan. Misalnya teguran, peringatan atau penyingkiran oleh masyarakat
c.       Tindakan-tindakan yang disamping tidak dimaksudkan untuk mengenakan penderitaan, juga tidak merupakan pernyataan pencelaan. Misalnya langkah-langkah yang diambil untuk mendidik atau merawat/mengobati seseorang untuk  membuatnya tidak berbahaya bagi masyarakat atau tindakan dokter gigi yang mencabut gigi seorang pasien
Mengingat pentingnya tujuan pidana sebagai pedoman dalam memberikan atau menjatuhkan pidana maka di dalam Konsep Rancangan Buku I KUHP Nasional yang disusun oleh LPHN pada tahun 1972 dirumuskan dalam Pasal 2 sebagai berikut [14]:
a.       Maksud tujuan pemidanaan ialah
1)      Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara, masyarakat dan penduduk
2)      Untuk membimbing agar terpidana insaf dan menjadi anggota masyarakat yang berbudi baik dan berguna
3)      Untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana
b.      Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia
1)      Pemidanaan bertujuan untuk
a)      Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat
b)      Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikannya orang yang baik dan berguna, serta mampu untuk hidup bermasyarakat
c)      Membebaskan rasa bersalah pada terpidana
2)      Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia
Di dalam hukum pidana dikenal adanya putusan di mana di dalam memuat penghukuman terdakwa yang oleh sebagian pakar yang menyebutkan Putusan Pemidanaan. Perkataan pidana identik dengan hukuman, tetapi berdasarkan persepsi sebagian masyarakat yang memberi makna seolah-olah pidana tersebut identik dengan pidana penjara, maka untuk mencegah pengertian yang keliru dipergunakan istilah penghukuman.[15]
Mengenai penjatuhan hukuman/pidana tersebut dirumuskan pada Pasal 193 ayat (1) KUHAP yang berbunyi : Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.
Rumusan Pasal 193 ayat (1) KUHAP sesungguhnya didasari ilmu hukum pidana karena rumusan tersebut seolah-olah menonjolkan bersalah. Dalam ilmu hukum pidana bersalah atau tidaknya seseorang ditentukan oleh unsur subyektif, sedangkan suatu tindak pidana terdiri atas unsur subjektif dan unsur obyektif.

Salah satu instrumen penting di dalam penegakan hukum adalah adanya Hakim yang memiliki tugas mengaplikasikan peraturan perundang-undangan yang ada terhadap suatu perkara yang timbul di dalam masyarakat, termasuk di dalamnya adalah menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa.
Penjatuhan pidana terhadap seorang Terdakwa tentunya hanya dapat dilakukan oleh Hakim yang menyidangkan perkara atas nama Terdakwa tersebut. Peranan Hakim menjadi sangat vital mengingat di pundak Hakimlah keadilan disandarkan demi terwujudnya keteraturan dan ketertiban.
Terhadap perkara pidana yang dilakukan oleh anak, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, yang selama ini masih dipergunakan sebagai dasar di dalam pelaksanaan persidangan terhadap perkara pidana yang dilakukan oleh anak. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 ini kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Hakim memegang peranan sangat penting karena Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak lebih mengedepankan pada Restoraive Justice dan meminalisasi pemidanaan dalam bentuk pidana penjara terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum.

