Selasa, 12 April 2016

ALAT BUKTI ILMIAH




qwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnm

ALAT BUKTI ILMIAH SEBAGAI ALAT BUKTI DI PERSIDANGAN

DISUSUN OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH

HAKIM YUSTISIAL MAHKAMAH AGUNG RI





ALAT BUKTI ILMIAH SEBAGAI ALAT BUKTI DI PERSIDANGAN
OLEH : H. SANTHOS WACHJOE P, SH.MH[1]

A.  PENDAHULUAN
Semakin berkembangnya masyarakat menuntut pula semakin cepatnya pergerakan seseorang dalam usaha mencapai tujuannya. Segala macam cara digunakan sebagai sarana demi mencapai semua kehendak dan keinginan yang seringkali, baik sadar maupun tidak, merugikan orang lain. Hal ini menggambarkan bahwa seakan-akan setiap manusia berhak menggunakan segala macam cara baik yang diperbolehkan maupun yang dilarang (diharamkan) demi memenuhi kebutuhan hidupnya.
Perbuatan yang merugikan orang lain tersebut kadang kala tidak terselesaikan dangan jalan musyarawah mufakat sehingga harus diselesaikan di persidangan. Penyelesaian sengketa di muka meja hijau tentu akan melewati tahapan yang disebut pembuktian, yaitu para pihak yang bersengketa baik dalam perkara pidana maupun perdata saling mengajukan bukti baik bukti saksi maupun bukti surat. Selaras dengan perkembangan jaman, maka perkembangan tekhnologi dan informasi juga berperan serta dalam proses pembuktian di persidangan tanpa mengabaikan alat bukti sebagaimana yang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana maupun di dalam HIR/Rbg, untuk hukum perdata.
B.  PEMBUKTIAN DI PERSIDANGAN
Di dalam hukum acara baik hukum acara pidana maupun hukum acara perdata, ketika  seseorang akan membuktikan suatu dalil baik itu Jaksa Penuntut Umum yang akan membuktikan dalil dakwaannya, maupun Terdakwa yang akan membantah dalil dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum atau Penggugat yang akan membuktikan dalil gugatannya maupun Tergugat yang akan membantah dalil gugatan dari Penggugat, akan berusaha melakukannya dengan cara pembuktian di persidangan. Yahya Harahap mengatakan bahwa, “Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan”[2]
Secara teoritis terdapat beberapa sistem pembuktian yang kita kenal. Sistem pembuktian tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut :[3]
1.   Conviction Raisonee
Dalam sistem pembuktian ini hakim memegang peranan penting dalam menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa, tetapi factor keyakinan hakim dibatasi dengan dukungan – dukungan dan alasan yang jelas. Haki berkewajiban menguraikan, menjelaskan alasan – alasan yang mendasari keyakinannya dengan alasan yang dapat diterima secara akal dan bersifat yuridis. Sistem ini oleh Andi Hamzah disebut dengan sistem bebas, karena hakim bebas untuk menyebut alasan – alasan keyakinannya (vrije bewistheorie, atau disebut juga sebagai jalan tengah beradasarkan keyakinan hakim sampai batas tertentu dan terpecah menjadi dua jurusan yakni pertama berdasarkan atas keyakinan hakim (conviction in time) dan yang kedua adalah teori pembuktian berdasarkan undang – undang secara negative(negatief wetteliejk bewistheorie). Kesamaan keduanya adalah adalah sama – sama berdasarkan atas keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim, bahwa terdakwa dinyatakan bersalah. Keyakinan hakim harus didasarkan pada suatu kesimpulan (conclusive) yang logis, yang tidak didasarkan pada undang – undang tetapi ketentuan – ketentuan berdasarkan ilmu pengetahuan hakim itu sendiri, tentang pilihannya terhadap alat bukti yang dipergunakan, sehingga menurut undang – undang telah ditentukan secara limitative dan harus diikuti oleh keyakinan hakim. Sistem ini bertitik tolak pada keyakinan hakim dan pada pembuktian berdasarkan undang – undang secara negatif ;
2.  Pembuktian menurut undang – undang secara positif (positief wattelijk bewisjstheorie)
 Suatu pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan semata – mata (conviction in time). Hal mana keyakinan hakim tidak berarti, dengan suatu prinsip berpedoman pada alat bukti yang ditentukan dalam undang – undang. Hakim tidak lagi berpedoman pada hati nuraninya, jadi hakim berfungsi sebagai robot dari pelaksana undang – undang. Kebaikan dari sistem ini, yakni hakim berkewajiban untuk mencari dan menemukan kebenaran, sesuai dengan tata cara yang telah ditentukan berbagai alat bukti yang sah oleh undang – undang. Sehingga aspek pertama hakim mengesampingkan factor keyakinan semata – mata dan berdiritegak dengan nilai pembuktian objektif tanpa memperhatikan subjektivitas. Namun sistem ini tidak lagi dianut karena mengandalkan pembuktian berdasarkan undang – undang dan mengabaikan keyakinan hakim yang jujur dan berpengalaman yang mungkin juga mempunyai kesamaan dengan masyarakat secara luas ;
3.  Pembuktian menurut undang – undang secara negative (negatief wettelijk bewisjtheorie)
Pada sistem ini pembuktian merupakan akulturasi atau gabungan dari sistem pembuktian menurut undang – undang secara positif dan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim. Sistem merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang bertolak belakang secara ekstrem. Dalam pembuktian ini bersalah atau tidaknya terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan pada cara menilai alat – alat bukti yang sah menurut undang – undang. Sehingga keyakinan hakim dibangun atas dasar bukti yang sah dan timbulnya keyakinan hakim bahwa terdakwa betul – betul salah.
