Rabu, 28 November 2018

Pemenuhan Hak Anak

Sudahkah anak memberikan hak-hak Anak pada putera-puteri anda hari ini ? Karena sesungguhnya anak adalah anugerah dari Allah SWT yang harus kita jaga, kita rawat dan kita sayangi sepanjang hidupnya. Hak anakpun telah diatur di dalam peraturan perundangan di negara kita dan sudah seharusnya kita sebagai warga negara yang baik harus pula tunduk pada perintah Undang-Undang, sehingga kita tidak menjadi lalai dari kewajiban kita dalam memenuhi hak anak pada anak-anak kita. Sungguh kita akan diminta pertanggungjawaban, tidak hanya di muka hukum tetapi juga di hadapan Sang Khalik bila kita lupa akan kewajiban kita dalam pemenuhan hak anak.

Kamis, 15 November 2018

PERMOHONAN atau GUGATAN

Beracara keperdataan di Pengadilan (Negeri) seringkali membingungkan bagi masyarakat awam. Banyak hal yang tidak dipahami dalam hukum perdata dan memang harus diakui bahwa hukum perdata adalah hukum yang dibawa oleh Pemerintah Kolonial Belanda yang dikenalkan dan diterapkan di negeri-negeri yang menjadi daerah jajahannya, salah satunya di Indonesia. Harus dipahami bahwa ada 2 (dua) hal pokok yang ada dalam hukum acara perdata di Indonesia, yaitu PERMOHONAN dan GUGATAN. Kita harus paham terlebih dahulu mana yang akan kita gunakan dalam beracara perdata di pengadilan. Untuk itu, sedikit kita bedah satu persatu :
1. PERMOHONAN
- Acara keperdataan ini timbul ketika ada kepentingan pribadi kita secara keperdataan yang harus kita kita benahi atau kita perbaiki atau harus kita penuhi;
- Di dalam permohonan ini, yang beracara adalah diri kita sendiri;
- Tidak ada sengketa antara diri kita dengan pihak lain baik orang perorangan maupun dengan badan hukum;
- Contoh : Permohonan ganti nama, permohonan perubahan tanggal lahir, permohonan eksekusi atas sebuah putusan perdata dan lain sebagainya;
2. GUGATAN
- Acara keperdataan ini timbul karena adanya sengketa antara diri kita dengan pihak lain baik orang perorangan maupun dengan badan hukum;
- Sengketa tersebut menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil bagi diri kita;
- Upaya untuk menyelesaikan sengketa tersebut di luar pengadilan tidak membuahkan hasil;
- Sebagai upaya terakhir dalam menyelesaikan perkara keperdataan;
Demikian uraian singkat mengenai PERMOHONAN maupun GUGATAN yang seringkali masih rancu dan belum dipahami oleh masyarakat awam. Semoga bermanfaat.