A.      PENGERTIAN HAKIM
Pengertian Hakim bila di tinjau dari segi bahasa, Hakim mempunyai dua arti, yaitu  : Pertama : Pembuat Hukum, yang menetapkan, memunculkan sumber Hukum dan Kedua : Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan.[16] Dalam pengertian pertama dimaksudkan bahwa Hakim sebagai orang yang mempunyai kewenangan menjatuhkan suatu Putusan atas suatu perkara, dapat disebut sebagai Pembuat Hukum dan dalam pengertian kedua, dimaksudkan bahwa Hakim mempunyai tugas untuk menafsirkan, menjelaskan suatu peraturan perundang-undangan dikaitkan pada suatu perkara yang ditanganinya dan apabila suatu perkara yang ditanganinya tidak ditemukan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya maka Hakim harus menemukan hukumnya dari nilai-nilai keadilan yang hidup di dalam masyarakat.
Di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam Pasal 1 angka 8 menyebutkan, “Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.”
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur mengenai Hakim di dalam Pasal 43 sampai dengan Pasal 48. Untuk perkara Anak yang diperiksa dan disidangkan pada tingkat pertama yaitu di Pengadilan Negeri, maka pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap perkara Anak dilakukan oleh Hakim yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan melalui Ketua Pengadilan Tinggi (pasal 43 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2012). Terhadap perkara Anak yang disidangkan di tingkat Banding, maka disidangkan oleh Hakim Banding yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadilan Tinggi yang bersangkutan (pasal 45 UU Nomor 11 tahun 2012) dan terhadap perkara Anak yang disidangkan pada tingkat Kasasi, maka disidangkan oleh Hakim Kasasi yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung (pasal 48 UU Nomor 11 Tahun 2012).
Di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak juga mengatur mengenai syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim Anak, baik di tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi (Hakim Banding) maupun di tingkat Mahkamah Agung (Hakim Kasasi). Pengaturan tersebut tercantum di dalam pasal 43 ayat (2) yang menyebutkan : “Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a.    Telah berpengalaman sebagai Hakim dalam lingkungan peradilan umum ;
b.    Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah Anak ; dan
c.     Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak.
Meski demikian di dalam Pasal 43 ayat (3) mengatur dalam hal belum terdapat Hakim dengan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tugas pemeriksaan di sidang Anak dilaksanakan oleh hakim yang melakukan tugas pemeriksaan bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa.

B.       PERANAN HAKIM DAN MELAKSANAKAN UNDANG-UNDANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
Setiap perkara anak diperiksa di persidangan dilakukan secara tertutup sebagaimana diatur dalam pasal 54, yang menyebutkan, “Hakim memeriksa perkara Anak dinyatakan tertutup untuk umum, kecuali pembacaan putusan.” Ketentuan pasal ini sesuai dengan ketentuan pasal 53 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, yang menyebutkan, “Untuk keperluan pemeriksaan Hakim Ketua Sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.”
Ketika suatu perkara tindak pidana yang dilakukan oleh Anak masuk di Pengadilan Negeri, maka Ketua Pengadilan harus segara menetapkan Hakim  atau Majelis Hakim yang memeriksa dan menyidangkan perkara tersebut. Ketentuan pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan, “Ketua Pengadilan wajib menetapkan Hakim atau Majelis Hakim untuk menangani perkara Anak paling lama 3 (tiga) hari setelah menerima berkas perkara dari Penuntut Umum.”
Setelah Hakim atau Majelis Hakim menerima berkas, maka Hakim atau Majelis Hakim tersebut wajib mengupayakan DIVERSI paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri sebagai Hakim Anak (pasal 52 ayat (2) UU Nomor 11 tahun 2012) dan DIVERSI dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari sebagaimana tercantum dalam pasal 52 ayat (3).
Proses DIVERSI dapat dilaksanakan di ruang MEDIASI Pengadilan Negeri sebagaimana tercantum dalam ketentuan pasal 52 ayat (4) dan proses DIVERSI dilakukan dengan melibatkan Anak dan orang tua / walinya, korban dan / atau orang tua / walinya, Pembimbing Kemasyarakatan dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif (pasal 8 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2012) dan sesuai ketentuan pasal 8 ayat (2) disebutkan bahwa, “Dalam hal diperlukan, musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial dan / atau masyarakat,” yang di dalam penjelasannya disebutkan bahwa MASYARAKAT antara lain tokoh agama, guru dan tokoh masyarakat. Namun yang terpenting dalam proses DIVERSI, sebagaimana ketentuan pasal 8 ayat (3) harus memperhatikan :
a.    Kepentingan korban ;
b.    Kesejahteraan dan tanggung jawab Anak ;
c.    Penghindaran stigma negatif ;
d.   Penghindaran pembalasan ;
e.    Keharmonisan masyarakat ; dan
f.     Kepatutan, kesusilaan dan ketertiban umum.
Hakim, ketika melakukan proses DIVERSI, sebagaimana ketentuan pasal 9 ayat (1) UU Nomor 11 tahun 2012, harus mempertimbangkan :
a.       Kategori tindak pidana ;
b.      Umur anak ;
c.       Hasil penelitian kemasyarakatan dari BAPAS ; dan
d.      Dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.
Dalam hal DIVERSI berhasil mencapai kesepakatan, maka berdasarkan pasal 52 ayat (5), Hakim menyampaikan Berita Acara Diversi beserta kesepakatan Diversi kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk dibuat penetapan. Oleh karena itu Hakim harus berperan secara aktif selama proses Diversi dengan mengupayakan semaksimal mungkin tercapainya kesepakatan.
Aplikasi Diversi dan pendekatan Keadilan Restoratif dimaksudkan untuk menghindarkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang Berkonflik dengan hukum serta diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.[17] Hasil kesepakatan Diversi sesuai pasal 11 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012,  dapat berbentuk, antara lain :
a.    Perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian ;
b.    Penyerahan kembali kepada orang tua / wali ;
c.    Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan ; atau
d.   Pelayanan masyarakat ;
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 menyebutkan, “Proses peradilan Anak dilanjutkan dalam hal :
a.      Proses Diversi tidak menghasilkan kesepakatan ; atau
b.      Kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan ;