Dari ketiga teori tersebut, kiranya dapat diterapkan di dalam proses pembuktian di persidangan dengan tujuan utama untuk mencari kebenaran baik kebenaran materiil di dalam hukumm pidana maupun kebenaran formil di dalam hukum perdata.  Dalam praktek, pembuktian dalam persidangan secara ringkas dapat dijelaskan sebagaimana uraian di bawah ini.
1.      PEMBUKTIAN DALAM HUKUM PIDANA
Di dalam Hukum Acara Pidana, telah diatur bagaimana cara pembuktian dapat dilakukan di persidangan dan bagaimana hakim bersikap di dalam putusannya terhadapp suatu perkara. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyebutkan, “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Di dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP tersebut hanya menyebutkan “Ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang”,  sehingga untuk memahami ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebut. Kiranya ketentuan Pasal 183 KUHAP ini mengadopsi dari ketentuan Pasal 294 HIR, yang dianggap sebagai pembuktian menurut undang-undang secara negatif.[4]
Dari ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebut tersurat bahwa dibutuhkan minimal 2 (dua) alat bukti yang dapat menjadi pegangan hakim sebelum menjatuhkan putusan, sehingga kemudian perlu dipahami pula ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP mengenai alat bukti yang sah yaitu :
a.       Keterangan saksi ;
b.      Keterangan ahli ;
c.       Surat ;
d.      Petunjuk ;
e.       Keterangan Terdakwa ;
Tulisan ini hanya akan membatasi pembahasan pada alat bukti berupa SURAT maupun  PETUNJUK, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) huruf c dan huruf d KUHAP.
Mengenai surat, telah diatur di dalam Pasal 187 KUHAP yang menyebutkan, “Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah :
a.       Berita Acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu ;
b.      Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturn perundanga-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawab dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atas ssesuatu keadaan ;
c.       Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya ;
d.      Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubunganna dengan isi dari alat pembuktian yang lain ;
Di dalam penjelasan Pasal 187 KUHAP, hanya pada huruf b saja yang mendapatkan penjelasan sebagai berikut, “Yang dimaksud dengan surat yang dibuat oleh pejabat termasuk surat yang dikeluarkan oleh suatu majelis yang berwenang untuk itu”.
Mengenai kekuatan pembuktian surat, Yahya Harahap membagi ke dalam 2 segi yaitu dari segi formil dan dari segi materiil.[5] Dari segi formil, bukti surat mempunyai nilai pembuktian formal yang sempurna, dengan sendirinya bentuk dan isi surat tersebut :
a.    Sudah benar, kecuali dapat dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain ;
b.    Semua pihak tidak dapat lagi menilai kesempurnaan bentuk dan pembuatannya ;
c.    Juga tidak dapat lagi menilai kebenaran keterangan yang dituangkan pejabat berwenang di dalamnya sepanjang isi keterangan tersebut tidak dapat dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain ;
d.   Isi keterangan yang tertuang di dalamnya hanya dapat dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain baik berupa alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli atau keterangan Terdakwa.
Dari segi materiil, nilai kekuatan pembuktin alat bukti surat sama halnya dengan nilai embuktian keterangan saksi dan alat bukti keterangan ahli, yaitu sama-sama mempunyai kekuatan pembuktian yang bersifat bebas, sehingga hakim bebas untuk menilai kekuatan pembuktiannya dengan    alasan :
a.    Asas proses pemeriksaan perkara pidana ialah untuk mencari kebenaran materiil atau kebenaran sejati (materiil waarheid) bukan kebenaran   formal, sehingga hakim bebas menilai kebenaran yang terkandung pada alat bukti surat ;
b.    Asas keyakinan hakim, yaitu hakim hanya dapat menjatuhkan pemidanaan kepada Terdakwa apabila telah diperoleh minimal 2 (dua) alat bukti yang sah ;
c.    Asas batas minimum pembuktian, dalam arti meskipun melekt sifat kesempurnaan secara formal atas bukti surat, akan tetapi alat bukti surat tidak cukup sebagai alat bukti yang berdiri sendiri dan tetap memerlukan dukungan dari alat bukti lainnya ;
Mengenai alat bukti petunjuk adalah sebagaimana tercantum dalam Pasal 188 KUHAP yang menyebutkan :
(1)   Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya ;
(2)   Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari :
a.       Keterangan saksi ;
b.      Surat ;
c.       Keterangan Terdakwa ;
(3)   Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana, setelah mengadakan pemeriksaan dengan kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Penjelasan dalam pasal 188 KUHAP inipun hanya menyebutkan cukup jelas, sehingga di dalam praktek diperlukan kehati-hatian yang sangat mendalam dan kecermatan dari setiap hakim terhadapp alat bukti berupa petunjuk. Dan terhadapp nilai kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk, juga bersifat bebas dalam arti :[6]
a.       Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk ;
b.      Petunjuk sebagai alat bukti, tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan Terdakwa dan tetap terikat kepada prinsip batas minimum pembuktian ;
2.      PEMBUKTIAN DALAM PERKARA PERDATA
Di dalam proses persidangan perkara perdata, dalam hal pembuktian terdapat hal yang bersifat lebih rumit dan kompleks dibandingkan dengan proses persidangan perkara pidana, karena berkaitan dengan menggali kebenaran yang tempus (waktunya) bisa tidak terhingga lamanya, bukan hanya dalam hitungan hari atau bulan tetapi bahkan dalam hitungan tahun. Hal lain yang memperngaruhi rumitnya pembuktian perkara perdata adalah sebagaimana disampaikan oleh Yahya Harahap, yaitu :[7]
1.      Faktor Sistem Adversarial (Adversarial System), yaitu sistem yang mengharuskan memberikan hak yang sama kepada para pihak yang berperkara untuk saling mengajukan kebenaran masing-masing serta mempunyai hak untuk saling membantah kebenaran yang diajukan pihak lawan sesuai dengan proses adversarial (adversarial proceeding) ;
2.      Pada prinsipnya kedudukan hakim dalam proses pembuktian sesuai dengan sistem adversarial adalah lemah dan pasif, dalam arti tidak aktif mencari dan menemukan kebenaran di luar aa yang diajukan dan disampaikan para pihak dalam persidangan.
