Kamis, 08 Oktober 2015

RUU JABATAN HAKIM

Renungan Akhir Pekan (08102015) :
Sebuah makalah singkat
RUU JABATAN HAKIM DAN TUNTUTAN PROFESIONALITAS
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH

I.    PENDAHULUAN
Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan : “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, yang dalam Pasal 1 angka 1 menyebutkan : “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.”
Sejalan dengan konsepsi Negara hukum, peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman harus memegah teguh azas “Rule of Law”. Untuk menegakan Rule of Law para Hakim dan Mahkamah Pengadilan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Supremasi hukum ;
b. Equality Before The Law ;
c. Human Rights ;
II. PENGERTIAN HAKIM
Secara harfiah, kata Hakim (Inggris: Judge;Belanda: Rechter) adalah pejabat yang memimpin persidangan. Istilah "hakim" sendiri berasal dari kata Arab حكم (hakima) yang berarti "aturan, peraturan, kekuasaan, pemerintah". Ia yang memutuskan hukuman bagi pihak yang dituntut. Hakim harus dihormati di ruang pengadilan dan pelanggaran akan hal ini dapat menyebabkan hukuman. Hakim biasanya mengenakan baju berwarna hitam. Kekuasaannya berbeda-beda di berbagai negara.
Pengertian HAKIM adalah sebagaimana termuat dalam Pasal 1 angka 5, 6, 7 dan 9 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman. Pasal 1 angka 5 menyebutkan, “Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkunganperadilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut”,  Pasal 1 angka 6 menyebutkan, “Hakim Agung adalah hakim pada Mahkamah Agung”, Pasal 1 angka 7 menyebutkan, “Hakim Konstitusi adalah hakim pada Mahkamah Konstitusi”, dan Pasal 1 angka 9 menyebutkan, “Hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman dibidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang”.
Profesi Hakim adalah profesi dengan pekerjaan kemanusiaan yang tidak boleh jatuh kedalam dehumanizing yang bersifat logic mechanical hingga dapat terperosok pada jurang alienasi hukum dari manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Hakim bertanggung jawab untuk mengembalikan hukum kepada pemilik hukum itu yaitu manusia. Hukum untuk manusia sebagai alat untuk mewujudkan kesejahteraan manusia, bukan hukum untuk hukum itu sendiri.
Meskipun saat ini Hakim disebut sebagai Pejabat Negara, akan tetapi sebutan itu hanya bersifat semu, mengingat selama ini status Hakim masih menggantung, mengingat Hakim disebut sebagai Pejabat Negara akan tetapi dalam sistem penggajian dan kepangkatan masih mengikuti sistem yang berlaku pada Pegawai Negeri Sipil (PNS). Mantan Menteri Kehakiman, Yusril Ihza Mahendra pernah mengatakan, Jika kewenangan badan peradilan sudah sepenuhnya berada di tangan MA, hakim akan berstatus sebagai pejabat negara. Sebagai pejabat negara, hakim tidak punya atasan sehingga ketua MA ataupun Menkeh bisa dianggap tidak berhak melakukan mutasi hakim.  Tetapi pandangan Yusril itu dibantah oleh Sekretaris Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Indepedensi Peradilan (LeIP), Rifqi Sjarief Assegaf. Menurut Rifqi, Berdasarkan UU No. 43 Tahun 1993, hakim adalah pejabat negara. Bahkan, sudah sejak 1993, hakim bukan lagi PNS melainkan sudah merupakan pejabat negara.