C.      PENGERTIAN ANAK
Seorang anak bahkan telah mempunyai hak sejak masih dalam kandungan, sebagai bagian dari Hak Azasi Manusia. Namun dalam perkembangannya dalam kehidupan sosial sehari-hari, sering kali hak anak terlupakan sehingga seringkali seorang anak mencari Pelampiasan di luar lingkungan keluarganya. Pada akhirnya seorang anak ikut pula memikul beban hidup orang tuanya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Mulyana W. Kusumah dalam bukunya Hukum dan Hak-Hak Asasi Manusia, Suatu Pemahaman Kritis, menyatakan bahwa “Secara luas, kebutuhan-kebutuhan hidup manusia mencakup aspek-aspek eksistensi yang diperlukan untuk menjamin perkembangan dasar seseorang, yaitu makanan, pakaian, perumahan, pelayanan kesehatan dan pendidikan”.[18]
Dalam kegiatannya untuk membantu kebutuhan hidup keluarganya, seringkali terjadi seorang anak melakukan kenakalan-kenakalan. Dalam tahap tertentu, kenakalan-kenakalan seorang anak, apalagi yang sedang beranjak dewasa menjadi seorang remaja, dapat diterima di dalam lingkungan masyarakatnya, tetapi sering pula kenakalan remaja tersebut menjadi suatu tindak pidana.
Sampai saat ini masih belum ada kesepakatan mengenai pengertian dan batas usia seorang anak. Akan tetapi penegertian ANAK adalah sebagaimana dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak yang menyatakan “Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) Tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas tahun) dan belum pernah kawin”. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak dalam Pasal 1 angka 3 menyebutkan, “Bahwa anak yang berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut ANAK adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) Tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) Tahun yang diduga melakukan tindak pidana”.
M. Nasir Djamil, pimpinan Panja RUU Sistem Peradilan Pidana Anak Komisi III DPR-RI, mempunyai pendapat mengenai anak yaitu, “Anak bukanlah untuk dihukum melainkan harus diberikan bimbingan dan pembinaan, sehingga bisa tumbuh dan berkembang sebagai anak normal yang sehat dan cerdas seutuhnya”.
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, disebutkan bahwa, “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), anak adalag keturunan kedua, sedangkan dalam konsideran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dikatakan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.[19]