Dalam perkara perdata, yang diutamakan adalah mencari kebenaran formil (formeel waarheid), sehingga terbuka kemungkinan bahwa para pihak akan mengajukan pembuktian yang tidak sebenarnya dan terdapat unsur kebohongan di dalam pembuktian yang diajuakan ke persidangan. Meski demikian, perlu pula dicermati Putusan Mahkamah Agung RI No.3136 K/Pdt/1983 yang mengatakan, “Tidak dilarang pengadilan perdata mencari dan menemukan kebenaran materiil, namun apabila kebenaran materiil tidak ditemukan dalam peradilan perdata, hakim dibenarkan hukum mengambil putusan berdasarkan kebenaran formil.”[8]
Pedoman umum di dalam pembuktian perkara perdata adalah sebagaimana digariskan dalam Pasal 163 HIR yang berbunyi, “Barang siapa yang mengatakan ia mempunyai hak atau ia menyebutkan sesuatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu.” Ketentuan ini sama dengan ketentuan Pasal 263 RBg atau Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), sehingga tentang pembuktiaan dalam perkara perdata dapat disimpulkan sebagai berikut :
·      Siapa yang mendalil sesuatu hak, kepadanya dibebankan wajib bukti untuk membuktikan hak yang didalilkannya  dan
·      Siapa yang mengajukan dalil bantahan dalam rangka melumpuhkan hak yang didalilkan pihak lain, kepadanya dipikulkan beban pembuktian untuk membuktikan dalil bantahan tersebut ;
Lebih lanjut mengenai pembuktian di perkara perdata, dikenal adanya istilah Pengertian Batas Minimal yang dapat diartikan :[9]
·      Suatu jumlah alat bukti yang sah yang paling sedikit harus terpenuhi agar alat bukti itu mempunyai nilai kekuatan pembuktian untuk mendukung kebenaran yang didalilkan atau dikemukakan ;
·      Apabila alat bukti yang diajukan di persidangan tidak mencapai batas minimal, alat bukti itu tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup untuk membuktikan kebenaran dalil atau peristiwa maupun pernyataan yang dikemukakan.
Patokan menentukan batas minimal, tidak ditentukan pada faktor kuantitas akan tetapi ditentukan pada faktor kualitas, sebagai contoh adalah dalam suatu perkara perdata, pihak Penggugat menghadirkan saksi sejumlah 100 (seratus) orang, akan tetapi selama persidangan, saksi yang benar-benar mengetahui mengenai sengketa perkara antara Penggugat dengan Tergugat hanya 1 (satu) orang saksi, maka hakim dapat mengabaikan keterangan dari 99 (sembilan puluh sembilan) orang saksi lainnya. Sehingga, dalam perkara perdata di dalam hal pembuktian, peranan hakim justru mengemuka dalam arti hakim yang akan menilai kualitas dari pembuktian yang dilakukan oleh para pihak, apakah pembuktian yang diberikan benar-benar memiliki kualitas sebagai alat bukti atau tidak.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam perkara perdata akan lebih banyak melibatkan alat bukti berupa surat, yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a.    Akta Otentik ;
b.    Akta Bawah tangan dan ;
c.    Akta Sepihak atau pengakuan sepihak ;
C.      PEMBUKTIAN DENGAN MENGGUNAKAN ALAT BUKTI ILMIAH
Sebelum membahas mengenai alat bukti ilmiah maka perlu kiranya mengetahui terlebih dahulu mengenai pengertian bukti empiris adalah informasi yang membenarkan suatu kepercayaan dalam kebenaran atau kebohongan suatu klaim empiris dan dalam pandangan empirisis, seseorang hanya dapat mengklaim memiliki pengetahuan saat seseorang memiliki sebuah kepercayaan yang benar berdasarkan bukti empiris.[10] Dalam bukti empiris, Indra adalah sumber utama dari bukti empiris. Walaupun sumber lain dari bukti, seperti ingatan, dan kesaksian dari yang lain pasti ditelusuri kembali lagi ke beberapa pengalaman indrawi, semuanya dianggap sebagai tambahan, atau tidak langsung.[11] Bukti empiris ini yang dalam istilah hukum diaplikasikan dalam keterangan saksi, yaitu orang yang melihat, mendengar dan mengetahui secara langsung atas suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seorang terdakwa (dalam perkara pidana) atau terhadap suatu peristiwa hukum yang menjadi sebab akibat atas peristiwa hukum yang lain (dalam perkara perdata).