Apabila kita cermati, bahwa hanya di Mahkamah Agung (MA) saja yang sejak akhir tahun 1985, para pemutus perkara telah disebut pejabat negara. Di Pasal 6 UU No. 14 Tahun 1985 disebutkan bahwa Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung dalah pejabat negara yang melaksanakan tugas Kekuasaan Kehakiman. Telah dua kali diadakan perubahan undang-undang, tapi tidak pernah “merevisi” status hakim agung tersebut.  Sedangkan terhadap Hakim-Hakim di tingkat banding maupun tingkat pertama, statusnya masuh mengambang, yaitu Pejabat Negara tetapi dengan sistem penggajian dan kepangkatan berdasarkan peraturan kepegawaian bagi Pegawai Negeri Sipil, sehingga dapat dilihat bahwa terdapat inkonsistensi terhadap penyebutan status Hakim. Apalagi saat ini tidak ada definisi mengenai pejabat negara secara hukum. Penafsiran pejabat negara secara ketat berdasarkan ilmu pengetahuan, seperti yang dilakukan Yusril, menurut Rifqi, tidak tepat diterapkan bagi hakim. Di matanya, Ketua MA atau siapapun yang ditunjuk, harus mempunyai kewenangan untuk melakukan mutasi dan memberi sanksi pada hakim,karena nature jabatan hakim, apalagi dalam konteks Indonesia dengan sistem karier di peradilannya, tidak tepat status hakim sebagai pejabat negara. Itu kalau kita tafsirkan pejabat negara seperti yang dikatakan Yusril," kata Rifqi. .
Jika melihat pada data, jumlah hakim di seluruh Indonesia tidak hanya berjumlah 8866 orang hakim (data Laporan Tahunan MA Tahun 2011 hal. 218 dengan setelah dikurangi Hakim Militer, karena Hakim Militer telah mengalami kenaikan gaji mengikuti kenaikan gaji pokok anggota TNI), sementara jumlah PNS menurut data BKN kurang lebih 4.600.000 PNS, jadi kurang dari 0,2%.  Dari data tersebut, sebenarnya menjadi sangat absurd jika Hakim, dengan jumlah yang hanya sekitar 0,2% dari jumlah keseluruhan Pegawai Negeri Sipil (PNS), diperlakukan sama dengan PNS, padahal beban tugas seorang Hakim sangatlah berat, bukan hanya berkaitan dengan tugas kedinasan sehari-hari akan tetapi juga berkaitan dengan nasib seseorang yang sedang berupaya mencari keadilan.
Menarik dicermati pendapat dari Yang Mulia Hakim Agung Bapak Gayus Lumbuun ketika beliau mengikuti kegiatan Fit and Proper Test sebagai Calon Hakim Agung, beliau mengatakan bahwa Tugas hakim bukan hanya memutus perkara. Dia membangun hukum di masyarakat. Menjadikan undang-undang itu living (hidup,-red). Itu tugas hakim. Jadi, orang tidak takut kepada hukum, tapi harus (sukarela) menaati hukum. Hukum jangan dipaksakan sebagai ‘law is command’ atau perintah. Konsep itu sudah lewat.Hukum bukan sekedar perintah. Tapi hukum hidup ada di hati masyarakat. Prof Tjip (Almarhum Satjipto Rahardjo,-red) sering bicara ini. Contoh hukum yang hidup di masyarakat, bila ada lampu merah, seandainya tak ada kendaraan sekalipun, dia tetap menunggu, karena hukum hidup di hatinya.  Kiranya dari pendapat Yang Mulia Hakim Agung Bapak Gayus Lumbuun tersebut suda tersirat betapa beratnya tugas seorang Hakim karena secara normatif, tugas-tugas Hakim telah tercantum dalam UU No. 4 Tahun 2004 antara lain :
1.    Mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang (pasal 5 ayat 1) ;
2.    Membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengetasi segala hambatan dan rintangan demi terciptanya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan (pasal 5 ayat 2) ;
3.    Tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya (pasal 14 ayat 1) ;
4.    Memberi keterangan, pertimbangan dan nasihat-nasihat tentang soal-soal hukum kepada lembaga Negara lainnya apabia diminta (pasal 25) ;
5.    Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami bilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (pasal 28 ayat 1) ;
Penulispun pernah menyatakan dalam sebuah tulisan bahwa dalam Undang-Undangpun disebutkan bahwa yang utama dari sebuah putusan Hakim adalah putusan tersebut didasarkan atas hati nurani Hakim tersebut, karena sesungguhnya hati nurani tidak akan pernah berkata tidak jujur, sehingga putusan yang didasarkan pada hati nuranilah yang kiranya dapat mendekatkan kepada nilai keadilan yang ada dalam masyarakat.