D.      KEWAJIBAN DAN HAK ANAK
I.                   KEWAJIBAN ANAK
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak menyebutkan :
“Yang dimaksud di dalam Undang-Undang ini dengan :
1.a. Kesejahteraan Anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial ;
b. Usaha Kesejahteraan Anak adalah usaha kesejahteraan sosial yang ditunjukan untuk menjamin terwujudnya Kesejahteraan Anak terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak.
Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak, ada 5 (lima) hal kewajiban anak di Indonesia, yaitu :[20]
1.    Kewajiban menghormati orang tua, wali dan guru ;
2.    Kewajiban mencintai keluarga, masyarakat dan menyayangi teman ;
3.    Kewajiban mencintai tanah air, bangsa dan Negara ;
4.    Kewajiban menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya dan ;
5.    Kewajiban melaksanakan etika dan akhlak mulia ;
Kewajiban-kewajiban sebagaimana tersebut diatas, sesuai pula dengan yang tercantum di dalam Surat An-Nisa : 36 yang menyatakan “Dan berbuat baiklah kepada ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga yang jauh”.[21]
II.                HAK ANAK
Selain kewajiban, anak juga memiliki hak yang sangat dilindungi oleh Undang-Undang..Berdasarkan Kovensi Hak-Hak Anak Tahun 1989 (Resolusi PBB Nomor 44/25 tanggal 5 Desember 1989), hak anak dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) kategori, yaitu :[22]
1.    Hak untuk kelangsungan hidup (the right to survival) ;
2.    Hak untuk tumbuh kembang (the right to develop) ;
3.    Hak untuk perlindungan (the right to protection) ;
4.    Hak untuk partisipasi (the right to participation).
Di Indonsesia, hak anak telah terakomodir di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan, “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.[23] Sedangkan Mukhoirudin, membagi hak-hak anak menurut Islam antara lain :
a)         Pemeliharaan atas hak beragama (hifzud dien) ;
b)        Pemeliharaan hak atas jiwa (hifzun nafz) ;
c)         Pemeliharaan atas akal (hifzun aql) ;
d)        Pemeliharaan atas harta (hifzul mal) ;
e)         Pemeliharaan atas keturunan/nasab (hifzun nasl) dan kehormatan (hifzul’ird) ;[24]
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak menyebutkan :
(1)      Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar ;
(2)      Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan negara yang baik dan berguna ;
(3)      Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan ;
(4)      Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.
Dari ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tersebut, telah nyata bahwa Pemerintah Republik Indonesia sangat memperhatikan kesejahteraan anak, sebab anak adalah masa depan bagi suatu bangsa, sebagaimana Kalifah Umar RA pernah berkata, “Barangsiapa ingin menggengam nasib suatu bangsa, maka genggamlah para pemudanya”.[25]
Dan sesuai dengan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, maka usaha kesejahteraan anak dilakukan oleh Pemerintah dan atau masyarakat.