Kesulitan yang dihadapi ketika hanya mengandalkan alat bukti saksi adalah berkenaan dengan keterbatasan seorang saksi dalam mengingat kembali kejadian yang pernah saksi lihat, saksi ketahui maupun saksi dengar, yang kejadian tersebut sudah berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Sangat manusiawi apabila seorang saksi harus mengingat kembali kejadian yang sudah lama terjadi. Oleh sebab itu kemudian dibutuhkan bantuan dalam bentuk surat, yang tidak lain juga berisi atau mencatat kejadian-kejadian penting pada suatu waktu. Surat apapun dapat diajukan di persidangan akan tetapi yang dapat dijadikan alat bukti yang dipertimbangkan dalam persidangan adalah alat bukti surat yang bersifat otentik atau surat yang dibuat dan disahkan oleh pejabat yang berwenang, misalkan Akta Jual Beli yang dibuat dan disahkan di Kantor Notaris.
Dalam perkembangannya, tidak cukup hanya dengan menggunakan alat bukti surat sehingga perlu adanya saksi ahli yang dapat memberikan penjelasan secara ilmiah terhadap suatu peristiwa hukum yang terjadi. Keberadaan saksi ini berkembang menjadi digunakannya alat bukti ilmiah (scientific evidence) dalam proses pembuktian di persidangan. Mengutip pendapat Lawrence M. Wriedman, seorang Guru Besar di Stanford University, berpendapat bahwa untuk mewujudkan ”kepastian hukum” paling tidak haruslah didukung oleh unsur-unsur sebagai berikut, yakni : (1) substansi hukum, (2) aparatur hukum, dan (3) budaya hukum, unsur pertama “substansi hukum” berbicara tentang isi daripada ketentuan-ketentuan tertulis dari hukum itu sendiri unsur kedua adalah “aparatur hukum” adalah perangkat, berupa system tata kerja dan pelaksana daripada apa yang diatur dalam substansi hukum tadi. Sedangkan unsur yang terakhir adalah “budaya hukum” yang menjadi pelengkap untuk mendorong terwujudnya “kepastian hukum” adalah bagaimana budaya hukum masyarakat atas ketentuan hukum dan aparatur hukumnya, sedangkan budaya hukum masyarakat tergantung kepada budaya hukum anggota-anggotanya yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, lingkungan, budaya, posisi atau kedudukan, bahkan kepentingan-kepentingan.[12] Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa ketiga unsur tersebut yaitu substansi hukum, aparatur hukum dan budaya hukum adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam upaya penegakan hukum sehingga akan tercipta adanya kepastian hukum. Keberadaan alat bukti ilmiah ini merupakan tanda dari buaya hukum yang semakin berkembang yaitu tidak hanya menggunakan pembuktian secara konvensional sebagaimana diatur dalam masing-masing hukum acara tetapi juga telah menggunakan pembuktian secara ilmiah. Penjabaran dari ilmiah (science) itu sendiri bukan saja sekedar pengorganisasian common sense semata namun juga harus dilanjutkan dengan pemikiran yang cermat dan seksama dengan menggunakan berbagai metode yang baik.Karenanya, cara-cara dan metode penyidikan harus dilaksanakan secara mendetail dan cermat.