Oleh karena begitu beratnya tugas seorang Hakim, maka kiranya tidak berlebihan apabila Hakim mendapatkan penghargaan sebagai Wakil Tuhan di dunia. Di pundak Hakimlah keadilan yang didambakan oleh pencari keadilan dipercayakan.
II.    HAKIM SEBAGAI SEBUAH PROFESI
Apabila diperbandingkan dengan pekerjaan lainnya, maka kiranya tepat apabila Hakim dapat dikatakan sebagai sebuah profesi. Mengenai pengertian profesi, dapat dicermati beberapa definisi sebagai berikut :
1.    SCHEIN, E.H (1962) :
Profesi adalah suatu kumpulan atau set pekerjaan yang membangun suatu set norma yang sangat khusus yang berasal dari perannya yang khusus di masyarakat ;
2.    HUGHES, E.C (1963) :
Perofesi menyatakan bahwa ia mengetahui lebih baik dari kliennya tentang apa yang diderita atau terjadi pada kliennya ;
3.    DANIEL BELL (1973) :
Profesi adalah aktivitas intelektual yang dipelajari termasuk pelatihan yang diselenggarakan secara formal ataupun tidak formal dan memperoleh sertifikat yang dikeluarkan oleh sekelompok / badan yang bertanggung jawab pada keilmuan tersebut dalam melayani masyarakat, menggunakan etika layanan profesi dengan mengimplikasikan kompetensi mencetuskan ide, kewenangan ketrampilan teknis dan moral serta bahwa perawat mengasumsikan adanya tingkatan dalam masyarakat ;
4.    PAUL F. COMENISCH (1983) :
Profesi adalah "komunitas moral" yang memiliki cita-cita dan nilai bersama
5.    KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA :
Profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (ketrampilan, kejuruan, dan sebagainya) tertentu ;
6.    K. BERTENS :
Profesi adalah suatu moral community (masyarakat moral) yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama ;
7.    SITI NAFSIAH :
Profesi adalah suatu pekerjaan yang dikerjakan sebagai sarana untuk mencari nafkah hidup sekaligus sebagai sarana untuk mengabdi kepada kepentingan orang lain (orang banyak) yang harus diiringi pula dengan keahlian, ketrampilan, profesionalisme, dan tanggung jawab ;
8.    DONI KOESOEMA A  :
Profesi merupakan pekerjaan, dapat juga berwujud sebagai jabatan di dalam suatu hierarki birokrasi, yang menuntut keahlian tertentu serta memiliki etika khusus untuk jabatan tersebut serta pelayananbaku terhadap masyarakat ;
Dapat disimpulkan:
Profesi merupakan suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian atau keterampilan dari pelakunya. Biasanya sebutan “profesi” selalu dikaitkan dengan pekerjaan atau jabatan yang dipegang oleh seseorang, akan tetapi tidak semua pekerjaan atau jabatan dapat disebut profesi karena profesi menuntut keahlian para pemangkunya. Hal ini mengandung arti bahwa suatu pekerjaan atau jabatan yang disebut profesi tidak dapat dipegang oleh sembarang orang, akan tetepi memerlukan suatu persiapan melelui pendidikan dan pelatihan yang dikembangkan khusus untuk itu. Pekerjaan tidak sama dengan profesi. Istilah yang mudah dimengerti oleh masyarakat awam adalah: sebuah profesi sudah pasti menjadi sebuah pekerjaan, namun sebuah pekerjaan belum tentu menjadi sebuah profesi. Profesi memiliki mekanisme serta aturan yang harus dipenuhi sebagai suatu ketentuan, sedangkan kebalikannya, pekerjaan tidak memiliki aturan yang rumit seperti itu. Hal inilah yang harus diluruskan di masyarakat, karena hampir semua orang menganggap bahwa pekerjaan dan profesi adalah sama.