E.       PROSES PERSIDANGAN PERKARA PIDANA ANAK
Sebelum membahas tentang proses persidangan perkara pidana anak, maka perlu dibahas terlebih dahulu mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang seringkali dilakukan karena KENAKALAN Anak.
Selanjutnya, apa yang dimaksud dengan KENAKALAN ? Dalam penjelasan Pasal 489 KUHP sebagaimana diutarakan oleh R. SOESILO, bahwa KENAKALAN (BALDADIGHEID) adalah “Semua perbuatan orang, berlawanan dengan ketertiban umum, ditujukan pada orang, binatang dan barang yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian atau kesusahan yang tidak dapat dikenakan salah satu pasal khusus dalam KUHP”.[26] Secara tradisonal, para ahli sosiologi di Amerika memasukkan KENAKALAN (ANAK) ke dalam Konsepsi Perilaku Menyimpang, selain perbuatan kriminal, prostitusi, penggunaan dan ketergantungan obat dan lain sebagainya.[27]
Masalah Kenakalan Anak (Junevile Justice) ini telah mendapat perhatian tidak hanya di Indonesia, kan tetapi juga menjadi perhatian Internasional yaitu dengan keluarnya Deklarasi Hak Asasi Anak pada Konggres II PBB Tahun 1965 yang dilanjutkan dalam Konggres ke – IV PBB di Caracas, Venezuela tahun 1980 yang menghasilkan suatu Resolusi No. 4 mengenai DEVELOPMENT OF MINIMUM STANDARDS OF JUVENILE JUSTICE, yang pada pokoknya meletakkan prinsip-prinsip dasar untuk penyelenggaraan PERADILAN ANAK.[28]
Sebelum dikeluarkannya Undnag-Undang Peradilan Anak, telah pula dikeluarkan Undang-Undang Kesejahteraan Anak (UU Nomor 4 Tahun 1979) dengan tujuan dan dasar pemikiran untuk mengutamakan kesejahteraan anak, yaitu
a.         memajukan kesejahteraan anak (the promotion of the well being of the juvenile) ;
b.         prinsip proposionalitas.[29]
M. Nasir Djamil memandang, bahwa ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia harus Berkonflik dengan hukum,  yaitu :[30]
1)   Status Offence, adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah ;
2)   Juveile Deliquency, adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum.
Ketika seorang anak melakukan tindak pidana, maka yang diperlukan adalah penanganan yang mengutamakan kepentingan anak tersebut. Yang terpenting adalah adalah usaha pencegahan, agar seorang anak tidak melakukan tindak pidana. Bonger, seorang ahli kriminoligi, sebagaimana dikutip oleh Drs. B. Simanjuntak, SH, mengatakan “Mencegah kejahatan adalah lebih baik daripada mencoba mendidik penjahat menjadi baik kembali”[31].
Lebih lanjut, M. Nasir Djamil mengatakan bahwa, “Permasalahan-permasalahan yang sebelumnya mengemuka mengenai anak-anak nakal yang kemudian bermasalah secara hukum, maka harus diselesaikan secara komprehensif dalam rangka melindungi hak anak agar mampu juga menjadi sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas”.[32]Dan, pemidanaan (Anak) seharusnya merupakan pilihan terakhir bagi anak yang Berkonflik dengan hukum.[33]
 Sebagaimana Rasulullah SAW pernah bersabda, “Dihapuskan ketentuan hukum dari tiga orang yang tidur sampai ia bangun dan dari orang gila sampai ia sembuh serta dari anak kecil samapi ia dewasa”.[34]
Selanjutnya B. Simanjuntak, mengatakan bahwa untuk mencegah terjadinya KENAKALAN ANAK, membagi menjadi 2 (dua) usaha, yaitu :
1.    Usaha Pemerintah, yaitu Pemerintah lebih banyak turun tangan dalam penanggulangan anak-anak nakal melalui Lembaga-Lembaga Pemerintahan seperti sekolah, mendirikan Panti Asuhan bagi anak-anak yatim piatu yang tidak mampu dan lain sebagainya ;
2.    Usaha Swasta, yaitu badan atau lembaga yang didirikan oleh swasta dan mendapat bantuan dari Pemerintah yang bergerak mengangani kenakalan anak-anak, misalnya pembentukan Karang Taruna, Badan Kontak Organisasi Wanita (BKOW) dan lain sebagainya.[35]
Akan tetapi, bagaimana bila anak-anak telah menjadi Terdakwa dalam proses persidangan ? Prof. Dr. Muladi dan Dr. Barda Nawawi mengatakan bahwa tujuan dan dasar pemikiran mengenai Peradilan Anak adalah masalah kesejahteraan atau kepentingan anak. Diperlukan pendekatan khusus dalam menangani masalah hukum dan Peradilan Anak, yaitu :
1.         Anak yang melakukan tindak pidana / kejahatan (juvenile offender) janganlah dipandang sebagai seorang penjahat (kriminal) tetapi harus dipandang sebagai orang yang memerlukan bantuan, pengertian dan kasih sayang ;
2.         Pendekatan Yuridis terhadap anak hendaknya lebih mengutamakan pendekatan persuasive – edukatif yang berarti sejauh mungkin menghindari proses hukum yang semata-mata bersifat menghukum, yang bersifat degradasi mental dan penurunan semangat (discouragement) serta menghindari proses stigmatisasi yang dapat menghambat proses perkembangan, kematangan dan kemandirian anak dalam arti yang wajar.[36]
Terhadap ancaman pidana, pidana kurungan dan pidana denda sebagaimana tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, maka untuk Terdakwa anak hanya dapat diterapkan ½ (seperdua) dari ancaman pidana kepada pelaku kriminal dewasa (Pasal 26 s/d 28 UU Nomor 3 Tahun 1997), sedang pengawasan dapat dijatuhkan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun (Pasal 30 UU Nomor 3 Tahun 1997). Terdakwa Anak juga bisa dijatuhi pidana bersyarat dengan paling lama 2 (dua) tahun (Pasal 29 UU Nomor 3 Tahun 1997) ;
Beberapa faktor yang dapat memperngaruhi seorang anak melakukan kejahatan (tindak pidana anak), yaitu :[37]
                                i.      Faktor Lingkungan ;
                              ii.      Faktor ekonomi / sosial ;
                            iii.      Faktor psikologis.
Dengan dikeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang diberlakukan pada bulan Juli 2014 maka terjadi pergeseran paradigma di dalam pemidanaan terhadap anak terutama dalam hal umur Anak dan jenis pemidanaan terhadap Anak.
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 menyebutkan, “Anak yang Berkonflik dengan Hukum adalah Anak yang berkonflik dengan hukum, Anak yang menjadi korban tindak pidana dan Anak yang menjadi saksi tindak pidana.” Selanjutnya pada pasal 1 angka 3 menyebutkan, “Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah Anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.” Sedangkan dalam pasal 1 angka 4 menyebutkan, “Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah Anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental dan / atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana, “ dan dalam pasal 1 angka 5 menyebutkan, “Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat dan / atau dialaminya sendiri.”