Selasa, 13 November 2018

MEMALSUKAN SURAT-SURAT

Di dalam Kitab Undang-Undang sudah diatur di dalam Bab XII perihal MEMALSUKAN SURAT-SURAT yang diatur dalam pasal 263 s/d pasal 270. Dalam uraian ini akan diuraikan secara singkat mengenai ketentuan pasal 263 ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 263 ayat (1) : "Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian, dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun;"
Pasal 263 ayat (2) : "Dengan hukuman serupa itu juga dihukum, barangsiapa dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, kalau hal mempergunakan dapat mendatangkan sesuatu kerugian."
Dalam pasal 263 tersebut :
1. Yang diartikan dengan surat dalam bab ini ialah segala surat baik yang ditulis dengan tangan, dicetak, maupun ditulis memekai mesin tik dan lain-lainnya, termasuk diantaranya diketik menggunakan komputer;
2. Surat yang dipalsu harus sesuatu surat yang : a. Dapat menerbitkan suatu hak, (ijazah, karcis, tanda masuk dll), b. Dapat menerbitkan suatu perjanjian (surat perjanjian piutang, perjanian jual beli dll), c. Dapat menerbitkan suatu pembebasan utang (kuitansi dll), d. Suatu surat yang boleh dipergunakan sebagai surat keterangan bagi sesuatu perbuatan atau peristiwa (surat tanda kelahiran, buku tabungan, putusan pengadilan, obligasi dll);
3. Perbuatan yang diancam hukuman disini adalah MEMBUAT SURAT PALSU atau MEMALSUKAN SURAT. Yang dimaksud dengan MEMBUAT SURAT PALSU adalah membuat yang isinya bukan semestinya (tidak benar) atau membuat surat sedemikian rupa, sehingga menunjukkan asal surat itu yang tidak benar sedangkan yang dimaksud dengan MEMALSUKAN SURAT adalah mengubah surat sedemikian rupa sehingga isinya menjadi lain dari yang asli atau sehingga surat itu menjadi lain daripada yang asli, termasuk diantaranya adalah memalsukan tanda tangan;
4. Supaya dapat dihukum menurut pasal ini, maka pada waktu memalsukan surat itu harus dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat itu seolah-olah asli dan tidak dipalsu, jadi pemalsuan surat untuk kepentingan pelajaran, penyelidikan atau percobaan di laboratorium, tidak dapat dikenai pasal ini, misalkan pelajaran membuat surat dakwaan;
5. Penggunaan surat palsu itu harus mendatangkan kerugian, kata DAPAT maksudnya tidak perlu kerugian itu betul-betul sudah ada, baru kemungkinan saja akan adanya kerugian itu sudah cukup, yang diartikan dengan KERUGIAN disini tidak hanya meliputi kerugian materiil akan tetapi juga kerugian di lapangan kemasyarakatan, kesusilaan, kehormatan dll;
6. Yang dihukum menurut pasal jni tidak saja MEMALSUKAN tetapi juga SENGAJA MEMPERGUNAKAN surat palsu, sedangkan kata SENGAJA maksudnya adalah orang yang mempergunakan itu harus mengetahui benar bahwa surat yang ia gunakan itu PALSU, jika ia tidak mengetahui maka tidak dapat dihukum.

Rabu, 07 November 2018

Perbuatan Melawan Hukum (PMH) atau Cidera Janji (Wanprestasi)

Pada pokoknya, dasar untuk mengajukan gugatan perdata adalah didasarkan atas 2 (dua) hal yaitu Perbuatan Melawan Hukum (PMH / Onrechtmatiggedaad) dan Cidera Janji (Wanprestasi). Apa arti kedua istilah tersebut ? Tentunya akan sangat membingungkan bagi masyarakat umum untuk dapat memahaminya. Oleh karena itu, akan kami berikan penjelasan secara singkat mengenai pengertian kedua istilah tersebut.
1. PMH (Onrechtmatiggedaad), adalah istilah yang timbul atas perbuatan seseorang atau sekelompok orang atau suatu badan hukum sebagai subyek hukum yang dianggap telah melanggar hukum / UU sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Contoh gampang dari istilah ini adalah seseorang yang ingin mengambil buah mangga yang letak buah mangga tersebut cukup tinggi, sehingga orang tersebut berusaha mengambilnya dengan melempar baru ke arah buah tersebut, akan tetapi batu tersebut kemudian memecahkan kaca jendela sebuah rumah yang mengakibatkan pemilik rumah merasa dirugikan. Secara sederhana perkara tersebut dapat diselesaikan secara kekeluargaan akan tetapi apabila perkara tersebut dilanjutkan hingga diajukan gugatan di Pengadilan Negeri, maka gugatan yang diajukan tersebut didasarkan atas PMH orang yang melempar batu tersebut.Di dalam Buku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) hal ini diatur dalam pasal 1365, yang mewajibkan pihak yang dirugkan harus membuktikan kerugian yang dialaminya.
2. Cidera Janji (Wanprestasi), adalah istilah yang timbul atas perbuatan seseorang atau sekelompok orang atau badan hukum selaku subyek hukum yang diakibatkan adanya Perjanjian Tertulis dengan pihak lain untuk memenuhi sesuatu hak atau kewajiban.Jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban atas perjanjian tertulis yang dilakukannya. Jadi baik kelalaian maupun kesengajaan tidak memenuhi isi perjanjian akan berakibat adanya gugatan keperdataan dari pihak yang merasa dirugikan.
Meski demikian, gugatan haruslah dibuktikan di persidangan dengan bukti surat maupun bukti saksi, baik saksi fakta maupun ahli.