Terhadap keterangan ahli, Kejaksaan Agung pernah melakukan pengkajian dengan hasil pengkajian menunjukkan bahwa:
1.    Masalah korupsi di Indonesia sudah merupakan persoalan yang komplek dan terjadi secara meluas di seluruh sisi kehidupan. Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan sosial yang terjadi secara sistematik. Korupsi bukan hanya sekedar soal seorang pegawai negeri menggunakan kesempatan untuk kepentingan pribadi, tetapi juga menyangkut budaya masyarakat yang ingin mendapat keuntungan pribadi dengan segala cara termasuk kolusi dengan para pejabat ;
2.    Untuk membuktikan kesalahan terdakwa, pengadilan terikat oleh cara-cara atau ketentuan-ketentuan tentang pembuktian sebagaimana telah diatur dalam undang-undang. Pembuktian yang sah harus dilakukan di dalam sidang pengadilan yang memeriksa terdakwa dan pemeriksaan terhadap alat-alat bukti harus dilakukan di depan sidang. Dalam praktek peradilan, kesulitan pembuktian dipersidangan disebabkan dua hal, yaitu penyidik kurang sempurna mengumpulkan pembuktian dan kekurangan pengertian terhadap penerapan hukum ;
3.    Sistem pembuktian yang digunakan dalam hukum acara pidana Indonesia dikenal dengan “sistem negatif” (negatief wettelijk bewijsleer), di mana yang dicari oleh hakim adalah kebenaran materiil. Sistem negatief merupakan sistem yang berlaku dalam hukum acara pidana yaitu hakim dalam menjatuhkan pidana dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP) ;
4.    Sistem pembuktian dalam Pasal 183  KUHAP adalah ketentuan dasar dalam hukum pembuktian dan mutlak berlaku untuk membuktikan semua tindak pidana, kecuali ditentukan lain dalam hukum pembuktian khusus. Penyimpangan hukum pembuktian ada dalam hukum pidana korupsi, yang meliputi pada 2 (dua) hal pokok, yaitu: mengenai bahan-bahan yang dapat digunakan untuk membentuk alat bukti petunjuk dan mengenai sistem pembebanan pembuktian. Kegiatan pembuktian Tindak Pidana Korupsi di samping tetap menggunakan hukum pembuktian umum dalam KUHAP, tetapi dalam bidang atau hal-hal tertentu berlaku hukum pembuktian khusus. Pembuktian korupsi tetap memperhatikan Pasal 183 KUHAP, kecuali dalam hal pembuktian terbalik {Pasal 37 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001} ;
5.    Seorang ahli memberikan keterangan bukan mengenai segala hal yang dilihat, didengar dan dialaminya sendiri, tetapi mengenai hal-hal yang menjadi atau di bidang keahliannya yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa. Keterangan ahli tidak perlu diperkuat dengan alasan sebab keahliannya atau pengetahuannya sebagaimana pada keterangan saksi. Apa yang diterangkan saksi adalah hal mengenai kenyataan dan fakta. Sedang keterangan ahli adalah suatu penghargaan dan kenyataan dan/atau kesimpulan atas penghargaan itu berdasarkan keahliannya. Apabila keterangan ahli diberikan pada tingkat penyidikan, maka sebelum memberikan keterangan, ahli harus mengucapkan sumpah atau janji terlebih dahulu ;
6.    Melihat ketentuan sebagaimana diatur KUHAP, terutama pada tahap penyidikan pemeriksaan ahli tidaklah semutlak pemeriksaan saksi-saksi. Mereka dipanggil dan diperiksa apabila penyidik “menganggap perlu” untuk memeriksanya {Pasal 120 ayat (1) KUHAP}. Maksud dan tujuan pemeriksaan ahli, agar peristiwa pidana yang terjadi bisa terungkap lebih terang. Pemeriksaan ahli akan menjadi mutlak manakala jaksa memberikan petunjuk kepada penyidik untuk dilakukan pemeriksaan ahli ;
7.    KUHAP tidak menyebut kriteria yang jelas tentang siapa itu ahli. Dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat maka tidak terbatas banyaknya keahlian yang dapat memberikan keterangan sehingga pengungkapan perkara akan semakin terang, terutama menyangkut tindak pidana korupsi ;
8.    Seorang ahli umumnya mempunyai keahlian khusus di bidangnya baik formal maupun informal karena itu tidak perlu ditentukan adanya pendidikan formal, sepanjang sudah diakui tentang keahliannya. Hakimlah yang menentukan seorang itu sebagai ahli atau bukan melalui pertimbangan hukumnya. Keterangan ahli mempunyai Visi apabila :
·      apa yang diterangkan haruslah mengenai segala sesuatu yang masuk dalam ruang lingkup keahliannya ;
·      yang diterangkan mengenai keahliannya itu adalah berhubungan erat dengan perkara pidana yang sedang diperiksa.
9.    Dalam praktek pengajuan ahli di persidangan dapat dilakukan oleh Jaksa 9. Penuntut Umum (JPU) atau penasehat hukumnya. JPU mengajukan saksi ahli sesuai dengan apa yang terdapat dalam BAP atau bisa juga mengajukan ahli di persidangan setelah melihat jalannya dan perkembangan perkara di persidangan. Begitu juga penasehat hukum dapat juga mengajukan ahli untuk menjadi terangnya perkara yang sedang berjalan di pengadilan. Kadangkala ahli yang diajukan oleh JPU dan penasehat hukumnya dalam materi yang sama tetapi keterangan berbeda, dalam konteks ini tinggal hakim yang menentukan seseorang itu ahli dan bobot keterangan dari ahli itu, sehingga ada persesuaian keterangan dengan alat bukti lain ;
10.     Seorang ahli dalam memberikan keterangannya hanya berdasarkan kepada keahliannya dan pengetahuannya. Keterangan ahli bukanlah menafsirkan terhadap peraturan perundang-undangan. Dalam beberapa kasus korupsi ahli hukum memberikan keterangan sebagai ahli tetapi pada kenyataannya keterangan ahli tersebut dengan cara melakukan penafsiran hukum. Keterangan ahli ekonomi dan ahli hukum tentang adanya kerugian negara dalam tindak pidana korupsi ditafsirkan berbeda dan kadang bertolak belakang satu dengan lainnya ;
11.     Keterangan ahli yang memberikan keterangannya karena penafsiran akan menimbulkan inkonsistensi pendapat sehingga keterangannya tidak dapat dijadikan patokan hakim maupun putusan lainnya. Dalam hal ini hakim perlu melihat kompetensi orang yang ditunjuk sebagai ahli. Tidak cukup berpatokan pada formalitas pendidikan atau status sosial orang tersebut, misalnya terhadap seorang profesor yang ditunjuk sebagai ahli ;
12.     Kendala penggunaan alat bukti keterangan ahli dalam perkara Tindak Pidana Korupsi adalah:
·      Dalam praktek peradilan, kesulitan pembuktian dipersidangan disebabkan dua hal, yaitu penyidik kurang sempurna mengumpulkan pembuktian dan kekurangan pengertian terhadap penerapan hukum ;
·      Dalam praktek dilapangan, untuk kasus korupsi yang penyidikannya dilakukan oleh polisi dan jaksa minta untuk dilakukan pemeriksaan ahli. Jarang polisi memenuhi petunjuk jaksa atau akan menjadi kesulitan bagi polisi mendatangkan ahli.