Setiap perkara anak diperiksa di persidangan dilakukan secara tertutup sebagaimana diatur dalam pasal 54, yang menyebutkan, “Hakim memeriksa perkara Anak dinyatakan tertutup untuk umum, kecuali pembacaan putusan.” Ketentuan pasal ini sesuai dengan ketentuan pasal 53 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP,
Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan, “Anak disidangkan dalam ruang sidang khusus Anak.”  Meskipun dalam pasal 230 KUHAP menyebutkan, ”Dalam ruang sidang, hakim, penuntut umum, penasihat hukum dan panitera mengenakan pakaian sidang dan aribut masing-masing,” dan dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tidak mengatur mengenai pemakaian pakaian sidang dan atribut masing-masing penegak hukum selama persidangan, akan tetapi dalam persidangan perkara pidana anak, masih mempergunakan ketentuan pasal 6 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak yang meyebutkan, “Hakim, Penuntut Umum, Penyidik dan Penasihat Hukum serta petugas lainnya dalam Sidang Anak tidak memakai toga dan pakaian dinas.”
Dalam persidangan, sebagaimana ketentuan pasal 57, setelah surat Dakwaan dibacakan, Hakim memerintahkan Pembimbing Kemasyarakatan membacakan Laporan Hasil Penelitian Kemasyarakatan mengenai Anak yang bersangkutan tanpa kehadiran Anak, kecuali Hakim berpendapat lain dan Laporan hasil Penelitian Kemasyaratan tersebut berisi :
a.    Data pribadi Anak, keluarga, pendidikan dan kehidupan sosial ;
b.    Latar belakang dilakukannya tindak pidana ;
c.    Keadaan korban dalam hal ada korban dalam tindak pidana terhadap tubuh dan nyawa ;
d.   Hal lain yang dianggap perlu ;
e.    Berita Acara Diversi ; dan
f.     Kesimpulan dan rekomendasi dari Pembimbing Kemasyarakatan.
Pada tahap pemeriksaan korban maupun saksi, Hakim dapat memeritahkan agar Anak keluar ruang sidang, akan tetapi orang tua / wali, Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya dan Pembimbing Kemasyarakatan tetap hadir di ruang sidang (pasal 58) dan sebelum menjatuhkan putusan, Hakim memberikan kesempatan kepada orang tua / wali dan / atau pendamping Anak untuk mengemukakan hal yang bermanfaat bagi Anak, dalam hal tertentu Hakim dapat meminta pendapat dari Anak korban untuk menyampaikan pendapatnya serta Hakim wajib mempertimbangkan Laporan Hasil Penelitian Kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan dan apabila Laporan Hasil Penelitian Kemasyarakatan tidak dipertimbangkan oleh Hakim, maka putusan batal demi hukum (pasal 60).
Pembacaan putusan pengadilan dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan dapat tidak dihadiri oleh Anak serta identitas Anak, Anak Korban dan / atau Anak Saksi tetap harus dirahasiakan oleh media massa sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 dengan hanya menggunakan inisial tanpa gambar (pasal 61) dan Pengadilan wajib memberikan petikan putusan pada hari putusan diucapkan kepada Anak atau Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, Pembimbing Kemasyarakatan dan Penuntut Umum serta Pengadilan wajib memberikan salinan putusan paling lama 5 (lima) hari sejak putusan diucapkan kepada Anak atau Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, Pembimbing Kemasyarakatan dan Penuntut Umum (pasal 62).
F.       JENIS PEMIDANAAN TERHADAP TERDAKWA ANAK
M. Nasir Djamil mengatakan, “Tindakan hukuman bagi remaja delinkuen antara lain berupa menghukum mereka sesuai dengan perbuatannya sehingga dianggap adil dan bisa menggugah berfungsinya hati nurani sendiri terhadap susila dan mandiri”.[38] Oleh karena itu, menurut M. Nasir Djamil, “Yang dipentingkan dalam Sistem Peradilan Pidana Anak adalah penekanan pada permasalahan yang dihadapi pelaku bukan pada perbuatan / kerugiatan yang diakubatkan.”.[39]
Lebih lanjut, M. Nasir Djamil mengatakan, “Putusan ditekankan pada perintah pemberian program untuk terapi dan pelayanan dan focus utama untuk mengidentifikasi pelaku dan pengembangan pendekatan positifis untuk mengoreksi masalah.”[40]
Hal yang terkait dengan perlindungan khusus bagi anak yang Berkonflik dengan hukum dilaksanakan melalui perlakuan secara manusiawi sesuai hak-hak anak, penyediaan petugas pendamping khusus sejak dini, penyediaan sarana dan prasarana khusus, penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak, pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang Berkonflik dengan hukum, jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang taua atau keluarga dan perlindungan dari pemberitaan media / labelisasi.[41]
Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya Nomor I/PUU-VIII/2010, dalam salah satu pertimbangannya menyebutkan :[42]
1.    “MK menerima keterangan ahli Pemerintah bahwa proses penjatuhan dan pilihan mengenai pidana bagi anak sepenuhnya merupakan kewenangan bagi hakim untuk memutuskan setiap perkara. Hal ini dikarenakan setiap perkara dan kasus memiliki pertimbangan dan tindakan hukum yang berbeda pula sehingga alasan pemohon tidak tepat menurut hukum dan harus dikesampingkan” ;
2.    “Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 33 ayat (2) huruf a UU Pengadilan Anak telah memberikan seejumlah alternative pidana bagi anak nakal selain pidana penjara yaikni pidana kurungan, pidana denda atau pidana pengawasan. Dalam hal ini keberadaan pidana penjara bukan merupakan satu-satunya pilihan bagi anak sehingga tidak secara mutlak dapat merugikan hak konstitusional anak”.
Anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai tindakan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini dan Anak yang belum berusia 14 (empat) belas tahun hanya dapat dikenai tindakan (pasal 69).
Pada Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, disebutkan :
(1)      Pidana pokok bagi Anak terdiri atas :
a.    Pidana peringatan ;
b.    Pidana dengan syarat :
1)   pembinaan di luar lembaga ;
2)   pelayanan masyarakat atau ;
3)   pengawasan ;
c.    Pelatihan kerja ;
d.   Pembinaan dalam lembaga dan ;
e.    Penjara.
Anak yang dijatuhi pidana penjara ditempatkan di LPKA (Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak) dan Anak yang ditempatkan di LKPA berhak memperoleh pembinaan, pendidikan dan pelatihan serta hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang wajib diselenggarakan oleh LPKA dan Pembimbing Kemasyarakatan melakukan penelitian kemasyarakatan untuk menentukan penyelenggaraan program pendidikan dan pembinaan yang pelaksanaannya juga diawasi oleh Pembimbing Kemasyarakatan ( pasal 85).