Selasa, 23 Oktober 2018

GANTI RUGI BUKAN GANTI UNTUNG

Sering kita mendengar bahwa di setiap kejadian pengambilalihan lahan atau bangunan, sering terdengar istilah GANTI RUGI. Kenapa dipakai istilah GANTI RUGI dan bukan GANTI UNTUNG? Hal ini karena setiap pemberiannganti rugi didasarkan atas NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak) atas lahan atau bangunan tersebut. Bukan didasarkan pada Harga Pasar atas lahan atau bangunan tersebut. Mengapa demikian? Harus dipahami bahwa berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menyebutkan bahwa, SEMUA HAK ATAS TANAH MEMPUNYAI FUNGSI SOSIAL. Jadi setiap hak atas tanah termasuk bangunan di atasnya tidak bisa ditahan pelepasannya sepanjang demi untuk fungsi sosial, contohnya pembangunan jalan yang akan memotong sebidang tanah, atau relokasi bangunan akibat bencana alam yang tentu membutuhkan lahan milik masyarakat baik perorangan maupun komunal. Sedangkan perhitungan atas tanah yang terkena fungsi sosial didasarkan pada NJOP dari tanah yang bersangkutan, sehingga dari proses ini kita kenal yang dinamakan GANTI RUGI. Sedangkan bagi masyarakat awam yang tidak paham akan adanya fungsisosial atas sebidang tanah,beranggapan bahwa pelepasan hak atas tanah hanya didadasarkan pada GARGA PASARAN atas tanah tersebut yang memang jauh lebih tinggi daripada harga yang didasarkan pada NJOP sebidang tanah. Oleh karenanya, ada baiknya sebelum terjadi proses pelepasan hak atas tanah demi kepentingan sosial perlh adanya sosialisasi terlebih dahulu tentang adanya FUNGSI SOSIAL atas hak atas tanah, sehingga dapat dihindarkan adanya kericuhan dari proses pelepasan hak atas sebidang tanah.

EKSEPSI DALAM PERKARA PERDATA

Lazimnya orang berperkara khususnya perkara perdata di pengadilan, tentu akan terjadi proses jawab menjawab atas adanya gugatan yang diajukan oleh Penggugat. Salah satunya adalah EKSEPSI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Jawaban yang diajukan oleh Tergugat. Perihal eksepsi ini sampai saat ini, masih diatur di dalam HIR atau Herzien Inlandsch Reglement maupun Rv atau Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering yang merupakan Hukum Acara Perdata yang masih merupakan peninggalan pemerintahan kolonial Belanda yang masih digunakan sampai sekarang. Eksepsi ini diatur dalam pasal 125 ayat (1), pasal 133, pasal 134 dan pasal 136 HIR serta pasal 132 Rv berisi tangkisan atas gugatan yang diajukan oleh Penggugat. Tangkisan ini berisi tentang kewenangan mengadili secara absolut maupun secara relatif yang harus diputuskan oleh Majelis Hakim yang mengadili perkara perdata tersebut dalam Putusan Sela, sedangkan tangkisan mengenai formalitas gugatan yaitu mengenai identitas para pihakbaik penggugat maupun tergugat, obyek gugatan maupun syarat formal gugatan lainnya akan diputus bersamaan dengan putusan akhir dari perkara perdata tersebut.

Rabu, 03 Oktober 2018

Bencana Alam Bukan Menjadi Alasan Pembenar

Duka kita bagi saudara-saudara kita di wilayah Sulawesi Tengah utamanya di dari Palu, Donggala, Sigi dan Parigi Moutong yang baru saja tertimpa musibah gempa bumi dan tsunami. Bencana tersebut sekaligus memutus jalur transportasi maupun jalur komunikasi, sehingga akhirnya menghambar jalannya pengangkutan bantuan yang akan masuk ke wilayah bencana. Secara efek domino, kekosongan pasokan bantuan khususnya bahan makanan dan minuman, akhirnya membuat masyarakat bertindak sendiri dengan melakukan penjarahan di toko-toko yang menjual sembako. Dalam pandangan hukum, perbuatan tersebut tetap merupakan pidana, akan tetapi bisa diambil diskresi apabila yang diambil hanya berupa bahan sembako dalam jumlah yang memang dibutuhkan. Tentunya diskresi akan diambil ketika pelaku dijadikan tersangka dan diajukan di pengadilan. Meski demikian harus tetap diingat bahwa bencana alam bukan menjadi alasan pembenar untuk melakukan tindak pidana. Masing-masing pihak tentu harus bertindak secara bijaksana akan tetapi juga tidak bisa mengabaikan akan tegaknya hukum di negara kita, sebab tanpa adanya hukum maka akan ambruk seluruh tatanan negara.

DIMANA TANAH DIPIJAK, DISANA NASI DIMAKAN

                Sebuah prinsip yang selalu saya pegang saat saya masih sering merantau dan sebagai informasi saja, saya sudah berantau d...