Untuk bisa bekerja sebagai seorang Hakim, sangatlah membutuhkan tataran keilmuan yang sangat baik, karena sebagaimana adigium hukum bahwa Hakim dianggap tahu akan peraturan perundang-undangan dan juga hukum yang berlaku di dalam masyarakat. Oleh sebab itu, maka sangat pantas apabila Hakim dikatakan sebagai sebuah prosesi sebagaimana kesimpulan dari pengertian kata PROFESI, yaitu profesi merupakan suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian atau keterampilan dari pelakunya.
Dari pengertian tersebut, maka secara profesi, kedudukan Hakim adalah sejajar atau bahkan lebih tinggi dari profesi yang lain, seperti Dokter, Insinyur, Advokat dan lain sebagainya. Dan oleh karenanya, maka apabila seseorang bekerja sebagai Hakim mendapatkan reward yang sesuai dengan tugas dan kewajibannya.
Reward bagi seorang Hakim tidak sebatas pada ukuran seberapa besar gaji yang diterimanya akan tetapi juga mengenai pemenuhan hak-haknya, terutama berkaitan dengan kedudukan Hakim sebagai Pejabat Negara, yang tentu saja memilki berbagai kelebihan dibandingkan dengan kedudukan seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Meski demikian, dengan diperlakukannya status Hakim sebagai sebuah profesi, konsekuensinya adalah bahwa pekerjaan sebagai Hakim menuntut PROFESIONALIME di dalam menjalankan tugas-tugasnya.
III.    TUNTUTAN PROFESIONALISME BAGI HAKIM
Sebelum membahas mengenai Tuntutan bagi seorang Hakim, maka kiranya perlu diketahui terlebih dahulu pengertian dari PROFESIONAL, yaitu istilah bagi seseorang yang menawarkan jasa atau layanan sesuai dengan protokol dan peraturan dalam bidang yang dijalaninya dan menerima gaji sebagai upah atas jasanya. Orang tersebut juga merupakan anggota suatu entitas atau organisasi yang didirikan seusai dengan hukum di sebuah negara atau wilayah. Meskipun begitu, seringkali seseorang yang merupakan ahli dalam suatu bidang juga disebut "profesional" dalam bidangnya meskipun bukan merupakan anggota sebuah entitas yang didirikan dengan sah. Sebagai contoh, dalam dunia olahraga terdapat olahragawan profesional yang merupakan kebalikan dari olahragawan amatir yang bukan berpartisipasi dalam sebuah turnamen/kompetisi demi uang. Karyawan profesional adalah seorang karyawan yang digaji dan melaksanakan tugas sesuai juklak (Petunjuk Pelaksanaan) dan juknis (Petunjuk Teknis) yang dibebankan kepada dia. Sangat wajar jika dia mengerjakan tugas di luar Juklak dan Juknis dan meminta upah atas pekerjaannya tersebut. Karena profesional adalah terkait dengan pendapatan, tidak hanya terkait dengan keahlian.
Seorang Hakim yang menganggap pekerjaannya adalah sebagai sebuah profesi, tentunya akan bertindak secara profesional di dalam melaksanakan tugas-tugasnya.  Secara kedinasan, kritera profesional kiranya telah tercantum di dalam Kode Etik Hakim yang disusun oleh Mahkamah Agung RI bekerja sama dengan Komisi Yudisial RI, akan tetapi sikap seorang Hakim tidak hanya sebagaimana tercantum di dalam Kode Etik tersebut, akan tetapi juga mau dan mampu mendisiplinkan diri dan keluarganya di semua bidang.