IV. KESIMPULAN
Dari uraian-uraian tersebut di atas, maka kiranya dapat kita ambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.      Perlunya pembahasan lebih lanjut dan penyamaan persepsi di antara Aparat Penegak Hukum dan pihak terkait di dalam penanganan terhadap anak yang Berkonflik dengan hukum sehingga tidak mengurangi hak tumbuh dan berkembang seorang anak ;
2.      Perlu segera dikeluarkan Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak terutama dalam hal penjatuhan Pidana ;
3.      Perlunya koordinasi antara Aparat Penegak Hukum dengan pihak lain dalam rangka pengawasan terhadap Terpidana Anak, khususnya Anak yang ditempatkan di LPKA (Lembaga Pemayarakatan Khusus Anak).

V. BAHAN BACAAN
  1. Abdul Latif dan H. Hasbi Ali, Politik Hukum, 2011, Jakarta, Sinar Grafika ;
  2. http://manunggalkusumawardaya.wordpress.com/2010/07/07/perlindungan-terhadap-anak-yang-melakukan-tindak-pidana/ ;
  3. Moeljatno, 1983, Asas-asas hukum Pidana, Jakarta: PT. Bina Aksara
  4. Wirjono Prodjodikoro, 1986, Tindak-tindak Pidana tertentu di Indonesia, Bandung: Eresco
  5. Muladi dan Barda Nawawi, 2005, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung
  6. Leden Marpaung. 2010. Proses Penanganan Perkara Pidana. Jakarta : Sinar Grafika
7.    R. Soesilo, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor, Politeia, h.320 ;
  1. Saparinah Sadli, 1976, Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Menyimpang, Jakarta, Bulan Bintang
  2. Angger Sigit Pramukti & Fuady Primaharsya, SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2015
  3. Setya Wahyudi, 2011, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Cetakan Pertama, Yogyakarta
  4. Departemen Agama Republik Indonesia, 1998, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Ayat Pojok Bergaris), Semarang, CV.Asy-Syifa
  5. M. Nasir Djamil, 2013, Anak Bukan Untuk Dihukum, Cetakan Kedua, Jakarta, Sinar Grafika