13.  Berdasarkan uraian 1 s.d. 12 di atas dapat simpulkan bahwa:
·       Peran pembuktian sangat penting dalam suatu proses hukum di pengadilan, bila salah dalam menilai pembuktian akan mengakibatkan putusan yang salah pula. Untuk menghindari atau setidak-tidaknya meminimalkan putusan-putusan pengadilan yang demikian, kecermatan dalam menilai alat bukti di pengadilan sangat diharapkan, terutama dalam kasus tindak pidana korupsi ;
·       Peranan ahli dalam pemeriksaan tingkat penyidikan kasus Tindak Pidana Korupsi maupun pemeriksaan dalam sidang pengadilan semakin diperlukan. Pemeriksaan ahli akan menjadi mutlak manakala jaksa memberikan petunjuk kepada penyidik untuk dilakukan pemeriksaan ahli ;
Dalam hal hakim membentuk keyakinan tentang kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana korupsi, secara formal kedudukan alat bukti keterangan ahli adalah sama dengan alat bukti lain. Artinya, keyakinan boleh dibentuk atas dasar keterangan ahli dan alat bukti petunjuk saja, karena telah memenuhi minimum bukti dimaksud Pasal 183 KUHAP. Hukum penyimpangan pembuktian yang ada dalam hukum pidana korupsi, terdapat pada 2 (dua) hal pokok, yaitu: mengenai bahan-bahan yang dapat digunakan untuk membentuk alat bukti petunjuk dan mengenai sistem pembebanan pembuktian.
Negara maju telah menggunakan berbagai teknik dan teknologi yang dipandang dari sudut kedokteran kehakiman sebagai alat bukti ilmiah yang inovatif, kredibel dan mutakhir. Teknologi tersebut yaitu Polygraph, P300, ERP/EEG, BEOS, TMS, Fmri, dll. Polygraph mempunyai tingkat ketelitian mendeteksi kebohongan kisaran 70 – 96 %.[13] Pengertian dari Polygraph, P300, ERP/EEG, BEOS, TMS, secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut :[14]
·         Polygraph terdiri dari: monitor, alat respirasi/pernafasan, jantung-pengukur tensi, aktivitas elektrodermal untuk mendeteksi keringat,suhu. ERP/EEG (Elektroencephalograms). Persentasi dari 1 set gelombang pada EEG karerna aktivitas otak bersifat listrik, pengukur dari proses informasi,gambaran primer aktivitas listrik mengenai elektroda sangat sulit untuk meletakkan lembaran bagian dari anatomi saraf dengan kotak hitam otak. Berbagai perbedaan elektroda sifatnya termasuk kapasitas melalui level yang berbeda dari penggunaan bagian otak secara luas. Sasaran dari peneliti EEG adalah untuk menemukan tanda yang berbeda berkaitan dengan respon penipuan atau kebohongan ;
·         BEOS (Brain Electrical Oscillations Signature Test) mengidentifikasi saat seseorang mempunyai ingatan tentang kejadian yang spesifik. BEOS terdiri 32 elektroda yang digunakan dikepala dengan tes pendahuluan sebagai standar ;
·         TMS ( Transcranial Magnetic Stimulation), peneliti dari Universitas Tartu di Estonia, baru-baru ini mempublikasikan penelitian kecil terhadap efek dari stimulasi magnetik transcranial sebagai bagian otak yang dikenal sebagai Dorsolateral Prefontal Cortex. TMS menggunakan elektromagnetik untuk mempengaruhi otak. Penelitian tersebut diungkapkan peneliti sebagai warna pada objek dilayar komputer. Mereka diijinkan untuk berbohong atau jujur sesukanya. Saat bagian kiri DLPC distimulasi oleh TMS, penelitian cenderung menunjukkan kebohongan dan bagian kanan sebaliknya ;
·         fMRI (function of Magnetic Resonance Imaging) mendeteksi gelombang elektromagnetik di otak dengan memvisualisasikan bagian otak yang menunjukkan keaktifan saat berbohong, jujur, lupa, atau tidak tahu. Deteksi kebohongan menunjukkan aktivitas dan warna pada visualisasi otak yaitu pada bagian medial frontal gyrus, inferior frontal gyrus, prefrontal cortex dengan aktivitas berpikir yang lebih dan kerja kognitif untuk berbohong dari pada jujur. Deteksi jujur menunjukkan aktivitas dan warna pada bagian inferior parietal lobe yang berfungsi sebagai memori dan pengingat. fMRI dapat mendeteksi semua celah hukum tersebut dengan tingkat ketelitian 96 sampai 100 %. Saat pemetaan otak menjadi lebik akurat dalam mendeteksi kebohongan atau penipuan daripada polygraph, beberapa pandangan kontradiktif antara hak individu dan keinginan institusional untuk tahu.