Ketika seorang Hakim sudah bertindak secara profesional, maka Hakim tersebut tidak akan melalaikan kewajiban utamanya yaitu sebagai benteng terakhir keadilan bagi para pencari keadilan, sehingga tentunya Hakim tersebut akan mengedepankan hati nuraninya ketika melaksanakan tugas-tugas kedinasannya.
Sebagaiamana telah diamanatkan dalam peringatan hari jadi Mahkamah Agung ke – 70, Yang Mulia Bapak Ketua Mahkamah Agung kembali mengingatkan akan visi dari Mahkamah Agung yaitu menjadikan Peradilan Indonesia sebagai peradilan yang agung. Suatu visi yang melihat jauh ke masa depan dimana bangsa Indonesia sangat membutuhkan suatu badan peradilan yang mampu mengayomi dan memberi rasa keadilan sesuai dengan perkembangan peradaban dan kehidupan masyarakat. Peradilan yang agung membutuhkan suatu konsekuensi bahwa aparat yang berada di setiap badan peradilan di Indonesia yang bernaung di bawah Mahkamah Agung Republik Indonesia harus bekerja keras menegakkan hukum dan keadilan sehingga dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, sebagaimana tujuan dari adanya hukum. Harus diakui bahwa menegakkan hukum dan menegakkan keadilan adalah bagaikan dua sisi mata uang yang sering tidak bisa seiring dan sejalan, yaitu ketika lebih memilih menegakkan hukum maka ada rasa keadilan yang tercederai, demikian pula sebaliknya, ketika lebih mengedepankan keadilan, maka ada norma hukum yang dikorbankan. Akan tetapi dari keduanya, yang utama adalah adanya manfaat dari hukum itu sendiri, yaitu adanya hukum akan memberi kemanfaatan bagi masyarakat sehingga timbul rasa membutuhkan hukum dalam masyarakat.
Sikap profesional yang dilakukan secara terus-menerus, akan menimbulkan suatu sikap PROFESINALISME yang artinya sebagaimana tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yaitu profesionalisme/pro•fe•si•o•nal•is•me/ /profésionalisme/ n mutu, kualitas, dan tindak tanduk yg merupakan ciri suatu profesi atau orang yg profesional.  Arti lain dari profesionalisme adalah sifat-sifat (kemampuan, kemahiran, cara pelaksanaan sesuatu dan lain-lain) sebagaimana yang sewajarnya ter¬dapat pada atau dilakukan oleh seorang profesional. Profesionalisme berasal dari profesi yang bermakna berhubungan dengan profesi dan memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya, (KBBI, 1994). Jadi, profesionalisme adalah tingkah laku, kepakaran atau kualitas dari seseorang yang profesional (Longman, 1987). 
Sedangkan dalam sikap profesionalisme, mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1.    Keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati piawai ideal.
Seseorang yang memiliki profesionalisme tinggi akan selalu berusaha mewujudkan dirinya sesuai dengan piawai yang telah ditetapkan. Ia akan mengidentifikasi dirinya kepada sesorang yang dipandang memiliki piawaian tersebut. Yang dimaksud dengan “piawai ideal” ialah suatu perangkat perilaku yang dipandang paling sempurna dan dijadikan sebagai rujukan.
2.    Meningkatkan dan memelihara imej profesi\
Profesionalisme yang tinggi ditunjukkan oleh besarnya keinginan untuk selalu meningkatkan dan memelihara imej profesi melalui perwujudan perilaku profesional. Perwujudannya dilakukan melalui berbagai-bagai cara misalnya penampilan, cara percakapan, penggunaan bahasa, sikap tubuh badan, sikap hidup harian, hubungan dengan individu lainnya.
3.    Keinginan untuk sentiasa mengejar kesempatan pengembangan profesional yang dapat meningkatkan dan meperbaiki kualitas pengetahuan dan keterampilannya.