[1][1] Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung RI ;
[2] Abdul Latif dan H. Hasbi Ali, Politik Hukum, 2011, Jakarta, Sinar Grafika, h. 25.
[3] Ibid, h. 25.
[4] Ibid, h. 25.
[5]http://manunggalkusumawardaya.wordpress.com/2010/07/07/perlindungan-terhadap-anak-yang-melakukan-tindak-pidana/

[6] Moeljatno, 1983, Asas-asas hukum Pidana, Jakarta: PT. Bina Aksara, h.54
[7] Moeljatno, Ibid. H.54.
[8] Wirjono Prodjodikoro, 1986, Tindak-tindak Pidana tertentu di Indonesia, Bandung: Eresco, h. 86
[9] Moeljatno Op. Cit. H.56
[10] Moeljatno Op. Cit. H.56
[11] Sudarto, Op Cit. H.25
[12] Muladi dan Barda Nawawi, 2005, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, h. 2
[13] Ibid. h. 5
[14] Ibid. h. 25
[15] Leden Marpaung. 2010. Proses Penanganan Perkara Pidana. Jakarta : Sinar Grafika. H. 138
[17] Angger Sigit Pramukti & Fuady Primaharsya, SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2015, h. 69.
[18] Mulyatna W. Kusumah, 1981, Hukum dan Hak-Hak Asasi Manusia, Suatu Pemahaman Kritis,Bandung, Penerbit Alumni, h.70 ;
[19] M. Nasir Djamil, M. Nasir Djamil, 2013, Anak Bukan Untuk Dihukum, Cetakan Kedua, Jakarta, Sinar Grafika.,h.8.
[20] Setya Wahyudi, 2011, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Cetakan Pertama, Yogyakarta,h.26.
[21] Departemen Agama Republik Indonesia, 1998, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Ayat Pojok Bergaris), Semarang, CV.Asy-Syifa, h.186.
[22] Setya Wahyudi, 2011, Loc.Cit.,h.22.

[23] M. Nasir Djamil, Op.Cit.,h.12.
[24] Ibid, h.20.
[25] M. Nasir Djamil, Op.Cit.,h.4.


[26]R. Soesilo, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor, Politeia, h.320 ;
[27]Saparinah Sadli, 1976, Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Menyimpang, Jakarta, Bulan Bintang, h.33.
[28]Muladi, dan Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung, Alumni, h.109.                       
[29]Muladi dan Barda Nawawi,  Op.Cit., h.112-113 ;     
[30] M. Nasir Djamil, Op.Cit.,h.33.

[31]B.Simanjuntak, 1979, Latar Belakang Kenakalan Remaja, Bandung, Alumni, h.167.
[32] M. Nasir Djamil, Op.Cit.,h.3.

[33] Ibid. h.6.
[34] Ibid, h.4.
[35] Ibid, h.169-170.
[36]Muladi dan Barda Nawawi,  Op.Cit., h.114-115.
[37] M. Nasir Djamil, Op.Cit.,h.34
[38] Ibid, h.39.
[39] Ibid, h.45.
[40] Ibid.
[41] Ibid, h. 73.
[42] Ibid, h.81.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kecelakaan Lalu Lintas

    Ritual Mudik menjelang Hari Raya Idul Fitri telah tuntas dilakukan dengan berbagai variasinya. Masyarakat yang mudik dengan mengguna...