Rabu, 12 Januari 2022

MEMALSUKAN SURAT (Bagian 3)

 MEMALSUKAN SURAT (Bagian 3)

Melanjutkan pembahasan mengenai perihal Memalsukan Surat, maka kita akan membahas ketentuan selanjutnya, yaitu Pasal 265 KUH Pidana dan Pasal 266 KUH Pidana. Ketentuan Pasal 265 KUH Pidana telah dihapuskan dengan Staatblad No. 259 jo. No. 426 Tahun 1926, sehingga ketentuan pasal ini tidak perlu dibahas lebih lanjut.
Selanjutnya, dalam Pasal 266 KUH Pidana menyebutkan :
(1) Barangsiapa menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akte otentik tentang sesuatu kejadian yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akte itu, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan akte itu seolah-olah keterangannya itu cocok dengan hal sebenarnya, maka kalau dalam mempergunakannya itu dapat mendapatangkan kerugian, dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun;
(2) Dengan hukuman serupa itu juga dihukum barangsiapa dengan sengaja menggunakan akte itu seolah-olah isinya cocok dengan hal yang sebenarnya jika pemakaian surat itu dapat mendatangkan kerugian. (lihat ketentuan pasal 35, 52, 64, 262 ayat (1), 274, 279, 451 bis, 451 ter, 452 dan pasal 486).
Dari ketentuan Pasal 266 KUH Pidana tersebut, dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut :
1. Yang dimaksud dengan akten otentik yaitu surat yang dibuat menurut bentuk dan syarat yang ditetapkan oleh pegawai umum. Contoh paling gampang dari akte otentik adalah akte atau akta yang dibuat oleh Notaris atau akta kelahiran, akta kematian dan lain sebagainya;
2. Yang dapat dihukum menurut pasal ini misalnya orang yang memberikan keterangan tidak benar kepada pegawai Burgerlijk Stand (Pegawai Yang Berwenang) untuk dimasukkan ke dalam akte kelahiran yang harus dibuat oleh pegawai tersbeut, dengan maksud untuk mempergunakan atau menyuruh orang lain mempergunakan akte itu seolah-olah keterangan yang termuat di dalamnya itu benar. Yang dimaksudkan akte dalam hal ini tidak saja akte kelahiran namun juga dalam bentuk akte lainnya.
(3) Yang diancam hukuman itu tidak hanya orang yang memberikan keterangan tidak benar dan sebagainya, akan tetapi juga orang yang dengan sengaja menggunakan surat (akte) yang memuat keterangan yang tidak benar itu. Dalam kedua hal ini senantiasa harus dibuktikan, bahwa orang itu seakan-akan surat itu benar dan perbuatan itu dapat mendatangkan kerugian;
(4) Orang yang memberikan keteranagan palsu (tidak benar) kepada pegawai, polisi untuk dimasukkan ke dalam proses verbal itu dapat dikenakan pasal ini, karena proses verbal gunanya bukan untuk membuktikan kebenaran dari keterangan orang itu, tetapi hanya untuk membuktikan bahwa keterangan yang diberikan orang itu demikian adanya. Ini beda sekali halnya dengan surat (akte) kelahiran yang gunanya benar-benar untuk membuktikan kelahiran itu;
(5) Dapat dihukum menurut pasal ini misalnya pedagang yang menyuruh membuat persetujuan dagang kepada seorang notaris mengenai sebidang tanah, jika terlebih dahulu ia telah menjual tanah itu kepada orang lain. Dalam hal ini, maka akte notaris merupakan surat yang digunakan sebagai bukti terhadap suatu pemindahan hak milik. Kerugian yang akan diderita oleh pembeli sudah terang, ialah jumlah uang yang telah dibayar untuk pembelian itu yang bukan semestinya, biaya notaris dan sebagainya. Pun dapat dihukum pula seorang yang menyuruh pegawai Kantor Pencatatan Jiwa (Kantor Catatan Sipil) untuk membuat akte kelahira seorang anak dari istrinya dengan nama kecil A, sedangkan anak itu sebenarnya telah dilahirkan oleh perempuan lain daripada istrinya itu, sehingga pemakaian akte itu dapat menimbulkan kerugian bagi anaknya yang sebenarnya. Akan tetapi menurut Keputusan Ketua Pengadilan Negeri Indramayu tanggal 17 Januari 1939 (ditulis oleh Mr. W.F.L. Busshkens), maka seorang terdakwa yang telah menikah di hadapan penghulu, sambil tidak mengatakan pada saat itu bahwa antara mereka ada hubungan paman dan keponakan, hubungan kekekluargaan mana menurut hukum Islam merupakan penghalang untuk menikah, tidak menimbulkan pemalsuan surat, oleh karena apa yang biasa dinamakan SURAT KAWIN (Surat Nikah) itu hubungan kekeluargaan yang ada antara pihak-pihak yang menikah tidak pernah disebutkan. Hal ini berarti bahwa kekita kedua mempelai akan menikah dan dari awal tidak menyebutkan bahwa kedua mempelai mempunyai hubungan keluarga berupa paman dan keponakan, tidak membatalkan pernikahan kedua mempelai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kecelakaan Lalu Lintas

    Ritual Mudik menjelang Hari Raya Idul Fitri telah tuntas dilakukan dengan berbagai variasinya. Masyarakat yang mudik dengan mengguna...