4.    Mengejar kualitas  dan cita-cita dalam profesi
Profesionalisme ditandai dengan kualitas derajat rasa bangga akan profesi yang dipegangnya. Dalam hal ini diharapkan agar seseorang itu memiliki rasa bangga dan percaya diri akan profesinya.
Apabila seorang Hakim telah memilki ciri-ciri sebagaimana telah disebutkan di atas maka kiranya dapat dikatakan Hakim tersebut telah melaksanakan tugas-tugasnya secara profesional dan sebagai seorang yang bertindak secara profesional maka baginya mempunyai hak untuk mendapatkan reward yang sepadan.
Apabila kita menengok kepada sejarah sehingga muncul kedudukan sebagai Hakim, maka kiranya patut pula dipahami menganai HUKUM MENJADI HAKIM, yaitu : Menjadi hakim hukumnya fardu kifayah jika tidak ada orang yang sanggup untuk menjadi hakim. Dan disunatkan apabila jika memang dirinya lebih pantas dibandingkan dengan  orang lain yang juga layak bekapasitas untuk menjadi hakim, Sebaliknya jika orang lain lebih layak menjadi hakim maka kita makruh  hukumnya  menjadi hakim. Hukumnya mubah apabila didapatkan orang lain sama kelayakannnya untuk menjadi hakim, dan haram hukumnya manakala ,memang tidak mempunyai kapasitas kemampuan untuk menjadi hakim.  Lebih lanjut disebutkan bahwa Meminta untuk menjadi hakim hukumnya ada lima: wajib, mubah, mustashab, makruh dan haram :
1.    Wajib adalah jika orang itu ahli ijtihad atau dari kalangan ahli ilmu dan bersikap adil dan di daerah itu tidak terdapat hakim atau ada hakim tetapi tidak legal pengangkatannya atau di tempat itu tidak ada oarang yang layak menjadi hakim, atau karena keadaannya yang apabila tidak diikuti keputusannya, dia akan menyerakan keputusannya kepada orang yang tidak legal pengangkatannya ;
2.    Mubah apabila seseorang fakir dan mempunyai tanggungan nafkah tehadap keluarganya, maka ia diperbolehkan berusaha mendapatkan penghasilan untuk menutupi kefakirannya itu ;
3.    Mustashab apabila di suatu tempat terdapat orang yang berilmu tidak diketahui masyarakat, kemudian penguasa ingin memperkenalkan tentang keberadaannya dengan jalan mengangkatnya menjadi hakim atau orang tersebut  berusaha untuk menjadi hakim, maka dimustahabkan baginya untuk memangku jabatan hakim ;
4.    Makruh usaha untuk menjadi hakim dalam rangka untuk memperoleh kemegahan dan ketinggian, bagi orang-orang seperti ini dimakruhkan ;
5.    Haram jika seseorang berusaha  meminta menjadi hakim sedangkan dia tidak punya kapasitas dalam masalah peradilan, atau dia berusaha menjadi hakim dan dia dari kalangan ahli ilmu akan tetapi dia fasik.
Kiranya apabila seluruh syarat-syarat untuk menjadi Hakim sebagaimana tercantum di atas terpenuhi, maka seseorang yang telah menjatuhkan pilihan hidupnya untuk mengabdi sebagai seorang Hakim, maka orang tersebut haruslah mengabdikan seluruh hidupnya untuk melaksanakan tugas-tugasnya sebagai Hakim secara profesional, atau sekarang dapat dikatakan sebagai TOTALISME PEKERJAAN, sehingga Hakim tersebut akan dapat menunjukkan profesionalisme di dalam pekerjaannya.

IV.    KETEGASAN PEMERINTAH
Harus dipahami bahwa hukum tertulis yang mengatur segala hal termasuk di dalamnya adalah mengatur mengenai kedudukan Hakim, sangat tergantung kepada politik hukum di negara tersebut, termasuk di Indonesia.  Hal ini mengingat bahwa tidak akan ada hukum tertulis apabila tidak ada politik hukum yang menginginkannya.