Saat ini yang sedang menjadi rujukan utama dalam pembuktian atas suatu peristiwa hukum maupun tindak pidana adalah dengan menggunakan metode pemeriksaan DNA (deoxyribonucleic acid), yang mempunyai pengertian sebagaimana dalam Kamus Wikipedia sebagai berikut :[15]
DNA adalah sejenis biomolekul yang menyimpan dan menyandi instruksi-instruksi genetika setiap organisme dan banyak jenis virus. Instruksi-instruksi genetika ini berperan penting dalam pertumbuhan, perkembangan, dan fungsi organisme dan virus. DNA merupakan asam nukleat; bersamaan dengan protein dan karbohidrat, asam nukleat adalah makromolekul esensial bagi seluruh makhluk hidup yang diketahui. Kebanyakan molekul DNA terdiri dari dua unting biopolimer yang berpilin satu sama lainnya membentuk heliks ganda. Dua unting DNA ini dikenal sebagai polinukleotida karena keduanya terdiri dari satuan-satuan molekul yang disebut nukleotida. Tiap-tiap nukleotida terdiri atas salah satu jenis basa nitrogen (guanina (G), adenina (A), timina (T), atau sitosina (C)), gula monosakarida yang disebut deoksiribosa, dan gugus fosfat. Nukleotida-nukelotida ini kemudian tersambung dalam satu rantai ikatan kovalen antara gula satu nukleotida dengan fosfat nukelotida lainnya. Hasilnya adalah rantai punggung gula-fosfat yang berselang-seling. Menurut kaidah pasangan basa (A dengan T dan C dengan G), ikatan hidrogen mengikat basa-basa dari kedua unting polinukleotida membentuk DNA unting ganda.
Secara garis besar bahwa DNA bisa didapatkan dari gen yang terdapat pada tubuh manusia, yang bisa diambil antara lian dari air liur, kulit tubuh, keringat, air mani (sperma), potongan rambut dan bagian-bagian tubuh lain pada diri manusia. Setiap manusia memiliki unsur DNA yang berbeda meskipun pada manusia kembar identik sekalipun, sehingga penggunaan DNA menjadi saat penting pada saat ini tingkat keakuratan pembuktian dengan DNA mendekati 100 % sehingga pengungkapan suatu kasus dengan pembuktian menggunakan DNA, saat ini diyakini sebagai suatu hal yang harus dilakukan.
Pada perkara-perkara yang mengharuskan pembuktian yang berkaitan dengan data elektronik, maka dikenal dengan adanya istilah Digital Forensic, yaitu sebagai satu bidang spesialisasi ilmu pengetahuan dan tekhnologi komputer yang memiliki posisi signifikan untuk melakukan inverstigasi kasus-kasus computer crime dan / atau computer related crime. Dengan menggunakan Digital Forensic, maka segala jenis data elektronik dapat digunakan sebagai alat bukti di persidangan, sebab Digital Forensic mengolah data-data elektronik menjadi data yang dapat dibaca dan dimengerti oleh setiap orang khususnya bagi para penegak hukum, hal ini disebabkan data elektronik bukan berupa data yang berisi tulisan huruf atau angka tetapi kadangkala juga merupakan bahasa komputer yang hanya dapat dimengerti dan dipahami oleh orang-orang yang berkecimpung di dunia keilmuan digital. [16]
Hal lain yang harus diperhatikan dalam penggunaan alat bukti ilmiah adalah keterlibatan pihak laboratorium forensik, baik dalam mengolah data-data berupa data elektronik maupun data-data yang berkaitan dengan pengungkapan DNA seseorang. Saat ini hanya terdapat sedikit orang yang memiliki keinginan untuk mendalami keilmuan di bidang laboratorium forensik, meskipun sebenarnya hasil dari laboratorium forensik menjadi penentu dari adanya alat bukti ilmiah.
Penggunaan alat bukti ilmiah tentu akan membawa suatu dampak pada hukum acara pembuktian dan akan menggeser paradigma pembuktian di persidangan sebagaimana diatur dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP tentang alat bukti di dalam hukum pidana atau pasal 163 HIR/pasal 283 Rbg/pasal 1865 KUH Perdata tentang pembuktian dalam hukum perdata. Tidak menutup kemungkinan bahwa suatu saat nanti ketika terdapat pembaharuan terhadap hukum acara di Indonesia dalam bentuk pembaharuan Kitab Hukum Acara, alat bukti ilmiah menjadi alat bukti utama dalam pembuktian di persidangan namun tentunya juga tidak mengesampingkan alat bukti lainnya.