Akan tetapi setidaknya saat ini patut disyukuri bahwa keinginan dari Hakim-Hakim Indonesia untuk memantapkan kedudukannya sebagai Pejabat Negara dan bukan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) telah direspon secara positif oleh pihak Legislatif yaitu dari pihak Dewan Perwakilan Rakyat. Sebagaimana disampaikan oleh Komisi III DPR yang menyatakan serius memperjuangkan aspirasi para hakim melalui pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Jabatan Hakim. Saat ini, anggota DPR RI itu sedang menunggu sumbangan naskah akademik (NA) dan draf RUU dari para hakim.
Bola panas sudah dilemparkan oleh pihak Legislatif, sekarang tingal respon kita menanggapi bola panas dari pihak Legislatif tersebut, menunggu atau bersikap pro aktif dalam memperjuangkan hak-hak seorang Hakim, tentunya melalui mekanisme yang telah disiapkan. Penulis sendiri berpendapat bahwa menjadi Hakim adalah suatu pilihan hati dan tentunya akan menjadi kebanggaan apabila tugas-tugasnya dilaksanakan penuh dengan amahan dan tanggung jawab..  Oleh karena itu, sikap pro aktif dari Hakim-Hakim Indonesia untuk memperjuangkan hak-haknya juga harus dibarengi dengan kinerja yang dilakukan secara profesional dengan mengedepankan pelayanan yang optimal kepada masyarakat pencari keadilan. Sehingga masyarakat dapat memberikan penilaian yang positif ketika suatu saat nanti kesejahteraan Hakim-Hakim Indonesia telah meningkat dan tidak memandang sinis dikarenakan membandingkan antara kesejahteraan Hakim yang tinggi dengan kinerja yang buruk. Kiranya sudah banyak contoh di Negeri ini, dimana para pejabatnya menuntut kenaikan kesejahteraan tetapi tidak menunjukkan kinerja yang baik dan memberikan manfaat kepada masyarakat, sehingga janganlah Hakim-Hakim Indonesia justru menambah beban bagi masyarakat dengan hanya menuntut perbaikan kesejahteraan namun “melempem” kinerjanya.
Kesempatan berinovasi bagi tiap-tiap kantor Pengadilan di dalam memberikan pelayanan  kepada masyarakat khususnya bagi para pencari keadilan telah dibuka selebar-lebarnya oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia. Hal ini dapat menjadi sarana bagi Hakim-Hakim Indonesia khususnya untuk menunjukkan kualitas kerjanya dan memberikan bukti bahwa meskipun dalam segala keterbatasan, Hakim-Hakim Indonesia bisa menjadi garda terdepan di dalam pelayanan masyarakat di bidang hukum, mengingat sampai saat ini tingkat pemahaman hukum dari masyarakat masih cukup rendah.
Ketika sebuah Rancangan Undang-Undang sudah digulirkan di lembaga Legislatif untuk dibahas oleh lembaga Legislatif bersama dengan Eksekutif, maka pihak Eksekutif juga harus membuka diri dengan melakukan dialog-dialog dengan pihak terkait dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut dan dalam hal pembahasan Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim, diperlukan ketegasan dari pihak Eksekutif untuk menyatakan bahwa Hakim merupakan jabatan yang termasuk dalam jajaran Pejabat Negara yang memilki kedudukan yang berbeda dengan Aparatur Sipil Negara (ASN) atau yang biasa disebut dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ketegasan pemerintah ini penting mengingat Eksekutif adalah sebagai pelaksana dari suatu Undang-Undang, sehingga ketika Eksekutif sudah mendudukkan Hakim sebagai Pejabat Negara maka perlakuan pihak Eksekutif kepada Hakim juga memandang Hakim sebagai Pejabat Negara dan bukan sebagai Aparatur Sipil Negara, yang kewenangan dan kesejahteraannya berdasarkan “belas kasihan” pihak Eksekutif.
V.    PENUTUP
Kiranya sudah waktunya bagi Hakim-Hakim Indonesia menunjukkan jati dirinya bahwa sesuai dengan amanat Undang-Undang, Hakim adalah termasuk dalam jajaran Pejabat Negara dengan konsekuensi bahwa Hakim-Hakim Indonesia harus pula menunjukkan profesionalismenya di dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat pencari keadilan. Profesionalisme juga berarti “zero tolerance” terhadap segala bentuk penyimpangan karena segala bentuk penyimpangan hanya kan berakibat rusaknya sistem kerja yang sudah dibangun, ibarat pepaatah “karena noda setitik rusak susu sebelanga”, sehingga Hakim-Hakim Indonesia juga dituntut untuk selalu melakukan introspeksi diri berkaitan dengan tugas-tugas kedinasannya, sebab sekecil apapun penyimpangan yang terjadi, membuat buruk penilaian terhadap kinerja Hakim-Hakim Indonesia.
Sebagai penutup, patut pula agar diantara Hakim-Hakim Indonesia untuk selalu saling mengingatkan dalam hal kebaikan sebagai pencegah terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan tugas-tugas kedinasan, karena Hakim juga adalah maanusia yang tidak akan luput dari kesalahan dan kekhilafan. Wallahu’alam.

VI.    BAHAN BACAAN
1.    http://cahwatuaji.blogspot.com/2009/01/peranan-kejaksaan-dalam-sistem.html
2.    https://id.wikipedia.org/wiki/Hakim, diunduh tanggal 07 Oktober 2015.
3.    www.hukumonline.com.
4.    http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol8731/simpang-siur-status-hakim-sebagai-pejabat-negara, diunduh tanggal 07 Oktober 2015 ;
5.    http://diklatteknisperadilan.blogspot.co.id/2014/03/menelisik-status-hakim-di-aparatur.html, diunduh tanggal 07 Oktober 2015 ;
6.    http://krupukulit.com/2012/04/20/1072/, diunduh tanggal 07 Oktober 2015.
7.    http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e8c836104d00/gayus-lumbuun-brtugas-hakim-bukan-hanya-memutus-perkara, diunduh tanggal 07 Oktober 2015 ;
8.    https://sumberpiji.wordpress.com/tag/tugas-hakim/, diunduh tanggal 07 Oktober 2015 ;
9.    https://id.wikipedia.org/wiki/Profesional, diunduh tanggal 07 Oktober 2015 ;
10.    http://santhoshakim.blogspot.co.id/2015/09/peradilan-yang-agung.html#!/2015/09/peradilan-yang-agung.html
11.    http://kbbi.web.id/profesionalisme, diunduh tanggal 07 Oktober 2015 ;
12.    https://ms.wikipedia.org/wiki/Profesionalisme, diunduh tanggal 07 Oktober 2015 ;
13.    https://ms.wikipedia.org/wiki/Profesionalisme, diunduh tanggal 07 Oktober 2015 ;
14.    http://sirkulasiku.blogspot.co.id/2013/05/pengertian-syarat-dan-fungsi-hakim.html, diunduh tanggal 07 Oktober 2015 ;
15.    http://sirkulasiku.blogspot.co.id/2013/05/pengertian-syarat-dan-fungsi-hakim.html, diunduh tanggal 07 Oktober 2015 ;
16.    http://www.suarakarya.id/2015/06/29/hakim-bukan-lagi-pns-tapi-pejabat-negara.html, diunduh tanggal 07 Oktober 2015 ;
17.    http://santhoshakim.blogspot.co.id/2015/04/hakim-juga-manusia.html#!/2015/04/hakim-juga-manusia.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kecelakaan Lalu Lintas

    Ritual Mudik menjelang Hari Raya Idul Fitri telah tuntas dilakukan dengan berbagai variasinya. Masyarakat yang mudik dengan mengguna...