Hambatan yang dihadapi oleh aparat penegak hukum saat ini, masih minimnya aparat penegak hukum yang memahami dan mengerti tentang alat bukti ilmiah. Hal ini kerap menjadi hambatan mengingat belum adanya kesepahaman diantara para aparat penegak hukum, baik dari pihak Kepolisian, Kejaksaan / KPK, Pengadilan maupun Advokat, yang juga telah diakui kedudukannya sebagai aparat penegak hukum. Selain itu, minimnya perhatian pemerintah dalam hal peningkatan kualitas aparat penegak hukum yang ada di Indonesia, seakan-akan pemerintah membiarkan masing-masing instansi untuk meningkatkan sumber dayanya sendiri tanpa terkoordinir dengan baik.
Ketika suatu instansi harus bergerak sendiri dalam upaya meningkatkan kualitas sumber dayanya, maka Mahkamah Agung juga dituntut untuk dapat memberdayakan dirinya sendiri. Mahkamah Agung sebagai stake holder kekuasaan kehakiman tertinggi di Indonesia, mempunyai kewajiban untuk dapat meningkatkan kualitas hakim-hakimnya, dari mulai Hakim Agung hingga hakim-hakim yang bertugas di lini terdepan yaitu di Pengadilan-Pengadilan tingkat pertama. Hal ini karena penggunaan alat bukti ilmiah (scientific evidence) tidak terbatas hanya digunakan di Pengadilan Negeri akan tetapi juga di Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara bahkan di Pengadilan Militer. Merupakan hal yang memalukan apabila hakim-hakim yang bertugas di pengadilan tingkat pertama tidak memahami dan mengerti mengenai alat bukti ilmiah sebab hakim-hakim di tingkat pertama merupakan ujung tombak dari penegakan hukum yang merupakan kewenangan dari Mahkamah Agung.
Oleh sebab itu perlu adanya pelatihan-pelatihan maupun sertifikasi secara berkelanjutan untuk memberikan pemahaman kepada para hakim di tingkat pertama tentang alat bukti ilmiah berikut tahap-tahap untuk mendapatkan alat bukti ilmiah sehingga dapat digunakan di persidangan. Hal ini diperlukan mengingat perkembangan hukum dan kehidupan sosial dalam masyarakat berlangsung sangat cepat sehingga membutuhkan kecepatan berpikir dan bertindak dari para hakim sebagai benteng terakhir dari keadilan. Bukan masanya lagi, hakim gagap tekhnologi (gaptek), seorang hakim harus menguasai tekhnologi terutama tekhnologi informasi mengingat saat ini hampir semua peristiwa hukum melibatkan perangkat dari tekhnologi informasi.
Meskipun saat ini masih terdapat pendapat dari para hakim bahwa hakim tidak perlu memahami semua hal sebab dapat didapatkan dari keterangan saksi ahli, akan tetapi saat ini paradigma tersebut sudah saatnya diubah dengan memotivasi hakim untuk tetap belajar dan mengikuti perkembangan jaman. Hal ini merupakan syarat mutlak bahwa hakim harus tetap belajar, baik secara formal maupun informal, untuk tetap mengasah keilmuannya sehingga dapat dipraktekkan dalam persidangan, dalam rangka menegakkan keadilan dalam masyarakat, sebab suatu saat nanti dalam mengungkap suatu peristiwa hukum dapat dilakukan secara singkat dengan mengungkap alat bukti ilmiah yang diajukan di persidangan, sehingga tujuan dari peradilan cepat dan murah dapat tercapai.
D.      PENUTUP
Tulisan singkat ini barangkali tidak mencukupi di dalam memahami penggunaan Alat Bukti Ilmiah sebagai Alat Bukti di Persidangan akan tetapi setidaknya dapat memberikan sedikit pencerahan bahwa sesungguhnya terdapat hal-hal baru di dalam pembuktian suatu perkara dan pemahaman mengenai bagaimana pembuktian dengan menggunakan alat bukti ilmiah.

E.       DAFTAR BACAAN
1.    Yahya Harahap, PEMBAHASAN PERMASALAHAN DAN PENERAPAN KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding Kasasi dan Peninjauan Kembali), Tahun 2000, Sinar Grafika, Jakarta ;
2.    Yahya Harahap, HUKUM ACARA PERDATA tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Tahun 2005, Sinar Grafika, Jakarta ;

F.   LINK INTERNET


[1] Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung RI, Mahasiswa Program Doktoral pada Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung, Semarang ;
[2] Yahya Harahap, PEMBAHASAN PERMASALAHAN DAN PENERAPAN KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding Kasasi dan Peninjauan Kembali), Tahun 2000, Sinar Grafika, Jakarta, h. 273 ;
[4] Loc cit, h.280 ;
[5] Loc.cit, h.310 – 312 ;
[6] Loc.cit, h.317 ;
[7] Yahya Harahap, HUKUM ACARA PERDATA tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Tahun 2005, Sinar Grafika, Jakarta, h. 496 ;

[8] Loc.cit, h.498.
[9] Loc. Cit, h.539 ;
[10] https://id.wikipedia.org/wiki/Bukti_empiris, diunduh tanggal 26 Pebruari 2016 ;

[11] https://id.wikipedia.org/wiki/Bukti_empiris, diunduh tanggal 26 Pebruari 2016 ;

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kecelakaan Lalu Lintas

    Ritual Mudik menjelang Hari Raya Idul Fitri telah tuntas dilakukan dengan berbagai variasinya. Masyarakat yang mudik dengan mengguna...